Anda di halaman 1dari 54

BAB I

Pendahuluan

Winongan merupakan salah satu Kecamatan dari 19 Kecamatan yang ada di


Kabupaten Pasuruan, secara historis pernah menjadi daerah di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit yang hidup dalam kasta, sistem kasta ini berubah seiring datangnya
para pedagang dari Arab1 yang menjelma menjadi Walisongo. Ajaran Islam yang dibawa
Walisongo dengan aliran mistik mampu memampatkan periode panjang Kerajaan
Majapahit. Sehingga sejak akhir abad 15, Islam mampu menggantikan Hinduisme Jawa
dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan terkuat di Jawa2 dan menjadi
simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam pertama di Jawa dengan kemampuan
para wali dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal Jawa3. Dampaknya, Islam
berkembang pesat di Jawa4 dan diperluas ke Bali5. Pasuruan sendiri telah ditaklukkan
Kerajaan Demak tahun 1535 M di bawah pimpinan Sultan Trenggono6. Setelah era
Demak berakhir, dakwah Islam dilanjutkan era Kerajaan Pajang kemudian Kerajaan
Mataram yang berpusat di pedalaman, makin mempertajam Islam gaya pesisiran yang
ortodoks dengan paham Jawa-Hindu di pedalaman.
Pada masa Kerajaan Mataram, Belanda datang dan mengacak-acak struktur
masyarakat Jawa dengan menguasai beberapa pelabuhan di pesisir dan pembangunan
benteng-benteng7, menguatkan monopoli perdagangannya di daerah pesisir,
mengakibatkan kekalahan orang Jawa dalam percaturan politik di kota-kota. Hal ini yang
menyebabkan perubahan strategi penyebaran ajaran Islam, dari perkotaan berubah haluan
melalui pendidikan di desa-desa, bahkan sampai pegunungan selatan Jawa8. Selain
penyebaran ajaran Islam melalui pendidikan, juga menggunakan lambang-lambang
budaya dan lembaga-lembaga yang diisi dengan muatan-muatan ajaran Islam, sehingga
mudah diterima oleh masyarakat awam9.
Pengaruh pusat Kerajaan pada beberapa daerah mampu memberikan corak
tersendiri. Pasuruan merupakan salah satu daerah di bawah kekuasaan beberapa Kerajaan
mulai dari Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram. Di Pasuruan, terdapat
pelopor penyebaran ajaran Islam khususnya di Winongan dan sekitarnya, yang bernama
Mbah Sholeh Semendi. Mbah Sholeh Semendi merupakan keturunan Sunan Gunung Jati
dan penerus perjuangan Walisongo. Bukti fisiknya dapat dilihat pada makamnya yang
terletak di Desa Winongan Pasuruan, pada makamnya tertulis jelas anak dari Sultan
Hasnuddin bin Syarif Hidayatullah.
Menurut Graaf, banyak barang yang dapat dijadikan penyelidikan kepurbakalaan
seperti tempat kediaman raja-raja, masjid dan tempat permakaman, ketenteng-kelenteng
Cina, serta permukiman kuno demikian pula penyelidikan tanah dan penggalian-

1
www.pasuruan.go.id, “Legenda Banyu Biru.”
2
Masyhudi, “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa,” Berkala Arkeologi XXVII, no. 1
(2007): 43–59.
3
Syamsul Bakri, “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan Jawa ),” DINIKA 12,
no. 2 (2014): 33–40.
4
Kosim dkk, “Perkembangan Agama Islam Di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo
Tahun 1983-2012,” Pancaran 2, no. 4 (2013): 65–74.
5
I Nyoman Weda Kusuma, “Geguritan Nabi Muhammad: Cermin Akulturasi Budaya Hindu-Islam Di Bali,” sari
25 (2007): 119–127.
6
Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa, I. (Malang: UIN-Malang Press, 2008).
7
Agustinus Supriyono, “Tinjauan Historis Jepara Sebagai Kerajaan Maritim Dan Kota Pelabuhan,” Paramita 23
(2013): 27–39.
8
Masyhudi, “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa.”
9
Ibid.

1
penggalian, hendaknya diselidiki dan dicatat secara ilmiah10. Di area makam Mbah
Sholeh Semendi terdapat mushollah dan peristirahatan (dulu dijadikan tempat belajar
lrbih tepatnya pondok pen.)
Tidak adanya petunjuk tentang tahun keberadaan Mbah Sholeh Semendi, hanya bisa
dikait-kaitkan dengan tokoh-tokoh maupun orang-orang yang hidup pada masanya.
Kehidupan Mbah Sholeh Semendi bertepatan dengan masa Kerajaan Mataram. Pasuruan
Sendiri dipimpin oleh Untung Surapati11 (1686-1706)12 yang tercatat sebagai pahlawan
melawan Belanda. Untung Surapati mempunyai penasehat dari salah satu murid Mbah
Sholeh Semendi yakni Sayyid Sulaiman13.
Pada penelitian ini, penulis mengarahkan pada seorang tokoh yang bernama Mbah
Sholeh atau masyarakat lebih mengenal dengan Mbah Sholeh Semendi yang berada di
Desa Winongan Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan. Salah satu bukti keberadaan
Mbah Semendi adalah Makamnya yang terletak di Desa Winongan Lor Kecamatan
Winongan Kabupaten Pasuruan. Peringatan Haul setiap tahun diadakan sebagai ritual
keagamaan untuk mengenang perjuangan dan mendo’akan Mbah Sholeh Semendi14.
Terkait subyek Mbah Semendi, pernah diteliti oleh mahasiswi yang fokus pada
kedudukan legenda Mbah Semendi Bagi Masyarakat dan prilaku khusus masyarakat
terhadap makam Mbah Semendi15. Penelitan tersebut tidak membahas tentang dakwah
Islam sebagaimana tema yang dibahas dalam penelitian ini. Yang paling menarik dari
penelitian ini adalah tentang dakwah Islam Mbah Sholeh Semendi yang belum pernah
diteliti juga dakwahnya yang berhasil membangun peradaban Winongan dan Pasuruan.

10
Graaf, H.J. De and TH. G. TH. Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke
Mataram” (Jakarta: Grafiti pers, 1985).
11
Untung Surapati merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia berdasarkan penetapan S.K. Presiden
No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975 oleh Pilar Asa Susila dalam http://profil.merdeka.com. Masa kecil
dan tanggal kelahiran Untung Suropati tidak diketahui dengan pasti. Secara Umum, ia hanya disebut sebagai
keturunan bangsawan Bali yang diculik dan dijadikan budak oleh VOC. la kemudian dibeli oleh Edelaar Moor
yang memberinya nama Untung Surapati. Saat beranjak dewas ia jatuh cinta kepada putri Moor. Namun Moor
menentangnya dan malah memenjarakan Untung. Siksaan dalam penjara membuat Untung memutuskan untuk
melarikan diri.
Setelah bebas, ia membentuk pasukan untuk melawan kesewenangan Belanda. Penderitaan rakyat yang Ia
saksikan membuatnya bertambah tidak suka terhadap penjajah. Belanda yang kewalahan kemudian
menawarinya bergabung dalam pasukan Belanda Untung menerimanya agar ia dapat lebih mengetahui taktik
Belanda. Sebagai seorang perwira berpangkat letnan, ia kemudian terlibat pertengkaran dengan perwira Belanda
yang sering bersikap kejam terhadap rakyat. Perwira Belanda tersebut tewas sehingga Untung melarikan diri ke
arah Mataram dan bergabung dengan pasukan Susuhunan Amangkurat II yang tengah berperang melawan VOC.
Pada pertempuran 8 Februari 1686, pasukan yang dipimpin Untung berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Bahkan, Kapten Tack yang memimpin pasukan Belanda tewas di tangan Untung Suropati . Selanjutnya, ia pun
pindah ke wilayah Jawa Timur dan mendirikan kerajaan di Pasuruan dengan gelar Adipati Aria Wiranegara.
Belanda yang terus mengejar Untung Surapati mengirimkan pasukan besar untuk menyerang kerajaan tersebut.
Dalam suatu pertempuran di daerah Bangil pada awal November 1706, Untung Suropati terluka parah, hingga
akhirnya meninggal dunia pada 5 November 1706. Dari sumber https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-
pahlawan-untung-suropati/
12
Mokh. Syaiful Bakhri, Permata Teladan (Pasuruan: Pustaka Utama, 2012),
http://ciptapustaka.blogspot.co.id/2012/06/permata-teladan.html.
13
http://sidogiri.net, “Profil.”
14
www.pasuruan.go.id, “Aneka Tradisi Di Kabupaten Pasuruan.”
15
Debi Sukma Dewi Sinta, “Kedudukan Legenda Mbah Semendhi Bagi Masyarakat Kecamatan Winongan
Kabupaten Pasuruan” (Malang, 2011). Maahasiswi Universitas Negeri Malang

2
BAB II
Jawa dalam Kilas Sejarah

A. Asal-Usul Penduduk Jawa


Menurut Suyono dari karya Van Hien, keterangan terbaik mengenai kondisi geologi
pulau Jawa dapat ditemukan dalam tulisan kuno Hindu yang menyatakan tentang adanya
gempa bumi dan letusan gunung yang dahsyat menyebabkan pulau-pulau Nusa Kendang
terpisah dari India. Setelah tahun 296 sesudah Masehi terjadi letusan gunung-gunung
berapi yang menyebabkan beberapa gunung berapi hilang dan memunculkan gunung-
gunung berapi baru16.

B. Kebudayaan Jawa
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan pusat di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena
sekalipun Indonesia tidak identik dengan Jawa, tetapi jelas bahwa Jawa adalah pusat
Indonesia17. Sebelum datangnya gelombang agama (Hindu, Buddha, Islam dan Barat),
Tradisi megalitik yang dijiwai oleh pemujaan arwah leluhur telah memberikan landasan
kehidupan yang mantap bagi perkembangan selanjutnya terutama menjelang datangnya
pengaruh kebudayaan agama-agama tersebut. Contoh pentingnya jelas dan dapat dilihat
di tempat-tempat tertentu seperti di Nias, Bali, Sumba, dan lainnya 18. Keberadaan tradisi
megalitik tetap menjadi dasar dalam menyikapi sentuhan, pertukaran, penyerapan, dan
perubahan kebudayaan yang terjadi. Dinamikanya tetap meninggalkan jejak dalam sisa
budaya materialnya19. Kepercayaan ini dinamakan Animisme dan Dinamisme. Animisme
merupakan satu kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap memiliki roh atau jiwa
sedangkan dinamisme merupakan satu kepercayaan bahwa setiap benda memiliki
kekuatan gaib20.
Kepercayaan di atas berpengaruh pada masyarakat yang cenderung menyerahkan
nasibnya pada paham siklis auta cakramanggiling, yaitu segala sesuatu telah ditentukan
oleh nasib. Kepercayaan terhadap adanya aturan atau institusi yang serba diatur oleh
kekuatan gaib, bersifat selaras atau harmonis dan abadi. Oleh karena itu, segala
perbuatan dan tingkah laku manusia diselaraskan dengan tatanan alam. Pengambilan
partisipasi tingkah laku dan perbuatan manusia dalam sistem aturan tersebut akan
menyangkut taraf hidup manusia menjadi bernilai. Agar nilai tersebut penting, maka
dibuatlah lambang, simbol, upacara, selamatan, atau ritus, dengan maksud
membahagiakan dirinya dan juga membahagiakan kekuatan alam gaib yang mungkin
akan mengganggunya. Walaupun begitu, masyarakat Jawa sudah mengenal stratifikasi
dalam interaksi sosial.21.
Kepercayaan Animisme dan Dinamisme tersebut berubah –namun tidak merubah
identitas aslinya- seiring datangnya Agama Hindu di Indonesia22 sekitar abad ke-4

16
Khalil, Islam Jawa, Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa. h. 8
17
Magnis Suseno dalam Rachmat Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa (Bandung: Koperasi Ilmu Pengetahun
Sosial, 2008).
18
Wales (1953), Heekeren (1958), Mulia, (1981) dalam Ketut Koestoro, Partanda dan Wiradnyana, Tradisi
Megalitik Di Pulau Nias, Pertama. (Medan: Balai Arkeologi Medan, 2005).
19
Ibid.
20
Raziq Hasan, Perkembangan Arsitektur Hindu Budha (raziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id, n.d.),
Perkembangan+Arsitektur+Hindu+...
21
Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa.
22
Hindu disebarkan oleh Bangsa Arya dengan mengalahkan Bangsa asli India (Dravida). Bangsa Arya
mengeksistensikan bangsanya dengan cara membuat Kasta yang berpusat di Mohenjo Daro (Lakarna) dan
Harapa (Punjat) yang tumbuh sekitar 1.500 SM. Agama Hindu dalam pelaksanaan ritual ibadah (penyampaian
doa kepada dewa) harus dilakukan oleh Kaum Brahmana saja. Sehingga kaum-kaum di bawahnya merasa

3
Masehi dibawa oleh para pedagang dari India23. Agama Hindu mengajarkan bahwa strata
sosial seseorang tidaklah sama, disebabkan karena seseorang dilahirkan dari asal
keturunan yang berbeda. Perbedaan ini berlangsung terus menerus, sehingga seseorang
akan hidup dan mati dalam strata sosialnya. Dalam ajaran Hindu, masyarakat
dikelompokkan dalam empat kasta besar dari yang tertinggi yakni kasta Brahmana,
Ksatria, Waisya, Sudra, serta satu kasta terendah yakni kasta Paria. Setiap kasta sudah
memiliki tugas dan tanggungjawabnya masing-masing di dalam masyarakat, sehingga
pembagian tugas dan pekerjaan seseorang akan sangat ditentukan oleh kastanya. Selain
memperkenalkan hirarki sosial yang semakin tegas, Agama Hindu juga memperkenalkan
dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang harus dihormati dan sekaligus dipuja.
Dengan sendirinya, raja sebagai kepala pemerintahan harus pula menghormati dewa-
dewanya24.
Gelombang selanjutnya yang masuk ke Indonesia adalah Agama Buddha. Masuknya
agama Budha ke Indonesia (Jawa) tidak mengalami hal sulit, dan bahkan mendapat
sambutan yang sangat menggembirakan dari orang Jawa25. Agama Budha datang melalui
jalur perdagangan yang dibawa oleh para biksu, diantaranya bernama Gunawarman (420
M) dari Kashmir26. Agama Buddha yang tersiar di Indonesia terutama dari aliran
Mahayana bersumber dari kitab suci “Tripitaka”. Di bumi nusantara tepatnya di
Sumatera, Buddha berkembang pesat dan berpengaruh lebih kuat dibanding pengaruh
Hindu dengan berdirinya Kerajaan Sriwijaya yang menjadi pusat penyebaran dan
pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara yang tersebar di Jawa, Bali, dan
Kalimantan, dengan bukti Prasasti Yupa yang ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan.
Ini terjadi sekitar abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi27. Di Jawa, keberadaan Buddha
dapat dibuktikan dengan adanya berbagai bangunan keagamaan Budha, seperti Candi
Borobudur, adanya akulturasi budaya Hindu-Budha dan Jawa, juga terjadinya
sinkretisme antara agama Hindu-Budha-Anisme/Dinamisme (Jawa). Bukti lain diperkuat
dengan diketemukannya patung hari-hara yang merupakan perwujudan patung Hindu-
Budha, yang dalam pelaksanaan ritualnya juga bercorak Jawa28.
Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha ini berpengaruh besar pada berbagai bidang,
meliputi: a) Agama, rakyat Nusantara memeluk agama Hindu-Buddha, b) Pemerintahan,
munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha diantaranya adalah Kerajaan Kutai
kertanegara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Hindu, Kerajaan Sriwijaya,
Kerajaan Medang Kamulan, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, hingga Kerajaan
Majapahit. c) Tulisan dan bahasa, rakyat Indonesia mengenal huruf Pallawa dan
Sansekerta yang dituliskan pada prasasti-prasasti, d) Arsitektur, seni bangunan bercorak

kesulitan ketika kaum Brahmana meminta qurban kepada kaum-kaum di bawahnya yang meminta tolong untuk
disampaikan doanya kepada dewa-dewa mereka (Hasan, Perkembangan Arsitektur Hindu Budha.)
23
Isbodroini Suyanto, “Faham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elit Kraton Surakarta Dan Yogyakarta”
(Universitas Indonesia, 2002).
24
Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa.
25
Ibid.
26
Dinamika ini tidak lepas dari perkembangan pesat Agama Buddha di India pada masa pemerintahan Raja
Ashoka Vardhana (273-232 SM) yang menjadikan agama Buddha sebagai agama negara. Para ahli
memperkirakan pada abad II Masehi agama Buddha masuk ke Indonesia. Pendapat mereka diperkuat dengan
adanya penemuan arca Buddha yang terbuat dari perunggu di Sempaga (Sulawaesi Selatan), jember (Jawa
Timur), dan Bukit Siguntang (Sumatera Selatan). Dilihat dari ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam
Amarawati (India Selatan) dari abad II-V Masehi. Juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India
Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kalimantan Timur). Pada masa-masa berikutnya pengaruh budaya dan agama
buddha dibawa oleh orang-orang Indonesia sendiri yang belajar di perguruan tinggi Nalanda, India (Hasan,
Perkembangan Arsitektur Hindu Budha.
27
Ibid.
28
Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa.

4
Hindu-Buddha berasimilasi dengan seni bangunan Indonesia, misalnya bangunan candi,
e) Kesusastraan, munculnya kitab-kitab sastra bercorak Hindu-Buddha29.
Selain masuknya agama Hindu dan Budha ke Indonesia (Jawa), juga orang Arab
dengan agama Islamnya pada abad ke 11 Masehi30. Masuknya Islam ke Jawa
mempertemukan berbagai budaya atau tradisi lokal Jawa yang memang telah ada
sebelumnya. Hampir dipastikan bahwa tidak ada wilayah di Jawa yang tanpa budaya,
karena pada dasarnya, masyarakat dalam keadaan apapun tentunya sudah memiliki
budayanya sendiri-sendiri. Karena itulah, ketika Islam datang ke Jawa juga bertemu
dengan budaya setempat yang mengharuskannya untuk ”bernegosiasi” dengan budaya
atau tradisi lokal. Menimbulkankan banyak varian dalam agama—termasuk Islam—yang
disebabkan oleh dialektika budaya pendatang dengan budaya yang sudah ada dan
sebaliknya. Di dalam dialektika ini, keduanya berada di dalam suatu dialog yang saling
memberi dan menerima bahkan saling menguatkan. Inilah keunikan masyarakat Jawa
dengan kebudayannya31.
Agama Islam diterima secara terbuka oleh orang Jawa, tepatnya pada abad ke 13
Masehi berkembang pesat pada hampir seluruh pulau Jawa telah menerima Islam,
bahkan hampir merata ke seluruh pulau di Indonesia. Kedatangan Islam di Jawa terutama
Jawa Tengah dan Timur tidak merubah nilai-nilai budaya yang telah mengakar selama
berabad-abad. Dengan adanya interaksi dan pencampuran berbagai budaya dan agama di
pusat kerajaan Jawa, budaya pra Hindhu-Budha tidak menghilang, namun melahirkan
sinkretisme yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Masuknya Islam berlangsung
dengan halus kecuali di Jawa Timur yang berhadapan dengan kekuasaan Majapahit, di
sini terjadi benturan yang keras antara Hindu-Budha dengan Islam.32 Dampak
percampuran budaya ini masih terasa pengaruhnya hingga sekarang seperti upacara
sekatenan, larung, dan nilai yang menjadi patokan bertingkah laku33. Datangnya agama
Islam di Jawa mampu merubah mitos hubungan manusia dengan alam ghaib terutama
dewata. Pada awalnya, mitos tersebut berfungsi sebagai dasar ritual-ritual dalam keluarga
dan masyarakat untuk memohon keselamatan. Fungsi itu kemudian hilang, digantikan
ritual bentuk baru berupa upacara komunal bersih desa.
Tahap selanjutnya, muncul istilah Monotheisme, yaitu sebuah istilah yang
menempatkan para dewata dalam korpus yang berada di bawah kekuasaan Allah. Setelah
proses panjang, monotheisme ini secara perlahan mengubah wajah holisme Jawa dari
perubahan norma-norma yang bersumber dari hirarki nilai sosio-kosmik menjadi norma-
norma yang berasal dari sumber Islam. Salah satu implikasinya tercermin pada
komunitas di sekitar hutan kramat Krendawahana. Dulu, Krendawahana dipercaya
sebagai hutan angker yang dikuasai oleh Betara Durgi, karena angkernya tidak seorang
pun yang berani masuk, kalaupun ada yang masuk, dia akan menghadapi dua
kemungkinan: mati atau hilang. Karena itu Hutan ini disebut juga alas Gandamayit.
Kalangan Kraton (Mataram pertama) menggunakannya untuk mengadakan upacara
besar-besaran dalam rangka pemujaan kepada Betara Durga. Sejak abad ke-18, Kraton
Solo secara rutin mengadakan upacara “maesa lawung” dalam rangka memperingati hari
jadinya. Di sebelah barat daya pundhen Durga ada sebuah dusun santri bernama kaliasa
yang terletak persis di pinggir alas Gandamayit, ada masjid-masjid dan pesantren-
pesantren yang berdiri sejak lama, dipelopori oleh para ulama yang masuk ratusan tahun

29
Hasan, Perkembangan Arsitektur Hindu Budha.
30
Suyanto, “Faham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elit Kraton Surakarta Dan Yogyakarta.”
31
Nur Syam, ISLAM PERADABAN: Dimensi Normatif Dan Historis (Surabaya, 2009).
32
Sinkretisme adalah paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang
berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dsb. lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 1357
33
Suyanto, “Faham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elit Kraton Surakarta Dan Yogyakarta.”

5
yang silam. Ajaran-ajaran Islam masuk pada sendi-sendi kehidupan masyarakat melalui
simbol-simbol dengan istilah-istilah jawa tanpa harus memaksakan vokabuler Arab yang
sulit diucapkan atau disebut pola kohabitasi dan kohesi sosial antar-tradisi (Jawa dan
Islam) yang berlangsung sekitar 500 tahun silam tepatnya ketika Islam datang34. Agama
Islam tidak merubah total kebudayaan masyarakat, namun berhasil menanamkan nilai-
nilai tauhid pada budaya-budaya dan simbol-simbol yang ada.
Meskipun kerajaan-kerajaan di Jawa sekarang telah kehilangan kekuatan politiknya,
akan tetapi kesatuan lokalnya meninggalkan bekas identitas-identitas kuno yang masih
memiliki integrasi dan ikatan dengan tanah dan kepercayaannya. Menurut kepercayaan
kuno, penghormatan terhadap nenek moyang adalah suatu keharusan demi pemeliharaan
tata kosmis, diperkuat dengan upacara-upacara penghormatan, Ikatan antara bagian dunia
hidup dan bagian dunia mati. Oleh karena konsepsi adanya dua bagian dalam kosmos
dan masyarakat ikut mempunyai arti yang besar sekali pada alam pikiran Jawa, maka
hubungan ritual atau kerohanian dan keduniawian harus dilakukan dengan maksud
melindungi kerajaan sebagai keseluruhan35. Kemungkinan kepercayaan kuno tersebut
mendorong orang Jawa menjadi etnis yang sangat toleran, mudah menerima pengaruh-
pengaruh asing tanpa harus mengorbankan identitasnya. Kemampuan orang Jawa yang
mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial lain, terkait dengan pandangan hidup dan
penekanan tingkah laku seseorang agar nrima, sabar, eilng lan waspada, andap asor,
tepa selira, dan prasaja. Semua itu penting bagi keseimbangan hidup, baik selaku
makhluk individu, mahluk sosial, maupun mahluk ciptaan Tuhan, karena keseimbangan
hidup dapat menciptakan ketenangan dan ketentraman. Ketentraman itu dianggap
memiliki nilai moral yang tinggi dibandingkan dengan tata nilai yang lain, sebab
kedamaian dan ketentraman tidak saja menyangkut kehidupan di dunia, tetapi juga di
akhirat36.
Konsep-konsep pandangan hidup ini mengkristal dalam kesatuan sosiokultural Jawa.
Sistem sosio-kultural tersebut menunjukkan suatu jenis masyarakat yang khusus dalam
suatu kontinum kebangsaan yang khusus pula. Di dalam pertumbuhan dan
perkembangan sejarahnya, dari yang sederhana sampai yang kompleks, kesatuan-
kesatuan dan kebiasaan-kebiasaan kultural yang sudah ada tidak hilang sama sekali.
Sebagai contoh, di dalam periode kuno kebudayaan Jawa, masyarakat desa merupakan
kesatuan sosio-kultural, menjadi bagian dari kerajaan yang terikat. Masyarakat desa ini
lambat laun pada derajat yang berbeda, ditempatkan di bawah pengaruh pusat politik dan
kebudayaan37. Terjadinya berbagai pertikaian dengan bangsa Barat sebenarnya bukan
disebabkan oleh perbedaan agama atau budaya Baratnya, tetapi disebabkan adanya sikap
kesewenangan yang dilakukan oleh para pemuka Barat terhadap bangsa Indonesia
(Jawa). Kalau dalam sejarah perlawanan terhadap Barat diketemukan adanya perlawanan
yang bersifat rasialis ataupun bersifat keagamaan, sebenarnya hanya merupakan pemicu
perlawanan saja. Sebab dalam gerakan sosial, termasuk juga terjadinya perlawanan
terhadap bangsa Barat yang semula bersifat politik, dapat saja diberi ”baju” lain, yakni
”baju” keagamaan ataupun kebangsaan dan sebaliknya. Karena orang Jawa sebenarnya
menerima secara terbuka kehadiran bangsa Barat (Portugis, Spanyol dan Belanda) yang
membawa budaya Barat dan agama Nasraninya masuk ke Indonesia38.

34
Muhaimin AG, “Book Review Islam Jawa: Antara Holisme Dan Individualisme,” Studia Islamika 12, no. 1
(2005).
35
Sartono K. Dalam Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa.
36
Ibid.
37
Sartono Kartodiharjo dalam Ibid.
38
Hasan, Perkembangan Arsitektur Hindu Budha.

6
Dengan jumlah sekitar 100 juta dari hampir 250 juta penduduk Indonesia, etnis Jawa
sekaligus merupakan suku terbesar di Indonesia. Karena kenyataan demografi ini, etnis
Jawa memainkan peran penting dalam berbagai dinamika Indonesia sejak dari sosial,
budaya, agama, ekonomi, politik, dan seterusnya dalam periodisasi sejarah Nusantara39.
Agama Islam di Indoneisa menjadi agama yang bukan saja terbesar di Jawa, tetapi juga
terbesar di dunia. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah dari suku bangsa
Jawa, sudah bisa dipastikan bahwa mayoritas pemeluk agama Islam-pun adalah terdiri
dari orang-orang Jawa40.

C. Masuknya Ajaran Islam di Jawa


Kondisi penyebaran agama Islam pada awal Islamisasi penuh dengan kesulitan,
perjuangan yang membutuhkan kerja keras, baik dalam menegakkan syariah, tauhid,
dan budi pekerti, atau pemikiran-pemikiran Tasawuf yang rumit, semua sumber ajaran
Islam tersebut berbahasa Arab. Dapat dibayangkan betapa sulitnya proses alih budaya
pra-Islam menuju ke budaya Islami, yang meliputi semua sendi kehidupan. Dapat
ditafsirkan bahwa di samping berjuang keras dengan penuh kesabaran dan disertai
pertimbangan yang adil secara mendalam, para penyebar Islam tidak membunuh tradisi
yang ada namun mewarnainya dengan ajaran-ajaran Islam41.

D. Sejarah Pasuruan
1. Pasuruan berasal dari Peradaban Kalingga
Sejarah Kabupaten Pasuruan bermula dari Peradaban Kerajaan Kalingga tahun 742-
755 Masehi, yang pernah dijadikan Ibu Kota Kerajaan kalingga, tepatnya daerah Po-Lu-
Kia-Sien yang ditafsirkan Pulokerto, salah satu nama desa di wilayah Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasoeroean. Setelah masa kejayaan Kalingga berakhir muncullah Kerajaan
Mataram Kuno di bawah kekuasaan Dinasti Sanjaya Tahun 856 Masehi. Pada tahun 929,
Mpu Sindok seorang Raja dari keluarga lain menggeser pusat pemerintahan dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur tepatnya di Desa yang identik dengan Desa Tembelang Jombang.
Mpu Sindok mengeluarkan 20 Prasasti diantaranya terletak di Dusun Sukci, Desa
Bulusari, Kecamatan Gempol Pasuruan. Di Era Majapahit, nama Pasuruan tertulis dalam
Kitab Negara Kertagama Karangan Empu Prapanca42 (abad ke-14) nama Pasuruan
berkali-kali disebutkan.
2. Legenda dan Sejarah Pasuruan
Peneliti Belanda bernama H.J. De. Graaf dan TH. G.TH. Pigeaud membahas
Pasuruan diawali tentang berita-berita kuno berupa legenda dan sejarah. Menurutnya,
sebelum zaman Islam, konon Pasuruan atau Gembong merupakan daerah yang paling
lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur di Singasari (Tumapel). Banyak ditemukan
peninggalan candi Jawa Timur - tempat permakaman raja-raja serta keluarganya. Candi
ini mengindikasikan bahwa raja-raja telah mendirikan tempat tinggal atau (mungkin)
menggarap tanah-tanah perladangan di Pasuruan. Yang termasuk legenda adalah cerita
tentang Danau Grati43.

39
Azumardi Azra, “Book Review Islamisasi Jawa,” Studia Islamika 20, no. 1 (2013).
40
Susatyo, Seni Dan Budaya Politik Jawa.
41
Kalsum, “Simbol-Simbol Ungkapan Pemikiran Dalam Naskah Tasawuf Awal Islamisasi,” Jumantara Vol. 3,
no. 2 (2012), http://www.perpusnas.go.id/magazine/simbol-simbol-ungkapan-pemikiran-dalam-naskah-tasawuf-
awal-islamisasi/.
42
www.pasuruan.go.id, “Sejarah Singkat Kabupaten Pasuruan” (Pasuruan, 2015).
43
Graaf, H.J. De and TH. G. TH. Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke
Mataram” (Jakarta: Grafiti pers, 1985).

7
3. Pasuruan di Awal Abad 16
Untuk menggambarkan Pasuruan lebih detail, Graaf memasukkan pendapat Tome Pires
yang diambil dari buku Suma Oriental. Menurut Tome Pires, pada dasawarsa pertama abad
ke-16 yang menjadi raja di "Gamda"44 adalah putra "Guste Pate" bernama "Pate Sepetat"45.
Menurut Graaf apabila berita-berita Tome Pires dan cerita-cerita Jawa ini ditinjau secara
menyeluruh, maka jelaslah bahwa raja-raja dan penguasa-penguasa "kafir" Jawa di
pedalaman Jawa Timur dan di ujung timur Jawa itu hingga pada dasawarsa-dasawarsa
pertama abad ke-16 memiliki semangat cukup besar. Mereka bertahan terhadap pasukan-
pasukan Islam yang mendesak masuk dari daerah-daerah pantai utara dan dari Jawa Tengah,
yang dipimpin oleh orang-orang bukan Jawa dan yang berdarah campuran. Tradisi
kebudayaan kerajaan-kerajaan "kafir", yang sejak abad ke-13 berpusat di kawasan "di sebelah
timur Gunung Kawi", telah berakar di sana46. Kiranya masuk akal jika "Pijntor" berasal dari
gelar raja Jawa Binatara yang ejaannya telah rusak, dan berasal dari bahasa Jawa Kuno
Bhathara.
Tome Pires menyebutkan Tuban, "Gamda", dan kota-kota pelabuhan Jawa yang pada
zamannya masih di bawah kekuasaan maharaja "kafir" atau patih "Guste Pate"47 264. Tentang
perdagangan di "Gamda" ia tidak dapat memberi gambaran banyak. Tetapi yang penting ialah
berita bahwa "Pate Sepetat", dengan bantuan ayah mertuanya, patih Majapahit, memerangi
raja Surabaya dan menghalang-halangi penyebaran agama Islam di Jawa Timur dan ujung
timur Jawa. Yang sesuai dengan berita sekitar tahun 1515 itu ialah cerita Jawa mengenai
seorang keturunan patih (Majapahit), yang di Sengguruh melawan laskar Islam yang terus

44
Gamda disebutkan dalam Pires, Suma Oriental, hlm.196-198; lihat juga indeksnya. Perkiraan bahwa "Gamda"
dapat dihubungkan dengan Gajah Mada, nama patih Majapahit, terasa menarik karena menurut Tome Pires
tanah itu milik keturunan "Guste Pate". Dalam komentar pada tembang 19-2 dalam Nagara Kertagama (Pigeaud,
Java, jil. IV, hlm. 65) maka daerah Gajah Mada, yaitu tanah Sengguruh dengan pegawai-pegawai raja di
Keraton Surakarta yang disebut Gajah Mati (mungkin sesuai dengan tempat tinggal mereka yang asli) telah
dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang mengherankan ialah bahwa tugas yang dibebankan pada orang-
orang Gajah Mati adalah memelihara kuda-kuda tunggang, sedang menurut Tome Pires memiliki kuda-kuda
merupakan salah satu kekayaan raja-raja "Gamda" dan Blambangan. Pada halaman (52) buku ini dikemukakan
anggapan bahwa nama kota pantai Gamda, seperti yang terdapat dalam Pires, Suma Oriental, ada kaitannya
dengan nama perdana menteri Majapahit, Gajah Mada. Sebagai bandingan pendapat ini, perlu dipertimbangkan
pandangan S.O. Robson yang mengemukakan bahwa Gamda merupakan salah tulis dari kata "Garuda". Nama
itu pada abad ke-17 adalah nama kota pelabuhan sebelah barat dekat Pasuruan, yang pada permulaan abad
tersebut telah terdesak kedudukannya oleh tetangga di timurnya itu. Pada zaman Valentijn, pelabuhan ini telah
merosot menjadi suatu "desa" saja (Valentijn, Oud en Nieuw, jil. IV, hlm. 50). Walaupun tetap merupakan soal
yang merisaukan hati untuk beranggapan bahwa telah terjadi suatu salah tulis, hipotesa Robson ini kiranya perlu
dipertimbangkan (lihat Robson, "Gamda"). Gamda-Garuda lalu harus kita lihat sebagai ibu kota daerah
Pasuruan. Yang dapat merangsang pendapat ini lagi ialah bahwa Pate Sepetat, seperti yang tersebut sebagai
penguasa Gamda-Garuda, kita jumpai dalam Babad Pasuruan sebagai Menak Sapetak, raja Pasuruan. "Gamda",
"Canjtam", Panarukan, dan Pajarakan. Jelas, yang dimaksud dengan nama-nama yang telah berubah-ubah ialah
daerah-daerah yang terkenal dalam sejarah: Singasari dan Pasuruan yang berbatasan dengan Surabaya
45
raja di "Gamda" adalah putra "Guste Pate", mahapatih kerajaan besar "kafir" itu. la bernama "Pate Sepetat",
dan ia menjadi menantu "Pate Pimtor", raja "kafir" yang berkuasa di Blambangan, juga menantu raja Madura.
Nama "Sepetat" ini dapat dihubungkan dengan "Menak Sapetak" atau "Menak Supetak", nama pendiri ibu kota
Pasuruan, tokoh terkenal dalam legenda, yang ayahnya dikatakan seekor anjing 45 263. Kiranya masuk akal jika
"Pijntor" berasal dari gelar raja Jawa Binatara yang ejaannya telah rusak, dan berasal dari bahasa Jawa Kuno
Bhathara
46
Graaf, H.J. De and TH. G. TH. Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke
Mataram” (Jakarta: Grafiti pers, 1985).
47
Dalam Pires, Suma Oriental (hlm. 179 dst.), telah dimasukkan suatu bagian cerita yang menarik tentang adat
istiadat Jawa, dan kemudian disusul dengan sebutan berturut-turut ketiga kota pelabuhan, yang pada zaman
Pires masih di bawah kekuasaan maharaja "kafir" dan "Guste Pate" di tanah pedalaman.

8
mendesak. Itu terjadi sesudah runtuhnya kota kerajaan "kafir" Majapahit pada tahun 152748
265. Sengguruh dahulu termasuk daerah yang oleh Tome Pires disebut "Gamda". Begitulah
anggapan orang.
Apabila berita-berita Tome Pires dan cerita-cerita Jawa ini ditinjau secara menyeluruh,
maka jelaslah bahwa raja-raja dan penguasa-penguasa "kafir" Jawa di pedalaman Jawa Timur
dan di ujung timur Jawa itu hingga pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 memiliki
semangat cukup besar. Mereka bertahan terhadap pasukan-pasukan Islam yang mendesak
masuk dari daerah-daerah pantai utara dan dari Jawa Tengah, yang dipimpin oleh orang-
orang bukan Jawa dan yang berdarah campuran. Tradisi kebudayaan kerajaan-kerajaan
"kafir", yang sejak abad ke-13 berpusat di kawasan "di sebelah timur Gunung Kawi", telah
berakar di sana.

4. Pasuruan pada paruh pertama abad ke-16, legenda dan sejarah


Apabila diakui bahwa daerah "Gamda" yang "kafir" yang diberitakan oleh Tome Pires
itu meliputi daerah Pasuruan, maka dapat dimengerti mengapa tidak ada cerita Jawa
mengenai tempat-tempat (makam) keramat Islam yang terletak lebih timur dari Surabaya. Di
daerah-daerah pesisir Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat kekuasaan jatuh ke tangan
penguasa-penguasa Islam dengan cara bertahap-tahap tanpa banyak perlawanan dari kalangan
anak negeri sendiri. Hal itu disebabkan juga oleh pengaruh pedagang asing yang kaya dan
berwibawa dalam masyarakat. Juga berkat para pendiri jemaah-jemaah Islam pertama yang
dihormati sebagai orang-orang suci. Di daerah yang lebih timur daripada Surabaya pada abad
ke-15 dan ke-16, agaknya golongan pedagang yang membawa agama Islam kurang
berpengaruh di kota-kota pelabuhan dibandingkan dengan raja-raja "kafir" setempat. Waktu
raja-raja Islam dari Demak dan Mataram pada abad ke-16 dan ke-17 ingin menambah daerah-
daerah di ujung timur Jawa pada daerah kekuasaannya, sebagian saja yang berhasil, walaupun
perjuangan mereka sudah semaksimal mungkin. Hanya daerah Pasuruan, yang berbatasan
dengan Surabaya, yang dapat dimasukkan dalam daerah kekuasaan maharaja Islam di Demak
pada paruh pertama abad ke-16.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Tranggana dari
Demak (lihat Bab II-12), Surabaya sudah diduduki pada tahun 1531 dan Pasuruan, empat
tahun kemudian, yaitu tahun 1535. Penaklukan Sengguruh, kubu terakhir "kekafiran" di Jawa
Timur, baru terlaksana pada tahun 1545 (lihat cat. 45). Pada tahun berikutnya Sultan
Tranggana melakukan serangan terhadap kerajaan-kerajaan "kafir" yang lebih ke timur lagi,
di ujung timur Jawa; usaha itu gagal.
Cerita tutur Jawa setempat, yang menyangkut sejarah penguasa-penguasa zaman pra-
Islam yang memerintah Pasuruan dan Sengguruh, masih harus diteliti (lihat cat. 214). Andai
kata penguasa-penguasa "kafir" terakhir di daerah-daerah tersebut termasuk keturunan para
patih Majapahit (= Guste Pate), mungkin sekali mereka atau sanak saudara mereka yang
masih tinggal dengan pengikut-pengikutnya telah menyingkir ke timur, sesudah orang-orang
Islam memperoleh kemenangan. Menurut Tome Pires, raja "kafir" di Blambangan dalam
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16 itu ayah mertua "Pate Sepetat" dari "Gamda".
Dalam uraian Mendez Pinto tentang penyerangan Sultan Tranggana terhadap
Panarukan (yang disebutnya Pasuruan) pada tahun 1546, seorang "laksamana" dari Pasuruan
(yang disebutnya Panarukan) memegang peranan penting. la bertempur di pihak Islam Jawa
Tengah. Jelas, bahwa sesudah penguasa "kafir" diusir dari Pasuruan, maharaja Islam dari
Demak telah mengangkat seorang pengikutnya yang setia menjadi penguasa pemerintahan di
tempat itu. Nama dan asal usulnya tidak diketahui.
48
Tanah Sengguruh disebutkan dalam Bab II-11(dan catatan 45), yang membicarakan perluasan kekuasaan
Demak ke arah timur, dan dalam Bab XI-4, tentang serangan-serangan orang-orang Sengguruh terhadap Giri,
pada tahun 1535, yaitu waktu pasukan Demak menduduki Pasuruan.

9
5. Pasuruan pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah
Kekacauan-kekacauan yang terjadi di Keraton Demak sesudah meninggalnya Sultan
Tranggana pada tahun 1546, dan pengambilalihan kekuasaan kerajaan Islam di Jawa Tengah
oleh raja Pajang, tidak menimbulkan keguncangan di Pasuruan maupun di daerah-daerah
Jawa Timur lainnya. Ketika pada tahun 1581 raja Pajang diakui sebagai sultan oleh Sunan
Prapen dari Giri dalam suatu rapat raja-raja Jawa Timur, menurut cerita tutur Jawa, raja
Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa penyatuan kekuasaan politik raja-raja Islam Jawa
Tengah dan Jawa Timur di bawah pimpinan pemuka agama dari Giri dan Sultan Pajang juga
bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang masih "kafir" yang dibantu
oleh Dewa Agung dari Bali. Raja Pasuruan, yang daerahnya hampir berbatasan langsung
dengan Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan (jika
mungkin, bantuan mereka) dari raja-raja Islam lainnya. Tidak diberitakan bahwa Sultan
Pajang memang juga menguasai daerah Pasuruan.
Menurut cerita tutur Madura Barat, pada paruh kedua dan abad ke-16 raja Aros Baya,
Panembahan Lemah Duwur yang menjadi menantu Sultan Pajang itu, telah berkuasa juga di
seberang, yakni daerah Jawa yang berhadapan dengan wilayahnya di Madura; daerah itu
adalah Sidayu, Gresik, dan Pasuruan49 266. Ada kemungkinan raja yang kuat itu mempunyai
pengaruh di kerajaan-kerajaan tetangganya. Menurut Sadjarah Dalem, anak perempuannya
yang tertua - dari perkawinannya dengan putri Pajang - kawin dengan Adipati Kapulungan di
Pasuruan (Perkawinan ini kemudian batal)50 267. Seseorang yang bernama Ki Gede
Kapulungan disebut namanya dalam sejarah lokal Jawa tentang raja-raja Pasuruan dan
Surabaya51 268. Jika kita teliti tutur Jawa setempat dan bandingkan lebih lanjut, mungkin
akan muncul kepastian lebih banyak tentang sejarah dinasti penguasa-penguasa tersebut pada
abad ke-16.
Ada. petunjuk samar-samar bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 raja Pasuruan
telah berhasil melebarkan sayapnya ke pedalaman Jawa Timur hingga daerah Kediri. Hanya
sedikit yang kita ketahui tentang sejarah kerajaan penting ini pada abad ke-16. Yang
diberitakan pada kronik peristiwa Jawa ialah campur tangan pemuka agama di Giri dalam
urusan daerah pedalaman itu dari tahun 1548 sampai 1552, mungkin untuk memperkuat atau
memulihkan kekuasaan agama Islam di situ (ini telah dibicarakan di bab XI-5, pemerintahan
Sunan Prapen). Pada tahun 1579 serangan-serangan pasukan raja Pasuruan telah menghabisi
riwayat kekuasaan raja "kafir" di Kediri itu.
Dapat diperkirakan bahwa di Kediri, salah satu kota utama Kerajaan Majapahit,
setengah abad sesudah didudukinya kota kerajaan yang lama, masih terdapat perlawanan
terhadap kekuasaan maharaja Islam di Pajang. Mungkin juga perlawanan berkobar kembali
setelah jatuhnya Kesultanan Demak. Tradisi "kafir" daerah tua itu kiranya memegang
peranan yang pokok dalam perlawanan terhadap orang-orang Jawa Tengah. Pada waktu yang
sama, raja Islam di Pasuruan mungkin telah berhasil memperkukuh kekuasaannya atas bagian
tengah Kerajaan Majapahit (termasuk Sengguruh yang masih lama tetap "kafir"), hingga
tentaranya dapat bergerak ke arah barat lewat bagian hilir Sungai Brantas, hingga dapat
mencapai Kediri. Raja Pasuruan ini (yang belum kita ketahui namanya) mungkin sudah
49
Mengenai Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya, lihat Bab XIII-3 dan Graaf, Senapati (hlm. 57 dst.).
50
Keturunan Panembahan Lemah Duwur dicantumkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 216 dst.).
51
Lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 272. Aneh, bahwa dalam cerita wayang Banyuwangi muncul Danyang
Kapulungan yang bersanggama dengan anjing. Hal ini pun dikenakan bagi Adipati Dengkol, anak Menak
Sapetak (Pigeaud, Literature, jil. II hlm. 61). Kapulungan ini letaknya cukup jauh di sebelah barat Pasuruan.
Distrik Kapulungan sering disebut dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 194 dan 357, di bawah
"Pulungan"). Sebelum zaman Islam tempat ini sudah penting. Pulungan disebutkan dalam cerita mitos mengenai
pembagian dwitunggal Pulau Jawa oleh Bharada (Empu Bradah); lihat komentarnya pada Nagara Kertagama
tembang 68 (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 201-205).

10
hampir berhasil - sesudah kira-kira 50 tahun - memulihkan Kerajaan Majapahit di Jawa
Timur, tetapi sekarang di bawah kekuasaan Islam.
Dalam cerita historis Jawa Tengah mengenai munculnya dinasti Mataram dalam
dasawarsa terakhir abad ke-16 disebut juga seorang raja Pasuruan. Sesudah menduduki
Madiun pada tahun 1590, Senapati Mataram yang masih muda itu di dekat kota tersebut
mendapat kemenangan atas Adipati Kaniten dalam pertempuran berkuda. Adipati Kaniten
adalah seorang bawahan raja Pasuruan. Kemenangan dekat Kali Dadung pada tahun 1591 itu
tidak menghasilkan perluasan wilayah raja Mataram ke timur. Sekembalinya, atas perintah
raja Pasuruan, Adipati Kaniten dibunuh sebagai hukuman karena ia telah mundur perang,
suatu hal yang sangat memalukan52 269.
Kaniten ini nama daerah. Dalam kronik-kronik Jawa, pada permulaan abad ke-16,
(tahun 1510 M. ), telah dicantumkan munculnya keluarga penguasa Kaniten. Dapat
diperkirakan bahwa seorang Adipati Kaniten pada tahun 1590 atas perintah raja Pasuruan,
yang menganggap Kediri termasuk wilayahnya, berkewajiban menahan Senapati Mataram
bergerak lebih jauh ke sebelah timur Madiun53 270.
Raja Pasuruan, yang pada perempat terakhir abad ke-16 telah berhasil meluaskan
kekuasaannya mungkin sampai dengan Kediri, di ujung timur Jawa pun konon bertindak
keras. Kerajaan "kafir" Blambangan pada tahun 1596 dan 1597 telah diserang oleh tentara
Islam dari Pasuruan. Pada tahun 1600 atau 1601 kota Kerajaan Blambangan direbut. Orang-
orang Bali, yang dikirim oleh raja Gelgel untuk membantu, tidak dapat menghalang-halangi
kerajaan "kafir" penting yang terakhir di Jawa. Peristiwa-peristiwa itu dapat disimpulkan dari
pemberitaan pelaut-pelaut Belanda yang pertama (pimpinan Cornelis de Houtman), yang
pada tahun 1597 singgah di Blambangan. Dalam pembicaraan mengenai sejarah daerah itu
(Bab XVII-4) akan diperhatikan lagi perluasan daerah yang dilakukan oleh raja Islam di
Pasuruan pada akhir abad ke-16.

6. Sultan Agung dari Mataram Merebut Pasuruan pada tahun 1616


Hubungan antara raja-raja Pasuruan dan Surabaya pada perempat terakhir abad ke-16
mungkin erat. Ketika pada tahun 1589 gabungan raja-raja Jawa Timur dan Pesisir dekat Japan
(Mojokerto) menghentikan gerakan pasukan Senapati Mataram ke timur, menurut cerita tutur,
raja Pasuruan juga membantu raja Surabaya, lawan terpenting penakluk dari Jawa Tengah itu.

52
Adegan cerita tentang Adipati Kaniten dalam buku-buku sejarah Jawa Tengah, yang menceritakan hidup
Senapati Mataram, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 112-114) dan dalam Bab XX-6.
53
Dalam Tuuk, Woordenboek (jil. II, hlm. 33) "Kaniten" disebutkan: (1) sebagai nama distrik di Magetan
(daerah Madiun) dan (2) sebagai nama keturunan berderajat keningratan tinggi yang mempunyai hubungan
keluarga dengan Blambangan. Sebagai nama keluarga Bali-Jawa, Kaniten tercantum dalam cerita tutur historis
Bali (Pamancangah, lihat karangan Berg, Traditie, catatan pada hlm. 145) sehubungan dengan direbutnya
Blambangan oleh raja Bali di Gelgel pada paruh kedua abad ke-16. Kedua Kaniten ini sukar dihubungkan satu
sama lain. Menurut Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 123), anak Senapati Mataram yang agak muda, yang
lahir dari perkawinannya dengan putri Madiun, diberi nama Raden Mas Kinitren. Kelak pangeran ini mendapat
gelar Adipati Martalaya dari Madiun. Dapat diperkirakan bahwa nama Kinitren ini ada hubungannya dengan
Kaniten, dan bahwa Kinitren ini bahkan bentuk lama nama Kaniten (di Yogyakarta ada kampung yang terkenal
dengan nama Mitten; kitri ialah kata dari bahasa lama yang menyatakan hak milik berwujud tanah ladang
dengan pohon-pohon buah-buahan). Pangeran Mataram ini kiranya dapat diberi nama Raden Mas Kinitren,
berdasarkan relasi yang ada antara ibunya (asal Madiun) dan "kerajaan" kecil lama Kaniten. Akhirnya, ada
baiknya disebutkan juga suatu daftar yang sangat menarik, yang mungkin baru disusun pada abad ke-19, yang
memuat 101 "putra dan putri" Raja Brawijaya yang terakhir dari Majapahit yang dicantumkan dalam
Padmasoesastra, Sadjarah Dalem. Putra ke-86 (hlm. 111) pada daftar itu adalah Raden Keniten. Nama-nama
yang dicantumkan pada daftar ini dalam banyak hal dikenal dari sejarah politik atau dari kesusastraan Jawa.
Disebutkannya Kaniten dalam daftar itu (seperti juga Tembayat, dengan nomor urutan yang lebih lanjut)
menunjukkan bahwa nama ini masih dikenal pada abad ke-19.

11
Ada petunjuk bahwa para penguasa di Surabaya, Kapulungan, dan Pasuruan sekitar tahun
1600 mempunyai hubungan keluarga54 271.
Ketika cucu Senapati Mataram pada tahun 1613 naik tahta, ia melanjutkan siasat politik
ekspansif dinastinya. Para prajurit yang harus mempertahankan ibu-ibu kota di Jawa Timur
dan daerah-daerah Pesisir yang besar dan sudah maju itu tidak mampu bertahan terhadap
Mataram yang gagah berani. Pada tahun 1616 atau 1617 Pasuruan diduduki oleh pasukan-
pasukan Sultan Agung. Hal itu sudah pasti karena dikuatkan oleh berita-berita Belanda.
Waktu itu Batavia belum didirikan (1619). Menurut cerita tutur Jawa Tengah, yang
mempertahankan Pasuruan ialah seorang tumenggung dari Kapulungan. Setelah menderita
kekalahan itu, ia melarikan diri ke Surabaya55.
Sesudah Kerajaan Majapahit surut, berdirilah Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan
Giri Kedaton, Kerajaan Pajang, dan Kerajaan Mataram56. Surut Kerajaan Majapahit
disebabkan terpecahnya para pemimpin juga oleh pengaruh perkembangan agama Islam.
Majapahit runtuh, sebagian besar rakyatnya ikut memeluk agama Islam dengan
meninggalkan budaya Jawa yang bercorak animistik-hinduistik, dan mengikuti ajaran
para wali. Namun, sebagian kecil yang tetap memeluk agama nenek moyangnya,
melarikan diri ke daerah lain diantaranya di bagian selatan Pasuruan, orang mengenalnya
dengan daerah Tengger57. Pangeran Majapahit (anak Brawijaya V) yang telah memeluk
Islam dengan dukungan para wali mendirikan Kerajaan Demak58. Setelah era Demak
berakhir, dilanjutkan Kerajaan Pajang berpusat di pedalaman59 yang dipimpin oleh Jaka
Tingkir60. Setelah era Kerajaan Pajang berakhir, muncullah kerajaan Mataram yang
dipimpin oleh Panembahan Senopati (1575-1601). Kemudian diteruskan oleh Mas Jolang
bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613).
Perkiraan hidupnya Mbah Sholeh Semendi sekitar awal abad XVI hingga tahun
1743, ketika Pasuruan dipimpin mulai dari Adipati Pate Supetak, Kiai Gedee
Dermoyudho I, Kiai Gedee Dermoyudho II, Mas Pekik dengan gelar Kiai Dermoyudho
(III), Kiai Onggojoyo, Untung Suropati, Rakhmad, Onggojoyo yang bergelar
Dermoyudho (IV), Setelah beberapa kali berganti pimpinan, hingga Raden Ario
Wironegoro. Masa ini (1601-1749), Pasuruan di bawah kekuasaan Mataram yang
dipimpin mulai dari Mas Jolang, Raden Rangsang/Sultan Agung (1613-1646) menguasai
Pasuruan61, Mangkurat I, Mangkurat II, Mangkurat III, Sunan Pakoeboewono I,
Mangkurat IV, hingga Sunan Pakoeboewono II62.
Adipati Pasuruan diteruskan oleh Kiai Ngabai Wongsonegoro bergelar Tumenggung
Nitinegoro, yang beristri seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari
Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel
dan Raden Ayu Berie melahirkan Raden Groedo. Raden Groedo yang masih berusia 11
tahun menggantikan Tumenggung Nitinegoro menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar

54
Dalam Graaf, Sultan Agung (hlm.18 dan berikutnya), telah dicantumkan beberapa pemberitaan tentang
Pasuruan pada permulaan abad ke-17.
55
Graaf, H.J. De and TH. G. TH. Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke
Mataram” (Jakarta: Grafiti pers, 1985).
56
www.pasuruan.go.id, “Sejarah Singkat Kabupaten Pasuruan” (Pasuruan, 2015).
57
www.pasuruan.go.id, “Legenda Banyu Biru.”
58
Ahmad Nurhamid, “Arya Penangsang Gugur: Antara Hak Dan Pulung Kraton Demak Bintara,” Dinamika
Bahasa & Budaya 3 (n.d.): 105–115.
59
Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” (n.d.).
60
Muhammad Yusuf Makhfud, “Konflik Politik Kerajaan Demak Setelah Wafatnya Sultan Trenggono Tahun
1546-1549,” Artikel Ilmiah Mahasiswa (2015): 1–10.
61
http://www.kemendagri.go.id, “Profil Daerah,” /kabupaten/id/35/name/jawa-timur/detail/3514/pasuruan.
62
http://id.wikipedia.org, “Babad Pasuruan.”

12
Kiai Adipati Nitiadiningrat (I). Di masa beberapa Adipati ini, Mbah Sholeh Semendi
diperkirakan sudah wafat jika dianalisis dari usianya.
Adipati Nitiadiningrat (I) menjadi Bupati Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8
November 1799) dan mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama Kiai Hasan Sanusi
(Mbah Slagah) putra dari Sa’ad bin Syakaruddin yang masih keturunan Mbah Sholeh
Semendi. Kemudian Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya
dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng
Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo
dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Penggantinya adalah Raden Amoen
Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario
Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I
sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan
Mbah Surga-Surgi63.

E. Sejarah dan Mitos Masyarakat Winongan


Pasuruan merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja yang beragama
Hindu. Hal ini diperkuat dengan keberadaan Patih Gajah Mada (di masa tua) yang
mendapatkan tanah perdikan bernama Madakaripura. Madakaripura ditemukan oleh A.
Gomperts, bahwa Madakaripura merupakan sebuah dusun bernama Dadapan di desa
Grogol, dua kilo meter di sebelah timur laut kecamatan Gondang Wetan, kabupaten
Pasuruan. Berdasarkan asumsi ini, penulis asal Inggris Hadi Sidomulyo melihat
kemungkinan bahwa Madakaripura terletak di kabupaten Pasuruan, antara Grogol dan
desa Winongan, 6 km di sebelah tenggaranya64. Dari penemuan tersebut, memperkuat
pengaruh Hindu Majapahit di masa itu, khususnya di Winongan.
Winongan sebagai ibukota pertama Pasuruan, pernah menjadi sebuah kerajaan yang
dipimpin oleh raja pertama bernama Murdangkoro di bawah kekuasaan Majapahit. Hal
ini selaras dengan buku Cerita Rakyat dari Pasuruan (Jawa Timur) yang dikarang oleh
Deny Wibisono65. Dia memimpin Kadipaten Pasuruan dengan adil dan Bijaksana hingga
usia tua. Satu-satunya orang kepercayaannya adalah Pangeran Ngrangrangkusuma,
pembuat pusaka. Adipati kemudian digantikan Pangeran Ngrarangkusuma setelah
Murdangkoro meninggal. Pangeran Ngrarangkusuma mengangkat penasehat bernama
Joko Unthuk atas jasanya mengatasi kegegeran ulah kerbau di alun-alun Kadipaten66.
Legenda lain menceritakan seorang tokoh yang dikaitkan dengan budaya keris, yaitu
"Pangeran Winongan". Awalnya, Pangeran Winongan67 adalah anak dari seorang Putri
kerajaan Majapahit bernama Tatiban atau Nyai Teng yang memiliki 25 anak, dan

63
Ibid.
64
https://id.wikipedia.org, “Madakaripura.” Dari sumber yang sama menjelaskan Madakaripura adalah nama
tanah perdikan yang dimiliki mahapatih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Kepercayaan umum
menempatkan tanah ini di kecamatan Tongas, Probolinggo, Jawa Timur. Pandangan ini didasarkan pada nama
Mandhala Hambulu Traya yang disebut dalam Nagarakertagama (1365), yang disamakan dengan desa Ambulu
di kecamatan tersebut : Mwang ring mandhala hambulu traya teke dhadhap adulur ikang rawalaris, "Dan di
Mandhala Hambulu Traya iringan kereta berjalan terus sampai Dhadhap" (19:Id).
65
bookstore.google.com, “Cerita Rakyat Dari Pasuruan (Jawa Timur).” Ditulis oleh Deny Wibisono
66
http://www.kaskus.co.id, “Joko Unthuk Cerita Masyarakat Winongan Pasuruan.”
67
http://id.rodovid.org, “Orang:188514.”. Sumber ini berbeda dan menjelaskan bahwa Pangeran Winongan
adalah keturunan Ratu Ayu Winongan istri dari Sultan Trenggono.

13
dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Namun, salah satu anaknya tidak masuk ke
kawah Bromo, tetapi jatuh di danau Banyu Biru. Anak tersebut diselamatkan oleh mPu
Supo, dan diajari cara-cara pembuatan keris. Setelah dewasa, anak tersebut mengabdi di
Kraton Majapahit. Karena hasil karyanya, dia dianugerahi jabatan sebagai Adipati
Winongan yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Winongan. Legenda Lain,
menceritakan mPu Supogati yang berhasil mencari pusaka Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring. mPu Supogati lantas dihadiahi tanah perdikan di daerah Winongan oleh raja
Majapahit dan mendapat jabatan sebagai Demang, rakyat sekitar menyebutnya sebagai
Pangeran Winongan68.
Di Winongan terdapat danau banyubiru, secara geografis masih satu Kecamatan
Winongan, yang nilai sosial budayanya tidak jauh berbeda. Kepercayaan akan suatu hal
mistis (mitos) masih cukup melekat pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya 69.
Masyarakat Hindu Bali meyakini wilayah tersebut dibangun nenek moyangnya yang
terdampar dalam perjalanan menuju Bali pada masa akhir kejayaan Kerajaan
Majapahit70. Legenda lain menceritakan tentang seorang manusia bernama Tombro, sang
penggembala yang sedang menunggu kerbau-kerbaunya di hutan. Karena kerbau-
kerbaunya tak kunjung datang, Tombro pun pergi menyusuri hutan untuk mencarinya,
dan menemukan kerbau-kerbaunya terjebak di kubangan lumpur. Setelah Tombro
mengeluarkan mereka dari kubangan lumpur tersebut, dia melihat kubangan lumpur itu
berubah menjadi kolam air yang jernih nan kebiruan. Kabar tersebut didengar oleh
Bupati Pasuruan yang bertama yakni Raden Adipati Nitiningrat. Bupati tersebut
mengajak saudagar dari Belanda yang bernama PW Hoplan. Kemudian kolam tersebut
dibangun oleh Belanda sebagai pemandian umum dan diberi nama telaga wilis. Agar
terlihat indah, kolam tersebut dihiasi dengan taman dan diberi sebelas patung yang
diambil dari Singosari71.
Di Desa Winongan, hidup seorang Guru Padepokan bernama Labuh Geni yang
mempunyai banyak pengikut. Bahkan Labuh geni mempunyai pengaruh sampai se
wilayah Jawa Timur. Labuh Geni adalah sosok yang memiliki kesaktian dengan andalan
kesaktian berupa Geni (api) yang sekaligus menjadi julukannya, juga mempunyai
kesaktian lain berupa udeng yang bisa terbang. Padepokan adalah salah satu ciri
Perguruan dari agama Hindu pada waktu itu, di era Islam menjadi Pondok Pesantren.
Padepokan berasal dari bahasa Jawa Kawi, yang mempunyai arti: Dhepokan:
”lenggahan” atau tempat duduk (bersila), Phadepokan: ”pratapan” yang berarti tempat
pertapaan, dan Depok: Duduk bersila di hadapan guru yang sedang memberikan
pelajaran, dan tinggal di tempat yang disediakan guru di lingkugan tempat tinggalnya
untuk belajar dalam jangka waktu tertentu. Jadi, padepokan adalah tempat untuk
mendapat pelajaran dari seorang guru dengan cara duduk bersila dalam waktu tertentu72.
Di masa Kerajaan Winongan ini, ada seorang perantau yang datang di Winongan
yakni Mbah Sholeh Semendi. Ia populer setelah menang dalam adu kesaktian melawan
Labuh Geni, kemudian menjadi pelopor penyebaran ajaran Islam di Winongan. Setelah
wafat, ia dimakamkan di Winongan yang menjadi tempat perjuangannya. Tata cara
berziarah dan penghormatan pada makamnya, melahirkan mitos bahwa berziarah ke
makam Mbah Sholeh Semendi membawa keberkahan dan kedamaian.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa di Winongan dulu pernah ada Kerajaan
Winongan yang menganut ajaran Hindu beserta penduduknya yang berada di bawah

68
http://bloraku.com, “Diskusi Tentang Budaya Keris Dan Tombak.”
69
http://www.kompasiana.com, “Misteri Di Telagawilis.”
70
http://m.detik.com, “Wolipop.”
71
http://nasional.news.viva.co.id, “Mitosnya Ikan-Ikan Ini Pengawal Majapahit Yang Dikutuk.”
72
Djunaedi, “Pusat Seni Bela Diri Pencak Silat Di Tangerang” (n.d.): 1–16.

14
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Sedangkan Rajanya muncul nama Raja Murdangkoro,
Raja Ngrangrangkusuma, Adipati Winongan, dan Labuh Geni. Mengenai Labuh Geni,
ada yang berpendapat ia adalah Raja Winongan di masa Mbah Sholeh Semendi hidup
dan ada yang berpendapat ia adalah seorang guru padepokan. Kerajaan Winongan dan
Raja-raja ini tumbuh dalam legenda Winongan dan Pasuruan. Secara arkeologis, belum
ditemukan bukti ilmiahnya. Namun, Ada bukti tentang keberadaan Mbah Sholeh
Semendi, Labuh Geni, Raja Murdangkoro, dan Raja Ngrangrangkusuma yakni
makamnya yang berada satu Wilayah Winongan. Sedangkan bukti keberadaan Mbah
Sholeh Semendi lebih dikuatkan dengan adanya beberapa petilasan.

15
BAB III
Mbah Sholeh Semendi

Untuk mengungkap secara ilmiah tentang Mbah Sholeh Semendhi, penulis


melakukan studi, baik studi literatur maupun studi lapangan. Dalam studi literatur,
penulis menggunakan 3 buku yaitu buku Permata Teladan yang ditulis oleh Mokh.
Syaiful Bakhri, Sejarah Cirebon ditulis oleh P.S. Sulendraningrat, Singgasana Raja Yang
Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan ditulis oleh Dinillah Arifah dkk yang
diedit oleh Mokh. Syaiful Bakhri, dan jurnal yang ditulis oleh El-Mahrus Mawa berjudul
Rekonstruksi Kejayaan Islam Di Cirebon; Studi Historis Pada Masa Syarif Hidayatullah
(1479-1568). 3 buku dan 1 jurnal tersebut sebagai referensi untuk menyingkap silsilah,
pengaruh ajaran secara genealogis dan kehidupan Mbah Sholeh Semendi. Selain
referensi tersebut, penulis mengambil referensi dari jurnal-jurnal dan internet sebagai
pendukung, di samping juga untuk mengetahui sejauh mana sejarah Mbah Sholeh
Semendhi berkembang di masyarakat Pasuruan yang tercermin dalam situs internet.
Melalui situs-situs internet, baik internet lokal Pasuruan maupun internet yang
dimunculkan oleh kalangan masyarakat Banten dan Cirebon sebagai asal daerah obyek
yang diteliti. Penulis menelusurinya sebagai komparasi, dengan harapan memperoleh
data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam studi lapangan, penulis menggali informasi dari beberapa orang
diantaranya keturunan Mbah Sholeh Semendhi, masyarakat, dan peziarah. Sedangkan
sumber langsung yang diakui sebagai keturunan Mbah Sholeh Semendi, penulis
wawancara langsung dengan Habib Abdullah beralamat di Winongan dekat makam
obyek penelitian.
Untuk mencari sumber lapangan yang diakui sebagai keturunan Mbah Sholeh
Semendhi tersebut, ada salah satu pengurus LTM NU Kabupaten Pasuruan yang
memberikan petunjuk. Namanya H. Buchori dari Ambal ambil Kejayan, yang mengaku
kenal dengan orang yang masih punya garis nasab dengan Mbah Sholeh Semendi,
namanya Kyai Halim, seorang anggota DPRD Kabupaten Pasuruan. Mereka saling kenal
ketika melaksanakan ibadah Haji berada dalam satu rombongan, di situlah mereka saling
berinteraksi hingga muncul informasi bahwa beliau masih mempunyai garis nasab
dengan Mbah Sholeh Semendhi. Pagi-pagi sekitar jam 7 pagi tanggal 11 Januari 2016,
penulis dan H Buchori berangkat untuk wawancara dengan keturunan Mbah Sholeh
Semendi yaitu Kyai Halim, namun sesampai di kediamannya, beliau tidak ada karena
sedang melakukan kunjungan kerja ke suatu daerah sehingga kami ditemui putranya.
Ketika kami ingin melakukan wawancara, ia tanya kepada saudaranya, dan saudaranya
itu memberikan petunjuk, bahwa keturunan Mbah Sholeh Semendi yang masih hidup
saat ini yaitu Habib Abdullah atau dikenal dengan pangilan yek dullah. Akhirnya, kami
langsung menuju ke kediaman Habib Abdullah yang terletak di Desa Bandaran
Kecamatan Winongan Pasuruan. Alhamdulillah, kami dapat bertemu langsung dengan
beliau dan melakukan wawancara.
Maksud dari cerita di atas, untuk memberikan gambaran bahwa Habib Abdullah
adalah keturunan Mbah Sholeh Semendi. Di samping karena kediamannya dekat dengan
makam Mbah Sholeh Semendhi, juga yang merawat makam dan meneruskan tradisi
keluarga untuk mendo’akan Mbah Sholeh Semendi di waktu tertentu, bahkan ia adalah
penanggungjawab kegiatan haul tiap tahunnya. Hal ini dilakukannya atas dasar wasiat
dari orang tuanya sebelum meninggal beberapa tahun yang lalu.

16
A. Leluhur Mbah Sholeh Semendi
Di bagian ini, penulis memaparkan asal-usul leluhur Mbah Sholeh Semendhi yang
lebih banyak mengungkap Sunan Syarif Hidayatullah yang diakui oleh masyarakat
Pasuruan sebagai kakeknya. Setelah itu penulis memaparkan Sultan Hasanuddin yang
diakui oleh masyarakat Pasuruan sebagai ayahnya. Dan tentang hubungan Syarifah
Khadijah, Sayyid Sulaiman dan Untung Surapati untuk mengungkap silsilahnya, juga
untuk mengungkap tahun keberadaan Mbah Sholeh Semendhi serta kehidupannya yang
saling terkait.
Menurut Ensiklopedi Ulama Nusantara, Syarif Hidayatullah dilahirkan pada tahun
1448 M. di Mesir dari perkawinan Raja Abdullah (Syarif Abdullah) dengan Rara
Santang-putri Prabu Siliwangi raja Pajajaran Raden Manah Rarasa-yang bergelar
Syarifah Mudaim. Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda adalah pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina73. Pada masa remaja, ia pulang ke Cirebon, dan
kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati74. Pada usia 120 tahun (tahun 1568), beliau
dipanggil sang Khalik dan dikebumikan di Gunung Sembung Cirebon. Syarif
Hidayatullah masih termasuk keturunan Rasulullah SAW, dalam urutan ke-2275.
Dalam budaya Jawa Barat, Sunan Gunung Jati mempunyai leluhur bernama Syekh
Jumadil Kubra. Tarikh Banten dan Cirebon, walaupun memiliki sedikit perbedaan,
mencatat genealogi pendeknya seperti berikut: Nabi Muhammad, Ali dan Fatimah, Imam
Husain, Imam Zainal Abidin, Imam Ja’far Sadiq, Seh Zainal Kubra (atau: Zainal Kabir),
Seh Jumadil Kubra, Seh Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hud dan Ratu Fatimah,
Muhammad Nuruddin (yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati)76.
Syekh Jumadil Kubra77 adalah satu-satunya yang menjadi acuan dari legenda tertulis
pada teks literatur Jawa. Babad Cirebon tidak hanya mencatatnya sebagai leluhur sunan

73
Martin Van Bruinessen, “Najmuddin Al-Kubra , Jumadil Kubra Dan Jamaluddin Al-Akbar (Jejak Pengaruh
Kubrawiyya Pada Permulaan Islam Di Indonesia),” Al-Qurba 1, no. 1 (2010): 24–57.
74
P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Pertama. (Jakarta: Balai Pustaka, 1985). h. 72. Ini juda dikutip oleh
https://sangpenangsang.wordpress.com/2012/04/22/buka-buku-16-anak-istri-sunan-gunung-jati/ Buka Buku 14:
Anak Istri Sunan Gunung Jati Posted on 22 April 2012 by Kang Nass, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809 oleh Nassirun Purwokartun
75
El-Mawa Mahrus, “Rekonstruksi Kejayaan Islam Di Cirebon; Studi Historis Pada Masa Syarif Hidayatullah
(1479-1568),” Jumantara, April 2012, http://www.perpusnas.go.id/magazine/rekonstruksi-kejayaan-islam-di-
cirebon-studi-historis-pada-masa-syarif-hidayatullah-1479-1568/.
76
Bruinessen, “Najmuddin Al-Kubra , Jumadil Kubra Dan Jamaluddin Al-Akbar (Jejak Pengaruh Kubrawiyya
Pada Permulaan Islam Di Indonesia).” di catatan kaki, Bruinessen menyebut beberapa sumber yaitu Edel
1938:123, 149, 253: Brandes dan Rinkes 1911: Canto 13; cf. Djajadiningrat 1913:17,106. Tidak ada nama Ja’far
Sadiq dalam SBR dan Babad Cirebon hanya menyebut satu dari dua Jumadi, dan Djajadiningrat mencatat nama
yang terakhir dalam susunan terbalik. Sumber lain menyebut silsilah Syekh Jumadil Qubro (Maulana Ahmad
Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin
Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi
bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah), yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II yaitu Puteri
Selindung Bulan. Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang
pelopor penyebaran Islam di Tanah Jawa, dan makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang,
Trowulan, atau di Desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul
merupakan kuburnya. (sumber id.wikipedia.org/23walisanga)
77
Dalam genealogi nama terakhir, babad juga berisi nama lain, setelah Jumadil Makbur, yang menunjukkan
hubungan dengan Kubrawiyya, adalah Shaikh Aswa al-Safaranin (atau dalam manuskrip yang lain Sagharnane,
atau Safarana’i), yang pasti merupakan perubahan nama dari Isfara’ini. Kota Iran bagian timur, yang merupakan
pusat utama Kubrawiyya, dan beberapa shaikh yang berpengaruh dari aliran sufi tersebut juga memakai nisba
ini (namun nama Aswa tidak mirip dengan Isfara’ini yang sudah dikenal)

17
Gunung Jati, tetapi juga leluhur wali yang lain seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan
juga Sunan yang paling dimuliakan di Jawa, Sunan Kalijaga78.
Literatur babad menyebut Syarif Hidayatullah dengan berbagai nama seperti Sa’id
Kamil, Muhammad Nuruddin, Nurullah Ibrahim dan Maulana Shaikh Madhkur, dan
menyebutkan daerah kelahirannya di Mesir atau di Pasai, Sumatera Utara. Nampak
banyak tokoh yang menyejarah dan melegenda lebur menjadi seseorang yang disebut
Sunan Gunung jati79. Ia dikaitkan dengan kisah tak masuk akal, diantaranya adalah
bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Semua itu
hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati80. Ia
pernah beberapa kali menikah81, pernikahannya dengan Nyai Ratu Kawunganten

78
Ibid. Versi ini berbeda dengan tulisan dalam buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH.
Mohammad Dahlan tentang majlis dakwah walisongo, bahwa syeh Jumadil Kubra masuk Angkatan ke-1 (1404
– 1435 M), yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil
Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar
(wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh
Muhammad Al-Baqir.
79
Ibid.
80
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana
ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan
Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan
antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang
kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari
jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Sumber
Agus Sutiyono, Kearifan Budaya Jawa Pada Ritual Keagamaan Komunitas Himpunan Penghayat Kepercayaan
(HPK) Di Desa Adipala Dan Daun Lumbung Cilacap Jawa Tengah (Semarang, 2014).
81
Syarif Hidayatullah menikah dengan beberapa wanita yaitu: 1) Nyai Babadan pada tahun 1471 M, seorang
putri Ki Gedheng Babadan, 2) Nyai Kawunganten (Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten), seorang adik
Bupati Banten bawahan Kerajaan Pajajaran Pakuwan pada tahun 1475 M., menurunkan dua orang putra-putri.
Yang pertama Ratu Winahon pada tahun 1477 M., dan yang kedua Pangeran Sebakingkin pada tahun 1479 M.,
yang pada tahun 1526 M. menjadi Bupati Banten di negara Banten sebagai wakil ayahandanya ialah Sunan
Gunung Jati bergelar Pangeran Hasanuddin yang pada tahun 1568 M. setelah wafatnya Syarif Hidayatullah
mertjadi Sultan Hasanuddin Sultan Banten pertama yang berdaulat penuh. 3) Pada tahun 1478 M. menikah
dengan Nyai Pakungwati, seorang putri Rama Uwanya ialah Pangeran Cakrabuana sebagai permaisuri,
bersemayam di Kraton Pakungwati (dalam bahasa Cirebon padmi), yang kemudian mengangkat dua orang
putranya Nyai Lara Bagdad dan Pangeran Adipati Muhammad Arifin/Pangeran Pasarean sebagai anaknya
sendiri. 4) pada tahun 1481 M. menikah dengan seorang putrì Raja di Raja yang bernama Kaisar Hong Gie
penerus dari Kaisar Yung Lo dari keturunan dinasti Ming (1368 M. -1642 M). Putrì ini Ong Tien/ Li A Nyon
Tin (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding) dan wafat pada tahun 1485 M., meninggalkan seorang anak
angkat dari Ki Gedheng Luragung yang diberi nama Pangeran Kuningan diakui oleh Sinuhun Jati sebagai anak
beliau. 5) Nyai Lara Bagdad/Nyi Mas Rara Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta), yang disebut pula Syarifah
Bagdad, seorang adik dari Maulana Abdurakhman Bagdad yang nantinya disebut pula Pangeran Panjunan pada
tahun 1484 M., menurunkan dua orang putra: Yang pertama Pangeran Jayakeiana pada tahun 1486 M. Yang
kedua Pangeran Bratakelana pada tahun 1489 M., alias Pangeran Gung Anom. 6) Nyai Tepasan, seorang putrì
Ki Ageng Tepasari pada tahun 1490 M, mempunyai seorang putri bernama Ratu Ayu yang pada tahun 1511 M.
menikah dengan Pangeran Sebrang Lor. Kemudian setelah janda ditinggal mati menikah lagi dengan Ki
Fadilah/Falatehan pada tahun 1524 M. dan seorang putra bernama Pangeran Pasarean (Pangeran Adipati
Muhammad Arifin) yang meneruskan ayahandanya, Sunan Gunung Jati. Paparan ini sama dengan Sumber yang
diambil dari Purwaka Caruban Nagari, buku sejarah Cirebon, dan internet yang diposting oleh H. Herlliana,
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Dan Fatahillah Part.1 dalam
http://gapurasunda.blogspot.co.id/2011/01/syarif-hidayatullah-sunan-gunung-jati_16.html yang disarikan dari

18
melahirkan Nyai Ratu Winahon tahun 1477 M dan Maulana Hasanudin tahun 1479 M82.
Nama Maulana Hasanuddin ini yang dikaitkan dengan Mbah Sholeh Semendhi, ia
disebut sebagai ayahnya.
Sultan Hasanuddin83 atau Pangeran Sebakingkin pernah menikah dengan beberapa
wanita, salah satunya adalah putri Sultan Trenggono, dan resmi menjadi Panembahan
Banten tahun 1552 M. Ia adalah sang pendiri dan Raja pertama Kerajaan Banten (1552-
1570 M) 84 dan wafat tahun 1570 M., digantikan oleh putranya bernama maulana Yusuf
yang wafat tahun 1580 M85.
Bukti nyata yang dijadikan patokan untuk mengetahui Mbah Sholeh Semendi adalah
makamnya yang terletak di Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan, tepatnya berada
di Desa Winongan Lor. Banyak orang yang datang ke makam tersebut untuk berdo’a
dengan membaca surat-surat dalam al Qur’an dan tahlil. Untuk ritual tersebut, disediakan
al Qur’an dan majemuk yang berisi tahlil dan do’a yang terletak di samping makam. Di
batu nisan tertulis Mbah Semendi al habib Sholeh Bin Hasanuddin Bin Syarif
Hidayatullah Winongan Pasuruan, perpaduan tulisan pegon dan Arab 86. Penegasan
silsilahnya diakui oleh para kyai terkemuka Pasuruan, beberapa sumber dari internet87,
masyarakat, bahkan pengakuan dari hasil wawancara dengan salah satu keturunannya88.
Hal ini menjadi bukti bahwa Mbah Sholeh Semendi adalah sosok yang mempunyai
ikatan darah dengan penyebar Islam nusantara yakni salah satu anggota Walisongo
bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati dari anaknya bernama Sultan
Hasanuddin.

buku Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 yang disadur dari buku
Negara Kertabhumi. Dan penulis mengurutkannya sesuai dengan tahun pernikahan.
82
Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. h. 72. Sumber Ini juga dikutip oleh
https://sangpenangsang.wordpress.com/2012/04/22/buka-buku-16-anak-istri-sunan-gunung-jati/ Buka Buku 14:
Anak Istri Sunan Gunung Jati Posted on 22 April 2012 by Kang Nass, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809 oleh Nassirun Purwokartun
83
https://sangpenangsang.wordpress.com/2012/04/22/buka-buku-16-anak-istri-sunan-gunung-jati/ Buka Buku
14: Anak Istri Sunan Gunung Jati Posted on 22 April 2012 by Kang Nass, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah
Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809 oleh Nassirun Purwokartun. Istri Sultan Hasanuddin dari Putri Sultan
Trenggono bernama Nyi Ayu Kirana (melahirkan Ratu Fatimah, Pangeran Yusuf, dan Pangeran Arya Jepara),
istrinya yang bernama Raja Indra Putra (melahirkan Pangeran Sabrang Wetan), istri dari putri Demak
(melahirkan Pangeran Suniraras/Tanara, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Ayu Makudarage),
dan dari selirnya (melahirkan Pangern Jaga Lautan Pulau Cangkir Kronjo, Ratu Keben, Ratu Terpenter, Ratu
Wetan, Ratu Biru, Ratu Ayu Arsanengah, Pangeran Pajajaran Wadho, Tumenggung Walatika).
84
Rahayu Permana, “Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia,” no. 59 (1996). Maulana Muhammad
menggantikan ayahnya ketika usia belia, namun kekuasaan pemerintahan dipegang oleh qadhi. Maulana
Muhammad meninggal tahun 1596 M. Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir dinobatkan sebagai Raja
pada usia 5 bulan. Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir altif memegang kekeuasaan pada tahun 1626, dan
meninggal tahun 1651 yang digantikan cucunya bernama Sultan Abulfath Abdulfath
85
Ibid.
86
Hasil Observasi langsung pada tanggal 11 Januari 2016 di makam Mbah Sholeh Semendhi yang terletak di
Dusun Winongan Lor Desa Winongan Kecamatan Winongan Pasuruan
87
Sumber ini berasal dari situs lokal: www.pasuruankab.go.id, http://ndresmo.blogspot.com, http://bintang-
sufi.blogspot.co.id, http://sidogiri.net, http://www.pasuruantourism.com, http://www.jawapos.co.id,
http://bintang-sufi.blogspot.co.id diakses tahun 2015, penulis belum menemukan sumber dari situs yang berasal
dari Jawa Barat yang memuat silsilah Mbah Sholeh Semendhi yang berkaitan langsung dengan Sultan
Hasanuddin. Ada Satu versi yang sangat berbeda dari beberapa sumber tersebut, versi yang berbeda ini
mengungkap bahwa Mbah Sholeh Semendi tidak bersaudara dengan Syarifah Khodijah. Namun
mengungkapkan bahwa Mbah Sholeh Semendi merupakan keturunan Sunan Ampel yang bersumber dari
http://ranji.sarkub.com, “Meluruskan Silsilah Mbah Soleh Semendi Pasuruhan Mbah Ragil Semendi Ponorogo,”
accessed December 27, 2015, meluruskan-silsilah-mbah-soleh-semendi-pasuruhan-mbah-ragil-semendi-
ponorogo/.
88
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan dan observasi
langsung di lokasi makam

19
B. Awal Ditemukannya Makam Mbah Sholeh Semendi
Hasil wawancara89 dengan salah satu keturunan Mbah Sholeh Semendi
mengungkapkan:

Mula-mula datuk saya cerita-cerita ketika duduk-duduk


kemudian kedua datuk tahu kalau di situ ada makam orang alim
akhirnya tawasul. Lambat laun kyai nur jasim bib di sini ada
wali, ada lagi tambah abu amar istiqomah di sini, di antara
kedua orang tersebut mengakui bahwa makam itu adalah
makam wali. Bib panjenengan kan sing cedek monggo jenengan
yang ngrekso terose keluarga kulo yai sampean ae yai sampean
kan wes yai ndak bib antum kan yang dekat ini kan daerah
antum orang dulu itu memang tawadu’ sama orang daerah itu
lebih kuat jadi tidak merasa mereka itu yang lebih alim jadi
sama saling menghormati akhirnya dibangun ris kecil, pertama
yang silaturrahim adalah keluarga ana kemudian keluarga yai
nur lambat laun masyarakat

Awal ditemukannya Makam Mbah Sholeh Semendi adalah dari datuk (mbah)
responden dan diperkuat dengan pengakuan dari almaghfurlah KH Nur Jasim dan
almaghfurlah KH Abu Amar, dua kyai yang berpengaruh di masa itu. Dari kyai ini
memberikan saran kepada keluarga untuk menjaga makam tersebut, kemudian dibuatlah
jalan menuju makam, mula-mula jalannya kecil yang hanya bisa dilewati dengan berjalan
kaki. Namun kemudian beberapa warga yang mempunyai tanah di sebelah kanan-kiri
jalan menuju makam, mengikhlaskan tanahnya untuk dijadikan jalan. Kemudian jadilah
jalan yang bisa dilewati motor bahkan mobil seperti yang ada sekarang. Mula-mula yang
sering berziarah adalah keluarga responden, kedua kyai tersebut, kemudian masyarakat.
Para peziarah semakin banyak, apalagi setelah diadakan haul pertama sekitar tahun 1970-
an atas dorongan para ulama’ terkemuka Pasuruan. Bahkan sekarang peziarah dari luar
Pasuruan banyak berdatangan90.

C. Sosok Mbah Sholeh Semendi


Nama aslinya adalah Sholeh, dipanggil Kiai91 karena ia mempunyai hal sakral dalam
dirinya. Juga kebiasaannya yang suka berkhalwat (menyepi) atau bersemedi sehingga
dijuluki Kiai Sholeh Semendi. Pada usia senjanya, orang-orang memanggilnya Mbah
Sholeh Semendi. Semendi Juga berarti orang yang bisa masuk kendi karena kekuatan

89
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan
90
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan
91
Menurut Nur Cholis Madjid bahwa guru yang terkemuka kemudian digunakan perkataan "kiai", untuk laki-
laki, dan "nyai" untuk wanita. Perkataan "kiai" sendiri agaknya berarti tua, pernyataan dari panggilan orang
Jawa kepada kakeknya 'yahi, yang merupakan singkatan dari pada kiai, dan kepada nenek perempuannya nyahi.
Tetapi di situ terkandung juga rasa pensucian pada yang tua, sebagaimana kecenderungan itu umum di kalangan
orang Jawa. Sehingga "kiai" tidak saja berarti "tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian “syeikh" dalam
bahasa Arab), tetapi juga berarti “sakral", keramat, dan sakti. Begitulah, maka benda-benda yang dianggap
keramat seperti keris pusaka, dan pusaka keraton disebut juga kiai. Dalam Nur Cholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Pustaka NU Online, 2003).

20
supranaturalnya92. Tidak jauh dari tempat semedinya, terdapat Kerajaan yang dipimpin
oleh seorang Raja yang sakti mandraguna93.
Ada hal menarik dari pernyataan hasil wawancara dengan responden94, salah satu
keturunan Mbah Sholeh Semendi yang mengungkapkan:

Kalau menurut cerita datu-datuk saya, ya..... kebetulan


Keluarga kami tidak terlalu menghiraukan masalah nasab.
Nuwon sewu ya. Itu adalah privasi keluarga kami. Jadi Kami
mengatasnamakan saya tidak punya hubungan dengan Mbah
semendi, sehingga kalau saya ingin punya hubungan dengan
mbah semendi, maka saya harus ikut tingkah laku Mbah Sholeh
Semendi itu namanya nasab bililmi wal amal. apa gunanya
nasab kalau tingkah laku tidak sesuai dengan Mbah Semendi.

Interpretasi secara bebas, pernyataan ini bisa ditafsiri sebagai sikap kehati-hatian
dalam hal nasab, meneladani ajaran Mbah Sholeh Semendi lebih utama dari pada
mengakui senasab tapi perilakunya tidak mencerminkan ajarannya.
Mbah Sholeh Semendi mempunyai bibi bernama Syarifah Khadijah95 yang
mempunyai tiga putra, yakni Sayyid Sulaiman, Sayyid Abdurrahim dan Sayyid Abdul
Karim96. Anak pertama yakni Sayyid Sulaiman menikah (istri pertama) dan mempunyai
beberapa putra di Pekalongan di antaranya laki-laki yakni Hasan, Abdul Wahhab97,
Muhammad Baqir98, dan Ali Akbar99. Dari Pekalongan, Sayyid Sulaiman berkelana lagi

92
Hasil interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan.
Ini sama dalam Dinillah Arifah, Singgasana Raja Yang Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan, ed.
Mokh. Syaiful Bakhri (Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2007).
93
Ibid. dalam buku “Permata Teladan” yang ditulis oleh Mokh. Syaiful Bakhri, Syarifah Khadijah adalah putri
raja Banten Maulana Sultan Hasanuddin sekaligus cucu Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), versi
ini berbeda dengan hasil wawancara dengan Habib Abdullah yang mengatakan bahwa Syarifah Khadijah adalah
putri Sunan Gunung Jati.
94
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan
95
Syarifah Khadijah lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu adalah putri Sunan Gunung Jati, juga istri Pangeran
Sabrang Lor (Sultán Demak II) yang menikah tahun 1511 M. Setelah Pangeran Sabrang Lor Meninggal, Ratu
Ayu menikah dengan Fadhilah Khan /Falatehan/Fatahillah/Sultan Palembang Ariadilla tahun 1524 M di
Cirebon. Sebelumnya, Fatahillah menikah dengan adik dari Sultan Trenggono (Sultan Demak III) bernama Ratu
Pulung. dalam Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. h. 86.
96
http://pustaka.islamnet.web.id, “Bahtsul Masaail Tentang Sidogiri.”
97
Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan.
98
Sedangkan dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai
pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan
sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang melawan Belanda.
99
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja,
Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui.
Sayid Ali Akbar meninggalkan 6 (enam) putra yang menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman.
Mereka adalah: Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan), Sayid Ibrahim (makamnya di Kota
Pasuruan), Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya), Sayid Iskandar (makamnya di
Bungkul Surabaya), Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan Sayid Ali Ashghar (makamnya di
Sidoresmo). (belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid
Abdullah adalah putra Sayyid Sulaiman, bukan cucu Sayyid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayyid Sulaiman yang memangku pesantren seperti
Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri. Sedangkan keturunan
Mbah Sayyid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo.
Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayyid
Sulaiman. Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon,
Surabaya.

21
untuk menyebarkan Islam100. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik kedua, wafat di
Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel101. Sayyid Sulaiman
dan Sayyid Abdurrahim ini yang pada akhirnya berguru dan menjadi menantu Mbah
Sholeh Semendi.

Setelah menikah dengan putri Mbah Sholeh Semendi, Sayyid Sulaiman kembali
ke Cirebon. Namun suasana Cirebon dan Banten saat itu sedang tidak kondusif
karena terjadi kericuhan besar antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya
sendiri yakni Sultan Haji (1681-1683). Karena pertikaian ini, Sayyid Sulaiman
kembali lagi ke Pasuruan dan menetap di desa Gambir Kuning. Di Gambir
Kuning dia mendirikan dua buah masjid dan sampai sekarang masjid itu masih
ada. Kekeramatan Sayyid Sulaiman didengar oleh Ratu Mataram, kembali ia
memanggilnya untuk bertemu. Bersama tiga orang santrinya yakin, Mbah Jaelani
(Tulangan, Sidoarjo), Ahmad Surahim (putra Untung Surapati), dan Sayyid
Hazam (putranya) mereka berangkat ke Solo. Setelah meninggalkan Solo, Sayyid
Sulaiman menuju ke arah timur tepatnya ke Ampel Surabaya. Di sana dia
berziarah ke makam Sunan Ampel (Raden Rahmat). Selepas dari itu, dia
melanjutkan perjalanan ke Bukit Giri di Gresik. Tujuannya adalah untuk berguru
kepada murid Sunan Ampel yaitu Sunan Giri. Dari Sunan Giri inilah dia
menerima titah untuk menyebarkan dakwah ke Pasuruan dan membuka langgar
sebagai tempat pengajian di sana102.

Dari studi lapangan dan literatur sampai saat ini belum diketahui kepastian tahun
keberadaan Mbah Sholeh Semendi, ini yang membuat penulis hanya dapat berasumsi dan
menganalisis dari tahun kelahiran dan wafatnya Sunan Syarif Hidayatullah, Sultan
Hasanuddin, dan Sayyid Sulaiman (ketika menjadi penasehat Untung Surapati). Jika
dianalisis dari kelahiran Maulana Hasanudin yang lahir pada tahun 1479 M dan wafat
tahun 1570 M, kemungkinan Mbah Sholeh Semendi masa hidupnya tidak jauh dari masa
tersebut. Secara genealogis, Sunan Syarif Hidayatullah berusia 120 tahun dan Sultan
Hasanuddin berusia 91 tahun. Mbah Sholeh Semendhi dipanggil “Mbah” adalah karena
usia yang sepuh kala itu. Sangat logis jika satu genealogis mempunyai kesamaan dalam
hal usia yang lama.
Jika usia Mbah Sholeh Semendi sampai 120 tahun seperti usia Sunan Syarif
Hidayatullah, kakeknya, maka kemungkinan wafatnya Mbah Sholeh Semendi pada tahun
sekitar 1600 M. jika dikaitkan dengan Untung Surapati dan Sayyid Sulaiman103 ketika
jadi penasehat Untung Surapati, maka akan ada selisih sekitar 75 tahun. Kemungkinan
Mbah Sholeh Semendi tidak sampai pada masa kepemimpinan Untung Surapati. Namun
bisa jadi, Sayyid Sulaiman menjadi penasehat Untung Surapati di usia sepuh, karena
Sayyid Sulaiman adalah murid, menantu, sekaligus keponakan Mbah Sholeh Semendi.
Sedangkan Tahun 1600 M. ini bertepatan dengan keturunan ketiga (cicit Sultan

100
Ibid.
101
Ibid.
102
Bakhri, Permata Teladan.
103
ketika Sayyid Sulaiman tinggal di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning Kejayan Pasuruan
sehingga terkenal dengan sebutan Pangeran Kanigoro. Di sini, Sayyid Sulaiman mendirikan masjid unik yang
masih berdiri kokoh hingga sekarang sumber (http://sidogiri.net,“profil”). Penulis memperkirakan Mbah Sholeh
Semendi lahir di awal abad ke-16 Masehi, beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya ketika Pasuruan dipimpin
oleh Untung Surapati atas perintah Raja Mataram yaitu Raja Amangkurat II, Ia mempunyai penasehat yang
bernama Sayyid Sulaiman atas kemampuan supranaturalnya yang luar biasa. Sayyid Sulaiman adalah
keponakan, murid sekaligus menantu dari Mbah Sholeh Semendi. Hal ini yang mendasari asumsi tentang
kepastian tahun kehidupan Mbah Sholeh Semendi.

22
Hasanuddin) yaitu Sultan Abdul Mufahir ahmud Abdul Kadir yang memimpin Kerajaan
Banten mulai tahun 1605 M hingga 1640 M.

D. Pertemuan Mbah Sholeh Semendi dengan Labuh Geni


Kiai Sholeh ketika berada di Winongan suka bersemedi, dan tidak berhenti
bersemedi sebelum mendapatkan wangsit atau arahan dari yang maha kuasa. Setelah
mendapatkan petunjuk, Kiai Sholeh menghentikan semedinya. Di sini, Mbah Sholeh
Semendi bertemu dengan seorang penguasa Winongan bernama Labuh Geni104. Tradisi
zaman dulu, untuk menaklukkan lawan harus melalui perang atau adu kesaktian, yang
yang terjadi di antara mereka berdua adalah adu kesaktian. Sebelum saling mengeluarkan
kekuatannya masing-masing, muncul sebuah perjanjian yang berisi bahwa yang kalah
harus mengikuti yang menang. Dialektika tersebut bermuara pada konfrontasi dengan
beradu kesaktian. Pada akhirnya, Labuh geni mengeluarkan udeng, udeng adalah simbol
seseorang yang punya nilai tinggi pada masa itu. udeng itu terbang tinggi, sementara
Mbah Sholeh hanya bisa mengeluarkan teklek sebagai tandingannya. udeng yang terbang
tinggi itu disalip oleh teklek hingga berada di atas udeng. Teklek itu akhirnya menuntun
udeng dari ketinggian sampai ke tanah. Kemudian Labuh geni merubah sekeliling
padepokan menjadi api, sedangkan Mbah sholeh mengeluarkan hujan hingga bisa
mematikan api hingga padam. Dalam diri Labuh Geni pun terbersit “Lha Sing dek sekel
iso ngalahno seng dek dasku dahno putih sing dek dase”. Yang berarti, yang di kaki saja
bisa mengalahkan yang ada di kepalaku (udeng) apalagi surban putih yang ada di
kepalanya105.
Akhirnya, Labuh Geni menyatakan kalah dalam adu kesaktian dan konsekuensinya
harus menepati janji yakni mengikuti ajaran yang menang dan menjadi muridnya. Sejak
saat itulah Labuh Geni mengucapkan kalimah syahadat dan menjadi muallaf. Labuh geni
mempunyai banyak pengikut, dia tidak memaksa para pengikutnya untuk mengikuti
ajaran barunya dengan memberikan pilihan. Barang siapa yang masih mengikutinya
maka harus menjadi muallaf serta mengikuti ajaran Mbah Sholeh Semendi sebagai ajaran
barunya dan barang siapa yang tidak mau mengikutinya maka harus pergi dari
padepokan. Setelah laga adu kesaktian tersebut, popularitas dan ketenaran Mbah Sholeh
Semendi memuncak106 dan sebagian kecil muridnya yang tidak mengikuti Labuh Geni
pergi meninggalkan padepokan menuju daerah Bromo107.

E. Pendekatan Dakwah Mbah Sholeh Semendi


Setelah menang dalam laga adu kesaktian, Labuh Geni menjadikan Sholeh (Mbah
Sholeh) sebagai menantu dengan salah satu purinya dan beliau pun menetap di
Winongan. Selanjutnya, ia harus menghadapi sosial, dan budaya masyarakat sekitar,
diantaranya adalah budaya hobi sabung ayam dan budaya lain yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam108. Secara sosial dan budaya sudah barang tentu masyarakat Winongan
masih mengikuti ajaran Hindu karena setelah masuknya Labuh Geni dan pengikutnya
pada ajaran Islam, masyarakat Winongan tidak seluruhnya mengikuti ajaran Islam. Hal
ini yang menjadi tantangan Mbah Sholeh Semendi selanjutnya.

104
Arifah, Singgasana Raja Yang Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan.
105
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan, ini
sama dengan hasil interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah
Sholeh Semendi
106
Bakhri, Permata Teladan.
107
Interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah Sholeh Semendi
108
Interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah Sholeh Semendi

23
Bukti keberadaan sosial budaya Hindu Winongan saat itu salah satunya dapat
dipahami dari nama Lauh Geni, nama Labuh Geni identik dengan nama Jawa Hindu,
nama yang dipengaruhi oleh sejarah Hindu masa lalu. Sedangkan bukti lain dari
keberadaan sosial budaya Hindu adalah Patung-patung yang terletak di sebelah Banyu
biru (masih satu kecamatan Winongan) yang terdiri dari 11 buah patung antara lain: 2
volkaring berbahasa, 1 Prasasti bahasa dan huruf Jawa, 1 Patung Betara Siwa dengan
membawa senjata trisula, 1 Patung Ganesha, 1 Patung dua ekor naga berbelit dan lain-
lainnya yang perlu dikaji lebih dalam109. Ini merupakan sikap toleran Mbah Sholeh
Semendi terhadap lingkungan yang tidak sama dengan ajaran agamanya. Ia tetap
membiarkan patung-patung itu berada di posisinya tanpa menghancurkannya.
Mbah Sholeh Semendi bergaul bersama masyarakat tidak dengan marah-marah
ketika tidak sependapat dengannya. Tapi dengan cara pendekatan yang humanis,
perkataan yang halus dan cara-cara yang menyentuh hati. Sebagai contoh ketika
masyarakat ada yang bertamu pada Mbah Semendi, ia berkata “tunggu sebentar, saya
mau shalat”. Lambat laun masyarakat ada yang minta diajari shalat, ada yang minta
sarung untuk beribadah, dan merembet pada masyarakat yang lain hingga banyak yang
mengikuti ajaran Islam110. Karena perbedaan dalam agama tidak menghalangi kita dalam
berbuat kebaikan, silaturahmi dan menjamu tamu, sikap ini berdasarkan al-Qur’an surat
Al Maidah ayat 5111.
Mbah Sholeh Semendi mengetahui sosial budaya masyarakat masa itu, di antaranya
adalah suka sabung ayam. Dengan kemampuan supranaturalnya, Mbah Sholeh
mengubah bongkotan bambu menjadi ayam. Kemudian, Mbah Sholeh mengikutkan
ayamnya itu dalam kompetisi sabung ayam. Dalam setiap pertandingan, Ayam Mbah
Semendi selalu menang dan tak pernah kalah. Maka masyarakat heran dengan
kemenangan yang selalu diraih oleh Mbah Sholeh Semendi. Dari sini, Masyarakat mulai
berguru kepada Mbah Sholeh agar ayamnya selalu menang seperti ayamnya. Mbah
Semendi pun mulai menjalankan salah satu strategi dakwahnya. Untuk menjadikan ayam
yang selalu menang sesuai yang mereka kehendaki, Mbah Sholeh Semendi mengajukan
syarat-syarat. Syarat pertama adalah harus membaca syahadat, dan merekapun membaca
syahadat. Tetapi mereka heran kenapa ayamnya kalah lagi dengan ayam Mbah Sholeh
setelah diawali dengan syahadat. Kemudian diajukanlah syarat kedua yaitu dengan
wudlu, namun ayam mereka tetap kalah meskipun telah menjalankan syarat berupa
wudlu. Dan seterusnya Sampai selesai kitab sulam safinah112.
Dari sisi pendekatan terdapat pilihan antara pendekatan structural dan pendekatan
cultural. Pendekatan structural, dengan merombak tatanan politik dan kehidupan
masyarakat secara total dan mendasar dengan melakukan “pemaksaan” gagasan, ideologi
agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh suatu
kondisi sosial tertentu. Kondisi dimaksud sudah diambang batas dengan kata lain
kemungkaran dan kemaksiatan tidak dapat dikendalikan dan diatasi dengan cara-cara
persuasive. Pendekatan dakwah yang kedua adalah pendekatan cultural. Pendekatan ini
misalnya dilakukan oleh para wali ketika berdakwah di tanah Jawa, terutama yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga sebagai figure dakwah cultural. Ia memahami kearifan
lokal dan mengoptimalkannya dalam usaha melakukan penyiaran Islam pada masyarakat
Jawa. Salah satu kearifan masyarakat Jawa adalah hidup manusia akan berhasil sejauh ia
berhasil menyesuaikan diri dengan realitas. Kriterium keberhasilan adalah suatu keadaan

109
www.pasuruan.go.id, “Legenda Banyu Biru.”
110
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan
111
Mustafa As-siba, Peradaban Islam, n.d.
112
Interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah Sholeh
Semendi.

24
psikologis yaitu keselamatan, ketentraman batin yang tenang. Keadaan ini dapat tercapai
jika seseorang memiliki sikap batin yang tepat. Keberpihakan dakwah cultural adalah
pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal,
mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan manusia secara individual dan
sosial. Sedangkan strategi dakwah dapat melalui strategi pemberdayaan, dan strategi
rehabilitas sosial113.
Mbah Sholeh Semendi melakukan dakwah secara bertahap, awalnya pendekatan
struktural dengan mengalahkan penguasanya lebih dulu yaitu Labuh Geni beserta
pengikutnya, setelah itu melakukan pendekatan cultural dengan mengislamkan
masyarakat Winongan. Uraian ini menggambarkan pemahaman Mbah Sholeh Semendi
tentang keadaan sosio kultural waktu itu, yang dijadikannya sebagai jalan berdakwah.
Meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Wahid, yaitu pendekatan sosio-
kultural. Menurutnya, pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam
untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha
memaksakan agendanya sendiri. Karena sosial budaya adalah perkembangan budaya
dalam konteks kemasyarakatan114. Pendapat ini selaras dengan pendapat Al-Syathibi
dalam al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, menyatakan bahwa mengetahui kondisi sosial
masyarakat Arab, sebagai lokus awal turunnya al-Qur’an dan situasi ketika sebuah ayat
turun merupakan salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mufassir115.
Dengan statemen ini sesungguhnya al-Syathibi ingin mengatakan bahwa aspek-aspek
yang perlu dipertimbangkan dalam menguak maksud sebuah teks bukan hanya dari sudut
gramatika, melainkan juga harus mencakup pengetahuan tentang keadaan sosio-kultural
yang hidup dalam masyarakat tatkala berlangsungnya pada era pewahyuan al-Qur’an116.
Ayat-ayat Al-Quran diturunkan sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah
yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab
beserta peristiwa-peristiwanya. Adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam
adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Tetapi bukan berarti
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang
ditemuinya atau pada waktu itu saja, namun hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah.
Sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan
Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka117. Pemahaman Mbah
Sholeh Semendi pada aspek sosio-kultural Winongan, membawa masyarakat Winongan
pada peradaban Islam. Tentu saja Mbah Sholeh Semendi memahami Labuh Geni dengan
latar belakang Hindunya berikut tradisinya, tradisi mistik yang dimiliki Labuh Geni
berupa kesaktian yang dapat ditandingi oleh Mbah Sholeh Semendi, berikut pengikut dan
masyarakat Winongan.
Mbah Sholeh Semendi berdakwah dengan cara mengetahui bahasa, tradisi, dan adat
istiadat masyarakat118. Selaras dengan pendapat Quraish Shihab bahwa cara paling tepat
adalah menyebarkan ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan,
dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat masyarakat.
Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat
tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot proyek" bagi masyarakat

113
Ahmad Faqih, “Pergumulan Islam Dan Budaya Jawa Di Lereng Gunung Merbabu Perspektif Dakwah,” Ilmu
Dakwah 34, no. 1 (2014): 24–40.
114
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Santri Gus Dur 1 (2016).
115
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. h. 348
116
Muhammad Harfin Zuhdi, “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya,” RELIGIA 1, no. 1 (2012): 46–64.
117
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, 13th
ed. (Bandung: Mizan, 1996).
118
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan Pasuruan

25
lainnya. Karena tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu
khusus untuk masyarakat pada masa diturunkannya saja. Hal ini dapat dilihat pada
Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain119. Lanjutnya, Al-Quran dapat
diumpamakan dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat
melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek
dakwah. Tentu saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan,
perkembangan dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam
menanamkan idenya, cita-cita itu tidak harnya sampai pada batas suatu masyarakat dan
masa tertentu, tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat
sepanjang masa120.
Setelah keberhasilannya menaklukkan Labuh Geni dan penikutnya, Mbah Sholeh
Semendi kemudian membuka pesantren untuk menyebarkan ajaran Islam. Ia mempunyai
dua murid sekaligus keponakannya yakni Sayyid Abdurrahim dan Sayyid Sulaiman yang
menjadi terkenal setelah hidup terpisah dari Mbah Sholeh. Suatu ketika, kekuatan
supranatural Mbah Sholeh muncul saat mandi di sungai. Ia tidak nampak diri/menghilang
dari murid-muridnya, kemudian muncul lagi dan terulang sampai dua kali121.

F. Keturunan Mbah Sholeh Semendi


Dari hasil pernikahannya dengan putri Labuh Geni, Mbah Sholeh mempunyai
beberapa putri. kedua putrinya dinikahkan dengan kedua muridnya, yakni putri pertama
dinikahkan dengan Sayyid Abdurrahim, sedangkan putri kedua dinikahkan dengan
Sayyid Sulaiman. Putri pertama yang menikah dengan Mbah Abdurrahim tinggal di
Segoropuro sampai wafat, Mbah Abdurrahim masyhur dengan panggilan Mbah Arif
Segoropuro terletak di kecamatan Rejoso Pasuruan. Sedangkan Sayyid Sulaiman
meninggalkan jejak sejarah di tempat yang letaknya tak jauh dari Sidogiri yaitu di
Kanigoro, Kejayan, Pasuruan122.
Hasil pernikahan dengan Sayyid Sulaiman, putri Mbah Sholeh Semendi (istri kedua)
di Gambir Kuning, Sayyid Sulaiman mempunyai cicit bernama Syekh Rafi’i, dari
cucunya Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman. Sayyid Sulaiman juga menurunkan
Sayyid Ahmad (Lebak, Pasuruan). Dari istri ketiganya di Malang, ia mempunyai satu
putra yakni Sayyid Hazam123. Menurut satu riwayat, Kyai Aminullah menikah dengan
Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman124.
Perjuangan penataan peradaban Islam diteruskan keturunan-keturunannya, termasuk
Mbah Slagah (Hasan Sanusi) bin Sa’ad Bin Sakaruddin Bin Sholeh Semendi. Mbah
Slagah merupakan tokoh yang gigih berjuang melawan Belanda dan termasuk tokoh di
balik berdirinya Masjid Agung al Anwar Pasuruan. Mbah Slagah juga teman akrab dan
besan dari sayyid ali akbar bin sulaiman bin abdurrahman. putri beliau yang bernama
sayyidah muthi'ah dinikahkan dengan putra sayyid paling kecil sayyid ali akbar yang
bernama sayyid ali ashghor (pernikahan itu terjadi ketika sayyid ali akbar sudah tidak
ada karena dibawa belanda) 125.

G. Jejak Sejarah Mbah Sholeh Semendi

119
Ibid.
120
Ibid. h. 26
121
http://sidogiri.net, “Profil.”
122
Bakhri, Permata Teladan.
123
http://warkopmbahlalar.com, “Sang Pembabat Kawasan Timur Pulau Jawa,” accessed January 1, 2015,
2849/sang-pembabat-kawasan-timur-pulau-jawa/.
124
http://suarajihadislam.blogspot.co.id/2014/04/biografi-sayyid-sulaiman-betek.html
125
http://ndresmo.blogspot.com

26
Jejak Peninggalan Mbah Sholeh Semendi dapat dibuktikan dengan keberadaan
bangunan yang berada di sekitar area makam yang berupa Peristirahatan/Padepokan dan
Musholla, bukti lainnya adalah makam dan petilasan126.
Padepokan dijadikan sarana oleh Mbah Semendi untuk menyebarkan ajaran Islam,
Musholla sebagai sarana untuk beribadah. Sedangkan Makam Labuh Geni, Makam
Mbah Sholeh Semendi, dan beberapa makam di sekitarnya, adalah indikasi tempat ini
menjadi tempat yang dihuni oleh banyak orang. Dan petilasan, petilasan adalah tempat
berdiam, bisa juga majlis (tempat duduk), petilasan ini di antaranya berada di
banyuwangi, lumajang, jember, di Kramat Kraton Pasuruan, bahkan di kramat ada
masjid bernama semendi yang terdapat batu besar berbentuk menyerupai pantat,
masyarakat meyakini itu adalah tempat duduk Mbah Sholeh Semendi. Semua Jejak
peninggalan Mbah Sholeh Semendi tersebut masih ada hingga saat ini127.
Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya yang berjudul The Pesantren Tradition
mengatakan bahwa “the chief elements of pesantren: the pondok or student residences,
the mosques, the kitab or classical Islamic texts, the santri, and the Kyai”128. Elemen
utama pondok pesantren ada 5 yaitu adanya pondok, masjid, kitab, santri, dan Kyai.
Elemen-elemen tersebut dimiliki oleh Mbah Sholeh Semendi selama menyebarkan Islam
di Winongan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya padepokan yang bentuknya
menyerupai pondok atau lebih tepatnya menyebut istilah lokal gutean. Sekarang
difungsikan menjadi peristirahatan, barangkali dapat diartikan sebagai tempat belajar
masa itu. Tempat ibadah berupa musholla, dapat ditafsiri bahwa musholla ini dijadikan
masjid saat beliau masih hidup. dan halaman yang cukup untuk menampung banyak
orang. Sedangkan Kyainya jelas adalah Mbah Sholeh Semendi, sementara santrinya
adalah Labuh Geni dan para pengikutnya.
Beberapa peninggalan yang ada tersebut, seakan memberi isyarat bahwa tempat
tersebut pernah ditempati orang yang berjumlah banyak. Hal ini dikuatkan dengan
ukuran musholla, padepokan/pondok, dan halaman yang dapat menampung banyak
orang. Penegasan pendapat ini dapat dilihat sejarah sepeninggalnya, dimana
keturunannya mempunyai peran dalam membangun peradaban. Di antaranya Mbah
Slagah, menurut Bakhri, ia turut berjuang melawan Belanda sekaligus salah satu pelopor
pembangunan masjid al Anwar Pasuruan Kota, bahkan ia terkenal dengan nama Slagah
karena kesaktiannya dapat berubah seperti singa putih ketika melawan Belanda129.
Makamnya dan beberapa makam di sebelahnya, dibangun menyerupai kontruksi
pendopo yang dikelilingi makam-makam di sekitarnya, dan yang paling mempunyai nilai
sejarah masa lampau adalah makam Labuh Geni yang berada di sebelah utaranya.
Makam-makam yang berada di sekitar makam Mbah Sholeh Semendi nampak jumlahnya
banyak. Beberapa makam di sebelahnya, di batu nisannya tertulis habib dan hababah
yang mempunyai garis keturunan dengan Mbah Sholeh Semendi. Di area makam,
tumbuh pohon-pohon besar yang diperkirakan berusia ratusan tahun, hal ini dapat dilihat
dari besarnya pohon-pohon tersebut130.
Untuk mengenang Mbah Sholeh Semendi, diadakan haul pada tiap hari kamis
terakhir bulan Sya’ban yang dilaksanakan setelah Haul Mbah Segoropuro, peringatan
haul ini dikhususkan bagi laki-laki dengan membaca tahlil dan berdo’a. Haul ini

126
Hasil Observasi langsung pada tanggal 11 Januari 2016 di makam Mbah Sholeh Semendhi yang terletak di
Dusun Winongan Lor Desa Winongan Kecamatan Winongan Pasuruan
127
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
128
Zamakhsyari Dhofier, “The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the
Traditional Ideology of Islam in Java” (Australian National University, 1980).
129
Bakhri, Permata Teladan.
130
Hasil observasi pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan

27
diadakan pertama kali sekitar tahun 1970-an atas desakan para ulama terkemuka
Pasuruan, dan para ulama Pasuruan ini juga hadir pada acara tersebut diantaranya adalah
Mbah Abdul Hamid, Habib Umar, KH Nur Jasim, K. Abu Amar, dan Habib Jakfar bin
Syaikhon. Haul ini diadakan di makam Mbah Sholeh Semendi, kemudian yang kedua di
rumah Habib Abdul Qodir (almarhum), kediaman ayah Habib Abdullah131.
Berziarah ke makam Mbah Sholeh Semendi pun menjadi wisata spiritual bagi
masyarakat, selama tahun 2014 pengunjungya sebanyak 320.084 orang. Menjadi obyek
wisata paling banyak dikunjungi oleh masyarakat di Kabupaten Pasuruan setelah Taman
Safari Indonesia disusul Segoropuro dan Kebun raya Purwodadi132. Para peziarah datang
dari daerah Pasuruan dan banyak dari luar daerah Pasuruan, mereka biasanya membaca
surat yasin, tahlil dan diakhiri dengan do’a. Berziarah dengan membawa bunga
merupakan tradisi, sedangkan peziarah wanita dilarang mendekati makam, apalagi
peziarah wanita yang sedang berhalangan dilarang memasuki area makam, tempat
peziarah pria dan wanita pun dipisah. Malam jum’at legi menjadi suatu pilihan orang
tertentu untuk berziarah karena adanya aura mistis pada malam itu. Ciri khas makamnya
menggunakan warna putih dan hijau pada bangunannya, dan dikelilingi pepohonan yang
tidak boleh ditebang untuk menjaga keindahan alam. Hal-hal ini yang menguatkan mitos
pada masyarakat akan adanya keberkahan dan kedamaian jika berziarah di makam Mbah
Semendi133. Banyaknya peziarah yang datang ke makam Mbah Sholeh Semendi, bahkan
terbanyak setelah tempat wisata nasional di Pasuruan, merupakan bentuk antusiasme
masyarakat terhadap kharismatiknya, ini jadi salah satu bukti pengaruhnya yang kuat di
Pasuruan dan sekitarnya.
Masuknya Mbah Sholeh Semendi di Winongan yang masih menganut ajaran Hindu,
menjadi bukti bahwa Pasuruan yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Demak yang
dipimpin oleh Sultan Trenggono, belum secara keseluruhan penduduknya menganut
ajaran Islam. Bisa jadi secara administratif mengakui kekuasaan Kerajaan Demak,
namun dalam hal agama, penduduk Pasuruan masih ada yang memeluk agama Hindu
masa itu. Walaupun dalam catatan sejarah, Pasuruan pernah menjadi mitra Kerajaan
Demak untuk penyebaran ajaran Islam hingga dapat menaklukkan Kerajaan Kediri dan
Blambangan. Konteks ini barangkali sama yang terjadi di masa Sunan Gunung Jati, di
mana sebelum Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Cirebon dengan corak Islam,
Islamisasi yang dilakukan sebelumnya yaitu oleh Haji Purwa, Syekh Datuk Kahfi, dan
pangeran Cakra Buana/Walangsungsang hanya di kalangan Kerajaan Cirebon karena
pengaruh Hindu masih kuat di luar Kerajaan Cirebon134. Hal ini bisa saja terjadi di
Pasuruan, di mana Pasuruan menjadi daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram
yang menganut ajaran Islam, Namun, Winongan yang masih di bawah kekuasaan Adipati
Pasuruan mayoritas masih memegang ajaran Hindu di bawah kekuasaan Labuh Geni.
Setelah Mbah Sholeh Semendi datang, Winongan perlahan-lahan mengikuti ajaran Islam
yang dibawanya.

H. Analisa
Di Indonesia, banyak para kyai pesantren yang dianggap merupakan keturunan
Muhammad Shahib Mirbath melalui jalur keturunan para Walisongo. Sedangkan para

131
Interview dengan Habib Abdullah pada tanggal 11 Januari 2016 di kediamannya Winongan
132
BPS Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015 (Pasuruan: http://pasuruankab.bps.go.id,
2015).
133
Hasil Observasi dan Interview dengan masyarakat pada tanggal 11 Januari 2016 di area pemakaman Mbah
Sholeh Semendi Winongan
134
Titan Rohkmutiana Hardhi, “Dakwah Sunan Gunung Jati Dalam Proses Islamisasi Di Kesultanan Cirebon
Tahun 1479-1568,” 2014.

28
keturunannya dari kaum Alawiyin yang memakai gelar Syarif, Sayyid, Syekh, Sidi,
Habib, Wan, dan lain-lain banyak pula yang menjadi pemuka agama Islam terkenal dan
raja-raja di berbagai kerajaan Islam di Nusantara135.
Pada mulanya Mbah Sholeh Semendhi dipanggil Sayyid Sholeh, Panggilan Sayyid
karena ia dari kaum Alawiyin seperti di atas, dipanggil mbah karena beliau berumur
panjang dan dijuluki semedi karena sering bersemedi, maka jadilah Mbah Sholeh
Semendi. Beliau diakui oleh masyarakat Pasuruan sebagai pelopor penyebaran agama
Islam di Winongan dan Pasuruan secara umum. Baik masyarakat, Habib Abdullah yang
diakui mempunyai genealogis dengan Mbah Sholeh Semendhi oleh masyarakat
Pasuruan, dan dari situs internet daerah Pasuruan maupun buku yang ditulis oleh Mokh.
Syaiful Bakhri, mengakui bahwa Mbah Sholeh Semendhi adalah keturunan dari Sunan
Gunung Jati. Sekali lagi, Ini diperjelas dengan tulisan yang ada di batu nisannya yang
memuat nama Sultan Hasanuddin dan sunan Gunung Jati.
Jika dilihat dari kemampuan Mbah Sholeh Semendi yang dapat menaklukkan Labuh
Geni dalam laga adu kesaktian, dapat diterjemahkan bahwa beliau bukanlah orang
sembarangan, namun sudah dipersiapkan sebelumnya untuk ditugaskan di daerah tertentu
untuk menyebarkan agama Islam, tentunya daerah Winongan. Seperti halnya Sayyid
Sulaiman yang mendapat tugas dari Sunan Giri untuk mendirikan pesantren di suatu
daerah yang selanjutnya disebut Sidogiri. Sidogiri adalah sebuah nama yang sama
dengan nama akhir Sunan Giri, seorang murid Sunan Ampel yang memiliki Wilayah
kerajaan Giri (meliputi Pasuruan, Panarukan dan Tuban) pada tahun 1600-1635 M. Dari
Sunan Giri inilah Sayyid Sulaiman menerima titah untuk menyebarkan dakwah ke
Pasuruan. Sayyid Sulaiman memberi nama tempat yang tanahnya memiliki kesamaan
dengan tanah Bukit Giri itu dengan nama “Sidogiri” yang berarti “jadi Giri” atau “seperti
Giri”. Menurut Bakhri, pemberian nama itu merupakan tafa’ulan wa tabarrukan
(memohon kebaikan) agar tanah di Sidogiri yang baru dibukanya itu memiliki kebaikan
dan keberkahan sebagaimana tanah Giri136. Sangat mungkin jika Mbah Sholeh Semendi
merupakan sosok yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di Winongan seperti
halnya Sayyid Sulaiman yang diberi tugas oleh Sunan Giri. Walaupun sampai saat ini,
belum ditemukan benang merahnya siapa yang memberi bekal dakwah dan memberi
perintah pada Mbah Sholeh Semendi.
Mbah Sholeh Semendi berkaitan dengan sejarah Ratu Ayu. Pada awalnya, orang
pemula yang ingin mengetahui sejarah silsilah Sunan Gunung Jati akan dibingungkan
dengan keturunannya bernama Ratu ayu yang berjumlah 3 orang. Ratu ayu merupakan 3
orang dari ayah yang sama dan ibu yang berbeda. Sunan Sunan Gunung Jati pernah
menikah dengan 6 orang, dari pernikahannya ini Sunan Gunung Jati mempunyai banyak
anak, diantaranya adalah 3 anak yang namanya sama yaitu Nyai Ratu Ayu anak angkat
dari Nyai Ratu Dewi Pakungwati, Nyai Ratu Ayu anak dari Nyai Ageng Tepasari, dan
Putri Wulung Ayu anak dari Nyai Ratu Kawunganten. Ratu Ayu mempunyai anak
bernama Sayyid Sulaiman dan Sayyid Abdurrahim, begitu ia mendengar anaknya akan
dijadikan menantu oleh Mbah Sholeh Semendhi, ia langsung pergi dari Cirebon ke
Pasuruan. Belum sempat bertemu dengan anaknya, ia meninggal dunia dan dimakamkan
di Bangil Pasuruan. Di Bangil, Ratu Ayu juga disebut Syarifah Khadijah 137. Hal ini yang

135
http://ratu-wulung-ayu.ptkpt.biz/id4/464-349/Muhammad-Sohib-Mirbath_51053_ratu-wulung-ayu-ptkpt.html
diakses 2 3 2016
136
Bakhri, Permata Teladan. Mengambil referensi dari Babad Pasoeroean (BPSDD, 2007: 82-83) dan
dibandingkan dengan cerita rakyat (folklore).
137
Syarifah Khodijah dikenal dengan Mbah Ratu Ibu juga disebut Mbah Ratu Ayu memiliki nama asli Syarifah
Khodijah putri dari Maulana Sultan Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), cerita
dimakamkannya Mbah Ratu Ayu Ibu di Bangil ini bermula. Ketika suatu saat cucu Sunan Gunung Jati ini,

29
menggambarkan bahwa sejarah Mbah Ratu Ayu berkaitan dengan keberadaan Mbah
Sholeh Semendhi.
Mbah Sholeh Smendhi juga mempunyai keterkaitan dengan sejarah Sayyid
Sulaiman yaitu anak dari Ratu Ayu. Sayyid Sulaiman dan saudaranya Abdurrahim adalah
keponakan, murid, sekaligus menantu Mbah Sholeh Semendhi. Sayyid Sulaiman pernah
menjadi penasehat Untung Surapati, dan secara logika, masuk akal jika Sayyid Sulaiman
pernah mengajak anak Adipati Untung Surapati bernama Surakhmad ke Solo untuk
memenuhi undangan Ratu Mataram. Paparan ini berkaitan sekaligus memperkuat
keberadaan Mbah Sholeh Semendhi.
Namun, yang menjadi kesulitan dalam membuka tabir silsilahnya adalah julukan-
julukan yang menempel pada setiap keturunan Sunan Gunung Jati dan keturunan Sunan-
Sunan yang lain. Di samping sampai saat ini, penulis belum menemukan referensi
relevan yang menggambarkan secara terang silsilahnya. Karena sumber tentang silsilah
Mbah Sholeh Semendi yang penulis dapatkan masih dari situs internet, wawancara, dan
tulisan di batu nisan. Di beberapa situs internet, memang memaparkan bahwa Mbah
Sholeh Semendi adalah anak dari Sultan Hasanuddin Banten. Namun ada satu situs
internet yang memaparkan bahwa Mbah Sholeh Semendi tidak mempunyai genealogis
dengan Sunan Gunung Jati tapi mempunyai genealogis dengan Sunan Ampel yakni situs
yang beralamat (http://ranji.sarkub.com) seperti berikut:
→ Nabi Muhammad SAW .
→ Sayyidah Fathimah Az-Zahra .
→ Al-Imam Sayyidina Hussain
→ Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin
→ Sayyidina Muhammad Al Baqir
→ Sayyidina Ja'far As-Sodiq .
→ Sayyid Al-Imam Ali Uradhi .
→ Sayyid Muhammad An-Naqib .
→ Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi
→ Ahmad al-Muhajir .
→ Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah .
→ Sayyid Alawi Awwal .
→ Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah .
→ Sayyid Alawi Ats-Tsani .
→ Sayyid Ali Kholi' Qosim .
→ Muhammad Sohib Mirbath .
→ Sayyid Alawi Ammil Faqih .
→ Al Imam Abdul Malik Azmatkhan
→ Sayyid Abdullah Azmatkhan
→ Sayyid Ahmad Shah Jalal
→ Sayyid Syaikh Jumadil Qubro al-Husaini or Syeikh Jamaluddin Akbar al-Husaini
→ Syeikh Maulana Malik Ibrahim Asmara Qandi
→ Sayyid Ampel Denta Surabaya
→ Pangeran Tumapel / Pangeran Lamongan / Syaikh Kambyah
→ Sunan Pandanaran Ii / Sunan Tembayat Makam Ing Bayat, Klaten
→ Panembahan Djiwo

mendadak dirundung rasa kangen yang begitu dalam kepada kedua putranya yang tengah belajar agama di
pondok pesantren milik Mbah Soleh Semendi di daerah Winongan, yang tak lain adalah masih familinya atau
adiknya. Cerita ini adalah versi lain dari cerita tentang mendengarnya Ratu Ayu bahwa anaknya akan dijadikan
menantu oleh Mbah Semendi, Sumber http://bintang-sufi.blogspot.co.id/2009/05/syarifah-khodijah-bangil-
pasuruan.html

30
→ Panembahan Minangkabul / Panembahan Kabo
→ Pangeran Sumendi I / Semendi I
→ Pangeran Masjid Wetan II
→ Pangeran Semendi II / Mbah Soleh Semendi Di Pasuruhan138

Bisa jadi, pendapat dari situs internet yang berbeda ini berkaitan dengan Sultan
Hasanuddin yang pernah menikah dengan putri Sultan Trenggono bernama Nyi Ayu
Kirana. Perkawinan dengan Nyi Ayu Kirana melahirkan 3 anak yaitu Ratu Fatimah,
Pangeran Yusuf, dan Pangeran Arya Jepara. Selain itu, ia juga menikah dengan Raja
Indra Putra yang melahirkan Pangeran Sabrang Wetan, istri dari putri Demak
(melahirkan Pangeran Suniraras/Tanara, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu
Ayu Makudarage), dan dari selirnya (melahirkan Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir
Kronjo, Ratu Keben, Ratu Terpenter, Ratu Wetan, Ratu Biru, Ratu Ayu Arsanengah,
Pangeran Pajajaran Wadho, Tumenggung Walatika). Dari empat istri ini, Sultan
Hasanuddin mempunyai 16 anak.
Dari 16 anak keturunan Sultan Hasanuddin di atas, tidak ada nama Sayyid
Sholeh/Mbah Sholeh Semendi. Di dalam situs (http://ranji.sarkub.com) ada tulisan yang
tertera di bagian paling bawah seperti berikut:

dalam catatan Silsilah Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon tidak satu
pun ditemukan nama Soleh Semendi sebagai anak dari Syarif Hidayatullah
atau Sultan Maulana Hasanuddin. Justru Semendi adalah cucu buyut dari Sunan
Pandanaran II atau Sunan Tembayat sesuai ranji silsilah keluarga besar Sunan
Tembayat.

Dari kutipan di atas, menyatakan bahwa tidak ada satupun tertera nama Sholeh
Semendi sebagai anak dari Syarif Hidayatullah maupun anak dari Sultan Maulana
Hasanuddin, justru Mbah Sholeh mempunyai genealogis dengan Sunan Ampel.
Dari berbagai uraian dan paparan di atas, manakah yang benar? Perlu penelitian dan
penelusuran lebih dalam untuk menarik benang merahnya. Karena sampai saat ini belum
ditemui serat, babad ataupun tulisan kuno sejenisnya yang memuat sejarah Mbah Sholeh
Semendi, hanya ada beberapa buku yang ditulis oleh Mokh. Syaiful Bahri yang
menguraikan tentang kehidupan dan dakwahnya. Buku-buku tersebut ditulis beberapa
tahun yang lalu namun tidak menguak silsilah Mbah Sholeh Semendi secara mendalam.
Yang dijadikan patokan saat ini adalah dua makam yang sejarah lisannya sangat populer
di masyarakat Pasuruan yaitu Makam Mbah Sholeh Semendi dan Labuh Geni. Yang
jelas, menurut masyarakat Pasuruan, Mbah Sholeh Semendi mempunyai peran yang
sangat nyata dalam penyebaran agama Islam melalui dakwah Islamnya di Winongan dan
Pasuruan.

138
http://ranji.sarkub.com, “Meluruskan Silsilah Mbah Soleh Semendi Pasuruhan Mbah Ragil Semendi
Ponorogo.” diakses 27 12 2015 di tulisan paling bawah tertera NB: dalam catatan Silsilah Kesultanan Banten
dan Kesultanan Cirebon tidak satu pun ditemukan nama Soleh Semendi sebagai anak dari Syarif Hidayatullah
atau Sultan Maulana Hasanuddin. Justru Semendi adalah cucu buyut dari Sunan Pandanaran II atau Sunan
Tembayat sesuai ranji silsilah keluarga besar Sunan Tembayat.

31
BAB IV

“Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Islam pada masa-masa


keemasannya adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam
aqidah. Fakta ini diperkuat oleh banyak pernyataan kesaksian orang-orang di luar islam
sendiri (Dr. Yusuf Qardhawi).

Dakwah Mbah Sholeh Semendi Perspektif al Qur’an dan al Hadits

A. Terminologi Dakwah
Secara etimologis dakwah mempunyai arti penyiaran agama di kalangan masyarakat
dan pengembangannya; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran
agama139. Dari sumber lain menjelaskan bahwa kata dakwah mempunyai makna: ajakan,
panggilan, seruan, permohonan (do’a), pembelaan dan lain sebagainya 140. Secara
terminologi konseptual, dakwah diarahkan pada usaha merubah sikap beragama dari
masyarakat penerima dakwah dan dalam pelaksanaannya dakwah dilakukan dengan jiwa
tulus serta ikhlas. Pengertian dakwah yang dirumuskan al-Qur’an lebih menekankan
aspek teknis penyampaian dakwah, yakni berupa sikap, tindakan maupun perilaku dalam
berdakwah. Sasaran dakwah adalah seluruh umat manusia (masyarakat) 141. al-Syaikh
‘Ali Mahfudz berpendapat, bahwa dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok, yaitu
al-huluj balaghah (alasan yang jitu), al-asalibul hakimah (susunan kata yang bijaksana
dan penuh hikmah), al-adabus samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul
hakimah (siasat yang bijak) 142
Praktek dakwah harus mengandung tiga unsur: penyampai pesan, informasi yang
disampaikan, dan penerima pesan. Namun demikian, dakwah secara terminologi
mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai aktivitas menyampaikan ajaran
Islam, menyuruh berbuat baik, dan mencegah perbuatan mungkar, serta memberi kabar
gembira dan peringatan bagi manusia143. dakwah pada dasarnya adalah suatu upaya
manusia dan untuk kepentingan manusia pula dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai
dasar keislaman dalam realitas kemanusiaan di mana kemaslahatan bagi semua menjadi
tujuannya. Nilai-nilai dimaksud adalah apa yang lazim diistilahkan sebagai major themes
of Islam, yakni ketuhanan (tawhîd), keadilan (al-‘adâlah), egaliterianisme (al-musâwah),
kebebasan (al-hurriyah), kebaikan (al-khayr), musyawarah (alsyûrâ), amr ma‘rûf nahiy
munkar, dan seterusnya144.
Pada hakekatnya, dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan
dalam sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang
dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan
bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka
mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan
menggunakan cara tertentu. Berbicara tentang pengaruh kultur dan adat lokal dalam
kaitannya dengan agama, di sana terlihat adanya pergulatan untuk mengompromikan

139
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008).
140
Muhammad Fuad, Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Qur’an, Damaskus: Dar al-
141
Taufik Tsani, “Dakwah Dan Kemajuan Teknologi,” Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas 9,
no. 1 (2014): 83–91.
142
Dikutip dari http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/26/peran-sunan-gunung-jati-dalam-dakwah-dan sosial-
budaya
143
Zuhdi, “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya.”
144
Ibid.

32
pesan relegius keagamaan yang disinergikan dengan muatan lokal. Perjumpaan agama
dengan budaya lokal itu mengambil banyak bentuk. Pertama, mengalami benturan
[clash] yang sampai pada titik di mana budaya setempat dihabisi dan diganti yang baru
dengan islamisasi misalnya, yang terjadi di Padang tempo dulu. Kedua, ada yang
mengambil jalan akomodasi. Artinya ada pertemuan saling mengisi dan tidak saling
menjatuhkan. “Islam diterima tapi sebatas simboliknya. Adapun substansi seperti
kepercayaan terhadap leluhur tetap dijaga. Ketiga, mengambil bentuk hibriditas. Artinya
menerima agama tapi separohnya saja, sisanya tradisi setempat. Bentuk ini kemudian
biasa dikenal dengan misalnya, Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Sasak dan sebagainya
(Baso, 2003: 3)145.
Islam sebagai agama, menyebar ke penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog
dengan masyarakat setempat (lokal), berkompromi, mengakomodasi tradisi masyarakat,
sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat
setempat berdasarkan koridor Islam. Kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi
Indonesia, karena Islam mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa
Hindu-Budha. Dialektika Islam dengan tradisi masyarakat diyakini sebagai proses
penerimaan yang dilakukan secara alamiah dan damai, tanpa penaklukan. Dalam
dialektika terjadi proses mempengaruhi dan dipengaruhi. Yakni, Islam mempengaruhi
tradisi masyarakat dan sebaliknya Islam dipengaruhi oleh tradisi masyarakat yang
dibingkai dalam semangat rekonsiliasi. Proses timbal balik ini membawa nuansa yang
harmonis dalam corak keislamanan Nusantara. Misalkan kegiatan ritual yang
dilaksanakan masyarakat diisi dengan ajaran-ajaran Islam yang terjadi pada tahlilan.
Merupakan meknisme Islam menawar tradisi masyarakat dengan cara mengisi acara-
acara ritual masyarakat ketika ada yang meninggal. Jika sebelumnya sibuk dengan ritual
adat, setelah terjadi negosiasi dengan Islam, ritual adat tersebut diisi dengan tahlilan.
Kedua, ketika Islam diperngaruhi oleh tradisi masyarakat, maka yang terjadi adalah
proses menerima tradisi masyarakat atau dengan istilah lain kemampuan tradisi untuk
berintegrasi dengan budaya lain yang berbeda untuk menjadi bagian dari tradisi. Proses
ini terjadi pada arsitektur bangunan rumah ibadah dan beberapa perangkat di
dalamnya146.
Dalam konteks negosiasi yang bersifat normatif, maka nilai-nilai negosiasi justru
digunakan secara prgamatis. Sebagai contoh,agama mereka Muslim, tetapi mereka tetap
saja mempraktik ritualritual tradisinya. Dalam hal ini, tidak terjadi proses peleburan,
melainkan berdiri sendiri dalam ranahnya masing-masing. Masyarakat adat yang
beragama Islam di Kampung Naga dan Citorek misalnya menunjukkan bahwa agama
dan tradisi diperlakukan oleh penganut masyarakat adat secara pragmatis, bukan
ideologis. Pada masyarakat adat yang beragama Islam terjadi proses kolaborasi dua
unsur, agama dan tradisi, yang mereka istilahkan sebagai "mendayung di antara dua
perahu". Satu sisi mereka mengimani akidah Islam, pada sisi lain mereka menggunakan
tata cara bertahan hidup dengan bersumber pada tradisi. Cara berladang atau bersawah
merupakan salah satu aktivitas yang merujuk pada tradisi yang didasarkan pada
perhitungan bintang-bintang yang merujuk pada dewa-dewa atau roh-roh. Hal ini tetap
digunakan dengan argumen ajaran Islam tidak memberikan aturan dan petunjuk cara
bercocok tanam, sekaligus juga bahwa cara tanam tradisi terbukti secara pragmatis
menghasilkan panen yang lebih baik (Qomaruzzaman, 2003)147.
Gagasan Islam pribumi, secara genealogis, diilhami oleh gagasan pribumisasi Islam
yang pernah dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid pada paruh akhir tahun 80-an. Dalam
145
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2002.
146
Ibid.
147
Qomaruzzaman, ”Menawarkan Diri Pada Syariat Islam”, Pikiran Rakyat, 2 Januari 2003

33
“pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai sebuah ajaran yang normatif
berasal dari Tuhan yang diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari
manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Bagi Abdurrrahman Wahid,
Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah
tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih jauh, Arabisasi belum tentu cocok
dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan sebagai upaya menghindari timbulnya perlawanan
dari kekuatankekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang.
Karena itu, inti pribumisasi Islam adalah bukan untuk melakukan polarisasi antara agama
dan budaya, sebab polariasi demikian memang tidak terhindarkan (Wahid, 2001: 111)148.
Pribumisasi Islam ini, sejatinya mengambil semangat yang diajarkan oleh Walisongo
dalam dakwahnya ke wilayah nusantara sekitar abad ke-15 dan ke-16 di pulau Jawa.
Dalam konteks ini Walisongo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam Islam
yang khas Indonesia. Kreativitas ini melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam Indonesia
yang tidak harfiah dan tekstual meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang
melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara. Walisongo mengakomodasikan
Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan. Misalnya,
apa yang dilakukan oleh Sunan Bonang dengan mengubah gamelan Jawa yang kental
dengan estetika Hindu menjadi nuansa zikir. Tembang “tombo Ati” adalah salah satu
karyanya dan dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang mengubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi pada
masa selanjutnya, yakni abad ke-17 oleh Abdurrauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-
Makasari yang lebih bercorak purifikasi dalam pembaruan Islam149.
Oleh karenanya, ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan
tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami
sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan
perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian,
Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman.
Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami
sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi
dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam
Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat
perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam
menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam aksinya, Islam pribumi selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
lokal masyarakat dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum-
hukum inti dalam agama. Sementara ajaran-ajaran inti Islam itu dilahirkan di dalam
kerangka untuk memberikan kontrol konstruktif terhadap penyimpangan-penyimpangan
lokalitas yang terjadi. Terhadap tradisi lokal yang mempraktekkan pola-pola kehidupan
zholim, hegemonik, tidak adil, maka Islam pribumi akan melancarkan kritiknya.
Sedangakan terhadap tradisi lokal yang memberikan jaminan keadilan, dan kesejahteraan
pada lingkungan masyarakatnya, maka Islam pribumi akan bertindak sangat apresiatif.
Bahkan, tradisi lokal yang adi luhung [urf shahih] dalam pandangan Islam pribumi,
memiliki semacam otoritas untuk mentakhsis sebuah teks nash. Sebagai ilustrasi,
bagaimana sebuah tradisi yang bersifat propan oleh para ulama kemudian diberi
wewenang untuk mentakhsis sebuah teks yang dipandang berasal dari Tuhan, Disebutkan
bahwa tradisi masuk dalam deretan dalil-dalil istinbath hukum Islam [al-‘Adah

148
Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001.
149
Ibid.

34
Muhakkamah]. Dengan platform pemikiran ini, maka wajar jika sejumlah para pakar
ushul fiqh menyatakan bahwa mengetahui setting sosial historis Arab dari terbentuknya
sebuah ketentuan agama seperti yang terpantul dalam teks suci menjadi sangat urgen dan
signifikan.

B. Implementasi Dakwah Mbah Sholeh Semendi


Menurut Lubis, Kondisi Kehidupan keagamaan kaum muslimin (khususnya
Winongan dan Pasuruan pen.) pada saat ini tidak dapat dipisahkan dari proses dakwah
atau penyebaran Islam di Indonesia sejak beberapa abad sebelumnya. Ketika Islam
masuk di Indonesia, kebudayaan nusantara telah dipengaruhi oleh agama Hindu dan
Budha, selain masih kuatnya berbagai kepercayaan tradisional, seperti animisme,
dinamisme, dan sebagainya. Kebudayaan Islam akhirnya menjadi tradisi kecil di tengah
tengah Hinduisme dan Budhisme yang juga menjadi tradisi kecil. Tradisi-tradisi kecil
inilah yang kemudian saling mempengaruhi dan mempertahankan eksistensinya.
Benturan dan resistensi dengan kebudyaan-kebudayaan setempat memaksa Islam untuk
mendapatkan simbol yang selaras dengan kemampuan penangkapan kultural dari
masyarakat setempat. Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat,
memudahkan Islam masuk lapisan masyarakat paling bawah. Sehingga muncul istilah
local genius yakni kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan
aktif terhadap budaya asing, kemudian muncul ciptaan unik yang tidak ditemukan di
wilayah asal150.
Tanpa bermaksud membeda-bedakan maupun mempersamakan Mbah Sholeh
Semendi dengan Walisongo, namun ini adalah sebuah analisis dari kajian historis untuk
menguak dakwah Islam yang dilakukan oleh mereka. Secara historis, Mbah Sholeh
Semendi dan Walisongo mempunyai dimensi yang berbeda, baik dimensi waktu maupun
dimensi tempatnya. Masa Walisongo lebih dulu terjadi, Sedangkan Mbah Sholeh
Semendi adalah penerus perjuangan Walisongo, mempunyai rentang waktu yang cukup
jauh dari zaman Walisongo angkatan I. Sebelum terbentuk menjadi Walisongo, mereka
adalah para pedagang yang datang dari semenanjung Arab. Setelah mereka menetap di
tanah Jawa, kemudian menjelma menjadi Walisongo. Ketika itu, Kerajaan Majapahit
berdiri dengan masa kejayaannya, sehingga para pedagang dari semenanjung Arab
menghadapi Kerajaan Hindu dan masyarakat Jawa yang masih kuat dengan agama Hindu
berikut tradisinya. Para pedagang ini kemudian menjelma menjadi Walisongo, ini
menunjukkan perkembangan dakwah Islam para pedagang dari semenanjung Arab yang
luar biasa. Mereka makin kuat dan terorganisir, dengan menyatunya mereka dalam
wadah Walisongo semakin membuka jalan untuk menyebarkan dakwah Islamnya.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, jalan menyebarkan ajaran Islam semakin
menemukan titik terang. Ketika itu banyak dari masyarakat Jawa yang beragama Hindu
memeluk agama Islam sebagai agama barunya. Islam menemukan masa kejayaannya,
ketika salah satu keturunan Majapahit yaitu pangeran Brawijaya V memeluk agama
Islam. Pangeran Brawijaya bersama dengan Walisongo mendirikan Kerajaan Islam
pertama di Jawa dengan nama Kerajaan Demak. Secara institusional sosial politik, Islam
menemukan masanya, sehingga mampu menghentikan suatu periode panjang kekuasaan
Majapahit yang hidup dalam sistem kasta. Kerajaan Demak dengan peran Walisongo
sebagai ujung tombak, mampu menguasai Jawa dan mengislamkan penduduknya.
Pergantian kekuasaan dari Kerajaan Demak yang berpusat di pesisir menuju Kerajaan
Pajang di pedalaman memberikan varian Islam pesisir dan Islam pedalaman. Namun itu
hanya pengaruh dari variabel politik yang terjadi setelah terjadinya persaingan antara

150
Ibid.

35
Sultan Hadiwijaya dengan Arya Panangsang. Menurut Nur Syam, hal itu tidak
sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia -khususnya Jawa- berbagai varian
Islam itu adalah realitas sosial yang unik. Sehingga ketika berbicara Islam pesisir, tetap
ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa
Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami
humanisasi sesuai dengan kemampuan penafsirannya tentang Islam. Demikian pula
Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa
ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian
sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam. Pendapat tentang Islam pesisir dan
Islam pedalaman ini sudah muncul sebelum munculnya pendapat Clifford Geertz dengan
konsep trikhotominya.
Sedangkan Mbah Sholeh Semendi hidup pada masa Kerajaan Mataram, ketika
Kerajaan Demak sudah digantikan Kerajaan Pajang kemudian baru Mataram. Masa ini
sudah muncul istilah Islam pesisiran dan Islam pedalaman. Tentu, hal ini secara tidak
langsung berpengaruh terhadap daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya, baik
Mataram maupun Pajang. dimensi waktu dan tempat berbeda dengan masa Walisongo.
Persamaannya, Mbah Sholeh Semendi menghadapi masyarakat Hindu seperti para
pedagang dari semenanjung Arab sebelum menjelma menjadi Walisongo. Kondisi
sosialnya pun sama yakni kondisi masyarakat berdasarkan kasta. Walisongo menghadapi
kekuasaan Kerajaan Majapahit, Mbah Sholeh Semendi menghadapi penguasa daerah
Winongan masa itu yakni Labuh Geni.
Namun, dimensi tempatnya berbeda, Walisongo berdakwah di titik tengah pulau
Jawa, sedangkan Mbah Sholeh Semendi bergeser ke bagian timur pulau Jawa tepatnya di
Pasuruan dengan lingkup awal daerah Winongan. Setelah itu, Pasuruan dan beberapa
daerah di sekitarnya terutama di ujung timur pulau Jawa seperti Probolinggo, Lumajang,
Jember, dan Banyuwangi. Hal ini diperkuat dengan keberadaan petilasan yang berada di
beberapa daerah tersebut yang masih ada hingga sekarang. Yang sangat terlihat
perbedaannya adalah lingkup dakwah yang dihadapi, Walisongo menghadapi Kekuasaan
Kerajaan Majapahit yang kuat dan luas sedangkan Mbah Sholeh Semendi mengahadapi
penguasa daerah Winongan dan Adipati Pasuruan di tingkat atasnya. Walisongo juga
gabungan dari beberapa orang yang terorganisir, sedangkan Mbah Sholeh Semendi
menghadapi masyarakat Winongan dan Pasuruan seorang diri pada awalnya, namun
secara tidak langsung mempunyai ikatan secara Islam dengan Kerajaan Mataram.
Walaupun dimensi tempat dan waktu berbeda, baik Walisongo dan Mbah Sholeh
Semendi mempunyai persamaan dalam melaksanakan dakwah Islam. Mbah Sholeh
Semendi sebagai keturunan sekaligus penerus perjuangan dakwah Islam Walisongo,
tentu mempunyai metode yang sama walaupun tidak harus tepat sama dengan metode
yang diimplementasikan oleh Walisongo. Metode dakwah Islam yang dipakai oleh
mereka, baik Mbah Sholeh Semendi maupun Walisongo mengambil dari ajaran dakwah
Islam yang bersumber dari al Qur’an.

Kekuatan Supranatural sebagai Sarana Dakwah


Ada beberapa versi151 dari cerita tentang pertemuan Mbah Sholeh Semendi dengan
Labuh Geni, namun semuanya menceritakan hal yang sama yaitu tentang konflik atau
konfrontasi di antara mereka berdua. Konflik yang mengantarkannya untuk beradu
kesaktian, mereka berdua sama-sama mempunyai kekuatan supranatural. Cerita-cerita

151
Versi wawancara dengan ABA dan Abdul Mujib sama, namun berbeda dengan yang ada dalam buku
singgasana yang bergoyang dan wawancara dengan Abdul Qohar masyarakat Winongan

36
tentang kekuatan supranatural ini yang pada akhirnya menjadi mitos bagi masyarakat
Winongan dan sekitarnya.
Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh Mbah Sholeh Semendi, diantaranya: dapat
merubah bongkotan bambu menjadi ayam, terpentalnya patung-patung ketika Mbah
Sholeh lewat untuk membuat masjid di Keboncandi Gondangwetan152, kekuatan
supranatural dengan tidak nampak diri/menghilang dari murid-muridnya ketika Mbah
Sholeh Semendi mengajak muridnya mandi di sungai153, kekuatan supranatural yang bisa
menjadikannya masuk kendi, serta kekuatan supranatural ketika berhadapan dengan Raja
Hindu dan Biksu dari Tengger, merupakan mitos bagi masyarakat Jawa. Budaya Jawa
sangat lekat dengan kepercayaan mitologisasi, sakralisasi, dan mistifikasi. Dalam cerita-
cerita Walisongo dan Tokoh lainnya dalam konteks penyebaran Islam, selalu ada cerita
tentang kekuatan supranatural. Sunan Bonang dapat mengubah buah kelapa menjadi koin
emas, Maulana Iskhak dapat menyembuhkan putri Blambangan dengan kekuatan ghaib,
Sultan Agung dapat berjamaah di Mekkah, dan sebagainya. Dalam dunia mitologi, sosok
manusia bisa menjadi manusia lebih, sebongkah benda juga bisa menjadi sebongkah
benda lebih. Manusia atau benda yang dimitoskan itu kemudian hidup dalam sejarah-
sejarah lisan melalui proses pelembagaan, habitualisasi dan legitimasi. Biasanya melalui
proses yang diciptakan oleh kaum elit, terutama dalam proses kekuasan154.
Karena kekuatan supranaturalnya, Mbah Sholeh Semendi mampu merubah
paradigma masyarakat. Paradigma yang menyanjung seseorang karena mempunyai
sesuatu yang lebih dari yang lain. Dengan paradigma ini, Mbah Sholeh semendi mampu
mempengaruhi dan merubah masyarakat sekitar. Mampu membuka jalan untuk
menyebarkan ajaran Islam dan mengislamkan sebagian besar pengikut Labuh Geni
setelah adu laga kesaktian, setelah itu mengislamkan masyarakat Winongan dan
Pasuruan pada umumnya.
Di Winongan Pasuruan ini, Mbah Sholeh Semendi membawa misi dakwah sesuai
perintah Allah yang termaktub dalam al Qur’an surat Al Muddatsir ayat 1-10 berbunyi:

   


    
  
   
   
    
  
    
   
Artinya: 1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. Bangunlah, lalu berilah
peringatan!, 3. Dan Tuhanmu agungkanlah!, 4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5.
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. Dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, 7. Dan untuk (memenuhi
perintah) Tuhanmu, bersabarlah, 8. Apabila ditiup sangkakala, 9. Maka waktu

152
Hasil Interview dengan Abdul Mujib (ahli tawasul) pada Oktober 2015 di area pemakaman Mbah Sholeh
Semendi Winongan Pasuruan
153
http://sidogiri.net, “Profil.”
154
Agus Zaenal Fitri, “Pola Interaksi Harmonis Antara Mitos, Sakral, Dan Kearifan Lokal Masyarakat
Pasuruan,” el Harakah 14 (2012).

37
itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, 10. Bagi orang-orang kafir lagi
tidak mudah.

Dakwah pada Labuh Geni dan Pengikutnya


Mbah Sholeh Semendi meneladani dakwah Islam yang dilakukan oleh Walisongo
yaitu dakwah yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Dakwah Islam yang
dilakukan Mbah Sholeh Semendi pada Labuh Geni adalah dengan adu kesaktian sebagai
tradisi masa itu. Dakwah Islam yang dilakukan pada Labuh Geni ini, berbeda dengan
dakwah yang dilakukan pada masyarakat Winongan masa itu. Kalau dakwah Islam pada
Labuh Geni dengan cara adu kesaktian, maka dakwah Islam yang dilakukan pada
masyarakat Winongan adalah dengan cara yang humanis, menyentuh hati, halus, dan
mudah diterima. Dari sini nampak istilah dakwah struktural dan dakwah kultural,
dakwah struktural terjadi dengan Labuh Geni sedangkan dakwah kultural dilakukan pada
masyarakat Winongan.
Dakwah Islam yang dilakukan pada para pengikut Labuh Geni dan pengikutnya
adalah dakwah Islam tanpa paksaan yaitu dengan memberikan pilihan. Ketika sudah
kalah dalam laga adu kesaktian, Labuh Geni merasa yakin bahwa ajaran yang dibawa
Mbah Sholeh Semendi adalah ajaran yang benar dan ia dengan sukarela masuk agama
Islam. Sementara pengikutnya mendapatkan pilihan, antara mengikuti Labuh Geni
dengan ajaran baru yang dibawa Mbah Sholeh Semendi atau tidak mengikutinya. Dari
konteks ini sudah jelas bahwa Mbah Sholeh Semendi tidak memaksakan ajarannya pada
mereka, tapi mereka dengan sukarela masuk agama Islam. Ini adalah bentuk pengamalan
al Qur’an, surat al Baqarah ayat 256 yang berbunyi:
     
    
  
  
 
    
   

Artinya: “ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah
jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah
berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan
putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (2:256).

Sebab turunnya surat al Baqarah ayat 256 dari kisah seorang wanita yang bernazar
ingin menjadikan anaknya Yahudi. Sedangkan dari riwayat lain menjelaskan bahwa ada
seorang lelaki Anshar yang memiliki dua anak menganut Nasrani sedangkan dia sendiri
seorang muslim, maka turunlah ayat tersebut155. Senada dengan pendapat Ibnu Katsir,
dalam tafsir Hidayatul insan dijelaskan bahwa “Tidak ada paksaan dalam (menganut)
agama (Islam)” ayat ini tentang seorang wanita yang miqlaat (yakni wanita yang nampak
tidak mungkin bisa hidup lagi seorang anak), ia pun bernadzar jika masih bisa hidup
seorang anak di sisinya, maka ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika Bani Nadhir diusir,
dan di sana terdapat anak-anak orang Anshar. Mereka berkata, "Kami tidak akan
155
Jalaluddin Abi Abdurrahman as Suyuthi, Asbabun Nuzul: Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, Penerbit: al
Kutub ats Tsaqofiyah, Beirut: 2002.

38
membiarkan anak-anak kami", maka turunlah ayat tersebut. Sedangkan Ayat
“sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat” Yakni
telah jelas berdasarkan ayat-ayat yang begitu jelas bahwa iman adalah petunjuk dan
kekafiran adalah kesesatan. Ayat ini turun berkenaan tentang sebagian orang Anshar
yang memiliki anak, di mana dia hendak memaksa mereka masuk Islam156. Menurut
Syaikh As Sa'diy: Allah memberitahukan bahwa tidak ada paksaan dalam menganut
agama. Adapun agama Islam telah jelas tanda-tanda (kebenarannya) oleh akal. Oleh
karena itu, orang yang memperoleh taufiq akan memilihnya. Sedangkan orang yang
buruk niatnya, maka ketika melihat yang hak, dia lebih memilih yang batil, saat ia
melihat yang bagus, maka ia lebih memilih yang jelek. Allah tidak butuh memaksanya
menganut agama ini karena orang yang dipaksa imannya tidaklah sah. Ayat ini tidaklah
menunjukkan agar kita tidak memerangi orang-orang kafir harbiy (yang memerangi
Islam). Hakikat agama ini sesungguhnya menghendaki untuk diterima oleh setiap orang
yang adil, yang tujuannya mencari yang hak157.
Karena Al-Qur’an memberikan petunjuk bahwa siapapun yang melakukan amal
sholeh maka akan mendapatkan pahala dari sisi Tuhannya, tidak melihat agama apa yang
ia yakini. Hal ini ditegaskan dalam al Qur’an surat al Baqarah ayat 62 yang berbunyi:

  


 
 
   
   
   
   
 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-
benar beriman kepada Alloh, hari kemudian dan beramal sholeh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”158.

Sebab turunnya Ayat 62 dari Surat al Baqarah tersebut turun pada rekan-rekan
Salman al Farisi (sebelum di masuk Islam). Salman mengatakan kepada Rasululloh
tentang sembahyang dan ibadah rekan-rekannya. Kemudian Rasululloh bersabda:
“mereka di dalam neraka. Salman merasa bumi gelap”. Lalu turunlah ayat tesebut
sehingga Salman pun merasa lega159. Sedangkan yang dimaksud “orang-orang yang
beriman” ialah kaum muslimin. “al-ladzina haduu” ialah orang orang yahudi. Nashara
adalah pengikut Nabi Isa a.s. Shabiin adalah golongan musyrikin Arab sebelum diutus
Nabi Muhammad saw. Ayat ini menetapkan bahwa siapa saja yang beriman kepada
Alloh dan hari akhir serta beramal sholeh, mereka aka mendapatkan pahala dari sisi
Tuhannya. Yang ditekankan di sini adalah hakikat ibadah, bukan fanatisme golongan

156
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan Jilid I, h. 133
157
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan Jilid I, h. 133
158
Al Qur’an digital 2.1 (http://www.alqur’an-digital.com)
159
Jalaluddin Abi Abdurrahman as Suyuthi, Asbabun Nuzul: Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, al Kutub ats
Tsaqofiyah, Beirut: 2002.

39
atau bangsa160. Apa yang dilakukan Mbah Sholeh Semendi kepada para pengikut Mbah
labuh Geni merupakan aplikasi dari kedalaman ilmu agamanya, karena dalam agama
Islam memang tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. Namun, Mbah Sholeh
Semendi melakukan dakwah Islam dengan pendekatan dakwah Islam.

Dakwah pada Masyarakat Winongan


Dakwah Islam yang dilakukan oleh Mbah Sholeh pada masyarakat adalah dengan
cara mendekati apa yang disukai masyarakat waktu itu yaitu ketika mengislamkan para
pengadu ayam. Berkaitan dengan dakwah pada masyarakat ini sesuai yang disebutkan
dalam al Qur’an surat Yusuf ayat 108 yang berbunyi:

   


     
   
   
 
Artinya: “Katakanlah (Muhamad), Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik” (12:108).

Allah berfirman kepada RasulNya yang diutus kepada manusia dan jin,
memerintahkan kepadanya agar memberitahu kepada manusia bahwa inilah jalannya,
maksudnya adalah cara, jalan dan sunnahNya, yaitu dakwah kepada syahadah bahwa
tidak ada ilah yang haq selain Alloh yang Mahaesa tidak ada sekutu baginya, dengan
jalan itu dia mengajak kepada Allah berdasarkan bukti, dalil, an keyakinan161. Ayat lain
yang berkaitan dengan dakwah yaitu Surat asy Syura ayat 13-19. Ayat dakwah yang
mengajak kepada menyembah pada Alloh yakni Az Zuhruf Ayat 57-67, Surat Fushilat 2-
8, sedangkan surat tentang dasar-dasar dakwah dan sikap terhadap lawan adalah surat an
Nahl ayat 125, Surat tentang teguran kepada Nabi agar jangan mementingkan orang-
orang terkemuka saja dalam berdakwah adalah surat al Kahfi ayat 27-31, Surat Nuh ayat
5-24, dan perintah berdakwah dalam surat Al Muddatsir ayat 1-10.
Dakwah Islam yang dilakukan oleh Mbah Sholeh Semendi, merupakan bukti
perannya dalam membangun dan menata pendidikan sosial, bahkan sistem negara dalam
masyarakat yang berbudaya. Sebagaimana pendapat Sayyid Qutb ketika menafsiri Surat
al Mumtahanah ayat 8 yang berbunyi:

    


   
  
  
   
   
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula)

160
Tahsir Fi Zhilalil Qur’an I h. 91
161
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 13 h.466

40
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” (60: 8).

Menurut Sayyid Qutb, surat ini berkaitan dengan pendidikan iman, penataan sosial
kemasyarakatan, dan sistem negara dalam masyarakat berbudaya dan modern.
Pendidikan iman yang membebaskan dari fanatisme bangsa, fanatisme jenis, fanatisme
tanah air, fanatisme kerabat atau keluarga dengan meletakkan iman kepada Alloh di atas
segalanya yakni Iman yang mengikis segala perbedaan jenis, bahasa, dan garis
keturunan162. Pendapat ini berkaitan dengan Asbabun Nuzul ayat tersebut yakni tentang
Qatilah (seorang kafir) yang datang kepada Asma’ binti Abi Bakr (anak kandungnya)
untuk berbuat baik kepadanya. Konteks ini menegaskan bahwa Allah tidak melarang
berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. Peristiwa ini diperjelas
dengan riwayat lain bahwa bahwa Siti Qatilah, istri Abu Bakr yang telah diceraikan pada
zaman jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma’ binti Abi Bakr, membawa bingkisan.
Asma’ menolak pemberian itu, bahkan ia tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam
rumahnya. Setelah itu, ia mengutus seseorang kepada ‘Aisyah (saudaranya) agar
menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw memerintahkan untuk
menerimanya beserta pula bingkisannya dengan baik. Ayat ini menegaskan bahwa Allah
tidak melarang berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memusuhi agama Allah 163.
Sikap tersebut merupakan akibat dari ayat-ayat yang mendorong untuk memusuhi orang-
orang kafir, hal ini mampu mempengaruhi cara berpikir kaum mukmin. sehingga mereka
merasa berdosa ketika menyambung tali silaturrahim kepada kerabat mereka yang masih
musyrik. Mereka mengira bahwa hal itu termasuk yang dilarang Allah, maka Allah SWT
memberitahukan bahwa berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang-orang kafir
dzimmi tidak termasuk ke dalam hal yang dilarang Allah SWT164.
Al Qur’an surat al Mumtahanah ayat 8 di atas bermaksud mengharmoniskan
hubungan sosial baik secara individu maupun sosial untuk membangun negara. Untuk
membangun negara yang tenteram dan sejahtera harus didasari dengan situasi dan
kondisi yang harmonis dimulai dari pranata sosial yang kecil yakni harmonisasi keluarga.
Mbah Sholeh Semendi memulainya dengan menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat
Winongan dan sekitarnya.

C. Komunikasi Dakwah Mbah Sholeh Semendi


Pemahaman manusia terhadap efektifitas komunikasi merupakan hal yang penting,
karena pada dasarnya konflik dapat disebabkan oleh masalah komunikasi165. Bahkan
kebuntuan jalan keluar dari konflik-konflik tersebut boleh jadi karena paradigma yang
tidak fleksibel terhadap identitas tertentu atau keengganan memperbaiki komunikasi
yang buruk166. Namun, Setiap persoalan ada solusinya, agama Islam telah mengajarkan
agar setiap orang saling berkomunikasi, mengklarifikasi sesuatu yang tidak jelas,
menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, dan menyelesaikan persoalan dengan
pemikiran positif, semua ini diajarkan untuk melakukannya dalam setiap agama167.
Sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an, komunikasi ketika menghadapi orang-orang
yang berbeda keyakinan itu dikembangkan dengan semangat hikmah dan mau’idhah

162
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Juz XXVIII h. 238
163
http://www.tafsironline.org/2015/04/asbabun-nuzul-surat-al-mumtahanah-ayat.html
164
Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Insan Jilid IV, h.271
165
Subhi Azhar, “Rethinking Dialogue: Antara Konflik Dan Perubahan Damai,” Harmoni 10 (2011). h. 541
166
Ibid. h. 534
167
Ibid. h. 541

41
hasanah seperti disinggung di muka168. Al-Qur’an juga menjadi landasan dan tuntunan
komunikasi Islami, sementara Nabi Muhammad SAW yang menjadi modelnya. Kita
dapat meneladani keduanya dalam berkomunikasi dalam pelbagai konteks sosial169.
Mbah Sholeh Semendi memahami pola komunikasi yang diajarkan oleh agama
Islam, ia berkomunikasi dengan Labuh Geni dengan melaksanakan wa jadilhum billati
hia ahsan sehingga komunikasinya melalui konfrontasi dengan adu kesaktian, karena
sebuah tradisi masa itu. Sedangkan komunikasi dengan pengikutnya dan masyarakat
Winongan berbeda dengan komunikasi yang dilakukannya terhadap Labuh Geni yakni
dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Keberhasilan dakwah Islam Mbah Sholeh
Semendi dapat dibuktikan dengan masuknya Labu Geni, pengikutnya, dan disusul
masyarakat Winongan dan sekitarnya.
Al-Qur’an sebagai sumber dakwah Islam seungguhnya sudah memberikan beberapa
prinsip tentang bagaimana seharusnya komunikasi dakwah harus dibangun. Misalnya
konsep qaulan balighan, qaulan layyinan, qaulan sadidan merupakan prinsip-prinsip
dasar komunikasi yang selain mengandung dimensi historisitas juga normativitas.
Sehingga melalui prinsip ini, maka seorang da’i di dalam melakukan komunikasi dengan
audiennya pastilah menerapkan prinsip tersebut170. Dalam al Qur’an, ada enam
komunikasi yang disebutkan, pertama qaulan ma’rufan [QS an-Nisa’[4]:8], kedua
qaulan sadiidan [QS an-Nisa’[4]:9], ketiga, qaulan balighan [QS an-Nisa’[4]:63],
keempat, qaulan kariman [QS al-isra’[17]:23], kelima qaulan maysuuran [al-
isra’[17]:28], dan keenam qaulan layyinan [Thaha [20]:44].
Pertama, qaulan ma’rufan [QS an-Nisa’[4]:8] yang berbunyi:

  


 
 
  
   
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian (warisan) itu hadir beberapa kerabat, anak-
anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

qaulan ma’rufan di sini ditafsiri yakni jika ternyata tidak mungkin karena hal-hal
tertentu, maka berbicaralah pada mereka dengan kata-kata yang lembut171.

Kedua, qaulan sadiidan [QS an-Nisa’[4]:9] yang berbunyi:

   


   
  
  
 
168
Achmad Rosyidi, “Penguatan Integritas Bangsa Melalui Internalisasi Ajaran Agama,” Harmoni 8 (2009): 29.
h. 29
169
Hasan Basri Tanjung, “Bertutur Kata,” Khazanah Republika, April 2015.
170
Nur Syam, “Membangun Ilmu Dakwah Lintas Displin,” Http://nursyam.uinsby.ac.id, accessed February 18,
2016, /?p=1141&cpage=1#comment-2401.
171
Abu Yahya Marwan Bin Musa, Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid I (www.tafsir.web.id, n.d.). h. 231

42
Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Ketiga, qaulan balighan terdapat dalam [QS an-Nisa’[4]:63] yang berbunyi:

  


    
    
   
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam
hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasehat,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.

qaulan balighan di sini ditafsiri, Misalnya secara sir (rahasia), karena yang
demikian dapat membuahkan hasil. Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa pelaku maksiat,
jika berpaling, maka dinasehati secara rahasia dan menasehati dengan kata-kata yang
bisa membekas di hatinya172.

Keempat qaulan kariman [QS al-isra’[17]:23] yang berbunyi:


    
  
   
  
    
   
   

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara
keduanya atau keduaduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik.

Yakni perkataan yang dicintai keduanya serta menenteramkan hati keduanya, dan
hal ini disesuaikan dengan keadaan, kebiasaan dan zaman173.

Kelima, qaulan maysuuran [al-isra’[17]:28] yang berbunyi:

  


   

172
Ibid. h. 272
173
Abu Yahya Marwan Bin Musa, Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid II (www.tafsir.web.id, n.d.).h. 369

43
   
 
Artinya: Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang
lemah lembut.

Maksudnya, apabila kamu tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti yang
tersebut dalam ayat 26, maka katakanlah kepada mereka perkataan yang baik agar
mereka tidak kecewa karena mereka belum mendapat bantuan dari kamu. Dalam keadaan
seperti itu, kamu berusaha untuk mencari rezeki (rahmat) dari Tuhanmu, sehingga kamu
dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Contoh ucapan yang lemah lembut
adalah berjanji akan memberikan bantuan kepada mereka ketika ada rezeki. Hal ini
termasuk ibadah, karena berniat untuk berbuat baik adalah sebuah kebaikan. Oleh karena
itu, sepatutnya seorang hamba melakukan perbuatan baik yang bisa dilakukan dan
memiliki niat baik untuk perkara yang belum bisa dilakukan, agar memperoleh pahala
terhadapnya dan boleh jadi Allah memudahkannya karena harapan yang ada dalam
dirinya174.

Keenam, qaulan layyinan [Thaha [20]:44] yang berbunyi:




Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.

Yakni dengan lembut dan beradab, Ucapan yang lembut dapat membuat orang lain
menerima, sedangkan ucapan yang keras dapat membuat orang lain menjauh. Contoh
Nabi Musa ‘alaihis salam yang mengikuti perintah Allah untuk menasehati Fir’aun,
ketika sampai kepada Fir’aun, Musa berkata sesuai perintah Allah, “Adakah keinginanmu
untuk membersihkan diri, dan engkau akan aku arahkan ke jalan Tuhanmu agar Engkau
takut kepada-Nya?” (lihat surah An Naazi’at: 18-19) sepeti inilah cara yang perlu
dilakukan da’i, yakni perkataannya tidak menunjukkan paksaan, tetapi menunjukkan
pilihan dan penawaran seperti dengan kata-kata, “Maukah? Mungkin? Barang kali?” dsb.
Karena hal ini lebih bisa diterima daripada perkataan yang terkesan memaksa atau
mengajari, terlebih kepada orang yang lebih tua. Perhatikanlah kalimat tersebut, “Adakah
keinginanmu untuk membersihkan diri…dst.” Kalimatnya tidak “Agar aku bersihkan
dirimu?” tetapi “membersihkan diri?” yang menunjukkan biarlah ia membersihkan
dirinya sendiri setelah mengingatkan sesuatu yang membuatnya berpikir. Kemudian
Musa ‘alaihis salam mengajaknya kepada jalan Tuhannya yang telah mengaruniakan
berbagai nikmat yang nampak maupun yang tersembunyi, di mana nikmat-nikmat itu
sepatutnya disyukuri dengan mengikuti perintah-perintah-Nya. Namun ternyata Fir’aun
tidak menerima nasehat yang lembut itu, maka semakin jelaslah, bahwa peringatan tidak
bermanfaat baginya, sehingga pantas jika Allah menghukumnya175.
Dari beberapa paparan tentang berkomunikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ajaran Islam melalui al Qur’an mengajarkan komunikasi yang baik yakni dengan qaulan

174
Ibid. h. 371
175
Ibid. h. 466

44
ma’rufan, berbicara dengan kata-kata yang lembut. Kedua qaulan sadiidan yaitu
berbicara dengan tutur kata yang benar. Ketiga qaulan balighan, yaitu menasehati secara
rahasia dan menasehati dengan kata-kata yang bisa membekas di hatinya. Keempat,
qaulan kariman yakni berkata yang menenteramkan hati yang disesuaikan dengan
keadaan, kebiasaan dan zaman. Kelima qaulan maysuuran yaitu perkataan yang baik
agar tidak mengecewakan karena belum mendapat yang diharapkan. Keenam qaulan
layyinan yaitu perkataan yang lembut dan beradab, tidak membual (mengada-ada), tidak
keras ucapannya dan tidak kasar sikapnya.
Konsep dakwah Islam dengan cara komunikasi yang diajarkan oleh agama Islam
sebagaimana telah dibahas di atas, kemungkinan yang menjadi landasan bagi Mbah
Sholeh Semendi untuk menata peradaban Islam di Winongan dan sekitarnya. Konsep
dakwah ini diterapkan oleh Mbah Sholeh Semendi untuk menghadapi Labuh Geni,
pengikutnya dan masyarakat Winongan serta masyarakat sekitar. Barangkali konsep ini
juga yang membuat Mbah Sholeh Semendi berbeda cara pendekatannya ketika
menghadapi masyarakat Winongan yang berbeda dengan dirinya, baik secara agama
maupun etnis sebagaimana telah diungkap di atas.

D. Strategi Dakwah
Sedangkan strategi yang dipakai oleh Mbah Sholeh Semendi adalah melalui
pendidikan agama dengan sarana padepokan yang menjadi pesantren pada masa setelah
dikalahkannya Labuh Geni. Barangkali strategi melalui pesantren ini yang turut andil
menata peradaban Islam Winongan dan sekitarnya. Lewat strategi ini pula, mayoritas
masyarakat Winongan memeluk agama Islam sebagai ajaran yang diyakini.
Perkembangan Pesantren dan Madrasah di Winongan tidak lepas dari peran Mbah
Sholeh Semendi, dari data statistik tahun 2015 dapat dilihat bahwa di Winongan terdapat
57 madrasah, 5 pondok pesantren dan 52 Madrasah Diniyah.176

E. Metode Dakwah Islam


Untuk melaksanakan dakwah di atas, Mbah Sholeh Semendi menggunakan metode
dakwah yang sama dengan para pendahulunya yakni Walisongo. Karena Mbah Sholeh
juga manusia yang memiliki kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan
suatu agama dengan berbekal pada kondisi historis dan tradisi yang melingkupinya.
Yakni kondisi masyarakat Winongan yang masih menganut agama Hindu berikut tradisi
yang diikutinya. Apalagi penafsiran obyek itu terkait dengan ajaran Islam yang diakui
sebagai ajaran universal yaitu ajaran yang kontekstual baik dari sisi waktu maupun
tempat. Di Jawa (Jawa Timur bagian utara dan timur termasuk Pasuruan), tantangan-
tantangan muncul dari tradisi mistik Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa-Hindu177 dan
pranata sosial kemasyarakatan. Tradisi mistik atau supranatural dimiliki oleh kebanyakan
orang Jawa yang mayoritas beragama Hindu, merupakan tantangan yang harus dihadapi
oleh Mbah Sholeh Semendi untuk menghadapi masyarakat Winongan. Tantangan
pertama yang dihadapi adalah kekuatan mistik yang dimiliki oleh Labuh Geni dengan
kekuatan dari udeng dan api sebagai andalan dan julukannya. Sementara, Mbah Sholeh
Semendi mempunyai kekuatan supranatural teklek yang bisa terbang dan beberapa
kekuatan supranatural lain yang telah dibahas di atas.
Tantangan selanjutnya, muncul dari sistem hirarkis dalam pranata sosial
kemasyarakatan, yakni ketika itu Pasuruan di bawah pimpinan sang Adipati di bawah
kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah pengaruh penjajah Belanda. Untung Surapati
176
BPS Pasuruan, Kecamatan Winongan Dalam Angka 2015, ed. Seksi Integrasi Pengolahan dan Diseminasi
Statistik (Pasuruan: http://pasuruankab.bps.go.id, 2015), /linkTabelStatis/view/id/19. h. 44
177
Bakri, “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan Jawa ).”

45
menjadi adipati Pasuruan atas perintah Raja Mataram bernama Amangkurat II yang tidak
lepas dari pengaruh Belanda. Untung Surapati pun berjuang mengusir Belanda dari tanah
Pasuruan.
Karena kondisi pranata sosial kemasyarakat ini, al Qur’an memberikan arahan
berupa teguran kepada Nabi agar jangan mementingkan orang-orang terkemuka saja
dalam berdakwah. Arahan dakwah ini termaktub dalam al Qur’an surat al Kahfi ayat 27-
31 yang berbunyi:

    


    
   
  
   
  
 
    
  
   
    
  
   
     
   
   
   
  
 
  
   
   
  
   
    
   
   
    
  
   
  
   
  
Artinya: 27. Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, Yaitu kitab Tuhanmu (Al
Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan
kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. 28.
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru

46
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas. 29. Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung
mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. 30.
Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak
akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya)
dengan yang baik. 31. Mereka Itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga
'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi
dengan gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan
sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang
indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah;

Untuk menghadapi tantangan yang muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya
Jawa-Hindu dan tantangan pranata sosial keagamaan di atas, Walisongo dengan kekuatan
politik Demak menggunakan metode mauidhoh hasanah wa mujadalah billati hiya
ahsan. Barangkali metode ini juga dilakukan oleh Mbah Sholeh Semendi untuk
menghadapi masyarakat Winongan yang berbeda secara agama maupun etnis. Metode ini
termaktub dalam al Qur’an Surat an Nahl ayat 125 berbunyi:

   


 
  
    
     
   
 
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.

Implikasi dari penggunaan metode dakwah yang sesuai ajaran al Qur’an ini adalah
masyarakat Jawa tidak merasa kaget karena para wali menghargai budaya yang
berkembang dan melakukan dakwah dengan cara yang sangat halus. Maka terjadilah
sinkretisme paradigma dengan cara keberagamaan yang unik dan kompromis. Sebagai
pelopor penyebaran ajaran Islam di kawasan timur khususnya Pasuruan, Mbah Sholeh
Semendi menggunakan pendekatan dakwah humanis dan menyentuh hati178. Karena
surat an Nahl ayat 125 tersebut adalah tentang dasar-dasar dakwah dan sikap terhadap
lawan. Lawan atau medan dakwah waktu itu adalah masyarakat yang sangat berbeda
dengan diri Mbah Sholeh Semendi baik secara agama maupun etnis masa itu. Dari segi
178
Bakhri, Permata Teladan.

47
etnis Mbah Sholeh Semendi adalah keturunan Arab dan Sunda, Untung Suropati dari
Suku Bali, Labuh Geni dan masyarakat Winongan dari Suku Jawa. Dari segi agama,
Untung Suropati sebagai Adipati adalah pemeluk Hindu sedangkan masyarakat
Winongan dan sekitarnya memeluk Hindu pada mulanya. Dengan metode dakwah
seperti yang diterapkan Walisongo, Mbah Sholeh Semendi berhasil menyebarkan ajaran
Islam pada masyarakat Winongan dan sekitarnya.
Membahas tentang metode tentu banyak pilihan yang bisa dijalankan oleh para da’i
sesuai kondisi sosial mad’u yang dihadapi. Metode-metode yang tersedia seperti
ceramah, diskusi, dialog, propaganda, home visit, bahkan tanya jawab. Dakwah yang
dilakukan Mbah Sholeh Semendi dalam islamisasi masyarakat Winongan dijumpai hal-
hal yang tidak rasional. Oleh karena itu, pembatasan metode dakwah dalam penulisan ini
menjadi dakwah yang umumnya dilakukan para walisongo dalam mengislamkan tanah
Jawa. Karena Kesuksesan Mbah Sholeh Semendi dalam mengislamkan Winongan terkait
dengan metode yang juga digunakan oleh Sunan Gunung Jati, salah satu anggota
Walisanga sekaligus kakeknya. Ketika kondisi lapangan dan tantangan di setiap daerah
berbeda, maka metode yang digunakan para wali pun berbeda. Beberapa metode dakwah
yang dilakukan para wali, yaitu :
1. Metode mau’izhatul hasanah wa mujadah billati hiya ahsan. Metode dakwah ini
digunakan saat berhadapan dengan tokoh khusus, seperti Raja, penguasa,
bangsawan, atau orang terpandang. Para tokoh itu diperlakukan secara personal,
dihubungi secara istimewa, dan bertemu secara pribadi. Kepada mereka diberikan
keterangan, pemahaman, dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Pengislaman yang
penuh toleransi dengan bertukar pikiran, memberi peringatan dengan halus agar mau
melihat kebenaran dan memeluk Islam.
2. Metode al-hikmah adalah metoda dakwah yang dlakukan para wali dengan jalan
kebijaksanaan yang dilakukan dengan popular, atraktif, dan sensasional cara ini
digunakan dalam menghadapi masyarakat awam, biasanya masyarakat dikumpulkan
secara massal. Dengan tata cara yang bijaksana melakukan pertunjukkan yang
sensasional terkadang ganjil, unik, dan aneh sehingga menarik perhatian.
3. Metode tadarruj atau tarbiyatul ummah, dipergunakan sebagai proses klasifikasi
yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat agar pendidikan Islam dapat dengan
mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara
merata, maka tampaklah metode yang ditempuh para Walisongo didasarkan atas
pokok pikiran li kulli maqam maqal, yaitu memerhatikan bahwa setiap jenjang dan
bakat ada tingkat, bidang materi, dan kurikulumnya. Sesuai dengan cara ini,
penyampaian aturan-aturan agama (fiqih) ditujukan terutama bagi masyarakat awam
dengan jalan mendirikan pesantren dan lembaga sosial
4. Metode pembentukkan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke
berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari
penghuni ataupun kosong dari pengaruh Islam.
5. Metode kerjasama dalam organisasi Walisongo, dalam hal ini diadakan pembagian
tugas masing-masing wali dalam mengislamkan masyarakat Jawa.
6. Metode musyawarah dilakukan para wali dan mengadakan musyawarah yang
membahas mengenai masalah agama, sosial, politik, hingga soal masalah mistik179.
Metode-metode di atas, dijalankan juga oleh Mbah Sholeh Semendi ketika
menghadapi Labuh Geni dengan mauidhah hasanah, metode hikmah dilakukan pada
pengikut Labuh Geni dan masyarakat Winongan, metode tadarruj dilakukan melalui
pesantren, metode pembentukan kader dilakukan pada masyarakat Winongan yang masih

179
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati. (Ciputat: Salima, 2012)

48
memeluk ajaran Hindu, metode kerjasama dilakukannya bersama Labuh Geni dan
pengikutnya, dan secara otomatis metode musyawarah dilakukan bersama-sama dengan
orang-orang pertama yang masuk Islam untuk menata peradaban Islam Winongan dan
sekitarnya

F. Perspektif Ilmu Sosial


Interaksi sosial yang terjadi antara Mbah Sholeh Semendi dengan Labuh geni
beserta murid-muridnya karena adanya saling pertukaran antar individu dan juga
individu dengan lingkungannya. Dalam menjalankan peran tersebut, terjadi kesepakatan
antara Mbah Sholeh Semendi dengan Labuh Geni dan berlangsung interaksi atau
hubungan berpasangan antar-ego dan alter. Ego yang mereka miliki terbangun dari latar
belakang yang membentuk karakter individunya. Mbah Sholeh Semendi dengan latar
belakang ajaran Islam dan Labuh Geni yang berlatar belakang ajaran Hindu. Perlu
diingat, Mbah Semendi adalah perantau yang datang dari Cirebon. Sebagai seorang
pendatang, tentu mempunyai nilai yang berbeda dari pada yang tidak merantau.
Pertemuan mereka berdua memunculkan perjanjian bahwa yang kalah dalam adu
kesaktian harus mengikuti yang menang. Selanjutnya, terjadi sistem sosial yang
terbentuk dari sistem sosial berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dengan
tidak secara kebetulan, tetapi tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum
atau norma-norma sosial yang disepakati bersama. Norma-norma ini yang membentuk
struktur sosial. Interaksi sosial terjadi karena adanya komitmen terhadap norma-norma
sosial yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di
antara anggota masyarakat dengan menemukan keselarasan satu sama lain di dalam suatu
tingkat integrasi sosial tertentu. Menurut Irawan, kondisi minimal yang diperlukan dalam
sebuah sistem sosial antara lain: (1) orientasi pelaku terhadap situasi dilatarbelakangi
oleh motivasi mewujudkan ekuilibrium; (2) harapan timbal balik yang ajek di antara
pelaku; (3) membagi dan sama-sama merasakan makna tentang apa yang sedang
terjadi180.
Dari kajian sosial ini, mengungkap segala hal yang dimiliki Mbah Sholeh Semendi,
baik kedalaman ilmu maupun individunya yang mampu mengolah konflik menjadi
damai, membentuk dirinya menjadi sosok kharismatik yang mampu mengubah
paradigma masyarakat. Sosok kharismatik ini barangkali yang bisa menghadirkan
harmonisasi, melahirkan murid-murid dan keturunan yang turut andil dalam menata
peradaban Pasuruan dan sekitarnya. Kedua Muridnya, yaitu Sayyid Sulaiman dan Sayyid
Abdurrahim menjadi penerus penyebaran ajaran Islam. Sayyid Sulaiman pernah menjadi
penasehat Untung Surapati, ia juga pendiri pondok Pesantren Sidogiri yang sekarang
mempunyai puluhan ribu santri. Sedangkan Sayyid Abdurrahim terkenal di tempat
tinggalnya yakni Segoropuro hingga namanya masyhur dengan nama Mbah Arif
Segoropuro. Keturunan Mbah Semendi mempunyai peran penting dalam peradaban
Winongan dan Pasuruan bahkan di beberapa daerah lain (sebagaimana dibahas
sebelumnya) pada masa setelahnya, salah satunya adalah Mbah Slagah yang berperan
mendirikan masjid jami’ al Anwar Pasuruan bersama Adipati kala itu. Mbah Slagah juga
bersama-sama rakyat Pasuruan melawan penjajah Belanda. Keberhasilan dakwahnya
juga dapat dilihat pada data statistik Winongan tahun 2015, hampir seratus persen
masyarakat Winongan memeluk agama Islam. Dari jumlah penduduk 41.385, pemeluk
agama Islam berjumlah 41.367 (99,96 %), Kristen berjumlah 5 (0,01%) dan Katolik
berjumlah 13 (0,03) 181. Dapat dikatakan lebih berhasil jika dianalisis dari data statistik
180
I.B Irawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Perilaku Sosial,
2nd ed. (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2013). 54-55
181
BPS Pasuruan, Kecamatan Winongan Dalam Angka 2015.

49
Pasuruan tahun 2015, hampir seratus persen masyarakat Pasuruan memeluk agama
Islam. Dari jumlah penduduk 41.385, pemeluk agama Islam berjumlah 1.515.702 orang
(99,96 %), Kristen Protestan berjumlah 10.547 orang (0,01%) dan Kristen Katolik
berjumlah 5.788 orang (0,03), sedangkan yang beragama Hindu, Budha dan Khonghucu
masing-masing tercatat sebanyak 15.879 orang, 249 orang dan 58 orang182.

182
BPS Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015.

50
BAB V
Kesimpulan

Islam masuk Indonesia sebelum abad 13 M dan berkembang pesat hingga secara
sosial politik berdiri Kerajaan Demak sebagai simbol Kekuasaan Islam di tanah Jawa
dengan Walisongo sebagai ujung tombaknya. Pada masa kerajaan Demak yang dipimpin
oleh Sultan Trenggono mampu menaklukkan Pasuruan dan Pasuruan pun menjadi mitra
penyebaran Islam. Penerus perjuangan Islam setelah era Demak adalah Kerajaan Pajang
kemudian Kerajaan Mataram. Kerajaan Pajang dan Mataram berpusat di pedalaman Jawa
menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang ortodoks dengan paham Jawa-
Hindu. Di masa Mataram, Strategi penyebaran ajaran Islam di perkotaan berubah
kompas melalui pendidikan di desa-desa (daerah pedalaman) Jawa bahkan sampai
pegunungan selatan Jawa yang dilakukan oleh penerus para wali termasuk Mbah
Semendi dengan mendirikan masjid, surau maupun pesantren.
Mbah Semendi adalah pelopor penyebaran ajaran Islam di Winongan dan sekitarnya,
ia adalah keturunan dari salah satu Walisongo yakni Sunan Syarif Hidayatulloh yang
hidup pada masa Untung Surapati, salah satu muridnya yakni Sayyid Sulaiman menjadi
penasehat Untung Surapati. Dakwah Islam dilakukan untuk menyebarkan ajaran Islam
pada masyarakat Winongan dan sekitarnya, hal ini dibuktikan dengan penyebaran nilai-
nilai ajaran Islam. Dengan kekuatan supranaturalnya, ia mampu merubah paradigma
masyarakat, sehingga membuka jalan untuk menyebarkan ajaran Islam, bahkan menjadi
populer setelah mengalahkan Labuh Geni dalam adu kesaktian.
Latar belakang ilmu dan perantau membentuk individu Mbah Sholeh Semendi
menjadi sosok kharismatik. Ia dapat mengolah konflik menjadi damai dan dapat
mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti ajaran-ajaran yang dibawanya. Barangkali
dari sosok kharismatik ini yang dapat melahirkan murid-murid dan keturunan yang bisa
ikut andil membangun peradaban Pasuruan dan sekitarnya. Ini adalah bukti keberhasilan
dakwah Islamnya, di samping data statistik Winongan tahun 2015 yang menunjukkan
bahwa hampir seratus persen penduduk Winongan memeluk agama Islam.
Perlu penulis sampaikan kepada para pembaca tulisan ini, untuk memberikan
sumbangsih masukan, pemikiran, dan kritikannya untuk meluruskan sejarah para
penyebar agama Islam, khususnya mengenai Mbah Sholeh Semendi.

51
DAFTAR PUSTAKA

AG, Muhaimin. “Book Review Islam Jawa: Antara Holisme Dan Individualisme.” Studia
Islamika 12, no. 1 (2005).
Arifah, Dinillah. Singgasana Raja Yang Bergoyang: Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan.
Edited by Mokh. Syaiful Bakhri. Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2007.
As-siba, Mustafa. Peradaban Islam, n.d.
Azhar, Subhi. “Rethinking Dialogue: Antara Konflik Dan Perubahan Damai.” Harmoni 10
(2011).
Azra, Azumardi. “Book Review Islamisasi Jawa.” Studia Islamika 20, no. 1 (2013).
Bakhri, Mokh. Syaiful. Permata Teladan. Pasuruan: Pustaka Utama, 2012.
http://ciptapustaka.blogspot.co.id/2012/06/permata-teladan.html.
Bakri, Syamsul. “Kebudayaan Islam Bercorak Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan
Jawa ).” DINIKA 12, no. 2 (2014): 33–40.
bookstore.google.com. “Cerita Rakyat Dari Pasuruan (Jawa Timur).”
BPS Kabupaten Pasuruan. Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2015. Pasuruan:
http://pasuruankab.bps.go.id, 2015.
BPS Pasuruan. Kecamatan Winongan Dalam Angka 2015. Edited by Seksi Integrasi
Pengolahan dan Diseminasi Statistik. Pasuruan: http://pasuruankab.bps.go.id, 2015.
/linkTabelStatis/view/id/19.
Bruinessen, Martin Van. “Najmuddin Al-Kubra , Jumadil Kubra Dan Jamaluddin Al-Akbar
(Jejak Pengaruh Kubrawiyya Pada Permulaan Islam Di Indonesia).” Al-Qurba 1, no. 1
(2010): 24–57.
Dhofier, Zamakhsyari. “The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the
Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java.” Australian National
University, 1980.
Djunaedi. “Pusat Seni Bela Diri Pencak Silat Di Tangerang” (n.d.): 1–16.
Faqih, Ahmad. “Pergumulan Islam Dan Budaya Jawa Di Lereng Gunung Merbabu Perspektif
Dakwah.” Ilmu Dakwah 34, no. 1 (2014): 24–40.
Fitri, Agus Zaenal. “Pola Interaksi Harmonis Antara Mitos, Sakral, Dan Kearifan Lokal
Masyarakat Pasuruan.” el Harakah 14 (2012).
Hardhi, Titan Rohkmutiana. “Dakwah Sunan Gunung Jati Dalam Proses Islamisasi Di
Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568,” 2014.
Hasan, Raziq. Perkembangan Arsitektur Hindu Budha. raziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id,
n.d. Perkembangan+Arsitektur+Hindu+...
http://bloraku.com. “Diskusi Tentang Budaya Keris Dan Tombak.”
http://id.rodovid.org. “Orang:188514.”
http://id.wikipedia.org. “Babad Pasuruan.”
http://m.detik.com. “Wolipop.”
http://nasional.news.viva.co.id. “Mitosnya Ikan-Ikan Ini Pengawal Majapahit Yang Dikutuk.”
http://pustaka.islamnet.web.id. “Bahtsul Masaail Tentang Sidogiri.”
http://ranji.sarkub.com. “Meluruskan Silsilah Mbah Soleh Semendi Pasuruhan Mbah Ragil
Semendi Ponorogo.” Accessed December 27, 2015. meluruskan-silsilah-mbah-soleh-
semendi-pasuruhan-mbah-ragil-semendi-ponorogo/.
http://sidogiri.net. “Profil.”
http://warkopmbahlalar.com. “Sang Pembabat Kawasan Timur Pulau Jawa.” Accessed
January 1, 2015. 2849/sang-pembabat-kawasan-timur-pulau-jawa/.
http://www.kaskus.co.id. “Joko Unthuk Cerita Masyarakat Winongan Pasuruan.”
http://www.kemendagri.go.id. “Profil Daerah.” /kabupaten/id/35/name/jawa-
timur/detail/3514/pasuruan.

52
http://www.kompasiana.com. “Misteri Di Telagawilis.”
https://id.wikipedia.org. “Madakaripura.”
Irawan, I.B. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan
Perilaku Sosial. 2nd ed. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2013.
Kalsum. “Simbol-Simbol Ungkapan Pemikiran Dalam Naskah Tasawuf Awal Islamisasi.”
Jumantara Vol. 3, no. 2 (2012). http://www.perpusnas.go.id/magazine/simbol-simbol-
ungkapan-pemikiran-dalam-naskah-tasawuf-awal-islamisasi/.
Khalil, Ahmad. Islam Jawa, Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa. I. Malang: UIN-Malang
Press, 2008.
Koestoro, Partanda dan Wiradnyana, Ketut. Tradisi Megalitik Di Pulau Nias. Pertama.
Medan: Balai Arkeologi Medan, 2005.
Kosim dkk. “Perkembangan Agama Islam Di Desa Wonokerto Kecamatan Sukapura
Kabupaten Probolinggo Tahun 1983-2012.” Pancaran 2, no. 4 (2013): 65–74.
Kusuma, I Nyoman Weda. “Geguritan Nabi Muhammad: Cermin Akulturasi Budaya Hindu-
Islam Di Bali.” sari 25 (2007): 119–127.
Madjid, Nur Cholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Pustaka NU Online,
2003.
Mahrus, El-Mawa. “Rekonstruksi Kejayaan Islam Di Cirebon; Studi Historis Pada Masa
Syarif Hidayatullah (1479-1568).” Jumantara, April 2012.
http://www.perpusnas.go.id/magazine/rekonstruksi-kejayaan-islam-di-cirebon-studi-
historis-pada-masa-syarif-hidayatullah-1479-1568/.
Makhfud, Muhammad Yusuf. “Konflik Politik Kerajaan Demak Setelah Wafatnya Sultan
Trenggono Tahun 1546-1549,.” Artikel Ilmiah Mahasiswa (2015): 1–10.
Masyhudi. “Menjelang Masuknya Islam Di Ujung Timur Pulau Jawa.” Berkala Arkeologi
XXVII, no. 1 (2007): 43–59.
Musa, Abu Yahya Marwan Bin. Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid I. www.tafsir.web.id,
n.d.
———. Tafsir Al Qur’an Hidayatul Insan Jilid II. www.tafsir.web.id, n.d.
Nurhamid, Ahmad. “Arya Penangsang Gugur: Antara Hak Dan Pulung Kraton Demak
Bintara.” Dinamika Bahasa & Budaya 3 (n.d.): 105–115.
Permana, Rahayu. “Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia,” no. 59 (1996).
Pigeaud, TH. G. TH. “Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke
Mataram.” Jakarta: Grafiti pers, 1985.
Rosyidi, Achmad. “Penguatan Integritas Bangsa Melalui Internalisasi Ajaran Agama.”
Harmoni 8 (2009): 29.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat. 13th ed. Bandung: Mizan, 1996.
Sinta, Debi Sukma Dewi. “Kedudukan Legenda Mbah Semendhi Bagi Masyarakat
Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan.” Malang, 2011.
Sulendraningrat, P.S. Sejarah Cirebon. Pertama. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Supriyono, Agustinus. “Tinjauan Historis Jepara Sebagai Kerajaan Maritim Dan Kota
Pelabuhan.” Paramita 23 (2013): 27–39.
Susatyo, Rachmat. Seni Dan Budaya Politik Jawa. Bandung: Koperasi Ilmu Pengetahun
Sosial, 2008.
Sutiyono, Agus. Kearifan Budaya Jawa Pada Ritual Keagamaan Komunitas Himpunan
Penghayat Kepercayaan (HPK) Di Desa Adipala Dan Daun Lumbung Cilacap Jawa
Tengah. Semarang, 2014.
Suyanto, Isbodroini. “Faham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elit Kraton Surakarta Dan
Yogyakarta.” Universitas Indonesia, 2002.
Syam, Nur. ISLAM PERADABAN: Dimensi Normatif Dan Historis. Surabaya, 2009.

53
———. “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial”
(n.d.).
———. “Membangun Ilmu Dakwah Lintas Displin.” Http://nursyam.uinsby.ac.id. Accessed
February 18, 2016. /?p=1141&cpage=1#comment-2401.
Tanjung, Hasan Basri. “Bertutur Kata.” Khazanah Republika, April 2015.
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Tsani, Taufik. “Dakwah Dan Kemajuan Teknologi.” Jurnal Ilmu dakwah Dan
Pengembangan Komunitas 9, no. 1 (2014): 83–91.
Wahid, Abdurrahman. “Pribumisasi Islam.” Santri Gus Dur 1 (2016).
www.pasuruan.go.id. “Aneka Tradisi Di Kabupaten Pasuruan.”
———. “Legenda Banyu Biru.”
———. “Sejarah Singkat Kabupaten Pasuruan.” Pasuruan, 2015.
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya.” RELIGIA 1, no. 1
(2012): 46–64.

54

Anda mungkin juga menyukai