DAFTAR ISI
PASANG IKLAN
KUMPULAN CERPEN
KUMPULAN DRAMA
ENGLISH POEM
KUMPULAN PANTUN
KUMPULAN PUISI
CERPEN
PUISI
PANTUN
DRAMA
ENGLISH POEM
CERITA RAKYAT
HOME / PUISI
Iwan Simatupang dan Contoh Puisinya - Siapakah Iwan SImatupang? Pastinya sobat
telah mempelajari atau mengenal nama atau biografinya di sekolah. Sekedar
menyegarkan kembali ingatan sobat, Iwan Simatupang yang dikenal sebagai sastrawan
angkatan 50-60-an, merupakan sastrawan Indonesia yang lahir pada tanggal 18 Januari
1928 di Sibolga (Sumatra Utara). Setelah beranjak dewasa, beliau melanjutkan
pendidikannya di berbagai perguruan tinggi, tapi tidak satu pun yang tamat. Beliau
pernah belajar bidang ilmu kedokteran (Surabaya), belajar antropologi dan filsafat di
Leiden dan Paris.
Hasil dari proses kreatif Iwan Simatupang dalam dunia sastra Indonesia antara
lainMerahnya Merah (1977), Kering (1972), Ziarah (1976), Koong, kisah tentang seekor
perkutut (1975), Tunggu Aku dipojok Jalan Itu, Jang Tak Terpadamkan (Cerpen
1965), Perang di Taman (Drama 1966), Tegak Lurus dengan Langit (Antologi Cerpen 1982)
dan Monolog Simpang Jalan.
Ingin mengingat kembali puisi-puisi pilihan Iwan Simatupang? Berikut kami sajikan 9
puisi pilihan Iwan SImatupang yang bis sobat baca dan pahami kedalaman arti yang
terkandung didalamnya.
Potret
Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru
Penumpang gigimas
Bercanda
Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan
Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut
Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
- yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya
Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu
Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
- menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan
Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak
Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
Darah beku
Melati layu
Tapal sayu
Sunyi sunyi
Pengakuan
Requiem
Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!
Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat
Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik
Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang
Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.
Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi
Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera ...
Shares
5 Contoh Puisi Perpisahan Terbaik
20 Contoh Puisi Acep Zamzam Noor
Google+
Facebook
Twitter
Rss Feed