Anda di halaman 1dari 46

Serat Anglingdarma

Pupuh Asmaradana
1.
Asmareng tyas nawung kingkin
nurat serat anglingdarma
kagungan dalem sang katong
kang jumeneng ping sadasa
ing nagri surakarta
kapareng karsa kaklumpuk
serat baabd miwah wulang

2.
Sadaya rinuwat mungging
jro kamar sana pustaka
duk miwarni panitrane
ri soma kaping sadasa
ing wulan dulkangidah
jumakir sangkaleng taun
luhur tata ngesthi nata.

3.
Sanadyan crita puniki
carita ing jaman buda
pulo jawa pituture
nadyan budha kang utama
linuri kang carita
duk jenengira sang prabu
anglingdarma ing malawa

4.
Tan ana kang nyenyiringi
jenegira sang pamasa
tribuwana kekes kabeh
ratu winong ing jawata
kinatujon sakarsa
tuhu kalamun pinunjul
sinebut sri bathara

16.
Sang retna angandikaris
sarwi kumembeng kang waspa
biyang inya karsaninong
saupama nora prapta
sang nata sore mangkya
patren ngong pasthi cumandhuk
biyang ing jaja manira

======

http://bukuj.blogspot.co.id/2014/01/sastra-jawa-paling-fenomenal-serat.html?m=1

======

http://journalarticle.ukm.my/1214/1/Naskah_Angling_Darma_Ambya_Madura.pdf

------

Cerita Prabu Anglingdarma adalah salah satu cerita rakyat yang sangat populer dalam masyarakat Jawa
di masa lalu. Cerita itu kemudian ditampilkan dalam kesenian ketoprak, sandiwara radio, cerita
bergambar (komik) bahkan juga pernah dibuat menjadi film kolosal. Awal mula kisah Prabu
Anglingdarma juga direkam dalam bentuk tulisan di sebuah naskah Jawa. Salah satu naskah Jawa yang
memuat Serat Anglingdarma, dimiliki oleh Perpustakaan Tembi Rumah Budaya Yogyakarta.

Kondisi buku Serat Anglingdarma milik Perpustakaan Tembi masih bagus. Buku tersebut merupakan alih
aksara dari naskah Jawa yang aslinya bertuliskan aksara dan bahasa Jawa, bersumber dari Perpustakaan
Sasana Pustaka, Keraton Kasunanan Surakarta. Kemudian naskah (manuskrip) Jawa tersebut
dialihaksarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1981. Alih aksara dikerjakan oleh
Sujadi Pratomo.

Buku Serat Anglingdarma yang menjadi koleksi Perpustakaan Tembi terdiri dari 471 halaman. Isinya
berupa cerita Prabu Anglingdarma dalam bahasa Jawa disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian buku ini mudah dibaca oleh setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia. Serat
Anglingdarma dalam buku tersebut terdiri dari 38 pupuh (kumpulan bait), seperti Asmaradana,
Dhandhanggula, Pangkur, hingga Mijil.

Dikisahkan dalam buku itu, antara lain keteladanan Prabu Anglingdarma yang menolong seorang putri
bernama Setyawati dari serangan harimau. Setelah bisa mengalahkan harimau, sang putri diantar pulang
ke rumahnya. Ternyata ia adalah putri seorang pertapa bernama Resi Maniksutra. Prabu Anglingdarma
yang menguasai bahasa binatang itu, akhirnya melamar putri Resi Maniksutra. Namun sebelum berhasil
melamar, dia harus bisa mengalahkan kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim. Namun Batikmadrim
bukan tandingan Prabu Anglingdarma.

Cerita Prabu Anglingdarma sangat panjang dan sangat menarik. Maka untuk bisa membaca lengkap dari
sumber asli, bisa membacanya di Perpustakaan Tembi Yogyakarta

====

MANUSKRIP ANGLING DARMA

Cerita Aji Darma telah lama mendapat perhatian Brandes pada 1889 setelah ia mendapat salinannya
daripada van der Tuuk ketika menjadi Residen di Bali. Manuskrip itu, kod no. Br. 339 dan Br. 431, masih
tersimpan di Musium Pusat, Jakarta (Drewes, 1975: 35). Namun, Juynboll mendapati ada beberapa
perbezaan antara Aji Darma dengan AD. Perbandingan antara kedua-dua teks tersebut tidak akan
dilakukan dalam rencana ini.

Cerita AD adalah cerita Jawa yang diselitkan pelbagai motif cerita, yang pada umumnya berasal dari
Jawa Timur. Ia bermula dengan kisah raja Angling Darma yang dapat memahami bahasa binatang. Akan
tetapi kemampuannya itu menyebabkannya ditimpa kesengsaraan, lebih-lebih lagi ketika sang raja
menolak permintaan permaisuri untuk diajari bahasa binatang. Setelah ditolak keinginannya, permaisuri
membunuh diri dan terus masuk ke dalam api. Sejak itu, sang raja bersumpah tidak akan berkahwin lagi.
Tetapi, sumpah sang raja itu tidak bertahan lama, setelah digoda dua orang bidadari yang datang untuk
menguji keteguhan sumpah baginda. Angling Darma ternyata terpikat dengan bidadari yang berubah
bentuk fizikal menjadi gadis cantik yang bersedia untuk dijadikan isteri. Akibatnya, sang raja mendapat
kutukan yang kerajaannya akan bertukar menjadi hutan belantara, sementara Angling Darma harus
meninggalkan kerajaannya untuk beberapa tahun. Wajar dinyatakan di sini bahawa cerita AD bukanlah
karya asli Madura kerana ada banyak persamaan motif dengan cerita AD, versi Jawa Tengahan yang
dikenali sebagai Pancatantra (Drewes 1975: 38). Beliaulah juga yang telah menyatakan persamaan motif
antara cerita AD dengan beberapa bahagian Tantri seperti yang berikut:

NASKAH ANGLING DARMA AMBYA MADURA

Rencana ini akan memaparkan ciri-ciri naskah yang dikaji, selain perbezaan dengan cerita AD versi Jawa.
Selain Drewes, Hollander juga dalam bukunya Handleiding (1856) telah menanggap bahawa tidak
terdapat sebarang unsur Islam dalam naskah AD versi Jawa. Unsur Islam hanya ditimbulkan penyalin
Melayu (Drewes 1975:16). Hal ini tidak pernah disentuh oleh oleh Ikram dalam Filologia Nusantara
(1997).

Mungkin ketika The Romance of King Angling Darma ditulis, Drewes belum menjumpai atau belum
mengetahui naskah ADAM yang ditulis Raden Sosro- danoekoesoemo (1941). Namun, manuskrip ini
dicatat dalam Khazanah Naskah yang disusun oleh Henri Chambert-Loir dan Fathurachman pada tahun
1999.
------

Candi Jago terletak di Desa/Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi Jago dibuat dari batu
andesit yang berukuran panjang 23 meter dan lebar 15 meter. Candi Jago didirikan sebagai tempat
pendharmaan Raja Wisnuwarddhana yang wafat pada tahun 1268. Setelah wafat di Mandaragiri,
Wisnuwarddhana dicandikan di Waleri sebagai Siwa dan di Jajaghu sebagai Buddha Amoghapasa. Candi
Jago merupakan perpaduan antara Hindu dan Buddha. Candi Jago bernafaskan Budhis tetapi arsitektur
dan ragam hiasnya adalah bercorak Hindu. Cerita bersifat Buddhis yaitu Kunjarakarnna, Aridharma
(Anglingdarma) dan cerita Tantri. Sedangkan cerita relief bersifat Hinduistis yaitu Parthayajna,
Arjunawiwaha dan Kresnayana. Terdapat banyak relief yang mengambil cerita Tantri Kamandaka yaitu
berisi tentang kisah-kisah binatang. Relief ini dipahatkan pada bingkai atas undak pertama. Kisah-kisah
Tantri sangat populer di dalam Agama Buddha. (Baca Juga : Candi Jago)

Cerita relief Aridharma atau Angling Dharma ini diawali dari sisi sudut barat daya pada dinding bawah
teras pertama, bersambung di sisi timur sampai sudut timur laut.

------/

Praktik sati juga terekam dalam relief Candi Jago di dekat Malang, Jawa Timur, yang dibangun antara
1268 dan 1280 –kemungkinan dibangun kembali pada abad ke-14. Candi Jago memiliki enam relief yang
menggambarkan kematian bunuh diri Satyawati, istri Angling Darma.

-------

Dugaan ini menjadi masuk akal ketika kita melacak koleksi naskah-naskah Jawa Kuno di Perpustakaan
Bodleian (Universitas Oxford), Perpustakaan Inggris, Museum Inggris dan berbagai perpustakaan lainnya
di Inggris. Saya tercengang mengetahui ribuan naskah Jawa dan Melayu Kuno dari abad 18-19
berceceran di tempat-tempat itu. Sekali lagi bukan puluhan atau ratusan, tetapi ribuan. Weleh ...weleh!

Beberapa di antaranya adalah: Serat Pararaton, Angling Darma, Kuda Narawangsa, Serat Rama,
Baratayuddha, Serat Jaya Lengkara, Babad Pakunegaran, Serat Rama Keling (Hikayat Melayu dalam
Bahasa Jawa), Serat Gonda Kusuma, Kidung Lalembut, Babad Nyai Ageng Tarub, Sajarah ing Narendra,
Serat Ambiya, Primbon, Babad Mataram, Sajarah Sumenep, Naskah Wayang Giling Wesi, Damar Wulan,
Serat Kanda, dan sebagainya.
--------

Nama tokoh utama dalam Cerita Bahasa Hewan dalam teks Jawa Kuna Tantri Kāmandaka yang betul
secara hostoris bukanlah Ari Dharma atau bahkan Angling Dharma, melainkan Arindama. Nama terakhir
ini artinya adalah "penjinak para musuh"

======

Anglingdarma

Legenda Makam Prabu Angling Dharma

Makam yang terletak di kota Pati, Jawa Tengah, tepatnya di desa Mlawat (Mlowopati) kecamatan
Sukolilo, sangat terkenal dan dikeramatkan oleh penduduk sekitar. Makam tersebut adalah makam
Prabu Angling Dharma.

Angling Dharma adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara
Wisnu, sosok raja di kerajaan Mlowopati. Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk
mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang
tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Beliau bersama patihnya, Batik Madrim mampu menjadikan
Mlowopati menjadi besar dengan memenangi beberapa peperangan penting.

Sampai saat ini keberadaan tentang makam Prabu Angling Dharma masih simpang siur karena hanya
bersifat sejarah dari mulut ke mulut. Beberapa literatur mengatakan bahwa, Prabu Angling Dharma
pernah singgah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung belibis.

Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi
sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri. Dianggap melanggar janji saat
Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan
gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Dan runtuhlahlah iman sang Prabu. Kemudian beliau dikutuk
kedua kalinya oleh seorang putri raksasa yang cantik dan pemakan manusia sebagai burung Belibis.
Pada perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau
memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.

Sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta istri dan putranya. Saat itu Mlowopati
sedang diserang Raja Raksana Pancadnyono, dengan kembalinya sang Raja Mlowopati, maka
peperangan itu berhasil dimenangkan, walaupun Batik Madrim dan pasukanya sempat kewalahan.

Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat
atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang perihal letak makam Prabu
Angling Dharma.

Sampai sekarang makam Prabu Angling Dharma yang berada di kota Pati ini banyak di kunjungi oleh
para peziarah. Selain sebagai tempat ziarah, tempat ini juga dijadikan tempat wisata karena terdapat
Sendang Nogorojo dan Sendang Nogonini yang masih alami.

--------

Di rangkum dari kitab baratayudha menyebutkan bahwa angling dharma merupakan putra dari ratu
Pramesti yang juga merupakan titisan dari Dewa arjuna, menurut nasab keturunannya Angling dharma
merupakan keturunan dari Arjuna, cicit dari Abimanyu, cucu dari tokoh terkenal jayabaya, dan juga
putra kesayangan dari ratu Pramesti, dari rahim ratu pramesti inilah sosok legenda Angling dharma
menjadi terkenal karena dan menjadi raja di kerajaan Malawapati yang dikenal dalam cerita wayang.

menurut hikayat cerita lahirnya Angling dharma ini bermula pada mimpi sang ratu Pramesti bertemu
Batara Wisnu yang berkata akan lahir ke dunia melalui rahimnya. Ketika bangun tiba-tiba perutnya telah
mengandung. Astradarma yang merupakan suami dari ratu pramesti sangat marah dan menuduh
Pramesti telah berselingkuh. Lalu Ia pun mengusir istrinya itu pulang ke Mamenang.

Melihat ratu pramesti diusir dari singsana kerajaan, jayabaya yang merupakan ayah dari ratu pramesti
sangat marah sekali kepada Astradarma, lalu jayabaya pun mengutuk negeri Yawastina tenggelam oleh
banjir lumpur. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Astradarma pun tewas bersama lenyapnya istana
Yawastina, setelah Astradarma tewas maka kemudian angling dharma pun lahir ke dunia.

Singkat cerita Angling dharma ini lahir sebagai pemuda yang tampan dan berwibawa, ketika ia beranjak
dewasa ia pun membawa ibunya untuk membangun sebuah kerajaan bernama Malawapati, nah dari
kerajaan inilah ia mengelari dirinya sebagai Prabu Anglingdarma.

Menurut cerita dari kitab barathayudhamenyebutkan bahwa Prabung angling dharma menikah dengan
seorang gadis bernama Setyawati yang merupakan putri dari Resi Maniksutra. Namun kakak dari
Setyawati yakni Batikmadrim tidak setuju dengan pernikahan Angling dharma, maka Batikmadrim pun
menantang duel prabu angling dharma, jika angling dharma menang maka ia boleh menikahi adiknya
namun jika ia kalah ia harus mundur.

angling dharma berhasil mengalahkan Batik Madrim, dan kemudian mempersunting adiknya setyawati
tersebut. Batikmadrim pun diangkat menjadi patih di kerajaan malawapati. Saat memimpin kerajaan
malawapati, rakyatnya sangat hidup makmur dan sejahtera bahkan dalam kisah wayang disebutkan
bahwa kerajaan yang dipimpin oleh prabu Angling dharma ini sangatlah kuat dan memiliki ratusan ribu
pasukan.

-----

Sama halnya Angling Darma, raja yang memiliki patih sakti bernama Batik Madrim ini namanya selalu
dikenal dalam sejarah, meski keabsahan kisahnya belum diakui sebagai sebuah fakta sejarah. Bekas dan
sisa-sisa kerajaannya pun belum ditemukan hingga sekarang.

Begitu juga dengan prasasti-prasasti yang menunjukkan cerita Angling Dharma juga belum ditemukan.
Meski begitu, kisah legendanya selalu ada, menghiasi layar televisi (TV) Indonesia, diyakini dulu ada,
meski tabir misterinya belum terbuka.

Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur juga diyakini sebagai tempat atau petilasan Sang Prabu. Namun,
juru kunci makam Angling Darma di Kabupaten Pati, Suroso menuturkan bila di Kabupaten Bojonegoro
hanyalah petisan saat dia dikutuk menjadi belibis putih oleh tiga peri atau siluman cantik.
Di Bojonegoro, dulu Bojanagara sebagaimana dikutip dari direktoripati.com, Prabu Angling Dharma
mendapatkan seorang putri cantik, anak dari Raja Bojanagara. Dari istri ini, Sang Prabu dikaruniai
seorang anak, Pangeran Angling Kusuma.

Setelah dewasa, Angling Kusuma menggantikan tahta kakeknya dan menjadi Raja Bojonegoro. Dari
analisis tersebut, Suroso yakin jika makam Prabu Angling Darma berada di Dukuh Mlawat, Desa Baleadi,
Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.

Sedangkan Makam Batik Madrim berada di Desa Kedungwinong, Sukolilo yang jaraknya hanya sekitar 2
km dari makam Angling Darma. Tidak jauh dari tempat tersebut, juga ada Gua Eyang Naga Raja (ejaan
Jawa: Nogo Rojo) yang diyakini sebagai tempat peristirahatannya.

Tempat-tempat tersebut sekarang ini banyak dimanfaatkan masyarakat untuk menggelar wisata religi
(religious tourism). Tentu, hanya orang-orang kalangan spiritualis-mistis, serta pegiat sejarah yang biasa
mengunjungi makam tersebut untuk wisata religi.

------

Masing-masing daerah di Indonesia biasanya memiliki cerita rakyat seputar tokoh atau pendiri daerah
itu. Salah satunya yang bisa Anda dengar adalah kisah Prabu Anglingdarma dari Kota Bojonegoro, Jawa
Timur. Cerita tentang Prabu Anglingdarma semakin populer manakala sekitar tahun 2002 sebuah stasiun
televisi swastamencoba memproduksi sinetron laga bertemakan kisah kepahlawanan tokoh tersebut.

Tayangan sinetron Anglingdarma saat itu banyak penikmatnya. Anak-anak bahkan orang dewasapun
selalu merindukan tayangan tokoh yang diidolakannya itu. Apalagi sang pemeran merupakan aktor
ganteng berpostur tegap. Penampilan sang aktor seolah membius dan membuat penikmatnya
berangan-angan serta mencoba membayangkan sosok Anglingdarma yang sebenarnya.

Ketokohan dan kisah kepahlawanan Prabu Anglingdarma tak hanya muncul di sinetron TV saja.
Anglingdarma memang benar-benar pernah ada. Beberapa daerah di Jawa Tengah dan Barat saling
mengklaim kalau Anglingdarma merupakan pahlawan daerahnya. Konon di daerah-daerah yang mereka
klaim itu juga memiliki jejak Anglingdarma. Mana yang benar? Hanya Tuhan jualah yang tahu!
Namun masyarakat Jawa Timur pada umumnya juga sangat meyakini kalau Prabu Anglingdarma
memang menjadi tokoh cikal bakal berdirinya Kota Bojonegoro yang kala itu bernama “Bojanagara”. Di
Desa Wotangare, Kalitidu-Bojonegoro itulah jejak (petilasan) Anglingdarma berada.

Anda atau traveler lain yang penasaran dengan kisah Anglingdarma bisa saja mendatangi petilasan
beliau. Namun Anda tak perlu kaget, petilasan atau jejak peninggalan Prabu Anglingdarma itu berada di
tengah-tengah area persawahan milik warga Desa Wotangare.

Siang itu suasana petilasan nampak sepi. Juru pelihara sedang tidak ada di tempat. Hanya Pak Mudji,
seorang petani yang setia menemani dan mengantar saya sampai ke petilasan. Saya mencoba
memberanikan diri memasuki kain kelambu yang membungkus petilasan Anglingdarma itu, sementara
Pak Mudji duduk-duduk di lantai padepokan.

Biasanya sebuah petilasan atau jejak meninggalkan benda-benda purbakala berupa arca, batuan
purbakala atau bahkan sebuah candi. Namun berbeda dengan petilasan Anglingdarma ini. Hanya
potongan-potongan batu bata kuno saja yang saya lihat di dalam kelambu itu.

Sebagai warga asli Desa Wotangare, Pak Mudji mengaku tak banyak tahu tentang petilasan
Anglingdarma ini. Sedikit ironis memang, sebagai warga asli saja mengaku tak tahu cerita rakyat
setempat apalagi saya yang hanya pengunjung petilasan itu.

Menurut catatan sejarah yang saya gali dari Mbah Google diketahui kalau Prabu Anglingdarma itu masih
cucu keturunan Raja Jayabaya, seorang raja yang sangat terkenal dengan ramalannya itu. Jayabaya
pernah memerintah Kerajaan Kadiri (Kediri) di Jawa Timur. Dengan “aji ginengnya” itu, beliau sanggup
mengerti pembicaraan hewan.

Kini jejak peninggalan beliau nyaris tak ada, hanya beberapa potongan bata purbakala yang terletak di
tengah area persawahan warga Desa Wotangare. Mau tak percaya bagaimana, buktinya pemerintah
daerah setempat juga sangat meyakini dan mengakui kalau Kota Bojonegoro memang menjadi asal raja
yang ketokohannya ini dijadikan serial sinetron.
--------

ANGLING DARMA, DONGENG YANG DIPEREBUTKAN

Written By Nizar Anwar on Sabtu, 14 Juli 2012 | 23.49

Rasa penasaran akan kisah Prabu Angling Darma, yang konon meninggalkan beberapa peninggalan di
Desa Parakan Kab. Temanggung, membuat saya mencoba mencari data di internet mengenai asal usul
sang prabu. Namun yang saya dapat justru menimbulkan rasa penasaran yang lain, karena ternyata
kisah Prabu Angling Darma justru lebih pantas disebut dongeng daripada sejarah. Meski lebih mirip
dongeng, namun beberapa daerah meng-klaim sebagai tempat asal sang Prabu. Di Jawa Tengah saja, tak
kurang ada 3 ( tiga ) daerah yang mengaku sebagai daerah petilasan Prabu Angling Darma, yaitu
Temanggung ( Parakan ), Bojonegoro dan Pati. Belum lagi jelas juntrungannya, kisah Prabu Angling
Darma sudah keburu disinetronkan. Sehingga kisahnya menjadi semakin terkontaminasi kisah khayalan.
Masih untung bukan Malaysia yang meng-klaim sebagai pemilik kisah Prabu Angling Darma. He he he ...
Kabupaten Bojonegoro, Pemerintah Daerahnya bahkan berencana membangun sebuah Museum dan
sekaligus Monumen Angling Darma di desa Wotangare, yang menurut meraka, di desa inilah dulu
merupakan pusat Kerajaan Malawapati yang diperintah oleh Prabu Angling Darma. Asal tahu saja,
Pendopo Kabupaten Bojonegoro juga dinamai Pendapa Malawapati. Masih belum puas, PERSIBO, yang
merupakan klub sepakbola Kab. Bojonegoro, juga menyebut dirinya Laskar Angling Darma. Menarik
bukan? Menurut saya, hal ini sudah cukup menunjukkan kepedulian Pemerintah Daerah Bojonegoro
akan peluang pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Lha, kalau Kab. Temanggung? Maaf, situs
Liyangan yang sudah jelas merupakan daerah Pemukiman jaman Kerajaan Matara Kuno saja tidak di
urus. Sedikit yang menarik dari Prabu Angling Darma, kalau kita browsing di Wikipedia, Sang Prabu
adalah keturunan Arjuna yang sudah pasti tokoh wayang. Tapi juga disebut cucu Raja Jayabhaya yang
tokoh nyata. Raja Jayabaya atau Sri Maharaja Sri Warmmeswara adalah raja di Kerajaan Kadiri, yang
berkuasa kurang lebih tahun 1135 M s/d 1159 M. Pertanyannya, sejak kapan Wayang bisa memiliki
keturunan manusia sebenarnya? Atau, adakah tokoh wayang yang bernama Jayabaya? Entahlah, toh
yang di Wikipedia pun tak menunjukkan sumbernya dari Babad mana, Babad Wikipedia tentu juga
sangat meragukan keshahihannya. Namun untuk memenuhi keingintahuan pembaca yang belum tahu
kisah tentang Prabu Angling Darma, disini akan saya postingkan kisah yang saya sarikan dari Wikipedia
digabung dengan beberapa versi lain dari cerita rakyat Temanggung, Bojonegoro dan Pati, anggaplah
kisah ini merupakan Babad Antah Berantah. Angling Darma adalah raja Kerajaan Malawapati, yang
berpermaisurikan Dewi Setyowati, putri dari guru Angling Darma yakni Begawan Maniksutra. Kakak
Dewi Setyawati bernama Batik Madrim, yang telah terlanjur bersumpah, bahwa barang siapa yang
hendak memperistri adiknya, maka harus berhasil mengalahkannya. Angling Darma berhasil
mengalahkan Batik Madrim dan mengangkatnya sebagai Patih Kerajaan. Meski berwatak baik, namun
Angling Darma mudah meluapkan emosi, dan mudah tergoda dengan wanita cantik. Manusiawi dong,
namanya juga raja. Tak perlulah kita bilang WOW atau malah HUUUUU ... Suatu ketika, Angling Darma
mendapati sepasang burung jalak memadu kasih pada dahan pohon yang kebetulan berada persis diatas
kepala sang Prabu. Tak tahu dua jalak tersebut adalah penjelmaan Sang Hyang Batara Guru dan istrinya
Dewi Uma, Angling Darma memanah sepasang burung jalak tersebut. Batara Guru marah dan mengutuk
Angling Darma akan berpisah dengan istrinya karena tak harmonis dalam bercinta. Terhipnotis oleh
kutukan tersebut, Angling Darma tak bersemangat melayani istrinya. Tentu saja Dewi Setyowati kecewa
karena merasa Angling Darma sudah tak sudi pada dirinya. Saat hubungan dengan istrinya kurang
harmonis, Angling Darma berusaha menenangkan dirinya dengan pergi berburu. Di hutan, dia melihat
Naga Gini yang merupakan istri dari Naga Raja atau Naga Pertala sahabatnya, sedang berselingkuh
dengan seekor Ular Tampar. Angling Darma kembali murka dan memanah si Ular Tampar hingga mati.
Sialnya, ekor Naga Gini terserempet anak panah hingga terluka. Naga Gini memfitnah Angling Darma
dan mengadu pada Naga Pertala bahwa Angling Darma hendak membunuhnya. Beruntung, Angling
Darma bisa meyakinkan Naga Pertala yang terjadi sebenarnya sembari menunjukkan bangkai Ular
Tampar yang dipanahnya. Naga Pertala menyampaikan terima kasihnya dengan mengajarkan Aji Gineng,
yaitu ilmu untuk menguasai bahasa binatang kepada Angling Darma, disertai pesan agar ilmu tersebut
tak boleh diajarkan kepada siapapun. Kembali ke Kerajaan, Angling Darma sudah lupa dengan kutukan
Batara Guru. Dia sudah rindu dengan istrinya. Saat keduanya sedang bercumbu, Angling Darma
mendengar suara cicak jantan yang sedang merayu cicak betina, karena tergiur dengan apa yang sedang
dilakukan Angling Darma dan istrinya. seketika Angling Darma marah dan hilang selera. Kali ini Dewi
Setyowati kecewa besar. Dewi Setyowati bunuh diri dengan cara membakar dirinya. Demi menunjukkan
cintanya, Angling Darma bersumpah tak akan menikah lagi. Sumpah Angling Darma terdengar oleh Dewi
Uma dan Dewi Ratih. Masih dendam dengan Angling Darma, Dewi Uma mengajak Dewi Ratih untuk
menguji sumpah Angling Darma. Keduanya merubah diri menjadi dua wanita cantik dan menggoda sang
Prabu. Runtuhlah keteguhan sumpah Angling Darma, dia menanggapi godaan dua gadis cantik tersebut.
Saat itulah kedua gadis merubah dirinya kembali menjadi dua Dewi Kahyangan. Dewi Uma menghukum
Angling Darma agar mengembara meninggalkan istana. Diluar sana banyak godaan yang harus dihadapi
Angling Darma untuk mempertebal imannya. Kerajaan untuk sementara diperintah oleh Batik Madrim.
Dalam pengembaraannya, Angling Darma sampai di kediaman tiga gadis cantik yang bernama Widata,
Widati dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta pada Angling Darma hingga menahannya untuk pergi.
Karena ingin menyelidiki tingkah aneh ketiga gadis tersebut yang sering keluar malam. Angling Darma
bersedia tinggal. Pada malam harinya, saat ketiga gadis tersebut keluar rumah. Angling Darma merubah
dirinya menjadi seekor Burung Gagak untuk mengikuti kemana ketiga gadis itu pergi. Rupanya, Widata,
Widati dan Widaningsih adalah tiga putri siluman yang suka makan daging manusia. Angling Darma
mengecam perbuatan ketiga putri siluman itu, namun lantaran masih shock dengan apa yang baru
dilihatnya, Angling Darma justru kalah melawan ketiga putri siluman itu, yang lalu mengutuknya menjadi
seekor burung belibis putih. Saat menjadi burung belibis, kepercayaan diri Angling Darma hampir terkikis
habis. Secara, dia baru saja dikalahkan oleh wanita. Dia terbang hingga sampai ke Wilayah Kerajaan
Bojonegoro. Dan dengan mudahnya dia ditangkap oleh seorang pemuda desa bernama Joko Geduk. Saat
itu, Raja Bojonegoro yang bernama Darmawangsa sedang mengadakan sayembara, lantaran ada dua
laki-laki kembar yang sedang rebutan istri yakni Bermani. Keduanya mengaku sebagai Bermana, suami
dari Bermani. Barang siapa yang bisa mengungkap Bermana yang asli, dia akan mendapat hadiah besar.
Burung Belibis yang mendengar sayembara tersebut, membujuk Jaka Geduk untuk mengikuti
sayembara. Kaget mendapati burung belibis yang baru ditangkapnya bisa berbicara, Jaka Geduk
meyakini bahwa burung tersebut jelmaan Dewa. Sehingga dia mempercayai perkataan burung belibis
itu. Berdasar petunjuk dari Burung Belibis, Jaka Geduk membawa sebuah kendi. Salah satu Bermana
yang bisa masuk ke dalam kendi tersebut, maka dia akan ditetapkan sebagai Bermana yang asli. Satu
diantara dua yang mengaku Bermana dengan congkak menunjukkan kesaktiannya dengan masuk
kedalam kendi. Jaka Geduk buru-buru menutup kendi tersebut. Belakangan diketahui, Bermana palsu
yang masuk kendi adalah Jin yang bernama Wiratsangka. Jaka Geduk diberi jabatan sebagai Hakim
Kerajaan. Pucuk dicinta ulampun tiba, putri raja Darmawangsa, yakni Dewi Ambarawati terpesona
dengan keelokan badan burung belibis piaraan Jaka Geduk, sehingga burung belibis putih tersebut
dimintanya dari Jaka Geduk untuk menghiasi kolam Kerajaan Bojonegoro. Lagi-lagi Angling Darma
tergoda imannya. Pada malam hari, burung belibis berubah menjadi seorang pemuda tampan dan
menggoda Dewi Ambarawati. Tak bertepuk sebelah tangan, Dewi Ambarawati meladeni godaan sang
pemuda tampan yang tak lain adalah Prabu Angling Darma. Selang beberapa lama, Dewi Ambarawati
pun mengandung. Gemparlah seluruh Kerajaan Bojonegoro, hakim Kerajaan pun tak mampu
mengungkap siapa yang telah menghamili Dewi Ambarawati. Dia hanya curiga dengan belibis putih yang
menurutnya adalah Dewa yang malih rupa. Raja Darmawangsa pun kembali mengadakan sayembara
untuk mencari orang yang menghamili Dewi Ambarawati. Batik Madrim yang memang sedang mencari
rajanya mencoba untuk mengikuti sayembara. Namun dia menyamar sebagai seorang Resi bernama
Yogiswara. Resi Yogiswara langsung menyerang belibis putih yang ada di kolam istana. Pertarungan pun
terjadi antara Resi Yogiwara melawan belibis putih. Beberapa saat setelah pertempuran berlangsung,
belibis putih sempat berkata bahwa Resi Yogiswara agar lebih baik menyerah saja, karena tak mungkin
sanggup melawan dirinya. Di lain pihak, Resi Yogiswara yang sebenarnya adalah Batik Madrim
mengenali suara rajanya. Dia besimpuh menyembah belibis putih. Sambil berkata bahwa sesungguhnya
dia adalah Batik Madrim, patih Kerajaan Malawapati yang sedang mencari Prabu Angling Darma, karena
telah selesai masa hukumannya. Dengan kesaktiannya Resi Yogiswara mampu menghapuskan kutukan
tiga putri siluman, Widata, Widati dan Widaningsih, sehingga belibis putih kembali menjadi wujud
sebenarnya, yaitu Prabu Angling Darma. Akhirnya Prabu Angling Darma menikahi Dewi Ambarawati,
namun dia tak mau tetap tinggal di Kerajaan Bojonegoro, karena memiliki kerajaan sendiri yang harus
diurus. Angling Darma memboyong Dewi Ambarawati ke Kerajaan Malawapati. Dari perkawinannya
dengan Dewi Ambarawati, Angling Darma memiliki putera yang diberi nama Angling Kusuma. Angling
Kusuma inilah yang kelak menggantikan kakeknya yakni Raja Darmawangsa menjadi Raja di Kerajaan
Bojonegoro. Yang perlu digarisbawahi sekarang, mungkin Kabupaten Bojonegoro meng-klaim sebagai
pewaris Prabu Angling Darma karena ada nama Kerajaan Bojonegoro. Meskipun dari kisah di atas, bisa
ditarik kesimpulan bahwa Prabu Angling Darma tak pernah menjadi penguasa di Bojonegoro, karena
tahta Kerajaan Bojonegoro diteruskan oleh Angling Kusuma, anak dari Prabu Angling Darma. Sedangkan
Kabupaten PATI juga meng-klaim Angling Darma sebagai daerah asal kisah tersebut, mungkin karena
memiliki desa yang bernama MLAWAT, yang terletak di Kecamatan Sukolilo. Sehingga nama Kerajaan
Malawapati identik dengan nama MLAWAT – PATI. Konon, di desa MLAWAT ini terdapat makam Prabu
Angling Darma.

------

Masyarakat di wilayah Kedu, Kabupaten Temanggung, Jateng mungkin tidak asing dengan legenda
Angling Darma. Bahkan cerita rakyat yang pernah disinetronkan itu pernah menjadi persoalan serius.

Itu karena mitos ini masih berlaku di wilayah Kedu. Pantangan untuk bercerita, bertutur, apalagi
mementaskan sesuatu yang berhubungan dengan Angling Darma. Barang siapa yang melanggarnya
dipercaya akan tertimpa petaka, bahkan terancam kematian.

Mitos Angling Darma memang masih disakralkan. Terbukti, banyak peristiwa gaib yang selalu membawa
petaka dan bencana bagi warga yang mencoba menuturkan kisah Raja Malawapati itu.
Dalam legenda yang banyak dituturkan secara lisan itu menyebut, Angling Darma adalah sosok Raja
Malawapati. Situs-situsnya dipercaya berada di gugusan bukit (Gunung Bandang) wilayah Kelurahan
Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.

Dalam versi cerita lisan yang lain, Angling Darma ternyata juga dikenal sebagai putra seorang raja di
daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Ia digambarkan sebagai pria yang memiliki paras tampan. Selain itu ia
juga memiliki guru sakti, yang berwujud ular, tempatnya di Gunung Srandil.

Legenda Angling Darma memang lebih diakui di wilayah Kedu, Temanggung, Jateng. Ini menyangkut
keberadaan situs di Kelurahan Bojonegoro berupa balai kelurahan yang dipercaya sebagai kedaton
(istana), serta sendang yang dipercaya sebagai tempat munculnya mliwis putih dan sebuah makam
(petilasan) di Bukit Bandang.

Menurut Nyitno (45), juru kunci pesarean Angling Darma, tiga tempat ini menjadi alasan mitos itu
menjadi sangat diyakini. Pantangan besar bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Kedu untuk
menuturkan kisah Angling Darma.

Beberapa peristiwa negatif selalu muncul bersamaan dengan penyebutan secara lisan. Dari bencana
kecil sampai pada kematian sang penuturnya. Sugesti mistik itu sampai sekarang masih mbalung
sungsum (mendarah daging) di masyarakat Kedu, khususnya di Kelurahan Bojonegoro. jss

-------

Otonomi.co.id - Tanah Jawa memiliki banyak legenda. Salah satunya adalah legenda tentang Prabu
Angling Dharma atau Prabu Anglingdarmo. Saking tenarnya cerita Angling Dharma ini dijadikan sebuah
film.

Cerita tentang Angling Dharma ini hingga kini masih jadi kontroversi, ada yang menyebut berasal dari
Pati, Jawa Tengah ada juga yang menyebut dari Bojonegoro, Jawa Timur.

Dikutip dari laman paseban.org,di Pati sendiri ada sebuah makam yang dipercaya merupakan makam
Prabu Angling Darma. Tepatnya berada di desa Mlawat (Mlowopati) Kecamatan Sukolilo. Makam
tersebut sangat dikeramatkan oleh penduduk sekitar.

Angling Dharma dipercaya merupakan seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa. Tokoh Angling Dharma
ini dianggap sebagai titisan Batara Wisnu, sosok raja di kerajaan Mlowopati. Salah satu keistimewaan
beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang.

Angling Dharma ini disebut-sebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah
Mahabharata. Angling Dharma bersama patihnya yang bernama Batik Madrim mampu menjadikan
Mlowopati besar. Mereka memenangi beberapa peperangan penting.
Angling Dharma dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana. Beliau juga tersohor bisa
menundukkan bangsa dan terkenal memiliki berbagai macam benda pusaka sangat sakti, misalnya Keris
Pulang Geni, Panah Pasopati, dan masih banyak lagi.

Selain makam Prabu Angling Dharma di Pati juga ada makam Batik Madrim. Di sana gua yang sangat
dalam yaitu gua Eyang Pikulun Naga Raja Guru Prabu Angling Darma. Selain makam, disana juga
terdapat tempat pemandian yang sampai sekarang masih di keramatkan oleh penduduk setempat.

Kemudian beberapa literatur mengatakan bahwa, Prabu Angling Dharma pernah singgah di Bojonegoro
saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung belibis.

Angling Dharma ini dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih. Prabu Angling Dharma dianggap melanggar
janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh
diri.

Saat itu Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-
nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Karena itu, runtuhlahlah iman sang Prabu.

Kemudian Prabu Angling Dharma dikutuk kedua kalinya oleh seorang putri raksasa yang cantik dan
pemakan manusia sebagai burung Belibis.

Pada perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau
memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.

Sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta istri dan putranya. Saat itu Mlowopati
sedang diserang Raja Raksana Pancadnyono, dengan kembalinya sang Raja Mlowopati, peperangan itu
berhasil dimenangkan. Padahal saat itu, Batik Madrim dan pasukannya sempat kewalahan.

Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat
atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang soal letak makam Prabu
Angling Dharma.

Sampai sekarang makam Prabu Angling Dharma yang berada di kota Pati ini banyak dikunjungi oleh para
peziarah. Selain sebagai tempat ziarah, tempat ini juga dijadikan tempat wisata. (dwq)

--------

Di Daerah Bojonegoro, Jawa Timur, terdapat petilasan Prabu Angling Dharma yang terletak di Desa
Weton Ngare, Kalitidu, Bojonegoro. Menariknya, petilasan itu tepat di tengah pematang sawah.
Di depan gapura, terdapat tanah yang selalu basah. Konon katanya, dulu adalah kolam pemandian,
tempat Setyowati bertemu Prabu Angling Dharma yang menjelma menjadi burung Meliwis Putih.

Biasanya sebuah petilasan atau jejak meninggalkan benda-benda purbakala berupa arca, batuan
purbakala atau bahkan sebuah candi. Namun berbeda dengan petilasan Anglingdarma ini. Hanya
potongan-potongan batu bata kuno saja yang terlihat.

Konon ceritanya Prabu Angling Dharma pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa
hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena
melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang
mati bunuh diri,” ujar Atmo penjaga petilasan.

-----

Pertanyaan pertama yang muncul dalam pikiran kita saat melintas di depan Pendopo Pemkab
Bojonegoro yang bertuliskan PENDOPO MALOWOPATI adalah apakah benar Bojonegoro itu bumi
Angling Dharmo ??

Sebagai pemerhati sejarah kiranya penulis akan mengulas tentang pelurusan sejarah Bojonegoro. Agar
generasi saat ini sampai mendatang tidak terbelenggu dengan mitos yang tidak bisa dibuktikan secara
akademis/keilmuan.

Sebagaimana saat anda memasuki wilayah Bojonegoro akan terpampang jelas dengan kalimat sambutan
"Selamat Datang Di Bumi Angling Dharmo". Tidak hanya itu saja tim sepakbola kebanggaan warga
Bojonegoro memiliki sebutan "Laskar Angling Dharmo". Kemudian Radio Pemerintah Pemkab
Bojonegoro pun menamakan stasiun radionya dengan "Stasiun Radio Malowopati". Bahkan Pendopo
Pemkab Bojonegoro pun menggunakan nama "Pendopo Malowopati". Nama Malowopati itu sendiri
diambil dari lokasi Kerajaan yang dipimpin Prabu Angling Dharmo yaitu Kerajaan Malowopati. Bahkan
sebagian besar warga Bojonegoro pun meyakini bahwa Angling Dharmo adalah prabu yang memiliki
kerajaan di Bojonegoro. Ditambah lagi dengan ditayangkannya serial Prabu Angling Dharmo di stasiun
televisi swasta nasional seolah-olah menambah keyakinan masyarakat Bojonegoro bahwa Prabu Angling
Dharmo memang berasal dari Bojonegoro.
Pemkab saat itu menegaskan bahwa Bojonegoro adalah Bumi Angling Dharmo. Hingga saat ini yang
tertanam di pikiran masyarakat Bojonegoro, ANgling Dharmo adalah leluhur Bojonegoro.

Perlu diketahui Pemkab Bojonegoro sekitar tahun 1988 dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro,
ditambah dengan terbitnya buku Sejarah Kepolisian Resort Bojonegoro yang mnegaskan bahwa tidak
ada bukti peninggalan Kerajaan Malowopati. Penegasan secara ilmiah ini dinyatakan oleh Balai Arkeologi
Jogjakarta.

Namun ironis sekali, sejarah yang ditulis secara ilmiah itu ternyata tidak sampai pada generasi muda
Bojonegoro saat ini. Akibatnya, generasi muda Bojonegoro hingga kini masih belum memahami sejarah
yang benar. Seharusnya di sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Melalui pelajaran sejarah atau IPS bisa menjelaskan sejarah
kelahiran Bojonegoro ini. Jadi maklum saja, di sekolah mereka tidak mendapatkan sejarah yang benar.
Mereka hanya percaya tanpa bukti sejarah. Sehingga sejarah yang diterima di kepala siswa adalah cerita
mitos Prabu Angling Dharma tanpa bukti ilmiah, kaum muda Bojonegoro dipaksa untuk percaya cerita
rakyat atau legenda yang jelas-jelas tanpa ada bukti sejarah yang konkret. Dalam ilmu sejarah ada 3
(tiga) unsur dalam sejarah. Yaitu yang pertama; Manusia, yaitu sebagai pelaku sejarahnya, Kedua;
Tempat, yaitu dimana letak/lokasi peristiwa sejarah itu, dan ketiga; waktu, yaitu kapan terjadinya
peristiwa tersebut. Untuk Cerita Angling Dharmo jelas tidak memenuhi salah satu unsur keilmuan
sejarah. Dan bisa disimpulkan itu adalah legenda/cerita rakta. Ironi kan ??

Penulis khawatir jika sejarah yang benar tidak diajarkan kepada siswa, maka akibatnya generasi muda
Bojonegoro percaya kepada mitos. Apabila masyarakat mempercayai mitos maka logika sederhana
tentang realita keilmuan akan hablur.

Pada kenyataannya Angling Dharmo ternyata bukan hanya klaim dari Bojonegoro. Di daerah lain yaitu di
Jawa Tengah seperti Pati, Sragen juga mengklaim sebagai daerah asal Prabu Angling Dharmo. Banyaknya
klaim tersebut menegaskan jika Angling Dharmo adalah cerita rakyat, bukan sejarah yang harus diakui
kebenarannya.

Pada bulan Agustus 2012 Tim Balai Arkeologi Jogjakarta juga menegaskan situs Mlawatan di wilayah
kecamatan Kalitidu tepatnya di desa Wotangare yang di percaya sebagai petilasan Batik Madrim yaitu
adik dari Prabu Angling Dharmo juga ditemukan bekas bangunan kerajaan. Tetapi Balai Arkeologi tidak
menegaskan bahwa itu adalah situs lokasi reruntuhan bangunan kerajaan, melainkan sisa-sisa
reruntuhan lokasi bangunan kompleks rumah. Dengan ciri bata nerah panjang 40 C cm lebar 20 cm
dengan ketebalan 5 cm merupakan ciri khas bata masa kerajaan Majapahit.
Memang di lokasi tersebut (situs Mlawatan) ditemukan tumpukan batu bata, tetapi itu bukan komleks
bangunan kerajaan. Oleh karena itu penyebutan Bojonegoro sebagai bumi Nagling Dharmo perlu
ditinjau ulang. Khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sebab jika generasi muda diberi sejarah
yang menyesatkan maka akan sesat pula generasi selanjutnya tentang jati diri Bojonegoro.

Sejarah Bojonegoro sendiri adalah merupakan bekas dari wilayah kerajaan Rajekwesi yang merupakan
wilayah perdikan dari kerajaan Pajang di Jawa Tengah. Yang berlokasi di wilayah Mojoranu sekarang ini.

------

Shinta......ananda selaknya harus memahami, sebuah legenda tidak bisa dikatakan sebagai sebuah cerita
sejarah. Hal inilah yang belum dipahami oleh generasi muda sekarang. Masyarakat pun terjebak dalam
mitologi yaitu hal-hal yang bernafas mitos. Bahkan legenda itupun seakan-akan nyata adanya di
kehidupan masa lalu. Itulah hebatnya seorang pengarang cerita.

Angling dharma adalah sebuah kisah yang diangkat dari cerita pewayangan. Dikisahkan bahwa Angling
Dharmo merupakan keturuna ketujuh dari Arjuna. Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu.
Abimanyu berputra Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana
berputra Jayabaya. Jayabaya memiliki putri bernama Pramesti, dan dari rahim Pramesti inilah lahir
seorang putra bernama Prabu Anglingdarma. Tentang nama Malowopati dalam cerita pewayangan
adalah tempat Prabu Angling Dharmo memimpin kekuasaannya. Dan itupun sebuah cerita.

Suatu yang tidak lazim sebuah wayang yang bisa menurunkan keturunan manusia kan ??

Tentang hal-hal yang berbau "angker" itu bentuk dari pola pikir masyarakat yang menganggap daerah
itu tabu dan berbau mistis.

Semoga bisa membantu menjawab dan membuka logika kita tentang arti sejarah dan arti sebuah cerita
rakyat (folklore)

-----

Siapa yang tak tahu sosok Angling Dharma? Beliau adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa,
yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Apalagi sejak film Angling Dharma ditayangkan di salah satu
televisi swasta, Indosiar. Masyarakat luas menjadi lebih kenal beliau sebagai sosok raja di kerajaan
Mlowopati. Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala
jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam
kisah Mahabharata. Beliau bersama patihnya, Batik Madrim mampu menjadikan Mlowopati menjadi
besar dengan memenangi beberapa peperangan penting.

Selain itu beliau juga dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana juga tersohor bisa
menundukan bangsa jin.Tersohor juga dengan berbagai macam benda pusaka peninggalanya seperti :
Keris Polang Geni, Panah Pasopati, dan lain sebagainya.

Akan tetapi siapa yang tahu bahwa makam dan beberapa peninggalan penting dari Prabu Angling
Dharmo berada di kota Pati Jawa Tengah, tepatnya di desa Mlawat (Mlowopati) kecamatan Sukolilo.
Kalau dari desa saya, kira-kira berjarak 15 Km-an. Selain itu, di sana juga terdapat makam sang Patih,
Batik Madrim. Terdapat juga gua yang sangat dalam yaitu gua Eyang Pikulun Naga Raja Guru Prabu
Angling Darma juga tempat pemandian yang sampai sekarang masih di sakralkan oleh penduduk
setempat. Dan desa Mlawat sampai sekarang masih menjadi salah satu objek wisata sebagai
peninggalan bersejarah yang kerap dikunjungi wisatawan.

Tapi sungguh perihal ini, sepertinya sangat perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan kemudian menjadi
bagian kekayaan sejarah Indonesia karena semua tertuliskan dan didukung data-data yang valid. Selama
ini tentang keberadaan makam Prabu Angling Dharma masih simpang siur karena hanya bersifat sejarah
dari mulut ke mulut. Mungkin jika Anda adalah warga Bojonegoro akan menolak dengan keras dan
bersikukuh mengatakan bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di Bojonegoro. Jika tidak
demikian, sebutan “Laskar Angling Dharma” sebagai warga Bojonegoro mungkin akan ditarik kembali.

Dari beberapa literatur yang saya baca, memang Prabu Angling Dharma pernah bersinggah di
Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Beliau dihukum oleh
Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud
cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri. Dianggap melanggar janji saat Dewi Uma dan
Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik
menyerupai Dewi Setyowati. Dan runtuhlahlah iman sang Prabu. Kemudian beliau dikutuk kedua kalinya
oleh seorang putri raksasa yang cantik dan pemakan manusia sebagai burung Belibis. Dan pada
perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau
memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.

Dan hal terpenting yang perlu dicatat adalah sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta
istri dan putranya karena saat itu Mlowopati diserang Raja Raksana Pancadnyono. Dan atas kembalinya
sang Raja Mlowopati, dimenangilah peperangan itu walaupun Batik Madrim dan pasukanya sempat
kwalahan.

Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat
atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang perihal letak makam Prabu
Angling Dharma.

Selain di Bojonegro, tak sedikit yang menganggap bahwa makam Angling Dharma terdapat di tanah
Sunda beserta kerajaanya. Dan lebih menarik lagi oleh beberapa orang juga disebutkan Angling Dharma
pernah di Temanggung (lereng Gunung Sumbing), tepatnya di daerah Kedu, arah ke Parakan.
Ah, sepertinya memang sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui kebenaran dari letak makam
Prabu Angling Dharma beserta kerajaanya. Walaupun begitu, saya masih meyakini bahwa makam Prabu
Angling Dharma berada di desa Mlawat, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pat, Jateng. Selain memang di
sana sudah menjadi tempat wisata yang bayak wisatawan berkunjung, di sana juga terdapat Sendang
Nogorojo dan Sendang Nogogini (Nogogini adalah istri dari Naga Pertala, sahabat Angling Dharma).

Jika Anda suatu saat melewati Pati, cobalah bersinggah sebentar dan menengok makam di Sukolilo.
Tentang kebenaranya, wallohua`lam. Semoga bermanfaat.

------

Menginjak tahun 2000-an sebuah stasiun televisi swasta menayangkan serial kolosal berjudul “Angling
Dharma”. Serial mingguan tersebut berkisah tentang dinamika Kerajaan Malawapati yang dipimpin
seorang raja bernama Prabu Angling Dharma. Pusat pemerintahan Malawapati sendiri konon berada di
daerah bernama Bojanegara (sekarang Kabupaten Bojonegoro). Serial legenda tersebut akhirnya
“diberedel” pada 6 Februari 2002 gara-gara isinya menyinggung pemeluk agama Hindu. Mereka menilai
film tersebut melecehkan mereka dan tidak sesuai dengan keyakinan dan ajarannya.

Terlepas dari film serial mingguannya, kisah Angling Dharma sudah menjadi hal yang sangat dekat
dengan warga Bojonegoro. Entah sejak kapan, yang jelas pendapa Kabupaten Bojonegoro sendiri
dinamai sesuai nama kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma, Pendapa Malawapati. Persibo,
klub sepakbola Kabupaten Bojonegoro, juga mendapat julukan Laskar Angling Dharma. Terakhir dan
paling hangat, pemerintah daerah setempat berencana membangun sebuah museum sekaligus
monumen di sebuah desa bernama Desa Wotangare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, yang
dipercaya dahulu menjadi daerah pusat pemerintahan Kerajaan Malowopati.

Pembangunan museum Angling Dharma tersebut juga memantik perdebatan sebab, beberapa daerah
lain juga mengaku bahwa daerahnya menjadi lokasi “sebenarnya” dari Kerajaan Malowopati. Di
antaranya, menurut sebagian teman yang berasal dari daerah itu, masyarakat Pati dan Temanggung juga
mengaku bahwa daerah mereka merupakan daerah asli Angling Dharma. Selain itu, Kabupaten
Sumedang juga merasa memiliki Angling Dharma dan seolah mereka memiliki nilai lebih karena disana
ada sebuah makam yang dipercaya warga merupakan makam Sang Prabu.

Bojonegoro sendiri bukan tanpa alasan menyebut Malawapati berada di wilayah administratifnya. Dua
situs utama diyakini ada hubungannya dengan mitos Angling Dharma yakni Petilasan Angling Dharma di
Wotangare yang akan dibangun musem, serta Kahyangan Api, sumber api abadi yang diyakini
merupakan tempat empu Malowopati menempa keris dan menggembleng pasukan kerajaan. Di kedua
situs ditemukan banyak benda purbakala yang menurut balai sejarah merupakan sisa benda zaman
Majapahit. Malawapati sendiri dipercaya merupakan pecahan dari Kerajaan Majapahit.

Perdebatan letak geografis asal-muasal Malowopati meski sulit, mungkin akan terselesaikan lewat kajian
Sejarah atau Antropologis. Namun, bukan tujuan tersebut yang hendak diusut. Dalam studi poskolonial
ini, penulis mengajak kawan-kawan untuk mengeja Indigenious Local Identity yang melekat di
masyarakat Bojonegoro. Dengan demikian penulis mencoba menyingkirkan dahulu perdebatan tentang
ketepatan lokasi historis (jika memang ada) kisah Angling Dharma berasal.

Pelacakan kebenaran peristiwa (atau mitos) Angling Dharma sendiri sebenarnya layak untuk
didiskusikan. Perkamen sejarah tertulis yang ada tentang Sang Prabu, hanya ada di Serat Angling
Dharma dari Serat Babad Tanah Jawi yang entah versi siapa pun belum jelas (adapun penulis
mendapatkannya dari internet, jadi sementara boleh diasumsikan sebagai Babad Tanah Jawi versi
Google). Kejanggalan yang timbul dibenak penulis adalah kelindan antara kisah Angling Dharma dengan
kisah Mahabarata.

Sebagian masyarakat meyakini bahwa kisah Mahabarata benar-benar terjadi di tanah Jawa. Prabu
Angling Dharma juga dikisahkan merupakan keturunan le tujuh dari si tampan Arjuna. Juga merupakan
cucu dari Jayabaya. Kalau naskah sejarah paling dipercaya tentang Jawa masa lampau (Babad Tanah
Jawi), nama Jayabaya dapat ditemukan dan “ada”, maka yang agak aneh adalah kepercayaan bahwa
Angling Dharma juga merupakan keturunan Arjuna yang hanya ada di dunia pewayangan dapat “lahir”
ke dunia nyata.

Kepercayaan mendalam sekumpulan masyarakat dapat disebut sebagai ekspresi identitas yang melekat
dalam masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat Bojonegoro yang lekat dengan Bojanegara (tempo
Malawapati) inilah yang menjadi pijakan awal penulis untuk mengkaji mitos Angling Dharma di
Bojonegoro. Pada tahap inilah mungkin dilakukan usaha demotologisasi. Demitologisasi di sini penulis
artikan sebagai sebuah upaya untuk melakukan pengejaan kembali sebuah mitos dan menemukan nilai-
nilai historis.

Identitas Angling Dharma dan Malowopati sendiri kini terlanjur menempel erat dengan sejarah
Bojonegoro sendiri. Namun, sekali lagi, perdebatan sejarah hanya akan membuat diskursus ini tumpul
saat teks baik berupa prasasti ataupun perkamen sejarah lain terkait Angling Dharma dapat ditemukan.
Kesepakatan kolektif masyarakat sendiri sampai mengkultuskan Angling Dharma sebagai sosok idaman
orang tua saat “menetek” anak-cucunya. Selain tampan, beliau juga bijak dalam mengambil segala
keputusan. Hal tersebut tergambar jelas di kisah dalam serial televisi Angling Dharma. Dikisahkan juga
bahwa Raja pertama Malowopati tersebut juga dapat mengenal dan menguasai bahasa hewan laiknya
Nabi Sulaiman AS.

Lantaran banyaknya identifikasi yang “diambil” masyarakat dari karakter Angling Dharma dari serial
televisinya, penulis juga sempat curiga bahwa pengetahuan awam tentang Angling Dharma telah
bersetubuh dengan industri perfilman. Bahkan serial film Angling Dharma telah memengaruhi konstruksi
dan proyeksi masyarakat Bojonegoro atas identitas Prabu Angling Dharma jauh-jauh hari sebelum
museum Angling Dharma diresmikan, dibangun, atau bisa jadi saat baru direncanakan.[

------
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, petilasan Angling Dharma terletak di sebuah musala yang
bersebelahan dengan makan di Desa Mergowati. Lokasi desa itu berada di sebuah bukti anak Gunung
Sindoro, Jawa Tengah.

Ada sebuah gapura berwarna hijau-kuning dengan tulisan huruf Jawa berbunyi "Paseban Agung
Malawapati" sebagai penanda pintu masuk. Pada hari-hari tertentu, petilasan itu ramai dikunjungi
peziarah. Menurut warga, mereka yang datang biasanya memiliki keinginan yang berhubungan dengan
kekuasaan.

"Banyak yang sengaja datang untuk kepentingan tertentu, apalagi menjelang pemilu, pilkada, atau
pilkades, mereka yang akan nyalon banyak yang ke sini," kata Ngatino, salah satu pengunjung, Minggu,
26 Juni 2016.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan ritual di petilasan itu mulai dilakukan. Namun, keramaian
peziarah memang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Padahal, di depan petilasan terdapat sebuah
peringatan yang mencegah para pengunjung bertindak musyrik.

"Kepada semua peziarah jangan terpengaruh dengan hiasan yang ada – Di sini tempat untuk mujahadah,
zikir, dan berdoa kepada Allah SWT – Berdoa kepada selain Allah SWT hukumnya musyrik/syirik.

Selain papan berisi maklumat, ada pula penjelasan singkat terkait tempat tersebut. Informasi tertulis
mengungkapkan tempat tersebut bernama Paseban Agung Malowopati yang dibangun oleh Keluarga
Besar Padepokan Panembahan Ki Bodo Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah.

Tempat tersebut dibangun pada Sabtu Kliwon pada 7 Juli 2007. Papan informasi juga mengungkapkan
silsilah Raja Malowopati yang dimulai dari Prabu Kresnadipayana/Kaki Abiyasa sampai yang terakhir
Prabu Darmakusuma atau Prabu Anglingdarma yang juga dipercaya sebagai Syeh Sulaiman.

Ngatino menuturkan, bangunan megah itu merupakan tanda terima kasih salah seorang peziarah yang
sukses, setelah menyepi dan bersemedi di tempat ini. Ia sendiri mendatangi tempat itu mengaku agar
diberi kelapangan menjalani hidup.

"Hanya ingin semua dilancarkan saja. Rezeki dan juga semua tentang hidup," kata Ngatino.

-------

Salakanagara telah meruntuhkan mitos

yang selama ini dianut dalam penulisan sejarah bangsa ini

jika kerajaan pertama di Nusantara adalah


Kerajaan Hindu di Jawa Barat bernama Tarumanegara.

Dengan kata lain, kerajaan pertama di Indonesia adalah

Kerajaan 'Islam' Salakanagara,

BUKAN Kerajaan 'Hindu' Tarumanegara.

*****

Di awal 1970-an, komunitas sejarawan Indonesia membahas penemuan Kitab Wangsakerta. Kitab ini
merujuk pada sekumpulan naskah yang disusun berdasarkan satu pertemuan para sejarawan di abad 17
M, yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta dari Cirebon, putera dari Panembahan Girilaya. Sejumlah
sejarawan menegaskan jika kitab iitu palsu, sedangkan yang lain menerima kitab tersebut. Sejarawan
Sunda, Dr. Ayat Rohaedi termasuk yang menerima kitab tersebut.

Satu hal yang dianggap paling penting dimuat dalam kitab tersebut adalah informasi tentang Kerajaan
Salakanagara yang telah berdiri di awal abad pertama Masehi hingga sekitar tahun 300 M, di tatar Sunda
Utara, sekitar Pandeglang hingga Bekasi. Situs Salakanagara tersebar di Cihunjuran, Citaman, Pulosari,
Ujung Kulon, dan juga Batu Jaya serta Babelan. Dua nama yang terakhir ini ada di Bekasi. Nyaris
semuanya terdiri dari batu-batu zaman Megalitikum, termasuk kolam purba di Cihunjuran.

Pendiri Salakanagara dikenal dengan sebutan Aki Tirem Luhur Mulia, yang oleh masyarakat setempat
disebut-sebut sebagai Angling Dharma. Entah, apakah Angling Dharma di Banten ini sama dengan yang
di Jawa Timur atau tidak. Wallahu’alam. Raja pertama Salakanagara adalah Dewanagara.

Sejarawan Drs. H. Ridwan Saidi dalam sebuah makalah berjudul “Tinjauan Kritis Penyebaran Islam di
Jakarta: Kepercayaan Penduduk Krajan Merin Salakanagara Awal abad Masehi di Bekasi” mengkaitkan
Kitab Wangsakerta dengan buku Geographia (161 M) karya Claudius Ptolomeus yang menyebut
nama Agryppa yang berarti perak. Ptolomeus merupakan orang Yunani yang menjabat Gubernur di
Iskandariyah Mesir dan dikenal sebagai penulis Barat pertama yang menyinggung tentang Nusantara.
Kerajaan Agryppa menurut Ptolomeus berada di bawah mata angin atau di bawah garis Khatulistiwa.

Menurut Ridwan, Agryppa dan Salaka (bahasa Kawi) memiliki arti yang sama yakni Perak. Sebab itu
Ridwan yakin jika Agryppa yang dimaksud Ptolomeus merupakan Salakanagara. Ptolomeus juga menulis
tentang Barus dan beberapa tempat di Nusantara. Beda dengan sejarawan lain, Ridwan meyakini jika
Dewanegara bukan orang India, walau saat itu sudah ada pedagang dari India dan Maghribi (Arab) di
sana, sebab itu masyarakat setempat sudah mengenal istilah Arab seperti: alim, adat, kramat, kubur,
dan sebagainya, jauh sebelum Islam datang. Saat berkunjung ke situs Salakanagara di Babelan dan Batu
Jaya, Ridwan tidak menemukan ragam hias atau ornamen atau pahatan bercorak India di situs-situs
bebatuan yang ada. “Saya amat terkejut, ragam hias Batu Jaya lebih mirip ornamen Timur Tengah,” tulis
Ridwan.

Temuan ini, jika dikaitkan dengan penelitian Arkeolog Inggris Robert Dick-Read yang didukung arkeolog
senior dunia seperti Profesor Emeritus Sejarah Afrika sekaligus pendiri The Journal of African Studies, Dr.
Roland Oliver, kian meyakinkan pandangan jika di masa purba (sebelum dan awal Masehi) para pelaut
Nusantara sudah menjalin hubungan erat dengan orang-orang India dan Maghribi, bahkan hingga ke
Afrika. Hal ini memperkuat Teori Mekkah, yang menyatakan Islam telah masuk di Nusantara langsung
dari Arab dan di saat Rasulullah SAW masih hidup, karena antara Nusantara dengan Jazirah Arab sejak
berabad sebelumnya telah terjalin suatu hubungan yang intens dan kuat.

Ridwan Saidi bahkan menyatakan jika budaya Arab, termasuk sejumlah kosakatanya, telah terlebih
dahulu masuk di Nusantara sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Budha. Salakanagara telah
meruntuhkan mitos yang selama ini dianut dalam penulisan sejarah bangsa ini jika kerajaan pertama di
Nusantara adalah Kerajaan Hindu di Jawa Barat bernama Tarumanegara. Dengan kata lain, kerajaan
pertama di Indonesia adalah Kerajaan 'Islam' Salakanagara, BUKAN Kerajaan 'Hindu'
Tarumanegara. Subhanallah...

“Pihak pemerintah, arkeolog, dan sejarawan tampaknya tidak menunjukkan minat yang berarti dengan
temuan di Batu Jaya sejak awalnya. Karena tampaknya mereka terperangkap mitos jika kerajaan
pertama di Jawa adalah Tarumanegara. …jika mereka mendalami temuan di Batu Jaya, niscaya itu
akan meruntuhkan tesis mereka selama ini tentang banyak hal. Termasuk tentang asal muasal orang
Betawi. Penduduk Salakanagara bukan penganut Hindu atau Budha, kedua agama itu belum tiba di Jawa
ketika masa kekuasaan Salakanagara. Penduduk Salakanagara menganut kepercayaan menghormati
arwah leluhur. …sisa-sisa keyakinan yang mempercayai pengaruh arwah leluhur kini masih dapat
dijumpai di komunitas Betawi di Kranggan (Pondok Gede), Bekasi”, papar Ridwan.

Kerajaan Salakanagara berakhir pada pemerintahan Dewanagara IX. Bisa jadi diakibatkan oleh konflik
dengan Tarumanagara yang berada di selatannya pada sekitar abad ke 5 M.

*****
Tanda Tanya besar yang kemudian muncul adalah kenapa pihak Pemerintah, arkeolog, dan sejarawan
tidak minat dengan temuan di Batu Jaya, Bekasi? Apakah hanya karena terperangkap mitos yang sudah
berurat akar?

-----

AKI TIREM: Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Tertua di Jawa (oleh: M. Yusuf)

Posted by redaksi on 30/05/2011 in Legenda, Lepas | 6 Comments

end .entry-meta

Situs Kerajaan Salakanagara

Siapakah sesungguhnya tokoh nenek moyang bernama Aki Tirem ini? Pertanyaan ini menarik sekali
diajukan karena memang masih terdapat kesimpangsiuran prihal eksistensi tokoh legendaris ini.
Menurut cerita rakyat Pandeglang, namanya juga dikenal sebagai Aki Luhurmulya. Bahkan, dia disebut
juga sebagai Angling Dharma menurut Hindu, dan Wali Jangkung menurut Islam.

Namun demikian ada juga cerira di kalangan masyarakat yang menyebut nama Prabu Angling Dharma
atau Wali Jangkung sebagai nama lain dari Dewawarman. Bahkan tokoh bernama Angling Dharma ini
juga diakui berada di wilayah lain, bukan di Salakanagara.

Di zamannya Aki Tirem hanya berpredikat setingkat penghulu, bukan berpangkat raja. Tatkala sakit,
sebelum meninggal dia menyerahkan kekuasaannya kepada menantunya yang bernama Dewawarman,
yang jauh hari sebelumnya telah menikah dengan Nyi Pahoci Larasti, putrid Aki Tirem.

Atas pengangkatan ini semua penduduk menerimanya dengan senang hati. Demikian pula dengan para
pengikut Dewawarman karena mereka telah menjadi penduduk di situ, lagi pula banyak di antara
mereka yang telah mempunyai anak.

Lalu, siapakah Dewawarman ini? Konon, dia adalah seorang yang menjadi duta keliling negaranya yang
terletak di India Selatan, untuk negara-negara lain yang bersahabat seperti: kerajaan-kerajaan di Ujung
Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, Cina dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempcrerat
persahabatan dan berniaga hasil bumi serta barang-barang lainnya.

Dewawarman dan rombongan berlabuh di pantai desa Aki Tirem pada awalnya dengan niat untuk
mengisi perbekalan, terutama air. Namun ketika itu desa tersebut tengah dilanda keresahan karena aksi
para perompak. Karena itulah pada mulanya Aki Tirem dan pasukannya berniat akan memerangi
Dewawarman. Namun karena niat baiknya, Aki Tirem pada akhirnya menerima kehadiran rombongan
pengembara dari India Selatan ini, bahkan penghulu desa di pantai barat Banten tersebut menjodohkan
puterinya dengan Dewawarman.

Setelah tinggal menetap di desa Aki Tirem, Dewawarman beserta pengikutnya selalu berkeliling
melindungi penduduk karena kampung-kampung di sepanjang pesisir itu memang sering didatangi bajak
laut dan pcrompak. Sampai suatu ketika, perahu perompak datang di tempat itu dan berlabuh di tepi
pantai. Para perompak itu sama sekali tidak melihat bahwa dirinya telah dikepung oleh pasukan
Dewawarman yang bersembunyi dan berpencar dengan siaga penuh. Dewawarman beserta pasukannya
dan pasukan Aki Tirem segera membuka serangan tanpa memberikan kesempatan kepada para
perompak itu untuk mempersiapkan diri. Pcrtempuran pun terjadi.

Diceritakan, gerombolan perompak itu dapat dikalahkan. Dewawarman dan pasukannya unggul dalam
pertempuran. Perompak yang mati ada 37 orang dan sisanya yang tertawan ada 22 orang. Anggota
pasukan Dewawarman yang tewas ada dua orang, sedangkan anggota pasukan Aki Tirem tewas 5 orang.
Semua perompak yang ditawan akhirnya mati digantung. Aki Tirem memperoleh perahu rampasan
lengkap dengan barang-barang, senjata dan pcrsediaan makanan para perompak.

Kisahkan pula, setelah Aki Tirem wafat, sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ
dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara. Sedang isterinya, Nyi Pohaci
Larasati menjadi permaisuri dengan gelar Dewi Dwani Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara.

Menurut Naskah Wangsakerta Aki Tirem adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga putera Nyai Sariti
Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul dari
Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Banten, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki
Pawang Sawer Putera Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam di
Swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau Hujung Mendini,
Datuk Waling putera Datuk Banda ia berdiam di dukuh tepi sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang
berasal dari Langkasungka. Sedangkan Nenek moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.

Jika dipelajari lebih jauh lagi, naskah Wangsakerta yang ditulis pada tahun 1677 M menceritakan, bahwa
pendatang dari Yawana dan Syangka yang termasuk ke dalam kelompok manusia purba tengahan
(Janma Purwwamadhya) tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum Saka. Kaum pendatang yang tiba di Pulau
Jawa kira-kira antara 300 sampai dengan 100 tahun sebelum Saka. Mereka telah memiliki ilmu yang
tinggi (Widyanipuna) dan telah melakukan perdagangan serbaneka barang. Para pendatang ini
menyebar ke pulau-pulau Nusantara.

Wangaskerta menjelaskan pula: Oleh para mahakawi yang terlibat dalam penyusunan naskah
Wangsakerta disebut jaman besi (wesiyuga), karena mereka dianggap telah mampu membuat berbagai
macam barang dan senjata dari besi, yang lebih penting, mereka telah mengenal penggunaan emas dan
perak.

Sebenarnya bukan hanya berdagang, tetapi merekapun merasuk ke desa-desa, seolah-olah semuanya
milik mereka. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghadangnya segera dikalahkan. Merekapun
harus menjadi orang bawahan yang harus tunduk pada keinginan mereka.
Antara tahun 100 sebelum Saka sampai awal tahun Saka masih banyak kaum pendatang yang tiba di
Nusantara dari negeri-negeri sebelah timur dan selatan India, yang juga telah memiliki pengetahuan
yang tinggi.

Dari kisah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa pengambilan nama Salakanagara, atau Kotaperak, atau
Argyre memang wajar dan sangat terkait dengan zaman tersebut, yang dikisahkan oleh para Mahakawi
sebagai zaman besi (wesiyuga), zaman manusia di Nusantara telah mengenal penggunaan besi dan
perak sebagai perkakas.

Sedangkan kaum pendatang, seperti Dewawarman dari India datang ketempat tersebut dimungkinkan
untuk berdagang dan mencari perak. Mungkin ini juga yang menjadi minat mereka singgah di
perkampungan pesisir Aki Tirem.

Ada juga yang mengisahkan bahwa Akti Tirem ketika digantikan Dewawarman belum wafat, namun dia
sengaja mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian
dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara.

Penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula
penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.

Klan Dewawarman menjadi raja Salakanagara secara turun menurun. Dewawarman I berkuasa selama
38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. Selama masa pemerintahan dia pun
mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja
daerah Mandala, Ujung Kulon. Sedangkan adiknya yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja
daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait
dengan nama daerah berada di daerah Cianjur Selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan
Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah tertinggal.

Dalam catatan sejarah, raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada
Dewawarman IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan dari
Rajatapura dialihkan ke Tarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya menjadi kerajaan
bawahan Tarumanagara.

Selama kejayaan Salakanagara gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak. Hingga
pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan membuka hubungan
diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara dapat hidup damai dan sentausa.

Selain adanya perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir, dolmen dan batu magnet
yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan bahwa penanggalan sunda atau
Kala Sunda dinyatakan ada sejak zaman Aki Tirem. Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka
Sunda. Perhitungan Kala Saka mendasarkan pada Matahari 365 hari dan Bulan 354 hari. Masing-masing
tahun mengenal taun pendek dan panjang.

-----
Bojonegoro, Jawa Timur

Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu, yang berjarak sekitar 21 km arah barat dari Kota Bojonegoro
Jawa Timur dipercaya sebagai bekas kerajaan Malowopati, dimana Prabu Anglingdharma sebagai
rajanya. Awalnya petilasan ini hanya berupa tumpukan batu bata di bawah sebuah tonggak batu.
Namun kini, selama tiga periode Buopati yang berkuasa, lokasi tersebut telah direnovasi dengan model
bangunan yang dibuat mendekati gambaran kerajaan Malowopati.

Bojonegoro, Jawa Timur


Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu, yang berjarak sekitar 21 km arah barat dari Kota Bojonegoro
Jawa Timur dipercaya sebagai bekas kerajaan Malowopati, dimana Prabu Anglingdharma sebagai
rajanya. Awalnya petilasan ini hanya berupa tumpukan batu bata di bawah sebuah tonggak batu.
Namun kini, selama tiga periode Buopati yang berkuasa, lokasi tersebut telah direnovasi dengan model
bangunan yang dibuat mendekati gambaran kerajaan Malowopati.

Di lokasi yang berada di tengah perkebunan tebu dan areal pertanian tersebut, saat ditemukan
reruntuhan tersebut, jenis tanahnya seperti bekas pemukiman. Petilasan Angling Dharma menurut
masyarakat sekitar tempat ini merupakan gapura, konon tempaty tersebut adalah sebuah keputren,
yakni kolam pemandian, tempat Setyowati bertemu Prabu Angling Dharma yang menjelma menjadi
burung Mliwis Putih.

Berjalan ke arah timur dari lokasi asal, terdapt sebuah dataran yang lebih tinggi dari sekitarnya,
dipercaya sebagai pendopo pemukiman yang menghadap ke utara. Dalam pagar bangunan itu, terdapat
sebuah makam yang hingga kini sering didatangi oleh para peziarah yang meyakini kebenaran cerita
Angling Dharma dan lokasi tersebut sebagai sebuah situsnya.

“Dulu pernah digali lalu ditemukan struktur pondasi, setelah itu tak dilanjutkan karena yang ditemukan
adalah pondasi”
Juru Kunci

Dirinya yang mengaku mempunya lembaran berisi cerita turun temurun yang ditulis menggunakan
tangan tersebut, mengatakan bahwa ada bagian dari cerita yang menyebutkan pernah terjadi sebuah
gempa besar di lokasi tersebut. Maka, masih menurutnya, tak heran bila setiap dilakukan penggalian
selalu ditemukan pecahan genting dan struktur pondasi.

“Gempa besar itu membalik permukaan bumi, sehingga saat digali hanya podasi yang ditemukan”
Juru Kunci

Yang terbaru, dua buah sumur kuno ditemukan secara tak sengaja di sekitar lokasi situs yang disebut
Mlawatan tersebut. Yakni saat pembuatan embung di sekitar Situs Wotanngare, Kecamatan Kalitidu,
Bojonegoro, Jawa Timur yang berdasar pengamatan beberapa ahli, sumur kuno itu merupakan
peninggalan zaman Majapahit akhir. Di sekitar sumur yang berdiameter 1 meter itu dikelilingi oleh batu
bata merah yang digunakan untuk dinding sumur berbentuk agak melingkar dengan ukuran 20-15 X 17 X
7 cm.

“Ciri-ciri fisik batu batanya mirip dengan batu bata yang digunakan pada masa Majapahit akhir, yakni
lebih halus dan ada hiasannya”
Hary Nugroho (Pengelola Museum 13 Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro)

Sebelumnya di sekitar situs Wotanngare ditemukan benda-benda peninggalan arkeologi dalam ekskavasi
atau penggalian terhadap situs Wotanngare. Salah satunya peninggalan Artefak, fragmen grabah,
pecahan kramik asing, bata dan mata uang yang ditemukan dengan kedalaman sekitar 60-80 cm dari
permukaan tanah.

Ada empat petak yang digali dengan menggunakan survei arkeologi di permukaan tanah horisontal dan
vertikal, diyakini masih banyak peninggalan kuno di daerah sekitar situs. (red/esp)

------

Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, Tuban, Nganjuk, Jatim; dan Kecamatan Cepu,
Blora, Jawa Tengah (Jateng). Bojonegoro juga dilalui Sungai Bengawan Solo. Namun, hingga usianya ke-
337 tahun, Bojonegoro bisa dibilang belum memiliki identitas yang jelas. Angling Dharma dulu pernah
digadang-gadang menjadi ikon Bojonegoro. Hingga gapura perbatasan wilayah Bojonegoro dulu
bertuliskan “Selamat Datang di Bumi Angling Dharma”.

-------

Semula tak banyak yang tahu bahwa di Desa Sroyo,Kelurahan Bojonegoro,Kecamatan Kedu
Temanggung. setiap satu tahun sekali ada upacara Sesaji Petilasan. Upacara adat yang jatuh pada
tanggal 12 suro (menurut penanggalan Jawa) ini awalnya hanyalah sekedar upacara nyekar atau nyadran
tahunan penduduk setempat di salah satu makam yang di yakini sebagai makam raja Angling Dharma.
Sedangkan Angling Dharma sendiri adalah Seorang Raja besar yang pernah memimpin kerajaan
Malawapati.

Sebelumnya upacara Sesaji Petilasan ini dilakukan oleh penduduk dengan cara sederhana saja,yaitu
dengan cara membersihkan makam lalu berdoa bersama. Namun sejak tahun 2007 acara Sesaji
Petilasan ini di warnai dengan acara kirab hasil bumi penduduk setempat.
Tanggal 12 Suro (26 November 2012-almanak Masehi) tahun ini, kirab dengan nama Grebeg Suro
Malwapati pun di gelar, dan acara di pusatkan di depan Makam Paseban Agung Malawapati. Gunungan
hasil bumi milik penduduk di kirab dari halaman balai desa berkeliling desa dan berakhir di depan
makam. Turut juga di kirab yaitu peralatan gamelan yaitu gong pusaka yang sudah berusia lanjut.

Acar Grebeg di mulai pada jam 11:00 WIB dengan doa bersama di mushola yang bersebelahan dengan
Makam Paseban Agung Malawapati tempat Raja Angling Dharma di makamkan.

Rangkaian acara Grebeg Suro Malawapati akhirnya di tutup dengan pagelaran wayang kulit yang kali ini
mengambil cerita Semar Mbangun Kahyangan oleh dalang Legowo dari grup Wayang Kulit Kedu.
Pagelaran ini berlangsung semalam suntuk.

Kini warga Desa Bojonegoro-Kedu boleh berlega hati karena mereka meyakini dengan menggelar acara
Grebeg Suro sebagai persembahan kepada Raja Angling Dharma ini berkah dari Yang Maha Kuasa akan
senantiasa mengalir pada mereka. Seperti tahun-tahun sebelumnya.

--------

Situs Cihunjuran – Kerajaan Salakanagara

Situs ini berkarakter sama dengan situs batu Goong Citaman. Terletak ditepi Gunung Pulosari Kecamatan
Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Disitus ini terdapat kelompok menhir, batu lumping, batu
berlubang dan batu monoloit, maka dari itu adanya peninggalan tersebut menandakan tempat itu dulu
pernah digunakan sebagai tempat pemujaan. Selain itu situs Cihunjuran diduga kuat sebagai tempat
persinggahan atau peristirhatan Angling Dharma yang kemudian membangun Kerajaan Salakanagara.

Disekitar Cihunjuran ini pula terdapat peninggalan – peninggalan batu seperti Dolmen, dimana menurut
cerita rakyat yang beredar, batu ini dulu digunakan sebagai alat untuk membuat ramuan-ramuan (jamu
/ masakan). Terdapat kumpulan – kumpulan batu yang bisa dijadikan bukti bahwa dulu disini terdapat
kehidupan pada masa prasejarah. Selain itu juga terdapat makam Angling Darma yang mempunyai gelar
“Aki Jangkung”. Konon Aki Jangkung ini atau yang mempunyai nama ”Kyai Prabu Raja Angling Darma
Kusuma” membuat kerajaan di tepi Gunung Pulosari ini Sebagai tempat peristirahatannya.

Dan kolam pemandian cihunjuran ini merupakan tempat penyempurnaan dari segala ritual yang
dilakukan oleh Angling Darma dan pernah juga dipakai oleh Sultan Hasanudin. Berdasarkan
nasakah Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara” (disusun oleh sebuah panitia diketuai Pangeran Wangsa
Kerta)

Kerajaan Salakanagara merupakan kerajaan pertama di bumi nusantara ini. Tokoh awalnya adalah Aki
Tirem. Raja pertamanya adalah Dewawarman seorang Duta dari India yang diutus di pulau jawa.
Kemudian di menikah dengan Larasati Pohaci (putri Aki Tirem), yang kemudian Dewawarman
dinobatkan dengan nama “Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara” .

Rajatapura adalah ibukota salakanagara sejak tahun 363 menjadi pusat pemerintahan raja – raja
Dewawarman I – Dewawarman VIII. Sedangkan Jayasingawarman, seorang pendiri Tarumanegara adalah
menantu Raja Dewawarman VIII.

-------

Angling Dharma merupakan sebuah sinetron kolosal produksi Genta Buana Pitaloka yang ditayangkan
di Indosiar tiap hari Rabu pada tahun 2001 dan berakhir pada tahun 2005. Pemain utama di sinetron ini
ialah Anto Wijaya (Saptapara Ichtijanto) ,Candy Satrio,Rahma Azhari,Roy Jordy,Choky Adriano,Yuni
Sulistyawati dan masih banyak lagi.Sinetron ini juga pernah meraih penghargaan sebagai sinetron laga
terpuji di Festival Film Bandungtahun 2004.

Penulis, sutradara: Imam Tantowi

Siaran sejak

Rabu,7 Februari2001 – Rabu,30 November 2005

Jumlah episode 288

-----

Prabu Anglingdarma (Balada Cinta Anglingdarma)

1990 :: Legend :: 94 menit

ProduserBambang Widitomo

SutradaraTorro Margens

PenulisImam Tantowi, Bambang Adi Pitoyo

PemeranBaron Hermanto, Atin Martino

Warna Warna
Bahasa utama Indonesia

Untuk peredaran Jawa Tengah dan Jawa Timur, dialog film ini menggunakan bahasa Jawa.

Pemeran

 Fitria Anwar
 Wisnu Wardhana
 Sunarto Soewandi
 Okky Irwina Savitri
 Baron Hermanto ... Anglingdarma
 Wenny Rosaline
 Rr Dian Sitoresmi
 Basuki
 Sutopo HS
 Atin Martino ... Batik Madrim

Departemen Produksi

 Torro Margens ... Sutradara


 Handi Muljono ... Produser
 Bambang Widitomo ... Produser
 Imam Tantowi ... Penata skrip
 Bambang Adi Pitoyo ... Penata skrip
 Imam Tantowi ... Cerita
 Bambang Adi Pitoyo ... Line Producer

Produksi

 PT Kanta Indah Film ... Produksi


 PT Sanggar Film ... Produksi

------

JUDUL FILM : ANGLING DARMA 2 : PEMBERONTAKAN BATIK MADRIM

SUTRADARA : TORRO MARGENS


PRODUKSI : PT. ELANG PERKASA FILM

CERITA : ARMANTONO

PRODUSER : HASOEK SOEBROTO

TAHUN PROD : 1992

JENIS : FILM SILAT

PEMAIN : BARRY PRIMA, BARON HERMANTO, GITTY SRINITA, WINKY HARUN,

-----

JUDUL FILM : ANGLING DARMA 3 : PEMBURU DARI NERAKA

SUTRADARA : SA KARIM

PRODUSER : KAONAWAN SUMIRAH

CERITA : BAMBANG ADI PITOYO

PRODUKSI : PT. ELANG PERKASA FILM

TAHUN PROD : 1994

JENIS : FILM SILAT

PEMAIN : BARRY PRIMA, FENDY PRADANA, MURTISARI DEWI, BARON HERMANTO, ERNA SANTOSO, KEN
KEN

-------

DENPASARÂ - Umat Hindu Bali memprotes penayangan kembali Sinetron Angling Dharma, yang
sebelumnya pernah diprotes pada 2002 silam. Sinetron ini pun akhirnya stop tayang.
Protes umat Hindu kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali, ditanggapi oleh stasiun
televisi yang menayangkan sinetron Angling Dharma.

Umat Hindu menyesalkan ditayangkannya kembali sinetron Angling Dharma yang kisahnya dinilai
banyak dibelokkan. Sehingga, setelah KPID Bali melayangkan protes ke Indosiar, akhirnya sinetron
tersebut dihentikan.

Beberapa kalangan umat Hindu di Bali, kaget begitu melihat sinetron tersebut tayang ulang, tanpa
merevisi bagian-bagian cerita yang sebelumnya dipermasalahkan. Merekapun menyampaikan sikap
protesnya itu ke KPID Bali.

"Banyak komponen umat Hindu yang datang mulai LSM, PHDI Bali, tokoh masyarakat hingga Mahasiswa
Hindu, mereka meminta agar tayangan Sinetron Angling Dharma dihentikan lantaran sudah keluar dari
cerita Prabu Angling Darma," kata Ketua KPID Bali Komang Suarsana dihubungi wartawan di Denpasar,
Minggu (27/03/2011).

Mendapat aduan itu, pihaknya langsung melakukan pengecekan dan benar menemukan sinetron yang
sempat diprotes tahun 2002 lalu itu, kembali diputar oleh Indosiar, sekira pukul 24.00 WITA. Yang
dipersoalkan adalah tayangan tersebut kembali tayang, tanpa merevisi cerita-cerita yang sebelumnya
memicu protes besar-besaran, karena dinilai melecehkan simbol Hindu.

"Kami layangkan surat protes ke pihak Indosiar yang menayangkan sinetron tersebut, juga mengadukan
ke KPI Pusat dan Menkoinfo.Â

“13 Maret lalu, KPI pusat memanggil Indosiar dan mengundang KPID Bali," katanya sembari
menambahkan pertemuan juga dihadir Forum Mahasiswa Hindu. (nov)

DENPASARÂ - Kisah Angling Dharma yang ada dalam sinetron Indosiar, didesak oleh umat Hindu untuk
direvisi ulang.
Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali, Suarsana, bahwa kisah
Angling Dharma yang ada di sinetron berbeda jauh dengan karya sastranya.

"Padahal, kisah Prabu Angling Dharma sesuai sastra, belum ada masuknya agama lain," paparnya kepada
wartawan di Bali, Minggu (27/3/2011).

------/

DENPASARÂ - Kisah Angling Dharma yang ada dalam sinetron Indosiar, didesak oleh umat Hindu untuk
direvisi ulang.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali, Suarsana, bahwa kisah
Angling Dharma yang ada di sinetron berbeda jauh dengan karya sastranya.

"Padahal, kisah Prabu Angling Dharma sesuai sastra, belum ada masuknya agama lain," paparnya kepada
wartawan di Bali, Minggu (27/3/2011).

-------/

Prahara Angling Dharma

Ni Luh Dian Purwati

Mon, 1 April 2002

SEBUAH jip memasuki halaman Sekolah Tinggi Agama Hindu, Denpasar, Bali. Dari mobil itu keluar
seorang laki-laki bertubuh tambun dan berkacamata.

SEBUAH jip memasuki halaman Sekolah Tinggi Agama Hindu, Denpasar, Bali. Dari mobil itu keluar
seorang laki-laki bertubuh tambun dan berkacamata. Namanya, Budhi Sutrisno, direktur PT Gentabana
Pitaloka, sebuah rumah produksi film di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Ia ditemani seorang petugas
stasiun relai televisi Indosiar di Bali. Mereka mulai memasang peralatan untuk pemutaran dua episode
sinetron Angling Dharma.

Budhi Sutrisno sebetulnya tak perlu datang ke Denpasar bila keadaan tak sangat mendesak pada Sabtu 9
Februari lalu. Sinetron Angling Dharma yang diproduksinya, dan disiarkan Indosiar, diprotes orang Bali.
Film itu dianggap menyinggung perasaan umat Hindu.

Bagian yang menyinggung itu adalah sekuen tentang wabah yang menyerang kerajaan Malwapati,
sebuah kerajaan kuno dalam serial tersebut. Alkisah, Suliwa, tangan kanan Prabu Angling Dharma
bersemedi. Hasilnya? Ia mendengar suara gaib yang bilang wabah penyakit itu bisa hilang dengan
kedatangan dua orang dari negeri asing yang membawa ajaran agama baru. Agama baru inilah yang
nantinya bisa menghilangkan segala macam wabah, penyakit, dedemit, dan sejenisnya.

Adegan tersebut menimbulkan kesedihan di hati, misalnya Wayan Sudiana, mahasiswa sekolah tinggi
itu. Apalagi, pada lima episode terakhir, Sudiana mendengar ucapan-ucapan yang terkesan
merendahkan ajaran Hindu. Menurut Sudiana film yang bertema keagamaan sebaiknya
direkomendasikan dulu ke lembaga umat sebelum ditayangkan.

Dengar pendapat pun digelar. Ia mengundang tokoh-tokoh Hindu Bali untuk berembuk. Hasilnya,
terbitlah surat pernyataan yang ditujukan ke Indosiar. Surat tertanggal 25 Januari itu menegur Indosiar
dan minta penghentian penayangan sinetron ini paling lambat 30 Januari. Mereka juga mengancam
akan menduduki stasiun relai bila permintaan tak ditanggapi.

Empat hari kemudian Nurwadi Purwosaputro, direktur Indosiar, minta maaf. Maaf diterima tapi tokoh-
tokoh Bali tetap minta film itu dihentikan. Surat kedua dilayangkan ke Indosiar.

Namun, Wawi Adini, seorang mahasiswa Universitas Udayana, menganggap hal itu tak perlu
dipermasalahkan. "Itu kan fiksi," ujarnya dalam sebuah diskusi.

Afrizal Malna, seorang sastrawan yang pernah mengarang buku Arsitektur Hujan, mengatakan bahwa
hampir tak ada batas antara fiksi dan nonfiksi bila ia sudah memasuki wilayah publik. Karena yang
bermain di sana adalah rasa. Misalnya, film tentang hantu akan menimbulkan rasa ketakutan meski
orang mengetahui hal itu fiktif.
"Saya tidak tahu apakah penulis skenario sudah melakukan riset atau belum, yang jelas bila ia
menggunakan kata-kata tersebut, ini bisa dikatakan propaganda," ujarnya.

Menurut Sudiana, walaupun fiktif tetap jangan sampai menyinggung orang lain.

Kejadian itu merisaukan Imam Tantowi, penulis skenario sinetron itu. Ia sempat menjelaskan sama sekali
tak ada niat membuat masalah. Tantowi sudah menulis sekitar 400 skenario dan 300 di antaranya
tentang raja-raja Hindu. Penulisannya kali ini pun sudah berdasarkan riset. Ia juga minta maaf dan
diterima dengan baik pula, lantas mundur dari produksi film itu. Edward Pesta Sirait yang
meneruskannya.

Di luar fiksi atau bukan fiksi, kebenaran sejarah yang terkandung dalam sinetron itu juga masih
dipertanyakan. Ada tidaknya Angling Dharma juga jadi soal. Masyarakat Bali menganggap Angling
Dharma salah satu tokoh cerita panji yang lahir pada zaman Kediri. Angling Dharma kemudian
diceritakan secara turun-temurun.

Di masyarakat sendiri kontroversi itu belum menemukan titik temu. Tapi toh Budhi Sutrisno merasa
perlu datang ke Bali. Ia memutar dua episode terakhir Angling Dharma yang pernah ditayangkan
sebelumnya di hadapan mahasiswa sekolah tinggi agama Hindu. Bedanya, yang diputar di kampus itu
adalah penghilangan dua tokoh Gujarat. Sutrisno mengatakan untuk episode selanjutnya, sudah ada tiga
konsultan yang akan membantunya. Dua orang dari Parisada Hindu Dharma yang akan mengurusi
masalah isi, sedangkan pakaian, arsitektur, dan segala macam penampakan teknis diminta Ida Bagus
Oka, seorang sejarawan dari Universitas Indonesia.

Kesigapan Indosiar menangani kasus itu cukup beralasan. Angling Dharma menduduki peringkat tinggi.
Dengan penundaan tayangan, bukan cuma penggemar yang dirugikan, tapi juga belanja iklan. Jika
masalah itu selesai, maka Rabu berikutnya Angling Dharma bisa beraksi lagi di layar kaca.*

-------
Buku ini merupakan hasil laporan penelitian mengenai naskah Kidung Angling Dharma salah satu karya
sastra Bali berbentuk puisi. Kidung ini dikenal dengan istilah “Sekar Madia”, sebuah nyayian (tembang).
Kidung Angling Darma bercerita tentang seorang raja yang berbudi luhur dan sangat bijaksana sehingga
sangat disenangi oleh rakyat juga dikasihi oleh Tuhan.

-----

Saya ingin memulai dari apa yang terangkum dari benak masyarakat tentang Angling Dhamo tak lebih
dari tayangan sinetron. Pertanyaannya apakah benar, Bojonegoro itu wilayah Malwopati. Saya akhirnya
membedah tema ini dari dua perspektif waktu. Konteksnya adalah pra-98 dan pasca-98. Ada film
Angling Dharma yang ditayangkan secara massif oleh Indonsiar tahun 2002. Tapi sebelumnya orang
Bojonegoro memiliki kedekatan bahwa Angling Dharma ada disana. Orang Bojonegoro menyakini bahwa
mereka adalah keturunan malwopati.

Padahal, benda artefaknya tidak ada, begitu pula dengan makam Angling Dharmo. Bahkan pendopo
Malwopati dibangun dalam konteks sekarang, benda dan artefak dibangun sekarang untuk dijadikan
sejarah. Inilah konteks sebelum 2002 dan usai 2002. Tidak ada pelajaran tentang Angling Dharma.
Mereka mulai mendefinisikan bahwa Angling Dharma benar-benar dari Bojonegoro.

Pasca 2002 saya sebut sebagai era masifikasi. Artinya hari ini hanya orang-orang terbatas saja yang
menyebut naskah sebagai referensi seperti wayang, seni pertunjukan. Hal ini tidak ditunjukkan
berlebihan sebelum film Angling Dharmo di Indosiar. Sebelum itu masyarakat juga tak memiliki modal
apapun. Ditambah pada 2002 ada klub sepak bola Bojonegoro, kemudian melekat identitas tentang
laskar Angling Dharmo. Saya tadi juga sempat membaca makalah Pak Manu, dan saya tertarik bagian
ada garis keturunan yang menghubungkan bahwa Angling Dharmo keturunan langsung dari Nabi Adam.

Masifikasi tersebut dipengaruhi oleh diaspora dari budaya lain, inilah konteks Poskolonial. Disinilah
ketemu jembatan antara Islam yang universal dan Jawa yang sangat lokal. Islam yang berdiaspora sangat
hebat hingga ke Jawa, seperti perihal yang dilakukan Sunan Bonang. Berbicara soal tanda yang saya tulis
sebagai simbol masyarakat Jawa modern ini sangat relevan ketika berbicara masyarakat Bojonegoro
pasca 2002. Disana ada proses masifikasi. Bagi saya apa yang dilakukan suporter sepakbola Bojonegoro
itu sedikit mengada-ada. Angling Dharma itu baru teraktualisasi pasca 2002. Bagi saya Bojonegoro itu
tidak ada identitas pasti. Kira-kira simbol itu diciptakan ketika proses masifikasi melakukan identifikasi
diri.

-----

Kalau saudara mendengarkan ketoprak RRI tahun 80’an tiap malam kamis itu selalu ada cerita tentang
angling dharma dan dibawa oleh animo masyarakat transmigran ke sumatera dan kalimanta. Kaset
komersial yang dijual oleh Raja Record yagn merekam serial Angling Dharmo yang dipentaskan oleh
Ketoprak Sapta Mandala. Keduanya itu lain sama sekali. Saya tanya ke pembuatnya sumbernya dari
mana. Mereka bilang bahwa sumbernya itu dari nenek saya, simbah-simbah saya. Sumber tertulisnya ya
saya itu ga punya. Mereka itu hidup dalam otak saya. Tiap lokasi geografis itu selalu memiliki tempat-
tempat heroik.

Otak manusia itu adalah barang yang berharga. Kemudian juga Angling Dharmo itu hidup. Di Jateng pun
Angling Dharmo itu ada. Hal ini dimiliki pula oleh keraton-keraton. Teks lama itu ada di dalam tradisi
kecil di daerah Majapahit, namanya kidung Aji Dharma. Bagaimana Aji berubah menjadi Angling. Ling
adalah kata sansekerta, Ling itu namanya Perintah. Angling itu raja. Aji itu dalam jawa pertengahan itu
artinya raja. Tradisi tulis itu selalu menggunakan nama sansekerta. Tradisi kecil itu selalu mengadaptasi
kata sansekerta yagn kita sekarang justru malu utnuk mengakui.

Banyak tradisi kecil itu mengadaptasi kata sansekerta. Kata Angling Dharmo itu diadaptasi dari bahasa
sansekerta. Di dalam tradisi tulis yang ada di dalam teks-teks pedalangan itu, tidak semua mengadaptasi
angling dharmo ini. Mereka mengadaptasi dalam teks mereka. Kraton Kartosuro mengadaptasi narasi
angling dharma dalam kronik mereka. Di sini ada dua hal tentang keberadaan Angling Dharmo. Di satu
sisi ia adalah tokoh epos, di sisi lain adalah tokoh historis.

Bahwa dalam setiap epos, hampir epos di Asia tenggara itu mau tidak mau akan berbicara Ramayana
dan Mahabharata. Andaikata tidak substansial, konseptual pasti ada di sana. Di dalam konsep epos
Mahabarata, ada satu hal bahwa tokoh utama tidak boleh mati. Dalam cerita rakyat pernah mendengar
kapan matinya angling dharmo, dalam serat Purwokondo itu tidak ada kisah kematian Angling Dharma.

Lalu bagaimana pujangganya itu mereka-reka kisah hidup Angling Dharma, inilah yang disebutkan adalah
manusia ada empat fase dalam kehidupannya. Bramacari, kehidupan di dunia. Wanaprasta, Menarik diri
dari kehidupan luar untuk melepaskan diri dari hal-hal keduniawian. Inilah yang disebut mukso, mukso
itu artinya lepas dari keduniawian. Maka orang Jawa memiliki istilah. Banyak tokoh di jawa itu, misalnya:
di demak sana ada makam prabu yudistiro apakah itu benar makam. Kalau ke Pamenang tidak pernah
ada makam Joyoboyo. Inilah caranya pujangga serat mengakhiri episod angling dharma, dia sebagai
pahlawan epik ini tidak akan pernah mati. ia akan selalu hidup dalam benak masyarakat hingga sekarang
ini.

Kedua ia sebagai tokoh historis, bagaimana mereka bisa masuk dalam panggung kartosuro? Ia masuk
dalam genealogi, ini memiliki peran yang sangat penting. Apa yang mendasari genealogi ini? Inilah
pemujaan terhadap nenek moyang. Justru ini adalah adalah ilmu yang mutakhir. Penelitian historis ini
adalah asal usul manusia. Di sinilah historisitasnya yakni melalui rangkaian genealogi.

Inilah mengapa angling dharma bisa disambung-sambungkan hingga Adam. Bagaimana adam ini
menjadi genus manusia, orang jawa pun menyakini itu. Ada satu tokoh penting dalam epos Ramayana
yakni Arjuna yang akan diulang lagi dalam epos Angling Dharma. Parinaya, perkawinan. Arjuna itu kan
istrinya banyak sekali. Arjuno itu kluyuran di mana-mana. Tapi apakah yang disebut sebagai Parinaya, itu
adalah perkawinan suci. Kenapa? itu adalah tombak kesatria sedang ditempa utnuk mencari ilmu
pengetahuan. Mengapa harus dengan perkawinan? inilah persoalan mitologi bermain di sini. Dengan
perkawinan ini harus melakukan perang. Pada waktu pertama kali emndapatkan Secowati. Di
Bojonegoro juga harus berpeorang. mengapa angling dharmo melakukan itu?

Jadi, apa yang terjadi kepada arjuna akan berulang dalam kisah angling dharmo ini. Itulah yangmenjadi
tujuan dulu mengapa pujangga memasukkan angling dharmo, ada dua hal epos dan historis.

Ghofur: Di sinilah konteks sejarah, pembahasan ini layak untuk menemukan konteksnya dengan studi
poskolonial. Marxis mendefinisikan kekuasaannya melalui sistem dan struktur. Poskolonial, kekuasaan
melakukan legitimasinya lewat tanda dan penamaan. Apakah saya sebagai orang Bojonegoro bangga
menyebutkan Angling Dharmo asli dari sana? Tapi nenek saya justru bilang tentang Joko Tingkir.
Mengapa Joko Tingkir bukan Angling Dharmo? Karena nenek saya menemukan momennya adalah Joko
tingkir. Memang hanya kekuasaan dalam konteks perebutan tanda ini. Masalahnya muncul mengapa
masyarakat di sana begitu gencarnya menyebut diri mereka sebgai titisan geografis kerajaan
Malowopati.

Saya kira kalau angling dharma itu tumbuh diantara masyarakat, itu tidak kan menjadi permasalahan.
tetapi kalau memang saya lihat selama ini kisah ini ada tangan kelembagaan, ada simbol
kepemerintahana. Saya kira tidak hanya menajdi fenomena poskolonial, mungkin relasi simbol di sini
sudah jauh dari kerajaan mataram berdiri. Dari pengalaman saya, masyarakat jogja sebagian juga berhak
mengklaim bahwa AD rumbuh berkembang di Yogya. Bahwa simbol itu tidak hanya dari sekarang,
simbol kebesaran AD itu dari dulu.

------

Wawacan Angling Darma Wawacan Syekh Baginda Mardan Kitab Pramayoga/jipta Sara Karya Sastra
Sunda Jawa yang agak kontroversial Pada awal dasawarsa 1970 an di daerah Cirebon ditemukan dua
naskah yang berisikan teks Pustaka Nagarakretabhumi dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara
(bagian dari kumpulan naskah yang dikenal juga dengan naskah Wangsakerta) dalam bahasa Jawa Kuna.
Kala itu penemuan ini cukup menggemparkan ada teks Jawa Kuna yang tidak dikenal berasal dari Jawa
Barat. Namun setelah diteliti lebih lanjut hasilnya lebih menggemparkan lagi sebab diduga keras kedua
teks yang memuat 'sejarah' ini merupakan karangan modern. Namun biar bagaimanapun juga kedua
teks ini harus dianggap sebagai contoh ekspresi kesusastraan dalam bahasa Jawa (Kuna) dan berasal dari
paruh kedua abad ke 20. Ditilik dari sudut pandang terakhir ini hal ini sungguh menarik. Karena selain
isinya menarik gaya . .

-------
Berdiri sejak 12 Maret 1949 atas prakarsa R. Temenggung Sukardi yang menjabat sebagai Bupati
Bojonegoro waktu itu. Vakum pada tahun 1960 dan mulai bangkit kembali pada millenium baru tahun
2000, prestasi terbaik tim ini dicapai pada musim 2003/04 setelah sukses tampil sebagai juara Divisi
2 dan promosi ke Divisi 1. Tidak hanya itu, pada musim 2007/08, tim ini tampil sebagai juara Divisi 1 dan
promosi ke Divisi Utama.

Pada musim pertamanya berada di kasta kedua sepakbola nasional ini, tim berjuluk Laskar Angling
Dharma membuat kejutan besar di ajang turnamen Copa Indonesia. Itu setelah mereka menumbangkan
tiga tim dari kasta tertinggi Superliga.

Yakni, Arema Malang, Persik Kediri, dan Pelita Jaya untuk melaju ke babak delapan besar turnamen
bergengsi yang mempertemukan tiga tim dari divisi berbeda. Sekaligus membuat publik sepakbola
nasional tersentak dan mulai memperhitungkan mereka, sehingga dijuluki “the Giant Killer” oleh media.

Persibo berhasil menjuarai Divisi Utama Liga Joss Indonesia 2010 setelah pada pertandingan final
mengalahkan Deltras Sidoarjo, sehingga berhasil lolos ke Liga Super Indonesia tahun 2011
bersama Deltras sebagai runner-up dan Semen Padang FC yang menjadi juara ketiga. Namun sayang
setelah memainkan beberapa laga di ISL, tepatnya pada akhir desember 2010 Persibo memutuskan
untuk menyeberang ke Liga Primer Indonesia yang saat itu merupakan breakaway league sehingga
mendapatkan sanksi yang membuat Persibo dilarang berpartisipasi dalam setiap kegiatan PSSI dan harus
terlempar ke Divisi Satu Liga Indonesia pada musim berikutnya. Namun status keanggotaan Persibo
diputihkan bersama Persemaoleh Komite Eksekutif (Exco) PSSI dalam rapat ketiga Exco pada senin, 15
Agustus 2011 di Kantor PSSI Senayan Jakarta.

Pencabutan sanksi ini memberikan “lampu hijau” untuk Persibo mengikuti asistensi liga profesional PSSI
musim 2011/12 dan bersaing bersama klub Liga Super Indonesia (ISL) dan Divisi Utama untuk menjadi
klub profesional. Dari hasil asistensi tersebut, Persibo terdaftar sebagai salah satu dari 24 klub yang
berhak tampil di level 1 liga pro Indonesia yang belakangan ditetapkan bernama Indonesian Premier
League. Di musim 2011/2012 Persibo berada di Indonesian Premier League bersama 12 tim lain yang
merupakan top flight division di Indonesia.

Julukan

 Laskar Angling Dharma


 Naga Bergola

Naga bergola adalah binatang yang setia dengan majikannya yaitu Angling Dharma, naga bergola
merupakan tunggangan Angling Dharma ketika hendak melakukan perjalanan. Naga Bergola bukan saja
tunggangan setia Angling Dharma tetapi ia juga mempunya kekuatan yang besar untuk
melindungi Angling Dharma.
-------

Entah sejak kapan, yang jelas pendapa Kabupaten Bojonegoro sendiri dinamai sesuai nama kerajaan
yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma, Pendapa Malawapati, ruang batik madrim, Persibo, klub
sepakbola Kabupaten Bojonegoro, juga mendapat julukan Laskar Angling Dharma, sampai tempat
wisata/ tempat berlibur untuk keluarga juga di beri nama meliwis pitih yang semuanya ada
hubungannya dengan cerita angling dharma. Terakhir dan paling hangat, pemerintah daerah setempat
berencana membangun sebuah museum sekaligus monumen di Desa Wotangare, Kecamatan Kalitidu,
Kabupaten Bojonegoro, yang dipercaya dahulu menjadi daerah pusat pemerintahan Kerajaan
Malowopati, yang sekarang ada bekas bagunan kuno yang di yakini sebagai bagunan pada masa itu.

Bojonegoro sendiri bukan tanpa alasan menyebut Malawapati berada di wilayah administratifnya. Dua
situs utama diyakini ada hubungannya dengan mitos Angling Dharma yakni Petilasan Angling Dharma di
Wotangare yang akan dibangun museum. Di situs tersebutditemukan banyak benda purbakala yang
menurut balai sejarah merupakan sisa benda zamansebelum majapahit. Pelacakan kebenaran peristiwa
(atau mitos) Angling Dharma sendiri sebenarnya layak untuk didiskusikan. Orang-orang Bojonegoro
memiliki keyakinan bahwa Angling Dharma ada disana. Orang Bojonegoro menyakini bahwa mereka
adalah keturunan malwopati.

-------

ANGLINGDARMA, dalam karya sastra Jawa Klasik, tersimpan dalam bentuk tembang macapat. Banyak
naskah yang mcngandung teks Anglingdarma dalam berbagai macam ragam dan versi masing-masing.
Umumnya naskah-naskah itu memiliki kerangka cerita seperti yang terdapat pada kidung Ajidarma. Teks
Anglingdarma secara utuh telah ditcrbitkan. Yang pertama adalah terbitan Winter yang dimuat dalam
Ver- handelingen Bataviaasch Genootschap, jilid 75, tahun 1853; yang kedua terbitan Van Dorp,
Semarang, tahun 1884. G.W.J. Drewes telah membuat ringkasan berbagai versi Anglingdarma dengan
menerbitkan teks Ajidarma, karya sastra Jawa Pertengahan berbentuk kidung, dalam The Romance of
King Angling Darrrta, in Javanese Literature, Bibliothcca Indonesica II, terbitan Koninkiijke Instituut voor
Taal-, Landen Vol- kenkunde, Den Haag, Martinus Nijhoff, 1975. Cerita tcrsebut menjadi lakon dalam
pentas teater tradisional wayang madya.

------

Sosok Anglingdharma, raja Malawapati yang sakti mandraguna, hingga kini masih perlu ditelusuri
apakah sekadar legenda ataukah benar-benar ada. Perpaduan cerita rakyat yang berkembang di
masyarakat dan penelitian pakar dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, paling
tidak, bisa dijadikan referensi untuk mengurainya. Rencananya, jejak petilasan Anglingdharma di
Bojonegoro akan dikembangkan menjadi obyek wisata sejarah dan budaya. Kini di lokasi situs Mlawatan,
Desa Wotan Ngare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, sudah dibangun sebuah joglo
berukuran 8 meter persegi dan gapura masuk ke lokasi. Pembangunan joglo dan gapura senilai Rp 200
juta didanai dari APBD Bojonegoro 2009. Pada tahun anggaran 2010 di sekitar joglo akan dibuat pagar
keliling dengan biaya sekitar Rp 300 juta. Petilasan Berdasarkan hasil kajian Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta, hampir dipastikan situs Mlawatan ada kaitannya dengan Kerajaan
Malawapati. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah lokasi situs Mlawatan
merupakan pusat kerajaan Malawapati, benteng pertahanan atau tempat tinggal pembesar kerajaan.
Hasil penelitian sementara, situs Mlawatan merupakan petilasan Kerajaan Malawapati. Kepala Bidang
Pelestarian dan Pengembangan Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro Saptatik
menjelaskan, berdasarkan fakta lapangan, ditemukan sejumlah tempat dan nama di Bojonegoro yang
juga ada dalam referensi naskah kuno Serat Anglingdharma. Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta yang terdiri dari Sukari, Suyami, dan Hery Istiyawan telah meneliti legenda
Kerajaan Malawapati mengambil referensi naskah kuno Serat Anglingdharma. Beberapa kali mereka
turun ke lokasi dan mewawancarai sejumlah tokoh masyarakat yang mengenal perjalanan sejarah situs
Mlawatan. Di lokasi yang dianggap petilasan Anglingdharma, ada nama, istilah, atau sebutan sama
dengan yang ada dalam Serat Anglingdharma. Istilah Dusun Budak, Tanah Tibong (tempat istri
Anglingdharma membakar diri), Kedungandu, dan sebutan Demang Klingsir atau orang yang
pekerjaannya menangkap dan memelihara burung sampai kini masih ada. Laporam tim juga
menyebutkan adanya lemah mbag (tanah gembur memanjang) dan Punden Besalen. Di Punden Besalen
di lokasi situs Mlawatan selama ini menjadi ajang perburuan orang mencari pusaka. Warga setempat
banyak menemukan benda pusaka yang diperkirakan peninggalan masa raja Anglingdharma. Punden
Besalen diyakini warga merupakan tempat pembuatan pusaka di zaman Malawapati. Lemah mbag
dipercaya merupakan tempat pengamanan istana kerajaan. Tim dari Yogyakarta juga mengambil foto
benda pusaka dan batu bata yang diperkirakan peninggalan zaman Kerajaan Malawapati. Samudi (35),
warga Wotan Ngare, menuturkan, di sekitar lokasi lemah mbag, yang berdekatan dengan bangunan
joglo yang kini dibangun banyak warga menemukan kepingan benda seperti guci dan keramik kuno.
Namun, oleh warga dibiarkan saja karena sudah pecah-pecah. Selain itu, ada warga yang sering
menemukan pusaka berupa keris. Warga lainnya, Sampan (70), menuturkan lemah mbag dulu bila
diinjak bergerak karena itu disebut tanah gembur. Dulu bila musim hujan tanah mbag tidak bisa dilewati
atau kaki bisa ambles. "Pokoknya kalau sini diinjak yang sana gerak," katanya menunjuk lokasi lemah
mbag yang membentang sepanjang sekitar 1 kilometer dengan lebar 400 meter.

------

Serat Anglingdarma iku salah sijining sastra kang nyritakaké Prabu Anglingdarma. Crita kawiwitan nalika
Anglingdarma sing dadi raja ing Malawati iki nggarwa Dewi Setyawati, putri Bagawan Maniksutra saka
Gunung Rasamala. Crita kapungkasi nalika Anglingdarma ambegawan.

G.W.J. Drewes naté nlusuri naskah-naskah Serat Anglingdarma lan nemokaké kurang luwih 26 teks Serat
Anglingdarma. Ing Museum Sonobudoyo, Jogjakarta, ana uga Serat Anglingdarma kababar kanthi
gambar kaya déné wayang beber. Saka naskah puluhan mau, Drewes nganggep ana 9 gagrag (vèrsi)
Serat Anglingdarma.

Ing taun 1981, pamaréntah naté mbabar Serat Anglingdarma sing wis dialih basa kanthi adhedhasar
kolèksi ing Kraton Surakarta. Naskah iki padha karo sing kasinaoni déningCarl Frederik Winter, Sr. Gagrag
Winter iki kaduga ditulis beberangan karo Yasadipura II.

INTISARI: Cerita Anglingdarma merupakan salah satu cerita legenda yang terkenal di kalangan
masyarakat Jawa, terutama bagi masyarakat di Desa Wotan Ngare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten
Bojonegoro, Jawa Timur. Masyarakat Kalitidu meyakini keberadaan legenda Anglingdarma yang terdapat
di kawasan tersebut. Legenda di masyarakat Kalitidu direproduksi oleh pemerintah melalui sebuah
penelitian dan diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Penelusuran Jejak Petilasan Anglingdarma di
Bojonegoro. Pada penelitian ini, hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan sebuah karya sastra
karangan seorang pujangga berjudul Sĕrat Anglingdarma Koleksi Sasana Pustaka Keraton Surakarta yang
telah ditransliterasi Penelitian ini membandingkan nama tokoh, alur, dan latar pada kedua versi.
Perbandingan antara kedua versi cerita Anglingdarma dilakukan dengan tujuan agar tokoh, alur, dan
latar yang sama maupun berbeda bisa dimengerti oleh para pembaca. Cerita Anglingdarma tersebut
juga akan dibandingkan secara kilas dengan karya sastra lain seperti Sĕrat Purusangkara, Sĕrat
Pustakaraja, dll. Hal ini dimaksudkan untuk menambah kajian mengenai cerita Anglingdarma dengan
karya sastra selain kedua versi yang dijadikan acuan penelitian. Dapat dikatakan bahwa antara karya
sastra satu dengan yang lainnya juga memiliki perbedaan selain memiliki persamaan. Seperti pada versi
masyarakat Kalitidu yang menceritakan keseluruhan riwayat Anglingdarma yang tidak terdapat pada
versi Sĕrat Anglingdarma. Meskipun demikian kedua versi tersebut hampir memiliki alur cerita yang
sama. Hal tersebut sama halnya jika dibandingkan dengan karya sastra lain yang ternyata juga memiliki
persamaan dan perbedaan.

------

SEJARAH ANGLING DHARMA & MALAWAPATI :

Menginjak tahun 2000-an sebuah stasiun televisi swasta menayangkan serial kolosal berjudul “Angling
Dharma”. Serial mingguan tersebut berkisah tentang dinamika Kerajaan Malawapati yang dipimpin
seorang raja bernama Prabu Angling Dharma. Pusat pemerintahan Malawapati sendiri konon berada di
daerah bernama Bojanegara (sekarang Kabupaten Bojonegoro). Serial legenda tersebut akhirnya
“diberedel” pada 6 Februari 2002 gara-gara isinya menyinggung pemeluk agama Hindu. Mereka menilai
film tersebut melecehkan mereka dan tidak sesuai dengan keyakinan dan ajarannya.

Terlepas dari film serial mingguannya, kisah Angling Dharma sudah menjadi hal yang sangat dekat
dengan warga Bojonegoro. Entah sejak kapan, yang jelas pendapa Kabupaten Bojonegoro sendiri
dinamai sesuai nama kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Angling Dharma, Pendapa Malawapati. Persibo,
klub sepakbola Kabupaten Bojonegoro, juga mendapat julukan Laskar Angling Dharma. Terakhir dan
paling hangat, pemerintah daerah setempat berencana membangun sebuah museum sekaligus
monumen di sebuah desa bernama Desa Wotangare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, yang
dipercaya dahulu menjadi daerah pusat pemerintahan Kerajaan Malowopati.

Pembangunan museum Angling Dharma tersebut juga memantik perdebatan sebab, beberapa daerah
lain juga mengaku bahwa daerahnya menjadi lokasi “sebenarnya” dari Kerajaan Malowopati. Di
antaranya, menurut sebagian teman yang berasal dari daerah itu, masyarakat Pati dan Temanggung juga
mengaku bahwa daerah mereka merupakan daerah asli Angling Dharma. Selain itu, Kabupaten
Sumedang juga merasa memiliki Angling Dharma dan seolah mereka memiliki nilai lebih karena disana
ada sebuah makam yang dipercaya warga merupakan makam Sang Prabu.

Bojonegoro sendiri bukan tanpa alasan menyebut Malawapati berada di wilayah administratifnya. Dua
situs utama diyakini ada hubungannya dengan mitos Angling Dharma yakni Petilasan Angling Dharma di
Wotangare yang akan dibangun musem, serta Kahyangan Api, sumber api abadi yang diyakini
merupakan tempat empu Malowopati menempa keris dan menggembleng pasukan kerajaan. Di kedua
situs ditemukan banyak benda purbakala yang menurut balai sejarah merupakan sisa benda zaman
Majapahit. Malawapati sendiri dipercaya merupakan pecahan dari Kerajaan Majapahit.

Perdebatan letak geografis asal-muasal Malowopati meski sulit, mungkin akan terselesaikan lewat kajian
Sejarah atau Antropologis. Namun, bukan tujuan tersebut yang hendak diusut. Dalam studi poskolonial
ini, penulis mengajak kawan-kawan untuk mengeja Indigenious Local Identity yang melekat di
masyarakat Bojonegoro. Dengan demikian penulis mencoba menyingkirkan dahulu perdebatan tentang
ketepatan lokasi historis (jika memang ada) kisah Angling Dharma berasal.

Pelacakan kebenaran peristiwa (atau mitos) Angling Dharma sendiri sebenarnya layak untuk
didiskusikan. Perkamen sejarah tertulis yang ada tentang Sang Prabu, hanya ada di Serat Angling
Dharma dari Serat Babad Tanah Jawi yang entah versi siapa pun belum jelas (adapun penulis
mendapatkannya dari internet, jadi sementara boleh diasumsikan sebagai Babad Tanah Jawi versi
Google). Kejanggalan yang timbul dibenak penulis adalah kelindan antara kisah Angling Dharma dengan
kisah Mahabarata.

Sebagian masyarakat meyakini bahwa kisah Mahabarata benar-benar terjadi di tanah Jawa. Prabu
Angling Dharma juga dikisahkan merupakan keturunan le tujuh dari si tampan Arjuna. Juga merupakan
cucu dari Jayabaya. Kalau naskah sejarah paling dipercaya tentang Jawa masa lampau (Babad Tanah
Jawi), nama Jayabaya dapat ditemukan dan “ada”, maka yang agak aneh adalah kepercayaan bahwa
Angling Dharma juga merupakan keturunan Arjuna yang hanya ada di dunia pewayangan dapat “lahir”
ke dunia nyata.

Kepercayaan mendalam sekumpulan masyarakat dapat disebut sebagai ekspresi identitas yang melekat
dalam masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat Bojonegoro yang lekat dengan Bojanegara (tempo
Malawapati) inilah yang menjadi pijakan awal penulis untuk mengkaji mitos Angling Dharma di
Bojonegoro. Pada tahap inilah mungkin dilakukan usaha demotologisasi. Demitologisasi di sini penulis
artikan sebagai sebuah upaya untuk melakukan pengejaan kembali sebuah mitos dan menemukan nilai-
nilai historis.

Identitas Angling Dharma dan Malowopati sendiri kini terlanjur menempel erat dengan sejarah
Bojonegoro sendiri. Namun, sekali lagi, perdebatan sejarah hanya akan membuat diskursus ini tumpul
saat teks baik berupa prasasti ataupun perkamen sejarah lain terkait Angling Dharma dapat ditemukan.
Kesepakatan kolektif masyarakat sendiri sampai mengkultuskan Angling Dharma sebagai sosok idaman
orang tua saat “menetek” anak-cucunya. Selain tampan, beliau juga bijak dalam mengambil segala
keputusan. Hal tersebut tergambar jelas di kisah dalam serial televisi Angling Dharma. Dikisahkan juga
bahwa Raja pertama Malowopati tersebut juga dapat mengenal dan menguasai bahasa hewan laiknya
Nabi Sulaiman AS.

Lantaran banyaknya identifikasi yang “diambil” masyarakat dari karakter Angling Dharma dari serial
televisinya, penulis juga sempat curiga bahwa pengetahuan awam tentang Angling Dharma telah
bersetubuh dengan industri perfilman. Bahkan serial film Angling Dharma telah memengaruhi konstruksi
dan proyeksi masyarakat Bojonegoro atas identitas Prabu Angling Dharma jauh-jauh hari sebelum
museum Angling Dharma diresmikan, dibangun, atau bisa jadi saat baru direncanakan.

=====

Cerita Prabu Anglingdarma adalah salah satu cerita rakyat yang sangat populer dalam masyarakat Jawa
di masa lalu. Cerita itu kemudian ditampilkan dalam kesenian ketoprak, sandiwara radio, cerita
bergambar (komik) bahkan juga pernah dibuat menjadi film kolosal. Awal mula kisah Prabu
Anglingdarma juga direkam dalam bentuk tulisan di sebuah naskah Jawa. Salah satu naskah Jawa yang
memuat Serat Anglingdarma, dimiliki oleh Perpustakaan Tembi Rumah Budaya Yogyakarta.

Kondisi buku Serat Anglingdarma milik Perpustakaan Tembi masih bagus. Buku tersebut merupakan alih
aksara dari naskah Jawa yang aslinya bertuliskan aksara dan bahasa Jawa, bersumber dari Perpustakaan
Sasana Pustaka, Keraton Kasunanan Surakarta. Kemudian naskah (manuskrip) Jawa tersebut
dialihaksarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1981. Alih aksara dikerjakan oleh
Sujadi Pratomo.

Buku Serat Anglingdarma yang menjadi koleksi Perpustakaan Tembi terdiri dari 471 halaman. Isinya
berupa cerita Prabu Anglingdarma dalam bahasa Jawa disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian buku ini mudah dibaca oleh setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia. Serat
Anglingdarma dalam buku tersebut terdiri dari 38 pupuh (kumpulan bait), seperti Asmaradana,
Dhandhanggula, Pangkur, hingga Mijil.

Dikisahkan dalam buku itu, antara lain keteladanan Prabu Anglingdarma yang menolong seorang putri
bernama Setyawati dari serangan harimau. Setelah bisa mengalahkan harimau, sang putri diantar pulang
ke rumahnya. Ternyata ia adalah putri seorang pertapa bernama Resi Maniksutra. Prabu Anglingdarma
yang menguasai bahasa binatang itu, akhirnya melamar putri Resi Maniksutra. Namun sebelum berhasil
melamar, dia harus bisa mengalahkan kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim. Namun Batikmadrim
bukan tandingan Prabu Anglingdarma.

Cerita Prabu Anglingdarma sangat panjang dan sangat menarik. Maka untuk bisa membaca lengkap dari
sumber asli, bisa membacanya di Perpustakaan Tembi Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai