18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah
meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga
tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya
rakyat adalah.
Keterangan :
Lung Gadung Rara Nglikasi : Raja yang penuh inisiatif dalam segala
hal, namun memiliki kelemahan suka wanita (Soekarno). Gajah Meta
Semune Tengu Lelaki : Raja yang disegani/ditakuti, namun nista
(Soeharto).
19. Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah
sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkhasiat, pemerintah
rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat
ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri
sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka.
Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.
Keterangan :
- Bupati berdiri sendiri-sendiri : Otonomi Daerah.
- Jaman Kutila : Reformasi
- Raja Kara Murka : Raja-raja yang saling balas dendam.
- Panji Loro semune Pajang Mataram : Dua kekuatan dalam satu kubu
yang saling ingin menjatuhkan (Gus Dur - Megawati ).
21. Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya.
Sarjana tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan
diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu,
randa loro nututi pijer tetukar.
Keterangan :
- Nakhoda : Orang asing.
- Sarjana : Orang arif dan bijak.
- Rara Ngangsu, Randa Loro Nututi Pijer Atetukar : Ratu yang selalu
diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya
(Megawati).
22. Tan kober apepaes, sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang
yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang
Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
Keterangan :
Tan Kober Apepaes Tan Tinolih Sinjang Kemben : Raja yang tidak
sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan
(SBY/Kalla).
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak
membuat kenyang. Hasilnya berkurang. Orang jahat makin menjadi-jadi,
orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan
negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-
ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat
dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan
Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang
seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada
tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa
dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian
raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung Putih semune Pudak
kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar
Raja Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam
persidangan.
Keterangan :
- Tunjung Putih semune Pudak Kesungsang : Raja berhati putih namun
masih tersembunyi (Satriya Piningit).
- Lahir di bumi Mekah : Orang Islam yang sangat bertauhid.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah
Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran.
Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Keterangan :
- Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa : Orang Islam yang sangat
menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya
diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan
raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
B. R.Ng. Ronggowarsito :
Dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh
yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas
wilayah "bekas" kerajaan Majapahit , yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo
Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput
Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong
Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan
Wahyu.
3. Sabda Palon menjawab kasar: "Hamba tak mau masuk Islam Sang
Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa.
Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa.
Sudah digaris kita harus berpisah.
4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang
Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan
mengganti agama Budha (maksudnya Kawruh Budi) lagi, saya sebar
seluruh tanah Jawa.
5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi
makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila
belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya
kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan
laharnya.
15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia.
Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke
dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang
sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh.
Kebanyakan mereka meninggal dunia.
Keterangan :
Tanggal 13 Mei 2006 lalu bertepatan dengan hari Waisyak (Budha) dan
hari Kuningan (Hindu), Gunung Merapi telah mengeluarkan laharnya ke
arah Barat Daya (serta merta pada waktu itu ditetapkan status Merapi
dari "Siaga" menjadi "Awas"). Dari uraian Ramalan Sabdo Palon di
atas, maka dengan keluarnya lahar Merapi ke arah Barat Daya
menandakan bahwa Sabdo Palon sudah datang kembali. 500 tahun setelah
berakhirnya Majapahit (Th 1500 an) adalah sekarang ini di tahun 2000
an.
3. Dari ucapan Sabdo Palon dalam ramalan Sabdo Palon tersirat bahwa
dengan fenomena alam yang digambarkan (seperti yang terjadi saat
ini) menandakan bahwa Sabdo Palon beserta momongan (asuhan) nya
telah datang untuk mem-Budi Pekertikan bangsa ini (secara rinci
terdapat di dalam Serat Darmogandul). Sabdo Palon secara hakekat
adalah Semar.
Raden Ngabehi Ronggowarsito (lahir: Surakarta, 1802 – wafat: Surakarta, 1873) adalah
pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai
pujangga terakhir tanah Jawa.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burham. Lahir di Surakarta tanggal 15 Maret 1802.
Merupakan putra dari Mas Pajangswara putra Yasadipura II putra Yasadipura I, pujangga
besar Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burham merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah
keturunan Kesultanan Demak. Bagus Burham juga memiliki seorang pengasuh setia
bernama Ki Tanujoyo.
Ketika pulang ke Surakarta, Burham diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto
(adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar
Mas Pajanganom tanggal 28 Oktober 1819.
Pada tanggal 9 November 1821 Burham menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut
mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan
memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burham berkelana sampai ke
pulau Bali di mana ia mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan
Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan
berbagai macam ilmu kesaktian.
Misteri Kematian
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa
Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan
Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra
Pajangswara.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any
(1979). Pendapat tersebut mendapat reaksi keras, terutama dari pihak keraton Surakarta.
Berbagai pendapat ditujukan untuk membantah bahwa Ranggawarsita bukan mati
dibunuh. Mereka tetap yakin kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak
aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri. Pendapat kedua penulis dianggap
merendahkan kehebatan mata batin Ranggawarsita.
Kedua penulis tetap teguh pada pendapat mereka dengan disertai alasan-alasan logis,
bahwa Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati. Padahal waktu itu yang berhak
menjatuhi hukuman mati hanyalah pemerintah Hindia Belanda. Jika benar demikian,
hukuman mati ini justru meningkatkan derajat Ranggawarsita di mata rakyat, karena
pihak Belanda menganggapnya sebagai tokoh berbahaya yang harus disingkirkan.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah
ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para
penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga
zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan
pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.
Karya Sastra
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan
merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1.
Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang
bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa
dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka
yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di
kemudian hari.
Des
Salah satu karya besar dari RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito, Serat Kalatidha yang berisi gambaran
zaman penjajahan yang disebut "zaman edan".Lahir pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham.
Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu
Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.Pada 24 Desember 1873,
meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di
wilayah Klaten.
Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka
Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Di Jawa pada paruh abad sembilan belas, ada empat kerajaan yang walau secara politik
dan militer mandul tapi saling berebut klaim sebagai satu-satunya pewaris yang sah bagi
budaya Jawa dan kejayaan Mataram dimasa silam. Keempat kerajaan itu kasunanan dan
mangkunegaran di Surakakarta, kasultanan dan pakualaman di Jogjakarta.
Disisi lain jaman modal mulai merangsek di pedesaan Jawa, sejalan dengan ide van den
Bosch memperkenalkan tanam paksa. Tujuannya jelas. Komoditas perkebunan sedang
laku keras di pasar Eropa. Tentu agara keuntungan maksimal, produksilah yang mesti
digenjot. Tanam paksa itulah yang kemudian mengubah wajah Jawa menjadi berbeda
dalam arti yang sebenar-benarnya.
Latar belakang itulah yang mengilhami dibentuknya Instituut voor het Javansche Taal di
Surakarta. Belakangan lembaga inilah merupakan tempat dimana ahli-ahli jawa
kebangsaan Belanda mempelajari bahasa Jawa dan melakukan kunjungan-kunjungan ke
Dieng, Borobudur dan Prambanan untuk mengetahui tradisi Jawa kuno.
Ditahun 1840 lembaga ini kemudian diganti dengan dengan Royal Academy yang
didirikan di Deft dan kemudian pindah ke Leiden dan berhubungan langsung dengan
Universitas Leiden. Untuk ini kita mesti mengingat Taco Rooda sang pendiri Javanolog
Belanda di Universitas Leiden. Yups, metode dan modal. Begitulah budaya jawa
ditaklukan oleh javanolog demi kepentingan kolonial.
Sepakat dengan Takashi Siraishi, minat besar javanologi Belanda terhadap bahasa jawa
kuno plus dengan dukungan dana, metode dan serta lembaga yang kuat pada akhirnya
membeberkan satu hal, yakni dangkalnya pemahaman orang jawa terpelajar tentang
tradisi jawa kuno itu sendiri. Javanolog-javanolog itulah yang berhasil menemukan,
mengembalikan serta kemudian membentuk dan memberikan makna terhadap masa lalu
jawa.
Mengutip dari sebuah wawancara dengan Tim Behrend, seorang ahli tentang Jawa. RW
ini, yang disebut sebagai pujangga Jawa terakhir sangat menarik. Katanya, ketika orang
Jawa membicarakan Ronggowarsito, mereka melukiskannya bagaikan tokoh dunia
impian yang bebas cacat. Hal ini absurd mengingat, sampai saat ini belum pernah ada
wacana kritis terfadap kesusasteraan Jawa abad XVII sampai XIX. Sehingga kalau karya-
karya RW dinyatakan mencapai posisi terbesar atau terindah, apa ukurannya?
“Ah.. Masyarakat Jawa memang suka berandai-andai. Satrio piningit, zaman edan,
pujangga penutup, dan ini-itu ramalan serta perhitungan macam-macam, tak semuanya
punya dasar ilmiah,” kata Tim Behrend.
“Siapa memastikan karyanya lebih bagus dari karya Yosodipuro I, Sindusatro, atau Paku
Buwono IV, pujangga yang juga datang dari Kraton Surakarta?” tanya Tim. “RW seolah
dijadikan lambang puncak keluhuran ala Jawa, tanpa pernah ada upaya untuk
mengembangkan pengkajian kritik ilmiah terhadap isi, narasi, bahasa, berikut semua
aspek lain dari karya tulisnya.”
Pujian kepada RW menurut Tim, lebih banyak datang dari masyarakat awam. Yakni,
mereka yang belum pernah membaca karya asli Ronggowarsito atau belum sempat
membandingkannya dengan puisi Jawa lain. Baik yang sezaman dengan Ronggowarsito
maupun satu atau dua abad sebelumnya.
“Maka saya berpendapat, tak pernah ada dasar ilmiah atau kajian intelektual untuk
membandingkan karya Ronggowarsito dengan pujangga Jawa lainnya…”
Keraguan terhadap RW bukan hanya diungkapkan oleh Tim. Hal yang lebih fatal terjadi
ketika Van der Vlis melakukan banyak kesalahan dalam menafsirkan prasasti di Candi
Sukuh. Hal itu bisa terjadi karena dia terlalu percaya pada terjemahan yang diberikan
oleh RW. Dari arsip-arsip Hindia diketahui pada saat ditemukan oleh Jahson, Residen
Surakarta di tahun 1815. Kondisi candi Sukuh sangat menyedihkan. Bangunannya
nyaris runtuh dan memerlukan restorasi total. Belakangan tafsir RW atas prasasti-prasasti
di Candi Sukuh yang diberikan kepada Van der Vlis menuai gugatan ilmiah.
Ya, kalah secara metodelogi kurang dukungan dana dan kebijakan politik yang kolonial
belakangan memang membuat suara RW tak lagi didengar. Setidaknya oleh para
javanolog-javanolog Belanda yang sangsi oleh kemampuannya. Tafsir dan
pemahamannya seringkali tak mempunyai dasar yang kuat. Karena lebih didominasi oleh
alam pikirannya sendiri dalam konteks kekinian RW hidup. Ya, yang jaman edan adalah
jaman kehidupannya.
ZAMANKU
MARI JADIKAN ZAMANKU SEBAGAI AJANG DISKUSI
UNTUK MENGGALI BERBAGAI MISTERI DI MASA LALU,
MENYIBAK BERAGAM PERISTIWA TERKINI, MENGGAPAI
IMPIAN-IMPIAN DAN MEMPREDIKSI KEJADIAN DI MASA
DEPAN. ANDA BEBAS MENGUPAS BERBAGAI TOPIK YANG
BERKAITAN DENGAN SEJARAH, AGAMA, IPTEK, POLITIK
DAN ISU HANGAT LAINNYA.
Ronggowarsito (4)
Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,
pengarangnya adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi,
yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk
prosa dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja
mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam
di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah,
terpenggalnya
kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke
berbagai
wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba,
adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian
massal oleh sekelompok orang yang ingin menggulingkan kekuasaan
berkedokkan
agama.
Terkait dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa, kebetulan saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya
berbahasa Jawa Kuno. Yang saya kirimkan berikut ini adalah versi yang
tidak lengkap, bersumber dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa
baca dan menilai sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo
menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus
kritis menyikapi isi cerita yang mungin amat tendensius ini.
Selamat membaca!
Tokoh terkait:
- Darmo Gandhul - murid Ki Kalam Wadi
- Ki Kalam Wadi - penulis serat
- Raden Budi - guru Ki Kalam Wadi
- Prabu Brawijaya - Raja Majalengka (Majapahit)
- Putri Campa (Dwarawati? Dara Petak?) - permaisuri Prabu Brawijaya
- Sayid Rahmad - kemenakan Putri Campa (Sunan Ampel)
- Sayid Kramat - Sunang Bonang
- Raden Patah (Babah) - putra Prabu Brawijaya/Adipati Demak/Senapati
Jimbuningrat/
Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid
Khak/Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
- Raden Kusen (Raden Husen/Raden Arya Pecattanda) - saudara kandung
Raden Patah (lain ayah)
- Ki Bandar - sahabat Sunan Bonang
- Bandung Bondowoso
- Nyai Plencing - dedemit
- Buta Locaya - raja dedemit (mantan Patih Sri Jayabaya)
- Ni Mas Ratu Pagedongan (Ni Mas Ratu Angin-Angin)
- Kyai Tunggul Wulung
- Kyai Patih
- Syech Siti Jenar
- Tumenggung Kertosono
- Sunan Giri
- Arya Damar - Bupati Palembang
- Patih Mangkurat
- Setyasena - komandan pasukan Cina Islam
- Bupati Pati
- Adipati Pengging
- Adipati Pranaraga
- Sabdo Palon
- Naya Genggong
________________________________________________________________
Pada suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalam Wadi tentang
asal mula orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam.
Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab, "Aku tidak mengerti. Tetapi
guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan
agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan,
agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Putri Campa
Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah
kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan, sedangkan hawa adalah minat
hati. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan,
sedang yang menggerakkan semua ialah budi.
Raden Patah
Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim seorang Putri Cina. Ketika Raden Patah dewasa, ia
menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih
sekandung, bernama Raden Kusen (Husein). Sang Prabu bingung memberi
nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Budha, keturunan
raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
Sunan Bonang
Pada waktu itu Sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air
sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
Perawan Tua
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air
wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang
meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah
satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai
di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada
seorang gadis beranjak dewasa sedang menenun. "Hai gadis, aku minta
air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.
Demit
Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di
sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah
Kyai Daka. Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan
itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti
Tunggul Wulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.
Semua mahluk halus yang ada di Laut Selatan tunduk dan berbakti kepada
Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale, sedangkan Kyai
Tunggul Wulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar
tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas
beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya,
Mega Mendung dan dua anaknya, Panji Sekti Diguna dan Panji Sari Laut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan
Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang
menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara
api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan
menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai
Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan
dan demam.
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan
Bonang dengan tegas menyatakan bahwa daerah tersebut dikatakan Gedah
karena tidak jelas agamanya. "Kusabdakan sulit air karena ketika
aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan
mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat
jodoh karena yang kumintai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Salah yang tak seberapa,
apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan
oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan
hukuman berat karena telah merusak sebuah daerah. Sunan Bonang menjawab,
"Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak berteman dengan manusia, tetapi
hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak
itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah
yang terlanda banjir hamba mohon untuk mengembalikan. Semua orang Jawa
yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati, hamba akan meminta
bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di Laut Selatan."
Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca kuda
yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun
yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca
kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu,
semakin bertambahlah kemarahannya. "Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya
sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang
siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekad para wanita Jawa.
Sunan Bonang pun berkata, "Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani
berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong."
"Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu hantu."
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat
besar. Arca itu tampak duduk ke arah barat setinggi 16 kaki. Lingkar
pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang
kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi. "Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih
baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang
Prabu
Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu?"
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi
sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak
lahir batin."
Kata Buta Locaya, "Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu
yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani.
Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati
tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka
tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal di
gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu
akan merasa nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di
tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka menyadari bahwa
alam halus
berbeda dengan alam manusia."
"Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan? Mendapat wahyu agar pandai. Awas
penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Sedangkan yang
membuat arca batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan
wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui
hal-hal yang belum terjadi. Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun
berpedoman petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih
baik menghargai
kabar dari leluhur sendiri dengan peninggalan masih bisa disaksikan."
"Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah
berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan,
wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin
melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan
ukur. Seandainya tidak benar, pukullah."
"Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan
menebak sesuatu yang belum terjadi? Sudahlah, hamba persilakan tuan
pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari
Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang? Lalu akan
hamba bawa ke dalam kawah Gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah
"Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas,
bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal
air, dan mengurangi air."
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang
adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa
telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang.
Berikut babak lanjutan dari Serat Darmo Gandhul. Saking murkanya, Prabu
Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi.
Hanya di Demak dan Ngampel Gading saja yang diperbolehkan tinggal dan
menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh. Pernyataan tersebut
juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak
menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri.
Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka,
diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Provokasi
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau
mengikuti saran Sunan Bonang. "Saya takut merusak negeri Majalengka.
Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan
kebahagiaan
dan kebaikan di dunia. Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh
melawan ayahanda meski beragama Budha ataupun kafir."
Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan
manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam."
"Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia
se-Jawa masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau
terima. Tuhan masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu
menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu
artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa
Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang,
orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati
tidak baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan."
Jawab sang Adipati Demak, "Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan
Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk
perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu,
dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi, "Jika tidak kau rebut sekarang, kau
akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan
diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
Atau kepada menantunya, Ki Andayaningrat di Pengging."
"Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati
sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam
melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi
raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa,
memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya,
dan mau merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang
mau melawan orang tuanya karena kafir.
Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
datang semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid. Kemudia
sembahyang
bersama di masjid yang baru didirikan. Usai sembahyang pintu masjid
ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati
Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Bila
semua setuju akan segera dimulai.
Semua sunan dan bupati setuju. Hanya Syech Siti Jenar yang tidak. Maka,
Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang disuruh
membunuh adalah Sunan Giri. Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat
menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senapati Jimbuningrat dengan
patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat.
Terjadi peperangan
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan
surat (terkenal dengan Menak Tanjangpura) mengabarkan bahwa Adipati Demak
Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak. Sedangkan yang
mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di
Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja
baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar
Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya
Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang,
terserah kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Patih itu
bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat.
Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya. Sangat
heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi
surat itu.
Mendengar laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama
tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan
yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya
malah memberontak dan merusak Majapahit. Sang raja tak habis pikir,
alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran
tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan
jelek mereka itu. Pikiran sang raja sangat gelap. Kesedihan itu
dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan.
Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit? Patih pun menjawab tak
mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak
baik, diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
R. Ng. Ronggowarsito
KOLOTIDO
Salah satu cuplikan karya sastra tembang "Sinom" dalam "Serat Kalatido" bab.8, seperti
di bawah ini :
Kemudian gubahan ini diakhiri dengan sebaris gatra yang bersandiasma, berbunyi "bo-
RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI mar-TA-ya". Mengandung arti rasa berserah diri
kehadapan Yang Maha Esa yang rnenguasai alam sorga, tempat yang memuat kehidupan
langgeng sejati.
Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama
Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan
Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan tak
terharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan.
Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia
sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau
1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama
kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham
kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk
mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan
Besari.
Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini
meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra sulung Raden Mas
Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta.. Semasa kecil beliau diasuh oleh
abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya
membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong
cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya
kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian
hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok
Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki
Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-rnaju, dan ia sangat ketinggalan
dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga mempunyai
tabiat buruk yang berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500
reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam
belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong
yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus
Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar
menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki
Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap
Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan Nga1i,
mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati
Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan mampir di Madiun dalam rangka
menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki Tanudjaja
berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang mungkin masih bisa
digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden kanjeng Gombak,
putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam
Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuan Bagus Burham itu.
Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-kawannya. Setelah di
Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lalu kembali ke Surakarta, dan dididik oleh
neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Sastranegara. Neneknya mendidik dengan
berbagai ilmu pengetahuan yang amat berguna baginya. Setelah dikhitan pada tanggal 21
Mei l8l5 Masehi, Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata,
untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan
jahat atau membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang
kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus Burham
dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan,
yaitu :
Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh
dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-
kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap
dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai segala macam percobaan dan
dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin
yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan
pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng
pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping
gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga
memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan
martabatnya semakin meningkat. Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai
keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga
Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem
keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi
Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu
ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu
Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnya
bertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya
yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan
lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita membantu menyusun kitab Paramasastra
Jawa dengan judul Paramasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan
majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB
VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah
menjadi Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng.
Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan
sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun ini juga,
Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada
tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*
Secara sematik, Sabdojati terdiri dari dua suku kata; sabda dan jati. Sabda adalah ucapan
yang berpetuah, sedangkan jati berasal dari kata sejati, yang berarti kembali kepada
hakikat; yang sesungguhnya. Jadi sabdojati dapat diartikan sebagai hakikat sebuah petuah
atau dapat juga diartikan sebagai ucapan yang sesungguh-sungguh ucapan.
Serat Sabdajati adalah karya terakhir yang digubah oleh Ki Pujangga, tepatnya delapan
hari sebelum Ki Pujangga menghadap Sang Pujangga. Memuat Sembilan belas tembang
dengan lirik Megatruh. Megatruh sendiri berasal dari dua suku kata, megat dan ruh.
Megat berarti memisahkan, memutuskan, sedangkan ruh diambil dari kosakata Bahasa
Arab yang berarti roh. Jadi megatruh berarti memutuskan hubungan selain daripadaNya,
dengan berkonsentrasi pada jalan pulang ke kehadirat Ilahi. Dengan kata lain megatruh
adalah sebuah sasmita, tanda-tanda, ketika ruh harus terpisah dengan badan, dia harus
bisa memisahka atau memutuskan segala hubungan yang sifatnya keduniawian.
Untuk lebih jelasnya, berikut saya kutipkan kesembilan belas Pupuh Megatruh dalam
Serat Sabdajati dan sedikit penjelasan meski dengan segala keterbatasan yang ada.
Mohon bimbingan pada “Para Winasis” apabila ada kesalahan baik dalam penerjemahan
ataupun dalam penafsiran.
Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya ronging budyayu, Margane suka basuki, Dimen luwar kang
kinayun, Kalis ing panggawe sisip, Ingkang taberi prihatos.
Perbuatan baik dapat membawa kita pada keselamatan. Dalam falsafah Jawa kita
mengenal pepatah “sapa nandhur bakal ngunduh”, siapa yang menanam akan
menuai. Ketika kita menanam kebaikan, maka yang kita tuai adalah kebaikan juga.
Dan dalam kebaikan yang kita tanam itu akan memberi efek baik pula pada
lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat menghindarkan kita dari keinginan untuk
berbuat buruk serta dapat memproteksi kita dari keburukan yang akan menimpa
kita.
Ketika kebaikan sudah berbuah kebaikan dan dapat menepis keburukan yang ada, ia
akan memuluskan jalan kita pada tujuan yang kita harapkan. Ia akan memotivasi
kita agar tetap pada jalan yang akan membawa kita pada tujuan. Untuk lebih
memudahkan pencapaian tujuan tersebut, hendaklah kita selalu dalam laku prihatin,
artinya selalu memproteksi diri pada hal-hal selain yang mengarah pada tujuan,
yaitu selalu berada pada jalan keilahian. Laku prihatin dapat juga diartikan sebagai
suluk.
2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen awya kleru,
Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon.
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama segala sesuatu sebagaimana
adanya. Telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati, agar mampu menangkap
dan menempatkan.
Dalam menjalankan laku prihatin ini, hendaklah kita selalu membaca. Membaca
tanda, membaca rupa, membaca gejala. Pembacaan tersebut hendaklah sedemikian
teliti, hinga tak kan meninggalkan sekecil apa pun hal yang terlewatkan. Hal itu
disebabkan karena dari hal-hal yang kecil itulah sebuah hakikat dari sesuatu biasa
akan menampakkan dirinya. Karena hakikat selalu tersembunyi pada hal-hal yang
kelihatannya remeh; pada hal-hal yang tak terduga.
Tidak sekadar membaca. Kita juga diharapkan mempu untuk memilah, menyaring,
untuk kemudian mengambilnya sebagai hikmah. Dalam memilah kita menggunakan
potensi akal, sedangkan dalam menyaring kita menggunakan hati. Istilah yang
dipakai dalam syair di atas, kita harus mampu mengendapkannya di dalam hati,
artinya hati haruslah dijadikan pertimbangan utama dalam setiap langkah yang kita
ambil.
Segala sesuatu yang telah dianalisa oleh akal, haruslah melalui pengendapan di
dalam hati sebelum kita mengambilnya sebagai sebuah ilmu. Kedua proses inilah
yang menjadi landasan kita dalam menangkap realitas untuk kemudian
menyikapinya. Dengan mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya serta
melalui pengendapan di dalam hati, akan mempermudah kita di dalam menyikapi
segalas sesuatu, serta mempunyai kebijakan di dalam menempatkannya dalam
segala situasi dan kondisi. “Anggon mongso”, pandai membaca situasi dan kondisi.
3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging ati kang
suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos.
Endapkanlah setiap pikiran dalam memproteksi diri. Setiap pikiran, seliar apa pun,
haruslah diendapkan dulu di dalam hati, sebelum kita menyikapi realitas yang
tertangkap. Dengan cara seperti itu, setiap pikiran yang muncul akan terkendalikan,
karena selalu melelui proses pengendapan. Endapan pikiran itulah yang kemudian
“angayomi ing tyas wening” memproteksi di dalam hati yang jernih.
Hendaklah kita mengosongkan hati kita dari segala sesuatu, bahkan kosong dari
kedirian kita sendiri. Kita harus dapat menghancurkan ego kita, karena Hakikat
Keindahan tidak akan menerima dualitas. Dia adalah Maha Pencemburu, tak rela
bila diduakan. Tiada tempat bagi aku dan engkau. Yang ada hanyalah Dia. Itulah
makna dari “suwung sejatining isi”, kosong tapi hakikatnya berisi. Dan isi dari
kekosongan itu adalah “cipta sayektos”, Realitas Sejati.
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan gundhul,
Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon.
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran hati. Sebab jika bergeser (dari
hidup yang penuh kebajikan) akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul, yang
menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
Segala bentuk laku, harus kita jalankan dengan penuh kesabaran hati. Kesabaran di
sini adalah sebentuk ketegaran dari tiap godaan yang mungkin timbul dalam laku
spiritual. Kita harus mampu memfokuskan tiap daya, cipta, dan rasa kita pada satu
titik tujuan, yaitu Kebenaran. Dan kita haruslah meneguhkannya, jangan sampai
bergeser sedikitpun pada tujuan tersebut.
Idiom setan gundul dalam syair ini bukan hanya mengacu pada bentuk, tapi juga
tabiat dari setan gundul itu sendiri. Wujud Setan gundul adalah sebentuk anak kecil
dengan kepala gundul, tanpa sehelai pun bulu yang menempel di tubuhnya, baik di
wajah ataupun di bagian mana pun dari tubuhnya. Ia licin dan lucu. Apabila tidak
terbentuk suatu image tentang setan gundul yang menggelikan, kita akan merasa
tergoda untuk bercanda bahkan berkawan dengan dia. Lucu dan menggemaskan.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu mring
alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon.
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang
iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, mamasuki alam kecanggungan, tidak
dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, hingga jiwanya menjadi terganggu.
Apabila kita tergoda pada perbuatan yang tidak mengarah pada tujuan hidup kita,
sudah pasti hati kita akan menjadi sarang iblis. Iblis adalah makhluk yang selalu
mengajak kita pada segala sesuatu yang dapat membelokkan hati kita pada jalan
keilahian. Sebuah kenaifan apabila kita menempatkannya di dalam hati kita, kita
akan selalu dibawanya pada jalan yang akan menjauhkan kita pada Kebenaran.
Seseorang yang hatinya menjadi sarang iblis akan senantiasa mendapatkan kesulitan
dan kerepotan. Kesulitan dan kerepotan di sini bukanlah kesulitan dan kerepotan
dalam hal keduniawian. Bisa saja dia tercukupi kebutuhan hidupnya. Kesulitan di
sini adalah kesulitan dalam menemukan jalan kebenaran, jalan keilahiahan. Karena
iblis akan selalu berusaha menutupi, bahkan membelokkan.
Kebenaran akan semakin terhijab. Ia akan menjadi orang yang serba canggung;
berbuat ini salah, itu salah, hingga tidak ada keberanian untuk melakukan sesuatu
karena selalu dihantui pada kesalahan-kesalahan. Hal itu terjadi karena dalam tiap
tindakannya tidak didasari pada pengendapan atau penyaringan di dalam hati.
Ketakutan yang menghantui dirinya, pada titik tertentu akan menbuat jiwanya
menjadi terganggu. Ia tidak akan bisa berpikir secara jernih, apalagi menggunakan
hatinya sebagai penyaring. Hatinya akan mati, ia akan menjadi orang yang tanpa
perasaan.
6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping, Kinepung
panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian, tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada
kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan
pikiran yang jelek. Sudah melupakan cinta kasih Tuhan. Ajaran-Nya sudah musnah
berkeping-keping dari dirinya.
Orang yang sudah terlanjur terganggu kejiwaannya akibat hatinya telah menjadi
sarang iblis, ia tidak akan tertarik pada perbuatan yang dapat membawanya kepada
kebajikan. Hatinya telah dikuasai oleh iblis, dan hati adalah sentral dari seluruh
organ tubuh. Jadi seluruh organ tubuhnya akan senantiasa dikendalikan oleh iblis.
Sinonim dari iblis adalah kesesatan dalam pembangkangan.
Segala kebajikan akan menjauh darinya, karena iblis akan selalu membawanya
menjauh dari kebajikan tersebut. Jiwa dan raganya sudah dikuasai oleh kekuatan
keburukan, ia akan menolak segala kebaikan yang mendekatinya.
Kesadaran akan keberadaan ketuhanan sudah terlupakan, bahkan hilang sama sekali
dari dalam dirinya. Ia tidak lagi menyadari cinta kasih Tuhan yang selalu mencintai
dan mengasihinya. Sedemikian kuat iblis menguasai hati seseorang hingga mampu
menolak kesadaran akan cinta kasih Tuhan.
Semua ajaran yang pernah diterimanya tentang Tuhan, sudah musnah dari dirinya.
Ia menjadi serpihan yang tak kan bisa tersusun lagi menjadi sebuah bentuk. Semua
jalan yang pernah ia kenal dalam menuju ke kehadirat Ilahi, sudah terlupakan,
bahkan hilang sama sekali.
7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang padha sujut,
Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon.
Namun demikian yang telah “melihat”, matanya bagai kemasukan pasir, banyak yang
menyerah pada keadaan, menganggap bahwa Jabaranil adalah utusan Tuhan.
Bagi orang yang “melihat” kebaikan dan keburukan di muka bumi, ia masih tidak
mampu untuk membedakannya. Tidak mampu memilah; mana yang baik dan mana
yang buruk, mana yang nyata dan mana yang semu. Karena demikian tipis bedanya.
Orang yang melihat bagaikan matanya kemasukan pasir. Ia tidak akam mampu
mengamati dengan teliti karena terhalang oleh keragu-raguan pada dirinya.
Tak sedikit mereka yang menyerah pada keadaan. Yang terjadi biarlah terjadi, dan
tidak berusaha untuk peduli. Ia hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Dengan kata lain, ia hanya memperhatikan keindahan di dalam, tanpa
memperhatikan keindahan di luar. Ia tidak sadar, keindahan di luar juga sangat
berpengaruh di dalam spiritualitas seseorang. Ketidakpedulian terhadap lingkungan
sekitar akan memunculkan egoisme, kedirian. Dan ego tidak akan mungkin dapat
mendekat pada Kebenaran.
Jabaranil adalah satu sosok person yang penuh misteri. Dia berwujud sesosok
manusia yang mengaku mendapatkan wahyu keilahiahan dan mendapat wewenang
untuk membimbing manusia ke jalan “yang benar”. Ia pandai merayu dengan
iming-iming gemerlapnya harta dunia bahkan kebahagiaan di akhirat kelak. Ia juga
pandai memutarbalikkan fakta, hingga tiada lagi batas antara kesesatan dan
kebenaran; dia sesat dan menyesatkan. Itulah kenapa saya tetap menggunakan
bahasa aslinya, tidak mencoba untuk menterjemahkannya. Angapan bahwa
Jabaranil adalah utusan Tuhan, bermula dari ketidakmampuan dalam pemilahan,
hingga yang semu dianggap nyata. Fenomena ini di kemudian hari kita kenal
dengan istilah “nabi palsu”.
Kunci dari syair ini adalah pada kata “andulu”. Andulu secara harfiah bermakna
melihat. Tapi dapat juga dipakai untuk maksud mendeteksi dengan indera. Jadi,
syair ini adalah salah satu bentuk kritisisasi terhadap keterbatasan indera. Indera
hanya mampu menangkap realitas dengan batas-batas tertentu saja. Ia tidak
mempunyai kemampuan untuk memaknai, apalagi memahamkan.
8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen tiniru ora urus,
Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang menyadari akan hakikat perintah, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela, akan disia-siakan,
akhirnya menjadi sengsara.
Bagi yang menyadari akan keberadaan Relaitas Sejati, ia juga akan mengerti
tentang apa yang sebenarnya diinginkanNya. Namun ia juga tidak luput dari
kebingungan di dalam dirinya. Ia akan mengalami kesulitan di dalam
mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritualnya. Keinginan untuk
menyampaikan kebenaran terhalang oleh minimnya bahasa untuk menjelaskannya.
9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun temen
tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon.
Tidak percaya kepada kegaiban Ilahi, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang
berusaha dengan setekun-tekunnya dalam menemukan kebenaran, ia akan memegang
keberuntungan. Semua itu karena kemurahhatian Tuhan.
Itulah hukuman bagi orang yang tidak mampu menyimpan rahasia Ilahi. Ia
mengungkapkan kebenaran tidak pada tempatnya. Ia tidak menyadari, kebenaran
yang diperolehnya adalah hadiah yang disematkan untuk dirinya sendiri. Agar dia
selalu terbimbing di dalam jalan keilahiahan. Tuhanlah yang menitahkan bumi dan
langit, dan Dia berkuasa penuh atasnya. Hanya Dialah yang mampu
menyingkapkan kebenaran, karena Dia adalah Kebenaran itu sendiri.
Siapa pun yang dengan segala daya dan upaya berusaha dalam menemukan
Kebenaran, ia akan menemukannya. Dan dia akan memegang Kebenaran tersebut
dengan kuat, tak ingin melepaskannya lagi.
Itulah orang-orang yang beruntung; yaitu orang yang telah menemukan Kebenaran
dan memegangnya. Ia menjadikan Kebenaran sebagai pegangan dalam tiap langkah
yang diambilnya dalam menapaki kehidupan di dunia. Semua itu ia dapatkan karena
kemurahhatianNya. Tidak lain.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing
pitulung, Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon
Selalu memenuhi permohonan bagi yang meminta, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, tidak kurang bukti-bukti yang tampak,
sekehendaknya akan tercapai.
Sudah banyak bukti yang tergelar di hadapan kita tentang pertolongan Tuhan
tersebut. Orang yang dengan kuat memegang Kebenaran, apa yang diinginkannya
akan tercapai. Karena dia sudah lebur di dalam Kebenaran itu sendiri, hingga sudah
tidak ada lagi dia, yang ada adalah Dia, dengan D besar. Maka tidaklah dia
melempar ketika dia melempar, tapi Dia yang melempar. Tidaklah dia berkehendak
ketika dia berkehendak, tapi Dialah yang berkehendak.
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka warananipun,
Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah, Ki Pujangga dengan izin Tuhan akan membuka selubung yang
menjadi rahasia Tuhan. Selubung yang menutupi sebuah rahasia, sehingga dapat
diketahui.
12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya ndarung, Keh
tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon
Dalam zaman “pakewuh”, banyak pikiran orang-orang yang sudah tidak berjalan
lagi pada rel kebenaran. Mereka sudah dirasuki oleh nafsu angkara, hingga tak
sedikit pun kebenaran terbersit di dalam dirinya. Kebenaran seolah-olah sudah
lenyap dari muka bumi.
Kasekten sudah tidak Nampak di muka bumi. Sengaja saya tidak berusaha
menterjemahkan kata kasekten, karana takut memberikan pemahanam yang keliru
pada kata tersebut. Secara harfiah, kasekten diterjemahkan sebagai kesaktian.
Dalam kata kesaktian, kita akan terbawa pada suatu sosok yang penuh dengan daya
magis hingga mempu melakukan perbuatan yang tidak masuk akal. Tapi keterangan
ini juga masih rancu, terutama bila dibandingakan dengan ahli klenik dan ahli
magis.
Kasekten biasanya didapat dari sebuah laku. Dalam laku tersebut, seseorang
haruslah mampu melewati tahap-tahap tertentu dalam olah jiwa dan raga. Kasekten
adalah hasil maksimal yang diperoleh sang tapa dalam laku. Dengan kasekten yang
diperolehnya, ia akan menjadi orang yang bijak, mampu memaksimalkan kekuatan
fisik sekaligus kekuatan batinnya.
13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa tyas
malatkunt, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin dalam diri orang yang mempunyai
kasekten, merasakan sasmita tersebut, senantiasa merenung. Angkara murka sudah
mengalahkan cinta kasih. Zaman penuh keprihatinan tersebut.
Melihat tanda-tanda yang diberikan Sang Waktu, para bijak semakin prihatin. Ia
makin tenggelam dalam perenungan. Kekacauan, kejahatan, dan pengrusakan sudah
mencapai puncaknya.
Angkara murka sudah merasuk dalam diri manusia yang hidup pada zaman itu. Tak
ada lagi cinta kasih tercermin dalam perbuatan manusia. Tanda-tanda zaman jelas-
jelas memprihatinkan.
14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir majenum,
Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong
Zaman Canggung itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877 (Wiku=7,
Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945). Ada orang
yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menunjuk kian
kemari, seolah menghitung banyaknya orang.
Ki Pujangga meramalkan berakhirnya Zaman Canggung itu adalah pada tahun saka
1877, yang bertepatan dengan tahun 1945 masehi. Hal itu sudah terbukti dengan
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tahun tersebut.
“Wiku memuji ngesti sawiji”, selain menunjukkan suatu angka tahun, juga
merupakan kalimat yang mengandung suatu makna. Wiku berarti pertapa; memuji
berarti memuja atau mengagungkan; ngesti berarti memproteksi diri demi satu
tujuan mulia; sawiji berarti manunggal. Jadi wiku memuji ngesti sawiji dapat
diartikan sebagai seorang pertapa yang mengagungkan nama Tuhan dengan suatu
laku agar dia dapat manunggal dalam keilahian.
Ia juga meramalkan munculnya seorang tokoh yang berikat pinggang tebu. Idiom
tebu biasa digunakan oleh orang-orang Jawa untuk menggambarkan seseorang yang
mempunyai kebulatan tekat. Tebu berasal dari kata “anteping kalbu”, kebulatan
batin. Orang yang berikat pinggang tebu adalah orang yang mampu menyatukan
segala daya dan upayanya untuk satu tujuan demi keluhuran jiwa. Ikat pinggang
biasa digunakan untuk melambangkan orang yang bisa menyatukan massa;
menyatukan orang-orang, untuk satu tujuan. Dalam konteks ini adalah kemerdekaan
Indonesia.
Tokoh tersebut digambarkan seperti orang gila. Idiom orang gila biasa digunakan
untuk orang yang terobsesi oleh idealimenya. Ia demikian terhegemoni hingga
semua ucapan dan tingkah lakunya mengarah pada tujuannya tersebut. Dalam syair
ini Ki Pujangga menggunakan kata Majnun, sebuah nama yang tidak asing lagi di
dunia tasawuf. Majnun adalah tokoh yang tergila-gila pada Laila; seorang lelaki
pemuja wanita. Kalau mau kita artikan lebih dalam, Majnun dapat pula kita maknai
sebagai seseorang yang terobsesi oleh kegelapan; terpesona oleh “gaibing Hyang
Agung”.
Sang tokoh juga digambarkan selalu hilir-mudik menunjuk kian kemari, seolah
menghitung banyaknya orang. Ini menggambarkan seorang orator ulung yang
dalam tiap orasinya selalu mendapatkan sambutan massa. Dari sini saya mulai
mencurigai seorang tokoh yang kharismanya sama persis dengan tokoh yang
digambarkan dalam syair tersebut. Dia adalah bapak proklamator kita, Soekarno.
Besar kemungkinan Beliaulah yang diramalkan sebagai Majnun oleh Ki Pujangga.
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu,
Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru mereda Zaman Kala Bendu. Diganti dengan Zaman Kala Suba. Rakyat
kecil bersuka ria, inilah tanda-tanda sebagai bukti bermulanya suatu zaman. Tercapai satu
tujuan bersama.
Pada saat berakhirnya Zaman Canggung, maka mulai meredalah zaman “Kala
Bendu”. Zaman kala bendu adalah zaman yang digambarkan dengan kekacauan dan
pengrusakan yang demikian dahsyat, lebih dahsyat dari yang terjadi pada Zaman
Canggung. Kedahsyatan Zaman Kala Bendu sering digambarkan dengan “bumi
gonjang-ganjing langit kelap-kelap”, bumi mengalami kegoncangan yang dahsyat
hingga langit menjadi tergetar.
Meredanya Zaman Kala Bendu adalah pertanda mulainya Zaman Kala Suba. Zaman
Kala Suba digambarkan dengan kesuka-riaan rakyat kecil karena sudah terbebas
dari penindasan. Mereka mulai menjalankan aktivitasnya dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dengan damai. Roda perekonomian mulai terbangun.
Kebutuhan akan sandang dan pangan tercukupi. Bukti inilah yang menguatkan
tercapainya satu tujuan bersama, yaitu kemerdekaan. Bermulanya suatu babak baru,
keterbebasan dari penjajahan.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging
kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “penglihatan” Ki Pujangga belum sampai tuntas, bagaikan menarik benang
dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya
meninggalkan dunia yang fana ini.
Syair ini menggambarkan suatu penyesalan dari Ki Pujangga, karena Beliau tidak
sempat “melihat” tanda-tanda hingga tuntas karena keterbatasan umur. Ia tidak
sempat menarik benang hingga tuntas dari ikatannya. Masih ada rahasia yang belum
sempat ia ungkapkan; sebuah mesteri.
Beliau sudah melihat batas akhir dari hidupnya di dunia melalui mata batinnya,
“kasidan jati”, tanda-tanda yang jelas; tidak ada keraguan di dalamnya. Ia harus
berpulang ke haribaan Hyang Agung.
17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil
makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon.
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah ditentukan waktunya. Jelas tertulis di Laufil
Magfuz. Kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
Batas akhir hidup Ki Pujangga tinggal delapan hari lagi sejak syair ini digubah.
Akhir hayat seseorang sudah ditentukan. Ia tidak bisa mengelak atau
menangguhkan. Ia harus menghadap pada waktu yang telah ditentukan.
Seluruh catatan tentang perjalanan hidup seseorang sudah jelas tertulis di Laufil
Magfuz. Tidak ada satu pun kejadian yang terlewatkan dari catatan tersebut.
Seluruh makhluk masing-masing mempunyai catatan di sana, tak terkecuali.
18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng
janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara, kira-kira waktu Lohor.
Ketika matahari tepat di tengah-tengah. Tiada mungkin mengangguhkan kematian. Itulah
saat yang ditentukan Ki Pujangga menyatu dalam Ketunggalan.
Waktu yang ditentukan itu adalah tanggal 5 Bulan Sela (Dulkangidah) Tahun
Jimakir Wuku Tolu Sindu Senggara dalam perhitungan Tahun Saka, bertepatan
dengan tanggal 24 Desember tahun 1873 Masehi, kira-kira pada tengah hari (waktu
Lohor).
“Netepi kumpul sak enggon”, dapat juga diartikan dengan “Manunggal”. Dari sini
jelas bahwa kematian bagi Ki Pujangga adalah saat yang sangat dinanti-
nantikannya, karena ia akan menyatu dengan Hyang Agung. Saat kekasih menyatu
dengan Sang Kekasih.
19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning warsa
pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti
Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. Ki Pujangga pamit
pada jasad. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1, bertepatan dengan tahun masehi
1873).
Karya ini ditulis sebagai bentuk permohonan pamit Ki Pujangga sebelum Beliau
berpulang ke haribaan Hyang Agung. Ditulis pada hari rabu, tanggal 28 Sawal
tahun Jimakir 1802, bertepatan dengan tanggal 27 Oktober tahun 1873 Masehi.
“Pamit layoti” adalah sebentuk ucapan perpisahan pada jasad yang akan
ditinggalkan. Kalimat ini ditujukan Ki Pujangga pada jasad yang selama ini telah
menampung “diri” dan dengan setia menemaninya selama hidup di dunia. Ada
kesan Ki Pujangga memberikan penghargaan dan terimakasih sedalam-dalamnya
pada jasad yang telah menampungnya. Hal itu menandakan bahwa ia menjaga
keharmonisan antara lahiriah dan batiniah; keindahan di dalam sekaligus keindahan
di luar, syarat utama dalam laku spiritual.