Anda di halaman 1dari 40

BAB I

Pendahuluan

Winongan merupakan salah satu Kecamatan dari 19 Kecamatan yang ada di


Kabupaten Pasuruan, secara historis pernah menjadi daerah di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit yang hidup dalam kasta, sistem kasta ini berubah seiring datangnya
para pedagang dari Arab1 yang menjelma menjadi Walisongo. Ajaran Islam yang dibawa
Walisongo dengan aliran mistik mampu memampatkan periode panjang Kerajaan
Majapahit. Sehingga sejak akhir abad 15, Islam mampu menggantikan Hinduisme Jawa
dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan terkuat di Jawa2 dan menjadi
simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam pertama di Jawa dengan kemampuan
para wali dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal Jawa3. Dampaknya, Islam
berkembang pesat di Jawa4 dan diperluas ke Bali5. Pasuruan sendiri telah ditaklukkan
Kerajaan Demak tahun 1535 M di bawah pimpinan Sultan Trenggono6. Setelah era
Demak berakhir, dakwah Islam dilanjutkan era Kerajaan Pajang kemudian Kerajaan
Mataram yang berpusat di pedalaman, makin mempertajam Islam gaya pesisiran yang
ortodoks dengan paham Jawa-Hindu di pedalaman.
Pada masa Kerajaan Mataram, Belanda datang dan mengacak-acak struktur
masyarakat Jawa dengan menguasai beberapa pelabuhan di pesisir dan pembangunan
benteng-benteng7, menguatkan monopoli perdagangannya di daerah pesisir,
mengakibatkan kekalahan orang Jawa dalam percaturan politik di kota-kota. Hal ini yang
menyebabkan perubahan strategi penyebaran ajaran Islam, dari perkotaan berubah haluan
melalui pendidikan di desa-desa, bahkan sampai pegunungan selatan Jawa8. Selain
penyebaran ajaran Islam melalui pendidikan, juga menggunakan lambang-lambang
budaya dan lembaga-lembaga yang diisi dengan muatan-muatan ajaran Islam, sehingga
mudah diterima oleh masyarakat awam9.
Pengaruh pusat Kerajaan pada beberapa daerah mampu memberikan corak
tersendiri. Pasuruan merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi kekuasaan
beberapa Kerajaan dari Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram. Di
Pasuruan, terdapat pelopor penyebaran ajaran Islam khususnya di Winongan dan
sekitarnya, yang bernama Mbah Sholeh Semendi. Mbah Sholeh Semendi merupakan
keturunan dan penerus perjuangan Walisongo. Kehidupan Mbah Sholeh Semendi
bertepatan dengan masa Kerajaan Mataram dan Pasuruan Sendiri dipimpin oleh Untung
Surapati10 (1686-1706)11 yang tercatat sebagai pahlawan melawan Belanda. Untung

1
www.pasuruan.go.id, “Legenda Banyu Biru.”
2
Masyhudi, “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa,” Berkala Arkeologi XXVII, no. 1
(2007): 43–59.
3
Syamsul Bakri, “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan Jawa ),” DINIKA 12,
no. 2 (2014): 33–40.
4
Kosim dkk, “Perkembangan Agama Islam Di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo
Tahun 1983-2012,” Pancaran 2, no. 4 (2013): 65–74.
5
I Nyoman Weda Kusuma, “Geguritan Nabi Muhammad: Cermin Akulturasi Budaya Hindu-Islam Di Bali,” sari
25 (2007): 119–127.
6
Masyhudi, “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa.”.
7
Agustinus Supriyono, “Tinjauan Historis Jepara Sebagai Kerajaan Maritim Dan Kota Pelabuhan,” Paramita 23
(2013): 27–39.
8
Masyhudi, “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa.”
9
Ibid.
10
Untung Surapati merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia berdasarkan penetapan S.K. Presiden
No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975 oleh Pilar Asa Susila dalam http://profil.merdeka.com. Masa kecil
dan tanggal kelahiran Untung Suropati tidak diketahui dengan pasti. Secara Umum, ia hanya disebut sebagai
keturunan bangsawan Bali yang diculik dan dijadikan budak oleh VOC. la kemudian dibeli oleh Edelaar Moor

1
Surapati mempunyai penasehat dari salah satu murid Mbah Sholeh Semendi yakni
Sayyid Sulaiman12.
Pada penelitian ini, penulis mengarahkan pada seorang tokoh yang bernama Mbah
Sholeh atau masyarakat lebih mengenal dengan Mbah Sholeh Semendi yang berada di
Desa Winongan Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan. Salah satu bukti keberadaan
Mbah Semendi adalah Makamnya yang terletak di Desa Winongan Lor Kecamatan
Winongan Kabupaten Pasuruan. Peringatan Haul setiap tahun diadakan sebagai ritual
keagamaan untuk mengenang perjuangan dan mendo’akan Mbah Sholeh Semendi13.
Terkait subyek Mbah Semendi, pernah diteliti oleh mahasiswi Universitas Negeri
Malang yang fokus pada kedudukan legenda Mbah Semendi Bagi Masyarakat dan
prilaku khusus masyarakat terhadap makam Mbah Semendi14. Penelitan tersebut tidak
membahas tentang dakwah Islam sebagaimana tema yang dibahas dalam penelitian ini.
Yang paling menarik dari penelitian ini adalah tentang dakwah Islam Mbah Sholeh
Semendi yang belum pernah diteliti.

yang memberinya nama Untung Surapati. Saat beranjak dewas ia jatuh cinta kepada putri Moor. Namun Moor
menentangnya dan malah memenjarakan Untung. Siksaan dalam penjara membuat Untung memutuskan untuk
melarikan diri.
Setelah bebas, ia membentuk pasukan untuk melawan kesewenangan Belanda. Penderitaan rakyat yang Ia
saksikan membuatnya bertambah tidak suka terhadap penjajah. Belanda yang kewalahan kemudian
menawarinya bergabung dalam pasukan Belanda Untung menerimanya agar ia dapat lebih mengetahui taktik
Belanda. Sebagai seorang perwira berpangkat letnan,ia kemudian terlibat pertengkaran dengan perwira Belanda
yang sering bersikap kejam terhadap rakyat. Perwira Belanda tersebut tewas sehingga Untung melarikan diri ke
arah Mataram dan bergabung dengan pasukan Susuhunan Amangkurat II yang tengah berperang melawan VOC.
Pada pertempuran 8 Februari 1686, pasukan yang dipimpin Untung berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Bahkan, Kapten Tack yang memimpin pasukan Belanda tewas di tangan Untung Suropati . Selanjutnya, ia pun
pindah ke wilayah Jawa Timur dan mendirikan kerajaan di Pasuruan dengan gelar Adipati Aria Wiranegara.
Belanda yang terus mengejar Untung Surapati mengirimkan pasukan besar untuk menyerang kerajaan tersebut.
Dalam suatu pertempuran di daerah Bangil pada awal November 1706, Untung Suropati terluka parah, hingga
akhirnya meninggal dunia pada 5 November 1706. Dari sumber https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-
pahlawan-untung-suropati/
11
Mokh. Syaiful Bakhri, Permata Teladan (Pasuruan: Pustaka Utama, 2012).
12
http://sidogiri.net, “Profil.”
13
www.pasuruan.go.id, “Aneka Tradisi Di Kabupaten Pasuruan.”
14
Debi Sukma Dewi Sinta, “Kedudukan Legenda Mbah Semendhi Bagi Masyarakat Kecamatan Winongan
Kabupaten Pasuruan” (Malang, 2011).

2
BAB II
Kajian Pustaka

A. Terminologi Dakwah Islam


Secara etimologis dakwah mempunyai arti penyiaran agama di kalangan masyarakat
dan pengembangannya; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran
agama15. Dari sumber lain menjelaskan bahwa kata dakwah mempunyai makna: ajakan,
panggilan, seruan, permohonan (do’a), pembelaan dan lain sebagainya 16. Secara
terminologi konseptual, dakwah diarahkan pada usaha merubah sikap beragama dari
masyarakat penerima dakwah dan dalam pelaksanaannya dakwah dilakukan dengan jiwa
tulus serta ikhlas. Pengertian dakwah yang dirumuskan al-Qur’an lebih menekankan
aspek teknis penyampaian dakwah, yakni berupa sikap, tindakan maupun perilaku dalam
berdakwah. Sasaran dakwah adalah seluruh umat manusia (masyarakat)17.
Praktek dakwah harus mengandung tiga unsur: penyampai pesan, informasi yang
disampaikan, dan penerima pesan. Namun demikian, dakwah secara terminologi
mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai aktivitas menyampaikan ajaran
Islam, menyuruh berbuat baik, dan mencegah perbuatan mungkar, serta memberi kabar
gembira dan peringatan bagi manusia18. dakwah pada dasarnya adalah suatu upaya
manusia dan untuk kepentingan manusia pula dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai
dasar keislaman dalam realitas kemanusiaan di mana kemaslahatan bagi semua menjadi
tujuannya. Nilai-nilai dimaksud adalah apa yang lazim diistilahkan sebagai major themes
of Islam, yakni ketuhanan (tawhîd), keadilan (al-‘adâlah), egaliterianisme (al-musâwah),
kebebasan (al-hurriyah), kebaikan (al-khayr), musyawarah (alsyûrâ), amr ma‘rûf nahiy
munkar, dan seterusnya19.
Pada hakekatnya, dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan
dalam sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang
dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan
bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka
mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan
menggunakan cara tertentu. Berbicara tentang pengaruh kultur dan adat lokal dalam
kaitannya dengan agama, di sana terlihat adanya pergulatan untuk mengompromikan
pesan relegius keagamaan yang disinergikan dengan muatan lokal. Perjumpaan agama
dengan budaya lokal itu mengambil banyak bentuk. Pertama, mengalami benturan
[clash] yang sampai pada titik di mana budaya setempat dihabisi dan diganti yang baru
dengan islamisasi misalnya, yang terjadi di Padang tempo dulu. Kedua, ada yang
mengambil jalan akomodasi. Artinya ada pertemuan saling mengisi dan tidak saling
menjatuhkan. “Islam diterima tapi sebatas simboliknya. Adapun substansi seperti
kepercayaan terhadap leluhur tetap dijaga. Ketiga, mengambil bentuk hibriditas. Artinya
menerima agama tapi separohnya saja, sisanya tradisi setempat. Bentuk ini kemudian
biasa dikenal dengan misalnya, Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Sasak dan sebagainya
(Baso, 2003: 3)20.

15
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008).
16
Muhammad Fuad, Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an, Damaskus: Dar al-
17
Taufik Tsani, “Dakwah Dan Kemajuan Teknologi,” Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas 9,
no. 1 (2014): 83–91.
18
Muhammad Harfin Zuhdi, “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya,” RELIGIA 1, no. 1 (2012): 46–64.
19
Ibid.
20
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2002.

3
Islam sebagai agama, menyebar ke penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog
dengan masyarakat setempat (lokal), berkompromi, mengakomodasi tradisi masyarakat,
sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat
setempat berdasarkan koridor Islam. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi
Indonesia, karena Islam mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa
Hindu-Budha. Dialektika Islam dengan tradisi masyarakat diyakini sebagai proses
penerimaan yang dilakukan secara alamiah dan damai, tanpa penaklukan. Dalam
dialektika terjadi proses mempengaruhi dan dipengaruhi. Yakni, Islam mempengaruhi
tradisi masyarakat dan sebaliknya Islam dipengaruhi oleh tradisi masyarakat yang
dibingkai dalam semangat rekonsiliasi. Proses timbal balik ini membawa nuansa yang
harmonis dalam corak keislamanan Nusantara. Misalkan kegiatan ritual yang
dilaksanakan masyarakat diisi dengan ajaran-ajaran Islam yang terjadi pada tahlilan.
Merupakan meknisme Islam menawar tradisi masyarakat dengan cara mengisi acara-
acara ritual masyarakat ketika ada yang meninggal. Jika sebelumnya sibuk dengan ritual
adat, setelah terjadi negosiasi dengan Islam, ritual adat tersebut diisi dengan tahlilan.
Kedua, ketika Islam diperngaruhi oleh tradisi masyarakat, maka yang terjadi adalah
proses menerima tradisi masyarakat atau dengan istilah lain kemampuan tradisi untuk
berintegrasi dengan budaya lain yang berbeda untuk menjadi bagian dari tradisi. Proses
ini terjadi pada arsitektur bangunan rumah ibadah dan beberapa perangkat di dalamnya 21.
Dalam konteks negosiasi yang bersifat normatif, maka nilai-nilai negosiasi justru
digunakan secara prgamatis. Sebagai contoh,agama mereka Muslim, tetapi mereka tetap
saja mempraktik ritualritual tradisinya. Dalam hal ini, tidak terjadi proses peleburan,
melainkan berdiri sendiri dalam ranahnya masing-masing. Masyarakat adat yang
beragama Islam di Kampung Naga dan Citorek misalnya menunjukkan bahwa agama
dan tradisi diperlakukan oleh penganut masyarakat adat secara pragmatis, bukan
ideologis. Pada masyarakat adat yang beragama Islam terjadi proses kolaborasi dua
unsur, agama dan tradisi, yang mereka istilahkan sebagai "mendayung di antara dua
perahu". Satu sisi mereka mengimani akidah Islam, pada sisi lain mereka menggunakan
tata cara bertahan hidup dengan bersumber pada tradisi. Cara berladang atau bersawah
merupakan salah satu aktivitas yang merujuk pada tradisi yang didasarkan pada
perhitungan bintang-bintang yang merujuk pada dewa-dewa atau roh-roh. Hal ini tetap
digunakan dengan argumen ajaran Islam tidak memberikan aturan dan petunjuk cara
bercocok tanam, sekaligus juga bahwa cara tanam tradisi terbukti secara pragmatis
menghasilkan panen yang lebih baik (Qomaruzzaman, 2003)22.
Gagasan Islam pribumi, secara genealogis, diilhami oleh gagasan pribumisasi Islam
yang pernah dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid pada paruh akhir tahun 80-an. Dalam
“pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai sebuah ajaran yang normatif
berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari
manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Bagi Abdurrrahman Wahid,
Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah
tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih jauh, Arabisasi belum tentu cocok
dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan sebagai upaya menghindari timbulnya perlawanan
dari kekuatankekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang.
Karena itu, inti pribumisasi Islam adalah bukan untuk melakukan polarisasi antara agama
dan budaya, sebab polariasi demikian memang tidak terhindarkan (Wahid, 2001: 111)23.

21
Ibid.
22
Qomaruzzaman, ”Menawarkan Diri Pada Syariat Islam”, Pikiran Rakyat, 2 Januari 2003
23
Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001.

4
Pribumisasi Islam ini, sejatinya mengambil semangat yang diajarkan oleh Walisongo
dalam dakwahnya ke wilayah nusantara sekitar abad ke-15 dan ke-16 di pulau Jawa.
Dalam konteks ini Walisongo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam Islam
yang khas Indonesia. Kreativitas ini melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam Indonesia
yang tidak harfiah dan tekstual meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang
melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Walisongo mengakomodasikan
Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan. Misalnya,
apa yang dilakukan oleh Sunan Bonang dengan mengubah gamelan Jawa yang kental
dengan estetika Hindu menjadi nuansa zikir. Tembang “tombo Ati” adalah salah satu
karyanya dan dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang mengubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi pada
masa selanjutnya, yakni abad ke-17 oleh Abdurrauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-
Makasari yang lebih bercorak purifikasi dalam pembaruan Islam24.
Oleh karenanya, ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan
tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami
sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan
perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian,
Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman.
Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami
sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi
dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam
Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat
perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam
menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam aksinya, Islam pribumi selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
lokal masyarakat, di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum-
hukum inti dalam agama. Sementara ajaran-ajaran inti Islam itu dilahirkan di dalam
kerangka untuk memberikan kontrol konstruktif terhadap penyimpangan-penyimpangan
lokalitas yang terjadi. Terhadap tradisi lokal yang mempraktekkan pola-pola kehidupan
zholim, hegemonik, tidak adil, maka Islam pribumi akan melancarkan kritiknya.
Sedangakan terhadap tradisi lokal yang memberikan jaminan keadilan, dan kesejahteraan
pada lingkungan masyarakatnya, maka Islam pribumi akan bertindak sangat apresiatif.
Bahkan, tradisi lokal yang adi luhung [urf shahih] dalam pandangan Islam pribumi,
memiliki semacam otoritas untuk mentakhsis sebuah teks nash. Sebagai ilustrasi,
bagaimana sebuah tradisi yang bersifat propan oleh para ulama kemudian diberi
semacam wewenang untuk mentakhsis sebuah teks yang dipandang berasal dari Tuhan,
Disebutkan bahwa tradisi masuk dalam deretan dalil-dalil istinbath hukum Islam [al-
‘Adah Muhakkamah]. Dengan platform pemikiran ini, maka wajar jika sejumlah para
pakar ushul fiqh menyatakan bahwa mengetahui setting sosial historis Arab dari
terbentuknya sebuah ketentuan agama seperti yang terpantul dalam teks suci menjadi
sangat urgen dan signifikan.

B. Metode Dakwah Walisongo

C. Jaringan Walisongo

D. Sejarah Pasuruan

24
Ibid.

5
Sejarah Kabupaten Pasuruan bermula dari Peradaban Kerajaan Kalingga tahun 742-
755 Masehi, yang pernah dijadikan Ibu Kota Kerajaan kalingga, tepatnya daerah Po-Lu-
Kia-Sien yang ditafsirkan Pulokerto, salah satu nama desa di wilayah Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasoeroean. Setelah masa kejayaan Kalingga berakhir muncullah Kerajaan
Mataram Kuno di bawah kekuasaan Dinasti Sanjaya Tahun 856 Masehi. Pada tahun 929,
Mpu Sindok seorang Raja dari keluarga lain menggeser pusat pemerintahan dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur tepatnya di Desa yang identik dengan Desa Tembelang Jombang.
Mpu Sindok mengeluarkan 20 Prasasti diantaranya terletak di Dusun Sukci, Desa
Bulusari, Kecamatan Gempol Pasuruan. Di Era Majapahit, nama Pasuruan tertulis dalam
Kitab Negara Kertagama Karangan Empu Prapanca. Sesudah Kerajaan Majapahit surut,
berdirilah Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan Giri Kedaton, Kerajaan Pajang, dan
Kerajaan Mataram25.
Kerajaan Majapahit mulai surut disebabkan terpecahnya para pemimpin juga oleh
pengaruh perkembangan agama Islam. Majapahit runtuh, sebagian besar rakyatnya ikut
memeluk agama Islam dengan meninggalkan budaya Jawa yang bercorak animistik-
hinduistik, dan mengikuti ajaran para wali. Namun, sebagian kecil yang tetap memeluk
agama nenek moyangnya, melarikan diri ke daerah lain diantaranya di bagian selatan
Pasuruan, orang mengenalnya dengan daerah Tengger26. Pangeran Majapahit (anak
Brawijaya V) yang telah memeluk Islam dengan dukungan para wali mendirikan
Kerajaan Demak27. Setelah era Demak berakhir, dilanjutkan Kerajaan Pajang berpusat di
pedalaman28 yang dipimpin oleh Jaka Tingkir29. Setelah era Kerajaan Pajang berakhir,
muncullah kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati (1575-1601).
Kemudian diteruskan oleh Mas Jolang bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613).
Perkiraan hidupnya Mbah Sholeh Semendi sekitar awal abad XVI hingga tahun
1743, ketika Pasuruan dipimpin mulai dari Adipati Pate Supetak, Kiai Gedee
Dermoyudho I, Kiai Gedee Dermoyudho II, Mas Pekik dengan gelar Kiai Dermoyudho
(III), Kiai Onggojoyo, Untung Suropati, Rakhmad, Onggojoyo yang bergelar
Dermoyudho (IV), Setelah beberapa kali berganti pimpinan, hingga Raden Ario
Wironegoro. Masa ini (1601-1749), Pasuruan di bawah kekuasaan Mataram yang
dipimpin mulai dari Mas Jolang, Raden Rangsang/Sultan Agung (1613-1646) menguasai
Pasuruan30, Mangkurat I, Mangkurat II, Mangkurat III, Sunan Pakoeboewono I,
Mangkurat IV, hingga Sunan Pakoeboewono II31.
Adipati Pasuruan diteruskan oleh Kiai Ngabai Wongsonegoro bergelar Tumenggung
Nitinegoro, yang beristri seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari
Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel
dan Raden Ayu Berie melahirkan Raden Groedo. Raden Groedo yang masih berusia 11
tahun menggantikan Tumenggung Nitinegoro menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar
Kiai Adipati Nitiadiningrat (I). Di masa beberapa Adipati ini, Mbah Sholeh Semendi
diperkirakan sudah wafat jika dianalisis dari usianya.
Adipati Nitiadiningrat (I) menjadi Bupati Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8
November 1799) dan mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama Kiai Hasan Sanusi
(Mbah Slagah) putra dari Sa’ad bin Syakaruddin yang masih keturunan Mbah Sholeh
25
www.pasuruan.go.id, “Sejarah Singkat Kabupaten Pasuruan” (Pasuruan, 2015).
26
www.pasuruan.go.id, “Legenda Banyu Biru.”
27
Ahmad Nurhamid, “Arya Penangsang Gugur: Antara Hak Dan Pulung Kraton Demak Bintara,” Dinamika
Bahasa & Budaya 3 (n.d.): 105–115.
28
Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” (n.d.).
29
Muhammad Yusuf Makhfud, “Konflik Politik Kerajaan Demak Setelah Wafatnya Sultan Trenggono Tahun
1546-1549,” Artikel Ilmiah Mahasiswa (2015): 1–10.
30
http://www.kemendagri.go.id, “Profil Daerah,” /kabupaten/id/35/name/jawa-timur/detail/3514/pasuruan.
31
http://id.wikipedia.org, “Babad Pasuruan.”

6
Semendi. Kemudian Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya
dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng
Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo
dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Penggantinya adalah Raden Amoen
Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario
Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I
sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan
Mbah Surga-Surgi32.

E. Pengaruh Dialektika Islam dan Hindu


Mitos tentang hubungan manusia dengan alam ghaib terutama dewata, awalnya
berfungsi sebagai dasar ritual-ritual dalam keluarga dan masyarakat untuk memohon
keselamatan. Fungsi itu kemudian hilang, digantikan ritual bentuk baru berupa upacara
komunal bersih desa. Monotheisme adalah sebuah istilah yang menempatkan para
dewata dalam korpus yang berada di bawah kekuasaan Allah. Setelah proses panjang,
monotheisme ini secara perlahan mengubah wajah holisme Jawa dengan berubahnya
norma-norma yang bersumber dari hirarki nilai sosio-kosmik digantikan oleh norma-
norma yang berasal dari sumber Islam. Implikasinya tercermin pada komunitas di sekitar
hutan kramat Krendawahana. Dulu, Krendawahana dipercaya sebagai hutan angker yang
dikuasai oleh Batari Durgi, karena angkernya tidak seorang pun yang berani masuk,
kalaupun ada yang masuk, dia akan menghadapi dua kemungkinan: mati atau hilang.
Karena itu Hutan ini disebut juga alas Gandamayit. Kalangan Kraton (Mataram pertama)
menggunakannya untuk mengadakan upacara besar-besaran dalam rangka pemujaan
kepada Betara Durga. Sejak abad ke-18, Kraton Solo secara rutin mengadakan upacara
“maesa lawung” dalam rangka memperingati hari jadinya. Di sebelah barat daya
pundhen Durga ada sebuah dusun santri bernama kaliasa yang terletak persis di pinggir
alas Gandamayit, ada masjid-masjid dan pesantren-pesantren yang berdiri sejak lama,
dipelopori oleh para ulama yang masuk ratusan tahun yang silam. Ajaran-ajaran Islam
masuk pada sendi-sendi kehidupan masyarakat melalui simbol-simbol dengan istilah-
istilah jawa tanpa harus memaksakan vokabuler Arab yang sulit diucapkan atau disebut
pola kohabitasi dan kohesi sosial antar-tradisi (Jawa dan Islam) yang berlangsung sekitar
500 tahun silam tepatnya ketika Islam datang33.
Kebudayaan Jawa adalah kebudaaan pusat di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena
sekalipun Indonesia tidak identik dengan Jawa, tetapi jelas bahwa Jawa adalah pusat
Indonesia34. Luasnya pengaruh budaya Jawa tidak dapat dilepaskan dari luasnya
pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa kuno, seperti Mataram dan Majapahit; dan juga
disebabkan banyaknya tokoh-tokoh politik serta pemerintahan pada masa penjajahan
Belanda hingga sekrang. Hal ini masih ditambah oleh kenyataan, bahwa orang Jawa
adalah kelompok etnis yang sangat toleran, mereka sudah menerima pengaruh pengaruh
asing tanpa harus mengorbankan identitasnya35.
Kemampuan orang Jawa yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial yang
lain, yang bukan budaya Jawa, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pandangan hidup
orang Jawa dan penekanan tingkah laku seseorang agar nrima, sabar, eilng lan waspada,
andap asor, tepa selira, dan prasaja. Semua aturan itu penting sekali bagi tercapainya

32
Ibid.
33
Muhaimin AG, “Book Review Islam Jawa: Antara Holisme Dan Individualisme,” Studia Islamika 12, no. 1
(2005).
34
Magnis Suseno dalam Rachmat Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa (Bandung: Koperasi Ilmu Pengetahun
Sosial, 2008).
35
Ibid.

7
keseimbangan hidup manusia, baik selaku makhluk individu, maupun mahluk sosial,
maupun mahluk ciptaan Tuhan. Menurut pandangan orang Jawa, dengan tercapainya
keserasian, atau harmoni hidup. Keserasian hidup dapat menciptakan ketenangan dan
ketentraman. Bagi orang Jawa, ketentraman itu dianggap memiliki nilai moral yang
tinggi dibandingkan dengan tata nilai yang lain, sebab kedamaian dan ketentrama n tidak
saja menyangkut kehidupan di dunia, tetapi juga di akhirat.
Di Indonesia banyak memiliki kelompok etnis, tentunya terdapat banyak kesatuan-
kesatuan sosiokultural, antara lain sistem sosiokultural Melayu, Sunda, Jawa, dan Bali.
Setiap sistem sosio-kultural menunjukkan suatu jenis masyarakat yang khusus dalam
suatu kontinum kebangsaan yang khusus pula. Di dalam perkembangan sejarahnya dan
dalam pertumbuhannya dari yang sederhana sampai yang kompleks, kesatuan-kesatuan
dan kebiasaan-kebiasaan kultural yang sudah ada lebih dualhu, tidaklah hilang sama
sekali. Sebagai contoh, di dalam periode kuno kebudayaan Jawa, masyarakat desa
merupakan kesatuan sosio-kultural ini kemudian menjadi bagian dari kerajaan yang
terikat. Masyarakat desa ini lambat laun pada derajat yang berbeda, ditempatkan di
bawah pengaruh pusat politik dan kebudayaan36. Meskipun kerajaan itu sekarang telah
kehilangan kekuatan politiknya, akan tetapi kesatuan lokalnya masih banyak memiliki
identitas-identitas yang kuno. Mereka masih memiliki integrasi dan ikatan dengan tanah
dan kepercayaannya. Menurut kepercayaan kuno, penghormatan terhadap nenek moyang
itu adalah suatu keharusan demi pemeliharaan tata kosmis. Ikatan antara bagian dunia
hidup dan bagian dunia mati diperkuat oleh upacara-upacara penghormatan itu. Oleh
karena konsepsi adanya dua bagian dalam kosmos dan masyarakat ikut mempunyai arti
yang besar sekali pada alam pikiran Jawa, maka hubungan ritual atau kerohanian dan
keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan sebagai
keseluruhan37.
Sesuai dengan paham siklis auta cakramanggiling ini, manusia bersikap menyera h
terhadap nasibnya, karena segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib. Kepercayaan
semacam ini sampai sekarang masih banyak dianut oleh masyarakat Jawa, khususnya di
daerah pedesaan. Kepercayaan terhadap adanya aturan atau institusi yang serba tetap
yang diatur oleh kekuatan gaib, bersifat selaras atau harmonis dan abadi, dianggap dapat
mencelakakan mnausia. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia
sebaiknya diselaraskan dengan tatanan alam. Bahkan yang selaras dengan tatanan alam
itu dianggap baik dan jujur. Di samping itu pengambilan bagian atau partisipasi tingkah
laku dan perbuatan manusia dalam sistem aturan yang sesuai dengan alam itu, akan
menyangkut taraf hidup manusia menjadi bernilai. Untuk menunjukkan nilai itu perlu
dibuat lambang, simbol, atau upacara, atau selamatan, atau ritus, dengan maksud
membahagiakan dirinya dan juga membahagiakan kekuatan alam gaib yang mungkin
akan mengganggunya.
Sebelum masuknya Hindu ke Indonesia, dalam masyarakat Indonesia, khususnya
Jawa, sudah dikenal adanya hirarki ossial. Mereka beranggapan, bahwa dalam hubungan
sosial terdapat stratifikasi sosial dan sifatnya kosmis klasifikatoris hirarkis. Nila-nilai
kesatuan dan harmoni dilengkapi dengan hirarki. Manusia secara kodrati tidak sederajat.
Semua hubungan sosial secara hirarkis diatur oleh nuansa-nuansa halus perbedaan
kedudukan. Hirarki sosial semacam ini semakin dipertegas lagi setelah masuknya agama
Hindu ke Indonesia. Agama Hindu mengajarkan bahwa strata sosial seseorang tidaklah
sama. Ketidaksamaan ini disebabkan karena seseorang dilahirkan dari asal keturunan
yang berbeda. Perbedaan ini berlangsung terus menerus, sehingga seseorang akan hidup

36
Sartono Kartodiharjo dalam Ibid.
37
Sartono K. Dalam Ibid.

8
dan mati dalam strata sosialnya, yang dalam agama Hindu disebut kasta. Dalam ajaran
Hindu, masyarakat dikelompokkan dalam empat kasta besar dari yang tertinggi yakni
kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, serta satu kasta terendah yakni kasta Paria.
Setiap kasta sudah memlikii tugas dan tanggungjawabnya masing-masing di dalam
masyarakat, sehingga pembagian tugas dan pekerjaan seseorang akan sangat ditentukan
oleh kastanya. Selain memperkenalkan hirarki sosial yang semakin tegas, Agama Hindu
juga memperkenalkan dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang harus dihormati dan
sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, raja sebagai kepala pemerintahan harus pula
menghormati dewa-dewanya38. Cara yang ditempuh, adalah dengan pendekatan yang
bersifat “legitimasi”. Melalui para pendeta, pujangga, maupun pegawai istana yang ahli
di bidangnya, dibuatlah hikayat, pantun, mitos, babad, silsilah, serta lain-lainnya, yang
pada dasarnya berisi penjelasan guna melegitimasikan kekuasaan raja.
Bagi masyarakat Jawa, khususnay yang
menganut mistik, para raja dianggap termasuk
unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh
kuasa, yang mewadahi kekuatan kosmis. Kekuasaan
duniawi mereka, ada lahpertanda
wahyu, berkat adikodrati, dan eratnya hubungan
mereka dengan sumber-sumber kekuatan asali
dianggap memancarkan kekuatan magis yang
berasal dari pribadi raja, memerkati dan menjamin
kesejahteraan par a warga.
Gelar yang bersifat Hinduistis dan
Islam ini, jelas dimaksudkan agar dia diakui dan
dihormati sebagai pimpinan agama Hindu dan
sekaligus sebagai pimpinan agama Islam. Hal ini
bisa dimengerti, bahwa pada sa ma itu
masyarakat Jawa yang semula menganut agama
Hindu, sudah banyak pula yanmg enganut
kepercayaan baru, yakni agamaI slam.
Dari pengalaman historis suku bangsa
Jawa sejak masuknya Hindu ken doInesia,
membuktikan adanya sikap toleran yang demikian.
Bangsa Indonesia (Jawa) yang sebelumnya
menganut kepercayaan aimnisme-dinamisme
dapat menerima pengaruh agama Hindu dengan
berbagai etika dan budayanya, sehingga agama
ini dapat berkembang pesat di Jawa bila dibandingkan
dengan di daerah lain yang memiliki
budaya lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
bangunan keagamaan Hindu yang diketemukan
di berbagai daerah di pulau Jawa, khususnya di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Masuknya agama Budha ke Indonesia (Jawa)-
pun, tidak mengalami hal sulit, dan bahkan
mendapat sambutan yang sangatm enggembirakan
dari orang Jawa. Hl a ini bukan saja
ditandai atau dibuktikan dengan diketemukannya

38
Ibid.

9
berbagai bangunan keagamna a agama
Budha, seperti Candi Borobudur yang terkenal
itu, tetapi juga diketemukan usatu kenyataan
bahwa di Jawa telah terjadi uaklturasi antara
budaya Hindu-Budha dan Jawa, demikian juga
terjadinya sinkretisme antara agama Hindu-
Budha-Anisme/Dinamisme (Jawa). Diketemukannya
patung hari-hara yang merupakan per -
wujudan patung Hindu-Budha, yang dalam pelaksanaan
ritualnya sudah bara ng tentu mendapat
”corak Jawa” pula.
Selain masuknya agama Hindu dan Budha
ke Indonesia (Jawa), kemudian masuk pula
orang Arab dengan agama Islamyna. Agama
Islam diterima secara terbuka oleh orang Jawa,
bahkan kemudian mampu berkembang pesat di
Jawa dan juga di berbagai daerah di Indonesia.
Agama Islam di Indoneisa telah menjadi agama
yang bukan saja terbesar di wJaa, tetapi juga
terbesar di dunia. Mengingat mayoritas penduduk
Indonesia adalah dari suku bangsa Jawa,
sudah bisa dipastikan bahwa mayoritas pemeluk
agama Islam-pun adalah terdiri dari orang-orang
Jawa.
Pada waktu bangsa Barat (Portugis, Spanyol
dan Belanda) dengan budaay Barat dan
agama Nasraninya masuk ke Indonesia, juga diterima
secara terbuka oleh onrag Jawa. Te-r
jadinya berbagai pertikaian dengan bangsa Barat
sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan
agama atau budaya Baratnya, ttaepi dan te-r
utama disebabkan karena adan ya sikap s-e
wenangnya-wenang yang dilakukan oleh paa r
pemuka Barat terhadap bangsa nIdonesia (Jawa).
Kalau dalam sejarah perlawanan terhadap
Barat diketemukan adanya perlawanan yang
bersifat rasialis ataupun beirfsat keagamaan,
sebenarnya hanya merupakan peicmu pe-r
lawanan saja. Sebab dalam gkearna sosial,
termasuk juga terjadinya perlawanan terhadap
bangsa Barat yang semula bersifat politik, dapat
saja di beri ”baju” lain, yakni ”baju” keagamaan
ataupun kebangsaan. Demikian juga sebaliknya.

BAB III
Sejarah dan Mitos Masyarakat Winongan

Pasuruan merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja yang beragama
Hindu. Hal ini diperkuat dengan keberadaan Patih Gajah Mada (di masa tua) yang

10
mendapatkan tanah perdikan bernama Madakaripura. Madakaripura ditemukan oleh A.
Gomperts, bahwa Madakaripura merupakan sebuah dusun bernama Dadapan di desa
Grogol, dua kilo meter di sebelah timur laut kecamatan Gondang Wetan, kabupaten
Pasuruan. Berdasarkan asumsi ini, penulis asal Inggris Hadi Sidomulyo melihat
kemungkinan bahwa Madakaripura terletak di kabupaten Pasuruan, antara Grogol dan
desa Winongan, 6 km di sebelah tenggaranya39. Dari penemuan tersebut, memperkuat
pengaruh Hindu Majapahit di masa itu, khususnya di Winongan.
Winongan sebagai ibukota pertama Pasuruan, pernah menjadi sebuah kerajaan yang
dipimpin oleh raja pertama bernama Murdangkoro di bawah kekuasaan Majapahit. Hal
ini selaras dengan buku Cerita Rakyat dari Pasuruan (Jawa Timur) yang dikarang oleh
Deny Wibisono40. Dia memimpin Kadipaten Pasuruan dengan adil dan Bijaksana hingga
usia tua. Satu-satunya orang kepercayaannya adalah Pangeran Ngrangrangkusuma,
pembuat pusaka. Adipati kemudian digantikan Pangeran Ngrarangkusuma setelah
Murdangkoro meninggal. Pangeran Ngrarangkusuma mengangkat penasehat bernama
Joko Unthuk atas jasanya mengatasi kegegeran ulah kerbau di alun-alun Kadipaten41.
Legenda lain menceritakan seorang tokoh yang dikaitkan dengan budaya keris, yaitu
"Pangeran Winongan". Awalnya, Pangeran Winongan42 adalah anak dari seorang Putri
kerajaan Majapahit bernama Tatiban atau Nyai Teng yang memiliki 25 anak, dan
dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Namun, salah satu anaknya tidak masuk ke
kawah Bromo, tetapi jatuh di danau Banyu Biru. Anak tersebut diselamatkan oleh mPu
Supo, dan diajari cara-cara pembuatan keris. Setelah dewasa, anak tersebut mengabdi di
Kraton Majapahit. Karena hasil karyanya, dia dianugerahi jabatan sebagai Adipati
Winongan yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Winongan. Legenda Lain,
menceritakan mPu Supogati yang berhasil mencari pusaka Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring. mPu Supogati lantas dihadiahi tanah perdikan di daerah Winongan oleh raja
Majapahit dan mendapat jabatan sebagai Demang, rakyat sekitar menyebutnya sebagai
Pangeran Winongan43.
Di Winongan terdapat danau banyubiru, secara geografis masih satu Kecamatan
Winongan, yang nilai sosial budayanya tidak jauh berbeda. Kepercayaan akan suatu hal
mistis (mitos) masih cukup melekat pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya44.
Masyarakat Hindu Bali meyakini wilayah tersebut dibangun nenek moyangnya yang
terdampar dalam perjalanan menuju Bali pada masa akhir kejayaan Kerajaan
Majapahit45. Legenda lain menceritakan tentang seorang manusia bernama Tombro, sang
penggembala yang sedang menunggu kerbau-kerbaunya di hutan. Karena kerbau-
kerbaunya tak kunjung datang, Tombro pun pergi menyusuri hutan untuk mencarinya,
dan menemukan kerbau-kerbaunya terjebak di kubangan lumpur. Setelah Tombro
mengeluarkan mereka dari kubangan lumpur tersebut, dia melihat kubangan lumpur itu
berubah menjadi kolam air yang jernih nan kebiruan. Kabar tersebut didengar oleh

39
https://id.wikipedia.org, “Madakaripura.” Dari sumber yang sama menjelaskan Madakaripura adalah nama
tanah perdikan yang dimiliki mahapatih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Kepercayaan umum
menempatkan tanah ini di kecamatan Tongas, Probolinggo, Jawa Timur. Pandangan ini didasarkan pada nama
Mandhala Hambulu Traya yang disebut dalam Nagarakertagama (1365), yang disamakan dengan desa Ambulu
di kecamatan tersebut : Mwang ring mandhala hambulu traya teke dhadhap adulur ikang rawalaris, "Dan di
Mandhala Hambulu Traya iringan kereta berjalan terus sampai Dhadhap" (19:Id).
40
bookstore.google.com, “Cerita Rakyat Dari Pasuruan (Jawa Timur).” Ditulis oleh Deny Wibisono
41
http://www.kaskus.co.id, “Joko Unthuk Cerita Masyarakat Winongan Pasuruan.”
42
http://id.rodovid.org, “Orang:188514.”. Sumber ini berbeda dan menjelaskan bahwa Pangeran Winongan
adalah keturunan Ratu Ayu Winongan istri dari Sultan Trenggono.
43
http://bloraku.com, “Diskusi Tentang Budaya Keris Dan Tombak.”
44
http://www.kompasiana.com, “Misteri Di Telagawilis.”
45
http://m.detik.com, “Wolipop.”

11
Bupati Pasuruan yang bertama yakni Raden Adipati Nitiningrat. Bupati tersebut
mengajak saudagar dari Belanda yang bernama PW Hoplan. Kemudian kolam tersebut
dibangun oleh Belanda sebagai pemandian umum dan diberi nama telaga wilis. Agar
terlihat indah, kolam tersebut dihiasi dengan taman dan diberi sebelas patung yang
diambil dari Singosari46.
Di Desa Winongan, hidup seorang Guru Padepokan bernama Labuh Geni yang
mempunyai banyak pengikut. Bahkan Labuh geni mempunyai pengaruh sampai se
wilayah Jawa Timur. Labuh Geni adalah sosok yang memiliki kesaktian dengan andalan
kesaktian berupa Geni (api) yang sekaligus menjadi julukannya, juga mempunyai
kesaktian lain berupa udeng yang bisa terbang. Padepokan adalah salah satu ciri
Perguruan dari agama Hindu pada waktu itu, di era Islam menjadi Pondok Pesantren.
Padepokan berasal dari bahasa Jawa Kawi, yang mempunyai arti: Dhepokan:
”lenggahan” atau tempat duduk ( bersila ), Phadepokan: ”pratapan” yang berarti tempat
pertapaan, dan Depok: Duduk bersila di hadapan guru yang sedang memberikan
pelajaran, dan tinggal di tempat yang disediakan guru di lingkugan tempat tinggalnya
untuk belajar dalam jangka waktu tertentu. Jadi, padepokan adalah tempat untuk
mendapat pelajaran dari seorang guru dengan cara duduk bersila dalam waktu tertentu47.
Di masa Kerajaan Winongan ini, ada seorang perantau yang datang di Winongan
yakni Mbah Sholeh Semendi. Ia populer setelah menang dalam adu kesaktian melawan
Labuh Geni, kemudian menjadi pelopor penyebaran ajaran Islam di Winongan. Setelah
wafat, ia dimakamkan di Winongan yang menjadi tempat perjuangannya. Tata cara
berziarah dan penghormatan pada makamnya, melahirkan mitos bahwa berziarah ke
makam Mbah Sholeh Semendi membawa keberkahan dan kedamaian.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa di Winongan dulu pernah ada Kerajaan
Winongan yang menganut ajaran Hindu beserta penduduknya yang berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sedangkan Rajanya muncul nama Raja Murdangkoro,
Raja Ngrangrangkusuma, Adipati Winongan, dan Labuh Geni. Mengenai Labuh Geni,
ada yang berpendapat ia adalah Raja Winongan di masa Mbah Sholeh Semendi hidup
dan ada yang berpendapat ia adalah seorang guru padepokan. Kerajaan Winongan dan
Raja-raja ini tumbuh dalam legenda Winongan dan Pasuruan. Secara arkeologis, belum
ditemukan bukti ilmiahnya. Namun, Ada bukti tentang keberadaan Mbah Sholeh
Semendi, Labuh Geni, Raja Murdangkoro, dan Raja Ngrangrangkusuma yakni
makamnya yang berada satu Wilayah Winongan. Sedangkan bukti keberadaan Mbah
Sholeh Semendi lebih dikuatkan dengan adanya beberapa petilasan.

46
http://nasional.news.viva.co.id, “Mitosnya Ikan-Ikan Ini Pengawal Majapahit Yang Dikutuk.”
47
Djunaedi, “Pusat Seni Bela Diri Pencak Silat Di Tangerang” (n.d.): 1–16.

12
BAB IV
Mbah Sholeh Semendi

A. Mbah Sholeh Semendi dan Para Leluhur


Kyai Sholeh yang dipanggil Mbah Sholeh Semendi di usia sepuh, makamnya
terletak di Winongan Pasuruan tepatnya di Desa Winongan Lor. Di batu nisannya
tertulis makam Mbah Semendi al habib Sholeh Bin Hasanuddin Bin Syarif
Hidayatullah Winongan Pasuruan, perpaduan tulisan pegon dan Arab. Penegasan
silsilahnya diakui oleh para kyai terkemuka Pasuruan, beberapa literatur baik buku
maupun internet, masyarakat bahkan keturunannya. Hal ini menegaskan bahwa Mbah
Sholeh Semendi adalah sosok yang mempunyai ikatan darah dengan penyebar Islam
nusantara yakni Walisongo bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati48.
Tradisi–tradisi belakangan menyebut kakeknya dengan nama Syarif Hidayatullah:
literatur babad menyebutnya dengan berbagai nama; Sa’id Kamil, Muhammad
Nuruddin, Nurullah Ibrahim dan Maulana Shaikh Madhkur, dan menyebutkan daerah
kelahirannya di Mesir atau di Pasai, Sumatera Utara. Nampak banyak tokoh yang
menyejarah dan melegenda lebur menjadi seseorang yang disebut Sunan Gunung
jati49. Dalam budaya Jawa Barat, Sunan Gunung Jati mempunyai leluhur bernama
Seh Jumadil Kubra. Tarikh Banten dan Cirebon, walaupun memiliki sedikit
perbedaan, mencatat genealogi pendeknya seperti di bawah ini:
NabiMuhammad
Ali dan Fatimah
Imam Husain
Imam Zainal Abidin
Imam Ja’far Sadiq
Seh Zainal Kubra ( atau: Zainal Kabir)
Seh Jumadil Kubra
Seh Jumadil Kabir
Sultan Bani Israil
Sultan Hud dan Ratu Fatimah
Muhammad Nuruddin (yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati)50.

Sedangkan leluhur Mbah Sholeh Semendi dan Sunan Gunung Jati bahkan leluhur
Walisongo yaitu Jumadil Kubra51 adalah satu satunya yang menjadi acuan dari
legenda tertulis pada teks literatur Jawa. Babad Cirebon tidak hanya mencatatnya
sebagai leluhur sunan Gunung Jati, tetapi juga leluhur wali yang lain, Sunan Bonang
dan Sunan Ampel, dan juga Sunan yang paling dimuliakan di Jawa, Sunan Kalijaga 52.
48
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan dan observasi langsung di
lokasi makam
49
Martin Van Bruinessen, “Najmuddin Al-Kubra , Jumadil Kubra Dan Jamaluddin Al-Akbar (Jejak Pengaruh
Kubrawiyya Pada Permulaan Islam Di Indonesia),” Al-Qurba 1, no. 1 (2010): 24–57.
50
Ibid. di catatan kaki, Bruinessen menyebut beberapa sumber yaitu Edel 1938:123, 149, 253: Brandes dan
Rinkes 1911: Canto 13; cf. Djajadiningrat 1913:17,106. Tidak ada nama Ja’far Sadiq dalam SBR dan Babad
Cirebon hanya menyebut satu dari dua Jumadi, dan Djajadiningrat mencatat nama yang terakhir dalam susunan
terbalik.
51
Bruinessen menyebut banyak nama fiksional termasuk Seh Jumadil Kubro. Dalam genealogi nama terakhir,
babad juga berisi nama yang lain, setelah Jumadil Makbur, yang menunjukkan hubungan dengan Kubrawiyya,
adalah Shaikh Aswa al-Safaranin (atau dalam manuskrip yang lain Sagharnane, atau Safarana’i), yang pasti
merupakan perubahan nama dari Isfara’ini. Kota Iran bagian timur, yang merupakan pusat utama Kubrawiyya,
dan beberapa shaikh yang berpengaruh dari aliran sufi tersebut juga memakai nisba ini (namun nama Aswa
tidak mirip dengan Isfara’ini yang sudah dikenal ini)
52
Ibid.

13
Namun, Serjeant (1957:25-6) sebagaimana dikutip Bruinessen berpendapat bahwa Para
sayyid dari Hadramaut mengkritik keturunan campuran sayyid di Jawa dan ayah-ayah
Arab mereka yang mengabaikan penjagaan daftar nama-nama keturunan keluarga.
Setelah pendirian Rabita al-Alawiyya pada tahun 1928, sebuah asosiasi keluarga para
sayyid, dilakukan usaha sistematis untuk mencatat genealogi keluarga nabi. Seorang
yang dinamai Jamaluddin al-Akbar dan genealoginya adalah sangat mungkin produk
dari usaha untuk merekonstruksi sejarah Sayyid di Indonesia. Tidak ada protes
terhadap rekayasa ini, tidak hanya karena tidak ada dokumen yang bisa mendukung
ketidaksetujuan terhadapnya, tetapi juga dikarenakan dua kelompok yang terkait
dengannya memperoleh keuntungan dari revisi sejarah ini. Berkat genealogi hasil
‘koreksi” ini, keluarga-keluarga kyai Jawa yang terkenal, yang mengklaim dirinya
keturunan sunan-sunan Jawa, dapat membuktikan dirinya sendiri sebagai sepupu jauh
Sayyid Hadramaut, sementara Sayyid Hadramaut sendiri dengan mudah bisa
mengklaim bahwa seluruh islamisasi Jawa adalah berkat orang-orang yang berasal
dari garis keturunan nenekmoyang mereka.

B. Awal mula ditemukannya Makam sang Wali


Hasil wawancara53 dengan salah satu keturunan Mbah Sholeh Semendi
mengungkapkan:

Mula-mula datuk saya cerita-cerita ketika duduk-duduk


kemudian kedua datuk tahu kalau di situ ada makam orang alim
akhirnya tawasul. Lambat laun kyai nur jasim bib di sini ada
wali, ada lagi tambah abu amar istiqomah di sini, di antara
kedua orang tersebut mengakui bahwa makam itu adalah
makam wali. Bib panjenengan kan sing cedek monggo jenengan
yang ngrekso terose keluarga kulo yai sampean ae yai sampean
kan wes yai ndak bib antum kan yang dekat ini kan daerah
antum orang dulu itu memang tawadu’ sama orang daerah itu
lebih kuat jadi tidak merasa mereka itu yang lebih alim jadi
sama saling menghormati akhirnya dibangun ris kecil, pertama
yang silaturrahim adalah keluarga ana kemudian keluarga yai
nur lambat laun masyarakat

Awal ditemukannya Makam Mbah Sholeh Semendi adalah dari datuk (mbah)
responden dan diperkuat dengan pengkuan dari almaghfurlah KH Nur Jasim dan
almaghfurlah KH Abu Amar, dua kyai yang berpengaruh di masa itu. Mula-mula yang
sering berziarah adalah keluarga responden, kedua kyai tersebut, kemudian masyarakat.
Para peziarah semakin banyak, apalagi setelah diadakan haul pertama sekitar tahun
1970an atas dorongan para ulama’ terkemuka Pasuruan. Bakan pezuarah dari luar
Psuaurna sekarang banyak berdatangn.

C. Sosok Mbah Sholeh Semendi


Secara genealogis berdasarkan beberapa sumber54, Mbah Sholeh Semendi berasal
dari Cirebon Jawa Barat, merupakan keturunan dari Maulana Sultan Hasanuddin bin

53
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
54
Sumber ini berasal dari: www.pasuruankab.go.id, http://ndresmo.blogspot.com, http://bintang-
sufi.blogspot.co.id, http://sidogiri.net, http://www.pasuruantourism.com, http://www.jawapos.co.id,
http://bintang-sufi.blogspot.co.id diakses tahun 2015, Ada Satu versi yang sangat berbeda dari beberapa sumber
tersebut, versi yang berbeda ini mengungkap bahwa Mbah Sholeh Semendi tidak bersaudara dengan Syarifah

14
Syarif Hidayatulloh yang diperkuat dari hasil wawancara. Ada hal menarik dari
pernyataan hasil wawancara dengan ABA55, salah satu keturunan mbah Semendi yang
mengungkapkan:

Kalau menurut cerita datu-datuk saya, ya..... kebetulan


Keluarga kami tidak terlalu menghiraukan masalah nasab.
Nuwon sewu ya. Itu adalah privasi keluarga kami. Jadi Kami
mengatasnamakan saya tidak punya hubungan dengan Mbah
semendi, sehingga kalau saya ingin punya hubungan dengan
mbah semendi, maka saya harus ikut tingkah laku Mbah Sholeh
Semendi itu namanya nasab bililmi wal amal. apa gunanya
nasab kalau tingkah laku tidak sesuai dengan Mbah Semendi.

Pernyataan ini bisa ditafsiri sebagai sikap kehati-hatian dalam hal nasab, meneladani
ajaran Mbah Sholeh Semendi lebih utama dari pada mengakui senasab tapi perilakunya
tidak mencerminkan ajarannya. Ia mempunyai bibi bernama Syarifah Khadijah yang
mempunyai tiga putra, yakni Sayyid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim dan Sayyid Abdul
Karim56. Anak pertama yakni Sayyid Sulaiman menikah (istri pertama) dan mempunyai
beberapa putra di Pekalongan di antaranya laki-laki yakni Hasan, Abdul Wahhab57,
Muhammad Baqir58, dan Ali Akbar59, Dari Pekalongan, Sayyid Sulaiman berkelana lagi
untuk menyebarkan Islam60. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik kedua, wafat di
Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel 61. Sayyid Sulaiman
dan Sayyid Abdurrahim ini yang pada akhirnya berguru dan menjadi menantu Mbah
Sholeh Semendi.
Nama aslinya adalah Kiai Sholeh, karena kebiasaannya yang suka berkhalwat
(menyepi) atau bersemedi sehingga dijuluki Kiai Sholeh Semendi. Pada usia senjanya,
orang-orang memanggilnya Mbah Sholeh Semendi62. Semendi Juga berarti orang yang

Khodijah. Namun mengungkapkan bahwa Mbah Sholeh Semendi merupakan keturunan Sunan Ampel yang
bersumber dari http://ranji.sarkub.com, “Meluruskan Silsilah Nasab Sunan Tembayat Sunan Pandanaran.”
55
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
56
http://pustaka.islamnet.web.id, “Bahtsul Masaail Tentang Sidogiri.”
57
Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan.
58
Sedangkan dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai
pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan
sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang melawan Belanda.
59
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja,
Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui.
Sayid Ali Akbar meninggalkan 6 (enam) putra yang menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman.
Mereka adalah: Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan), Sayid Ibrahim (makamnya di Kota
Pasuruan), Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya), Sayid Iskandar (makamnya di
Bungkul Surabaya), Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan Sayid Ali Ashghar (makamnya di
Sidoresmo). (belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid
Abdullah adalah putra Sayyid Sulaiman, bukan cucu Sayyid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayyid Sulaiman yang memangku pesantren seperti
Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri. Sedangkan keturunan
Mbah Sayyid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo.
Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayyid
Sulaiman. Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon,
Surabaya.
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Dinillah Arifah, Singgasana Raja Yang Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan, ed. Mokh. Syaiful
Bakhri (Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2007).

15
bisa masuk kendi karena kekuatan supranaturalnya63. Tidak jauh dari tempat semedinya,
terdapat Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja yang sakti mandraguna.
Dari studi lapangan dan literatur sampai saat ini belum diketahui kepastian tahun
keberadaan Mbah Sholeh Semendi. Namun dapat dikuatkan dengan masa kekuasaan
Untung Surapati yang mempunyai penasehat dari salah satu muridnya, tepatnya ketika
Sayyid Sulaiman tinggal di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning Kejayan
Pasuruan sehingga terkenal dengan sebutan Pangeran Kanigoro. Di sini, Sayyid
Sulaiman mendirikan masjid unik yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. 64. Penulis
memperkirakan Mbah Sholeh Semendi lahir di awal abad ke-16 Masehi, beberapa puluh
tahun kemudian, tepatnya ketika Pasuruan dipimpin oleh Untung Surapati atas perintah
Raja Mataram yaitu Raja Amangkurat II, Ia mempunyai penasehat yang bernama Sayyid
Sulaiman atas kemampuan supranaturalnya yang luar biasa. Sayyid Sulaiman adalah
keponakan, murid sekaligus menantu dari Mbah Sholeh Semendi. Hal ini yang
mendasari asumsi tentang kepastian tahun kehidupan Mbah Sholeh Semendi.

D. Pertemuan Labuh Geni dengan Mbah Sholeh Semendi


Kiai Sholeh ketika berada di Winongan suka bersemedi, dan tidak berhenti
bersemedi sebelum mendapatkan wangsit atau arahan dari yang maha kuasa. Setelah
mendapatkan petunjuk, Kiai Sholeh menghentikan semedinya. Di sini, Mbah Sholeh
Semendi bertemu dengan seorang penguasa Winongan bernama Labuh Geni65. Tradisi
zaman dulu, untuk menaklukkan lawan harus melalui perang atau adu kesaktian.
Kemudian terjadi dialektika di antara mereka berdua dan bermuara pada konfrontasi
dengan beradu kesaktian. Muncullah sebuah perjanjian yang berisi bahwa yang kalah
harus mengikuti yang menang. Akhirnya, Labuh geni mengeluarkan udeng, udeng adalah
simbol seseorang yang punya nilai tinggi pada masa itu. udeng itu terbang tinggi, namun,
Mbah Sholeh hanya bisa mengeluarkan teklek sebagai tandingannya. udeng yang terbang
tinggi itu disalip oleh teklek hingga berada di atas udeng. Teklek itu akhirnya menuntun
udeng dari ketinggian sampai ke tanah. Kemudian Labuh geni merubah sekeliling
padepokan menjadi api, sedangkan Mbah sholeh mengeluarkan hujan hingga bisa
mematikan api hingga padam. Dalam diri Labuh Geni pun terbersit “Lha Sing dek sekel
iso ngalahno seng dek dasku dahno putih sing dek dase”. Yang berarti, yang di kaki saja
bisa mengalahkan yang ada di kepalaku (udeng) apalagi surban putih yang ada di
kepalanya66.
Akhirnya, Labuh Geni menyatakan kalah dalam adu kesaktian dan konsekuensinya
harus menepati janji yakni mengikuti ajaran yang menang dan menjadi muridnya. Sejak
itulah Labuh Geni mengucapkan kalimah syahadat dan menjadi muallaf. Labuh geni
mempunyai banyak pengikut, dia tidak memaksa para pengikutnya untuk mengikuti
ajaran barunya dengan memberikan pilihan. Barang siapa yang masih mengikutinya
maka harus menjadi muallaf serta mengikuti ajaran Mbah Sholeh Semendi sebagai ajaran
barunya dan barang siapa yang tidak mau mengikutinya maka harus pergi dari
padepokan. Sejak saat itu, popularitas dan ketenaran Mbah Sholeh Semendi memuncak
setelah laga adu kesaktian tersebut67 dan sebagian kecil muridnya yang tidak mengikuti
Labuh Geni pergi meninggalkan padepokan menuju daerah Bromo68.

63
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
64
http://sidogiri.net, “Profil.”
65
Arifah, Singgasana Raja Yang Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan.
66
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
67
Bakhri, Permata Teladan.
68
Interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah Sholeh Semendi

16
E. Pendekatan Dakwah Mbah Sholeh Semendi
Setelah menang dalam laga adu kesaktian, Labuh Geni menjadikan Sholeh (Mbah
Sholeh) sebagai menantu dan menetap di Winongan. Selanjutnya, ia harus menghadapi
mitos, sosial, dan budaya masyarakat sekitar, diantaranya adalah budaya hobi sabung
ayam dan budaya lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Secara sosial sudah barang
tentu masyarakat Winongan masih mengikuti ajaran Hindu karena setelah masuknya
Labuh Geni dan pengikutnya pada ajaran Islam, masyarakat Winongan tidak seluruhnya
mengikuti ajaran Islam. Hal ini yang menjadi tantangan Mbah Sholeh Semendi
selanjutnya, bahkan budayanyapun masih mengikuti ajaran Hindu. Bukti keberadaan
sosial budaya Hindu Winongan salah satunya dari nama Lauh Geni, nama Labuh Geni
identik dengan nama Jawa Hindu, nama yang dipengaruhi oleh sejarah Hindu masa lalu.
Sedangkan bukti lain dari keberadaan sosial budaya Hindu adalah Patung-patung yang
terletak di sebelah Banyu biru (masih satu kecamatan Winongan) yang terdiri dari 11
buah patung antara lain: 2 volkaring dari Pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan dengan
bahasa Belanda bertahun 1921, 1 Prasasti bahasa dan huruf Jawa tahun 1847, 1 Patung
Betara Siwa dengan membawa senjata trisula, 1 Patung Ganesha, 1 Patung dua ekor naga
berbelit dan lain-lainnya yang perlu dikaji lebih dalam69. Diantaranya mitos tentang
hubungan manusia dengan alam ghaib terutama dewata, awalnya berfungsi sebagai dasar
ritual-ritual dalam keluarga dan masyarakat untuk memohon keselamatan. monotheisme
yang menempatkan para dewata dalam korpus yang berada di bawah kekuasaan Allah.
Setelah proses panjang, monotheisme ini secara perlahan mengubah wajah holisme Jawa
dengan berubahnya norma-norma yang bersumber dari hirarki nilai sosio-kosmik
digantikan oleh norma-norma yang berasal dari sumber Islam. Krendawahana dipercaya
sebagai hutan angker yang dikuasai oleh Batari Durgi, karena angkernya tidak seorang
pun yang berani masuk, kalaupun ada yang masuk, dia akan menghadapi dua
kemungkinan: mati atau hilang70.
Mbah Sholeh Semendi berdakwah dengan cara mengikuti tradisi, dan integrasi
dengan masyarakat tanpa tebang pilih. Ia bergaul bersama masyarakat tidak dengan
marah-marah ketika tidak sependapat dengannya. Tapi dengan cara pendekatan yang
humanis, perkataan yang halus dan cara-cara yang menyentuh hati. Sebagai contoh
ketika masyarakat ada yang bertamu pada Mbah Semendi, ia berkata “tunggu sebentar
saya mau shalat”. Lambat laun masyarakat ada yang minta diajari shalat, ada yang minta
sarung untuk beribadah, dan merembet pada masyarakat yang lain hingga banyak yang
mengikuti ajaran Islam.
Pendekatan dakwah Mbah Sholeh Semendi dengan cara mengikuti tradisi yang
disukai oleh masyarakat, di antaranya adalah suka sabung ayam. Dengan kemampuan
supranaturalnya, Mbah Sholeh mengubah bongkotan bambu menjadi ayam. Kemudian,
Mbah Sholeh mengikutkan ayamnya itu dalam kompetisi sabung ayam. Dalam setiap
pertandingan, Ayam Mbah Semendi selalu menang dan tak pernah kalah. Maka
masyarakat heran dengan kemenangan yang selalu diraih oleh Mbah Sholeh Semendi.
Dari sini, Masyarakat mulai berguru kepada Mbah Sholeh agar ayamnya selalu menang
seperti ayamnya. Mbah Semendi pun mulai menjalankan salah satu strategi dakwahnya.
Untuk menjadikan ayam yang selalu menang sesuai yang mereka kehendaki, Mbah
Sholeh Semendi mengajukan syarat-syarat. Syarat pertama adalah harus membaca
syahadat, dan merekapun membaca syahadat. Tetapi mereka heran kenapa ayamnya
kalah lagi dengan ayam Mbah Sholeh setelah diawali dengan syahadat. Kemudian
diajukanlah syarat kedua yaitu dengan wudlu, namun ayam mereka tetap kalah meskipun

69
www.pasuruan.go.id, “Legenda Banyu Biru.”
70
AG, “Book Review Islam Jawa: Antara Holisme Dan Individualisme.”

17
telah menjalankan syarat berupa wudlu. Dan seterusnya Sampai selesai kitab sulam
safinah71. Mbah Sholeh Semendi kemudian membuka pesantren untuk menyebarkan
ajaran Islam. Ia mempunyai dua murid sekaligus keponakannya yakni Sayyid
Abdurrahim dan Sayyid Sulaiman yang menjadi terkenal setelah hidup terpisah dari
Mbah Sholeh. Suatu ketika, kekuatan supranatural Mbah Sholeh muncul saat mandi di
sungai. Ia tidak nampak diri/menghilang dari murid-muridnya ketika Mbah Sholeh
Semendi mandi di sungai, kemudian muncul lagi dan terulang sampai dua kali72.

F. Keturunan Mbah Sholeh Semendi


Dari hasil pernikahannya dengan putri Labuh Geni, Mbah Sholeh mempunyai
beberapa putri. Dua putrinya dinikahkan dengan kedua muridnya, yakni putri pertama
dinikahkan dengan Sayyid Abdurrahim, sedangkan putri kedua dinikahkan dengan
Sayyid Sulaiman. Putri pertama yang menikah dengan Mbah Abdurrahim tinggal di
Segoropuro sampai wafat, Mbah Abdurrahim masyhur dengan panggilan Mbah Arif
Segoropuro terletak di kecamatan Rejoso Pasuruan. Sedangkan Sayyid Sulaiman
meninggalkan jejak sejarah di tempat yang letaknya tak jauh dari Sidogiri yaitu di
Kanigoro, Kejayan, Pasuruan73. Hasil pernikahan dengan putri Mbah Sholeh Semendi
(istri kedua), di Gambir Kuning, Sayyid Sulaiman mempunyai cicit bernama Syekh
Rafi’i, dari cucunya Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman. Sayyid Sulaiman juga
menurunkan Sayyid Ahmad (Lebak, Pasuruan). Dari istri ketiganya di Malang, ia
mempunyai satu putra yakni Sayyid Hazam74. Menurut satu riwayat, Kyai Aminullah
menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid
Sulaiman75.
Mbah Slagah (Hasan Sanusi) bin Sa’ad Bin Sakaruddin Bin Sholeh Semendi. Mbah
Slaga ini juga adalah teman akrab dan besan dari sayyid ali akbar bin sulaiman bin
abdurrahman. putri beliau yg bernama sayyidah muthi'ah dinikahkan dengan putra sayyid
paling kecil sayyid ali akbar yg bernama sayyid ali ashghor (pernikahan itu terjadi ketika
sayyid ali akbar sudah tidak ada karena dibawa belanda) 76.

G. Jejak Sejarah Mbah Sholeh Semendi


Jejak Peninggalan Mbah Sholeh Semendi dapat dibuktikan dengan keberadaan
Peristirahatan/Padepokan, Musholla, makam dan petilasan. Padepokan dijadikan sarana
oleh Mbah Semendi untuk menyebarkan ajaran Islam, Musholla sebagai sarana untuk
beribadah, Makam Labuh Geni, Makam Mbah Sholeh Semendi, dan beberapa makam di
sekitarnya, serta petilasan. Petilasan adalah tempat berdiam mungkin juga majlis (tempat
duduk), petilasan ini di antaranya berada di banyuwangi, lumajang, jember, di Kramat
Kraton Pasuruan, bahkan di kramat ada masjid bernama semendi yang terdapat batu
besar berbentuk menyerupai pantat, masyarakat meyakini itu adalah tempat duduk Mbah
Sholeh Semendi. Semua Jejak peninggalan Mbah Sholeh Semendi tersebut masih ada
hingga saat ini77.
Adanya Peristirahatan seperti bentuk Padepokan, barangkali dapat diartikan sebagai
tempat belajar masa itu ditambah dengan tempat ibadah berupa musholla beserta

71
Interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah Sholeh Semendi.
72
http://sidogiri.net, “Profil.”
73
Bakhri, Permata Teladan.
74
http://warkopmbahlalar.com, “Sang Pembabat Kawasan Timur Pulau Jawa,” accessed January 1, 2015,
2849/sang-pembabat-kawasan-timur-pulau-jawa/.
75
http://suarajihadislam.blogspot.co.id/2014/04/biografi-sayyid-sulaiman-betek.html
76
http://ndresmo.blogspot.com
77
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan

18
halaman yang dirasa cukup untuk menampung lumayan luas. Beberapa fasilitas yang ada
itu, seakan memberi isyarat bahwa tempat tersebut pernah ditempati orang yang
berjumlah banyak. Hal ini dikuatkan dengan ukuran musholla yang dapat menampung
banyak orang, padepokan yang dapat menampung banyak orang serta halamannya yang
agak luas. Penegasan pendapat ini dapat dilihat sejarah sepeninggalnya, dimana
keturunannya mempunyai peran dalam membangun peradaban. Di antaranya Mbah
Slagah yang turut berjuang melawan Belanda sekaligus salah satu pelopor pembangunan
masjid al Anwar Pasuruan Kota, bahkan ia terkenal dengan nama Slagah karena
kesaktiannya dapat berubah seperti singa putih ketika melawan Belanda78.
Makamnya dibangun menyerupai kontruksi pendopo yang dikelilingi makam-
makam di sekitarnya, dan yang paling mempunyai nilai sejarah masa dulu yaitu makam
Labuh Geni yang berada di sebelah utaranya. Makam-makam yang berada di sekitar
makam Mbah Sholeh Semendi nampak jumlahnya banyak, beberapa makam di
sebelahnya, di batu nisannya tertulis habib dan hababah yang mempunyai garis
keturunan dengan Mbah Sholeh Semendi. Pohon-pohon besar di sekitar makam, karena
besarnya pohon ini dapat diperkirakan berusia ratusan tahun79.
Untuk mengenang Mbah Sholeh Semendi, diadakan haul pada tiap hari kamis
terakhir bulan Sya’ban yang dilaksanakan setelah Haul Mbah Segoropuro, peringatan
haul ini dikhususkan bagi laki-laki dengan membaca tahlil dan berdoa. Haul ini diadakan
pertama kali sekitar tahun 1970an atas desakan para ulama terkemuka Pasuruan, dan para
ulama Pasuruan ini juga hadir pada acara tersebut diantaranya adalah Mbah Abdul
Hamid, Habib Umar, KH Nur Jasim, K. Abu Amar, Habib Jakfar bin Syaikhon. Haul ini
diadakan di makam Mbah Sholeh Semendi, kemudian yang kedua di rumah Habib Abdul
Qodir, kediaman ayah Habib Abdullah80.
Berziarah ke makam Mbah Sholeh Semendi pun menjadi wisata spiritual bagi
masyarakat, selama tahun 2014 pengunjungya sebanyak 320.084 orang. Menjadi obyek
wisata paling banyak dikunjungi oleh masyarakat di Kabupaten Pasuruan setelah Taman
Safari Indonesia disusul Segoropuro dan Kebun raya Purwodadi81. Para peziarah datang
dari daerah Pasuruan dan banyak dari luar daerah Pasuruan, mereka biasanya membaca
surat yasin, tahlil dan diakhiri dengan do’a. Berziarah dengan membawa bunga
merupakan tradisi, sedangkan peziarah wanita dilarang mendekati makam, apalagi
peziarah wanita yang sedang berhalangan dilarang memasuki area makam, tempat
peziarah pria dan wanita pun dipisah. Malam jum’at legi menjadi suatu pilihan orang
tertentu untuk berziarah karena adanya aura mistis pada malam itu. Ciri khas makamnya
menggunakan warna putih dan hijau pada bangunannya, dan dikelilingi pepohonan yang
tidak boleh ditebang untuk menjaga keindahan alam. Hal-hal ini yang menguatkan mitos
pada masyarakat akan adanya keberkahan dan kedamaian jika berziarah di makam Mbah
Semendi82. Banyaknya peziarah yang datang ke makam Mbah Sholeh Semendi, bahkan
terbanyak setelah tempat wisata nasional di Pasuruan, merupakan bentuk antusiasme
masyarakat terhadap kharismatiknya, ini jadi salah satu bukti pengaruhnya yang kuat di
Pasuruan dan sekitarnya.
Masuknya Mbah Sholeh Semendi di Winongan yang masih menganut ajaran Hindu,
menjadi bukti bahwa Pasuruan yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Demak yang

78
Bakhri, Permata Teladan.
79
Hasil observasi pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
80
Interview dengan ABA pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
81
BPS Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015 (Pasuruan: http://pasuruankab.bps.go.id,
2015).
82
Hasil Observasi dan Interview dengan masyarakat pada tanggal 11 Januari 2016 di area pemakaman Mbah
Sholeh Semendi Winongan

19
dipimpin oleh Sultan Trenggono, belum secara keseluruhan penduduknya menganut
ajaran Islam. Bisa jadi secara administratif mengakui kekuasaan Kerajaan Demak,
namun dalam hal agama, penduduk Pasuruan masih ada yang memeluk agama Hindu
masa itu. Walaupun Pasuruan menjadi mitra Kerajaan Demak untuk penyebaran ajaran
Islam hingga dapat menaklukkan Kerajaan Kediri dan Blambangan. Konteks ini
barangkali sama yang terjadi di masa Sunan Gunung Jati, dimana sebelum Sunan
Gunung Jati mendirikan Kesultanan Cirebon, Islamisasi yang dilakukan sebelumnya
yaitu oleh Haji Purwa, Syekh Datuk Kahfi, dan pangeran Cakra Buana/Walangsungsang
hanya di dalam Cirebon karena pengaruh Hindu masih kuat di luar Cirebon83. Hal ini
bisa saja terjadi di Pasuruan, di mana Pasuruan menjadi daerah di bawah kekuasaan
Kerajaan Mataram yang menganut ajaran Islam, Namun, Winongan yang masih di
bawah kekuasaan Adipati Pasuruan mayoritas masih memegang ajaran Hindu di bawah
kekuasaan Labuh Geni. Setelah Mbah Sholeh Semendi datang, Winongan perlahan-lahan
mengikuti ajaran Islam yang dibawanya.

83
Titan Rohkmutiana Hardhi, “Dakwah Sunan Gunung Jati Dalam Proses Islamisasi Di Kesultanan Cirebon
Tahun 1479-1568,” 2014.

20
BAB V

“Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Islam pada masa-masa


keemasannya adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam
aqidah. Fakta ini diperkuat oleh banyak pernyataan kesaksian orang-orang di luar islam
sendiri (Dr. Yusuf Qardhawi).

Dakwah Islam Mbah Sholeh Semendi Perspektif al Qur’an dan al Hadits

A. Menguak Sejarah Dakwah Mbah Sholeh Semendi


Kondisi Kehidupan keagamaan kaum muslimin pada saat ini tidak dapat dipisahkan
dari proses dakwah atau penyebaran Islam di Indonesia sejak beberapa abad sebelumnya.
Ketika Islam masuk di Indonesia, kebudayaan nusantara telah dipengaruhi oleh agama
Hindu dan Budha, selain masih kuatnya berbagai kepercayaan tradisional, seperti
animisme, dinamisme, dan sebagainya (Lubis, 1993). Kebudayaan Islam akhirnya
menjadi tradisi kecil di tengah tengah Hinduisme dan Budhisme yang juga menjadi
tradisi kecil. Tradisi-tradisi kecil inilah yang kemudian saling mempengaruhi dan
mempertahankan eksistensinya. Benturan dan resistensi dengan kebudyaan-kebudayaan
setempat memaksa Islam untuk mendapatkan simbol yang selarah dengan kemampuan
penangkapan kultural dari masyarakat setempat. Kemampuan Islam untuk beradaptasi
dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk lapisan masyarakat paling bawah.
Sehingga muncul istilah local genius yakni kemampuan menyerap sambil mengadakan
seleksi dan pengolahan aktif terhadap budaya asing, kemudian muncul ciptaan unik yang
tidak ditemukan di wilayah asal84.
Tanpa bermaksud membeda-bedakan maupun mempersamakan Mbah Sholeh
Semendi dengan Walisongo, namun ini adalah sebuah analisis dari kajian historis untuk
menguak dakwah Islam yang dilakukan oleh mereka. Secara historis, Mbah Sholeh
Semendi dan Walisongo mempunyai dimensi yang berbeda, baik dimensi waktu maupun
dimensi tempatnya. Masa Walisongo lebih dulu terjadi, Sedangkan Mbah Sholeh
Semendi adalah penerus perjuangan Walisongo, mempunyai rentang waktu yang cukup
jauh dari zaman Walisongo angkatan I. Sebelum menjelma menjadi Walisongo, mereka
adalah para pedagang yang datang dari semenanjung Arab. Setelah mereka menetap di
tanah Jawa, kemudian menjelma menjadi Walisongo. Ketika itu, Kerajaan Majapahit
berdiri dengan masa kejayaannya, sehingga para pedagang dari semenanjung Arab
menghadapi Kerajaan Hindu dan masyarakat Jawa yang masih kuat dengan agama Hindu
berikut tradisinya. Para pedagang ini kemudian menjelma menjadi Walisongo, ini
menunjukkan perkembangan dakwah Islam para pedagang dari semenanjung Arab yang
luar biasa. Mereka makin kuat dan terorganisir, dengan menyatunya mereka dalam
wadah Walisongo semakin membuka jalan untuk menyebarkan dakwah Islamnya.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, jalan menyebarkan ajaran Islam semakin
menemukan titik terang. Ketika itu banyak dari masyarakat Jawa yang beragama Hindu
memeluk agama Islam sebagai agama barunya. Islam menemukan masa kejayaannya,
ketika salah satu keturunan Majapahit yaitu pangeran Brawijaya V memeluk agama
Islam. Pangeran Brawijaya bersama dengan Walisongo mendirikan Kerajaan Islam
pertama di Jawa dengan nama Kerajaan Demak. Secara institusional sosial politik, Islam
menemukan masanya, sehingga mampu menghentikan suatu periode panjang kekuasaan
Majapahit yang hidup dalam sistem kasta. Kerajaan Demak dengan peran Walisongo
sebagai ujung tombak, mampu menguasai Jawa dan mengislamkan penduduknya.

84
Zuhdi, “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya.”

21
Pergantian kekuasaan dari Kerajaan Demak yang berpusat di pesisir menuju Kerajaan
Pajang di pedalaman memberikan varian Islam pesisir dan Islam pedalaman. Namun itu
hanya pengaruh dari variabel politik yang terjadi setelah terjadinya persaingan antara
Sultan Hadiwijaya dengan Arya Panangsang. Menurut Nur Syam, hal itu tidak
sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia -khususnya Jawa- berbagai varian
Islam itu adalah realitas sosial yang unik. Sehingga ketika berbicara Islam pesisir, tetap
ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa
Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami
humanisasi sesuai dengan kemampuan penafsirannya tentang Islam. Demikian pula
Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa
ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian
sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam. Pendapat tentang Islam pesisir dan
Islam pedalaman ini sudah muncul sebelum munculnya pendapat Clifford Geertz dengan
konsep trikhotominya.
Sedangkan Mbah Sholeh Semendi hidup pada masa Kerajaan Mataram, ketika
Kerajaan Demak sudah digantikan Kerajaan Pajang kemudian baru Mataram. Masa ini
sudah muncul istilah Islam pesisiran dan Islam pedalaman. Tentu, hal ini secara tidak
langsung berpengaruh terhadap daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya, bauk
Mataram maupun Pajang. dimensi waktu dan tempat berbeda dengan masa Walisongo.
Persamaannya, Mbah Sholeh Semendi menghadapi masyarakat Hindu seperti para
pedagang dari semenanjung Arab sebelum menjelma menjadi Walisongo. Kondisi
sosialnya pun sama yakni kondisi masyarakat berdasarkan kasta. Walisongo menghadapi
kekuasaan Kerajaan Majapahit, Mbah Sholeh Semendi menghadapi penguasa daerah
Winongan masa itu yakni Labuh Geni.
Namun, dimensi tempatnya berbeda, Walisongo berdakwah di titik tengah pulau
Jawa, sedangkan Mbah Sholeh Semendi bergeser ke bagian timur pulau Jawa tepatnya di
Pasuruan dengan lingkup awal daerah Winongan. Setelah itu, Pasuruan dan beberapa
daerah di sekitarnya terutama di ujung timur pulau Jawa seperti Probolinggo, Lumajang,
Jember, dan Banyuwangi. Hal ini diperkuat dengan keberadaan petilasan yang berada di
beberapa daerah tersebut yang masih ada hingga sekarang. Yang sangat terlihat
perbedaannya adalah lingkup dakwah yang dihadapi, Walisongo menghadapi Kekuasaan
Kerajaan Majapahit yang kuat dan luas sedangkan Mbah Sholeh Semendi mengahadapi
penguasa daerah Winongan dan Adipati Pasuruan di tingkat atasnya. Walisongo juga
gabungan dari beberapa orang yang terorganisir, sedangkan Mbah Sholeh Semendi
menghadapi masyarakat Winongan dan Pasuruan seorang diri pada awalnya, namun
secara tidak langsung mempunyai ikatan secara Islam dengan Kerajaan Mataram.
Walaupun dimensi tempat dan waktu berbeda, baik Walisongo dan Mbah Sholeh
Semendi mempunyai persamaan dalam melaksanakan dakwah Islam. Mbah Sholeh
Semendi sebagai keturunan sekaligus penerus perjuangan dakwah Islam Walisongo,
tentu mempunyai metode yang sama walaupun tidak harus tepat sama dengan metode
yang diimplementasikan oleh Walisongo. Metode dakwah Islam yang dipakai oleh
mereka, baik Mbah Sholeh Semendi maupun Walisongo mengambil dari ajaran dakwah
Islam yang bersumber dari al Qur’an.
Budaya bersifat spesifik manusiawi, merupakan manifestasi dan perwujudan dari
segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memudahkan dan memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebudayaan terdiri dari nilai dan simbol. Nilai-nilai budaya itu tidak kasat
mata, namun simbol budaya yang kasat mata seperti masjid, pasar, sekolah, rumah
adalah perwujudan dari nilai-nilai budaya. Perwujudan aktivitas manusia merupakan
nilai-nilai budaya, walau terkadang bukan merupakan simbol budaya.

22
B. Implementasi Dakwah Islam Mbah Semendi
Ada beberapa versi85 dari cerita tentang pertemuan Mbah Sholeh Semendi dengan
Labuh Geni, namun semuanya menceritakan hal yang sama yaitu tentang konflik atau
konfrontasi di antara mereka berdua. Konflik yang mengantarkannya untuk beradu
kesaktian, mereka berdua sama-sama mempunyai kekuatan supranatural. Cerita-cerita
tentang kekuatan supranatural ini yang pada akhirnya menjadi mitos bagi masyarakat
Winongan dan sekitarnya.
Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh Mbah Sholeh Semendi, diantaranya: dapat
merubah bongkotan bambu menjadi ayam, terpentalnya patung-patung ketika Mbah
Sholeh lewat untuk membuat masjid di Keboncandi Gondangwetan86, kekuatan
supranatural dengan tidak nampak diri/menghilang dari murid-muridnya ketika Mbah
Sholeh Semendi mengajak muridnya mandi di sungai87, kekuatan supranatural yang bisa
menjadikannya masuk kendi, serta kekuatan supranatural ketika berhadapan dengan Raja
Hindu dan Biksu dari Tengger, merupakan mitos bagi masyarakat Jawa. Budaya Jawa
sangat lekat dengan kepercayaan mitologisasi, sakralisasi, dan mistifikasi. Dalam cerita-
cerita Walisongo dan Tokoh lainnya dalam penyebaran Islam misalnya, selalu ada cerita
tentang kekuatan supranatural. Sunan Bonang dapat mengubah buah kelapa menjadi koin
emas, Maulana Iskhak dapat menyembuhkan putri Blambangan dengan kekuatan ghaib,
Sultan Agung dapat berjamaah di Mekkah, dan sebagainya. Dalam dunia mitologi, sosok
manusia bisa menjadi manusia lebih, sebongkah benda juga bisa menjadi sebongkah
benda lebih. Manusia atau benda yang dimitoskan itu kemudian hidup dalam sejarah-
sejarah lisan melalui proses pelembagaan, habitualisasi dan legitimasi. Biasanya melalui
proses yang diciptakan oleh kaum elit, terutama dalam proses kekuasan88.
Karena kekuatan supranaturalnya, Mbah Sholeh Semendi mampu merubah
paradigma masyarakat. Paradigma yang menyanjung seseorang karena mempunyai
sesuatu yang lebih dari yang lain. Dengan paradigma ini, Mbah Sholeh semendi mampu
mempengaruhi dan merubah masyarakat sekitar. Mampu membuka jalan untuk
menyebarkan ajaran Islam dan mengislamkan sebagian besar pengikut Labuh Geni
setelah adu laga kesaktian, mengislamkan masyarakat Winongan dan Pasuruan pada
umumnya.
Di Winongan Pasuruan ini, Mbah Sholeh Semendi membawa misi dakwah sesuai
perintah Allah yang termaktub dalam al Qur’an surat Al Muddatsir ayat 1-10 berbunyi:

   


    
  
   
   
    
  
    
   

85
Versi wawancara dengan ABA dan Abdul Mujib sama, yang berbeda dari buku singgasana yang bergoyang
dan wawancara dengan Abdul Qohar masyarakat Winongan
86
Hasil Wawancara
87
http://sidogiri.net, “Profil.”
88
Agus Zaenal Fitri, “Pola Interaksi Harmonis Antara Mitos, Sakral, Dan Kearifan Lokal Masyarakat Pasuruan,”
el Harakah 14 (2012).

23
Artinya: 1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. Bangunlah, lalu berilah
peringatan!, 3. Dan Tuhanmu agungkanlah!, 4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5.
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. Dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, 7. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah, 8. Apabila ditiup sangkakala, 9. Maka waktu
itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, 10. Bagi orang-orang kafir lagi
tidak mudah.

Memperkuat masya'ir itu dan meluruskannya serta menyebarkannya dengan segala


sarana penerangan dan pendidikan, seperti masjid, sekolah, buku, surat kabar, radio,
televisi' dan theater dan seluruh sarana yang dapat merealisasikan tujuan. Mewujudkan
perasaan yang Islami dalam realita yang bisa dirasakan dan kondisi-kondisistrategis89.

Dakwah pada Labuh Geni dan Pengikutnya


Dakwah Islam yang dilakukan Mbah Sholeh Semendi pada Labuh Geni adalah
dengan adu kesaktian sebagai tradisi masa itu. Ia meneladani dakwah Islam yang
dilakukan oleh Walisongo yaitu dakwah yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi.
Dakwah Islam yang dilakukan pada Labuh Geni ini, berbeda dengan dakwah yang
dilakukan pada masyarakat Winongan masa itu. Kalau dakwah Islam pada Labuh Geni
dengan cara adu kesaktian, maka dakwah Islam yang dilakukan pada masyarakat
Winongan adalah dengan cara yang humanis, menyentuh hati, halus, dan mudah
diterima.
Dakwah Islam yang dilakukan pada para pengikut Labuh Geni adalah dakwah Islam
tanpa paksaan yaitu dengan memberikan pilihan, antara mengikuti Labuh Geni dengan
ajaran baru yang dibawa Mbah Sholeh Semendi atau tidak mengikutinya. Dari konteks
ini, Mbah Sholeh Semendi mengamalkan al Qur’an, surat al Baqarah ayat 256 yang
berbunyi:
     
    
  
  
 
    
   

Artinya: “ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah
jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah
berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan
putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (2:256).

Sebab turunnya surat al Baqarah ayat 256 dari kisah seorang wanita yang bernazar
ingin menjadikan anaknya Yahudi. Sedangkan dari riwayat lain menjelaskan bahwa ada
seorang lelaki Anshar yang memiliki dua anak menganut Nasrani sedangkan dia sendiri

89
Yusuf Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam Dalam Al Qur’an Dan Sunnah, I. (Solo: http://media.net.org,
1997), islam/Qardhawi/Masyarakat/index.html.

24
seorang muslim, maka turunlah ayat tersebut90. Senada dengan pendapat Ibnu Katsir,
dalam tafsir Hidayatul insan dijelaskan bahwa “Tidak ada paksaan dalam (menganut)
agama (Islam)” ayat ini tentang seorang wanita yang miqlaat (yakni wanita yang nampak
tidak mungkin bisa hidup lagi seorang anak), ia pun bernadzar jika masih bisa hidup
seorang anak di sisinya, maka ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir,
dan di sana terdapat anak-anak orang Anshar. Mereka berkata, "Kami tidak akan
membiarkan anak-anak kami", maka turunlah ayat tersebut. Sedangkan Ayat
“sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat” Yakni
telah jelas berdasarkan ayat-ayat yang begitu jelas bahwa iman adalah petunjuk dan
kekafiran adalah kesesatan. Ayat ini turun berkenaan tentang sebagian orang Anshar
yang memiliki anak, di mana dia hendak memaksa mereka masuk Islam91. Menurut
Syaikh As Sa'diy: Allah memberitahukan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut
agama. Adapun agama Islam telah jelas tanda-tanda (kebenarannya) oleh akal. Oleh
karena itu, orang yang memperoleh taufiq akan memilihnya. Sedangkan orang yang
buruk niatnya, maka ketika melihat yang hak, dia lebih memilih yang batil, saat ia
melihat yang bagus, maka ia lebih memilih yang jelek. Allah tidak butuh memaksanya
menganut agama ini karena orang yang dipaksa imannya tidaklah sah. Ayat ini tidaklah
menunjukkan agar kita tidak memerangi orang-orang kafir harbiy (yang memerangi
Islam). Hakikat agama ini sesungguhnya menghendaki untuk diterima oleh setiap orang
yang adil, yang tujuannya mencari yang hak92".
Karena Al-Qur’an memberikan petunjuk bahwa siapapun yang melakukan amal
sholeh maka akan mendapatkan pahala dari sisi Tuhannya, tidak melihat agama apa yang
ia yakini. Hal ini ditegaskan dalam al Qur’an surat al Baqarah ayat 62 yang berbunyi:

  


 
 
   
   
   
   
 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Alloh, hari kemudian dan beramal sholeh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”93.

Sebab turunnya Ayat 62 dari Surat al Baqarah tersebut turun pada rekan-rekan
Salman al Farisi (sebelum di masuk Islam). Salman mengatakan kepada Rasululloh
tentang sembahyang dan ibadah rekan-rekannya. Kemudian Rasululloh bersabda:
“mereka di dalam neraka. Salman merasa bumi gelap”. Lalu turunlah ayat tesebut

90
Jalaluddin Abi Abdurrahman as Suyuthi, Asbabun Nuzul: Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, Penerbit: al
Kutub ats Tsaqofiyah, Beirut: 2002.
91
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan Jilid I, h. 133
92
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan Jilid I, h. 133
93
Al Qur’an digital 2.1 (http://www.alqur’an-digital.com)

25
sehingga Salman pun merasa lega94. Sedangkan yang dimaksud “orang-orang yang
beriman” ialah kaum muslimin. “al-ladzina haduu” ialah orang orang yahudi. Nashara
adalah pengikut Nabi Isa a.s. Shabiin adalah golongan musyrikin Arab sebelum diutus
Nabi Muhammad saw. Ayat ini menetapkan bahwa siapa saja yang beriman kepada
Alloh dan hari akhir serta beramal sholeh, mereka aka mendapatkan pahala dari sisi
Tuhannya. Yang ditekankan di sini adalah hakikat ibadah, bukan fanatisme golongan
atau bangsa95. Apa yang dilakukan Mbah Sholeh Semendi kepada para pengikut Mbah
labuh Geni merupakan aplikasi dari kedalaman ilmu agamanya, karena dalam agama
Islam memang tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. Namun, Mbah Sholeh
Semendi melakukan dakwah Islam dengan pendekatan dakwah Islam.

Dakwah pada Masyarakat Winongan


Dakwah Islam yang dilakukan oleh Mbah Sholeh pada masyarakat adalah dengan
cara mendekati apa yang disukai masyarakat waktu itu yaitu ketika mengislamkan para
pengadu ayam. Berkaitan dengan dakwah pada masyarakat ini sesuai yang disebutkan
dalam al Qur’an surat Yusuf ayat 108 yang berbunyi:

   


     
   
   
 
Artinya: “Katakanlah (Muhamad), Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik” (12:108).

Allah berfirman kepada RasulNya yang diutus kepada manusia dan jin,
memerintahkan kepadanya agar memberitahu kepada manusia bahwa inilah jalannya,
maksudnya adalah cara, jalan dan sunnahNya, yaitu dakwah kepada syahadah bahwa
tidak ada ilah yang haq selain Alloh yang Mahaesa tidak ada sekutu baginya, dengan
jalan itu dia mengajak kepada Allah berdasarkan bukti, dalil, an keyakinan96. Ayat lain
yang berkaitan dengan dakwah yaitu Surat asy Syura ayat 13-19. Ayat dakwah yang
mengajak kepada menyembah pada Alloh yakni Az Zuhruf Ayat 57-67, Surat Fushilat 2-
8, sedangkan surat tentang dasar-dasar dakwah dan sikap terhadap lawan adalah surat an
Nahl ayat 125, Surat tentang teguran kepada Nabi agar jangan mementingkan orang-
orang terkemuka saja dalam berdakwah adalah surat al Kahfi ayat 27-31, Surat Nuh ayat
5-24, dan perintah berdakwah dalam surat Al Muddatsir ayat 1-10.
Dakwah Islam yang dilakukan oleh Mbah Sholeh Semendi, merupakan bukti
perannya dalam membangun dan menata pendidikan sosial, bahkan sistem negara dalam
masyarakat yang berbudaya. Sebagaimana pendapat Sayyid Qutb ketika menafsiri Surat
al Mumtahanah ayat 8 yang berbunyi:

    


   
94
Jalaluddin Abi Abdurrahman as Suyuthi, Asbabun Nuzul: Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, al Kutub ats
Tsaqofiyah, Beirut: 2002.
95
Tahsir Fi Zhilalil Qur’an I h. 91
96
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 13 h.466

26
  
  
   
   
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” (60: 8).

Menurut Sayyid Qutb, surat ini berkaitan dengan pendidikan iman, penataan sosial
kemasyarakatan, dan sistem negara dalam masyarakat berbudaya dan modern.
Pendidikan iman yang membebaskan dari fanatisme bangsa, fanatisme jenis, fanatisme
tanah air, fanatisme kerabat atau keluarga dengan meletakkan iman kepada Alloh di atas
segalanya yakni Iman yang mengikis segala perbedaan jenis, bahasa, dan garis
keturunan97. Pendapat ini berkaitan dengan Asbabun Nuzul ayat tersebut yakni tentang
Qatilah (seorang kafir) yang datang kepada Asma’ binti Abi Bakr (anak kandungnya)
untuk berbuat baik kepadanya. Konteks ini menegaskan bahwa Allah tidak melarang
berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. Peristiwa ini diperjelas
dengan riwayat lain bahwa bahwa Siti Qatilah, istri Abu Bakr yang telah diceraikan pada
zaman jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma’ binti Abi Bakr, membawa bingkisan.
Asma’ menolak pemberian itu, bahkan ia tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam
rumahnya. Setelah itu, ia mengutus seseorang kepada ‘Aisyah (saudaranya) agar
menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw memerintahkan untuk
menerimanya beserta pula bingkisannya dengan baik. Ayat ini menegaskan bahwa Allah
tidak melarang berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memusuhi agama Allah 98.
Sikap tersebut merupakan akibat dari ayat-ayat yang mendorong untuk memusuhi orang-
orang kafir, hal ini mampu mempengaruhi cara berpikir kaum mukmin. sehingga mereka
merasa berdosa ketika menyambung tali silaturrahim kepada kerabat mereka yang masih
musyrik. Mereka mengira bahwa hal itu termasuk yang dilarang Allah, maka Allah SWT
memberitahukan bahwa berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang-orang kafir
dzimmi tidak termasuk ke dalam hal yang dilarang Allah SWT99.
Al Qur’an surat al Mumtahanah ayat 8 di atas bermaksud mengharmoniskan
hubungan sosial baik secara individu maupun sosial untuk membangun negara. Untuk
membangun negara yang tenteram dan sejahtera harus didasari dengan situasi dan
kondisi yang harmonis dimulai dari pranata sosial yang kecil yakni harmonisasi keluarga.
Mbah Sholeh Semendi memulainya dengan menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat
Winongan dan sekitarnya.

C. Komunikasi Dakwah Islam Mbah Sholeh Semendi Persepktif al Qur’an


Pemahaman manusia terhadap efektifitas komunikasi merupakan hal yang penting,
karena pada dasarnya konflik dapat disebabkan oleh masalah komunikasi100. Bahkan,
kebuntuan jalan keluar dari konflik-konflik tersebut boleh jadi karena cara pandang yang
tidak fleksibel terhadap identitas tertentu atau keengganan memperbaiki komunikasi

97
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Juz XXVIII h. 238
98
http://www.tafsironline.org/2015/04/asbabun-nuzul-surat-al-mumtahanah-ayat.html
99
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan Jilid IV, h.271
100
Subhi Azhar, “Rethinking Dialogue: Antara Konflik Dan Perubahan Damai,” Harmoni 10 (2011). h. 541

27
yang buruk101. Namun, Setiap persoalan ada solusinya, agama Islam telah mengajarkan
agar setiap orang saling berkomunikasi, mengklarifikasi sesuatu yang tidak jelas,
menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, dan menyelesaikan persoalan dengan
pemikiran positif, semua ini diajarkan untuk melakukannya dalam setiap agama102.
Sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an, komunikasi ketika menghadapi orang-orang
yang berbeda keyakinan itu dikembangkan dengan semangat hikmah dan mauizhah
hasanah seperti disinggung di muka103. Al-Qur’an juga menjadi landasan dan tuntunan
komunikasi Islami, sementara Nabi Muhammad SAW yang menjadi modelnya. Kita
dapat meneladani keduanya dalam berkomunikasi dalam pelbagai konteks sosial104.
Mbah Sholeh Semendi memahami pola komunikasi yang diajarkan oleh agama
Islam, ia berkomunikasi dengan Labuh Geni dengan melaksanakan wa jadilhum billati
hia ahsan sehingga komunikasinya melalui konfrontasi dengan adu kesaktian, karena
sebuah tradisi masa itu. Sedangkan komunikasi dengan pengikutnya dan masyarakat
Winongan berbeda dengan komunikasi yang dilakukannya terhadap Labuh Geni yakni
dengan hikmah dan mauizhah hasanah. Keberhasilan dakwah Islam Mbah Sholeh
Semendi dapat dibuktikan dengan masuknya Labu Geni, pengikutnya, dan disusul
masyarakat Winongan dan sekitarnya.
Dalam al Qur’an, ada enam komunikasi yang disebutkan, pertama qaulan ma’rufan
[QS an-Nisa’[4]:8], kedua qaulan sadiidan [QS an-Nisa’[4]:9], ketiga, qaulan balighan
[QS an-Nisa’[4]:63], keempat, qaulan kariman [QS al-isra’[17]:23], kelima qaulan
maysuuran [al-isra’[17]:28], dan keenam qaulan layyinan [Thaha [20]:44].
Pertama, qaulan ma’rufan [QS an-Nisa’[4]:8] yang berbunyi:

  


 
 
  
   
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian (warisan) itu hadir beberapa kerabat, anak-
anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

qaulan ma’rufan di sini ditafsiri yakni jika ternyata tidak mungkin karena hal-hal
tertentu, maka berbicaralah pada mereka dengan kata-kata yang lembut105.

Kedua, qaulan sadiidan [QS an-Nisa’[4]:9] yang berbunyi:

   


   
  

101
Ibid. h. 534
102
Ibid. h. 541
103
Achmad Rosyidi, “Penguatan Integritas Bangsa Melalui Internalisasi Ajaran Agama,” Harmoni 8 (2009): 29.
h. 29
104
Hasan Basri Tanjung, “Bertutur Kata,” Khazanah Republika, April 2015.
105
Abu Yahya Marwan Bin Musa, Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid I (www.tafsir.web.id, n.d.). h. 231

28
  
 
Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Ketiga, qaulan balighan terdapat dalam [QS an-Nisa’[4]:63] yang berbunyi:

  


    
    
   
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam
hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasehat,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.

qaulan balighan di sini ditafsiri, Misalnya secara sir (rahasia), karena yang
demikian dapat membuahkan hasil. Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa pelaku maksiat,
jika berpaling, maka dinasehati secara rahasia dan menasehati dengan kata-kata yang
bisa membekas di hatinya106.

Keempat qaulan kariman [QS al-isra’[17]:23] yang berbunyi:


    
  
   
  
    
   
   

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara
keduanya atau keduaduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik.

Yakni perkataan yang dicintai keduanya serta menenteramkan hati keduanya, dan
hal ini disesuaikan dengan keadaan, kebiasaan dan zaman107.

Kelima, qaulan maysuuran [al-isra’[17]:28] yang berbunyi:

106
Ibid. h. 272
107
Abu Yahya Marwan Bin Musa, Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid II (www.tafsir.web.id, n.d.).h. 369

29
  
   
   
 
Artinya: Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang
lemah lembut.

Maksudnya, apabila kamu tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti yang
tersebut dalam ayat 26, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar
mereka tidak kecewa karena mereka belum mendapat bantuan dari kamu. Dalam keadaan
seperti itu, kamu berusaha untuk mencari rezeki (rahmat) dari Tuhanmu, sehingga kamu
dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Contoh ucapan yang lemah lembut
adalah berjanji akan memberikan bantuan kepada mereka ketika ada rezeki. Hal ini
termasuk ibadah, karena berniat untuk berbuat baik adalah sebuah kebaikan. Oleh karena
itu, sepatutnya seorang hamba melakukan perbuatan baik yang bisa dilakukan dan
memiliki niat baik untuk perkara yang belum bisa dilakukan, agar memperoleh pahala
terhadapnya dan boleh jadi Allah memudahkannya karena harapan yang ada dalam
dirinya108.

Keenam, qaulan layyinan [Thaha [20]:44] yang berbunyi:




Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.

Yakni dengan lembut dan beradab, Ucapan yang lembut dapat membuat orang lain
menerima, sedangkan ucapan yang keras dapat membuat orang lain menjauh. Contoh
Nabi Musa ‘alaihis salam yang mengikuti perintah Allah untuk menasehati Fir’aun,
ketika sampai kepada Fir’aun, Musa berkata sesuai perintah Allah, “Adakah keinginanmu
untuk membersihkan diri, dan engkau akan aku arahkan ke jalan Tuhanmu agar Engkau
takut kepada-Nya?” (lihat surah An Naazi’at: 18-19) sepeti inilah cara yang perlu
dilakukan da’i, yakni perkataannya tidak menunjukkan paksaan, tetapi menunjukkan
pilihan dan penawaran seperti dengan kata-kata, “Maukah? Mungkin? Barang kali?” dsb.
Karena hal ini lebih bisa diterima daripada perkataan yang terkesan memaksa atau
mengajari, terlebih kepada orang yang lebih tua. Perhatikanlah kalimat tersebut, “Adakah
keinginanmu untuk membersihkan diri…dst.” Kalimatnya tidak “Agar aku bersihkan
dirimu?” tetapi “membersihkan diri?” yang menunjukkan biarlah ia membersihkan
dirinya sendiri setelah mengingatkan sesuatu yang membuatnya berpikir. Kemudian
Musa ‘alaihis salam mengajaknya kepada jalan Tuhannya yang telah mengaruniakan
berbagai nikmat yang nampak maupun yang tersembunyi, di mana nikmat-nikmat itu
sepatutnya disyukuri dengan mengikuti perintah-perintah-Nya. Namun ternyata Fir’aun
tidak menerima nasehat yang lembut itu, maka semakin jelaslah, bahwa peringatan tidak
bermanfaat baginya, sehingga pantas jika Allah menghukumnya109.

108
Ibid. h. 371
109
Ibid. h. 466

30
Dari beberapa paparan tentang berkomunikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ajaran Islam melalui al Qur’an mengajarkan komunikasi yang baik yakni dengan qaulan
ma’rufan, berbicara dengan kata-kata yang lembut. Kedua qaulan sadiidan yaitu
berbicara dengan tutur kata yang benar. Ketiga qaulan balighan, yaitu menasehati secara
rahasia dan menasehati dengan kata-kata yang bisa membekas di hatinya. Keempat,
qaulan kariman yakni berkata yang menenteramkan hati yang disesuaikan dengan
keadaan, kebiasaan dan zaman. Kelima qaulan maysuuran yaitu perkataan yang baik
agar tidak mengecewakan karena belum mendapat yang diharapkan. Keenam qaulan
layyinan yaitu perkataan yang lembut dan beradab, tidak membual (mengada-ada), tidak
keras ucapannya dan tidak kasar sikapnya.
Konsep dakwah Islam dengan cara komunikasi yang diajarkan dalam Islam
sebagaimana telah dibahas di atas, kemungkinan yang menjadi landasan bagi Mbah
Sholeh Semendi untuk menata peradaban Islam di Winongan dan sekitarnya. Konsep
dakwah ini diterapkan oleh Mbah Sholeh Semendi untuk menghadapi Labuh Geni,
pengikutnya dan masyarakat Winongan serta masyarakat sekitar. Barangkali konsep ini
juga yang membuat Mbah Sholeh Semendi berbeda cara pendekatannya ketika
menghadapi masyarakat winongan yang berbeda dengan dirinya, baik secara agama
maupun etnis sebagaimana telah diungkap di atas.

D. Mengikuti Metode Dakwah Walisongo


Untuk melaksanakan dakwah di atas, Mbah Sholeh Semendi menggunakan metode
dakwah yang sama dengan para pendahulunya yakni Walisongo. Karena Mbah Sholeh
juga manusia yang memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan
suatu agama dengan berbekal pada kondisi historis dan tradisi yang melingkupinya.
Yakni kondisi masyarakat Winongan yang masih menganut agama Hindu berikut tradisi
yang diikutinya. Apalagi penafsiran obyek itu terkait dengan ajaran Islam yang diakui
sebagai ajaran universal yaitu ajaran yang kontekstual baik dari sisi waktu maupun
tempat. Di Jawa (Jawa Timur bagian utara dan timur termasuk Pasuruan), tantangan-
tantangan muncul dari tradisi mistik Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa-Hindu110 dan
pranata sosial kemasyarakatan. Tradisi mistik atau supranatural dimiliki oleh kebanyakan
orang Jawa yang mayoritas beragama Hindu, merupakan tantangan yang harus dihadapi
oleh Mbah Sholeh Semendi untuk menghadapi masyarakat Winongan. Tantangan
pertama yang dihadapi adalah kekuatan mistik yang dimiliki oleh Labuh Geni dengan
kekuatan dari udeng dan api sebagai andalan dan julukannya. Sementara, Mbah Sholeh
Semendi mempunyai kekuatan supranatural teklek yang bisa terbang dan beberapa
kekuatan supranatural lain yang telah dibahas di atas.
Tantangan selanjutnya, muncul dari sistem hirarkis dalam pranata sosial
kemasyarakatan, yakni ketika itu Pasuruan di bawah pimpinan sang Adipati di bawah
kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah pengaruh penjajah Belanda. Untung Surapati
menjadi adipati Pasuruan atas perintah Raja Mataram bernama Amangkurat II yang tidak
lepas dari pengaruh Belanda. Untung Surapati pun berjuang mengusir Belanda dari tanah
Pasuruan.
Karena kondisi pranata sosial kemasyarakat ini, al Qur’an memberikan arahan
berupa teguran kepada Nabi agar jangan mementingkan orang-orang terkemuka saja
dalam berdakwah. Arahan dakwah ini termaktub dalam al Qur’an surat al Kahfi ayat 27-
31 yang berbunyi:

110
Bakri, “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan Jawa ).”

31
    
    
   
  
   
  
 
    
  
   
    
  
   
     
   
   
   
  
 
  
   
   
  
   
    
   
   
    
  
   
  
   
  
Artinya: 27. Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, Yaitu kitab Tuhanmu (Al
Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan
kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. 28.
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas. 29. Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung

32
mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. 30.
Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak
akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya)
dengan yang baik. 31. Mereka Itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga
'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi
dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan
sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang
indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah;

Untuk menghadapi tantangan yang muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya
Jawa-Hindu dan tantangan pranata sosial keagamaan di atas, Walisongo dengan kekuatan
politik Demak menggunakan metode mauidhoh hasanah wa mujadalah billati hiya
ahsan. Barangkali metode ini juga dilakukan oleh Mbah Sholeh Semendi untuk
menghadapi masyarakat Winongan yang berbeda secara agama maupun etnis. Metode ini
termaktub dalam al Qur’an Surat an Nahl ayat 125 berbunyi:

   


 
  
    
     
   
 
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.

Implikasi dari penggunaan metode dakwah yang sesuai ajaran al Qur’an ini adalah
masyarakat Jawa tidak merasa kaget karena para wali menghargai budaya yang
berkembang dan melakukan dakwah dengan cara yang sangat halus. Maka terjadilah
sinkretisme paradigma dengan cara keberagamaan yang unik dan kompromis. Sebagai
pelopor penyebaran ajaran Islam di kawasan timur khususnya Pasuruan, Mbah Sholeh
Semendi menggunakan pendekatan dakwah humanis dan menyentuh hati111. Karena
surat an Nahl ayat 125 tersebut adalah tentang dasar-dasar dakwah dan sikap terhadap
lawan. Lawan atau medan dakwah waktu itu adalah masyarakat yang sangat berbeda
dengan diri Mbah Sholeh Semendi baik secara agama maupun etnis masa itu. Dari segi
etnis Mbah Sholeh Semendi adalah keturunan Arab dan Sunda, Untung Suropati dari
Suku Bali, Labuh Geni dan masyarakat Winongan dari Suku Jawa. Dari segi agama,
Untung Suropati sebagai Adipati adalah pemeluk Hindu sedangkan masyarakat
Winongan dan sekitarnya memeluk Hindu pada mulanya. Dengan metode dakwah
seperti yang diterapkan Walisongo, Mbah Sholeh Semendi berhasil menyebarkan ajaran
Islam pada masyarakat Winongan dan sekitarnya.

E. Pendekatan dan Strategi Dakwah


111
Bakhri, Permata Teladan.

33
Dari sisi pendekatan terdapat pilihan antara pendekatan structural dan pendekatan
cultural. Pendekatan structural, dengan merombak tatanan politik dan kehidupan
masyarakat secara total dan mendasar dengan melakukan “pemaksaan” gagasan, ideologi
agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Pendekatan ini tentu saja dilatarbelakangi
oleh suatu kondisi sosial tertentu. Kondisi dimaksud sudah diambang batas dengan kata
lain kemungkaran dan kemaksiatan tidak dapat dikendalikan dan diatasi dengan cara-cara
persuasive. Pendekatan dakwah yang kedua adalah pendekatan cultural. Pendekatan ini
misalnya dilakukan oleh para wali ketika berdakwah di tanah Jawa, terutama yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga sebagai figure dakwah cultural. Ia memahami kearifan
lokal dan mengoptimalkannya dalam usaha melakukan penyiaran Islam pada masyarakat
Jawa. Salah satu kearifan masyarakat Jawa adalah hidup manusia akan berhasil sejauh ia
berhasil menyesuaikan diri dengan realitas. Kriterium keberhasilan adalah suatu keadaan
psikologis yaitu keselamatan, ketentraman batin yang tenang. Keadaan ini dapat tercapai
jika seseorang memiliki sikap batin yang tepat. Keberpihakan dakwah cultural adalah
pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal,
mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan manusia secara individual dan
sosial. Sedangkan strategi dakwah dapat melalui strategi pemberdayaan, dan strategi
rehabilitas sosial112. Mbah Sholeh Semendi melakukan pendekatan struktural dengan
mengalahkan penguasanya lebih dulu yaitu Labuh Geni, setelah itu melakukan
pendekatan cultural dengan mengislamkan masyarakat Winongan, tentu saja dakwah
yang sesuai dengan tuntunan Rasul. Hal ini selaras dengan pendapat al-Syaikh ‘Ali
Mahfudz, bahwa dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok, yaitu al-huluj balaghah
(alasan yang jitu), al-asalibul hakimah (susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah),
al-adabus samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul hakimah (siasat yang
bijak). Keempat prinsip dakwah ini pada dasarnya telah diterapkan oleh walisanga,
termasuk Mbah Sholeh Semendi yang secara genealogis punya hubungan dengan Sunan
Gunung Jati. Sebagai seseorang yang lahir dari keturunan sultan dan ulama, Mbah
Sholeh Semendi memiliki keempat aspek di atas sesuai yang dianjurkan Rasulullah
SAW113.
Meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Wahid, yaitu pendekatan sosio-
kultural. Menurutnya, pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam
untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha
memaksakan agendanya sendiri. Karena sosial budaya adalah perkembangan budaya
dalam konteks kemasyarakatan114. Pendapat ini selaras dengan pendapat Al-Syathibi
dalam al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, menyatakan bahwa mengetahui kondisi sosial
masyarakat Arab, sebagai lokus awal turunnya al-Qur’an dan situasi ketika sebuah ayat
turun merupakan salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mufassir (Al-
Syatiby: t.th: 2/348)115. Dengan statemen ini sesungguhnya al-Syathibi ingin mengatakan
bahwa aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menguak maksud sebuah teks
bukan hanya dari sudut gramatika, melainkan juga harus mencakup pengetahuan tentang
keadaan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat tatkala berlangsungnya pada era
pewahyuan al-Qur’an116. Mbah Sholeh Semendi sebagai penerus perjuangan Walisanga,
memahami aspek sosio-kultural Winongan, ia dapat membawa masyarakat Winongan

112
Ahmad Faqih, “Pergumulan Islam Dan Budaya Jawa Di Lereng Gunung Merbabu Perspektif Dakwah,” Ilmu
Dakwah 34, no. 1 (2014): 24–40.
113
Dikutip dari http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/26/peran-sunan-gunung-jati-dalam-dakwah-dan
sosial-budaya
114
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Santri Gus Dur 1 (2016).
115
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
116
Zuhdi, “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya.”

34
pada peradaban Islam. Awalnya mendekati Labuh Geni dengan latar belakang Hindunya
berikut tradisinya, tradisi mistik yang dimiliki Labuh Geni berupa kesaktian yang dapat
ditandingi oleh Mbah Sholeh Semendi.
Sedangkan strategi yang dipakai oleh Mbah Sholeh Semendi adalah melalui
pendidikan agama dengan sarana padepokan yang menjadi pesantren pada masa setelah
dikalahkannya Labuh Geni. Barangkali strategi melalui pesantren ini yang turut andil
menata peradaban Islam Winongan dan sekitarnya. Lewat strategi ini pula, mayoritas
masyarakat Winongan memeluk agama Islam sebagai ajaran yang diyakini.
Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Winongan tidak lepas dari peran Mbah
Sholeh Semendi, dari data statistik tahun 2015 dapat dilihat bahwa di Winongan terdapat
57 madrasah, 5 pondok pesantren dan 52 Madrasah Diniyah.117

F. Metode dan Sarana Dakwah


Membahas tentang metode tentu banyak pilihan yang bisa dijalankan oleh para da’i
sesuia kondisi sosial mad’u yang dihadapi. Metode-metode yang tersedia seperti
ceramah, diskusi, dialog, propaganda, home visit, bahkan tanya jawab. Dakwah yang
dilakukan Mbah Sholeh Semendi dalam islamasasi masyarakat Winongan dijumpai hal-
hal yang tidak rasional. Oleh karena itu, pembatasan metode dakwah dalam penulisan ini
menjadi dakwah yang umumnya dilakukan para walisongo dalam mengislamkan tanah
Jawa. Karena Kesuksesan Mbah Sholeh Semendi dalam mengislamkan Winongan terkait
dengan metode yang juga digunakan oleh Sunan Gunung Jati, salah satu anggota
Walisanga sekaligus kakeknya. Ketika kondisi lapangan dan tantangan di setiap daerah
berbeda, maka metode yang digunakan para wali pun berbeda. Beberapa metode dakwah
yang dilakukan para wali, yaitu :
1. Metode mau’izhatul hasanah wa mujadah billati hiya ahsan. Metode dakwah ini
digunakan saat berhadapan dengan tokoh khusus, seperti Raja, penguasa,
bangsawan, atau orang terpandang. Para tokoh itu diperlakukan secara personal,
dihubungi secara istimewa, dan bertemu secara pribadi. Kepada mereka diberikan
keterangan, pemahaman, dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Pengislaman yang
penuh toleransi dengan bertukar pikiran, memberi peringatan dengan halus agar mau
melihat kebenaran dan memeluk Islam.
2. Metode al-hikmah adalah metoda dakwah yang dlakukan para wali dengan jalan
kebijaksanaan yang dilakukan dengan popular, atraktif, dan sensasional cara ini
digunakan dalam menghadapi masyarakat awam, biasanya masyarakat dikumpulkan
secara massal. Dengan tata cara yang bijaksana melakukan pertunjukkan yang
sensasional terkadang ganjil, unik, dan aneh sehingga menarik perhatian.
3. Metode tadarruj atau tarbiyatul ummah, dipergunakan sebagai proses klasifikasi
yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat agar pendidikan Islam dapat dengan
mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara
merata, maka tampaklah metode yang ditempuh para Walisongo didasarkan atas
pokok pikiran li kulli maqam maqal, yaitu memerhatikan bahwa setiap jenjang dan
bakat ada tingkat, bidang materi, dan kurikulumnya. Sesuai dengan cara ini,
penyampaian aturan-aturan agama (fiqih) ditujukan terutama bagi masyarakat awam
dengan jalan mendirikan pesantren dan lembaga sosial
4. Metode pembentukkan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke
berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari
penghuni ataupun kosong dari pengaruh Islam.

117
BPS Pasuruan, Kecamatan Winongan Dalam Angka 2015, ed. Seksi Integrasi Pengolahan dan Diseminasi
Statistik (Pasuruan: http://pasuruankab.bps.go.id, 2015), /linkTabelStatis/view/id/19. h. 44

35
5. Metode kerjasama dalam organisasi Walisongo, dalam hal ini diadakan pembagian
tugas masing-masing wali dalam mengislamkan masyarakat Jawa.
6. Metode musyawarah dilakukan para wali dan mengadakan musyawarah yang
membahas mengenai masalah agama, sosial, politik, hingga soal masalah mistik118.
Metode-metode di atas, dijalankan juga oleh Mbah Sholeh Semendi ketika
menghadapi Labuh Geni dengan mauidhah hasanah, metode hikmah dilakukan pada
pengikut Labuh Geni dan masyarakat Winongan, metode tadarruj dilakukan melalui
pesantren, metode pembentukan kader dilakukan pada masyarakat Winongan yang masih
memeluk ajaran Hindu, metode kerjasama dilakukannya bersama Labuh Geni dan
pengikutnya, dan secara otomatis metode musyawarah dilakukan bersama-sama dengan
orang-orang pertama yang masuk Islam untuk menata peradaban Islam Winongan dan
sekitarnya.

G. Tinjauan Ilmu Sosial


Interaksi sosial yang terjadi antara Mbah Sholeh Semendi dengan Labuh geni
beserta murid-muridnya karena adanya saling pertukaran antar individu dan juga
individu dengan lingkungannya. Dalam menjalankan peran tersebut, terjadi kesepakatan
antara Mbah Sholeh Semendi dengan Labuh Geni dan berlangsung interaksi atau
hubungan berpasangan antar-ego dan alter. Ego yang mereka miliki terbangun dari latar
belakang yang membentuk karakter individunya. Mbah Sholeh Semendi dengan latar
belakang ajaran Islam dan Labuh Geni yang berlatar belakang ajaran Hindu. Perlu
diingat, Mbah Semendi adalah perantau yang datang dari Cirebon. Sebagai seorang
pendatang, tentu mempunyai nilai yang berbeda dari pada yang tidak merantau.
Pertemuan mereka berdua memunculkan perjanjian bahwa yang kalah dalam adu
kesaktian harus mengikuti yang menang. Selanjutnya, terjadi sistem sosial yang
terbentuk dari sistem sosial berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dengan
tidak secara kebetulan, tetapi tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum
atau norma-norma sosial yang disepakati bersama. Norma-norma ini yang membentuk
struktur sosial. Interaksi sosial terjadi karena adanya komitmen terhadap norma-norma
sosial yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di
antara anggota masyarakat dengan menemukan keselarasan satu sama lain di dalam suatu
tingkat integrasi sosial tertentu. Menurut Irawan, kondisi minimal yang diperlukan dalam
sebuah sistem sosial antara lain: (1) orientasi pelaku terhadap situasi dilatarbelakangi
oleh motivasi mewujudkan ekuilibrium; (2) harapan timbal balik yang ajek di antara
pelaku; (3) membagi dan sama-sama merasakan makna tentang apa yang sedang
terjadi119.
Dari kajian sosial ini, mengungkap segala hal yang dimiliki Mbah Sholeh Semendi,
baik kedalaman ilmu maupun individunya yang mampu mengolah konflik menjadi
damai, membentuk dirinya menjadi sosok kharismatik yang mampu mengubah
paradigma masyarakat. Sosok kharismatik ini barangkali yang bisa menghadirkan
harmonisasi, melahirkan murid-murid dan keturunan yang turut andil dalam menata
peradaban Pasuruan dan sekitarnya. Kedua Muridnya, yaitu Sayyid Sulaiman dan Sayyid
Abdurrahim menjadi penerus penyebaran ajaran Islam. Sayyid Sulaiman pernah menjadi
penasehat Untung Surapati, ia juga pendiri pondok Pesantren Sidogiri yang sekarang
mempunyai puluhan ribu santri. Sedangkan Sayyid Abdurrahim terkenal di tempat
tinggalnya yakni Segoropuro hingga namanya masyhur dengan nama Mbah Arif

118
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati. (Ciputat: Salima, 2012)
119
I.B Irawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Perilaku Sosial,
2nd ed. (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2013). 54-55

36
Segoropuro. Keturunan Mbah Semendi mempunyai peran penting dalam peradaban
Winongan dan Pasuruan bahkan di beberapa daerah lain (sebagaimana dibahas
sebelumnya) pada masa setelahnya, salah satunya adalah Mbah Slagah yang berperan
mendirikan masjid jami’ al Anwar Pasuruan bersama Adipati kala itu. Mbah Slagah juga
bersama-sama rakyat Pasuruan melawan penjajah Belanda. Keberhasilan dakwahnya
juga dapat dilihat pada data statistik Winongan tahun 2015, hampir seratus persen
masyarakat Winongan memeluk agama Islam. Dari jumlah penduduk 41.385, pemeluk
agama Islam berjumlah 41.367 (99,96 %), Kristen berjumlah 5 (0,01%) dan Katolik
berjumlah 13 (0,03) 120. Dapat dikatakan lebih berhasil jika dianalisis dari data statistik
Pasuruan tahun 2015, hampir seratus persen masyarakat Pasuruan memeluk agama
Islam. Dari jumlah penduduk 41.385, pemeluk agama Islam berjumlah 1.515.702 orang
(99,96 %), Kristen Protestan berjumlah 10.547 orang (0,01%) dan Kristen Katolik
berjumlah 5.788 orang (0,03), sedangkan yang beragama Hindu, Budha dan Khonghucu
masing-masing tercatat sebanyak 15.879 orang, 249 orang dan 58 orang121.

120
BPS Pasuruan, Kecamatan Winongan Dalam Angka 2015.
121
BPS Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015.

37
BAB VI
Kesimpulan

Islam masuk Indonesia sebelum abad 13 M dan berkembang pesat hingga secara
sosial politik berdiri Kerajaan Demak sebagai simbol Kekuasaan Islam di tanah Jawa
dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pada masa kerajaan Demak yang dipimpin
oleh Sultan Trenggono mampu menaklukkan Pasuruan dan Pasuruan pun menjadi mitra
penyebaran Islam. Penerus perjuangan Islam setelah era Demak adalah Kerajaan Pajang
kemudian Kerajaan Mataram. Kerajaan Pajang dan Mataram berpusat di pedalaman Jawa
menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-
Hindu. Di masa Mataram, Strategi penyebaran ajaran Islam di perkotaan berubah
kompas melalui pendidikan di desa-desa (daerah pedalaman) Jawa bahkan sampai
pegunungan selatan Jawa yang dilakukan oleh penerus para wali termasuk Mbah
Semendi dengan mendirikan masjid, surau maupun pesantren.
Mbah Semendi adalah pelopor penyebaran ajaran Islam di Winongan dan sekitarnya,
ia adalah keturunan dari salah satu Walisongo yakni Sunan Syarif Hidayatulloh yang
hidup pada masa Untung Surapati, salah satu muridnya yakni Sayyid Sulaiman menjadi
penasehat Untung Surapati. Dakwah Islam dilakukan untuk menyebarkan ajaran Islam
pada masyarakat Winongan dan sekitarnya, hal ini dibuktikan dengan penyebaran nilai-
nilai ajaran Islam. Dengan kekuatan supranaturalnya, ia mampu merubah paradigma
masyarakat, sehingga membuka jalan untuk menyebarkan ajaran Islam, bahkan menjadi
populer setelah mengalahkan Labuh Geni dalam adu kesaktian.
Latar belakang ilmu dan perantau membentuk individu Mbah Sholeh Semendi
menjadi sosok kharismatik. Ia dapat mengolah konflik menjadi damai dan dapat
mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti ajaran-ajaran yang dibawanya. Barangkali
dari sosok kharismatik ini yang dapat melahirkan murid-murid dan keturunan yang bisa
ikut andil membangun peradaban Pasuruan dan sekitarnya. Ini adalah bukti keberhasilan
dakwah Islamnya, di samping data statistik Winongan tahun 2015 yang menunjukkan
bahwa hampir seratus persen penduduk Winongan memeluk agama Islam.
Perlu penulis sampaikan kepada para pembaca tulisan ini, untuk memberikan
sumbangsih masukan, pemikiran, dan kritikannya untuk meluruskan sejarah para
penyebar agama Islam, khususnya mengenai Mbah Sholeh Semendi.

38
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid. “Pribumisasi Islam.” Santri Gus Dur 1 (2016).


Achmad Rosyidi. “Penguatan Integritas Bangsa Melalui Internalisasi Ajaran Agama.”
Harmoni 8 (2009): 29.
AG, Muhaimin. “Book Review Islam Jawa: Antara Holisme Dan Individualisme.” Studia
Islamika 12, no. 1 (2005).
Arifah, Dinillah. Singgasana Raja Yang Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan.
Edited by Mokh. Syaiful Bakhri. Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2007.
Azhar, Subhi. “Rethinking Dialogue: Antara Konflik Dan Perubahan Damai.” Harmoni 10
(2011).
Bakhri, Mokh. Syaiful. Permata Teladan. Pasuruan: Pustaka Utama, 2012.
Bakri, Syamsul. “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan
Jawa ).” DINIKA 12, no. 2 (2014): 33–40.
bookstore.google.com. “Cerita Rakyat Dari Pasuruan (Jawa Timur).”
BPS Kabupaten Pasuruan. Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015. Pasuruan:
http://pasuruankab.bps.go.id, 2015.
BPS Pasuruan. Kecamatan Winongan Dalam Angka 2015. Edited by Seksi Integrasi
Pengolahan dan Diseminasi Statistik. Pasuruan: http://pasuruankab.bps.go.id, 2015.
/linkTabelStatis/view/id/19.
Bruinessen, Martin Van. “Najmuddin Al-Kubra , Jumadil Kubra Dan Jamaluddin Al-Akbar
(Jejak Pengaruh Kubrawiyya Pada Permulaan Islam Di Indonesia).” Al-Qurba 1, no. 1
(2010): 24–57.
Djunaedi. “Pusat Seni Bela Diri Pencak Silat Di Tangerang” (n.d.): 1–16.
Faqih, Ahmad. “Pergumulan Islam Dan Budaya Jawa Di Lereng Gunung Merbabu Perspektif
Dakwah.” Ilmu Dakwah 34, no. 1 (2014): 24–40.
Fitri, Agus Zaenal. “Pola Interaksi Harmonis Antara Mitos, Sakral, Dan Kearifan Lokal
Masyarakat Pasuruan.” el Harakah 14 (2012).
Hardhi, Titan Rohkmutiana. “Dakwah Sunan Gunung Jati Dalam Proses Islamisasi Di
Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568,” 2014.
Hasan Basri Tanjung. “Bertutur Kata.” Khazanah Republika, April 2015.
http://bloraku.com. “Diskusi Tentang Budaya Keris Dan Tombak.”
http://id.rodovid.org. “Orang:188514.”
http://id.wikipedia.org. “Babad Pasuruan.”
http://m.detik.com. “Wolipop.”
http://nasional.news.viva.co.id. “Mitosnya Ikan-Ikan Ini Pengawal Majapahit Yang Dikutuk.”
http://pustaka.islamnet.web.id. “Bahtsul Masaail Tentang Sidogiri.”
http://ranji.sarkub.com. “Meluruskan Silsilah Nasab Sunan Tembayat Sunan Pandanaran.”
http://sidogiri.net. “Profil.”
http://warkopmbahlalar.com. “Sang Pembabat Kawasan Timur Pulau Jawa.” Accessed
January 1, 2015. 2849/sang-pembabat-kawasan-timur-pulau-jawa/.
http://www.kaskus.co.id. “Joko Unthuk Cerita Masyarakat Winongan Pasuruan.”
http://www.kemendagri.go.id. “Profil Daerah.” /kabupaten/id/35/name/jawa-
timur/detail/3514/pasuruan.
http://www.kompasiana.com. “Misteri Di Telagawilis.”
https://id.wikipedia.org. “Madakaripura.”
Irawan, I.B. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan
Perilaku Sosial. 2nd ed. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2013.
Kosim dkk. “Perkembangan Agama Islam Di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura
Kabupaten Probolinggo Tahun 1983-2012.” Pancaran 2, no. 4 (2013): 65–74.

39
Kusuma, I Nyoman Weda. “Geguritan Nabi Muhammad: Cermin Akulturasi Budaya Hindu-
Islam Di Bali.” sari 25 (2007): 119–127.
Makhfud, Muhammad Yusuf. “Konflik Politik Kerajaan Demak Setelah Wafatnya Sultan
Trenggono Tahun 1546-1549,.” Artikel Ilmiah Mahasiswa (2015): 1–10.
Masyhudi. “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa.” Berkala Arkeologi
XXVII, no. 1 (2007): 43–59.
Musa, Abu Yahya Marwan Bin. Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid I. www.tafsir.web.id,
n.d.
———. Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid II. www.tafsir.web.id, n.d.
Nurhamid, Ahmad. “Arya Penangsang Gugur: Antara Hak Dan Pulung Kraton Demak
Bintara.” Dinamika Bahasa & Budaya 3 (n.d.): 105–115.
Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam Dalam Al Qur’an Dan Sunnah. I. Solo:
http://media.net.org, 1997. islam/Qardhawi/Masyarakat/index.html.
Sinta, Debi Sukma Dewi. “Kedudukan Legenda Mbah Semendhi Bagi Masyarakat
Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan.” Malang, 2011.
Supriyono, Agustinus. “Tinjauan Historis Jepara Sebagai Kerajaan Maritim Dan Kota
Pelabuhan.” Paramita 23 (2013): 27–39.
Susatyo, Rachmat. Seni Dan Budaya Politik Jawa. Bandung: Koperasi Ilmu Pengetahun
Sosial, 2008.
Syam, Nur. “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan
Sosial” (n.d.).
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Tsani, Taufik. “Dakwah Dan Kemajuan Teknologi.” Jurnal Ilmu dakwah Dan
Pengembangan Komunitas 9, no. 1 (2014): 83–91.
www.pasuruan.go.id. “Aneka Tradisi Di Kabupaten Pasuruan.”
———. “Legenda Banyu Biru.”
———. “Sejarah Singkat Kabupaten Pasuruan.” Pasuruan, 2015.
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya.” RELIGIA 1, no. 1
(2012): 46–64.

40

Anda mungkin juga menyukai