Anda di halaman 1dari 19

Mantra Karahayuan Sunda Wiwitan di Kampung Kuta,

Ciamis :
Kajian Antropolinguistik melalui Analisis Struktural Text

Shofa Lanima Halim


1145030171
085723870156

Abstract
Indonesia known to have a variety of folklore because
Indonesia is rich in culture. Folklore is traditional art,
literature, knowledge, and practices that are passed on in
large part through oral communication and example. The
information thus transmitted expresses the shared ideas and
values of a particular group. Folklore in every areas can
describe the culture of surrounding community. One of them is
sundanese folklore. The main characteristic of Sundanese
Folklore is Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan is a religious belief
system of traditional Sundanese. It venerates the power of
nature and the spirit of ancestors (animism and dynamism).
Keywords: Folklore, Anthropology, Sundanese Folklore,
Sunda Wiwitan

1. Pendahuluan

Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita


temukan dalam masyarakat. Sastra lisan merupakan karya sastra
yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-
memurun dalam bentuk lisan. Dalam hal ini, sastra lisan dapat
disebut sebagai folklore. Folk merupakan sebuah komunitas
masyarakat tertentu yang memiliki ciri-ciri dan budaya yang
sama. Sedangkan lore merupakan sebagian kebudayaan
masyarakat yang disampaikan secara turun-menurun dalam
bentuk lisan. Jadi, folklore atau sastra lisan adalah suatu
kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu
yang diperoleh secara turun-menurun dari mulut ke mulut secara
lisan.
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai
aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam
masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di
Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi
sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Tidak ada satu
masyarakatpun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula
sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya
masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan
dengan masyarakat. Melihat realita bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang plural maka akan terlihat pula adanya
berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah yang
kemudian mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda-beda.
Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada
di Jawa. Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku
Sunda memiliki kharakteristik yang membedakannya dengan
suku lain. Keunikan kharakteristik suku Sunda ini tercermin dari
kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata
pencaharian, kesenian dan lain sebagainya. Suku Sunda dengan
sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu hal yang
menarik untuk dipelajari.
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari
bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah
administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung.
Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia.
Sebagian besar penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga
sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda
Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di
beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kampung
Kuta, Ciamis.
Masyarakat penghayat Sunda Wiwitan yang berada di
Kampung Kuta sudah lama hidup dalam kearifan yang mereka
kembangkan sendiri. Kearifan itulah yang membuat masyarakat
di sana dapat hidup selaras dengan alam. Sistem religi mereka
yang diturunkan dari nenek moyangnya secara tidak langsung
membuat pemertahanan kearifan dapat bergulir seiring
berjalannya waktu. Sistem religi yang berkembang di sana
adalah bukti dari pemertahanan kearifan yang kini semakin
tergerus arus modernisasi dan globalisasi. Sistem religi yang
berkembang membutuhkan hadirnya sesuatu sebagai pelantara
antara masyarakat dengan Tuhan. Menjawab hal tersebut
terciptalah sebuah doa sebagai wujud pengejawantahan akan hal
itu.
Doa karahayuan Sunda Wiwitan adalah salah satu tradisi
lisan yang masih coba dipertahankan eksistensinya oleh para
penganut ajaran Sunda Wiwitan. Ekadjati (2005) mencatat Sunda
Wiwitan adalah agama (urang Sunda) asli atau tulen. Doa
karahayuan Sunda Wiwitan adalah doa yang bertujuan meminta
karahayuan (keselamatan) penghayat Sunda Wiwitan yang
ditujukan kepada Gusti (Tuhan). Doa ini apabila dikaji lebih dalam
maka akan terdapat nilai-nilai tentang pembelajaran laku hidup
yang nyatanya cocok diterapkan di Indonesia yang kini mulai
menjauh dari kehidupan arif yang diajarkan nenek moyang.
Beranjak dari persoalan tersebut peneliti membuat suatu
analisis doa karahayuan Sunda Wiwitan yang kini keberadaannya
sangat terbatas. Ada beberapa aspek yang menjadi perhatian
peneliti dalam panelitian ini, yaitu: (1) bagaimana struktur teks
doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan; (2) apa fungsi doa
karahayuan penghayat Sunda Wiwitan; (3) apa makna doa
karahayuan penghayat Sunda Wiwitan; (4) bagaimana cerminan
gejala kebudayaan doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan.
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Analisis
Isi. Menurut Vredenbreght (1983: 66-68), secara ekspilisit
metode analisis isi pertama kali digunakan di Amerika Serikat
tahun 1926. Dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan adalah
pesan-pesan, yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat
sastra. Analisis isi, khususnya dalam ilmu sosial sekaligus dapat
dimanfaatkan secara kualitatif dan kuantitatif.

2. Kerangka Teori

2.1 Pengertian Antropologi

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan


kebudayaan secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah
pencipta kebudayaan, di pihak lain kebudayaan yang
menciptakan manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan
demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan
padu antara manusia dan kebudayaan.
Dalam kebudayaan, bahasa menduduki tempat yang unik
dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga
berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan,
pengembangan dan penyebarluasan kebudayaan.
Cakupan kajian yang berkaitan dengan bahasa sangat luas,
karena bahasa mencangkup hamper semua aktifitas manusia.
Hingga akhirnya linguistic memperlihatkan adanya pergerakan
menuju kajian yang bersifat multidisplin, salah satunya adalah
antropologi linguistik.
Antopologi lingustik adalah salah satu cabang linguistik
yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama
untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari
sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005:231).
Antropologi biasa juga disebut etnolinguistik menelaah
bahasa bukan hanya dari strukturnya semata tapi lebih pada
fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya.
Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan
hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep
warna, pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana
anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu
seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan
konsep kebudayaannya.
Malinowski (dalam Hymes, 1964:4) mengemukakan bahwa
melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-
bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental,
dan psikologis.
Budaya Indonesia sendiri dilihat melalui interdisipliner
antropolinguistik, ditegaskan bahwa sistem nilai
budaya Indonesia mempunyai pengaruh yang besar atas
penggunaan kata ganti orang atau pronominanya. Sesuai dengan
teori komunikasi, komunikator dan komunikan komitmen dalam
hubungan simetris atau hubungan asimetris. Terjadinya
hubungan simetris karena ada kesamaan status sosial,
perbedaan mengakibatkan kehadiran asimetris.
Hubungan antara Antropologi, Bahasa, dan Kebudayaan
Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut
Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering
disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku
manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku
kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya
kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa
yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini
tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan
adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia
sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari
bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau
belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam
dan sosial yang ada disekelilingnya Hipotesis Sapir-Whorf saat itu
mengatakan bahwa manusia terkungkung oleh bahasa.
Bahasalah yang mempengaruhi pandangan hidup manusia.
Manusia tidak dapat berpikir kecuali melalui bahasanya. Suatu
pandangan yang sudah lama ditinggalkan orang, tetapi masih
tetap menarik untuk diperbincangkan. Pandangan yang mungkin
lebih banyak bisa diterima orang sampai sekarang adalah
pandangan sebaliknya, yakni pandangan yang menganggap
bahwa kebudayaan atau masyarakatlah yang mempengaruhi
bahasa. Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang
mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam
hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat
komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik,
kepercayaan, etika bahasa, adat-istiadat, dan pola-pola
kebudayaan lain dari suatu suku bangsa.
Menurut Crystal (dalam Koentjaraningrat, 1980)
Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa
dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat seperti peranan
bahasa di dalam mempelajari bagaimana cara seseorang
berkomunikasi dengan orang lain dalam kegiatan sosial dan
budaya tertentu, dan bagaimana cara seseorang berkomunikasi
dengan orang lain secara tepat sesuai dengan konteks
budayanya, bagaimana bahasa masyarakat dahulu sesuai
dengan perkembangan budayanya.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat
sekali. Mereka saling mempengaruhi, saling mengisi, dan
berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa
harus kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks
kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa.
Kajian atau pembicaraan hubungan keduanya pada umumnya
dilihat dari ilmu yang mempelajarinya, yakni Antropologi sebagai
ilmu yang mengkaji kebudayaan dan linguistik sebagai ilmu yang
mengkaji bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan Antropologi
Kultural (ilmu Budaya) bekerja sama dalam mempelajari
hubungan bahasa dengan aspek-aspek budaya.
2.2 Strukturalisme

Analisis structural merupakan tugas prioritas atau tugas


pendahuluan. Sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna
intrinsic yang dapat digali dari karya itu sendiri (A. Teeuw, 1984:
135).
Kaajian structural adalah sebuah pengkajian terhadap
suatu karya sastra yang bertujuan untuk memaparkan
keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra. Pada intinya,
pendekatan structural membahasa tentang unsur-unsur intrinsic
pada sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2002: 37). Unsur puisi
ada dua yaitu unsur batin puisi dan struktur fisik puisi yang
meliputi :
Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat
puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Tema/makna (sense), media puisi adalah bahasa. Tataran
bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi
harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun
makna keseluruhan.
2. Rasa (Feling) yaitu sikap penyair terhadap pokok
permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
3. Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya.
4. Amanat/tujuan/maksud (itention), sadar maupun tidak, ada
tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan
tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi,
maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Perwajahan puisi/ Tipografi, yaitu bentuk puisi seperti
halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri,
pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda
titik.
2. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh
penyair dalam puisinya.
3. Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan,
pendengaran, dan perasaan.
4. Gaya Bahasa, yaitu bahasa berkias yang menghidupkan
efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
5. Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum.
Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal,
tengah, dan akhir baris puisi.
2.3 Pengertian Mantra dan Karahayuan
Mantra merupakan perkataan atau ucapan yang
mendatangkan daya gaib (misal dapat menyembuhkan,
mendatangkan celaka, dan sebagainya) susunan kata berunsur
puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan
gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk
menandingi kekuatan gaib yang lain. Mantra dapat
dikelompokkan ke dalam mantra putih white magic dan mantra
hitam black magic. Adapun pembagian tersebut berdasakan
maksud dan tujuan mantra itu sendiri, mantra putih digunakan
untuk kebaikan sedangkan mantra hitam digunakan untuk
kejahatan.

Mantra adalah doa yang merupakan rumus-rumus, yang


terdiri atas suatu rangkaian kata-kata ghaib, yang dianggap
mengandung kekuatan, dan kesaktian untuk mencapai secara
otomatis, apa yang dikehendaki oleh manusia. Seringkali
diucapkan dalam bahasa yang tidak dipahami oleh sebagian
orang-orang didalam masyarakat karena menggunakan bahasa
kuno atau bahasa asing (Koentjaraningrat, 1981). Deskripsi
penggunaan dan kegunaan Mantra terdapat pada naskah : Sastra
Parwa, Ramayana, Bharata Yudha, Smaradahana,
Sumanasantaka, Bhomantaka, Sastra Kidung.

Dikatakan bahwa Mantra ialah berupa rumus-rumus


Religius atau Magis, pujian, atau doa terhadap para Dewa.
Rumus-rumus itu mengandung suasana sakral dan mempunyai
kesaktian karena isinya, sifat sakral, atau kekuasaan Magis dari
orang yang memakainya dan karena bahasa yang dipakai sambil
mengucapkannya. Disertai sarana-sarana seperti Pupujian,
Persembahan Bunga, gerak tangan Mudra, suku kata dan rumus-
rumus sakral. Sehingga Sang Dewa turun dan bersemayam ke
dalamnya (Zoetmulder, Kalangwan 1983).

Karakteristik mantra yang ditujukan kepada Tuhan/ Roh/ Mahluk


Halus :

- Pemakai bersifat memohon

- Pemakai bersifat dikuasai

- Hasil yang diperoleh dari meminta ditentukan oleh


perkenan pihak yang diminta

- Hasil yang diperoleh sering tidak disadari bahkan bisa


berakibat Tranche

- Hasil yang diperoleh dalam batas-batas tertentu tidak


menyatu dengan pemakai mantra

Karakteristik mantra yang ditujukan kepada Magis:

- Pemakai bersifat menyuruh

- Pemakai bersifat menguasai

- Hasil yang didapat ditentukan oleh kemampuan si pemakai

- Hasil yang diperoleh relatif disadari dan membentuk


pribadi si pemakainya

- Hasil yang diperoleh akan menyatu kepada si pemakai

- Tenaga Magis kata-kata dalam mantra masih dipercaya


dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya pembagian antara mantra putih (white magic) dan


mantra hitam
(black magic) sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian
tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena
sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra
hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang
ditimbulkan oleh magic tersebut. Dapat dicermati bahwa mantra
putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain,
agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil
dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat,
untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus,
menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan
orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya
bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati,
membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang
lain karena sakit hati.

Keberadaan mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri


berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di
dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks
di jaman sekarang. Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan
masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang. Ada
sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh
maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan
hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau
tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan
bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik.
Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat
digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung
mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan
ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra. Bagi masyarakat
penghayat mantra dalam setiap kegiatan atau keseharian
mereka kerap kali diwarnai dengan pembacaan mantra demi
keberhasilan dalam mencapai maksud.

Karahayuan adalah keselamatan. Karahayuan mempunyai


kata dasar rahayu. Rahayu salamet. Senantiasa di dalam
keselamatan. Manusia hidup sejatinya menghidupkan
keselamatan, karena dengan keselamatan maka manusia tetap
hidup. Ngahurip hirup. Hirup jeung huripna. Kahuripan hirup.
Ingat pada hidup, juga berarti ingat pada asal mula hidup,
kelanjutan hidup dan akhir hidup serta kelanggengan hidup
manusia. Kesemestaan.

Mantra Karahayuan tergolong kepada mantra putih yang


bertujuan meminta keselamatan baik di dunia maupun akhirat
kepada Allah Swt. Mantra Karahayuan menyiratkan adanya
permohonan kepada Sang Pencipta, tampak pada sejumlah
mantra kekuatan, begitu erat dengan kebutuhan hidup
masyarakat yang dalam satu segi membutuhkan kekuatan lahir
maupun batin untuk melaksanakan maksud tertentu. Semua
mantra tersebut sepenuhnya disandarkan kepada Allah. Mereka
tinggal menunggu keputusan dari Yang Maha Menentukan atas
usaha yang dijalankan manusia. Betapa manusia merasa kecil
dan tak berdaya sehingga memohon dilindungi, ditopang, diberi
kemurahan pada setiap langkah, mohon ditetapkan iman dan
Islam. Begitu juga dengan mantra kekuatan lainnya, dengan
berbekal keyakinan dan bersandar sepenuhnya kepada Allah,
mantra diucapkan untuk tujuan keunggulan, agar disayangi, agar
segala perbuatan menghasilkan sesuatu yang diharapkan, agar
perkasa, awet muda, untuk menaklukan siluman, dan lain-lain.

3. Pembahasan

Berikut adalah analisis Mantra Karahayuan di Kampung Kuta,


Ciamis.
3.1 Analisis struktur teks doa karahayuan penghayat
Sunda Wiwitan

Teks mantra karahayuan penghayat Sunda Wiwitan yang


dianalisis adalah doa yang biasa diucapkan sesepuh Kampung
Kuta untuk meminta keselamatan pada upacara adat, misal
upacara pergantian tahun baru Saka Sunda. Berikut adalah teks
asli doa ini:

Pun sampun sampurasun


Gusti nukagungan marga dumadi jisim
Anu nyipta waruga jagat
Nu nyangking pasti papasten
Nu nebarkeun binih hurip binih pati

Gusti nu Maha Agung, Maha Murah, Maha Asih, Maha Kawasa,


Maha Uninga tur Maha Adil
Abdi nampi cipta karsa Gusti
Teu aya daya pangawasa anging pangersa Gusti

Mugia abdi dikersakeun midamel salir puri samudaya karsa Gusti


Nu diolah karsa Gusti
Nu ngolah pangersa Gusti
Abdi sadaya nampi kana kaagungan sareng kajembaran Gusti

Mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun dikiatkeun dina nyaksen


ramena ieu alam
Kalihna ti eta, mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun dikiatkeun
dina nyaksen
repeh rapihna ieu alam
Gusti nu Maha Agung
Mugia abdi-abdi sadaya pinarengan rahayu, rahayu sagung
dumadi

Terjemahan bahasa Indonesia:

Gusti yang memiliki jalan kembali bagi jasad


Yang menciptakan tubuh bumi
Yang memegang kepastian
Yang menebar benih kehidupan dan benih kematian

Gusti yang maha agung, maha pemurah, maha pengasih, maha


kuasa, maha tahu, dan maha adil
Saya menerima cipta kehendak gusti
Tidak ada daya upaya hanya kehendak gusti
Semoga saya diditakdirkan membuat rumah ibadah semua
kehendak Gusti

Yang diolah kehendak gusti


Yang mengolah kehendak gusti
Saya semua menerima pada keagungan dan kejembaran gusti

Semoga kami semua ditakdirkan dikuatkan dalam melihat


ramainya alam dunia
Selain itu, semoga kami semua ditakdirkan dikuatkan untuk
melihat diamnya alam
dunia
Gusti yang maha agung
Semoga kami semua diberi selamat, selamat sampai semua
kembali

Diperhatikan bahwa teks doa ini mempunyai 16 baris yang


berbahasa Sunda. Pada analisis struktur, teks doa akan dianalisis
dari aspek struktur kebahasaannya yang meliputi tema, imaji,
gaya bahasa, rima, dan ritma dan lain-lain.

- Tema

Tema dari Mantra Karahayuan adalah religi. Mantra


Kaharayuan menceritakan bahwa alam semesta ini hanya milik
Allah. Kita hidup dan mati adalah kuasa Allah. Di dunia ini kita
hidup hanya sementara, semua kejadian yang kita alami adalah
kehendak Allah. Maka dari itu, kita selaku ciptaan Allah harus
selalu berdoa dan mohon keselamatan dalam menjalani
kehidupan di dunia maupun di akhirat. Kita harus selalu
bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
- Imaji

Imaji dikategorikan ke dalam 3 kategori : gema suara (imaji


auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang
bisa kita rasakan, raba, atau sentuh (imaji taktil).
Pun sampun sampurasun Imaji taktil
Gusti nukagungan marga dumadi jisim Imaji visual
Anu nyipta waruga jagat Imaji visual
Nu nyangking pasti papasten Imaji visual
Nu nebarkeun binih hurip binih pati Imaji visual
Gusti nu Maha Agung, Maha Murah, Maha Imaji visual,
Asih, Maha Kawasa, Maha Uninga tur Maha taktil
Adil
Abdi nampi cipta karsa Gusti Imaji visual
Teu aya daya pangawasa anging pangersa Imaji taktil
Gusti
Mugia abdi dikersakeun midamel salir puri Imaji taktil
samudaya karsa Gusti
Nu diolah karsa Gusti Imaji taktil
Nu ngolah pangersa Gusti Imaji taktil
Abdi sadaya nampi kana kaagungan sareng Imaji taktil
kajembaran Gusti
Mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun Imaji visual
dikiatkeun dina nyaksen ramena ieu alam
Kalihna ti eta, mugia abdi-abdi sadaya Imaji visual
dikersakeun dikiatkeun dina nyaksen repeh
rapihna ieu alam
Gusti nu Maha Agung Imaji taktil
Mugia abdi-abdi sadaya pinarengan rahayu, Imaji taktil
rahayu sagung dumadi

- Gaya Bahasa

Baris pertama merupakan bentuk frasa fatis. Fatis atau


kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,
mempetahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara
pembicara dan kawan bicara (Kridalaksana, 2011:113). Dengan
kata lain, larik pertama dalam Doa Karahayuan ini adalah
kategori fatis karena berfungsi untuk memulai pembacaan doa.
Baris Pun sampun sampurasun adalah merupakan salam
pembuka atau permisi untuk memulai dibacakannya doa
karahayuan. Baris pertama terdiri dari tiga kata dan tujuh suku
kata.
Baris kedua merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi
memberitahukan bahwa Gusti (Tuhan) adalah zat memiliki jalan
untuk pulang bagi hamba-Nya. Dari analisis rima didapat
asonansi /i/ pada kata Gusti dan jisim dan asonansi /a/ pada kata
kagungan dan marga.

Baris ketiga merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan bahwa Gusti adalah zat yang menciptakan tubuh
bumi. Dari analisis rima didapat asonansi /a/ pda kata anu,
nyipta, waruga dan jagad.

Baris keempat merupakan kalimat deklaratif yang


berfungsi menyatakan bahwa Gusti adalah zat yang memegang
segala kepastian. Dari analisis rima didapat asonansi /i/ pada
kata nyangking dan pasti.

Baris kelima merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan bahwa Gusti adalah zat yang menebarkan benih
kehidupan dan benih kematian. Dari analisis rima didapat
asonansi /i/ pada kata binih, hurip, binih, pati.

Baris keenam merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan bahwa Gusti adalah zat yang maha agung, maha
pemurah, maha pengasih, maha kuasa, maha tahu, dan maha
adil. Dari analisis rima didapat asonansi /a/ pada kata maha,
uninga, dan kawasa dan asonansi /i/ pada kata asih dan adil.

Baris ketujuh merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan harapan agar menerima cipta dan kehendak Tuhan.
Dari analisis rima didapat asonansi /i/ pada kata abdi, mampi,
dan gusti dan asonansi /a/ pada kata cipta dan karsa.

Baris kedelapan merupakan kalimat deklaratif yang


berfungsi menyatakan bahwa tidak ada daya upaya melainkan
kehendak Tuhan. Dari analisis rima didapat asonansi /a/ yang
terdapat pada kata aya, daya, dan pangawasa.

Baris kesembilan merupakan kalimat deklaratif yang


berfungsi menyatakan harapan manusia agar ditakdirkan
membuat rumah ibadah yang memiliki makna konotasi
kepatuhan akan ajaran Sunda Wiwitan berdasarkan kehendak
Gusti. Dari analisis rima didapat asonansi /i/ pada kata abdi, salir,
puri, dan gusti dan asonansi /a/ pada kata mugia, samudaya, dan
karsa.

Baris kesepuluh merupakan kalimat deklaratif yang


berfungsi menyatakan bahwa takdir diolah berdasarkan
kehendak Gusti. Dari analisis rima didapat asonansi /a/ pada kata
diolah dan karsa.

Baris kesebelas merupakan kalimat deklaratif yang


menyatakan menyatakan bahwa yang mengolah takdir adalah
kehendak Gusti. Pada analisis rima didapat asonansi /a/ pada
kata ngolah dan pangersa.

Baris ke-12 merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan bahwa manusia menerima semua keagungan dan
kejembaran Gusti. Dari analisis rima didapat asonansi /i/ pada
kata abdi, nampi, dan gusti.

Baris ke-13 merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan bahwa harapan manusia untuk dibisa dan dikuatkan
dalam melihat ramainya alam dunia. Dari analisis rima didapat
asonansi /a/ pada kata Mugia, sadaya, dina, dan, ramena.

Baris ke-14 merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan menyatakan harapan manusia untuk dibisakan
dikuatkan dalam melihat diamnya alam dunia. Dari analisis rima
didapat asonansi /a/ pada kata Kalihna, Mugia, sadaya ,dan dina.

Baris ke-15 merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan kemahaagungan Tuhan. Dari analisis rima didapat
asonansi /u/ pada kata nu dan agung.

Baris ke-16 merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi


menyatakan harapan manusia agar diberi keselamatan. Dari
analisis rima didapat asonansi /a/ pada kata Mugia dan sadaya.
Asonansi /i/ muncul pada kata abdi dan dumadi. Asonansi /u/
muncul pada kata rahayu dan sagung.

- Rima

Pun sampun sampurasun


Gusti nukagungan marga dumadi jisim Asonansi i dan a
Anu nyipta waruga jagat Asonansi a
Nu nyangking pasti papasten Asonansi i
Nu nebarkeun binih hurip binih pati Asonansi i
Gusti nu Maha Agung, Maha Murah, Maha Asonansi a
Asih, Maha Kawasa, Maha Uninga tur Maha
Adil
Abdi nampi cipta karsa Gusti Asonansi i
Teu aya daya pangawasa anging pangersa Asonansi a
Gusti
Mugia abdi dikersakeun midamel salir puri
samudaya karsa Gusti
Nu diolah karsa Gusti Asonansi i
Nu ngolah pangersa Gusti Asonansi i
Abdi sadaya nampi kana kaagungan sareng Asonansi a
kajembaran Gusti
Mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun Asonansi a
dikiatkeun dina nyaksen ramena ieu alam
Kalihna ti eta, mugia abdi-abdi sadaya
dikersakeun dikiatkeun dina nyaksen repeh
rapihna ieu alam
Gusti nu Maha Agung Asonansi i
Mugia abdi-abdi sadaya pinarengan rahayu, Asonansi i dan u
rahayu sagung dumadi

- Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga
berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan
kalimat. Dalam Mantra Kaharayuan terdapat beberapa
pengulangan.

Pun sampun sampurasun


Gusti nukagungan marga dumadi jisim
Anu nyipta waruga jagat
Nu nyangking pasti papasten
Nu nebarkeun binih hurip binih pati

Gusti nu Maha Agung, Maha Murah, Maha Asih, Maha Kawasa,


Maha Uninga tur Maha Adil
Abdi nampi cipta karsa Gusti
Teu aya daya pangawasa anging pangersa Gusti

Mugia abdi dikersakeun midamel salir puri samudaya karsa Gusti


Nu diolah karsa Gusti
Nu ngolah pangersa Gusti
Abdi sadaya nampi kana kaagungan sareng kajembaran Gusti

Mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun dikiatkeun dina nyaksen


ramena ieu alam
Kalihna ti eta, mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun dikiatkeun
dina nyaksen
repeh rapihna ieu alam
Gusti nu Maha Agung
Mugia abdi-abdi sadaya pinarengan rahayu, rahayu sagung
dumadi
Ritma di dalam Mantra Kaharayuan adalah kata Gusti dan
Abdi yang merupakan pengikat beberapa baris, sehingga baris-
baris itu seolah bergelombang menimbulkan ritma.

3.2 Fungsi doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan

Ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan suatu


masyarakat dan bahasanya (Wierzbicka, dalam Hidayatullah dan
Purnama Sari, 2012:4). Dengan kata lain, doa ini memiliki kaitan
erat dengan kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Fungsi doa
Karahayuan Sunda Wiwitan dikategorikan menjadi empat fungsi:
(1) fungsi ketuhanan, (2) fungsi pendidikan, (3) fungsi sosial, dan
(4) fungsi identitas budaya.

Pertama, doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan


memiliki fungsi ketuhanan. Doa ini mengandung nilai ketuhanan
yang tercermin dari teks doa yang terdapat Sembilan kata Gusti
(Tuhan). Nilai ketuhanan menjadi fungsi utama dalam doa ini,
karena doa ini memiliki tujuan utama memohon keselamatan
kepada Tuhan. Tuhan ditempatkan dalam posisi sentral dalam
doa ini sehingga tiap baris dalam doa ini mengandung unsur
yang sarat akan nilai ketuhanan atau ilahiah.

Kedua, doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan memiliki


fungsi pendidikan. Doa ini mengajarkan laku hidup yang selalu
menempatkan Tuhan pada posisi sentral. Manusia digambarkan
selalu memohon keselamatan kepada Tuhan dan menerima
segala kadar atau kepastian dari Tuhan. Dalam doa ini manusia
diposisikan sebagai makhluk lemah yang tidak memiliki daya
upaya. Hal ini tentu mendidik kita untuk tidak berlaku sombong.

Ketiga, doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan memiliki


fungsi sosial. Doa ini menjadi salah satu sarana berkumpulnya
masyarakat Kampung Cireundeusaat perayaan tahun baru Saka
Sunda. Saat doa ini dibacakan, masyarakat berkumpul dan
terjadilah interaksi sosial yang melibatkan penduduk Kampung.
Hal ini makin mempererat persaudaraan dan dapat meredam
segala permusuhan.

Keempat, doa karahayuan penghayat Sunda Wiwitan


memiliki fungsi identitas kebudayaan. Doa ini sarat dengan nilai
tradisi budaya Sunda. Bahasa, budaya, bahkan ajaran mengenai
agama Sunda sangat kental dalam doa ini. Hal ini menjadi
penanda identitas budaya Sunda yang begitu kental terasa
dalam doa ini. Budaya Sunda juga seolah terejawantahkan dalam
doa ini. Ajaran Sunda Wiwitan yang menjadi ikon budaya Sunda
seolah diangkat dalam doa ini.
3.3 Makna Doa Karahayuan Penghayat Sunda Wiwitan

Secara umum isi doa karahayuan ini adalah harapan


seseorang kepada Gusti agar diberikan kerahayuan
(keselamatan) seperti pada kutipan teks berikut mugia abdi-
abdi sadaya pinarengan rahayu, rahayu sagung gumadi dan
diberikan kekuatan untuk menerima segala kehendak Gusti, lalu
memohon agar dikuatkan dalam menerima segala kehendak
Gusti termasuk saat melihat ramainya alam dunia (kehidupan)
dan diamnya alam dunia (kematian) seperti pada kutipan teks
Abdi sadaya nampi kana kagungan sareng kajembaran Gusti
mugia abdi-abdi sadaya dikersakeun dikiatkeun dina nyaksen
ramena ieu alam kalihna ti eta, mugia abdi-abdi sadaya
dikersakeun dikiatkeun dina nyaksen repeh rapihna ieu alam.
Sebelum meminta keselamatan terlebih dahulu mereka memuji
segala sifat-sifat ketuhanan Gusti seperti Maha Agung, Maha
Pengasih, Maha Pemurah seperti pada kutipan teks Gusti nu
Maha Agung, Maha Murah, Maha Asih, Maha Kawasa, Maha
Uninga tur Maha Adil.

3.4 Cerminan Budaya Kebudayaan Doa Karahayuan


Penghayat Sunda Wiwitan

Wierzbicka (dalam Hidayatullah dan Purnama Sari, 2012:4)


mengemukakan bahwa bahasa mencerminkan dan menceritakan
karakteristik cara hidup, dan cara berpikir penuturnya, serta
dapat memberikan petunjuk yang sangat bernilai dalam upaya
memahami budaya penuturnya. Levi-Strauss (dalam Sibarani
2004:62) mengaitkan hubungan antara budaya dengan bahasa,
yaitu bahasa adalah hasil kebudayaan. Artinya, bahasa yang
dipergunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat
adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan
masyarakat tersebut. Kaitan dengan teks doa ini adalah bahwa
bahasa yang terdapat di dalam teks doa dapat mencerminkan
pandangan orang penghayat Sunda Wiwitan terhadap Tuhan dan
segala kehendak Tuhan. Penghayat Sunda Wiwitan sangat
pasrah akan ketentuan Tuhan yang sudah digariskan kepadanya,
hal ini sesuai dengan kutipan teks Abdi nampi cipta karsa Gusti
dan Abdi sadaya nampi kana kaagungan sareng kajembaran
Gusti. Penghayat Sunda Wiwitan juga sangat merendahkan
dirinya di hadapan Tuhan, hal itu sesuai dengan kutipan teks
Teu aya daya pangawasa anging pangersa Gusti. Di samping
itu, penghayat Sunda Wiwitan sangat gemar memuja segala
sifat-sifat ilahiah Tuhan sebelum menyampaikan permohonan
dan penghayat Sunda Wiwitan sangat lugas dalam meminta
permohonan, serta tidak berbelit-belit dalam meminta sesuatu
kepada Tuhan. Hal itu sesuai dengan kutipan teks Gusti nu Maha
Agung, Maha Murah, Maha Asih, Maha Kawasa, Maha Uninga tur
Maha Adil dan Mugia abdi-abdi sadaya pinarengan rahayu,
rahayu sagung dumadi. Dari hasil analisis cerminan gejala
kebudayaan di atas dapat diambil simpulan bahwa dalam berdoa
penghayat Sunda Wiwitan terlebih dahulu memuja segala sifat-
sifat ketuhanan, kemudian akan merendahkan dirinya di hadapan
Tuhan, lalu memohon permintaan dengan sangat jelas dan lugas.
Dari analisis di atas, didapat pola harmonisasi hubungan antara
manusia dengan Tuhan dan sesama manusia.

4. Simpulan

Dalam kajian di atas, dapat terungkap bahwa dalam doa


karahayuan penghayat Sunda Wiwitan dapat dianalisis menjadi
beberapa bagian, yaitu: (1) struktur teks doa, dan (2) hal lain di
luar teks. Fungsi doa ini dapat digolongkan menjadi empat
fungsi, yaitu: (1) fungsi ketuhanan, (2) fungsi pendidikan, (3)
fungsi sosial, dan (4) fungsi identitas budaya. Akhirnya semua
analisis mengarah pada pola kebudayaan masyarakat penghayat
Sunda Wiwitan yang tercermin dari teks doa tersebut. Cermin
gejala kebudayaan yang berhasil terungkap adalah pola sistem
religi mereka dan pola mereka dalam berdoa.
Daftar Pustaka

A, T. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra.


Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Afidah, N. N. (2009). Jangjawokan Nyambel : Analisis Struktur,
Fungsi, dan Konteks Penuturan. Makalah Folklor, 30-42.
Ekajati. (2005). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Bandung:
Pustaka Jaya.
Hidayatullah, R., Purnama, S., & Selly, N. (2012). Pupujian Adzan
dalam Bahasa Jawa : Kajian Etnolinguistik di Desa
Cipancuh, Kecamatan Haugeulis, Kabupaten Indramayu.
Makalah pada Seminar Internasional Bahasa Ibu.
Hymes, D. (1964). Language Inculture and Society : A Reader in
Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Row
Publishers.
Koentjaraningrat. (1980). Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Dian Rakyat. Jakarta.
Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi : Pokok-pokok
Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, H. (2011). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Lauder, M. (2005). Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, B. (2002). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sibarani, R. (2004). Antropolinguistik . Medan: Poda.
Vredenbregt. (1983). Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat .
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zoetmulder, P. (1985). Kalangwan, Sastra Jawa KunoSelayang
Pandang. Jakarta: Djambatan.

Anda mungkin juga menyukai