Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Banten merupakan salah satu bumi intelektualitas yang banyak melahirkan ulama ilmiah
dan pejuang. Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten, menjadi salah satu contoh
teladan bagi kemajuan perkembangan gerakan keagamaan Islam di Indonesia. Keulamaan beliau
sangat dihormati oleh kalangan tokoh-tokoh Islam Indonesia pada abad ke-18, tidak pelak lagi,
banyak murid yang dulu berguru kepadanya menjadi tokoh yang punya pengaruh besar di
Nusantara.
Banten tidak hanya dikenal dengan Tokoh keulamaannya, tetapi Tokoh Intelektualnya
dan segi pewacanaan masa lampau. Daerah ini menyimpan segudang sejarahyang banyak dikaji
oleh peneliti dari dalam maupun mancanegara. Daerah yang dikenal dengan permainan
tradisional debusnya ini, banyak sekali dibahas dalam literatur-literatur asing.
Kekhasan dan keunikan sumber sejarah Banten yang beraneka ragam tidak bisa lepas dari
letak geografis yang berada di ujung barat Pulau Jawa dan berbatasan Pulau Sumatera dengan
Selat Sunda sebagai pemisah kedua wilayah. Letak geografisnya menjadikan Banten -meminjam
istilah Guillot- termasuk ke dalam “dua dunia” yaitu Jawa dan Sumatera yang keduanya
memiliki perbedaan mendasar.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Banten ?
2. Apa saja peranan mereka ?

C. Tujuan

1. Mengetahui siapa Tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan Banten.


2. Mengetahui Apa saja peranan mereka.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sultan Maulana Hasanudin


Tersebutlah seorang tokoh penyebar agama Islam di Banten bernama Hasanuddin
dengan gelar Pangeran Sabakingkin atau Seda Kinkin. Gelar tersebut pemberian dari
kakeknya, Prabu Surasowan, yang menjabat sebagai Bupati Banten. Sultan Maulana
Hasanuddin sendiri merupakan putra kedua dari pasangan Nyi Kawung Anten (putri
Prabu Surasowan) dengan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu
dari Sembilan Wali (Walisongo).
Ketika Prabu Surasowan wafat, kedudukannya sebagai Bupati Banten digantikan
oleh putranya bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umum. Pusat pemerintahannya
berkedudukan di Banten Girang (Banten Hulu), yang masih berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, Prabu Pucuk Umum masih menganut agama resmi
Kerajaan Pajajaran yaitu agama Hindu.
Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum, Syekh Syarif Hidayatullah harus
kembali ke Cirebon untuk menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah wafat sebagai
Bupati Cirebon. Sementara itu, Pangeran Hasanuddin lebih memilih menjadi guru agama
Islam dan mendirikan pesantren di Banten. Sejak itulah, ia dikenal sebagai Syekh
Maulana Hasanuddin. Ketenarannya pun telah melampaui kharisma pamannya, Prabu
Pucuk Umum, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis.
Meskipun menetap di Banten, Syekh Maaulana Hasanuddin sering mengunjungi
sang Ayah di Cirebon untuk bersilaturrahmi dan meminta petunjuk. Suatu ketika, ia
mendapat tugas untuk melanjutkan tugas sang Ayah menyebarkan Islam di daerah
Banten. Setibanya di Banten, Syekh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah
ayahnya. Bersama para santrinya, ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai
dari Gunung Pulosari, Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di
Ujung Kulon.
Dalam upaya penyebaran Islam ke seluruh daerah Banten, Syekh Maulana
Hasanuddin tidak jarang mendapat hambatan. Salah satunya datang dari Prabu Pucuk
Umum yang bersikukuh ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) sebagai

2
agama resmi Kerajaan Pajajaran. Di lain pihak, Syekh Maulana Hasanuddin
menginginkan kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan lancar.
Maka, Prabu Pucuk Umum menantang Syekh Maulana Hasanuddin untuk
berperang, namun bukan duel di antara keduanya, melainkan beradu ayam jago. Hal ini
dilakukan demi menghindari jatuhnya banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.
Akhirnya, Syekh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu.
Prabu Pucuk Umum pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Sultan Maulana
Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya
sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga
berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
Setelah itu, Prabu Pucuk Umum berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya
kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau
Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng.
Atas perintah Prabu Pucuk Umum, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan
mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang
Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy. Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk
Umum yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk
Islam di hadapan Syekh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan
bagi Syekh Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas
keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati
Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten
Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa
kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi
negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana
Hasanuddin sebagai sultan pertama.
Pada tahun 1526 M Banten Pesisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan
dan pasukannya, Sultan Maulana Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pesisir,
pada usia 48 tahun. Konon ketika terjadi huru hara, Sultan Maulana Hasanudin dibantu
oleh beberapa pasukannya dari Banten Girang. Kelak dikemudian hari Banten Girang
menggabungkan diri dengan wilayah Banten Pesisir, sehingga praktis Sultan Maulana
Hasanudin menjadi penguasa Banten Pesisir dan Banten Girang. Hampir semua

3
penduduk Banten beralih agama menganut Islam. Ia bernama nobat Panembahan
Hasanudin.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Sultan Maulana Hasanudin
membangun wilayah tersebut sebagai pusat pemerintahan dan administratif. Ia pun
mendirikan istana yang megah yang didberi nama Keraton Surasowan, mengambil nama
kakeknya (Surasowan) yang sangat menyayanginya. Nama Keraton tersebut akhirnya
berkembang menjadi nama kerajaan. Berita ini diabadikan didalam prasasti tembaga
berhuruf Arab yang dibuat oleh Sultan Abdul Nazar (1671-1687), nama resmi kerajaan
Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada tahun 1568 M Susuhunan Jati Wafat, kemudian Penembahan Hasanuddin
memproklamirkan Surasowan sebagai Negara yang merdeka, lepas dan kekuasaan
Cirebon. Panembahan Hasanuddin menikah dengan puteri Indrapura, kemudian
memperoleh putera, bernama Maulana Yusuf. Kelak Maulana Yusuf menggantikan
posisinya sebagai penguasa Banten.
Selain Maulana Yusuf, Panembahan Hasanudin dari istrinya yang kedua, yakni
Ratu Ayu Kirana (puteri sulung Raden Patah Sultan Demak) yang juga sering disebut
Ratu Mas Purnamasidi, Panembahan Hasanudin memperoleh putera, diantaranya Ratu
Winahon, kelak menjadi isteri Tubagus Angke Bupati Jayakarta (Jakarta), dan Pangeran
Arya, yang diangkat anak oleh bibinya, Ratu Kalinyamat, kemudian ia dikenal sebagai
Pangeran Jepara.

B. Sultan Maulana Yusuf


Sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, memerintah tahun 1527-1570. Pada
masa pemerintahan Hasanuddin, kekuasaan Kesultanan Banten diperluas ke Lampung
hingga Sumatera Selatan. Pasca Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten
menunjukkan signifikansi kemajuan sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara.
Sultan Maulana Yusuf, sebagai pengganti ayahnya, memimpin pembangunan
Kesultanan Banten di segala bidang. Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada
pengembangan infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan wilayah,
perdagangan dan pertanian.
Sultan Maulana Yusuf juga mencetuskan sebuah konsep pembangunan
infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya gawe kuta baluwarti bata
kalawan kawis. Sultan Maulana Yusuf membangun pemukiman-pemukiman

4
masyarakat sesuai dengan pembagian penduduk berdasarkan pekerjaan, status dalam
pemerintahan, ras dan sosial ekonomi. Kampung Kasunyatan merupakan salah satu
pemukiman yang dibangun bagi kaum ulama. Sesuai dengan namanya kampung ini
merupakan pusat pembelajaran agama Islam masa Sultan Maulana Yusuf, bahkan
sampai sekarang.

Pada masa pemerintahannya pendidikan agama, pembangunan kota, keamananan


dan pertanian juga mendapat prioritas. Pada masanya juga dibuatnya peraturan
penempatan penduduk berdasarkan keahliannya dan asal daerahnya. Perkampungan
untuk orang asing biasanya ditempatkan diluar tembok kota. seperti Kampung Pakojan
terletak disebelah barat pasar Karangantu, untuk para pedagang dari Timur Tengah,
Pecinan terletak disebalh barat Masjid Agung, untuk para pedagang dari Cina.Kampung
Panjunan (Untuk para Tukang Belanga, gerabah, periuk dsb), Kampung Kepandean
(Untuk tukang Pandai besi), Kampung Pangukiran (Untuk Tukang Ukir), Kampung
Pagongan (Untuk tukang gong), Kampung Sukadiri (Untuk para pembuat senjata).
Demikian pula untuk golongan sosial tertentu, misalkan Kademangan (untuk para
demang), Kefakihan (Untuk para ahli Fiqih), Kesatrian (Untuk para Satria, perwira,
Senopati dan prajurit istana).
Pengelempokan pemukiman ini selain dimaksudkan untuk kerapihan dan
keserasian kota, dan untuk keamanan kota. Tembok kota pun diperkuat dengan
membuat parit-parit disekelilingnyaerbaikan Masjid Agung Pun dikerjakannya, dan
sebagai kelengkapan dibangun sebuah menara dengan bantuan Cek Ban Cut arsitek
muslim asal Mongolia.
Pada masanya pertanian juga mendapat perhatain yang besar. Dasmping
membuka persawahan baru, juga didukung dengan pembuatan terusan-terusan,
bendungan-bendungan atau danau buatan yang disebut tasikardi, untuk suplay pertanian
dan air bersih kota.

C. Sultan Ageng Tirtayasa


Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar
Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar

5
Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat
sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdulfath Abdulfatah.
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683.
Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan
perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian
Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan
terbuka.Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan
Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang
keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Satu tahun setelah pengangkatan Pangeran Surya menjadi Sultan Anom, yaitu
pada tahun 1651, penguasa Kesultanan Surosowan Banten dilanjutkan oleh cucunya.
Yaitu Pangeran Surya alias Pangeran Ratu.
Pangeran Surya melanjutkan hubungan internasional dengan dunia luar, terutama
dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah. Pangeran Surya mengutus
beberapa pembesar kerajaan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sambil
memberitakan pergantian pimpinan di Kesultanan Surosowan Banten dan dunia
perdagangan di Nusantara. Sepulang dari tanah suci Mekah, delegasi Kesultanan
Surosowan Banten membawa gelar dari Syekh Mekah untuk Pangeran Surya atau
Pangeran Ratu, dengan sebutan Sultan Abdulfath Abdulfatah.
Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, Sultan Abdulfatah dibantu
oleh saudara-saudara dan kaum kerabatnya sebagai pejabat tinggi Negara. 4 saudara
kandungnya antara lain, yaitu:
1. Pangeran Kilen
2. Ratu Kulon
3. Pangeran Lor; dan
4. Pangeran Raja

Serta 4 orang saudara seayah, yaitu:


1. Pangeran Wetan
2. Pangeran Kidul

6
3. Ratu Inten; dan
4. Ratu Tinumpuk

Sebagaimana kakeknya (Sultan Abdulmafakhir), Sultan Abdulfatah sangat besar


perhatian terhadap kesejahteraan hidup rakyat, sehingga ia sering berkeliling ke daerah-
daerah untuk melihat sendiri kehidupan penduduknya. Begitu juga dalam menghadapi
pedagang asing, Sultan Abdulfatah bersikap sama dengan para pendahulunya, yang
selalu tegas menolak setiap tuntutan monopoli. Meskipun Pelabuhan Banten terbuka
bagi semua pedagang, dari manapun asalnya, akan tetapi kegiatan perdagangan harus
dilakukan dengan jujur.
Peristiwa sejarah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa tercatat sebagai Pahlawan
Keprajuritan Nasional. Karena nilai-nilai kepahlawanannya telah memenuhi berbagai
macam kriteria. Diantaranya adalah:
1. Mengandung semangat keprajuritan nasional Indonesia
2. Merupakan perjuangan pembelaan Negara (bangsa dan tanah air) termasuk
perjuangan mempertahankan dan memelihara keamanan Negara
3. Merupakan perjuangan menentang kekuasaan asing yang menjajah
4. Meliputi peristiwa yang terjadi dan tokoh yang hidup dalam periode antara
abad ke-7 sampai dengan abad ke-19 Masehi
5. Hasil pertimbangan yang baik dari segi historis, politis, psikologis, edukatif,
artistic dan lain-lain.
D. K.H Sjam’un
K.H. Syam'un (lahir di Cilegon, Banten, 5 April 1894 - meninggal di Serang,
Banten, 1949) adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan
Hindia Belanda di Banten.Brigjen KH. Syam’un adalah pendiri Perguruan Tinggi Islam
Al-Khairiyah Citangkil, Kota Cilegon. Beliau lahir pada 5 April 1894 dari pasangan taat
beragama H. Alwiyan dan Hj. Hajar. Brigjen KH. Syam’un masih keturunan dari KH.
Wasid tokoh “Geger Cilegon” 1888 (perjuangan melawan Pemerintah Kolonial Belanda).
Pada umur 11 Tahun, KH. Syam’un melanjutkan studi ke Mekkah (1905-1910)
dan berguru di Masjid Al-Haram tempat ahli-ahli ke-Islaman terbaik di dunia berkumpul

7
membagi ilmu. Pendidikan akademinya dilalui di Al-Azhar University Cairo Mesir
(1910-1915).
KH. Syam’un pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), sebuah
gerakan pemuda bentukan Jepang. Dalam PETA, jabatan KH. Syam’un adalah Dai Dan
Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA wilayah Serang.
Selama menjadi Dai Dan Tyo KH. Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk
memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Keterlibatan KH. Syam’un dalam
dunia militer mengantarkannya menjadi pimpinan Brigade I Tirtayasa Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian
berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi.
Dengan Pangkat terakhir Brigadir Jenderal (Brigjen), karier KH. Syam’un
diketentaraan terbilang gemilang hingga diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-
1949.Pada Tahun 1948 meletus Agresi Militer Belanda II yang mengharuskan KH.
Syam’un bergerilya dari Gunung Karang Kab. Pandeglang hingga kampung Kamasan
Kecamatan Cinangka Kab. Serang.Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya
KH. Jasim. Di Kampung ini juga, Brigjen KH. Syam’un meninggal pada Tahun 1949
karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.
Pada saat Sjam’un pulang dari Mekah, latar belakang pendidikan modern yang
didapatkannya di Universitas Al-azhar Kairo Mesir mengilhaminya untuk mengubah
sistem pendidikan pesantren sorogan dan bandongan ke sistem pendidikan klasikal
(madrasy) sebagaimana dilakukan di Al-azhar. Tepatnya pada tanggal 12 Syawal 1343 H,
K.H Sjam’un mengubah sistem pesantren menjadi madrasah yang diberi nama
“Madrasah Al-Khairiyah” di pesantren, diajarkan bagaimana cara menghitung, menulis,
membaca, sejarah, ilmu bumi, bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Belanda untuk
menambah pengetahuan wawasan mereka tentang diri dan dunia. Kemudian santri juga
diajarkan bagaimana cara untuk berorganisasi dan menyadarkan mereka tentang adanya
penderitaan berjuta-juta rakyat di Indonesia. Santri juga harus sanggup berfikir merdeka
dan mencari jalan sendiri. Pelajaran berorganisasi merupakan pelajaran tersendiri yang
besar artinya untuk mendidik solidaritas mereka.

E. Arsyad Thawil

8
Arsyad Thawil lahir di desa Lempuyang, kecamatan Tanara, Serang, sekitar tahun
1851. Ayahnya seorang ulama besar yang bernama Imam Asy’ad, yang juga seorang
pemilik pesantren di Tanara dan memiliki santri yang cukup banyak.
Sebagaimana ulama Banten lainnya pada masa iti, Arsyad Thawil sejak masih
mudanya banyak berguru kepada para ulama besar. Bahkan sekitar 1867 disaat masih
berusia 16 tahun, Arsyad sudah berguru kepada Syekh Abdul Gani asal Bima, seorang
ulama mahsyur pada kala itu.
Pada saat kepulangan Arsyad ke tanah air, ia banyak menjalin hubungan dengan
ulama-ulama asal Banten lainnya, termasuk Kiai Ismail dan K.H Wasyid, pemimpin
pemberontakan Geger Cilegon. Pada waktu itu masyarakat Banten tengah diliputi
semangat pemberontakan melawan Belanda, maka bersama sahabatnya seaktu di Mekah,
K.H Wasyid, Arsyad Thawil terlibat dalam berbagai rapat pertemuan guna
mempersiapkan perlawanan, hingga akhirnya pecahlah peristiwa Geger Cilegon.
Akibat pemberontakan ini, selain banyak menimbulkan korban di kedua belah
pihak, sekitar 100 orang pejuang ditangkap dan diasingkan dengan cara dibuang ke
berbagai daerah di Indonesia. Ardhad Thawil adalah salah satu yang berhasil ditangkap,
dan kemudian dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.
Setelah tertangkap, Arshad Thawil dibuang ke Airmadidi, Minahasa. Disana ia
menikahi seorang wanita beranak satu dari keluarga Runtu, yang dengan sukarela
memilih masuk Islam. Liena Runtu dan anaknya Maria Runtu masuk Islam dengan nama
baru masing-masing Tarhimah dan Maryam. Pada saat masa penahanannya di Manado,
Arshad memanfaatkannya untuk mengajar dan membimbing mereka yang ingin
mempelajari agama Islam. Tata cara ibadah, seperti shalat, berwudhu, membaca al-
Qur’an, hadis dan tauhid, fikih, tafsir dan lain-lain. Untuk kepentingan pengajaran ini, ia
kemudian memimpin madrasah Mursyid al-Awlad yang terletak dikampung Arab pada
tahun 1907.

F. Nyimas Melati
Uyut arja winangun bersama teurusmi/eyang istri ti legok jawa pindah ka ci rebon di
cirebon mempunyai putri bernama nurhayati, nini nurhayati dari kecil di titipkan di jaksa
pamutus cisimet rangkas banten, nini nurhayati semasa kecil dengan sebutan wanita yang

9
tidak ada ibunya, setelah remaja putri nini nurhayati julukan nyai ronggeng, pada saat
nini nurhayati menimba ilmu dari orang tua angkatnya eyang jaksa pamutus, di beri tugas
untuk bersemedi di gunung karang selama 7 tahun.

Setelah eyang jaksa pamutus wapat,nini nurhayati pindah ke kosambi lawang


tegal amba tenjo ayu cipanjang tirtayasa bersama mama yusup belajar ilmu pengetahuan
dan ilmu ajaran islam di tugaskan oleh mama yusup untuk bersemedi di daerah bunar
balaraja tangerang banten,saat bermeditasi di bunar di kenal dengan nama nyimas
melati,karena saat bermeditasi sering memakai bunga melati sebagai pewangi dirinya,nini
nurhayati atau nyimas melati stelah bermeditasi di bunar,kembali ke kosambi lawang
tegal amba tirtayasa banten,tinggal bersama mama yusuf di kosambi lawang,nini
nurhayati menanam pohon gebang sebagai ciri tinggal di kosambi lawang yang di tanam
nini nurhayati di kosambilawang disebut gebang gede,nini nurhayati di beri tugas
kembali oleh mama yusup untuk bersemedi di pulo cangkir.

Nini nurhayati di pulo cangkir menanam pohon gebang sebagai tanda bersemedi
dan pernah tinggal di pulo cangkir selama 17 bulan. Setelah dari pulo cangkir nyimas
melati kembali ke kosambi lawang.Nini nurhayati setelah menikah pindah ke cigebug
pakupatan serang,nini nurhayati mempunyai putra iyas,tempat tinggal dicigeb ug,patullah
tinggal di renged kresek tangerang banten nini nurhayati dari cigebug pindah ke bale
kambang gaga durin bayawakan kronjo tangerang bersama haji dayim.Nini nurhayati
bermeditasi sering berpindah pindah tempat’tempat yang ia tempati sudah 99 kali. Itulah
sekilas perjalanan nini nurhayati.

G. Maria ulfah

Mr. Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah
Soebadio Sastrosatomo (lahir di Serang, Banten, 18 Agustus 1911 – meninggal di Jakarta,
15 April 1988 pada umur 76 tahun) atau dahulu dikenal sebagai Maria Ulfah Santoso
adalah salah satu mantan Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II. Nama Santoso diambil
dari nama suami pertama dan nama Soebadio Sastrosatomo diambil dari nama suami
kedua setelah suami pertama meninggal dunia. Ia adalah perempuan Indonesia pertama

10
yang meraih gelar sarjana hukum, memangku jabatan menteri dan anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Ia memulai kariernya sebagai tenaga honorer bagian perundang-
undangan Kabupaten Cirebon. Ia juga menjadi guru AMS Muhammadiyah Jakarta pada
tahun 1943.

Selama pendudukan Jepang ia bekerja di Departemen Kehakiman, kemudian


pindah ke Departemen Luar Negeri. Pada tahun 1946, setahus setelah Deklarasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, Subadio diangkat menjadi Menteri Sosial dalam
Kabinet Sjahrir. Pada tahun 1946-2947, ia menjabat sebagai sekretaris Perdana
Menteri/Dewan Menteri di Jakarta. Pada tahun 1950-1961, Subadio menjadi ketua Panitia
Sensor Film di Jakarta. Selain jabatan tetapnya itu, ia aktif dalam mengikuti kongres-
kongres yang diselenggarakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun
1968, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Untuk jasa-
jasanya, Maria Ulfah Subadio dianugerahi penghargaan Satya Lencana Karya Satya
Tingkat II pada tahun 1961; Bintang Maha Putera Utama (1973). Semasa hidupnya
Subadio menikah dua kali, yang pertama dengan Mr. Santoso (1848), dan dengan
Soebadio Sastrosatomo yang aktif dalam gerakan kemerdekaan Republik Indonesia,
anggota KNIP, Parlemen Republik Indonesia Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara, dan DPR hasil Pemilu.

H. Armin Abuya

Armin, Abuya (1880-1988) bernama lengkap Muhammad Hasan Armin. Ia anak


ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertama beliau bernama Ki Ramani dan yang kedua
bernama Kin Adam, putra dari pasangan KH. Tohiri dengan Hj. Siti Sopiyah. Ketika
berusia sekita 15 tahun, ia ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya, dan tinggal bersama
ayah angkatnya yang bernama KH. Sidiq yang bertempat tinggal di Kadu Jami Menes
Pandeglang.

KH. Muhammad Hasan Armin menikah dengan Hj. Siti Romlah dan mempunyai
satu orang putri yang bernama Hj. Siti Julailah. Kemudian ia menikah dengan Hj. Siti
Aisyah dan mempunyai lima orang anak; Hj. Siti Mariam, H. Asep Damanhuri, Hj. Siti

11
Fatum, Hj. Siti Sa’idah , dan H. Sihabuddin. Setalah Hj. Siti Aisayah wafat, ia menikah
dengan Hj. Siti Hamidah. Namun pernikahan yang terakhir ini tidak dikaruniai anak.

Abuya Armin wafat pada malam rabu pukul 03.00 menjelang subuh tahun 1988
ketika berusia 108 tahun. Lokasi makam Abuya Armin terletak dibelakang mesjid
Cibuntu tidak jauh dari tempat kediamannya. Makamnya berdampingan dengan makam
istrinya, Hj. Siti Aisyah dan salah satu anaknya, H. Sihabuddin. Abuya Armin dapat
disebut dengan Tokoh Intelektual karena ia memiliki kelebihan salah satunya ia memiliki
Ilmu Hikmah yang berarti suatu amalan spiritual yang berupa ayat Al-Qur’an, doa-doa
tertentu, hizib atau mantra-mantara suci yang berbahasa suci berbahasa Arab dan
diimbangi dengan laku batin untuk mendekatkan diri kepada Allah yang mermbersihka
jiwa dari berbagai penyakit dan sebgai (popularitas) Abuya Armin pada saat itu dan ia
mengajarkan kepada setiap santri nya di pesantren maupun tamu yang datang kepadanya.

 Pesantren dan Pengajaran Ilmu Hikmah


Setelah selesai berkeliling di jazira Arab, ia kembali ke kampung halamannya dan
melanjutkan kepengurusan sebuah pesantren, warisan dari orang tuanya. Di pesantren ini
lah selain mengjar para santri yang jumlahnya mencapai 40 orang, ia juga mengajarkan
Ilmu Hikmah kepada mereka dan kepada para tamu yang dating kepadanya.

Semasa ia hidup, bayak pejabat-pejabat tinggi yang dating kepadanya untuk


meminta saran. Ceritakan bahwa Gubernur Jakarta tahun 1970-an, Ali Sadikin
mendatangi pesantren Cibuntu untuk mendapatkan saran tentang bagaimana Ali Sadikin
dapat membangun Kota Jakarta sementara dana APBD-nya tidak mencukupi. Sambil
bergurau Ali Sadikin bertanya apakah dibenarka bila ia menggunakan dana hasil judi:
Abuya Armin menolah usulan tersebut da mengajukan usul untuk mencetak uang saja.
Konon katanya Ali Sadikin mengikuti saran dari Abuya Armin. Alhamdulillah Ali
Sadikin-pun berhasil membangun Kota Jakarta (Milah, 2014).

I. Syekh Nawawi
Jika Suriah memiliki seorang ulama besar yang memiliki nama lengkap Abu
Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi dan dikenal dengan Imam
Nawawi, disebut Nawawi karena ia berasal dari kota Nawa. Indonesia pun memiliki

12
ulama yang namanya mirip dengan ulama tadi yaitu Syekh Nawawi al-Bantani. Alasan
pasti penamaan Nawawi pada sosok ulama yang memiliki nama lengkap Abu Abd al-
Mu’ti Muhammad bin Umar al-Tanara al-Bantani. Yang dimana di dapati kata al-Tanara
adalah penyandaran pada kampung kelahirannya, yaitu Tanara. Sedangkan al-Bantani
adalah nama kota dimana Syekh Nawawi dilahirkan (Milah, 2014).
Syekh Nawawi juga dikenal sebagai Bapak Gerakan Intelektual Islam di
Nusantara. Kemunculan Tafsir al-Munir menandakan adanya perkembangan penulisan
tafsir di Indonesia sampai abad ke-19. Terdapat tiga nama yang diberikan Syekh Nawawi
pada tafsirnya cetakan Beirut yang diterbitkan tahun 1981, yaitu Marah Labid, Tafsir al-
Munir pertama kali ditulis oleh Syeh Nawawi pada tahun 1860-an dan selesai pada hari
Selasa malam Rabu 5Rabiulo Awal 1305 H (1844 M), yang berarti proses
penggarapannya berlangsung selama 15 tahunan. Sesuai dengan kebiasaanya dalam
menulis, Syeh Nawawi menyodorkan karya tafsirnya itu kepada ulama-ulama Mekkah
untuk diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak. Percetakan ulang yang dilakukan Halabi
(Kairo) terdiri dari dua jilid dengan kira-kira 500 Halaman tiap jilidnya. Jilid yang
pertama dimulai dari surat al-Fatiah sampai dengan asal surat al-Kahfi, sedangkan jilid
dua dimulai dari lanjutan surat al-Kahfi sampai dengan surat an-Nas (Milah, 2014).
Syeh Nawawi Al-Bantani merupakan salah satu ulama dan cendekiawan muslim
yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Nusantara dan bahkan sampai
sekarang melalui generasi, pengikut dan tulisannya. Syekh Nawawi al-Bantani adalah
penulis yang sangat produktif dan ulama yang memiliki pengetahuan multidimensi.
Menurut catatan beberapa muridnya dan generasi murid selanjutnya, tidak kurang dari
115 karya yang ditulisnya dalam berbagai cabang ilmu keislaman. Melalui kitab-
kitabnya, ia mereflesikan pandangan posisi teratas kita-kitab paling berpengaruh dalam
kurikulum pesantren-pesantren di Nusantara maupun majelis-majelis keilmuan Islam
lainnya hingga kini. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ulama dan pemikir yang
memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan
berkomitmen kuat bagi perjuangan umat islam. Dan ini terbukti dalam menghadapi
pemerintahan colonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi
tetap menentang keras kerjasama dengan colonial dam bentuk apapun. Ia lebih suka

13
memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam
rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT (Milah, 2014).
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari
100 judul, meliputi berbagai ilmu disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah,
syari’ah, tafsir dan lainnya. Dengan bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis,
dan bahasa arab, pembahasan-pembahasan dalam kitab-kitabnya itu kadangkala dalam
satu kitab terdapat banyak bidang. Karena itu bidang bahaasn ilmu fiqih dalam karya-
karya al-Syekh Muhammad Nawawi, tidak hanya terdapat dalam kitab yang secara nyata
menampilkan judul fiqh. Untuk melihat kualitas pemikiran fiqh al-Syekh Muhammad
Nawawi yang tertuang dalam karya-karya yang hamper seluruhnya berbentuk syarah,
perlu dilihat kualitas setiap karyanya itu (Milah, 2014). Seperti :
a) Kasyifah al-Saja
Kitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa
al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syekh Slam ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fiquh
dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mahzab Imam al-Syafi’i.
Meskipun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian tentang ushul al-din
dan al-fiqih, namun ternyata dalam isi-nya jauh lebih banyak bidang fiqhnya. Bahasan
dalam kitab ini dipilah-pilah pada bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2
fasal yang pertama yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tahlil. Selebihnya, yaitu
63 fasal, adalahbidang fiqh, yang dimulai dengan tanda-tanda kedwasaan (baligh), dan
diakhiri dengan uraian tentang puasa (Milah, 2014).

b) Sulam al-Munajat
Kitab Sulam al-Munajat adalah syarah atas kitab (matan) Safinah al-Shalah karya
al-Sayid ‘Abd Allah bin ‘Umar al-Hadrami. Kitab Safinah al-Shalah berisi tuntunan
dengan pelaksanaan shalat, menurut mahzab Imam al-Syafi’i. Mengenai sistematika
isinya, kitab matan ini terdiri atas tiga bagian yaitu, pendahuluan, isi, dan penutup.
Pendahuluan berisi hamdalah dan shalawat; isi, meliputi dua bagian yaitu, akidah (makna
kalimat Syahadatain), dan tuntunan shalat; sedang penutup berisi shalawat. Melihat porsi
isi kitab tersebut, tepatlah dikatakan, kitab itu kitab fiqih. Karena singkatnya uraian, maka
dalam buku itu tidak menunjukkan dalil-dalil, masalah-masalah, dan alternatif-alternatif

14
yang mungkin ada di luar tuntunan shalat itu sekalipun masih dalam lingkungan mahzab
Imam al-Syafi’I (Milah, 2014).

c) Al-Simar al-Yani’at Fi al-Riyad al-Badi’at


Al-Syeikh Muhammad Hasba Allah ibn Sulaiman menulis kitab yang ia sebut
mukhtashar, yang kemudian diberi nama al-Riyad al-Badi’at fi Ushul al-Din wa Ba’ad
Furu’ al-Syari’at ‘ala al-Imam al-Syafi’i. Kitab kecil inilah yang kemudian disyarahi oleh
al-Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi sebuah kitab yang diberi judul al-
Simar al-Yani’at fi al-Riyad al-Badi’at. Atas munculnya pensyarahan ini, kitab al-Riyad
al-Badi’at berate kitab matan. Meskipun kitab matan ini diberi sub judul dengan fi ushul
al-din wa ba’ad furu’ al-syariah yang menggambarkan pembahasan bidang ushul al-din
(aqidah) dan sebagian kecil bidang syari-‘ah, dinyatakan oleh al-Syekh Nawawi,
maksudnya ialah sisi tertentu bidang tasawuf. Ungkapan ini didukung oleh struktur dan
sistemastika matan ini yang sebagian besar membahas bidang fiqh. Dari sistematikanya,
kitab matan membagi uraiannya pada tiga bidang kajian, yaitu bidang aqidah, bidang
fiqh, dan bidang tasawuf. Bidang-bidang tersebut ditempatkan pada bagian-bagian kitab
yaitu, bidang aqidah ditempatkan pada pendahuluan yang sebetulnya merupakan khutbah
al-kitab (muqaddimah); bidang fiqh ditempatkan pada isi (tubuh) kitab; dan bidang
tasawuf ditempatkan pada bagian penutup yang dalam ungkapannya dinyatakan dengan
khatimah (Milah, 2014).
d) ‘Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain
Dalam pengantarnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyatakan bahwa kitab
‘Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain ini adalah syarah atas sebuah risalah
mengenai kehidupan suami istri yang disusun oleh seseorang di antara para nasehat (al-
Nashihin). Al-Syekh Nawawi tidak menjelaskan siapa nama orang dimaksud yang
menyusun risalah itu. Ada kemungkinan, yang dimaksud salah seorang penasehat itu
adalah al-Syekh Muhammad Nawawi sendiri, sebab ketika ia menamai kitab syarah ini,
ia menyebutkan dengan kalimat wasammaituha; (ha) tidak mungkin kembali kepada
kalimat syarah, tapi yang mungkin ialah kepada kalimat al-Risalah. Pada kitab-kitab
syarah yang lain menggunakan kalimat wasammaituhu, dengan menggunakan damir hu.
Dan syarah dimaksud adalah penyempurnaan dari risalah itu sebab risalah yang
disebutkan nya, tidak mempunyai nama, hanya disebutkan subyeknya saja, yaitu

15
persoalan suami isteri (umur al-zawjain). Demikian pula dikatakan oleh al-Yasu’I, bahwa
nawawi adalah pengarang (Milah, 2014).

e) Qami al-Thughyan
Salah satu kitab kecil yang corak pembahasannya menggunakan susunan nazham
dalam bentuk sya’ir, dinamakan oleh penulisnya dengan Syu’ub al-Iman. Penulis
dimaksud ialah al-Syekh Zein al-Din ibn ‘Ali ibn Ahmad al-Malibari. Sya’ir yang
disusun oleh penulisnya sebanyak 26 bait dengan irama bahar al-Kamil. Sebanyak 7 bait
berisi masalah aqidah, 10 bait berisi masalah fiqh, dan 9 bait mengenai tasawuf.
Meskipun dalam jumlah kelihatannya seimbang antar bidang-bidang pembahasannya,
namun sebenarnya bidang fiqih itu lebih besar, karena dalam bidang aqidah dan tasawuf
ternyata ada pembahasan bidang fiqhnya. Kitab inilah yang kemudian disyarahi oleh al-
Syekh Muhammad Nawawi dengan tujuan untuk mempermudah dan memperluas
pembahasan (Milah, 2014).

J. K.H Wasyid
K.H Wasyid lahir dengan nama Qasyid di Grogol tahun 1843. Saat Belanda
mengguncang Banten ia menanggalkan nama Qasyid, perubahan ini dimaksud untuk
menyamar dan mengelabui Belanda. Dikenal sejarah dengan nama K.H. Wasyid. Secara
keturunan ia adalah putra tunggal pasangan Abbad (Putra Sunan Gunung Djati) dan Ny.
Mas Jo Karanah. Saat masih dini ia pun dikenal sebagai anak yang pintar terbukti di umur
4 tahun sudah lancar membaca Al-Qur’an. Setelah menginjak dewasa dia memperdalam
ilmu – ilmu agama kepada ulama. Ia menunaikan ibadah haji setelah belajar banyak
tentang ilmu – ilmu agama, sekembalinya ia dari Mekkah ia mempersunting gadis
kampung Delingsang kecamatan Pulo Merak bernama Nyi Atikah dan dikaruniakan 2
anak yang bernama Siti Hajar dan Yasin (Soetardjo, 2014 : 6).
Selain dikenal sebagai sosok agamis dan ulama, sejarah mencatat bahwa K.H.
Wasyid merupakan salah satu pejuang. Beliau merupakan sosok anti Belanda, terbukti
atas pemberontakannya mengusir Belanda pada tahun 1888 yang dikenal dengan Tragedi
Geger Cilegon. Perlawanan Geger Cilegon dilatar belakangi kesewenang-wenangan
Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan Belanda di Banten.
Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah
yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang

16
menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin,
Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes),
penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi
(Soetardjo, 2014 : 6).
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan
masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin
terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah
rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang
makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap
keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan
sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk
bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak
diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon
berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan
pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain
sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Soetardjo, 2014 : 6).
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan
rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah
dirobohkan menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels.
Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat,
mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang
melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan
terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah
kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat (Soetardjo, 2014 : 6).
Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh Ki Tubagus
Ismail dan KH. Wasyid dan melibatkan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon
membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Insiden ini dilakukan untuk menyerang
orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan
Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski

17
api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat
(Soetardjo, 2014 : 6).
Ki Wasyid yang selanjutnya pemimpin pemberontakan melakukan perang gerilya
hingga ke ujung kulon, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji
Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang
ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang
ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon,
dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang
(Soetardjo, 2014 : 6).

18
Daftar Pustaka

Iskandar, Yoseph. 2001. Sejarah Banten. Jakarta: Tryana Sjam’un Corp.

Malik, Abdul, dkk. 2004. Jejak Ulama Banten. Serang: Biro Humas dan Protokol.

Bachtiar, Machdum. 2014. Kepemimpinan K.H Sjam’un. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Poesponegoro, Marwati, dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional IndonesiaVI.


Jakarta: Balai Pustaka.

Hatta, Mohammad. 1978. Memoir. Jakarta: Tintamas.

A.S, Milah. (2014). Konsepsi semantik syekh nawawi dalam tafsir marah labid.disertai sarjana,
tidak diterbitkan, institut agama islam negeri sultan maulana hasanudin banten, banten.

Soetardjo. 2014. Banten: Sejarah K.H. Wasyid Perang Cilegon. Banten Serang: Biro Humas.

Claude Guillot, Desember 2008. Banten: Sejarah dan Peradaban abad X-XVII

19

Anda mungkin juga menyukai