Anda di halaman 1dari 42

0

STUDI TENTANG MENTAL


PEZIARAH DI MAKAM SUNAN GUNUNG JATI CIREBON

DRS. SUTEJA, M.Ag.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAN) CIREBON


2008 M./1429 H.
1

BAB I
TRADISI ZIARAH KUBUR

A. FENOMENA ZIARAH KE MAKAM WALI


Makam wali adalah kawasan damai di tengah keributan dunia.
Fenomena tradisi ziarah makam para wali senantiasa merepresentasikan
sintesa agama dan konteks kulturnya dalam panorama heteroginitas, yang
sekaligus bermuara menjadi sesuatu yang global dan universal, yakni
pemaknaan orang suci (wali) dan jejak biografinya yang menjadi tempat
suci.
Seperti dengan mudah kita saksikan di makam para wali pada
umumnya, adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang bebas
serta juga tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di
masjid mencerminkan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke
makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup
dalam dunia Islam.
Makam wali, adalah juga tempat pelarian, tempat orang merasa
bebas dari berbagai paksaan, dan tempat merenungkan nasibnya, juga
tempat berlindung sebentar untuk bermacam orang pinggiran: pengemis,
orang cacat badan atau jiwa, pengelana, buronan, dan sebagainya.
Mengesampingkan terlebih dulu sejumlah kritik dan keberatan
terhadap fenomena tradisinya, ziarah ke makam para wali diakui atau
tidak telah membawa ingatan kita pada segenap hubungan antara orang
suci dan tempat suci dalam pemaknaan waktu dan ruangnya. Tak ada
satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar yang tidak
berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci,
sebutlah nabi dan rasul.
Tempat atau tanah suci inilah yang kemudian tak sekadar dipercaya
sebagai kutub dari seluruh kesadaran transenden, namun juga yang
lantas berkaitan dengan ihwal identitas. Penyebaran agama-agama ke
berbagai belahan dunia, sebutlah Islam, telah membuat tanah suci itu
(Mekah) semakin jauh dan mistis, sehingga membuat umatnya
menciptakan tempat-tempat suci baru yang dianggap cerminan dari
tanah suci yang sebenarnya. Karena itulah, sesungguhnya hanya satu
tempat saja yang ditunjuk oleh sejarah sebagai tanah suci, tetapi umat
terus memperbanyak jumlah itu, sambil menyucikan negerinya
masing-masing dan menciptakan peta kesucian baru.
Proses penghadiran peta kesucian baru ini meniscayakan
hubungannya dengan identitas pengeramatan manusia yang kemudian
tersebut sebagai wali. Oleh karena dalam Islam tidak ada lembaga yang
bertugas mengesahkan kewalian, maka masyarakatlah yang
mengangkatnya menjadi wali yang erat kaitannya dengan jaringan
kehidupan tarekat serta yang secara genealogis merujuk pada Nabi
2

Muhammad saw. sebagai kutub dari seluruh identifikasi orang suci. Para
wali tentu saja merupakan pewaris spiritual Rasulullah, akan tetapi
mereka bukanlah jembatan langsung dengan nabi yang didambakan itu.
Oleh karena itu, setiap golongan manusia mereka-reka berbagai
silsilah buatan guna menghubungkan para wali mereka langsung dengan
Rasulullah saw. Para wali membentuk sebuah jaringan rantai panjang
yang melalui fenomena peng-keramatan-nya, menghubungkan para
peziarah dengan sang penerima wahyu Ilahi. Setiap wali akhirnya
menjadi leluhur baru buat satu marga, satu desa, satu daerah, bahkan satu
bangsa.
Tradisi ziarah makam para wali adalah sebuah kontrol atas waktu,
sifat moral tradisi erat-terkait dengan proses interpretatif, di mana masa
lalu dan masa sekarang dihubungkan. Waktu, bahkan juga ruang, dalam
ritus ziarah, dikontrol melalui kesadaran atas proses penghadiran sosok
wali. Seorang wali dan makamnya yang dikeramatkan, ”dibentuk”
menjadi mediator antara hari ini dan masa lalu, antara orang kebanyakan
dan Rasulullah saw. sebagai kutub dari kesadaran atas orang-orang suci.
Menariknya, seluruh prosesi ritus di makam para wali dan letak
geografisnya sebagai tempat suci amat kuat dipengaruhi oleh penafsiran
ihwal alam sebagai ruang sakral. Nyaris seluruh makam keramat di Jawa
cenderung berada di atas bukit untuk menjelaskan pemaknaan
simboliknya dalam khazanah budaya lokal. Dan ini tak hanya ada dalam
tradisi Islam di Jawa. Sendang Sono di Yogyakarta, tempat di mana umat
Katolik berziarah juga menyimbolkan bukit sebagai perjalanan menuju
ke pusat kesadaran mistis. Sendang Sono dianggap menjadi tempat suci
bagi umat Katolik sehubungan dengan kepercayaan akan penampakan
Maria di mulut goa. Perjalanan para peziarah ke tempat itu harus menaiki
bukit dengan anak tangga yang melelahkan. Seluruhnya ini diandaikan
menjadi simbol peristiwa penderitaan Kristus menuju puncak Golgota.
Tradisi ziarah dalam konteks ini menjelaskan apa yang dimaksud tradisi
dalam pemaknaannya sebagai media pengatur memori kolektif.
Dan satu hal yang selalu terdapat di berbagai tempat suci
adalah keberadaan air keramat yang diyakini mengalir dari masa
lampau bersama kesucian tempat itu. Pada tempat-tempat suci
umat Islam, agaknya hal ini untuk mengutuhkan seluruh replika
tentang Mekah dengan keberadaan air zamzamnya. Lepas dari soal
itu air di situ menjadi relik yang tidak hanya dilihat dari hubungannya
dengan masa lalu, tapi lebih menekan pada faktanya yang berada di
tempat yang dianggap suci. Selain air biasanya juga terdapat sejenis
binatang tertentu yang dianggap keramat, dari mulai ikan, ular, hingga
kera yang pantang diganggu.
Bagi para peziarah, berdoa dan bertirakat di tempat suci adalah
ikhtiar untuk berkomunikasi dengan isyarat ketuhanan yang tak
terjangkau. Namun seluruh ikon, relik, dan prosesi ritual di tempat
3

yang dikeramatkan itu, sekonyong-konyong menjadi medium yang


mentransformasikan ruang kekinian yang profan ke dalam waktu dan
ruang masa lalu yang penuh mistis dan suci. "Apakah air itu
menyembuhkan atau tidak, itu tidak lagi penting. Orang di situ
membutuhkan isyarat-isyarat Ilahi meskipun kebenarannya hanya dari
mulut ke mulut. Seperti Sendang Sono bagi umat Katolik, tempat-tempat
seperti itu menjadi tujuan imajiner. Air dalam kepercayaan berbagai
agama memang senantiasa menjadi simbol dari kehidupan dalam
konteks penyucian. Jarak waktu dan ruang memang telah menciptakan
berbagai kesadaran tentang pengalaman mistis yang terdapat dalam
tradisi ziarah. Jarak itulah kemudian dalam fenomena ziarah berpeluang
membangkitkan kesadaran-kesadaran spiritual. Jarak waktu dan ruang
bagi para peziarah menerbitkan kesadaran spiritual imajiner bahwa ia
menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar meski tak bisa menjangkau
puncaknya.
Para peziarah seolah menaiki anak tangga. Meski sadar bahwa
mereka tak bisa mencapai puncak tangga di mana di situ bermukim
orang-orang suci hingga Rasulullah, tapi menapakkan kaki di anak tangga
pertama pun diyakini ia sudah berada di tangga. Artinya, mereka merasa
sudah berkomunikasi dengan orang suci.
Menjadi bagian dan luluh ke dalam semesta misteri kegaiban
tempat-tempat suci adalah juga bagian dari bagaimana identitas itu
dimaknai. Tak sedikit tempat suci yang dipercaya sebagai pusat atau
poros dunia. Pusat atau poros dimaksud lebih menekan pada poros
kesadaran. Terlebih lagi sesuatu yang sakral senantiasa bersifat komunal.
Dalam konteks ini, sakralitas tidak lagi dinilai hanya karena
hubungannya dengan masa lalu, tapi karena ribuan orang berkonsentrasi
di tempat itu sehingga memancarkan energi spiritual.
Para peziarah tak pernah memilih mana makam wali yang benar,
sebab ziarah lebih merupakan unsur rasa ketimbang nalar kebenaran
sejarah. Makam wali dan para peziarah, akhirnya, merupakan pertemuan
yang kerap menakjubkan tentang bagaimana tradisi dan identitas itu
dimaknai. Tentu saja hal ini tidak mengabaikan fenomena berikutnya,
yakni ketika para peziarah hanya datang membawa kepentingan-
kepentingan yang serba pragmatis.

BAB II
4

MOTIVASI PEZIARAH KUBUR

A. MOTIF

Kata motif disamakan artinya dengan kata-kata motive, motif,


dorongan, alasan dan driving force. Motif adalah daya pendorong atau
tenaga pendorong yang mendorong manusia untuk bertindak atau suatu
tenaga di dalam diri manusia yang menyebabkan manusia bertindak.
Dikatakan bahwa rumusan yang berbunyi motive are the way of
behaviour adalah tepat. Artinya, mengapa timbul tingkah laku seseorang,
itulah motive.

Motivasi adalah faktor yang mendorong orang untuk bertindak


dengan cara tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong
dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan
kekuatan (energy) yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan,
memberi kepuasan ataupun mengurangi ketidakseimbangan. Oleh karena
itu tidak akan ada motivasi, jika tidak dirasakan rangsangan-rangsangan
terhadap hal semacam di atas yang akan menumbuhkan motivasi, dan
motivasi yang telah tumbuh memang dapat menjadikan motor dan
dorongan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan atau pencapaian
keseimbangan.

Bertolak dari arti kata motivasi tadi, maka yang dimaksud dengan
motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan dorongan atau
semangat kerja. Atau dengan kata lain pendorong semangat kerja.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja menurut
Ravianto adalah: atasan, rekan sekerja, sarana fisik, kebijaksanaan dan
peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan
tantangan. Jadi motivasi individu untuk bekerja sangat dipengaruhi oleh
sistem kebutuhannya.

B. MOTIF PEZIARAH KUBUR


Motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Atau, motif adalah suatu pernyataan yang kompleks
di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku/perbuatan ke
suatu tujuan atau perangsang.1 Dorongan atau motif, dapat
diklasifikasikan menjadi dorongan fisik (physiological drive) yaitu
dorongan yang bersifat biologis atau jasmaniah dan dorongan sosial
(social drive) yaitu dorongan yang ada hubungannya dengan manusia lain
dalam masyarakat.2 Berdasarkan sumber timbulnya motif dapat dibagi

1
Sastrapraja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, Surabaya, Usaha Nasional, 1981, hal. 330.
2
Nasution, Didaktik Azas-azas Mengajar, Bandungf, Rosdakarya, 1978, hal. 71.
5

menjadi dorongan yang datang dari dalam diri sendiri dan dorongan
yang datang dari luar diri (lingkungan).3
Untuk keperluan studi atau kajian psikologis telah diadakan
penertiban dengan diadakan penggolongan motif menjadi motif primer
(primary motives) dan motif sekunder (secondary motives). Motif primer atau
motif dasar (basic motives) menunjukkan kepada motif yang tidak
dipelajari atau motif bawaan. Sedangkan motif sekunder menunjukkan
kepada motif yang berkembang dalam diri seseorang karena pengalaman
dan diperoleh melalui proses belajar.
Motif adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang
mendorong untuk bersikap dan bertindak guna mencapai tujuan tertentu.
Motif dapat berupa kebutuhan dan cita-cita. Akan tetapi motif tidak
selalu aktif. Motif akan menjadi aktif pada suatu saat tertentu saja, yaitu
bila kebutuan untuk mencapai tujuan sangat mendesak. Karena itu, motif
tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan.
Meskipun motif merupakan kekuatan, tetapi bukan merupakan
sesuatu yang sufatnya substansi yang dapat diamati. Kita hanya dapat
melakukan identifikasi beberapa indikatornya dalam term-term tertentu,
antara lain :4
1. durasi kegiatan dilakukan pada periode waktu
tertentu
2. frekuensi kegiatan
3. prsistensi (ketetapan dan kelekatan) pada tujuan
kegiatan
4. ketabahan, keuletan, dan ekemampuan dalam
menghadapi rintangan dan kesitan untuk mencapai tujuan
5. devosi (pengabdian) dan pengorbanan untuk
mencapai tujuan
6. tingkatan aspirasi (maksud, rencana, cita-cita,
sasaran atau target, dan ideola) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang
dilakukan.
7. Tingkatan kualifikasi atau produk yang dicapai
dari kegiatan.
8. Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatan.

Pengukuran motif mempunyai tujuan untuk mengetahui efektifitas


dalam mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Dalam kasus
ziarah kubur misalnya, motif bisa berfungsi sebagai penolong untuk
berbuat dalam mencapai tujuan berziarah, penentu arah perbuatan ke
arah tujuan, dan penyeleksi perbuatan sehingga perbuatan senantiasa
selektif dan tetap terarah kepada tujuan yang ingin dicapai.

3
Abih Syamsudin Maknun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul,
Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 37.
4
Abih Syamsudin Maknun, Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul, hal40.
6

Apa tujuan atau motif orang mendatangi makam keramat? Pertama,


yang bayar kaul mengharapkan sesuatu berkah dari Tuhan. Kemudian
yang memohon kemudahan-kemudahan seperti jodoh dan lain-lain.
Kelompok tarekat cuma menguatkan spirit. Bagaimana hubungan
batiniah yang kuat antara dia dan tokoh spiritual seperti Syech Abdul
Kadir Jaelani. Yang sampai hari ini sulit dihilangkan ketika orang-orang
jarang mau di rumah kecuali di makam. Itu jelas supaya berkah dari acara
lebih kuat. Bahkan ada yang menarik, yakni menginap di sana supaya apa
yang diinginkan terkabul. Itu bisa sampai mingguan. Umpama ada obat
yang dibuat, sering ditanam di sana dan diberi amal-amalan tertentu. Jika
dipersentasekan, jumlah yang melakukan masih ada dalam jumlah besar.
Intinya dalam hubungan dengan makam pasti ada roh. Di sini ikatan
batiniah kuat, karena itu makam terutama di Indonesia ada gundukan
dan diberi tanaman. Keyakinannya terhadap leluhur masih punya makna.
Ini akan berubah dengan sendirinya kalau orang lebih banyak memahami
agama dengan akal yang rasional.
7

BAB III
KESEHATAN MENTAL

A. MAKNA KESEHATAN MENTAL


Kesehatan mental, bagi Zakiah Daradjat, adalah terwujudnya fungsi
jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem
yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan
kemampuan dirinya. Dapat pula diartikan sebagai “suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, inetelektual dan emoseional yang
optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan
perkembangan orang lain” (Syamsu Yusuf LN, 2004:19).
Hanna Djumhana Bastaman (1995: 132-133) mendefinisikan
kesehatan mental sebagai terwujudnya keserasian yang sungguh antara
fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara fungsi-
fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan
dirinya dan lingkungannya, berdasarkan keimanan dan ketakwaan, serta
bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat.
Kesehatan jiwa semula dipahami hanya sebagai optimalisasi fungsi-
fungsi jiwa untuk mencapai makna hidup baik sebagai individu maupun
hubungannya dengan individu lain. Belakangan, kesehatan mental
dimaknai pula dengan keharmonisan individu dengan kehendak
Tuhannya dengan memasukkan kata iman dan takwa sebagai salah satu
unsur penting dalam definisi kesehatan mental.
Berkaitan dengan kesehatan mntal Syamsu Yusuf LN (2004 : 20)
mengemukakan beberapa indikator kesehatan mental sebagai berikut:
1. tehindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa
2. dapat menyesuaikan diri
3. dapat memanfaatkan segala potensi yang ada semaksimal mungkin
4. memberikan kebahagiaan bersama serta tercapai keharmonisan jiwa
dan hidup.

B. FUNGSI KESEHATAN MENTAL


Menurut Schneiders, dalam Syamsu Yusuf (2004: 15-17), terdapat
tiga fungsi kesehatan mental yang utama. Pertama, fungsi perevetif,
fungsi ameliorative, dan fungsi supportif. Dengan demikian kesehatan
mental akan mampu mencegah terjadinya kesulitan atau gangguan
mental dan gangguan terhadap proses adaptasi. Kedua, menggambarkan
bahwa mental yang sehat dapat memperbaiki kepribadian dan
meningkatkan kemampuan proses penyesuaian diri, sehingga gejala-
gejala tingkah laku dan mekanisme pertahanan diri dapat dikendalikan.
Ketiga, fungsi pengembangan bukan saja terlepas dari kegelisahan tetapi
8

juga kemampuan untuk mengoptimalisasikan potensi-potensi kejiwaan


dalam mencapai kebahagiaan hidup.
Fungsi tersebut, jika dibandingkan dengan konsep
tazkiyyatunnafs, akan nampak kesesuaiannya dalam pembentukan
keseimbangan dan keharmonisasn akhlak seseorang. Tazkiyyatunnafs
berfungsi untuk membentuk manusia yang berakhlak karimah dan
berperadaban sehingga menyadari akan hak-hak dan kewajibannya.
Tazkiyyatunnafs membenuk manusia yang seimbang dan harmonis
terhadap dirinya sendiri didalam menggunakan segala potensi yang
dimilikinya. Ketiga, tazkiyyatunnnafs membentuk manusia yang
berakhlak karimah terhadap dirinya dan sekaligus ia menjadi makhluk
yang taat terhadap Tuhannya. (A.F. Jaelani, 2001 : 65-66).

C. PRINSIP-PRINSP KESEHATAN MENTAL


a. kesehatan mental dan penyesuaian diri tergantung kepada kondisi
jasmani yang baik dan integritas organisme
b. untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian diri maka
perilaku individu harus sesuai dengan hakikat kemanusiaannya
sebagai makhluk yang memiliki moral, inetelektual, agama, emosional
dan sosial
c. kesehatan mental dan penyesuaian diri dapat dicapai melalui integrasi
dan kotrol diri baik dalam cara berfikir, menghayal, memuaskan
keinginan, mengungkapkan perasaan dan bertingkah laku.
d. dalam mencapai dan memelihara kesehatan mental dan penyesuaian
diri perlu memperluas pengetahuan tentang diri sendiri
e. kesehatan mental memerlukan konsep diri, pengetahuan dan sikap
terhadap kondisi fisik dan psikis secara sehat, yang meliputi
penerimaan diri, penghargaan terhadap status diri sendiri
f. untuk mencapai kesehatan mental dan penyesuaian diri, maka
pemahaman tentang diri sendiri dan penerimaan diri sendiri perlu
disertai dengan upaya-upaya perbaikan diri dan perwujudan diri
g. stabilitas mental dan adaptasi yang baik dapat dicapai dengan
pengembangan moral yang luhur dalam diri sendiri
h. pencapain dan pemeliharaan kesehatan mental dan adaptasi
bergantung kepada pemahaman dan pengembangan kebiasaan yang
baik.

D. KARAKTERISTIK MENTAL YANG SEHAT


Maria Jahoda, seperti dikutip (A.F. Jaelani, 2001 : 76) memberikan
karakteristik mental yang sehat sebagai berikut :
a. sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat
mengenal diri sendiri dengan baik
b. pertumbuhan, perkembangan dan perwujudan diri yang baik.
9

c. integritas diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan


pandangan, dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.
d. otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengaturan dari dalam atau
kekuatan-kekuatan bebas.
e. persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta
memiliki empati dan kepekaan sosial.
f. kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi
dengannya secara baik.
Syamsu Yusuf (2004 : 20-22) membuat dua model karakteristik
mental yang sehat. Model pertama, mental yang sehat adalah mental yang
yang memiliki ciri-ciri: terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan
penyakit jiwa. Ciri kedua, mental yang sehat adalah mental yang dapat
menyesuaiakn diri. Ciri ketiga, mental yang sehat dapat memanfaatkan
potensi semaksimal mungkin. Dan, ciri keempat adalah dapat mencapai
kebahagiaan pribadi dan kebahagiaan bersama. Model kedua memiliki
ciri-ciri fisik, psikis, dan sosial yang sehat, serta memiliki moral religius.
Bagi Utsman Najati (1985 : 257-259) mental yang sehat adalah
tercakup kedalam sembilan sifat yang berkenaan dengan aqidah, sifat-
sifat yang berkenaan dengan ibadah, sifat-sifat yang berkenaan dengan
akhlak, sifat-sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan, sifat-
sifat moral, sifat-sifat emosional dan sensual, sifat-sifat intelektual dan
kognitif, sifat-sifat yang berkenaan dengan kehidupan praktis
professional, dan sifat-sifat fisik. Menurut Amir anl-Najjar (2001 : 267)
perlu diupayakan beberapa metode atau pendekatan para sufi agar jiwa
atau mental menjadi sehat yaitu : tawbat, wara’, zuhud, shabr, tawakkal,
ridha’, syukr, hubb (cinta), dan mujahadah.
5. Tipe Orang yang Sehat Jiwa [The Healthy Mindedness]
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck
yang dikemukakan W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology
adalah :
a. Optimis dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan
perasaan optimis. Padahal menurut pandangannya adalah hasil jerih
payahnya yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan
penderitaan dianggap sebagai keteledoran dan kesialan yang dibuatnya
dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
Mereka yakin bahwa Tuhan bersifat Pengasih dan Penyayang dan bukan
pemberi adzab.
b. Ekstrovert dan tak mendalam
Sikap optimis yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebutkan
mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores
sebagai akses agamis tindakannya. Mereka selalu berpandangan keluar
dan membawa suasana hatinya lepas dari lingkungan ajaran keagamaan
yang terlampau rumit. Mereka senang kepada kemudahan melaksanakan
10

ajaran agama. Sebagai akibatnya, mereka kurang senang mendalami


ajaran agama. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang
keliru.
c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal.
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovert maka mereka
cenderung :
1). Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku
2). Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang bebas
3). Menekankan ajaran cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa
4). Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial
5). Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan
kebiaraan
6). Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
7). Selalu berpadangan positif.
8). Berkembang secara gradual. Maksudnya mereka meyakini ajaran
agama melalui proses yang wajar dan tidak melalui proses
pendadakan.

Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan


dalam pendirian, ketetapan dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif
atau negatif, namun dalam kenyataannya yang temui masih banyak orang
dewasa yang berubah kayakinan dan kepercayaan. Perubahan itu bisa saja
ke arah acuh tak acuh pada agama, atau ke arah ketaatan pada agama.
Salah satu bentuk perubahan keyakinan dan kepercayaan suatu agama
yang terpenting adalah konversi agama. Kemurtadan dalam visi ini bukan
saja berupa keragu-raguan dan penyimpangan dari doktrin resmi, tetapi
problem komitmen dan ketidaksetiaan terhadap tradisi keagamaan
manapun [Caplovits dan Sherrow, 1977]. Kemurtadan mengindikasikan
tidak hanya kehilangan agama, tetapi penolakan terhadap komunitas
khusus sebagai suatu dasar identifikasi diri, dan malah proses penurunan
komitmen keagamaan [San Giopani, 1978].
Dari tipe-tipe perkembangan dan faktor yang mempengaruhinya,
setidaknya ada beberapa petunjuk yang dapat dikemukakan, bahwa
tingkat perkembangan jiwa keagamaan mengalami pasang surut, sesuai
kondisi jiwa individu, lingkungan dan kehidupan dimana seseorang
berada. Berkait dengan kematangan jiwa keagamaan, kondisi ini memiliki
ciri-ciri yang melekat sebagai bagian penting dari proses pembentukan
kematangan psikologisnya, sehingga ia membedakan dengan tingkat
perkembangan lainnya.

GW. Allport [1962] memberikan tanda-tanda sentimen beragama


yang matang, yaitu adanya diferensiasi, dinamis, produktif,
komprehensif, integral dan keikhlasan pengabdian. Sejalan dengan
11

pendapat GW. Allport, ciri-ciri kesadaran beragama yang matang ialah


sebagai berikut :
a. Differensiasi yang baik
Dalam perkembangan kehidupan kejiwaan, differensiasi berarti
semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk
suatu aspek psikis dimiliki seseorang. Semua pengalaman, rasa dan
kehidupan beragama makin lama, makin matang, makin kaya, kompleks
dan makin bersifat pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan berdasarkan ke-
Tuhanan. Penghayatan hubungan dengan Tuhan makin dirasakan
bervariasi dalam berbagai suasana dan nuansa. Dalam kesendiriannya ia
mencari dan merasakan kerinduan kehadiran Tuhan. Pada waktu melihat
kedahsyatan gelombang lautan, angin topan, atau letusan gunung berapi,
ia dapat menghayati betapa Maha Kuasa Sang Pencipta. Apabila ia
menyaksikan kasih sayang orang tua, sentuhan para pengasuh rumah
panti asuhan, rumah yatim piatu, keikhlasan para perawat pasien, ia
merasakan kasih sayang Tuhan. Dalam pengamatan peredaran tatasurya,
dan menekuni berbagai penelitian ilmiah, ia menemukan keteraturan
hukum alam, dan mencari hubungan dengan keagungan, kebijaksanaan
dan ilmu Tuhan. Perasaan, penghayatan, pemikiran, kemauan dan
keinginan yang bergolak pada situasi dan kondisi yang berbeda-beda
tersebut di atas merupakan differensiasi kesadaran beragama. Harapan
akan syurga dan keridlaan Tuhan, kecemasan dan ketakutan terhadap api
neraka dan siksaan Tuhan, cinta kasih terhadap sesama pemeluk agama
serta kebencian terhadap hawa nafsu dan godaan syetan, kesemuanya itu
merupakan hasil differensiasi kesadaran beragama yang terpolakan ke
dalam sistem mental.
Kesadaran beragama yang ter-differensiasi merupakan
perkembangan tumbuhnya cabang-cabang baru dari pemikiran kritis,
alam perasaan dan motivasi terhadap berbagai rangsangan lingkungan
serta terjadinya reorganisasi yang terus menerus. Mulai dari peniruan dan
identifkasi terhadap kehidupan kejiwaan orang tua, sosialisasi dengan
masyarakat sekiratnya, timbulnya pemikiran-pemikiran dan pengolahan
sendiri melalui pengalaman keagamaan, akhirnya bercabang dan
beranting menjadi kesadaran beragama yang kaya dan rimbun.
Keasadaran beragama yang tidak terdifferensiasi menunjukkan sikap
pasif, tingkah laku keagamaan yang tidak kritis, kurang dinamik dan
nrimo pada nasib. Ia menerima ajaran agama tanpa pengolahan serta
percaya begitu saja. Seandainya muncul pertanyaan atau pertentangan
pemikiran dalam dirinya ia berusaha menekan dan menghilangkan dari
kesadarannya, seolah-olah tidak ada permasalahan yang timbul dalam
kehidupan beragamanya.

b. Motivasi kehidupan beragama yang dinamis


12

Bila kesadaran agama telah menjadi pusat sistem kepribadian yang


mantap, maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan,
mengolah serta mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang.
Peranan kesadaran beragama itu merasuk ke dalam aspek mental lainnya.
Tanggapan, pengamatan, pemikiran, perasaan, dan sikapnya akan
diwarnai oleh rasa keagamaan. Keindahan alam, kicau burung, proses
pemekaran bunga-bunga, tumbuhnya biji-bijian, kehebatan larinya kuda,
kejadian unta, keperkasaan gunung-gunung, perputaran bumi, bintang
dan matahari, kecepatan aliran listrik, proses terjadinya susu, bekerjanya
otak, kematian seseorang, kehidupan kejiwaan, nilai-nilai
kemasyarakatan, sejarah bangsa-bangsa dan semua fakta akan diamati,
diselidiki, dihayati dipahami dan dinikmati melalui warna keagamaan.
Walaupun kesadaran agama yang matang mewarnai cara hidup
seseorang, namun sikap dan perilakunya tidaklah menunjukkan
fanatisme, kaku, ekstrim, radikal. Sikap dan tingkah laku fanatik, ekstrim,
agresif, radikal dan berani tanpa perhitungan tersebut justru
menunjukkan kesadaran beragama seseorang yang tidak matang.
Perilakunya dilandasi oleh dorongan yang kurang terolah, kurang
disadari, tidak kritis dan tidak differensiasi. Bila agama telah menjadi
sistem mental seseorang, maka ia akan menunjukkan semangat hidup
yang membara, tekun, tabah, dan selalu berusaha mencari dan
menemukan Tuhan.

c. Pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif


Tanda ketiga kesadaran beragama yang matang terletak pada
konsistensi atau keajegan pelaksanaan hidup beragama secara
bertanggungjawab dengan melaksanakan perintah agama dan menjauhi
laranganNya. Pelaksanaan kehidupan beragama atau peribadatan
merupakan realisasi penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan. Pengertian
ibadah mencakup pelaksanaan aturan, hukum, ketentuan, tata cara,
perintah, kewajiban dan larangan dalam hubungannya dengan Tuhan,
manusia, masyarakat dan alam. Ibadah yang menekankan realisasi
hubungan manusia dengan Tuhan, sering disebut ibadah dalam arti
khusus. Formalitas, tatacara dan peraturan ibadah khusus telah
ditentukan Tuhan melalui ajaran yang disampaikan kepada Nabi.
Sehingga tak boleh dirubah atau dimodifikasi. Ibadah dalam arti luas
mencakup seluruh kehendak, cita-cita, sikap dan tingkah laku manusia
yang didasarkan penghayatan ke-Tuhanan disertai niat dan kesengajaan
dengan ikhlas karena dan demi Allah. Orang yang memiliki kesadaran
beragama yang matang akan melaksanakan ibdahnya dengan konsisten,
stabil, mantap, dan penuh tanggungjawab dilandasi warna pandangan
agama yang luas. Tiada kebahagiaan yang lebih besar dari pada
menjalankan kewajiban, dan tiada kewajiban yang lebih mulia dari pada
melaksanakan perintah agama.
13

d. Pandangan hidup yang komprehensif


Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan
komprehensif. Keanekaragaman kehidupan dunia harus diarahkan pada
keteraturan. Keteraturan ini berasal dari analisis terhadap fakta yang
ternyata mempunyai hubungan satu sama lain. Fakta yang perlu dicari
kaidahnya ini bukan hanya benda materi, akan tetapi keteraturan itu
meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, nilai-nilai
kemasyarakatan, norma dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia
memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya
secara pasti.
Orang yang memiliki kesadaran beragama yang komprehensif dan
utuh bersikap dan bertingkah laku toleran terhadap pandangan dan
faham yang berbeda. Ia menyadari bahwa hasil pemikiran dan usaha
sepanjang hidupnya tidak mungkin mencakup keseluruhan permasalahan
dan realitas yang ada. Setidaknya ia akan mengakui bahwa dirinya tidak
mampu memberikan gambaran tentang zat Tuhan.

e. Pandangan Hidup yang Integral


Pandangan orang yang matang kesadaran beragamanya akan
terbuka lebar dan berusaha mencari, menafsirkan dan menemukan nilai-
nilai baru ajaran agamanya agar dapat direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari sesuai perkembangan zaman. Dalam pencarian penafsiran
baru setiap orang akan memandang permasalahan sesuai dengan tingkat
kematangan kesadaran beragama yang dimilikinya. Tiap-tiap orang
memiliki kematangan kesadaran beragama yang berbeda-beda, karena
perbedaan pengalaman hidup. Akibatnya, penghayatan dan perasaan ke-
Tuhanan, keimanan dan peribadatannya bersifat subjektif dan pribadi.

f. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan


Ciri lain dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang
ialah adanya semangat mencari kebenaran, keimanan, rasa ketuhanan dan
cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Ia
selalu menguji keimanannya melalui pengalaman-pengalaman
keagamaan sehingga menemukan keyakinan lebih tepat. Peribadatannya
selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar menemukan kenikmatan
penghayatan ‘kehadiran’ Tuhan. Walaupun ia masih merasakan bahwa
keimanan dan peribadatannya belum sebagaimana mestinya dan belum
sempurna.
BAB IV
KEPRIBADIAN
Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam
memberikan rumusan tentang kepribadian, tergantung sudut
14

pandang masing-masing. Dalam suatu penelitian kepustakaan


yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan
Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang
kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang
dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang
kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia
bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu
sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan
penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang
bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi
kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional,
frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma)
lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas
perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu
dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan
struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik,
tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling
berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas
tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat
beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal,
diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik
dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm,
Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan
dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori
Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari
Carl Rogers dan sebagainya.
Aspek-aspek kepribadian mencakup :
15

a. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika


perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau
pendapat.
b. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat
lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang
datang dari lingkungan.
c. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif
atau ambivalen
d. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional
terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya
tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
e. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima
resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti
mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan
diri dari resiko yang dihadapi.
f. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan
hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka
atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang
lain.
Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari
yang menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang sehat sampai dengan ciri-
ciri kepribadian yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth Hurlock
(Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat
atau tidak sehat, sebagai berikut :

Tabel

Komparasi Indikator Kepribadian

Kepribadian Sehat Kepribadian tidak Sehat


16

1. Mampu menilai diri sendiri Mudah marah


secara realistik
2. Mampu menilai situasi secara Menunjukkan kekhawatiran dan
realistik kecemasan
3. Mampu menilai prestasi yang
Sering merasa tertekan
diperoleh secara realistik
4. Menerima tanggung jawab
Bersikap kejam
5. Kemandirian Ketidakmampuan untuk
menghindar dari perilaku
menyimpang
6. Dapat mengontrol emosi Kebiasaan berbohong
7. Berorientasi tujuan Bersikap memusuhi semua
bentuk otoritas
8. Berorientasi keluar Hiperaktif
(ekstrovert)
9. Penerimaan sosial Senang mengkritik/ mencemooh
10. Memiliki filsafat hidup Kurang rasa tanggung jawab

Berdasarkan uraian diatas kita dapat memahami bahwa ketika


seorang berhadapan dengan orang lain, dia dihadapkan dengan sejumlah
keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki para peserta
didiknya. Oleh karena itu, seyogyanya ia dapat memperlakukan orang
lain dengan memperhatikan aspek perbedaan atau keragaman kecakapan
dan kepribadian yang dimiliki lawan bicaranya.

BAB V
GAMBARAN UMUM TRADISI ZIARAH
DI KOMPLEK MAKAM SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON
17

A. KOMPLEK MAKAM/ASTANA GUNUNG DJATI


Komplek Astana Gunung Jati terletak di Desa Astana, Kecamatan
Cirebon Utara, 5 kilo meter arah utara sepanjang jalur utama Cirebon-
Indramayu. Kompleks ini terdiri atas dua lokasi yang dibelah oleh jalan
raya utama. Dari arah Cirebon, Gunung Jati berada di sebelah kanan jalan
raya, sementara di sebelah kiri jalan raya adalah Gunung Sembung.
Dari kaki bukit Gunung Jati, kita dapat berjalan kaki melintasi jalan
mendaki melewati makam para sahabat Sunan Gunung Djati. Namun,
para sahabat ini tidak memiliki pertalian keluarga dengan keluarga
keraton. Naik lagi lebih ke atas dekat puncak bukit terlindung pepohonan
yang tinggi terdapat makam Syaikh Datu Kahfi. Ia dikenal sebagai guru
agama Islam pendahulu Sunan Gunung Djati. Melalui jalan lain ke arah
puncak bukit terletak puser bumi, sebuah dataran tinggi yang dahulunya
merupakan bekas kawah gunung berapi; dari kawah ini kita dapat
melihat pemandangan langsung ke laut. Mendekati puncak, terdapat
sebuah gua (dalam bahasa arab: kahfi), yang konon menjadi tempat
berkhalwat Syaikh Datu Kahfi. Dan dari situlah asal mula Syaikh Datu
Kahfi.
Di seberang jalan utama dari bukit Gunung Jati adalah wilayah
bekas Pasambangan (sekarang wilayahnya hanya mencakup Pakemitan
yakni sebuah bangunan tempat tinggal pengurus kompleks pemakaman),
tempat lokasi kompleks pemakaman Gunung Sembung.
Beberapa penjaga mengatakan bahwa dahulu Gunung Sembung
adalah sebuah tempat peristirahatan, tetapi setelah Ong Tin (Nyai Rara
Sumanding), istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina meninggal
dunia dan dikubur di sana, tempat itu berkembang menjadi kompleks
pemakaman. Nama Sembung konon berasal dari kata sambung, karena
tempat itu dibangun dengan menambahkan banyak sekali tanah yang
diambil dari berbagai tempat dan ditambahkan ke bukit yang ada.
Berhadapan dengan jalan utama Cirebon-Indramayu di depan
Kantor Balai Desa adalah jalan aspal sepanjang 500 meter menuju alun-
alun Astana, juga ke kompleks Gunung Sembung, yang terhampar di
sebelah Utara. Pendirian bangunan kompleks ini ditunjukkan dalam
Candra Sangkala (prasasti) dalam huruf Jawa―yang berbunyi “Sirna
Tanaman Warna Tunggal,” bertahun Saka 1400. 5
Di alun-alun terdapat dua bangunan yakni; Pendopo Ringgit dan
Mande Mangu. Pendopo Ringgit adalah gedung tempat pertunjukkan
wayang atau pertunjukkan lainnya, sedangkan Mande Mangu adalah
rumah kayu di sayap barat. Rumah ini berprasasti Candra Sangkala

5
Prasasti Candra Sangkala “Sirna (hilang), Tanana (tiada), Warna (empat),
Tunggal (satu),” menurut Juru Kunci, mengacu pada angka 0041 yang harus
dibaca dari kanan ke kiri. Ia menunjukkan Tahun Saka yang perhitungannya
dimulai tahun 78 Masehi.
18

“Singa Kari Gawe Anake,” bertahun Saka 1402, dan konon merupakan
hadiah dari Ratu Nyawa, puteri Raden Fatah dari Demak, yang menikah
dengan Gung Anom (P. Bratakelana), putera Sunan Gunung Djati.
Jalan masuk pertama ke dalam kramat adalah melalui dua gerbang
tak beratap (candi bentar), yang diberi nama Gapura Wetan (Gerbang
Timur) dan Gapura Kulon (Gerbang Barat). Kata gapura berarti ‘jalan
masuk’ atau ‘gerbang’, dan secara simbolis diasosiasikan dengan kata arab
“ghafura,” yang artinya ‘ampunan’, yang menyiratkan bahwa orang yang
melalui gerbang ini akan mendapat ampunan.
Beberapa langkah dari Gerbang Timur, dikelilingi dinding setinggi
setengah meter membatasi kompleks pemakaman dengan alun-alun di
sisi kanan gerbang, terdapat sebuah sumur yang dinamakan Sumur Jati. Di
sisi kiri gerbang, tiga buah bangunan berdiri sejajar. Bangunan pertama
adalah Mande Cungkup Danalaya, yang berstruktur kayu milik Desa
Danalaya (8 km barat Cirebon). Berikutnya adalah museum tempat
menyimpan koleksi hadiah dari raja-raja asing kepada Sunan Gunung
Djati. Di dalamnya tersimpan puluhan guci dari Dinasti Ming, serta
berbagai benda-benda berharga lainnya. Bangunan ketiga disebut Mande
Cungkup Trusmi, yang berstruktur kayu milik penduduk Trusmi dan
berfungsi seperti halnya Danalaya.
Di gerbang kedua, yang ditandai dengan guci tempat mengambil
wudlu, sebelum melakukan ziarah, terdapat Pendopo Soka yang dahulu
berfungsi sebagai gedung pertemuan (kini dimanfaatkan sebagai ruang
istirahat peziarah). Di sebelahnya adalah Siti Hinggil, yaitu panggung
tempat Sultan melemparkan pandangan ke alun-alun.
Di dekat Siti Hinggil, berdiri bangunan kayu yang disebut Mande
Budi Jajar atau Mande Pajajaran dengan Candra Sangkala “Tunggal Boya
Hawarna Tunggal,” bertahun Saka 1401. Mande ini konon dibawa oleh
Dipati Jagabaya dari Pajajaran dan digunakan oleh Pangeran Cakrabuana
(Walangsungsang) sebagai pemimpin Cirebon di bawah kekuasaan
Pajajaran.
Gerbang utama ke tempat tujuan ziarah adalah Gerbang Weregu.
Para peziarah harus melewati gerbang ini menuju Pakemitan (bangunan
berpilar yang berfungsi sebagai Pasambangan atau kantor pengurus
makam). Pasambangan terbagi dua bagian yaitu Paseban Bekel (kantor
bekel) di sebelah Barat dan Paseban Kraman (kantor wong kraman) di sebelah
Timur. Di kantor inilah pengurus makam menjalankan tugasnya dengan
berpakaian adat Cirebon lengkap dengan ikat kepala, kemeja kampret
putih untuk bekel atau kutung (penutup dada) untuk kraman, dan tapi (kain
batik).
Di sisi kiri sepanjang koridor adalah bangunan Gedongan Raja
Sulaeman, yang didirikan oleh Sultan Sepuh IX dan kemudian dijadikan
makamnya. Seluruh dinding di bagian ini dihiasi piring porselen Belanda
dan Cina. Lantai tempat duduk peziarah berada di dekat gedongan ini.
19

Lantai tersebut membujur diapit Gedongan Raja Sulaeman di Timur,


Pelayonan di Barat, Lawang Krapyak di Selatan dan Lawang Pasujudan atau
Siblangbong di Utara.
Kedua lawang (gerbang) ini adalah bagian dari sembilan gerbang
yang berdiri berurutan dari selatan ke utara, sepanjang jalur mendaki dari
alun-alun menuju makam Kanjeng Sunan Gunung Djati di puncak bukit.
Urutan Gerbang Sembilan adalah: 1) Gapura Kulaon, 2) Krapyak, 3)
Pasujudan atau Siblangbong, 4) Ratnakomala, 5) Jinem, 6) Rararga, 7) Kaca, 8)
Bacem, dan 9) Teratai.
Kecuali Gapura Kulon, semua gerbang tertutup rapat dan dibuka
hanya pada malam Syawalan khusus bagi Sultan dan keluarga. Krapyak
dibuka setiap malam Jumat Kliwon selama tahlilan, tidak untuk dilintasi,
melainkan hanya untuk memperlihatkan jalur mendaki menuju bukit.
Ke arah barat, di dekat lantai ziarah adalah Pelayon atau Mande
Layon, bangunan kayu yang berfungsi sebagai tempat jenazah
disemayamkan sebelum dikubur. Setelah ini, ada tempat bagi peziarah
Cina membakar hio untuk memuja Nio Ong Tin, dan terakhir di ujung
Barat kompleks makam, berdiri Gedong Keprabon, tempat berziarah khusus
bagi Sultan beserta keluarganya (lihat diagram).
Gedong Raja Sulaman adalah satu-satunya bagian keraton yang
boleh dilintasi oleh peziarah umum. Gerbang lain setelah Lawang
Pasujudan di sepanjang sisi Timur dan Barat hingga ke arah puncak bukit,
normalnya tidak boleh dilintasi oleh peziarah umum. Hanya ketiga Sultan
dan kerabatnya (atau mereka yang memperoleh izin tertulis dari Sultan)
yang diperbolehkan masuk.
Gerbang utama dinamakan Gedong Jinem Gusti Syarif, yang terletak
di puncak bukit tempat dimakamkannya Sunan Gunung Djati dan 17
tokoh-tokoh penting lainnya―seperti Walangsungsang (Cakrabuana),
Fadhillah Khan (Falatehan), Rarasantang (Syarifah Mudaim), dan Nyai
Ratu Tepasari (Tepasan). Di atas atap Gedong Jinem ini terdapat memolo
(puncak) yang disebut kendi petula (kendi zamrud) bersepuh emas murni.
Di balik dinding, di luar 29 blok kraton terletak makam para pendiri (Ki
dan Nyai Gede) berbagai desa. Bagian ini terbuka untuk umum pada
malam Syawalan dan Raya Agung.
Beberapa langkah dari Gerbang Timur, dikelilingi dinding setinggi
setengah meter membatasi kompleks pemakaman dengan alun-alun di
sisi kanan gerbang, terdapat sebuah sumur yang dinamakan Sumur Jati.
Selain Sumur Jati, ada dua buah sumur lain, yaitu Sumur Kesepuhan dan
Sumur Kanoman, yang terletak di ujung Barat komplek makam.
Selain itu masih banyak sumur lain, salah satunya adalah Sumur
Kejayaan di dalam Masjid di sisi Timur-Laut kompleks makam. Banyak
peziarah termasuk orang Cina mandi di tujuh sumur (adus sumur pitu),
secara berpindah-pindah dari satu sumur ke sumur berikutnya. Tujuan
acara mandi ini adalah melepaskan kotoran dari badan (ngirab), sebagai
20

simbol membersihkan semua dosa dan menyingkirkan nahas (mbuang


kekebel). Nama-nama ketujuh sumur tersebut adalah:1) sumur Jati, 2)
sumur Kesepuhan, 3) sumur Kanoman, 4) sumur Kejayan, 5) sumur
Tegang Pati, 6) sumur Jala Tunda, dan 7) sumur msjid Astana Gunung
Jati.

B. ZIARAH DI KOMPLEK MAKAM SUNAN GUNUNG DJATI


Di Komplek pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat
penziarah --perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama
dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan
Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa
Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu. Untuk
mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks
pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ''Kami tak membeda-
bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks
pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa
berdoa di sini''.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di
sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif
Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia
adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang
perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum
bertuah'' Sunan Gunun Jati.
Para pengurus makam (juru kunci) menganggap semua pengunjung
adalah tamu yang harus dihormati. Banyak alasan yang mendasarinya.
Pengunjung adalah tamu, bukan saja bagi mereka, tapi juga terutama bagi
orang yang dianggap suci dan makamnya menjadi sumber nafkah para
pengurusnya.
Hubungan antara para pengunjung dengan juru kunci biasanya
berawal ketika seorang atau sekelompok pengunjung datang ke juru
kunci menjelaskan maksud mereka apakah hendak berziarah atau nyepi.
Sebagai formalitas, juru kunci menyarankan pengunjung membawa
bunga dan kemenyan (tidak diwajibkan), berwudlu, lalu bersama juru
kunci memasuki tempat ziarah sambil memberi salam kepada yang
meninggal sesuai dengan ajaran Islam ketika mengunjungi makam.
Kemudian mereka duduk di atas tikar atau lantai menghadap
makam dan membakar kemenyan (tidak diwajibkan). Kemudian juru
kunci bertanya apakah tamu tersebut akan memanjatkan doa sendiri-
sendiri atau jika bersama-sama, apakah salah seorang dari rombongan
yang akan memimpin doa ataukah dipimpin oleh juru kunci sendiri.
Doa yang biasa dibaca pada saat ziarah adalah tahlil. Sebelum tahlil,
dibacakan surat Al-Fatihah sebanyak 7 kali, yang masing-masing
ditujukan kepada arwah beberapa almarhum. Yang pertama ditujukan
kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya, istri-istrinya, keturunan,
21

penghuni rumahnya (ahl al-bayt). Yang kedua ditujukan kepada empat


sahabat (empat khalifah) dan beberapa sahabat dekat (Thalhah, Sa’ad,
Sa’id, Abd Rahman bin ‘Auf, Abi ‘Ubaidah, Amir bin Jarrah, Zubair bin
Awwam). Yang ketiga kepada imam empat mazhab (Maliki, Hambali,
Hanafi, Syafi’i), para pengikutnya, ulama, ahli hukum, ahli hadits,
pembaca Qur’an, ahli tafsir, sufi yang benar, dan yang mengikuti mereka
dengan sepenuh hati (ihsan) sampai hari kiamat. Yang keempat ditujukan
untuk para pejuang (syuhada) yang dimakamkan di Al-Ma’la, Al-
Shubaikah, Al-Baqi’, dan seluruh kaum muslimin yang telah meninggal di
Timur dan Barat, di daratan dan di lautan. Yang kelima ditujukan kepada
semua wali di Timur dan Barat, di darat dan laut. Yang keenam ditujukan
untuk sejumlah tokoh terkemuka yang dimakamkan di kompleks Astana,
terutama Syeikh Syarif Hidayatullah atau Kanjeng Sunan Gunung Djati,
Syarifah Mudaim (Larasantang), Nyai Mas Panatagama (Syarifah
Baghdad), Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang), Syekh Datu Kahfi,
dan Syeikh Bayanillah (berlaku di Astana). Yang terakhir ditujukan untuk
arwah para orang tua, leluhur, orang-orang muslim, dan seluruh saudara
seagama yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Kemudian membaca tahlil sebanyak 100 kali, diikuti pembacaan
ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad,
penutupnya adalah pembacaan doa yang diamini oleh yang hadir.
Kemudian bunga ditaburkan di atas makam atau di tempat yang
ditunjukkan oleh juru kunci. Terakhir, peziarah tafakur dan berdoa dalam
hati dengan bahasa masing-masing agar keinginan mereka dikabulkan,
dan ziarah pun selesai.
Bila ziarah dilakukan sendirian (tanpa juru kunci), waktu
meninggalkan tempat ziarah, pengunjung menyalami juru kunci dan
memberinya uang sebagai sumbangan atau memasukkannya ke dalam
kotak yang telah disediakan. Di Astana Gunung Jati, uang sumbangan
diletakkan di depan pintu pesujudan. Ketika orang beramai-ramai ingin
memberi sumbangan dalam bentuk uang logam tetapi jika mereka tidak
dapat mendekati pintu pesujudan karena terlalu banyak orang, maka
uang tersebut dapat dilemparkan dan akan jatuh di sekitar pintu. Prosesi
ini menandai berakhirnya ziarah.
Banyak pengunjung (peziarah) yang kurang puas dengan hanya
melakukan tahlil. Mereka biasanya berdesakan berusaha mencapai pintu
pesujudan. Mereka yang sabar akan menunggu hingga tersedia cukup
ruang demi untuk mendapat kesempatan menyandarkan tubuh mereka
pada pintu kayu pesujudan. Beberapa diantara mereka ada yang
menciumi atau mengelus pintu, kemudian mengusapnya ke wajah
mereka. Ada juga yang menyeka pintu dengan saputangan, sedangkan
yang lainnya mengambil dan mencium kembang yang telah mereka
letakkan sebelumnya.
22

Diluar kegiatan tahlil terlihat pengunjung yang tidur di sela-sela


makam, atau duduk sambil berkomat-kamit mengucapkan sesuatu atau ada
yang membaca Al Qur’an menghadap makam, ada juga yang memegangi
batu nisan ketika melakukan hal-hal tersebut tadi.
Bagi wong nyepi setelah kegiatan ziarah yang umum selesai, juru
kunci mengajak mereka untuk menempati sebuah ruang yang tersedia di
Astana. Pengunjung baru akan diminta untuk berbagi tempat dengan
yang lainnya, pengunjung tetap akan dipersilakan memilih tempat yang
disukai. Selama tinggal di Astana, wong nyepi biasanya melakukan puasa,
shalat malam (tahajud dll), membaca Al Qur’an, bertahlil sendiri-sendiri,
atau melakukan tirakat dengan hanya memakan makanan pokok saja
(mutih atau ngasrep) seperti nasi, singkong dan jagung, serta melakukan
perbuatan-perbuatan baik lainnya.
Bagi mereka yang tidak dapat melakukan semua yang disebutkan
di atas, maka dapat meminta nasihat juru kunci. Jika tidak dapat atau sulit
memahami nasihat juru kunci, maka juru kunci menekankan
kesungguhan dalam berdoa, mengharap agar melalui barakah dan
karamah mendiang di Astana, Allah akan mengabulkan doanya.
Kesungguhan harus diungkapkan melalui puasa, berdoa terus-menerus di
dalam hati atau secara lisan dengan bahasanya sendiri, membaca
berulang-ulang apa yang mereka bisa, memusatkan segenap perhatian
dan pikiran kepada Allah.
Ziarah tanpa pertemuan formal dengan juru kunci dilakukan pada
acara-acara rutin atau pada acara perayaan. Setidaknya seminggu sekali,
biasanya pada Kamis malam (bengi jum’ah) setelah shalat Isya secara rutin
melakukan tahlil. Di Astana Gunung Jati tahlil dilaksanakan sekali pada
hari Selasa malam (bengi rebo) dan dua kali pada hari Kamis malam jam 8
dipimpin oleh Ki Penghulu dan jam 10 dipimpin oleh Ki Jeneng. Tahlilan ini
dihadiri sekitar 5000 orang. Jumlah ini dapat bertambah menjadi 30.000
orang pada hari Kamis malam Kliwon (bengi Jum’at Kliwon).

C. MOTIF PARA PEZIARAH KUBUR


Menurut pandangan para penjaga makam, para pengunjung
(peziarah) datang dari berbagai kalangan, yakni:
1. Pengunjung biasa yang datang ke makam untuk kepentingan biasa,
seperti melihat koleksi barang-barang peninggalan sejarah, bentuk
arsitektur bangunan dan dimensi artistiknya (para turis, peneliti,
dan pengawas pemerintah).
2. Wong Ziarah (peziarah), yaitu pengunjung yang tidak sekedar ingin
mengetahui segi fisiknya saja, melainkan lebih bermaksud untuk
mendapat “barakah”.
23

Kalangan yang kedua lah yang merupakan pengunjung mayoritas.


Mereka datang dari berbagai daerah, latar belakang, jabatan, status dan
pendidikan, serta pemahaman tentang Islam yang berbeda-beda, dari
yang sangat dalam sampai yang awam.
Pengunjung mayoritas ini terbagi lagi atas dua kategori; yang
pertama adalah wong ziarah dan kedua, wong nyepi. Yang pertama adalah
mereka yang datang untuk singgah, berdoa, mengelilingi kompleks, dan
kemudian kembali pulang. Sedangkan yang kedua adalah mereka yang
tinggal bermalam selama beberapa hari atau berminggu-minggu.
Alasan berziarah juga berbeda-beda. Ada yang datang hanya untuk
dedonga (berdoa), untuk mencari atau memperoleh kebaikan, ada pula
yang datang dengan tujuan khusus dalam ikhtiar (usaha) memperoleh
petunjuk Allah untuk memecahkan masalah tertentu. Misalnya, Subawe
(40), pedagang dari Plered (6 km arah barat dari Astana) yang sudah 5
hari (saat wawancara dilakukan) berada di Astana Gunung Jati dan
berencana tinggal setidaknya 7 hari. Kunjungannya merupakan
kunjungan yang ke dua.
Sebelumnya, ia bermaksud untuk mengubah nasib dengan
mencoba menanamkan investasi kepada teman lamanya yang berusaha di
bidang eksport-import. Ia memberikan sejumlah uang yang diminta
temannya sebagai modal untuk mendatangkan barang (HP) murah dari
luar negeri untuk kemudian barang itu dipasarkan di Indonesia. Namun
sampai dua bulan ditunggu kabar dari temannya tidak kunjung datang
juga, akhirnya ia memutuskan untuk mencari alamat rumah temannya
yang ia tahu semasa sekolah dulu. Malangnya, ketika ia sampai di alamat
rumah itu, rumah itu bukan milik temannya lagi, rumah itu telah dijual
kepada pemilik yang baru 2 tahun yang lalu. Ia pun sadar telah tertipu.
Uang, serta harapannya untuk mengubah nasib melayang. Tak
seorangpun dapat menolongnya. Seperti yang dikatakannya bahwa yang
tinggal hanyalah keyakinan bahwa Allah pada akhirnya akan membayar
kesabarannya dengan pahala.
Pengunjung lainnya memiliki alasan yang berbeda tetapi dengan
maksud yang sama, seperti memulihkan kerusakan mental, kesulitan
ekonomi, masalah keluarga, kegagalan perkawinan, keinginan-keinginan
pribadi, seperti jodoh, mendapatkan pekerjaan, keinginan mempunyai
anak dan lain-lain. Bagi mereka makam menjadi semacam rumah sakit
mental tempat penyembuhan diri dalam atmosfer spiritual.
Tetapi tidak semua pengunjung yang datang ke Astana Gunung
Jati dengan alasan-alasan kesulitan hidup seperti diatas. Pak Zaenal (34)
dan istrinya dari Kuningan, misalnya, datang ke Astana Gunung Jati dan
rencananya tinggal selama 30 hari bukan untuk maksud penebusan dosa.
Pak Zaenal tidur di Masjid dan istrinya tidur di Pasambangan.
Mereka bermaksud untuk mengungkapkan rasa syukur setelah
memperoleh kebahagiaan. Pak Zaenal baru saja kembali dari bekerja di
24

Korea Selatan sebagai karyawan pabrik es krim. Ia telah menabung dan


berencana membeli tanah, memperbaiki rumahnya dan memulai hidup
baru dengan membuka toko dengan harapan apa yang telah diterima dan
apa yang akan dilakukannya mendapatkan berkah. Ia juga mendoakan
putranya agar menjadi orang (dadi wong), yang berarti ia menginginkan
anaknya menjadi anak yang baik dan soleh, mendapatkan kebahagiaan
dan lain-lain.
Lain lagi bagi Agung Sanjaya (22), asal Sumber. Astana Gunung Jati
baginya ibarat sebuah pesantren. Astana adalah tempat penginapan
gratis. Sejak tamat dari Madrasah Aliyah, ia telah mengunjungi banyak
pesantren dan kyai. Ia tinggal di masjid pesantren selama ia suka. Ketika
saya menjumpainya dan mewawancarainya di Astana Gunung Djati, ia
mengaku cukup beruntung karena ia mendapatkan uang sangu dari
orang tuanya untuk tiga bulan. Kadang-kadang seorang kyai yang baik
memberinya uang, dan kadang-kadang orang lain juga memberinya.
25

KESEHATAN MENTAL
PARA PEZIARAH MAKAM SUNAN GUNUNG DJATI

A. PROSESI ZIARAH
Menurut pandangan para penjaga makam, para pengunjung
(peziarah) datang dari berbagai kalangan, yakni:
Pengunjung biasa yang datang ke makam untuk kepentingan biasa,
seperti melihat koleksi barang-barang peninggalan sejarah, bentuk
arsitektur bangunan dan dimensi artistiknya (para turis, peneliti, dan
pengawas pemerintah).

Wong Ziarah (peziarah), yaitu pengunjung yang tidak sekedar ingin


mengetahui segi fisiknya saja, melainkan lebih bermaksud untuk
mendapat “barokah”.
26

Kalangan yang kedualah yang merupakan pengunjung mayoritas.


Mereka datang dari berbagai daerah, latar belakang, jabatan, status dan
pendidikan, serta pemahaman tentang Islam yang berbeda-beda, dari
yang sangat dalam sampai yang awam.
Pengunjung mayoritas ini terbagi lagi atas dua kategori yaitu:
pertama adalah wong ziarah dan kedua wong nyepi. Yang pertama adalah
mereka yang datang untuk singgah, berdoa, mengelilingi kompleks, dan
kemudian kembali pulang. Sedangkan yang kedua adalah mereka yang
tinggal bermalam selama beberapa hari atau berminggu-minggu.
Alasan berziarah juga berbeda-beda. Ada yang datang hanya untuk
dedonga (berdoa), untuk mencari atau memperoleh kebaikan, ada pula
yang datang dengan tujuan khusus dalam ikhtiar (usaha) memperoleh
petunjuk Allah untuk memecahkan masalah tertentu. Misalnya, Subawe
(40), pedagang dari Plered (6 km arah barat dari Astana) yang sudah 5
(lima) hari (saat wawancara dilakukan) berada di Astana Gunung Jati dan
berencana tinggal setidaknya 7 (tujuh) hari. Kunjungannya merupakan
kunjungan yang kedua.
Sebelumnya, ia bermaksud untuk mengubah nasib dengan
mencoba menanamkan investasi kepada teman lamanya yang berusaha di
bidang eksport-import. Ia memberikan sejumlah uang yang diminta
temannya sebagai modal untuk mendatangkan barang (HP) murah dari
luar negeri untuk kemudian barang itu dipasarkan di Indonesia. Namun
sampai dua bulan ditunggu kabar dari temannya tidak kunjung datang
juga, akhirnya ia memutuskan untuk mencari alamat rumah temannya
yang ia tahu semasa sekolah dulu. Malangnya, ketika ia sampai di alamat
rumah itu, rumah itu bukan milik temannya lagi, rumah itu telah dijual
kepada pemilik yang baru dua tahun yang lalu. Ia pun sadar telah tertipu.
Uang, serta harapannya untuk mengubah nasib melayang. Tak
seorangpun dapat menolongnya. Seperti yang dikatakannya bahwa yang
tinggal hanyalah keyakinan bahwa Allah pada akhirnya akan membayar
kesabarannya dengan pahala.
Pengunjung lainnya memiliki alasan yang berbeda tetapi dengan
maksud yang sama, seperti memulihkan kerusakan mental, kesulitan
ekonomi, masalah keluarga, kegagalan perkawinan, keinginan-keinginan
pribadi, seperti jodoh, mendapatkan pekerjaan, keinginan mempunyai
anak dan lain-lain. Bagi mereka makam menjadi semacam rumah sakit
mental tempat penyembuhan diri dalam atmosfer spiritual.
Tetapi tidak semua pengunjung yang datang ke Astana Gunung
Jati dengan alasan-alasan kesulitan hidup seperti diatas. Pak Zaenal (34
tahun) dan istrinya dari Kuningan, misalnya, datang ke Astana Gunung
Jati dan rencananya tinggal selama 30 hari bukan untuk maksud
penebusan dosa. Pak Zaenal tidur di Masjid dan istrinya tidur di
Pasambangan.
27

Mereka bermaksud untuk mengungkapkan rasa syukur setelah


memperoleh kebahagiaan. Pak Zaenal baru saja kembali dari bekerja di
Korea Selatan sebagai karyawan pabrik es krim. Ia telah menabung dan
berencana membeli tanah, memperbaiki rumahnya dan memulai hidup
baru dengan membuka toko dengan harapan apa yang telah diterima dan
apa yang akan dilakukannya mendapatkan berkah. Ia juga mendoakan
putranya agar menjadi orang (dadi wong), yang berarti ia menginginkan
anaknya menjadi anak yang baik dan soleh, mendapatkan kebahagiaan
dan lain-lain.
Lain lagi bagi Agung Sanjaya (22 tahun), asal Sumber. Astana
Gunung Jati baginya ibarat sebuah pesantren. Astana adalah tempat
penginapan gratis. Sejak tamat dari Madrasah Aliyah, ia telah
mengunjungi banyak pesantren dan kyai. Ia tinggal di masjid pesantren
selama ia suka. Ketika saya menjumpainya dan mewawancarainya di
Astana Gunung Djati, ia mengaku cukup beruntung karena ia
mendapatkan uang sangu dari orang tuanya untuk tiga bulan. Kadang-
kadang seorang kyai yang baik memberinya uang, dan kadang-kadang
orang lain juga memberinya.
Prosesi Ziarah
Para pengurus makam (juru kunci) menganggap semua
pengunjung adalah tamu yang harus dihormati. Banyak alasan yang
mendasarinya. Pengunjung adalah tamu, bukan saja bagi mereka, tapi
juga terutama bagi orang yang dianggap suci dan makamnya menjadi
sumber nafkah para pengurusnya.
Hubungan antara para pengunjung dengan juru kunci biasanya
berawal ketika seorang atau sekelompok pengunjung datang ke juru
kunci menjelaskan maksud mereka apakah hendak berziarah atau nyepi.
Sebagai formalitas, juru kunci menyarankan pengunjung membawa
bunga dan kemenyan (tidak diwajibkan), berwudlu, lalu bersama juru
kunci memasuki tempat ziarah sambil memberi salam kepada yang
meninggal sesuai dengan ajaran Islam ketika mengunjungi makam.
Kemudian mereka duduk di atas tikar atau lantai menghadap
makam dan membakar kemenyan (tidak diwajibkan). Kemudian juru
kunci bertanya apakah tamu tersebut akan memanjatkan doa sendiri-
sendiri atau, jika bersama-sama, apakah salah seorang dari rombongan
yang akan memimpin doa ataukah dipimpin oleh juru kunci sendiri.
Doa yang biasa dibaca pada saat ziarah adalah tahlil. Sebelum tahlil,
dibacakan surat al-Fatihah sebanyak 7 kali, yang masing-masing
ditujukan kepada arwah beberapa almarhum. Yang pertama ditujukan
kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya, istri-istrinya, keturunan,
penghuni rumahnya (ahl al-bayt). Yang kedua ditujukan kepada empat
sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW yang menjadi khalifah
sesudahnya (khalifah Abu Bakr al-Siddiq, ‘Umar bin al-Khaththab,
‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Tholib)) dan beberapa sahabat dekat
28

lainnya (Thalhah, Sa’ad, Sa’id, ‘Abd. Rahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah
’Amir bin Jarrah, Zubair bin Awwam). Yang ketiga kepada imam empat
mazhab (Imam Maliki, Ahmad bin Hambali, Abu Hanifah, Muhammad
Idris al-Syafi’i), para pengikutnya, ulama, ahli hukum, ahli hadits,
pembaca Qur’an, ahli tafsir, para sufi yang muhaqqiq, dan yang mengikuti
mereka dengan sepenuh hati (ihsan) sampai hari kiamat. Yang keempat
ditujukan untuk para pejuang (syuhada) yang dimakamkan di al-Ma’la, al-
Shubaikah, al-Baqi’, dan seluruh kaum muslimin yang telah meninggal di
Timur dan Barat, di daratan dan di lautan. Yang kelima ditujukan kepada
semua wali di Timur dan Barat, di darat dan laut. Yang keenam ditujukan
untuk sejumlah tokoh terkemuka yang dimakamkan di kompleks Astana,
terutama Syeikh Syarif Hidayatullah atau Kanjeng Sunan Gunung Djati,
Syarifah Mudaim (Larasantang), Nyai Mas Panatagama Pasambangan
(Syarifah Baghdad), Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang), Syekh
Datu Kahfi, dan Syeikh Bayanillah (berlaku di Astana). Yang terakhir
ditujukan untuk arwah para orang tua, leluhur, orang-orang muslim, dan
seluruh saudara seagama yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal.
Kemudian membaca tahlil sebanyak 100 kali, diikuti pembacaan
ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad,
penutupnya adalah pembacaan doa yang diamini oleh yang hadir.
Kemudian bunga ditaburkan di atas makam atau di tempat yang
ditunjukkan oleh juru kunci. Terakhir, peziarah tafakur dan berdoa dalam
hati dengan bahasa masing-masing agar keinginan mereka dikabulkan,
dan ziarah pun selesai.
Bila ziarah dilakukan sendirian (tanpa juru kunci), waktu
meninggalkan tempat ziarah, pengunjung menyalami juru kunci dan
memberinya uang sebagai sumbangan atau memasukkannya ke dalam
kotak yang telah disediakan. Di Astana Gunung Jati, uang sumbangan
diletakkan di depan pintu pesujudan. Ketika orang beramai-ramai ingin
memberi sumbangan dalam bentuk uang logam tetapi jika mereka tidak
dapat mendekati pintu pesujudan karena terlalu banyak orang, maka
uang tersebut dapat dilemparkan dan akan jatuh di sekitar pintu. Prosesi
ini menandai berakhirnya ziarah.
Banyak pengunjung (peziarah) yang kurang puas dengan hanya
melakukan tahlil. Mereka biasanya berdesakan berusaha mencapai pintu
pesujudan. Mereka yang sabar akan menunggu hingga tersedia cukup
ruang demi untuk mendapat kesempatan menyandarka tubuh mereka
pada pintu kayu pesujudan. Beberapa diantara mereka ada yang
menciumi atau mengelus pintu, kemudian mengusapnya ke wajah
mereka. Ada juga yang menyeka pintu dengan saputangan, sedankan
yang lainnya mengambil dan mencium kembang yang telah mereka
letakkan sebelumnya.
29

Di luar kegiatan tahlil dapat terlihat pengunjung yang tidur di sela-


sela makam, atau duduk sambil berkomat-kamit mengucapkan sesuatu
atau ada yang membaca Al Qur’an menghadap makam, ada juga yang
memegangi batu nisan ketika melakukan hal-hal yang tersebut tadi.
Bagi wong nyepi setelah kegiatan ziarah yang umum selesai, juru
kunci mengajak mereka untuk menempati sebuah ruang yang tersedia di
Astana. Pengunung baru akan diminta untuk berbagi tempat dengan yang
lainnya, pengunjung tetap akan dipersilakan memilih tempat yang
disukai. Selama tinggal di Astana, wong nyepi biasanya melakukan puasa,
shalat malam (tahajud dll), membaca Al Qur’an, bertahlil sendiri-sendiri,
atau melakukan tirakat dengan hanya memakan makanan pokok saja
(mutih atau ngasrep) seperti nasi, singkong dan jagung, serta melakukan
perbuatan-perbuatan baik lainnya.
Bagi mereka yang tidak dapat melakukan semua yang disebutkan
di atas, maka dapat meminta nasihat juru kunci. Jika tidak dapat atau sulit
memahami nasihat juru kunci, maka juru kunci menekankan
kesungguhan dalam berdoa, mengharap agar melalui barakah dan
karamah mendiang di Astana, Allah akan mengabulkan doanya.
Kesungguhan harus diungkapkan melalui puasa, berdoa terus-menerus di
dalam hati atau secara lisan dengan bahasanya sendiri, membaca
berulang-ulang apa yang mereka bisa, memusatkan segenap perhatian
dan pikiran kepada Allah.
Ziarah tanpa pertemuan formal dengan juru kunci dilakukan pada
acara-acara rutin atau pada acara perayaan. Setidaknya seminggu sekali,
biasanya pada Kamis malam (bengi jum’ah) setelah shalat Isya secara rutin
melakukan tahlil. Di Astana Gunung Jati tahlil dilaksanakan sekali pada
hari Selasa malam (bengi rebo) dan dua kali pada hari Kamis malam Jumat
jam 8 dipimpin oleh Ki Penghulu dan jam 10 dipimpin oleh Ki Jeneng.
Tahlilan ini dihadiri sekitar 5.000 orang. Jumlah ini dapat bertambah
menjadi 30.000 orang pada hari Kamis malam Jumat Kliwon (bengi Jum’at
Kliwon).
Menurut P. Muhammad Apiah Sulaiman Sulaindraningrat dan P.
Rachman Sulaiman Sulendraningrat,6 ketika ngobrol-ngobrol setelah
selesai dari Ziarah mengatakan: bahwa pada setiap malam kamis adalah
dikhususkan buat keluarga atau keturunan dari syaikh Syarif
Hidayatullah adapun hadiyuan yang dibaca adalah seperti dibawah ini

6
Wawancara pada malam kamis tanggal 12, 19, 26 April 2007, dengan P. Muhammad Apiah
Sulaiman Sulendraningrat Syaikh Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Guru Tarekat
Sattariyyah penerus allanad almarhum Syaikh P. Sulaiman Sulendraningrat dan P. Rachman
Sulaiman Sulendraningrat lulusan UI jurusan Arkeologi, keduanya adalah kakak beradik dari 9
bersaudara yang merupakan keturunan langsung dari Syaikh Syarif Hidayatullah yang ke 18
30

 Ila hadarotin Nabiyyil Mustofa Sayyidina wa Maulana Muhammaddin


Salallahu Alaihi wassalam. Wa ala alihi, wa shabihi, wa ajwajihi
Wassalam. Wa ala alihi, wa ashabihi, wa ajajihi, wadhuryatihi, wa ahli
baithi, wa atba-ibi, Syalulillahi lahum alfatihah.
 Wa ila hadorotin Nabiyallah Adam, wa Sayidatina Hawa, wa
alaihimassalam, wa ilahadorotina Nabiyallah Hidir, wa Nabiyallah
Ilyas, wa Nabiyyalah Sulaiman Alaihimssalam, a’adanallahumin
barokatihim wa syafa’atihim fidunya wal ahiroh, Syaiulillahi lahum
alfatihah.
 Wa ila arwahi sadatina Abi Bakri, wa Umar, wa Usman, wa Ali, wa
tolhata, wa sa’din, wa saidin, wa Abdirokhman ibni Auf, wa Abi
Ubaidah Amir-ribnir jaroh, wa Jubaribnil amwan, wa ambaqiati
shohabati watabi’in wa tatabi’in thabiina wama tabi ahum bi ihsani ila
yaumidin, sayaiulillahi lahum alfatihah
 Tsumma ila arwahi arba-ati, a-imatil, mujtahidin, wa muqolidihim
fiddin, wal ulama-il amilina, wal fuqoha’I wal muhadisin, wal kura’i
wal mufasirina, wasadati sufiatil muhaqiqien, wa tabi-ihim bi ikhsani
ila yaumidina, syaiulillahi lahum alfaehah.
 Wa ila arwahi, sadatina ahlal ma’la, wa subaikati, wal baqie, wa
amwatil muslimina wal muslimat, wal muqminina wal muqminat,
kaafata mim masyarikil ardhi, ila magorobiha, fi bahriha wa bahriha,
min-jamin ya ila syimaliha, syailulillahi lahum alfatihah.
 Wa ila arwahi jami’I Awliya’i-lilahi ta’ala mim masyrikil ardhi ila
maghoribiha fibar-riha wa bahriha min yauminiha ila syimaliha
khususon ila hadoroti syyidina wa Maulana Sulthonil awaliya-i Syekh
Muhyidin Abdil Qodir Jaelani, wa Sayidi Amil Qosimil Junaedil
Bagdadi, wa syaidi Syekh Ahmadal Badawi, wa syaidi Syekh
Ahmadarrifa’i, wa syaidi Syekh Ja’far Sodiq, wa syaidi Syekh Abi
Yazidal Bastomi, wa syaidi Yusufal Hamdani, wa syaidi Abil Hasanil
Harqoni, wa syaidi Ma’rufil Kurhi. wa syaidi sirri sakti wa habibil
ajami watoifati syufiah, wa usulihim wa furuihim, wa ahli silsilatihim
wa ahidina minhum, syaiulillahilahum alfatihah
 Tsumma ila hdoroti Sayyaidina wa maulana Sulthonil Awliya-i Syekh
Syarief Hidayatullah Sulthonil Mahmud, wa ila arwahi Sayidatina
Syariefah Mauda’im, wa ila ruhi Syaidina wa Maulana Pangeran
Cakrabuana wa ila ruhi Sayidatina Nyai Mas Panatagama
Pasambangan, wa ila ruhi Sayidatina Ratu Mas Pakungwati, wa ila
ruhi Nyai Mas Ratu Ayu Rarasumanding, wa ila ruhi Syekh
Mursyahadatillah, Khususon ila ruhi Syekh wa Maulana Syekh Datil
Kahfi, wa ila ruhi Syekh Bayanilah, wa Pati Keling, wa ila ruhi
Sayidina Pangeran Faletehan, wa Raden Pattah Sultan Demak. Wa ila
arwahi Jami’il Awaliya-i wa salatin. Wa ahlil kubur aladina
yukbaruna fi hadal makan Wa Gunung Sembung wa Gunung Jati, wa
31

usulihim wa furu-ihim, wa ahli silsilatiim wa ahidina minhum,


aghisna, aghisna, aghisna yaa ‫الله‬, bi idznillahi ta’ala wa
bikaromatihim nas-alukal barokata, wa syafa’ata wa karomata wal
ijata, wal ijabah, syailillahi lahum alfatihah.
 Khususon ila hadoroti Raden Hemas Wilayatillah, wa Khususon ila
hadoroti Raden Pupuk Wungu Wangi Jaya, wa Khususon ila hadoroti
Sayid Syekh Amarullah wa Khususon ila hadoroti Sayid Syekh Purba
Wilayatullah, Sayiulillahi lahum alfthah.

 Khususon ila arwahi wa Maulana Ali Rahmatullah Sunan Ampel, wa


Sayidina Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang, wa saidina
wa Maulana Sunan Undung, wa Sayidina Ja’far Sodiq Sunan Kudus,
wa Sayidina Raden Paku Sunan Giri, wa Sayidina Raden Sahid Sunan
Kalijaga, wa Sayidina Syekh Siti Jenar, wa Sayidina Raden Umar Sahid
Sunan Muria, wa Sayidina Jurugem Syekh Bentong, wa Sayidina
Syekh Jumadil Akhir Syekh Majagung, wa usulihim, wa furu ihim, wa
ahli baithihim, syaiulillahi lahum alfatihah
 Wa khususon ila ruhi Sayidina Syekh Quro, wa ila ruhi Sayidatina
Nyai Mas Subang Krancang, wa ila ruhi Sayidatina Nyai Mas
Gandasari, wa ila ruhi Sayidatina Nyai Mas Kadilangu, wa Pangeran
Panjunan, wa ila ruhi Dipati Cangkuang, wa ila ruhi Pangeran
Jagasatru, wa ila ruhi Pangeran Cucimanah, wa ila ruhi Pangeran
Kejawanan, wa ila ruhi Syekh Magelung Sakti, wa ila ruhi Bung
Cikal, wa ila ruhi Pangeran Badar, wa ila ruhi Prabhu Sukmajati, wa ila
ruhi Pangeran Drajat, wa ila ruhi Sultan Banten Hasanuddin, wa ila
ruhi Pangeran Pasarean, wa ila ruhi Pangeran Dipati Carbon, wa ila
ruhi Panembahan Ratu, wa ila ruhi Pangeran Dipati Anom Carbon,
wa ila ruhi Panembahan Girilaya wa ila ruhi Sultan Raja Syamsuddin
wa ila ruhi, Sultan Raja Tajul Arifin Jamaluddin, Wa ila ruhi Sultan
Sepuh Raja Jamaluddin, Wa ila ruhi Sultan Sepuh Raja Sena Moh
Jaenuddin, Wa ila ruhi Sultan Sepuh Matangaji, Wa ila ruhi Sultan
Sepuh Hasanuddin, Wa ila ruhi Sultan Sepuh I, Wa ila ruhi Sultan
Sepuh Raja Syamsuddin I, Wa ila ruhi Sultan Sepuh Raja Syamsuddin
II, Wa ila ruhi Sultan Sepuh Rajaningrat, Wa ila ruhi Sultan Sepuh
Jamaluddin Aluda, Wa ila ruhi Sultan Sepuh Raja Rajaningrat, Wa ila
ruhi Sultan Moh Badriddin Bin Panembahan Girilaya Wa ila ruhi
Sultan Anom Raja Madureja Kadiruddin, Bin Sultan Moh Badriddin
Kanoman Wa ila ruhi Sultan Anom Alimuddin, Wa ila ruhi Sultan
Anom Moh Kaeruddin, Wa ila ruhi Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin, Wa ila ruhi Sultan Anom Moh Komaruddin I, Wa ila ruhi
Sultan Anom Moh Komaruddin II, Wa ila ruhi Sultan Anom Raja
Dzulkarnaen, Wa ila ruhi Sultan Anom Raja Nurbuat, Wa ila ruhi
Sultan Anom Haji Moh Nurus Samawat, Wa ila ruhi Sultan Anom Haji
Moh Jalaluddin, Wa ila ruhi Pangeran Raja Adipati Kaprabon Bin
32

Sultan Moh Badriddin Kanoman, Wa Ila Ruhi Pangeran


Kusumawaningyun, Wa Ila Ruhi Pangeran Brataningrat, Wa Ila Ruhi
Pangeran Raja Sulaeman Sulendraningrat, Wa Ila Ruhi Pangeran
Aripudin Kusumabratawirya, Wa Ila Ruhi Pangeran Adikusuma, Wa
Ila Ruhi Pangeran Moh Apiah Adikusuma, Wa Ila Ruhi Pangeran
Sulaeman Sulendraningrat, Wa Ila Ruhi Sultan Carbon Kacerbonan Bin
Sultan Anom Moh Kaeruddin Kanoman, Wa Ila Ruhi Pangeran Raja
Madenda, Wa Ila Ruhi Pangeran Raja Dendawijaya, Wa Ila Ruhi
Pangeran Raharja Madenda, Wa Ila Ruhi Pangeran Raja Raharja
Madenda, Wa Ila Ruhi Pangeran Sidik Aryaningrat, Wa Ila Ruhi
Pangeran Harkat Natadiningrat, wa Pangeran Moh Amir Mulyono
Natadiningrat, Wa Ila Ruhi Ibu Ratu Samsinah, Wa Ila Ruhi Ibu
Nyimas Turidaningsih, Wa Ila Ruhi Ibu Ratu Wari Asmayaningrat, Wa
Ila Ruhi Pangeran Nuruddin Sulendraningrat, Wa Ila Ruhi Ibu Ratu Sri
Nurhati Sulendraningrat, wa Pangeran Moh Ismail, wa Pangeran
Chaeruddin, wa Raden Agah Suryakartalegawa, wa Ratu
Juwitaningrat, wa Ratu Nanii Anggraeni, syaiulillahi lahum alfatihah
 Tsuma ila ruhi Ki Gedeng Alang Alang, wa Ki Gedeng Kasmaya, wa
Ki Gedeng Sembung, wa Ki Gedeng Paluamba, Wa ila ruhi Ki Gedeng
Junti, wa Ki Gedeng Lemah Putih, wa Ki Gedeng Tedeng, wa Ki
Anggaraksa, wa Ki Buyut Kalijaga, Wa ila ruhi Ki Gedeng Cirebon
Girang, wa Ki Buyut Weru, wa Ki Buyut Kemlaka, wa Ki Buyut
Tukmudal, Wa ila ruhi Ki Buyut Truwag, wa Ki Gedeng Panguragan,
wa Syekh Abdul Latief Kajen, wa Ki Gedeng Ender, wa Ki Buyut
Krangkeng, wa Ki Buyut Bojong, wa Ki Buyut Kedongdong, wa Ki
Gedeng Tameng, wa Ki Gedeng Japura, Wa ila ruhi Ki Gedeng
Bungko, wa Ki Gedeng Trusmi, wa Nyi Mas Kuwati, wa Ke Gedeng
Palimanan, wa Ki Gedeng Suranenggala, wa Ki Gedeng Kapringan, wa
Ki Gedeng Mayung, wa Ki Gedeng Kapetakan, wa usulihim wa furu
ihim wa ahli silsilatihim wa ahidina minhum syaiulillahi lahum
alfatihah
 Wa ila arwahi aba-ina wa ummahatina, wa ajdadina, wajadatina, wa
ammatina, wa ahwalina, wa holatina muslimina walmuslimat, wal
muqminin minhum wal muqminat, fabarrika wa bahrika ajmain,
syaiulillahi lahum alfatihah.
 Nawaitu dzikri takaruban ilallah fa’lam anahu……..
- La ilahi ila llah (hayun mawjud)
- La ilaha ilallah (hu hayun da’im)
-La ilaha ilallah (hu sayidina Muhammadarrsulullah)
- La ilaha ilallah …………100 x
Allahumma sholli ’ala sayyidina Muhammad. Allahumma sholialaihi
wasalam
Allahumma sholli ’ala sayyidina Muhammad. Allahumma sholialaihi
wasallim
33

Allahumma sholli ’ala sayyidina Muhammad. Ya Robbi soli ‘alaihii


wasallim
Subhanallah wabi hamdihi, subhanallah hiladhiem
Allahumma sholli ’ala habibika sayyidina Muhammad, wa alihi wa
sohbihi wasallim Allahumaa sholli ’ala habibika sayidina Muhammad,
wa alihi wa sohbihi wasallim
Allahumaa sholli ’ala habibika sayyidina Muhammad, wa ‘ala alihi wa
ashabihi wabarik wasallim ajma’in.
La ilaha ilallahu Allahu akbar
- Surat al-Ikhlash ………………11x
La ilaha ilallahu Allahu akbar
- Surat al-Falaq
La ilaha ilallahu Allahu akbar
- Surat al-Nas
La ilaha ilallahuAllahu akbar
- Surat al-Fatihah
- Surat al-Baqoroh ayat 1-5
- Istighfar 3 x

Prosesi tahlilan dalam rangkaian ziarah versi lain, sebagaimana


dikemukakan oleh Drs. Raden Insan Purnama, M.Pd. yang biasa
mengantar para tamu peziarah dari luar kota, adalah sebagai berikut :

Tahapan I;
Mukaddimah yakni membaca syahadat secara bersama-sama
dilanjutkan dengan istighfar (3 kali). Dilanjutkan dengan menyampaikan
solawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW layaknya seorang tamu
yang hendak menjumpai beliau. Kemudian membaca istighfar (3 kali)
secara bersama-sama.

Tahapan II;
Menyampaikan salam (Assalamu’alaikum) kepada :
1. Keempat khalifah (khulafa al-Rosyidin), paman Nabi, istri-istri dan
putra putri Nabi. sahabat Nabi yang dijamin masuk sorga, para
syuhada perang badar dan Uhud, serta kaum muhajirin dan
anshor.
2. 25 nabi/rasul Allah,
3. kesepuluh malaikat Allah,
4. kesembilan wali tanah Jawa (wali sanga),
5. keturunan Syeikh Syarif Hidayatullah, ulama, dan juga kepada
orang tua serta leluhur yang sudah meninggal.
34

Tahapan III;
membaca istighfar (3x)

Tahapan IV;
membaca surat al-Fatihah (bersama-sama)

Tahapan V ;
dzikrullah dengan membaca :
1. ”Ya Hadiyyu, Ya ’Aliimu, Ya Khobiiru, Ya Mubiin” (bersama-
sama) 226 kali
2. surat Al Baqoroh ayat 254 (bersama-sama)
3. “Ya Ayllu Ya Qoyyum” 226 kali (bersama-sama)
4. surat Al Baqoroh ayat 255 – 256 dan Al Baqoroh ayat 276 -278
(bersama-sama)
5. “wa’fu’ anna waghfir lanaa warhamna” 100 kali (bersama-sama)
6. “ya lathifu” 129 kali (bersama-sama)

Tahapan VI;
Doa

Menurut Drs. Raden Insan Purnama, M.Pd. bacaan dan kalimat


tahlilan tersebut di atas merupakan salah satu kebiasaan kelompok tariqat
ketika ziarah ke makam Gusti Sinuhun. Menurutnya, upacara tahlilan
yang dilakukan para peziarah ke makam Gusti Sinuhun itu dapat
dibedakan menjadi, setidaknya, dua kategori. Kategori pertama upacara
tahlilan yang didampingi atau dipimpin oleh Juru Kuncen dan upacara
tahlilan yang dilakukan sendiri oleh keolompok peziarah dengan
pimpinan salah seorang dari mereka. Kategori kedua ini juga bisa
dicirikan sebagai tahlilan masyarakat awam dan tahlilan kelompok
tariqat. Tahlilan kelompok terakhir ini dari segi bacaan berbeda dengan
kelompok lainnya, seperti contoh bacaan tersebut di atas.. (Wawacara 26
April 2007).

B. MOTIVASI PEZIARAH
Seusai upacara tahlilan, menurutnya, para peziarah biasanya
melakukan berbagai aktivitas dari mulai relaksasi, berjalan-jalan sambil
mengamati berbagai benda-benda purbakala peninggalan Kerajaan
Cirebon semasa Sunan Gunung Djati dan duduk-duduk sebentar di
warung kopi, sebelum kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Adapula, di antara para peziarah yang mengambil air dari sumur tujuh
(sumur pitu).
Masalah air, menurut Drs. Raden Insan Purnama, M.Pd., sejak dulu
sampai dengan sekarang masih menjadi salah satu buruan para peziarah.
35

Para peziarah meyakini ziarah ke makam Sunan Gunung Djati adalah


tidak afdol manakala tidak meminum atau membawa air dari sumur tujuh.
Bahkan, ada di antara mereka yang sengaja dari rumah igin melakukan
mandi di sumur tujuh dengan harapan mendapatkan berkah dari Gusti
Sinuhun, tutur Raden Insan Purnama.
Air sumur pitu masih diyakini sebagai air berkah dan keramat
(karomah); terlepas apakah air dari ketujuh sumur itu mengandung
kualitas yang baik secara kimiawi dan sesuai dengan kebutuhan tubuh
manusia atau tidak. Air sumur pitu itu juga diyakini oleh para peziarah
yang hendak mencari solusi bagi kehidupannya sebagai air berkah dan air
keramat. Air tersebut dijadikan tumpuan harapan pembuka jalan bagi
kehidupan dan juga penghidupan para peziarah di masa depan.
Motif ziarah yang demikian seringkali dijadikan sebagai dorongan
yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Karena motivasi merupakan dorongan dari
keinginan pada setiap manusia untuk membentuk dan merealisasikan
diri, dalam pengertian mengembangkan segenap bakat dan
kemampuannya, serta meningkatkan taraf kehidupannya. Jelasnya
motivasi mendorong para peziarah menjadi diri sendiri sebagai proyek
untuk dibangun dan diselesaikan sesuai dengan gambaran ideal tertentu
sesuai dengan apa yang di cita-citakan. Para peziarah mendambakan
perubahan didalam kehidupannya ke arah yang lebih baik dari yang
sekarang. Setidaknya, para peziarah dapat melahirkan semangat baru
untuk bergerak lebih cepat dan lebih sungguh-sungguh dalam melakukan
aktivitas kehidupannya.
Motif yang ada pada setiap peziarah pada dasarnya lahir dari dasar
keinginan-keinginan yang timbul pada semua manusia yang normal.
Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara
lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dengan alam
supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung,
gua, dan hutan tertentu serta tempat “angker” lainnya tidak hanya
diziarahi sebagai media beribadah saja, tetapi juga dikunjungi untuk
mencari ilmu (ngelmu) alias mencari kesaktian dan legitimasi politik.
Dengan demikian motif para peziarah makam Sunan Gunung Djati
di Cirebon dapat dikelompok menjadi dua kategori motif besar, yaitu
motif keagamaan atau ibadah ritual dan motif sosial atau duniawiah.
Motif sosial atau duniawiah dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok. Pertama, motif atau tujuan-tujuan yang mendasari para
peziarah yang sedang menghadapi masalah-masalah ekonomi (pribadi,
keluarga ataupun perusahaan/instarnsi/tempat bekerja). Kedua, motif
yang berhubungan dengan masalah-masalah domestik atau keluarga
(rumah tangga), baik yang berhubungan dengan anak ataupun istri, orang
tua ataupun mertua. Ketiga, motif yang berkaitan dengan kepentingan
seseorang dalam meraih jabatan, pangkat, kedudukan ataupun legitimasi
36

politik. Keempat, motif untuk mendapatkan ilmu, kesaktian ataupun


kedigjayaan.
Motif keagamaan ataupun ibadah ritual biasanya lahir dari
kebutuhan para peziarah yang hendak meniru jejak dan perilaku Sunan
Gunung Djati dalam hal mengamalkan ajaran tariqat shufi dan atau
bertasawuf. Para peziarah mendambakan dan merasakan kebanggan
tersenidiri manakala dirinya menjadi pengamal ajaran tariqat shufi yang
di mata masyarakat diakui sebagai pengikut Syaykh Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Djati.
Lebih lanjut motif-motif itu dapat dikategrorikan menjadi motif
instrinsik (internal) dan motif ekstrinsik (eksternal). Motif instrinsik
(internal) yang dimaksud adalah dorongan atau motif yang
mengakibatkan perilaku atau perbuatan tertentu atas dasar kebutuhan
yang timbul dari dalam diri peziarah yang bersifat permanen. Sedangkan
motif ekstrinsik (eksternal) adalah motif yang mengakibatkan seseorang
melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Djati atas dorongan faktor-
faktor dari luar dirinya yang bersifat temporer atau insidental seperti
kondisi rumah tangga, ekonomi, jabatan, status sosial, ataupun
kepentingan-kepentingan politik lainnya. Motif eksternal ini, menurut
penuturan Drs. Raden Imanuddin, salah seorang kerabat keraton dan juru
kuncen, dapat mendatangkan banyak peziarah tetapi kehadiran mereka
untuk berziarah tidak kontinyu. Artinya, ketika mereka sedang
menghadapi masalah maka mereka akan rajin melakukan ziarah. Tetapi,
ketika mereka merasa diri tidak menghadapi masalah atau merasa sudah
mendapatkan solusi bagi masalah yang dihadapinya maka kedatangan
mereka untuk berziarah pun akan berakhir. (Wawancara 20 April 2007).

C. KEJIWAAN (MENTAL) PEZIARAH


Bagian ini akan menyuguhkan beberapa indikator tentang
kesehatan mental para peziarah makam Sunan Gunung Djati Cirebon
dalam persepektif Psikologi Pendidikan Islam. Beberapa indikator
dimaksud sebenarnya diilhami oleh rumusan para ahli psikologi tentang
ciri-ciri atau tanda-tanda kesehatan mental para penganut agama.
Beberapa indikator dimaksud adalah meliputi : kesadaran beragama yang
matang, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pelaksanaan ajaran
agama secara konsisten dan produktif, pandangan hidup yang
integral/komprehensif, semangat pencarian dan pengabdian kepada
Tuhan.
1. Kesadaran Beragama yang Matang
Ketika seseorang pemeluk agama telah memiliki differensiasi yang
baik, maka semua pengalaman, rasa dan kehidupan beragama makin
lama, makin matang, makin kaya, kompleks dan makin bersifat pribadi.
Pemikirannya makin kritis dalam memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi dengan berdasarkan ke-Tuhanan. Penghayatan hubungan
37

dengan Tuhan makin dirasakan bervariasi dalam berbagai suasana dan


nuansa. Dalam kesendiriannya ia mencari dan merasakan kerinduan
kehadiran Tuhan.
Lazimnya para peziarah ke makam adalah orang-orang yang
bertujuan untuk dapat menyelesaikan masalah. Diantara mereka
kebanyakan memiliki pemikiran yang kritis dalam memecahkan masalah
yang dihadapi. Artinya, selain memanfaatkan ziarah sebagai media
pemecahan masalahnya, mereka juga tidak meninggalkan ikhtiar lahiriah.
Seperti, Mang Udin salah seorang peziarah yang berprofesi sebagai
karyawan, dia menyempatkan ziarah ke makam Sunan Gunung Djati
hanya sebagai salah satu instrument dalam menghadapai masalah.
Sebenarnya, dia mengetahui cara menyelesaikan masalah di tempatnya
kerja akan tetapi, untuk memperkuat rasa percaya diri dia menyempatkan
diri untuk berziarah dalam rangka memperkuat spiritualitasnya sebagai
seorang pekerja. (Wawacara 2o April 2007).

2. Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis


Kesadaran agama yang muncul dari pemeluk agama akan tumbuh
dan berkembang menjadi pusat sistem kepribadian yang mantap, maka ia
akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah serta
mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang. Peranan kesadaran
beragama itu merasuk ke dalam aspek mental lainnya. Tanggapan,
pengamatan, pemikiran, perasaan, dan sikapnya akan diwarnai oleh rasa
keagamaan.
Motivasi kehidupan beragama para peziarah makam Sunan
Gunung Djati di Cirebon, menurut Apeng 7 penziarah dari Jambi (Cina
Muslim) ketika diwawancarai mengatakan:
Motivasi kehidupan beragama masyarakat di sekitar Gunung Jati
mencerminkan nilai-nilai ideal seperti terkandung di dalam ajaran wali
yang dibawa syaikh Syarif Hidayatullah perlu terus ditingkatkan agar
semakin dekat dengan nilai, norma, dan ajaran agama. Kualitas
kehidupan beragama tercermin pada perilaku sosial setiap pemeluknya.
Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa kualitas kehidupan beragama
peziarah Makam Keramat Syaikh Syarif Hidayatullah menunujukkan
adanya toleransi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat adanya makam warga
keturunan Cina yang menurut cerita adalah istri Syaikh dan banyak juga
warga-warga keturunan cina yang pada menziarahinya padahal mereka
non Islam, akan tetapi masyarakat, pengunjung, dan para petugas di
Sekitar makam keramat Syaikh tidak merasa terganggu dan bahkan
mereka menghormati dengan cara memberikan jalan walaupun kondisi
desak-desakan.

7
Wawacara pada 08 Mei 2007. Apeng dari Jambi adalah warga keturunan Cina yang sudah
masuk Islam dan sering ziarah ke makam keramat kenjeng Syaikh Syarif Hidayatullah
38

3. Pelaksanaan Ajaran Agama secara Konsisten dan Produktif


a. Kemantapan dalam Melaksanakan Ajaran Agama
Berdasarkan penuturan juru kuncen, pengamatan penulis terhadap
aktivitas ziarah (khususnya upacara tahlilan), dan pengakuan para
peziarah, sebagian besar peziarah makam Sunan Gunung Djati Cirebon
tergolong kelompok masyarakat yang secara praktis sebagai pengamal
ajaran agama (Islam) yang taat, patuh dan senang melakukan amalan-
amalan ibadah secara istiqomah (kontinyu). Hal ini dapat diamati dari
berbagai aspek misalnya, penampilan dan citra para peziarah yang
tergambar dalam tatacara berbusana (menutup ’aurat), gaya berbicara,
sopan santun, dan peghormatan terhadap sesama peziarah, juru kuncen,
para pedagang, juru parkir, dan bahkan penghormatan terhadap situs-
situs di sekitar Astana.
Para peziarah makam Sunan Gunung Djati yang demikian
menampakkan kesan kuat bahwa mereka dari segi tatacara berbusana,
berbicara, sopan santun, dan peghormatan terhadap sesama adalah
kelompok masyarakat muslim yang bermoral. Sedangkan sikap mereka
yang lugu, sederhana, memahami kondisi masyarakat setempat (budaya
lokal), menghormati perbedaan-perbedaan, menghormati tamu (karena
peziarah identik dengan tamu), mampu menjaga keseimbangan diri
ketika mendapatkan ”benturan” dari luar dirinya, mencerminkan
kepribadian mereka yang integral dalam menjalankan ajaran agama yang
mereka yakini kebenarannya. Kondisi jiwa keagamaan mereka tergolong
stabil dan harmonis.
b. Tanggungjawab dilandasi wawasan/pandangan yang luas
Segala bentuk penampilan lahiriah yang digambarkan di atas
sesungguhnya mencerminkan rasa tanggungjawab yang kuat dalam
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya, dilandasi oleh wawasan
atau pandangan yang luas dalam beragama.
4. Pandangan Hidup yang Integral/Komprehensif
Berusaha mencari nilai-nilai baru dan mentafsirkannya. Dalam
kajian psikologi, diantara ciri pandangan hidup yang integral atau
komprehensif adalah adanya usaha mencari nilai-nilai baru dan usaha
untuk melakukan interpretasi nilai-nilai baru tersebut.
Para peziarah makam Sunan Gunung Djati sebagian besar
merupakan penduduk atau warga masyarakat yang berasal dari daerah
Cirebon dan Desa Astana khususnya. Mereka juga bukan ahli atau kerabat
keraton Kasepuhan, Kanoman, atau Kacerbonan. Kehadiran mereka, tidak
diragukan, ke komplek Astana pada mulanya untuk berziarah ke makam
Sunan Gunung Djati sebagai perwujudan dari rasa khidmah kepada salah
sorang da’i dan figur yang menjadi penyebab masyarakat Jawa Barat
menjadi hamba Allah yang beriman (mu’min billah), menganut dan
menghamalkan ajaran agama-Nya.
39

Secara sepontan mereka kemudian mendapatkan nilai-nilai baru


yang sangat berkesan. Nilai-nilai baru itu kemudian menjadi pendorong
(sugesti) mereka untuk lebih mengetahui, mengenal dan memahami
eksistensi dan esensi yang sebenarnya. Drs. Sulaiman Yusuf (asal Cianjur)
misalnya ketika pertama kali berziarah menemukan hal-hal baru yang
sebelumnya tidak dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Dia merasa
harus datang kembali untuk berziarah karena bermaksud mengetahui dan
mengenal lebih jauh nilai-nilai baru di dalam tradisi ziarah kubur di
komplek Astana Gunung Jati.
Baginya, upacara tahlilan di hadapan ataupun di sekitar makam
Syaykh Syarif Hidayatullah merupakan penorama dan nuansa
keberagamaan yang kompleks dan sekaligus baru sama sekali. Sebagai
penganut agama Islam yang ”abangan”, menurut pengakuannya, dia
merasa terpanggil memahami makna-makna bacaan dalam upacara
tahlilan atau dzikir yang sangat beragam jenis dan macamnya. Dia merasa
kalimat atau bacaan untuk mengingat Allah (dzikrullah) sangat beragam
dan siapapun bahkan yang buta aksara pun bisa dan boleh
melafalkannya. Selain itu, dia merasakan mendapat sesuatu yang baru
yang ternyata dapat memberikan jawaban solutif bagi perkembangan
kepribadiannya. Dia merasakan dzikrullah adalah satu-satunya solusi
paling effektif dan tepat dalam mengatasi berbagai persoalan terutama
tentang gejolak dan konflik internal (batiniah) seseorang, terutama
dirinya. Itulah diantara pengakuan dan jawabannya ketika ditanya
mengapa dirinya tertarik untuk lebih mengetahui hal-hal baru dari
upacara tahlilan ketika ziarah ke komplek Astana Gunung Jati.
(Wawancara 25 April 2007).
5. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan
Inidikator kondisi mental yang sehat adalah adanya semangat
pencarian dan pengabdian kepada Tuhan. Indikator ini dapat diamati dari
semangat seseorang dalam mencari kebenaran, semangat mencari rasa
ketuhanan, adanya semangat mencari cara-cara terbaik untuk
berhubungan dengan manusia dan alam, dan melakukan evaluasi
terhadap peribatadannya untuk menemukan kenikmatan penghayatan
kepada Tuhan.
a. Semangat dalam mencari kebenaran
Semangat seseorang dalam mencari kebenaran dapat ditempuh
dengan cara-cara rasional dalam kehidupan nyata (dunia empiris). Ia juga
dapat ditempuh degan cara-cara yang tidak dapat dijangkau oleh
pemahaman nalar yaitu dengan jalan intuisi. Kekuatan dan ketajaman
intuisi inilah yang dapat memahami kenyataan-kenyataan yang bersifat
supranatural atau metafisis. Dalam ajaran agama Islam, yang selama ini
diyakini oleh para penganut yang dianggap tradisionalis, dikenal adanya
alam syahadah (alam nyata, empiris), alam malakut dan alam jabarut.
40

Alam syahadah alam atau kosmos yang dapat dijangkau dan dilihat
dengan melalui indera manusia normal. Alam malakut adalah alam yang
dapat dijangkau dan dimngerti dengan pemahaman terhadap asma Allah,
karenanya ia disebut ’Alam al-Asma’. Sedangkan alam jabarut adalah alam
atau kehidupan akhirat. Para peziarah tidak hanya mengenal alam
empiris. Mereka mengenal dan meyakini adanya alam malakut dan alam
jabarut. Bahkan diantara mereka meyakini dirinya dapat mengindrai dan
bahkan dapat memasuki alam malakut. Bahkan banyak diantara mereka
yang mempelajari tatacara (ilmu) sebagai instrumen agar dapat memasuki
alam amalakut.
b. Semangat mencari rasa ketuhanan
Terlepas apakah alam malakut itu bersifat objektif ataukah
subjektif, yang jelas mereka para peziarah makam Sunan Guung Djati
memiliki semangat mencari kebenaran. Semangat dalam mencari
kebenaran yang mereka lakukan sesungguhnya dilandasi oleh keimanan
dalam rangka memuaskan rasa ketuhanan mereka. Kebenaran
inilah kemudian yang dijadikan landasan mereka dalam menemukan
cara-cara terbaik berhubungan dengan sesama manusia dan alam semesta.
Karena bagi mereka kemampuan memasuki alam malakut ini merupakan
pedoman untuk memahami eksistensi alam baik alam syahadah ataupun
alam mughoyyabat (suara natural atau metafisik). Dan, pada akhirnya
mereka merasa berkewajiban untuk memperlakukan sesama manusia dan
alam sesuai dengan kehendak atau sunnah Allah.
c. Melakukan evaluasi peribadatan kepada Tuhan
Ketika seseorang yang berusaha memahami dan mengenali alam
malakut, seperti dijelaskan salah seorang peziarah asal Indramayu Drs.
KH. Muhammad Fattah Yasin, sebenarnya membutuhkan syarat
kebersihan dan kejernihan aspek jiwa atau batiniah. Kejernihan batiniah
ini, menurutnya, sangat menentukan keberhasilan seseorang memasuki
alam malakut, disamping peribadatan-peribadatan kepada Allah SWT.
Dan, baginya, pada saatnya kebersihan batiniah juga merupakan alat
untuk melakukan evaluasi jiwa keagamaan seseorang. Karenanya, setiap
yang hendak memahami alam malakut terlebih dahulu menguatkan
intuisi dengan instrumen pensucian jiwa. Pensucian ini sangat bergantung
kepada kemauan seseorang melakukan evaluasi peribadatannya kepada
Allah SWT. (Wawancara 27 April 2007).
41

Anda mungkin juga menyukai