Anda di halaman 1dari 22

BREAKING NEWS

Kisah Para Pemburu Kepala Perang Dunia II


Taman Nasional Bukit Baka - Bukit Raya
Jalan Tangkiling, Sepotong Impian Sepanjang 34 Kilometer
Rumah Adat Radakng Kalimantan Barat
Rumah Adat Betang Kalimantan Tengah
Naik Dango, Ritual Panen Suku Dayak Kanayatn
Perkawinan Menurut Adat dan Tradisi Suku Dayak Ngaju
Tamanggung Tuhun dari Sepang Simin
Tradisi Unik Malam Paskah di Palangka Raya
Pak Kasih, Pejuang Dayak yang Menjadi Nama Jembatan Tayan
Suta Ono, Pahlawan atau Antek Belanda?
Sejarah Kabupaten Katingan
Mengenal Aksara Dayak Iban
Menelusuri Jejak Suku Dayak Maanyan di Madagaskar
Betang Toyoi, Etalase Pluralisme Suku Dayak
Riwayat Desa Tumbang Malahoi
Legenda Asal Mula Burung Elang Suku Dayak Ngaju
Kisah Pangantuhu Keramat Penjaga Desa Mangkatip
Kisah Bandar dan Sumbu Kurung
Takluknya Raja Madura oleh Mambang dari Manen Paduran
Damang Bahandang Balau dan Asal Mula Desa Tambak Bajai
Nyai Balau, Panglima Wanita Dayak dari Tewah
Tembawang, Etalase Ekologi Suku Dayak Tae
Kearifan Lokal Suku Dayak Terhadap Alam
Etimologi, Asal Mula dan Pengelompokan Suku Dayak

Info Itah
Media Informasi Suku Dayak
Perkawinan Menurut Adat dan Tradisi Suku Dayak Ngaju

Info Itah Budaya 4/02/2016


Upacara-upacara tradisional suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah merupakan suatu mata
rantai yang tak dapat dipisahkan dari Tattwa yang merupakan inti dari pada ajaran agama
Hindu Kaharingan (tradisi religi asli masyarakat Dayak Ngaju) dengan susila yang
merupakan aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Unsur tattwa, etika
dan upacara merupakan unsur universal ajaran agama Hindu Kaharingan yang terkandung
dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Dayak, yang mana antara unsur yang satu
dengan yang lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu dan simultan serta tidak
terpisahkan.

Masyarakat Dayak Ngaju khususnya yang beragama Hindu Kaharingan sangat kaya dengan
upacara-upacara keagamaan salah satunya adalah tata cara perkawinan pada masyarakat suku
Dayak Ngaju yang disebut "Pelek Rujin Pangawin".

Semula, ritual upacara perkawinan merupakan salah satu ritual keagamaan masyarakat Hindu
Kaharingan sekaligus dianggap adat yang mencirikan keberadaan suku Dayak Ngaju sebagai
suatu kelompok masyarakat adat. Seiring perkembangan jaman walaupun sebagian
masyarakat suku Dayak Ngaju telah meninggalkan agama leluhur, namun sebagai suku yang
memegang teguh konsep "Belum Bahadat" ritual perkawinan ini kemudian diekstrak dan
diambil esensinya yaitu "Jalan Hadat" yang kemudian dalam prosesi perkawinan
masyarakat suku Dayak Ngaju yang beragama Kristen dikenal dengan istilah "Pemenuhan
Hukum Adat".

Pelek Rujin Pangawin Suku Dayak Ngaju

Pelek Rujin Pangawin adalah tata cara dan persyaratan yang ditempuh dalam beberapa
kegiatan ritual perkawinan baik sebelum pelaksanaannya maupun disaat perkawinan itu
dilaksanakan serta awal mulainya kehidupan berumah tangga termasuk didalamnya adanya
Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya.
Hak, kewajiban dan tanggung jawab perkawinan termuat dalam Pelek Rujin Pangawin yang
artinya Pedoman Dasar Perkawinan. (Nila Riwut, 2003:224).

Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai Jujuran
atau mas kawin adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki bagi calon
mempelai perempuan dan keluarganya pada upacara perkawinan yang berdasarkan ketentuan
hukum Adat Dayak Ngaju yang berlaku serta tradisi dalam keluarga mempelai perempuan.
Tentang asal mula adanya Jalan Hadat perkawinan ini dapat diketahui dalam Panaturan
(Kitab suci agama Hindu Kaharingan) yang menyatakan sebagai berikut :

Pelek Rujin Pangawin ije manjadi suntu awi RANYING HATALLA hajamban Raja Uju
Hakanduang intu lewu Bukit Batu Nindan Tarung, akan uluh kalunen panakan Maharaja
Bunu dapit jeha, tuntang jetuh kea ije manjadi tampara bukun uluh bawi tege Palaku tuntang
Jalan Hadat. (Panaturan,30.33)

Artinya :

Pelek Rujin Pangawin ini yang menjadi contoh dari RANYING HATALLA, melalui Raja Uju
Hakanduang di Lewu Bukit Nindan Tarung untuk manusia turunan raja Bunu dan inilah yang
menjadi awal perempuan ada Jalan Adat atau mas kawinnya.(Tim Penyusun, 2003;115)
Penerapan Jalan Hadat dalam upacara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju, sesungguhnya
yang menjadi intinya adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin antara keluarga
luas dari pihak-pihak yang bersangkutan serta merupakan refleksi etika hidup masyarakat
Dayak khususnya seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dan keluarganya. Penerapan
Jalan Hadat ini bermuara dalam upaya mempertahankan hubungan sosial kemasyarakatan
agar tetap berjalan dalam keadaan serasi, selaras dan seimbang, terutama hubungan sosial
dengan anggota keluarga yang tercakup dalam temali kekerabatan darah dan temali
kekerabatan perkawinan.

Latar belakang munculnya Jalan Hadat yaitu berpedoman pada pada "Pelek Indu
Sangumang" (Raja Garing Hatungku dan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang), yang mana
diriwayatkan bahwa Tuhan semesta alam (Ranying Hatalla) sebelum menurunkan manusia ke
muka bumi, di alam atas telah terjadi perkawinan antara Nyai Endas Bulau Lisan Tingang
(Indu Sangumang) dengan Raja Garing Hatungku.

Namun setelah menikah, Nyai Endas Bulau Lisan Tingang tidak mau berkumpul dengan
suaminya sebab dia merasa kurang persyaratan perkawinannya. Raja Garing Hatungku
bertanya apakah yang kurang, kemudian Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta Palaku
(mas kawin) atau Jalan Hadat sebagai bukti bahwa dia sudah kawin dan sebagai modal hidup
yang dapat diperlihatkan kepada anak cucunya. Nyai Endas Bulau Lisan Tingang meminta
Palaku (mas kawin) berupa :

Bukit lampayung Nyahu (Sandung/tempat tulang). Pada saat upacara Tiwah yaitu
upacara kematian tingkat terakhir untuk mengantarkan roh umat Hindu Kaharingan yang
meninggal ke alam keabadian/Lewu Tatau, maka tulang belulang almarhum yang
ditiwahkan akan disimpan dalam sebuah tempat berbentuk rumah yang lazim disebut
dengan Sandung oleh masyarakat Dayak.
Banama Bulau Pahalendang Tanjung Anjung Rabia Pahalingei Lunukmerupakan
istilah dalam bahasa Sangiang yang berarti sebuah peti mati, yang merupakan simbol
kesetiaan sehidup semati antara suami istri. Jadi maksud dari permintaan Nyai Endas
Bulau Lisan Tingang yang terdapat dalam simbol peti mati ini adalah dia menginginkan
sebuah kesetiaan sehidup semati dalam membangun rumah tangga.
Bukit Tampung Karuhei adalah sebuah tempat kumpulan rejeki dan kekayaan. Bukit
Tampung Karuhei ini menyimbolkan bahwa dalam membentuk sebuah rumah tangga
tidak hanya bermodalkan cinta namun juga didukung oleh pemenuhan materi.

Setelah syarat Palaku yang diminta oleh Nyai Endas Bulau Lisan Tingang terpenuhi barulah
Nyai Endas mau berkumpul dengan suaminya. Tata cara perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan
Tingang dan Raja Garing Hatungku merupakan asal mula ritus perkawinan yang
dilaksanakan oleh suku Dayak Ngaju dan juga yang menjadi awal adanya Palaku atau Jalan
Hadat bagi perempuan.

Tahapan Prosesi Perkawinan Suku Dayak Ngaju

Ditinjau dari pelaksanaannya, prosesi perkawinan di kalangan masyarakat suku Dayak Ngaju
dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :

1. Hakumbang Auh

Hakumbang Auh adalah cara awal dari prosesi perkawinan dengan maksud penyampaian niat
seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan
masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak
mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan
maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang
tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi keluarga si
gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut Saruhan atau juga dapat
disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis
melalui perantara tersebut.

Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh Helat
menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning
atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut
tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda harus
menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan melalui perantara
tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda tersebut akan dibicarakan
dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan mangkok atau Duit Pangumbang
yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis
meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara).

Dalam rapat inilah dibicarakan hal-hal penting mengenai :

Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda
tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka pihak
keluarga si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot si pemuda
dan bagimana silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan dengan keluarga si
gadis.

Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak
keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.

Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan dipanggil
untuk memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan tersebut.
Keputusan tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak menyinggung
perasaan pihak keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai bukti
Hakumbang Auh berupa mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan
dikembalikan kepada pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya.

Apabila maksud baik si pemuda diterima, maka perantaranya diberitahu bahwa pihak
keluarga si gadis akan menerima dengan senang hati kedatangan pihak keluarga si
pemuda untuk Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si pemuda akan datang
Mamanggul akan disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui perantaranya pula.

2. Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis secara
resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima oleh
pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai bukti
kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci asli cina)
atau sebuah gong.

Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja
Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak lagi berupa
gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan.
Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat
perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis kemudian menolak maka
barang bukti mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak si pemuda.

Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan Mamanggul.


Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung mulai dari
Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering
digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.

3. Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek disini
maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si gadis.
Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :

Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan


Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus
dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut
Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.
Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan
Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung
seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh salah
satu pihak.
Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam surat
perjanjian Pisek.

Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan
mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :

Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum
menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada kakaknya karena
ia mendahului kakaknya.
Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam garis
kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si pemuda maka
mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum
upacara perkawinan dilaksanakan.

Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat
dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan
berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan
pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.

4. Mananggar Janji atau Mukut Rapin Tuak


Mananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi secara
khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja Misek
telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini dibicarakan
tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria menyerahkan biaya
perkawinan, antara lain :

Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)

Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandau

Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.


Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan
dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari
adalah keadaan bulan seperti :

Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat
permulaan bulan terbit atau bulan baru muncul.
Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh
Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan
Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)

Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita dapat
melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai pria.

5. Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang dilaksanakan
sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan mereka di rumah
penganten wanita. Berikut adalah tahapan pelaksanaan perkawinan adat suku Dayak Ngaju :

a. Panganten Haguet

Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah penganten
wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang
telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga
pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum keberangkatan
penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan.

Pada saat sebelum keberangkatan para kerabat berkumpul di rumah penganten pria.
Tujuannya untuk bersama-sama mengantarkan penganten pria ke rumah penganten wanita.
Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan acara syukuran. Waktu keberangkatan yang
paling baik menurut keyakinan masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi
hari atau sebelum jam dua belas siang.

b. Penganten Mandai

Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau
penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten wanita.
Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :

1). Mambuka Lawang Sakepeng

Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang
diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni
agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke
halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut.

Caranya adalah dengan memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang


dipilih mewakili masing-masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong.
Ditampilkannya pesilat dari keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan
rumah tangganya, kedua mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang
sehingga dapat hidup rukun, saling membantu dan bekerjasama.

Adapun makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan
semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua mempelai dalam membina
rumah tangga.

2) Mamapas

Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten, rumah dan
lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala yang tidak
baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang disebut
Pali Endus Dahiang Baya.

Bersamaan dengan upacara Mamapas ini, setelah tali perintang Lawang Sakepeng putus
maka penganten pria dan rombongannya dipersilahkan memasuki halaman. Di depan pintu
rumah mempelai pria akan diupacarai lagi dengan taburan beras dan bunga rampai serta
prosesi penginjakan telor ayam.

Selanjutnya mempelai laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka
disediakan tempat khusus untuk beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.

c. Haluang Hapelek

Upacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak penganten
pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat
dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten
wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan yang
bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang
wakil sebagai utusan.

Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang Sambut, yaitu pihak
yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak penganten wanita. Adapun luang
dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah
orang yang pekerjaannya mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian
pendapat.

d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)

Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan
suku Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasanya tidak dilaksanakan oleh masyarakat
Dayak suku Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih melangsungan tata cara
perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki
berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai oleh
Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan darah.

Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang sebatang pohon
sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan
Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai
tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa.
Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi
kepada penguasa alam bawah.

Basir melakukan upacara manyaki mamalas dengan mengoleskan darah hewan korban,
minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Behas (beras) Hambaruan
diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai
disucikan, sehingga dalam menjalani kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat,
selamat dan memperoleh rejeki.

Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut Panginan
Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak
hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua
mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukiw (pekikan)
sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit
dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu
untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.

Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin
yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan
janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi
dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan
disaksikan oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah rangkaian
acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon Sawang.
Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua mempelai (biasa
diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para Luang, yang mana
acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.

Jalan Hadat Perkawinan Suku Dayak Ngaju


Jalan Hadat dalam perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju tidak terlepas dari upaya
untuk menjaga kelestarian sikap moral. Gagasan ideal upacara perkawinan yang telah
diwariskan sejak dulu oleh leluhur masyarakat Dayak Ngaju dapat disebut sebagai gagasan
primer dalam rangka membangun manusia, sebagai penunjang lambang pokok Batang Garing
(pohon kehidupan) dan Dandang Tingang (bulu ekor burung enggang) yang menyimbolkan
ketiga alam dalam kehidupan manusia) serta sebagai tuntunan dan bimbingan moral dalam
rangka pembangunan diri manusia itu sendiri secara utuh.

Karena itulah terdapat syarat adat yang saling terjalin dan melalui beberapa proses, dimana
salah satu syarat adat tersebut yaitu adanya Jalan Hadat dalam upacara perkawinan pada
masyarakat suku Dayak Ngaju yang berbentuk benda-benda simbolis yang memiliki nilai-
nilai penting bagi masyarakat Dayak itu sendiri.

Penentuan bentuk dan jumlah Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki dalam
tahapan upacara perkawinan pada masyarakat suku Dayak Ngaju biasanya dilakukan pada
saat proses Maja Misek. Pada saat Maja Misek inilah kemudian terjadi musyawarah mufakat
antara kedua belah pihak untuk membahas mengenai Jalan Hadat yang harus dipenuhi oleh
pihak laki-laki. Setelah musyawarah mufakat tentang Jalan Hadat dan penentuan waktu
pelaksanaan upacara perkawinan ini selesai, maka akan dibuat Surat Perjanjian Panggul
(peminangan) yang berisi tentang ketentuan bentuk dan jumlah Jalan Hadat yang harus
disediakan oleh pihak laki-laki, waktu pelaksanaan upacara perkawinan dan ketentuan denda
apabila salah satu pihak menunda atau bahkan membatalkan peminangan.

Jalan Hadat tersebut yang akan diserahkan pada saat acara perkawinan. Adapun Syarat-syarat
adat perkawinan Hindu Kaharingan di kalangan masyarakat Dayak Ngaju yang lazim dikenal
dengan Jalan Hadat secara umum adalah terdiri atas :

Palaku, adalah mas kawin yang diwujudkan dalam sejumlah materi simbolis, dimana pada
jaman dahulu adalah berbentuk sebuah Balanga atau Guci Cina yang memiliki nilai tinggi
atau benda pusaka keluarga maupun dapat berbentuk sebuah gong, namun pada saat sekarang
dapat digantikan dengan sebidang tanah atau barang berharga lainnya. Palaku ini fungsinya
adalah sebagai jaminan hidup bagi mempelai perempuan dari mempelai laki-laki, dimana
nantinya Palaku ini merupakan hak wanita sepenuhnya dan akan diwariskan kepada anak-
anak mereka.Palaku ini mutlak harus ada dan merupakan syarat perkawinan yang utama dan
pertama. Palaku merupakan hak ikat oleh pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan
dihadapan keluarga, bahwa ia memperoleh wanita tersebut dan akan dijadikan pasangan
hidupnya dalam berbagi rasa. Palaku ini tidak boleh dipindah tangankan ataupun dijual
karena merupakan dasar hidup bagi kedua mempelai dalam membangun rumah tangga atau
sering disebut juga dengan Galang Pambelum dalam bahasa Dayak Ngaju.

Saput, adalah suatu materi simbolis yang ditujukan kepada saudara kandung laki-laki
mempelai perempuan atau saudara sepupunya jika tidak memiliki saudara kandung laki-laki,
yang berbentuk kain atau pakaian. Fungsi Saput ini adalah ungkapan terima kasih mempelai
laki-laki terhadap saudara laki-laki mempelai wanita yang telah menjaga mempelai wanita
sebelum mempelai wanita tersebut memasuki jenjang perkawinan. Makna dari Saput itu
sendiri adalah sebagai wujud penghargaan calon pengantin laki-laki terhadap calon ipar laki-
lakinya yang telah rela melepas saudara perempuannya dan atas pengorbanan mereka
melindungi mempelai perempuan pada saat dia belum menikah. Selain itu dengan adanya
pemberian Saput ini merupakan pertanda bahwa seorang laki-laki yang ingin mengambil
seorang perempuan sebagai istrinya tidak hanya mengambil perempuan tersebut saja tetapi
dia juga mengambil saudara-saudara dari perempuan yang akan dia jadikan istri tersebut
sebagai keluarga yang patut dihormati dan dicintai layaknya dia mencintai saudaranya
sendiri.

Pakaian Sinde Mendeng, adalah berupa sepotong pakaian atau kain baju yang diberikan
oleh mempelai pria kepada ayah dan ibu mempelai wanita. Dimana pakaian Sinde Mendeng
ini berfungsi sebagai permohonan ijin mempelai laki-laki untuk memperistri putrinya.
Pakaian Sinde Mendeng merupakan perlambang bahwa mempelai laki-laki tidak hanya
mengambil mempelai wanita menjadi istrinya tetapi juga menerima orang tua dari isterinya
dengan baik dan menghormati serta menyayangi mereka seperti menyayangi orang tua
kandungnya sendiri. Selain itu Pakaian Sinde Mendeng ini juga merupakan wujud simbolik
untuk mengganti pakaian orang tua pengantin perempuan selama mereka merawat pengantin
perempuan.

Sinjang Entang. Sinjang adalah materi simbolis berupa satu lembar kain panjang yang
disebut Bahalai yang diberikan kepada ibu mempelai wanita.Sinjang berfungsi simbolis
sebagai pengganti pakaian ibu perempuan saat melahirkan anaknya tersebut dahulu.
Sedangkan Entang juga merupakan sebuah materi simbolis berbentuk satu lembar kain
panjang yang disebutBahalai yang diberikan kepada ibu mempelai wanita yang berfungsi
sebagai pengganti alat untuk menggendong mempelai wanita pada saat masih bayi, selain itu
juga sebagai simbol agar kedua mempelai memiliki rasa saling cinta kasih terhadap
kehidupan baru yang mereka bangun layaknya seorang ibu yang menyayangi anaknya, seperti
itu juga diharapkan kedua mempelai ini nantinya membangun keluarga rumah tangga sampai
Hentang Tulang (sampai maut memisahkan) tidak bisa terpisah.

Lapik Luang, adalah materi simbolis berupa satu lembar kain panjang ataupun tikar dari
rotan. Lapik Luangberfungsi sebagai alas Sangku Pelek. Selain itu juga terdapat Mangkok
Luang (mangkok putih yang berisi beras) yang nantinya akan diberikan kepada paraMantir
Luang dan Mantir Pelek (perantara) yang bertugas dalam acara Haluang Hapelek sebagai
wujud atau ungkapan terima kasih yang punya acara atas jasa para Luang (perantara). Lapik
Luang ini bermakna penghormatan terhadap prosesi Haluang Hapelek dan menunjukkan
bahwa kita percaya Haluang Hapelek merupakan prosesi yang bersifat sakral.

Tutup Uwan, diwujudkan dalam materi simbolis berupa kain hitam sepanjang dua yard yang
diberikan kepada nenek mempelai perempuan. Secara ritualTutup Uwan tersebut berfungsi
sebagai penutup kehidupan kedua mempelai dari segala bahaya yang selalu mengganggu
kehidupan manusia. Tutup Uwan bermakna untuk melindungi kedua mempelai pada saat
melewati daerah Pukung Pahewan (daerah yang ada penunggunya), menghindarkan kedua
mempelai dari Sial, Pali Dahiyang Baya (sial, pantangan dan pertanda buruk) yang dapat
menggangu kedua mempelai dalam membangun rumah tangganya. Jadi Tutup Uwan ini
secara formalitas adalah untuk nenek calon mempelai perempuan agar nenek ini memberikan
perlindungan selaku orang tua dan Tutup Uwan ini adalah untuk menutup atau melindungi
kedua mempelai dari Sial, Pali Dahiyang Baya (sial, pantangan dan pertanda buruk) yang
dapat masuk melalui ubun-ubun.

Duit Lapik Ruji, adalah materi simbolis berupa uang logam perak Belanda senilai satu
ringgit/golden. Duit Lapik Ruji ini sebagai alas atau dasar celengan kedua mempelai. Duit
Lapik Ruji ini berfungsi sebagai penarik datangnya rejeki selama mereka hidup sebagai
sepasang suami istri. Duit Lapik Ruji ini merupakan simbol harapan agar dalam kehidupan
rumah tangga kedua mempelai nafkahnya selalu terpenuhi dan banyak rejeki. Kata Lapik
Ruji berasal dari kata Lapik yang berarti alas atau dasar, dan Ruji dari kata Loji yaitu
bangunan yang kokoh. Sehingga yang dimaksud dengan adanya Duit Lapik Ruji maka rumah
tangga kedua mempelai memiliki dasar yang kuat dan kokoh.

Bulau Singah Pelek, adalah materi simbolis berupa emas bubuk minimal satu keping (2,7
gram) atau bisa juga dalam bentuk cincin kawin. Bulau Singah Pelek sebagai pertanda bahwa
kedua mempelai telah terikat dalam hubungan berumahtangga membentuk keluarga yang
baru terpisah dari keluarga yang lama. Makna adanya syarat ini sebagai Jalan Adat dalam
upacara perkawinan pada masyarakat Hindu Kaharingan adalah agar rumahtangga itu tidak
tersesat, artinya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan sejahtera. Selain itu juga
melambangkan kemurnian cinta kasih suami istri seperti emas yang tidak pernah luntur,
begitu pula cinta kasih mereka dalam membina kehidupan berumah tangga. Dengan adanya
Bulau Singah Pelek diharapkan kedua mempelai selalu ingat bahwa mereka telah terikat
dalam sebuah ikatan perkawinan yang harus mereka jaga keutuhan dan keharmonisannya
sampai maut yang memisahkan atau "Nyamah Hentang Tulang Ije Sandung Mentang".

Duit Turus (Timbuk Tangga), adalah materi simbolis berupa uang logam recehan (biasanya
logam seratus perak) yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama kedua
belah pihak dengan jumlah seimbang yang harus disediakan oleh masing-masing pihak. Duit
Turus ini akan dibagikan pada saat upacara perkawinan kepada para undangan yang hadir.
Duit Turus yang sebenarnya hanya dibagikan kepada para orang tua yang hadir dalam
upacara perkawinan tersebut, bukan diberikan kepada seluruh tamu yang hadir dalam artian
anak kecil atau yang masih muda. Hal ini dikarenakan Duit Turus itu berfungsi sebagai tanda
atau saksi bahwa telah berlangsung sebuah perkawinan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, sehingga apabila masyarakat menjumpai kedua orang ini berduaan tidak
akan menjadi gunjingan atau masalah bagi masyarakat, selain itu jika dikemudian hari terjadi
masalah dalam kehidupan kedua mempelai maka orang-orang yang telah menerima duit turus
tersebut yang akan menjadi saksi. Maksud adanya Duit Turus ini adalah sebagai tanda bahwa
mereka yang menerima uang itu telah menyaksikan ikatan perjanjian perkawinan kedua
mempelai. Selain itu Duit Turus juga merupakan simbol permohonan doa restu kedua
mempelai kepada orang-orang yang menghadiri upacara perkawinan mereka.

Garantung Kuluk Pelek, adalah materi simbolis berupa sebuah gong. simbol bukti ikatan
perkawinan dengan maksud agar kedua mempelai senantiasa ingat dan menyadari akan arti
perkawinan itu serta ingat akan janji yang telah mereka ikrarkan. Garantung Kuluk Pelek juga
menyimbolkan kewibawaan seorang suami, dimana kewibawaan inilah yang diharapkan oleh
seorang wanita dari seorang suami dalam membina kehidupan berumahtangga. Makna lain
dari gong adalah sebagai meluruskan jalan kehidupan bagi kedua mempelai bahwa
perkawinan itu bertujuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia.

Lamiang Turus Pelek, adalah materi simbolis berupa sepucuk Lamiang (manik batu agate),
dimana syarat ini tidak dapat digantikan dengan barang lain. Lamiang Turus Pelek ini
merupakan saksi janji mempelai berdua kepada semua sanak keluarga dan semua ahli waris
tentang tulusnya cinta mereka berdua untuk membangun rumah tangga. Lamiang Turus Pelek
merupakan tonggak pertama pada saat orang melaksanakan Pelek perkawinan. Lamiang
Turus Pelek ini merupakan suatu tanda perjanjian kedua mempelai yang secara sadar bahwa
mereka akan membina rumah tangga mereka ibarat Turusnya berupa Lamiang yang ada
dengan hati jernih, saling mencintai, mengerti satu sama lain, saling bantu membantu dalam
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan berumah tangga.

Pinggan Pananan Pahanjean Kuman, adalah materi simbolis berupa seperangkat peralatan
makan bagi kedua mempelai. Pinggan Pananan Pahanjean Kuman ini merupakan simbol
untung ukur tuah hambit (rejeki) kedua mempelai yang bersama-sama dalam membangun
rumah tangga dengan satu rasa, satu hati dan tanggung jawab bersama dalam menjalani pahit
manis kehidupan secara bersama-sama.

Jangkut Amak, adalah materi simbolis berupa peralatan tidur kedua mempelai. Jangkut
Amak ini melambangkan seorang pria untuk memasuki kehidupan berumah tangga.

Rapin Tuak, adalah materi simbolis berupa minuman tuak dengan jumlah seperlunya yang
akan digunakan pada saat acara Haluang Hapelek. Rapin Tua kini merupakan simbol luapan
kegembiraan atas perkawinan yang akan berlangsung sehingga dibagikan kepada para
undangan yang hadir pada saat Haluang Hapelek namun hanya dalam jumlah yang terbatas.

Bulau Ngandung, merupakan biaya pesta perkawinan yang berfungsi untuk menyiapkan
jamuan bagi para kerabat dan tamu undangan yang datang memberikan doa restu atas
perkawinan. Bulau Ngandung ini merupakan ungkapan terima kasih atas doa restu semua
sahabat, sanak keluarga kedua belah pihak dan para undangan serta sebagai ungkapan syukur
dan terima kasih kepada Tuhan atas anugerahnya sehingga perkawinan tersebut dapat
berlangsung.

Batu Kaja, adalah materi simbolis berupa benda adat seperti gong atau bisa juga emas murni
yang beratnya ditentukan berdasarkan kesepakatan ataupun berupa barang berharga lainnya.
Batu Kaja ini dibayar pada saat upacara Pakaja Manantu. Batu Kaja ini bukan dari mempelai
laki-laki melainkan dari orang tua mempelai laki-lakinya. Batu kaja merupakan ungkapan
rasa bahagia dan wujud cinta kasih orang tua mempelai laki-laki terhadap menantunya yang
bersedia menerima anaknya sebagi seorang suami dan bersedia merawat serta sampai
mengasuh cucu-cucu mereka nantinya.

Seperti itulah ke-16 (enam belas) butir Jalan Hadat dalam upacara perkawinan pada
masyarakat suku Dayak Ngaju yang harus diwujudkan dengan nyata, dapat didengar, dilihat
dan dirasakan sebagai benda simbolis sikap moral. Dimana sebenarnya bukan jumlah satuan
materinya yang menjadi sasaran penting melainkan yang lebih utama adalah nilai etika
tingkah laku manusianya yang diharapkan tercipta dari penerapan Jalan Hadat tersebut.
Karena pada dasarnya materi simbolis berupa Jalan Hadat ini merupakan bentuk sikap moral
kesopanan seorang laki-laki terhadap perempuan dan keluarganya.

Sebuah perkawinan yang ideal menurut Pelek Rujin Pangawin (Pedoman dasar perkawinan)
Indu Sangumang dan ketentuan-ketentuan yang disebut dengan ketentuan adat kawin.
Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah :

Orang kawin harus sesuai garis keturunannya

Dalam perkawinan Dayak, pihak laki-laki yang datang ke rumah pihak perempuan
dan membayar Palakuyaitu mas kawin

Pihak wanita yang menerima harus mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan
pihak laki-laki.

Laki-laki dan perempuan yang menjadi suami istri mempunyai hak dan tanggung
jawab yang sama terhadap pembinaan rumah tangga dan keturunan.
Pihak yang menimbulkan perceraian atas perkawinannya harus menanggung dan
mengganti kerugian perkawinan. (Tim Penyusun, 1998 : 9-10)

Jalan Hadat secara umum bermakna sebagai pengikat antara suami istri yang tidak bisa
diputus, karena jika Jalan Hadat tidak dibayarkan, maka tidak adanya Surat Perjanjian Kawin,
dengan demikian tidak adanya sebuah perkawinan. Dengan adanya isyarat-isyarat adat
berupa adanya Jalan Hadat dalam upacara perkawinan ini merupakan salah satu upaya untuk
menunjang kelestarian sikap moral dalam rangka membangun diri manusia dan menjaga
keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.

Pembayaran 16 (enam belas) butir materi simbolis sikap moral etika dalam Jalan Hadat
adalah menuntut pihak pengantin laki-laki mematuhi norma terhadap keluarga pihak
pengantin perempuan dan ikrar untuk menjaga keutuhan rumahtangga yang akan dibangun
yang dilakukan dengan disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang dalam hal ini
dimanifestasikan dengan Kameluh Putir Santang (dalam ritual agama Hindu Kaharingan),
para leluhur dan masyarakat.

Dari keseluruhan Jalan Hadat tersebut ada yang bermakna khusus bagi kedua mempelai itu
sendiri, bagi keluarga maupun masyarakat, yaitu :

Pembayaran Tutup Uwan, Sinjang Entang, Pakaian Sinde Mendeng, Saput, Lapik
Luang, Bulau Ngandung, Duit Turus di atas merupakan suatu simbol yang bermakna
sikap sopan santun atau penghormatan penganten laki-laki dan keluarganya terhadap
keluarga dekat, keluarga jauh pihak penganten perempuan serta masyarakat yang
diundang menghadiri upacara perkawinannya.

Sedangkan pembayaran Palaku, Garantung Kuluk Pelek, Lamiang Turus Pelek, Bulau
Singah Pelek, Duit Lapik Ruji, Pinggan Pananan Pahanjean Kuman dan Jangkut Amak
merupakan perlambang ikrar dan tekad kedua penganten tersebut untuk membentuk
keluarga rumah tangga yang sejahtera dan harmonis.
Prosesi Paska Perkawinan Suku Dayak Ngaju

Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi pasca
perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai, yaitu :

1. Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang
dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda
berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan,
kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau
paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka.

Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :

Melakukan hubungan suami istri


Mengadakan perjalanan jauh

Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu ditandai
dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawar oleh kedua
orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.

2. Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)


Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara
ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa
syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.

Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang merupakan bagian dari
Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya disebutkan tetapi tidak
diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu, maka selesailah rangkaian upacara
yang terkait dengan perkawinan.
Nilai-nilai suci dan luhur yang terkandung dalam ajaran tentang perkawinan memberikan
pelajaran yang berharga bagi masyarakat suku Dayak Ngaju dalam menjalani kehidupan.
Karena hahekat perkawinan tidak hanya merupakan dorongan biologis saja, akan tetapi lebih
tinggi lagi yaitu tuntutan psikologis untuk mendapatkan keturunan dan membangun diri
manusia secara utuh. Karena dalam upacara perkawinan memberikan nilai yang baik yaitu
mendidik dalam mewujudkan cita-cita dan kebahagiaan hidup.

Demikian juga halnya dengan pemberlakuan Jalan Hadat dalam perkawinan masyarakat suku
Dayak Ngaju yang inti utamanya adalah bagaimana mengajarkan sikap moral dalam
membentuk rumah tangga atau dalam perkawinan. Sikap dan perilaku yang baik perlu
dipertahankan dan ditingkatkan adalah berkata secara jujur dan bertindak secara layak dan
pantas agar menjadi paradigma moral bagi sesama yang lain, terutama bagi generasi muda
yang belum matang dan masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata
lain harus ada persesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Dengan mempertahankan
hubungan hubungan sosial yang selaras. Diharapkan pula bahwa mereka selalu berupaya
untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perbuatan tercela, terutama tidak melakukan
hubungan seksual diluar nikah agar pelaksanaan upacara sebuah perkawinan bukan hanya
merupakan sebuah simbol saja.

Kewajiban bagi seorang mempelai laki-laki untuk membayar Jalan Hadat bagi mempelai
perempuan dalam perkawinan pada suku Dayak Ngaju juga mencerminkan bahwa dalam
kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju perempuan begitu dihormati, sehingga tidak boleh
diperlakukan sembarangan. Dalam memperoleh seorang perempuan sebagai istri, seorang
laki-laki harus mempunyai dan menerapkan nilai-nilai etika moralitas terhadap perempuan
dan keluarganya. Melalui penerapan Jalan Hadat ini kita dididik agar bisa menghargai,
menyayangi dan menghormati orang lain.

Penerapan Jalan Hadat dalam upacara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju,sesungguhnya


yang menjadi intinya adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin antara keluarga
luas dari pihak-pihak yang bersangkutan serta menunjang kelestarian sikap moral dalam
rangka membangun diri manusia dan menjaga keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan,
sesama dan lingkungan.
Sumber :

https://ekapalangka.wordpress.com/2011/05/26/upacara-perkawinan-masyarakat-
suku-dayak-ngaju-dalam-kajian-agama-dan-adat/
http://manggatangutustarung.blogspot.co.id/2014/07/jalan-hadat-perkawinan-sebagai-
refleksi.html

Anda mungkin juga menyukai