Anda di halaman 1dari 173

MEULABOH

DALAM LINTAS SEJARAH

ACEH

BAPPEDA ACEH BARAT


2013
Meulaboh Dalam Lintas Sejarah Aceh

Daftar Kepustakaan
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia PNRI

Jumlah : 173 hlm,


Ukuran : 14.8 x 21 cm

Penulis
Teuku Dadek
Hermansyah

Editor
Arif Ramdan

Design
Irfan M Nur

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


All right reserved
Cetakan Pertama, 2013

Hak cetak penerbitan pada penulis

Penerbit
Bappeda Aceh Barat
Meulaboh

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH iii


KATA SAMBUTAN
BUPATI ACEH BARAT

P
uji dan syukur kita panjatkan kehadhirat Allah SWT,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang
tak terhingga kepada kita.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada pangkuan
junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, dan
sahabatnya sekalian.
Pasca gempa-tsunami di Aceh 2004, kita kehilangan banyak
hal, termasuk sejarah dan adat budaya. Dalam ranah khazanah
intelektual dan pengetahuan, hampir semuanya ikut hanyut
dalam gelombang tersebut. Tetapi dalam duka yang panjang
masih tersimpan harapan dan semangat rehabilitasi dan
rekontruksi negeri ini.
Semangat tersebut telah mencetuskan hari lahir Kota
Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat, daerah yang memiliki
historis panjang dan berliku di Aceh. Karenanya, sangat perlu
disatukan kembali penggalan-penggalan sejarah, tokoh, tradisi,
adat budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, menjadi sebuah
literatur yang dapat disaji dalam ranah bacaan publik, sehingga
dapat menjadi referensi semua lapisan pembaca, dari pelajar,
mahasiswa, peneliti, pemerintah hingga masyarakat.
Sebagai buku perdana menelusuri sejarah Meulaboh, maka
buku ini menjadi semangat awal membangun masa depan
Meulaboh yang berbasis ilmu pengetahuan melalui sumber-
sumber (khazanah) lokal tanpa menanggalkan kearifan yang
ada.
Lebih dari itu, buku ini menjadi lebih komprehensif karena
diracik dari berbagai tulisan dan bahasa : Aceh, Belanda, Inggris,

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH v


dan Indonesia, baik dari manuskrip, sarakata, naskah, maupun
penelitian terkini. Jika kita sadari, betapa kayanya warisan
Khazanah Meulaboh dari pendahulu, yang sebagiannya telah
musnah sebelum kita jamah dan telaah.
Akhirnya, sebagai Bupati Aceh Barat, kami merasa bangga
dan senantiasa memberikan dukungan atas usaha penerbitan
ini. Dengan terwujudnya karya ini akan menjadi langkah awal
dan semangat baru bagi generasi Aceh Barat untuk melahirkan
karya-karya lain yang serupa dan dapat berguna bagi masyarakat
sepanjang masa.

Meulaboh, November 2013


Bupati Aceh Barat

HT. Alaidinsyah

vi TEUKU DADEK - HERMASYAH


KATA SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS TEUKU UMAR

S
udah sewajarnya, kita bersyukur kepada Allah SWT atas
kesempatan dan dorongan kepada kedua penulis untuk
menyusun buku ini yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya yang tak terhingga kepada kita.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada pangkuan
junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, dan
sahabatnya sekalian.
Sebuah terobosan yang sangat menarik atas prakasa terbitnya
Buku Meulaboh Dalam Lintas Sejarah Aceh ini, dengan alasan :
pertama, buku ini adalah buku yang kaya akan informasi tentang
Meulaboh khususnya dan Aceh Barat umumnya dengan sumber
yang seimbang dari berbagai literatur baik dari khasanah Aceh/
lokal maupun sumber-sumber barat dalam hal ini terutama
Belanda.
Kedua, buku ini adalah buku pertama yang membedah
Meulaboh dari awalnya sampai sekarang ini, tentunya ini akan
memberikan arah baik dari belakang maupun ke depan sebagai
identitas sejarah dan budaya Meulaboh dan Aceh Barat sehingga
akan memberikan gambaran menyeluruh apa, bagaimana dan
mengapa tentang Meulaboh dan Aceh Barat.
Ketiga, buku ini, adalah sebuah dokumen yang mengungkap
beberapa kejadian di Meulaboh yang banyak orang tidak
terinformasikan, seperti kejadian Teungku di Meukek yang
juga namanya Teungku di Rundeng yang terbunuh oleh senjata
Teuku Keujruen Muda Meulaboh, peristiwa ini mengambarkan
bahwa di Meulaboh pernah terjadi perang saudara yang sangat
besar dengan melibatkan politik adu domba Belanda.
Keempat, buku ini sebuah mozaik sejarah yang meng-

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH vii


informasikan peran Meulaboh dimasa lalu, masa kemerdekaan
dan masa depan. Untuk itu, perlu kiranya Meulaboh kedepan
dipersiapkan dengan sungguh-sungguh meningkatkan peran-
nya kembali terutama sebagai pusat tamaddun di Wilayah
Barat Selatan, salah satunya melalui memusatkan Universitas
Teuku Umar sebagai pusat pendidikan yang representatif untuk
pengembangan SDM kedepan. Semoga, harapan tersebut dapat
terwujud.

Meulaboh, November 2013


Universitas Teuku Umar
Rektor

Alfian Ibrahim

viii TEUKU DADEK - HERMASYAH


KATA PENGANTAR

P
uji syukur kepada Allah SWT. atas segala rahmat-
Nya. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW atas
perjuangannya. Semoga kita selalu dalam hidayah. Amin.
Dalam perjalanan Negeri Meulaboh, kota ini mendapat
perhatian sejak awal keberadaannya. Dan dalam beberapa
momen mendapat perhatian khusus oleh pelayar luar dan dunia
internasional. Periode kesultanan, kolonial, hingga kemerdekaan,
Meulaboh menjadi tanah favorit di bagian pantai barat, setelah
lainnya mulai memudar.
Sepanjang sejarah perjalanan tersebut, terus terang, kita tidak
mendapat gambaran utuh dan belum tersaji dengan lengkap.
Pasca bencana alam gempa-tsunami dan bencana kemanusiaan
telah merenggut lebih awal dari apa yang belum kita rawat dan
jaga, apalagi yang diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Meulaboh memiliki peran penting dalam membangun
karakter bangsa ini yang sepertinya berlalu begitu saja.
Padahal banyak pengetahuan dan kearifan yang wajib kita
pelajari dan diwarisi, kita bukan hanya melawan lupa, tapi
juga memperjuangkan eksistensi warisan para indatu dengan
rekaman yang dapat dibaca dan dihayati di kemudian hari.
Meulaboh yang telah berumur lebih dari empat ratus tahun
patut diteliti eksistensinya. Dalam usianya yang tidak tergolong
muda dan telah baligh, sepatutnya kita telah menemui banyak
sumber literatur, tokoh, kearifan, dan ilmu pengetahuan berbasis
lokal (Meulaboh). Namun, dalam realitanya tidak demikian.
Peristiwa penting, tokoh-tokoh utama, tempat-tempat
bersejarah, warisan khazanah keagamaan dan keilmuan,
tenggalam seiring waktu dan bencana manusia tanpa
meninggalkan tanda-tanda kepada kita.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH ix


Dalam kondisi demikian, buku ini menggali kembali
(rekonstruksi) sejarah eksistensi Meulaboh, yang kami yakin
bukan sebatas Kota Teuku Umar atau epicenter gempa dan
tsunami. Sebab dari awal kami yakin, Meulaboh sejajar dengan
Daya, Barus, atau Trumon dalam lintas sejarahnya. Perihal
tersebut tidak berlebihan jika kolonial Belanda menempatkan
Meulaboh sebagai pusat pengontrolan West Kust van Atjeh.
Tanpa menafikan karya-karya sebelumnya, buku ini menjadi
sumber pertama dalam bentuk kajian ilmiah yang didasarkan
penelitian literatur yang komprehensif disajikan kepada publik.
Lebih dari itu, buku ini mengelaborasi interdisipliner ilmu dan
multi referensi : manuskrip Aceh, naskah-naskah Belanda, dan
dokumen Negara Republik Indonesia periode kemerdekaan.
Namun demikian, buku ini masih jauh dari kata
kesempurnaan. Kami sadar, sumber-sumber referensi dan ilmu
yang terbatas yang harus terus diasah dan dieskplor. Lebih
utama, buku ini menjadi suntikan tersendiri bagi generasi
sekarang untuk mengkaji sumber-sumber lokal yang sangat kaya
dan beragam. Dengan demikian, kita yakin suatu saat nanti akan
mencapai kata lebih baik dari yang ada sekarang.
Akhirnya, kami haturkan terima kasih kepada seluruh
pihak Bapak Bupati dan Wakil Aceh Barat, lembaga/instansi
pemerintahan, lembaga swasta, kelompok dan personal, yang
tidak mungkin disebut satu-persatu, berkat dukungannya dapat
menghadirkan buku sederhana ini, sembari kami mohon maaf
atas segala kekurangan. Semoga Allah selalu memberi hidayah
dan membalas jasa baik kita semua. Amiin. (Penulis)

x TEUKU DADEK - HERMASYAH


DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I Meulaboh Dalam Literatur Klasik ~1


Meulaboh dalam Kacamata Sejarawan ~2
Labo, Analabu, dan Meulaboh ~2
Pelabuhan dan Jalur Internasional ~ 10
Sumber dan Kisah Klasik ~ 16
Pribumi, Teungku dan Datuk ~ 21
Meulaboh Dalam Manuskrip ~ 28
Hikayat Pocut Muhammad ~ 33

BAB II Meulaboh Periode Kolonial


Meulaboh di Mata Belanda ~ 41
Literatur Aceh Periode Kolonial ~ 54
Hikayat versi van Langen ~ 54
Hikayat Teungku di Meukek dan Hikayat Ranto ~ 56
West Kust van Atjeh ~ 60
Pejuang dan Strategi Perang Meulaboh ~ 64

BAB III MeulabohPeriodeKemerdekaan ~ 77


Meulaboh dan Aceh Barat ~ 79
Respon Aceh Barat Terhadap Kemerdekaan ~ 88
Meulaboh Era Baru Post-Disaster ~ 96
Budaya Meulaboh Pasca Bencana Aceh ~ 103

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH xi


Khazanah Aceh Barat ~ 106

BAB IV Kesimpulan ~ 117


Meulaboh ~ 117
Aceh Barat ~ 119

Daftar Pustaka ~ 123


Lampiran-lampiran ~ 131
Undang-undang ~ 139
Biodata Penulis ~ 154

xii TEUKU DADEK - HERMASYAH


BAB I

MEULABOH DALAM
LITERATUR KLASIK

K
epulauan Semenanjung Melayu dan Kepulauan
Nusantara merupakan wilayah yang sangat strategis
sepanjang sejarah, karena terletak antara Lautan Hindia
dan Laut Cina Selatan yang menghubungkan negeri-negeri
sebelah Timur, seperti Cina dan Jepang dengan negeri-negeri
sebelah barat (negeri di atas angin), yaitu anak benua India,
Persia, Jazirah Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Kepulauan Nusantara, khususnya Aceh yang terletak di
ujung Pulau Sumatera, merupakan daerah penghasil rempah-
rempah yang amat diminati oleh pedagang-pedagang dari timur
dan barat. Sebagian besar hasil alam itu menjadi kebutuhan
primer di negeri-negeri seberang laut. Secara khusus, Aceh
dengan sadar memainkan peranan penting dalam bisnis dan
transaksi perdagangan di perairan, maka muncullah pelabuhan-
pelabuhan transito internasional sebagai tempat para pedagang
bertransaksi dan kapalnya singgah dari segenap penjuru dunia,
salah satu destinasinya adalah Meulaboh yang berada di Pantai
Barat Aceh.
Namun, sejauh peradaban itu dibangun, maka informasi
pesisir Pantai Barat Aceh begitu sedikit dan minim jika
dibandingkan kiprah pesisir pantai belahan Timur Aceh, seperti
Peureulak (Perlak), Pase, Pidie (Pidir), Lamuri, dan sebagainya.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 1


Terbatasnya informasi itu kemudian semakin parah setelah
terjadi bencana alam tahun 2004, setelah bertahun-tahun
melewati bencana kemanusiaan.
Meskipun apa yang telah berlalu itu telah lenyap, tetapi
tentu ada yang masih tersisa yang merupakan bagian-bagian
sejarah tertentu dari suatu peristiwa. Kejadian sebagai totalitas
tidak mungkin dapat diamati secara utuh oleh manusia pada
masa kini. Setiap peristiwa (kejadian) masih mungkin dapat
memberikan informasi kepada kita dari berbagai sumber
sekunder dan primer, karena sumber inilah yang dapat memberi
informasi kepada kita tentang peristiwa dan merekonstruksi apa
yang pernah terjadi pada masa lalu.
Ilmu sejarah memberi ruang pendekatan untuk mem-
bongkar sejarah, setidaknya ada empat unsur dari pendekatan
literatur yang banyak digunakan oleh para sejarawan dan
lainnya, yaitu; arkeologi, filologi, folklor, dan tuponim, yang
dimungkinkan dapat membangun sejarah sebagai legenda,
cerita, realita, ataupun kajian keilmuan, sebab seluruhnya dapat
dijadikan landasan bagi kelangsungan legitimasi politik.

Meulaboh dalam Kacamata Sejarawan

Labo, Analabu, dan Meulaboh

Beberapa karya sebelumnya pernah menyinggung asal usul


Meulaboh melalui cerita rakyat (folklore), atau tuponim yang
menunjukkan nama suatu tempat. Namun belum diperoleh sumber
primer yang mampu mengurai lahir dan eksistensi negeri yang
disanjung Meulaboh, Nalaboo, Labo atau Laboh sebagai wilayah
teritorial pada periode Kesultanan dan kolonial Belanda di Aceh.
Oleh karena itu, untuk mengenal wilayah-wilayah di lingkaran
Kerajaan Aceh, maka harus mengenal lebih dalam peranan

2 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Kerajaan Aceh dalam menjalin hubungan dengan wilayah-wilayah
di sekitarnya ke dalam satu wadah Dar as-salam.
Karya Zainuddin merupakan salah satu referensi yang
banyak dirujuk di Aceh, walaupun sumber yang diungkapkan
dari folklor atau tuponim. Menurutnya, asal mula kata Meulaboh
dari ungkapan orang Minangkabau yang sebelumnya dinamai
dari Negeri Pasir Karam. Penggunaan istilah pasir karam
diakibatkan wilayah tersebut pernah dilanda gempa dan tsunami
tempo dulu, sehingga daerah pesisir pantai karam akibat tsunami,
dan terjadi migrasi penduduk dari pesisir pantai tersebut ke
pedalaman, lebih jauh dari pinggiran pantai. Kemudian, negeri
itu dibangun kembali pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah IV
Saidil Mukammil (1588-1604), dan pada masa Kerajaan Aceh
diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu
ditambah pembangunannya.
Lebih lanjut, daerah yang kaya hasil alamnya membutuhkan
sumber daya manusia (SDM) untuk mengolah kebun-kebun
disana, maka didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh
Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang
Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang
Padri (1805-1836). Perantau dari Minangkabau yang sampai di
Teluk Pasir Karam itu sepakat untuk berlabuh dan menyebut
Disikolah kito berlaboh, Zainuddin menambahkan, semenjak
itulah negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari
asal kata berlaboh. 1Menurut pendapat versi ini, semenjak itulah
Negeri Pasir Karam lambat laun dikenal dengan nama Meulaboh
yaitu dikait-kaitkan dengan kisah pendaratan pendatang dari
Minangkabau tersebut.
Padahal kata laboh berasal dari bahasa Aceh yang sudah
lazim diucapkan oleh masyarakat Aceh sebagai kata kerja (verb)
1
H.M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961,

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 3


yang memiliki arti membuang, melemparkan, menjatuhkan,
jatuh, turun, bergantung rendah.2 Sehingga kata laboh, laboo atau
melaboh bukanlah kata baru dan asing di Aceh, juga bukan kata
pinjaman dari suku kata lain yang disanding bersama dengan
bahasa Aceh.
Apabila peristiwa diatas menjadi referensi, maka terdapat
beberapa paradoks dalam sejarah, sebab Kesultanan Aceh
muncul di level internasional setelah jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511. Pada tahun-tahun berikutnya, Kesultanan
Aceh mulai menunjukkan jati dirinya dari negeri-negeri lainnya
dan semakin mencapai puncak kejayaan sebelum kembali
tenggelam pasca Sultanah. Dan kata laboh sudah dikenal
di Masyarakat Melayu-Nusantara, jauh sebelum julukan itu
diberikan oleh Musafir Minangkabau akibat Perang Padri.
Kita tidak memungkiri adanya bencana tsunami (smong)
yang pernah terjadi di Aceh beberapa abad lalu dengan skala yang
berbeda-beda. Hasil penelitian terkini memang menunjukkan
bahwa Meulaboh bukan hanya sekali dilanda tsunami. Dalam
sebuah report penelitian Coastal progradation Patterns As A
Potential Tool Inseismic Hazard Assessment 3menyimpulkan

2
Penggunaannya kata laboh, misalnya pat ji Laboh pukat? Di manakah mereka berpukat?
pakon laboh that tangui ija? Taumanyang bacut! Mengapa Anda memakai kain rendah
sekali. Tinggikanlah sedikit. bak jiplueng-plueng ka laboh di aneuk nyan, Ketika berlari-lari,
jatuhlah anak itu. Meulaboh, teulaboh : dibuang, diturunkan; meulaboh, teulaboh saoh ;
Sauh sudah di buang; teungoh ji meulaboh; mereka sedang berlabuh.Lihat Aboebakar Atjeh,
dkk, Kamus Aceh-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan, Lembaga
Pengembangan dan Bahasa dan Kebudayaan, 1985, h. 408
3
Penelitian dilakukan oleh multi NGOs dan lembaga riset dari berbagai penjuru dunia;
Katrin Monecke, Wellesley College USA, Willi Finger, Swiss Agency For Development And
Cooperation, Switzerland David Klarer, Old Woman Creek National Estuarine Research,
Huron, Ohio, Widjo Kongko, BPPT, Coastal Dynamic Research Institute, Brian Mcadoo,
Vassar College USA, Andrew Moore, Earlham College, USA, Sam Unggul Sudrajat, United
Nations Development Program (UNDP), Indonesia Frank Karmanocky, Neil Hood,
Brian Houston, University Of Pittsburgh At Johnstown Stefan Luthi, Delft University Of
Technology, Netherlands, dan lainnya

4 TEUKU DADEK - HERMASYAH


bahwa tsunami pernah terjadi beberapa kali di perairan
Meulaboh (Aceh Barat) dengan perkiraan waktu antara tahun
yang berbeda, sesuai dengan ditemukan deposit tanah bekas
tsunami.
Penelitian ilmiah dan lapangan tersebut semakin mendukung
catatan-catatan gempa dalam manuskrip di Aceh, misalnya di
bulan Syaban 1211 H (Februari 1797) gempa 8,4 SR di perairan
Laut Hindia tepatnya Mentawai dan Padang menimbulkan tsunami
yang melanda pesisir pantai barat Sumatera4. Di dalam catatan
sampul manuskrip Tanoh Abee disebut al-zalzalah as-syadidah
at-tsaniyah (gempa besar kedua kali), Kamis 9 Jumadil Akhir
1248 H/3 November 1832 M.5 Lima tahun kemudian (September
1837) pada periode Sultan Muhammad Syah (1824-1838), Belanda
mencatat kembali gempa yang terjadi di Aceh dan epicenter di
perairan barat Aceh. Di Abad yang sama, pada tahun 1861 terjadi
gempa tektonik di Kota Singkil, menghancurkan infrastruktur
Belanda yang dibangun tahun 1852.6 Demikian, bisa jadi, tahun
inilah yang dimaksud Pasir Karam oleh Zainuddin karena terjadi
gempa dan smong berulang kali di perairan Aceh.
Sumber luar (asing) menampilkan banyak referensi dan
beragam, baik diperoleh dari catatan penjelajah asing di Aceh
ataupun dari hasil penelitian akademik. Di kawasan Teluk
Barat Aceh disebut-sebut dalam sumber-sumber Arab, Cina
dan Eropa sebagai pusat perdagangan penting. Tempat ini
banyak dikunjungi para pedagang dari Timur Tengah, Gujarat
dan kawasan Asia Tenggara. Salah satu pelabuhannya disebut

4
Hermansyah, Naskah Tabir Gempa: Antara Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal di Aceh
(Kajian Terhadap Naskah-Naskah Kuno) Prosiding ADIC III Malaysia, 2012, Vol. II.
5
Catatan tersebut ditulis di sampul naskah berjudul Fath al-wahhb bi-sharh manhaj al-
Tullb karangan Ab Yahy Zakary al-Anshar al-Shfi (823-936 H/1420-1529 M).
6
Henri Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim. Jakarta: KPG, 2011, h.57

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 5


Nalaboo7, yang dimaksud Meulaboh.
Catatan Meilink-Roelofsz menyatakan tahun 1526 M
sebagai waktu pertama tercatat bagi kemunculan kapal Aceh
yang bermuatan rempah-rempah mengarungi Laut Arabia
menuju Jeddah.8 Dan pada tahun berikutnya secara berurut,
1555, 1559, 1565, 1566, kapal-kapal Aceh melintasi Lautan India
dan berlabuh di Jeddah, walaupun harus melewati hadangan dan
jarahan Portugis di tengah lautan lepas.9
Dalam perjalanan Augustin De Beaulieu tahun 1621 ke Aceh
dan Sumatera disebutkan bahwa di antara pelabuhan-pelabuhan
yang terdapat di bagian pantai barat Kerajaan Aceh diantaranya
yang dikenal nama Labo, kemudian menjadi nama Meulaboh.
Hal ini berarti bahwa Labo, Nalaboo, atau yang dimaksud
Meulaboh sudah eksis sejak (sebelum) abad ke-17 M.10

7
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh: dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir
Kerajaan Aceh Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor, 1995, h. 269
8
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII Jakarta: Prenada Media, 2005, 39
9
Lihat RC.Lane, The Mediterranean Spice Trade: Further Evidence of its Revival in the
Sixteenth Century, The American Historical Review, 45 (1939/40), 586. M.A.P Meilink-
Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago, Den Haag:
Nijhoff, 1962, 16-8
10
Lebih lanjut tentang de Beaulieu telah diungkapkan oleh Denys Lombard, Kerajaan Aceh
Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),
2008, h. 49-52. Dan lihat juga Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari
Abad XVI Sampai dengan Abad XX. Jakarta: KPG, h. 51

6 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Gambar 01: Labo menunjukkan wilayah pelabuhan di Meulaboh dalam catatan Kerajaan Aceh
oleh Beaulieu (1621), dan juga Sume Oriental Tom Pires (+ 1515).

Mengenai cerita dari Beaulieu yang memiliki beberapa


persamaan dengan apa yang dapat kita dengar dari suatu kronik,
yaitu kronik yang ditulis sesudah Pemerintahan Mansur Syah.
Cerita kronik tersebut, bahwa sesudah kemangkatan Sultan Zain
al-Abidin pada tahun 1588 para pembesar negara memutuskan
untuk memilih Sultan Ala ad-din Riayat Syah atau disebut Sultan
Sayyid al-Mukammil.
Sumber-sumber lokal dalam aksara Arab-Jawi mengalami
persoalan tersendiri, baik dari lafaz/harakat maupun bunyi
(diftong), apalagi belum ada kaidah-kaidah baku dan tertentu
dalam penulisan, sehingga belum ditemui lafaz yang diungkapkan
sebelum abad ke-17 M. Persoalan tersebut kurangnya sumber
yang sampai ke tangan kita hingga saat ini, padahal penjelajah
(musafir) dan pendatang (pedagang), khususnya dari Jazirah
Arab telah menetap di Aceh, khususnya di Pantai Barat sejak

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 7


periode Barus dan Pasai.
Persoalan yang timbul lainnya adalah tuponim daerah-
daerah yang berubah setiap periode sesuai dengan konteks ke-
jadian pada saat itu. Fase perubahan tersebut dapat menimbulkan
distorsi paradigma pandangan dari berbagai kalangan, sebab
dalam beberapa catatan peneliti ditemui perbedaan nama
daerah, salah satunya nama Analabu (Annalaboo). Beberapa
kasus di Aceh, daerah-daerah yang lenyap akibat bencana
alam, migrasi besar-besaran, atau kejahatan perang. Akibatnya,
peristiwa, tempat, dan hal lain yang langka (unicus),---terkadang
tercatat dalam sejarah---dengan bentuk nama lain yang kurang
familiar di generasi selanjutnya.

Gambar 04: Pelabuhan-pelabuhan di Aceh dan Sumatra di periode ke-18 dan awal 19 M.

8 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Dapat disebut nama Analabu eksis sekitar abad ke-18
Masehi, akan tetapi salah satu istilah ini kurang direkam dalam
jejak perjalanan Meulaboh. Peta di atas menunjukkan pelabuhan-
pelabuhan di wilayah Pantai Barat Selatan, termasuk Analabu
atau Meulaboh. Gambaran di atas juga menunjukkan bahwa
pelabuhan di pantai selatan lebih awal dan ramai dikunjungi
yang memiliki aset kekayaan alam melimpah.
Lem Kam Hing dalam penelitiannya menyebutkan bukan
berarti Analabu (Meulaboh) tidak begitu dikenal, sebaliknya ia
menjadi transit antara Banda Aceh menuju Barus, Singkil dan
sekitarnya.11 Kata Analabu sesuai dengan apa yang terungkap
dalam sketsa lukisan peta (manuskrip) yang digambar langsung
dengan tangan Kapten Samuel Ashmore pada tahun 1821 yang
kini dikoleksi New York Gallerymencatat bahwa nama tempat
Meulaboh adalah Analabou.12 Menurut referensi arsip yang sama,
James Horsburgh mengulang sketsa peta tersebut tahun 1822,
meskipun telah di identifikasi ada contoh yang masih tersimpan.
Fakta bahwa peta tersebut dalam bahasa Perancis, atas asumsi
kami punya bahwa Ashmore atau asistennya menyiapkan versi
Perancis untuk seorang teman atau permintaan seseorang.
Penyebutan Analabu atau Analabou di periode ke-18 Masehi
dalam beberapa kajian ditemukan perbedaan dengan periode
sebelumnya, dimana lebih awal menggunakan kata Labo seperti
yang terungkap dalam catatan Beaulieu atau lainnya. Penelitian
Dasgupta menyebut the late conquestof Iskandar Muda, Labo,

11
Lem Kam Hing, The Sultanate of Aceh Relations with the British 1760-1824. New York:
Oxford University Press, 1995, h. i
12
http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/WestSumatraPepperPorts-ashmore-1821.
diakses pada hari Senin, 21 Agustus 2013. Lihat lampiran 2 map (peta) yang digambar
tangan oleh Samuel Ashmore

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 9


Singkel, Barus, Batahan, Pasaman, Tiku, Pariaman, and Padang
all on the west coast Sumatra. 13 Sebelumnya, kesuksesan
perluasan wilayah kerajaan tersebut telah diraih pada era
Sultan Alauddin al-Qahhar, yang mengikrarkan dirinya sebagai
penguasa di Aceh, Barus, Pedir, Pasee, Daya, Batta (Batak),
penguasa di darat dan dua samudra, dan wilayah Minangkabau.14

Pelabuhan dan Jalur Internasional

Perairan Arab dan Hindia yang kurang kondusif oleh ulah


Portugis mengakibatkan Aceh mencari cara untuk mendapat
partner menjalin hubungan bilateral bidang militer (pertahanan)
dengan Kesultanan Turki pada abad ke-16 M, ---kerajaan
yang menjadi partner setia di hari-hari berikutnya---guna
menghadang dan melawan Portugis di perairan lepas dan di
wilayah Melayu-Nusantara.
Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530) sebagai Sultan
pertama mengusir Portugis dari Pasetahun 1524, itu sebelum
ada bantuan Utsmani. Akan tetapi, ketika Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Qahhar naik tahta pada tahun 1537 M/ 943 H, ia
menyadari kebutuhan Aceh akan sekutu yang kuat dalam satu
keyakinan beragama, tidak hanya untuk mengusir Portugis dari
Malaka, tetapi juga untuk memperluas kekuasaannya sendiri ke
wilayah-wilayah sekitarnya, khususnya pedalaman-pedalaman
di Sumatra.
Perluasan pedalaman sebagai wilayah Kesultanan Aceh
di Sumatra tersebut diduga telah membuka akses penting
terekamnya setiap jengkal tanah di daerah. Ada beberapa wilayah
13
JohnHarris, I, R.C. Temple (ed) The Expedition of commodore Beualieu to the East
Indies, in A Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679.
1944, h. 742.
14
William Marsden, Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, h. 428

10 TEUKU DADEK - HERMASYAH


kerajaan di Aceh yang bergabung dengan seketika, ada yang
ragu-ragu dengan berbagai pertimbangan, dan ada menolak
secara terang-terangan.Wilayah-wilayah Pesisir Pantai Barat
Aceh khususnya, mulai terkoneksi dengan Kesultanan Aceh, dan
menjadi bagian wilayah Kesultanan Aceh pada tahun 1540-an.
Sumber Portugis menyebutkan bahwa pertengahan abad
ke-16 (1530-an) Aceh telah mengadakan hubungan ke luar
negeri, terutama Turki. Seorang petualang Portugis, Mendes
Pinto, menyebutkan bahwa Aceh telah menjalin persekutuan
dengan 160 tentara Turki, sejumlah orang dari Abissinia
dan Gujarat, 200 tentara sewaan dari Malabar.15Mereka ini,
kemudian membentuk kelompok elite angkatan bersenjata Aceh
yang dikerahkan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar untuk
menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera tahun 1534
M melalui jalur perairan Aceh.
Sehingga pada pertengahan abad ke-16 M wilayah di
Pesisir Pantai Barat Aceh telah dikenal oleh para pengunjung
luar negeri. Denys Lombard menyebut beberapa sumber Eropa
yang menjadi dasar kajiannya untuk memahami sejarah Aceh.
Di antara mereka Frederik de Houtman dan John Davis, kisah
akhirnya Frederik ditahan di benteng Pidir (Pidie) tahun 1599.
Diplomat Inggris dalam dua dasawarsa (tahun 1602, 1613, 1615)
singgah di Aceh, salah satunya Sir James Lancaster pada Juni
1602. Sedangkan dari Perancis, Augustin de Beaulieu tahun
1620-1621, periode Sultan Iskandar Muda. Beberapa sumber
lainnya ikut merekam dan telah mengenal pelabuhan Labo.
Beberapa kajian lainnya yang dilakukan tentang relasi dan
hubungan Aceh dengan negara Inggris. Sumber-sumber yang
kami gunakan dari manuskrip, peta, dan sumber primer lainnya

15
D. Catz Rebecca, The Travel on Mendez Pinto. Chicago: Chicago University Press, 1989:
26-7

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 11


menunjukkan Analabou merupakan bandar (pelabuhan) yang
aktif dan padat sejak abad ke-18 M. Jalur dagang internasional
semakin pesat disebabkan oleh beberapa faktor eksternal, seperti
pecahnya Perang Padri di Sumatera Barat, bencana alam di
pantai selatan Aceh, Singkil, dan sekitarnya, hingga perebutan
pelabuhan strategis oleh negara-negara asing.
Kam Hing mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa
Inggris secara intens bekerjasama dalam bidang perdagangan
antara tahun 1760 sampai 1824.16 Dalam rancangan, posisi Aceh
menjadi sangat strategis bagi Inggris sebagai gudang penyaluran
barang (entrepot) ke China, dan pangkalan militer Inggris
untuk pertahanan keamanan dari luar, khususnya Perancis dan
Belanda. Awalnya, dalam penentuan pangkalan perwakilan
Negara Inggris antara India dan London, atau menempatkan
baru di Aceh. Namun keputusan final akhirnya ditetapkan di
Penang, dan kemudian ke Singapura.
Peta maritim di Barat Laut Sumatera menunjukkan daerah
penghasil lada berkualitas dan terkenal. Peta itu mencakup Pantai
Sumatera kira-kira dari Pelabuhan Lada Analabou (Meulaboh),
sekitar Daerah Arongan Lambalek hingga ke Singkil, sebagai
daerah yang dikenal sebagai Lada Coast. Kawasan tersebut
menjadi sangat penting sejak tahun 1803, di saat peristiwa
Perang Padri terjadi di Sumatera Barat, pertikaian antara
intelektual salafi ortodok yang menganut sistem wahabi di Arab
Saudi dengan paham ulama tradisionalis yang telah mengakar
di tanah Minang. Di sisi lain, kekuasaan Kolonial Inggris dan
Belanda di daerah-daerah yang menghadap langsung ke Selat
Malaka menjadi semakin runyam, pembagian wilayah tersebut
disertai dengan daerah-daerah yang tidak dapat dikontrol lagi,

16
Lem Kam Hing, The Sultanate of Aceh Relations with the British 1760-1824. New
York:Oxford University Press, 1995

12 TEUKU DADEK - HERMASYAH


termasuk dalam perdagangan. Hilangnya kontrol Belanda dalam
perdagangan lada telah membuka pelabuhan-pelabuhan lada
di barat laut Sumatera, sebagian besar dimanfaatkan pedagang
dari Australia, India, Amerika Serikat, dengan demikian dapat
menghindari monopoli Belanda pada cabai dan lada dengan
berinteraksi langsung dengan produsen Aceh.
Perang ideologi dan kepentingan di Sumatera---Aceh dan
Sumatera Barat---telah menciptakan blok-blok perdagangan,
walaupun kekuatan besar Angkatan Laut Inggris dan Belanda
mengurangi volume perdagangan dan monopoli Lada yang
menguntungkan mereka. Meskipun demikian, Australia dari
Sydney dan Amerika dari Salem menyerbu ke wilayah-wilayah
Sumatera yang belum diblokade. Selain itu, sebagian pengungsi
dari penduduk lokal dan menyebabkan lonjakan dalam
pembajakan sepanjang pantai.
Drewes sendiri memiliki catatan sarakata yang beberapa
tahun lebih muda, tahun 1771, seorang pedagang keturunan
India, Po Rahman dari Meulaboh diberikan surat kerajaan
(sarakata) dengan pangkat keudjruen tjhik. Kurun waktu
yang sama juga muncul independensi kepala pelabuhan,
Leubee Dapah (Dappah), yang di periode berikutnya hampir
menguasai seluruh Pantai Susoh hingga Singkil.17Periode
kekuatan komersial di pesisir pantai yang diperankan oleh
banyak pemimpin pesisir dan panglima sagi, dipimpin oleh
Panglima Polem mukim XXII, yang memperpanjang arena
konflik kerajaan jauh melampaui batas-batas ibukota.18
Pada abad ke-16 bangsa Portugis dan Kerajaan Usmani
terlibat persaingan sengit di Samudera Hindia demi mendapat-

G.J.W Drewes, Two Achehnese Poems. The Haque, 1980, h. 53


17

Lem Kam Hing, Achehs Relation with the British, 1760-1819. University of Malaya,
18

Thesis 1969, h. 41-42.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 13


kan kendali atas perdagangan rempah-rempah. Sejak lama
sudah ada anggapan bahwa kedua belah pihak menggunakan
kapal-kapal yang sangat berbeda; bangsa Portugis menggunakan
kapal layar berlambung tinggi dan Kerajaan Usmani lebih
menyukai kapal dayung, yaitu kapal perang bersenjata ringan
dan digerakkan dengan dayung.
Namun dalam beberapa penelitian terkini menunjukkan
bahwa kedua armada sebenarnya memiliki lebih banyak ragam,
karena Usmani pada awalnya juga memiliki kapal layar gaya
Eropa, seperti kapal Cakra Donya Aceh, sementara bangsa
Portugis pada akhirnya beralih menggunakan kapal dayung
yang berukuran lebih kecil, yang dinilai lebih fleksibel dalam
aksi di laut lepas.
Kisah hubungan Aceh dan Turki Usmani cukup terkenal dan
terjalin erat, semua orang Aceh mengetahui kisah meriam Turki
yang disebut Lada Secupak. Beberapa arsip Usmani menegaskan
bahwa selama pemerintahan Sultan Sulayman I dan Selim II, ahli
meriam dan pakar mekanik senjata dikirim ke Aceh. Sayangnya,
dokumen-dokumen periode awal abad ke-16 masih sangat
terbatas diperoleh di berbagai koleksi, khususnya Turki, sehingga
beberapa zona wilayah kekuasaan kesultanan Aceh belum dapat
diungkapkan secara maksimal. Harus kita akui, hubungan awal
tersebut lebih hebat daripada periode-periode berikutnya.
Hubungan Aceh dengan Turki tetap terjalin diperiode
berikutnya, dengan situasi politik internal masing-masing
negara, hubungan bilateral pasang surut tersebut tetap terjalin
sesuai situasi politik keduanya. Hingga akhirnya, Belanda
mulai secara agresif memperluas kekuatannya di Sumatera,
Aceh sekali lagi meminta bantuan kepada Kerajaan Usmani.
Pada tahun 1849/1850 M Sultan Mansur Syah (1838-1870) dari
Aceh mengirimkan utusan ke Sultan Abdlmecid di Istambul
dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh

14 TEUKU DADEK - HERMASYAH


sebagai negeri di bawah kedaulatan Usmani. Pada peta itulah
menunjukkan pusat-pusat pelabuhan di Pesisir Pantai Barat
Aceh.

Gambar 05: Peta Nusantara yang dipersembahkan Sultan Aceh, Mansur Syah (1838-1870) ke
Sultan Abdlmecid di Istambul, 1849 M/ 1265 H, yang mencerminkan Aceh dan pelabuhan serta
wilayah teritorialnya berada di bawah kedaulatan Usmani.

Setidaknya kita memperoleh informasi pelabuhan-


pelabuhan di Pesisir Pantai Barat, sebagaimana di dalamnya
dari bandar-bandar (pelabuhan) yang ada di antaranya: Bandar
Sulon; Daya; Teluk Kruet; Patik; Keulumpan; Rikas; Sabee;
Tanom (Teunom); Woyla; Bubon; Meulaboh; Sanakan/Sanagan
(Seunagan); Kuala Batu; Susoh; Mangkin (Manggeng); Labuhan
Haji; Meukek; Sama Dua; Tempat Tuan (Tapaktuan). Nama-
nama tersebut menunjukkan eksistensi pelabuhan (bandar)
bukan sebuah kerajaan, dengan didapatkan peta seluruh
wilayah-wilayah pelabuhan tersebut dapat dikatakan telah eksis

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 15


sejak periode ke-18 Masehi atau lebih awal.
Dalam menelusuri sejarah Aceh akan mendapat beberapa
varian tahun dari sumber primer yang tidak sesuai satu dengan
lainnya. Maka akan menjadi sulit untuk menentukan penanggalan
dari sebuah peristiwa, perbedaan tanggal lahirnya kerajaan Aceh
tentu akan berdampak pada daerah-daerah lainnya. Sebut saja
contohnya penentuan Sultan Ali Mughayat Syah dari empat
sumber primer (manuskrip) yang pernah dilakukan oleh Hoesein
Djajadiningrat terdapat empat perbedaan tahun (penanggalan)
awal dan akhir kekuasaannya.19
Dalam banyak literatur menempatkan Kerajaan Pedir sebagai
penguasa Banda Aceh, sebelum Kerajaan Aceh bangkit dan
menguasai Pedir, Pase, dan Daya pada pertengahan abad ke-16 M.
Catatan para Portugis Joao de Barros dan Rouffaer, serta laporan
berita Djawaib Turki menyebutkan Aceh masih berada di bawah
kekuatan Pedir. 20Konon, kerajaan Pedir juga menguasai kerajaan
Trumon dan Daya, serta wilayah di antara keduanya. Bahkan
menurut van Langen, berita atau kejadian di Meulaboh lebih awal
tersebar kabarnya ke Pidie daripada ke Kutaraja (Banda Aceh). Akan
tetapi, penguasaan itu berakhir dan berbalik setelah Kerajaan Aceh
Sultan Ali Mughayat Syah menguasai Kerajaan Pedir dan Daya.

Sumber dan Kisah Klasik


Banyak yang beranggapan bahwa Pesisir Pantai Barat Aceh
tidak begitu dikenal oleh sebab kekuasaan wilayah kerajaan

19
Raden Hoesein Djajadiningrat, terj. Teuku Hamid, Kesultanan Aceh (Suatu Pembahasan
tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan yang terdapat dalam Karya
Melayu). Banda Aceh: Depertemen P & K dan Proyek Pengembangan Permuseuman. 1983,
h. 17
20
Joao de Barros, da Asia. Edit. 1777-78, dec.iii, jl.2 hal.239-280. Lihat juga Marsden,
Histori of Sumatera.h, 41.

16 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Daya, kecuali Trumon dan Barus (Fansur). Untuk wilayah yang
disebut terakhir, ketenarannya dapat ditemui dari beberapa
sumber Eropa dan lokal sendiri. Karenanya, keberadaan Daya
memang banyak sumber bersekutu akan kebesarannya, apalagi
ia pernah berkoalisi dengan Aceh, walaupun masih samar-samar.
Kerajaan Daya, menurut kisah hikayat masyarakat
dimulai sejak kerajaan Indra Jaya (Bandar Panton Bie) atau
disebut kerajaan Seudu mendapat serangan dari pasukan laut
Cina, kerajaan Indra Jaya mengalami kekalahan, termasuk
di Krung Pungkie dan Kuala Onga. Maharadja Indra Jaya
beserta pengikutnya mengungsi ke daerah pedalaman di balik
perbukitan Geurutee.
Masih dari cerita yang sama, penduduk Daya semakin
muncul ke permukaan saat Teungku Di Sagoop (Meurah Pupk)
mendiami Daerah Sangu dan mengislamkan penduduk di sana.
Konon, rombongan MeurahPupk merupakan orang-orang yang
memiliki genetik Malabar dan Sarkasih (Gogasi). Komunitas
muslim di Daerah Sangu, Mareue, dan sekitarnya semakin
banyak, dan menyerang kembali Kerajaan Cina di Krueng
Pungkie dan Kuala Onga. Kemudian diganti nama daerahnya
menjadi Negeri Jaya (Daya).21Junus Djamil mengemukakan
beberapa data arkeologis, batu nisan yang perlu diidentifikasi
dan dideskripsikan lebih lanjut.
Dalam rangka mempersatukan kerajaan-kerajaan di daerah
utara Pulau Sumatera dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Raja
Inayat Syah (putra Sultan Abdullah Malikul Mubin) panglima
Kota Madat (Bandar Keumireu) telah mengadakan hubungan
dengan orang-orang Negeri Jaya (Daya).22 Hoesein menyebut
nama Inayat Syah sebagai Sultan Darul Kamal, kerajaan yang

21
M. Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh. Bandung: 2009, h. 147.
22
M. Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh 149

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 17


dikalahkan oleh Muzaffar Syah dari Mahkota Alam. Kronik ini
selanjutnya diteruskan dengan cerita bagaimana Raja Muzaffar
Syah di Mahkota Alam mewarisi kerajaan yang kemudian
digantikan oleh anaknya Sultan Mughayat Syah pada tahun 919
H/ 1513 M.23
Menurut Bustanus Salatin, Sultan Aceh yang pertama
bernama Ali Mughayat Syah. Ia naik tahta pada tahun 913 H/
1507 M yang telah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dan
memerintah sampai tahun 928 H/ 1521M. Sebelumnya, tidak
ada sultan di Aceh, yang ada hanya kepala (meurah) yang
mempunyai kekuasaan secara lokal.
Sedangkan Raja Inayat Syah dan anaknya sebagaimana
disebut Junus Djamil dan Hoesein merupakan kerajaan-kerajaan
sebelum Aceh Darussalam, yang telah menyatukan antara
Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Kuala Daya di Negeri Jaya.
Menurut Junus Djamil, Sultan Riayat Syah I yang merupakan
anak Inayat Syah diangkat menjadi raja, yang sebelumnya
merupakan kerajaan yang tidak terintegrasi dengan Aceh.
Gambaran di atas merupakan catatan penting dimana
daerah-daerah di luar Kerajaan Aceh Darussalam telah eksis
menjadi sebuah pemerintahan dan peradaban yang inklusif.
Tak tertutup kemungkinan Meulaboh di bawah Kekuasaan
Daya telah tumbuh berkembang masyarakat yang inklusif, yang
kemudian menjadi wilayah konsentrasi para pendatang, pelaut
dan pedagang.
Ada data menarik dari arkeologi bahwa pada tahun 1978,
peneliti pusat riset Arkeologi Nasional (Arkenas) Indonesia telah
menemukan sejumlah batu nisan di situs Tuanku Batu Badan
di Barus. Yang terpenting dari temuan-temuan itu adalah sebuah

23
Raden Hoesein Djajadiningrat, terj. Teuku Hamid, Kesultanan Aceh (Suatu Pembahasan
tentang Sejarah Kesultanan Aceh11

18 TEUKU DADEK - HERMASYAH


batu nisan yang mencantumkan nama seorang perempuan,
Tuhar Amsuri, yang meninggal tanggal 19 Safar 602 H (Rabu, 5
Oktober 1205 M), sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid
Sodrie dan Pusat Riset Arkeologi Nasional.24
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan Museum
Batavia pada tahun 1929 terdapat perbedaan varian bacaan.
Akan tetapi, dengan kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa
nisan di Barus lebih tua dari nisan Sultan as-Salih tahun 696 H
(1296 M). Jika benar, ini berarti jauh sebelum pendirian Kerajaan
Samudera Pasee, sudah ada masyarakat Muslim yang tinggal di
Barus, sebagai catatan, yaitu salah satu tempat di sekitar Pantai
Barat Aceh.
Penelitian terbaru dari sebuah kerja keras filolog dan
sejarawan dilakukan oleh Henri Chambert-Loir secara filologis
terhadap 5 teks manuskrip koleksi Van der Tuuk tersimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden (Cod. Or. 3303). Disebutkan
bahwa anumerta Sultan Ibrahim yang dimaksud adalah
Tuanku Batu Badan yang berada di Barus, tidak berarti---
seperti mungkin muncul dugaannya berdasarkan episode di
atas---bahwa kuburannya itu pada awalnya hanya berisi tubuh
yang dipancung, yaitu sebagai interpretasi bahwa tuanku yang
makamnya hanya berisi badan.
Lebih lanjut, ungkapan tersebut dipahami dalam bahasa
Aceh (bate badan) dan Melayu (batu badan) yang menunjukkan
batu kijing yang menutupi sebuah makam. Makam bate badan
terdapat di dekat Tanjung Jambo Aye, di sebelah timur Banda
Aceh, di mana terdapat dua makam yang kiranya berasal dari
awal abad ke-16 M. Tetapi, makam yang dimaksud dalam teks
naskah Syair Sultan Fansuri yang dihiasi dua buah nisan gaya
khas Barus.

24
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009:14.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 19


Masih dalam teks sama yang mengisahkan bahwa Sultan
Alauddin Johan Syah (1735-1760) melalui sarakata resmi dan
dibubuhi rakam sembilan; Barus tidak perlu membayar pajak.
Ketentuan itu berlaku sampai raja baru, Sultan Mahmud Syah.
Dilain hal, Sultan mengimbau warga Barus untuk waspada
terhadap orang Aceh dari pantai barat: Meulaboh dan Tapus.
Kisah kedaulatan Negeri Barus kemudian diakui oleh Kompeni
Inggris untuk dapat menjalinkerjasama kedua belah pihak.25
Teks manuskrip tersebut menjadi barometer bahwa pada abad
ke-18 M Barus menjadi kerajaan yang terintegrasi ke dalam
kedaulatan Aceh sejak periode Sultan Alauddin Riayat Syah al-
Qahhar (1537-1568), bersama-sama dengan daerah pelabuhan
di Singkil, Meulaboh, dan Daya.
Sejak tahun 1539, menurut sumber sejarah Portugis, seorang
ipar Sultan Aceh (Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar) menjadi
bendara (bendahara) di Barus. Karena utusan kerajaan Aceh,
secara turun temurun didefinisikan sebagai pimpinan tertinggi atas
pemerintahan dan birokrasi dan kemuliaan, dan sebagai gubernur
kerajaan. Tokoh itu bahkan dinobatkan sebagai Sultan Barus
tetapi meninggal tak lama sesudah itu, waktu mengepung Kota
Aru. 26 Bagaimanapun juga, tanda-tanda kehadiran orang Aceh
atau malah kekuasaan Aceh muncul secara terus-menerus pada
periode tersebut dan pada masa-masa selanjutnya. Wakil-wakil
Aceh bermaskas di semua pelabuhan. Orang-orang Inggris dan
Belanda, yang baru datang di wilayah itu, tidak boleh berdagang di
pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai barat Sumatera pada awal

Henri Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim. Jakarta: KPG, 2011, h. 67-68
25

Fernao Mendes Pinto, Prgrination, Paris: Editions de la Diffrence, 1991, h. 64, 99,
26

103, 133.

20 TEUKU DADEK - HERMASYAH


abad ke-17, tanpa izin dari Sultan Aceh.27
Teks Sultan Fansuri dan Hikayat Pocut Muhammad
menunjukkan bahwa penduduk di Meulaboh dan sekitarnya
telah menjadi komunitas masyarakat yang solid, kuat, dan
disegani. Tentunya, dalam konteks yang lebih jelas sebagai
kekuatan perang kesultanan Aceh, bukan lagi Daya. Sekaligus
menunjukkan Meulaboh tidak terintegral dengan Barus secara
teritorial dan politik kerajaan.
Namun demikian, eksistensi Kerajaan Daya dan bandar
di Barus serta Singkil sebelumnya melebihi dari yang lain
secara lisan ataupun sumber-sumber yang ada. Walaupun juga
akan sulit menyatakan sejauh mana batas-batas yang dimiliki
oleh Kerajaan Daya, sebelum ia tunduk di bawah Kerajaan
Aceh. Apalagi kita akan berkutat dengan penanggalan yang
belum akurat, atau tidak diperoleh secara detail dari setiap
yang memimpin. Namun, itu cukup menjadi catatan kecil kita
bahwa sejarah Daya pernah menguasai wilayah Meulaboh dan
sekitarnya pada periode tertentu.

Pribumi, Teungku, dan Datuk


Ada beberapa versi tentang keberadaan para datuk di
Meulaboh dengan di Sumatera Barat. Keduanya memiliki
argumen masing-masing dari beragam sumber yang mereka
percayai akurat. Kita belum mendapat gambaran utuh akan
penduduk di Meulaboh dan Aceh Barat, termasuk asbab dan
periodenisasi. Ada yang menyebutkan migrasi terjadi akibat
invansi kerajaan, perekonomian, dan juga pola hidup masyarakat

27
Jane Drakard, A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom. Ithaca:
Cornell University Press, 1990, h.205

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 21


yang suka berpindah-pindah. Namun beberapa penelitian
terakhir menyimpulkan migrasi terjadi akibat bencana alam,
salah satunya tsunami (smong).
Dalam lintas sejarah, hubungan Aceh dengan Minangkabau
terjalin lama, baik secara kultural ataupun political. Salah
satunya eskpedisi Kesultanan Aceh ke Pasaman Sumatera Barat
oleh Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1613 M (1021 H), salah
satu utusan Sultan untuk menjadi perwakilan di tanah Minang
adalah Teuku Laksamana Nanta, Panglima Perang Angkatan
Aceh yang menjadi gubernur militer, kemudian ia kawin dan
menetap disana.
Kedatangan para datuk sebagai utusan Sultan Iskandar
Muda merupakan keturunan Aceh yang lebih awal menetap dan
mengabdi di Sumatera Barat sebagai perwakilan petinggi Aceh
ataupun pemangku adat dan pemerintahan Aceh di sana secara
turun-temurun. Peran mereka ini tereduksi karena adanya
reformasi yang dilakukan kaum ulama yang terpengaruh dengan
paham wahabi yang menentang pemikiran tradisionalis.
Kekuasaan keturunan ini mulai terusik di tanah Andalas,
dimana kelompok Padri mulai melakukan gerakan pembaharuan
Islam beraliranwahabi dari jazirah Arab. Tiga ulama datang
dari Arab H. Piobang, H. Miskin dan H. Sumanik sebagai
gerbong utama gerakan tersebut. Ajaran pembaruan Islam yang
diaplikasikan di Minangkabau telah menimbulkan pro kontra di
tengah masyarakat, terutama dari kelompok salafi bermazhab
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena terdesak penentang dan
dapat menimbulkan keresahan dan kegalauan furuiyyah ibadah
masyarakat, para datuk itu kembali ke kampung halaman dan
sebagian lagi hijrah ke daerah lain.
Akulturasi budaya dan sosial kehidupan masyarakat
terbentuk di wilayah tersebut antara pribumi dan pendatang.
Para muhajirin yang mengawali kehidupannya disana dapat

22 TEUKU DADEK - HERMASYAH


hidup rukun dan tenteram berbaur dengan masyarakat
setempat. Perbedaan budaya dan bahasa bukan penghalang
untuk menyatukan berbagai etnis dan suku. Sebagian mereka
menjadi pemimpin umat di kemudian hari. Beberapa sumber
menyebutkan tokoh-tokoh tersebut, walaupun dalam komunitas
tertentu (mungkin juga sedikit), tetapi mereka memiliki
pengaruh besar dalam penataan masyarakat di periode
berikutnya, diantaranya Datuk Machadum Sakti dari Rawa,
Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song
Buluh dari Sumpur serta Datuk Janggut Ameh yang kemudian
diberi tempat di Merbau (Meureubo).
Sebagaimana umumnya masyarakat agraris dan yang hidup
di kawasan tropis, dipenuhi akan sungai (mata air) cukup dan
tumbuhan yang beragam, telah menjadikan mereka menebas
hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah. Datuk
Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, kemudian pindah
kearah Woyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk
Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kalak yang menikah
dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana, namun
ada satu Datuk lagi yang dikenal di Merbau yang bernama Datuk
Janggut Ameh.
Menurut H. M Zainuddin, ketiga Datuk utama tersebut juga
memerintahkan warganya untuk membuka ladang dan menanam
tumbuh-tumbuhan jangka pendek untuk kehidupan mereka
sehari-hari sehingga daerah itu menjadi makmur. Ditambahkan,
ketiganya itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja
Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan
Buyung (1586-1588 M) untuk memperkenalkan diri.
Sebagai catatan, bahwa Sultan Buyung umumnya dilaqab
kepada Sultan Ali ibn Munawwar Syah dari kerajaan Indrapura,
Aceh Besar. Lombard menyebut bahwa pengaruh Indrapura

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 23


terus bertahan di Kesultanan Aceh, salah seorang yang masih
berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan
Ali Riayat Syah II atau Sultan Buyung28. Lagi-lagi, hubungan
tersebut bukan hanya bersifat kerajaan, tapi regional dan
personal diri Meulaboh, Aceh Besar dan Pidie lebih awal
terjalin, sebelum kerajaan Aceh di Banda Aceh berkembang dan
lebih berpengaruh. Dan jika benar, Sultan Buyung memerintah
sebelum Iskandar Muda (1607-1636 M).
Lebih lanjut, ketika menghadap Sultan masing-masing datuk
membawakan satu kotak emas urai sebagai hadiah persembahan,
sebuah tradisi di kerajaan dalam persembahan kepada raja-raja.
Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas
negeri mereka dan permintaan itu dikabulkan, Sultan mengabulkan
permintaan rombongan datuk itu dan mengangkat mertua
dari Datuk Radja Alam Song Song Buluh menjadi uleebalang
Meulaboh.29 (kemungkinan Pho Rahman).
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar (mengirim)
upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa
keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu
mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Alauddin
Muhammad Syah (1824-1836) anak dari Sultan Alauddin Jauhar
Alam Syah (1795-1824) untuk menempatkan satu wakil sultan
di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan para datuk
itu dikabulkan oleh Sultan dengan mengirim Teuku Tjik Purba
Lela sebagai wazir pemeritahan Kesultanan Aceh dan menerima
upeti-upeti dari uleebalang Meulaboh.
Beberapa daerah di pesisir pantai Barat periode ini
dibebaskan dari pembayaran pajak upeti ke Kesultanan Aceh,
dengan berbagai faktor dan sebab. Misalnya Barus (Singkil) juga

28
Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakan Populer Gramedia, 2006.
29
Tokoh ini kemudian juga [disebut] disebut Po Rahman

24 TEUKU DADEK - HERMASYAH


dibebaskan pajak akibat persekusi mati Sultan Fansuri (Sultan
Ibrahim), guna rekonsiliasi peristiwa pelanggaran tersebut,
Sultan Aceh membebaskan pajak untuk kerajaan Barus.30
Hubungan erat terus terjalin antara dua daerah tersebut,
mereka (pimpinan) pun di wilayah Meulaboh kemudian kembali
meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan
yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran
dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh
mengirim penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala
hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Di periode berikutnya, permintaan para alim ulama dan
pimpinan ulee balang serta petinggi lainnya kepada Sultan Aceh
yang baru, Ibrahim Alauddin Mansur Syah (1857-1870) bin
Sultan Alauddin Jauhar Alam (1795-1823) itu meminta agar
dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah,
pasakh dan hukum syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan
Aceh Teuku Tjut Din, seorang ulama terpecaya bergelar al-
mutasim billah untuk menjadi qadhi perwakilan Kesultanan
Aceh di Meulaboh.31
Delegasi resmi itu sesuai dengan data yang diungkapkan oleh
Ali Hasjmy dari sumber primer, sarakata Sultan32, yang disebut
namanya Teungku Cut [red. Tjut, di ejaan latin Belanda]. Tentunya
perlu kami mengutip dalam sumber tersebut untuk menunjukkan
eksistensi Meulaboh telah dimulai sebelum periode ini. Penggalan
isi sarakata tercap tahun 1528 H/ 1842 M tersebut;
30
Henry Chambert-Loir sultan Fansuri dalam Sultan, Hakim dan Pahlawan. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole Francaise dExtreme-Orient, 2011
31
keturunan dari Teuku Tjut Din ini adalah H. Teuku Alaidinsyah (H. Tito) dan Teuku
Dadek.
32
Sumber-sumber primer tersebut sempat difoto oleh Ali Hasjmy, sebagaimana ia ungkapkan
dalam bukunya Kebudayaan Aceh dalam Sejarah dan kini dapat diakses dan dibaca oleh
generasi sekarang. Untuk ini, kita patut bersyukur, karena usahanya tersebut, sumber-
sumber primer Aceh masih terawat, yang kadang si empunya sumber di masyarakat telah
musnah atau rusak.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 25


Maka bersabdalah dauli hadarat Syah Alam [Sultan
Alaiddin Mansur Syah ibn Sultan al-marhum Jauhar Alam
Syah] menyuruh perbuat sepucuk surat ini menurunkan
titah hukum wilayah nikah dan pasakh, karunia dauli
hadarat Syah Alam akan Teungku Cut.
Syahdan barang sekalian tuan-tuan ketahuilah yang
di dalam negeri Daya, pertama hulubalang dan segala
pertuan dan segala orang tuha-tuha, dan sekalian keuchik
dan wakil atau tandial serta segala rakyat kiranya.
Maka adalah seperti Teungku Cut ini sudahlah dia
menjunjung titah hukum wilayah nikah pasakh daripada
dauli hadarat Syah Alam, akan sekarang ini pun siapa yang
mau akan nikah dan pasakh hendaklah sekalian tuan-tuan
datangkan kepada Teungku Cut Alam, lagi pun jangan
menjadikan kesukaran atas sekalian hamba Allah yang jauh
dengan dauli hadarat Syah Alam di perkara lagi, jikalau
sampai Teungku Cut barangmana negeri dalam sebelah
barat rantau dua belas, inipun siapa akan pasakh atau
nikah, demikian juga seperti yang telah tersebut hukum di
dalam surat ini, supaya segera mendapat hendaknya sekalian
hamba Allah jangan menjadi kesusahan
Penghormatan yang sebut dalam sarakata yang dibubuhi
Cap Sikuereung (cap halilintar) ini hingga kepada silsilah Sultan
Sayyid al-Mukammil33. Seorang sultan yang memiliki peran
penting dalam perluasan daerah-daerah di Aceh terintegral ke
Kesultanan Aceh.
Secara substansi sarakata itu membalas permintaan dari
Meulaboh, yang menunjukkan telah terjalin hubungan antara
Meulaboh dan Banda Aceh sebelumnya dengan baik, dimana
terdapat persoalan dan permasalahan dikonsultasikan langsung ke

33
Lihat lampiran I untuk isi kandungan Sarakata

26 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Banda Aceh. Selain tugas fungsi Tgk Cut yang disebut dalam teks,
juga diungkapkan batas regional kerja hingga sampai ke Rantau XII
dan sekitarnya. Namun yang menjadi catatan penting bahwa tahun
1842 M, daerah (bandar) Meulaboh telah menjadi pusat sentralisasi
kolonial, sehingga kasus-kasus nikah dan pasakh menjadi fenomena
khusus, (setidaknya) mulai terjangkiti.
Relasi yang disebut di atas diungkapkan terjalin sejak
Iskandar Muda. Ali Hasjmy memperkuat datanya dengan data
lain, menurut keterangan salah seorang dari keturunannya, yaitu
Teungku Ibrahim Lam No, bahwa pada masa Sultan Iskandar
Meukuta Alam memerintah (1016-1045 H/ 1607-1636 M), tiga
orang bersaudara dari turunan ulama Rumpeet, XXVI mukim
mendapat tugas dari Sultan, yaitu :
Teungku Abu Bakar dikirim menjadi Qadhi untuk daerah
Kaway XVI Aceh Barat sebelah barat, berkedudukan di
Meulaboh.
Teungku Muhammad Jusuf diangkat menjadi Qadhi untuk
daerah Rantau XII Aceh Barat sebelah timur, berkedudukan
di Daya.
Teungku Jamaluddin dikirim kewilayah Deli Sumatera
Timur.34
Penaklukan wilayah Deli oleh Sultan Iskandar Muda memang
disebutkan dalam kitab Bustanus Salatin yang dikarang oleh
Nuruddin al-Raniry pasca meninggal Iskandar Muda. Itu tidak
termasuk wilayah Batak yang pernah ditaklukkan sebelumnya oleh
Sultan Alauddin al-Qahar. Apa yang diungkapkan oleh Ali Hasjmy
tentang sarakata tersebut bukanlah di periode Sultan Iskandar
Muda (1607-1636), akan tetapi penyebutan tokoh-tokoh tersebut

34
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta Pusat: Beuna, 1983, h. 242-243

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 27


dalam sarakata Aceh yang sesungguhnya jauh lebih muda dari
sesudahnya sebagaimana yang akan dibahas kemudian.

Meulaboh dalam Manuskrip


Pada dasarnya, sumber-sumber perjalanan Eropa
telah menunjukkan sinyal keberadaan Meulaboh di Aceh,
sebagaimana umumnya bandar (destinasi) di Aceh akan
menjadi salah satu wilayah teritorial kerajaan, wilayah ini
termasuk ke bagian Kerajaan Daya, sebagai salah satu bandar
atau pelabuhan alternatif. Sumber-sumber primer lokal yang
autentik membutuhkan inventarisasi dan konservasi yang
menyeluruh dan komprehensif. Sarakata, surat-surat diplomasi,
gambar, naskah, artefak, dan lainnya yang selamat sampai di
tangan kita pun saat ini masih berkisar pada abad 17-an Masehi.
Sebagaimana diketahui Meulaboh memiliki peranan besar
dalam putaran perekonomian Aceh secara keseluruhan sejak
kolonial dan kemerdekaan, khususnya wilayah pantai barat
Aceh.Sebagai urat nadi perekonomian tersebut dirangkum
dalam catatan-catatan besar secara ekplisit, diantarannya dalam
berbagai manuskrip lokal dalam bahasa Aceh dan Jawi yang
menunjukkan karya-karya klasik para arif intelektual masa
lampau.Walaupun secara objektif tidak terkait dengan konteks
yang diinginkan, namun jaringan antar daerah dan (sering) juga
emosional telah menghubungkan diantaranya.
Walaupun tidak mudah menentukan titik awal Meulaboh
dalam lintas sejarah, kita punya banyak sumber yang belum
terjamah. Sebagaimana diawal pembahasan, bahwa Meulaboh,
Laboo atau Analabu telah eksis setidaknya sebelum naik tahta
Iskandar Muda (1607 M). Rujukan tersebut bukan tidak
beralasan, sebab dalam surat emas Sultan Iskandar Muda kepada
Raja Inggris Sir James II disebutkan bahwa negeri Tiku dan

28 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Pariaman dibawah teritorial Aceh sejak periode Sultan Sayyid
al-Mukammil. Tentunya, korelasi kedua negeri itu berada pada
jalur dagang laut yang memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan
strategis di sepanjang pesisir Aceh.
Lebih lanjut dalam teks surat disebutkan bahwa daerah-
daerah teritorial di bawah kekuasaan Iskandar Muda pun ada di
bagian timur-utara Lubok, Pedir, Samalanga, Peusangan, Pasee,
Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan, Tanjung, Panee, Rokan,
Batusawar, Perak, Padang, dan Indragiri;dan di wilayah barat-
selatan negeri Calang, Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman,
Selada, Indrapuri, Bengkulu, Palembang, dan Jambi....35
Surat tersebut menunjukkan negeri-negeri yang strategis
yang memiliki sumber daya alam dan sebagai bandar pelabuhan
yang berpengaruh kepada negara-negara luar. Dan itu bukan
berarti tidak menunjukkan bandar (wilayah) Meulaboh sebagai
objek yang kita cari belum eksis di Pantai Barat Aceh, seperti
halnya tidak tercantum Trumon di dalamnya.
Selain itu, tokoh yang berperan penting di tengah keraton
Kesultan Aceh seperti sastrawan-sufi termasyhur dari Aceh,
Hamzah Fansuri, yang kemudian menjadi salah satu tokoh
penghubung jaringan Pesisir Pantai Barat Aceh dengan Kerajaan
Aceh di Banda Aceh, Pasai, Pedir dan lainnya di wilayah Pesisir
Timur Aceh. Ia merupakan simbol perkembangan intelektual
dan peradaban yang berasal Pantai Barat-Selatan secara khusus,
dan di dunia Melayu-Nusantara secara keseluruhan. Peneliti
terkenal, Drewes dan Brakel menyimpulkan Hamzah Fansuri
meninggal pada tahun 1590 M (998 H),36 atau tepatnya diperiode
Sultan Sayyid al-Mukammil (+1588-1604), jauh sebelum Sultan

35
Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris, James I, tertanda tahun 1024 H (1615
M), kini disimpan di Bodlean Library, Oxford. MS Laud Or.Rolls.b.1
36
G.W.J Drewes dan L.F Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Bibliotheca Indonesia 26,
KITLV, 1986: 6.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 29


Iskandar Muda berkuasa (1607-1636).
Penelitian mereka hampir menemui titik temu dengan
generasi selanjutnya,dua tokoh arkeolog Claude Guillot dan
Ludvik Kalus mengumumkan penemuan penelitian setelah
mengkroscek 18.000 inskripsi nisan bahasa Arab, Parsi, dan
Turki dari pangkalan data proyek Tesaurus Epigrafi Islamsejak
tahun 1999, hingga muncul dan meninggal sang sufi Aceh hari
Kamis, 9 Rajab 933 H (11 April 1527 M) di pemakaman Mala,
Mekkah.37Hal tersebut menunjukkan geliat pesisir Pantai Barat
Aceh telah tumbuh berkembang sebelum abad ke-17 M.
Hasil penelitian Ali Hasjmy tentang hubungan Aceh-
Meulaboh (Aceh Barat) atas delegasi ulama-ulama Rumpet
di kawasan Aceh Barat periode Sultan Iskandar Muda (1607-
1636 M) melalui sarakata yang diperolehnya merupakan
penyebutan geneologi silsilah ulama tersebut di wilayah Aceh
Barat (Meulaboh) dalam rentan waktu yang cukup lama dan
berkesinambungan, sebab kedua sarakata yang disebut oleh Ali
Hasjmy pada tahun 1259 H (1843 M) periode Sultan Mansur
Syah, dan satunya tertanggal 24 Rajab 1307 (16 Maret 1890 M)
atau di periode Sultan Alauiddin Muhammad Daud Syah di
Kuta Keumala (Pidie). Sekali lagi, ini menunjukkan kedekatan
regional Meulaboh dengan regional Pidie sebelumnya, dan juga
termasuk pada periode kolonial ini.
Karenanya, tempat-tempat srategis pelabuhan di Pesisir Pantai
Barat Aceh telah memainkan peran tersendiri sejak awal. Diperlukan
rekonstruksi sejarah dari multi disiplin ilmu, penelusuran pelbagai
sumber-sumber primer, salah satunya naskah klasik (manuskrip).

37
Data yang diungkapkan oleh Claude Guillot dan Ludvik Kalus sebenarnya telah diperoleh
sejak tahun 1934 oleh ahli epigrafi muda dari Mesir, Hassan Mohammed el-Hawary,
pegawai museum Seni Arab di Kaherah yang berhasil mengumpulkan 250 inskripsi nisan di
al-Haramain. Lihat, Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia.
Jakarta: KPG, 2008, h. 71-100.

30 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Sebab naskah merupakan bentuk kebudayaan tertulis yang di
dalamnya memuat penjelasan mengenai sejumlah informasi yang
memperlihatkan buah pikiran, adat istiadat, kepercayaan, dan
sistem nilai yang berlaku pada masanya.38
Naskah klasik yang biasanya ditulis dengan aksara Arab-Jawi
atau dikenal dengan aksara Jawi dan berbahasa Melayu atau Aceh.
Naskah yang dijadikan sumber dalam penelitian ini termasuk
manuskrip, sarakata, dan buku klasik. Biasanya alat media yang
digunakan untuk menulis manuskrip berupa kertas cetakan Eropa,
daun lontar, kertas dluwang, rotan/nipah, dan lain-lain.
Sejauh ini, belum ada sumber-sumber yang dilakukan
dalam inventarisir dan penelitian komprehensif terhadap
naskah-naskah warisan khazanah tertulis masa lalu di Meulaboh
dan Aceh Barat secara keseluruhan untuk menemukan titik awal
lahirnya Negeri Meulaboh. Hikayat-hikayat yang tersedia saat ini
pun diselimuti berbagai legenda dan mitos yang membutuhkan
kerangka metedologi untuk membedahnya.
Secara tegas perlu disebutkan bahwa naskah-naskah yang
tertulis dan tersedia dalam penelusuran dalam hikayat-hikayat
yang diperlukan rekonstruksi dan interteks dengan sumber-
sumber lainnya yang sezaman atau sebelumnya. Sebab, hikayat
di Aceh terkadang sebuah kisah yang ditulis di zaman yang
berbeda yang disesuaikan dengan kondisi sang pengarang.
Dalam buku van Langen didapatkan beberapa naskah
yang menjadi perhatiannya, dan memasukkan ke dalam
bukunya39. Dua rangkai judul hikayat (Malem Dagang dan
Pocut Muhammad) termasuk dalam sastra epos (perjuangan)
yang membahas tentang riwayat ksatria, sejarah biografi, serta

Panuti Sudjiman, Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya. 1995: 14


38

K.F.V van Langen, Handleinding voor de BeoefeningAtjehsche Taal. Sravenhages.


39

Martinus Nijhoff, 1889: 95-170

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 31


perjalanan tokoh di Aceh pada masa lampau. Keduanya dikenal
dalam bentuk tertulis sejauh daya ingat masyarakat. Sebab
hakikat karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk
dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya.40
Dua karya tersebut di antara puluhan hikayat-hikayat
epos Aceh lainnya yang mengagungkan sikap heroik orang
Aceh dalam perang melawan penjajah (Belanda), ataupun
dalam mempertahankan kebenaran, memperjuangkan hak
dan idealisme. Tidak dapat dipungkiri, hikayat-hikayat yang
ada saat ini telah terjadi proses penyulingan dan campur
tangan penyalin dari teks asli, sebab sejak awal hikayat tersebut
mengandalkan hafalan atau tradisi lisan dan si pengarang hidup
di zaman yang berbeda.
Dua naskah heroik Aceh tersebut sangat terkenal di
Aceh dan Melayu-Nusantara, karena langsung menampilkan
tokoh-tokoh utama Aceh yang hidup masa kejayaan kerajaan.
Maka, hubungan kisah tersebut juga merambat ke wilayah
Meulaboh. Hikayat Malem Dagang menceritakan kisah Iskandar
(Eseukanda) Muda menaklukkan beberapa wilayah di Sumatra
atau Asahan (Deli), dan negara bagian Malaya seperti Johor
(1613) dan Pahang (1618), sehingga menanamkan kekuasaan
Aceh di Semenanjung Malaya itu setaraf dengan kekuasaan
Portugis yang datang ke Malaka satu abad lebih awal. Lebih dari
itu, dalam kisahnya disebut bukan saja sebagai penguasa Malaka
tetapi juga mengejar penjajah yang memerintah Guha (Goa),
yaitu kedudukan utama Portugis di India.
Hikayat Malem Dagang yang banyak disalin karena
heroiknya kisah Acehdan menceritakan tentang kepahlawanan

Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka,


40

2006, h. 77

32 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Iskandar Muda saat penyerangan Portugis di Pahang dan Malaka
tahun 1618 M. Snouck Hurgronje menyimpulkan bahwa Hikayat
Malem Dagang dikarang di abad ke-17 M41atau tidak lama
setelah kejadian penyerangan Portugis diMalaka. Hal senada
juga disimpulkan oleh H.K.J Cowan yang menegaskan bahwa
Hikayat Malem Dagang dikarang pada abad ke-17 M.42Dua
pendapat tersebut berbeda dengan kesimpulan A Hasjmy, bahwa
Hikayat Malem Dagang lebih awal lahir daripada kepengarangan
sebagaimana dugaan Hasjmy. Sebab, menurut Ali Hasjmy
pengarang hikayat Malem Dagang adalah Tgk Yakub Meureudu
atau dikenal Tgk Chik Pante Geulima (w. Jumat, 3 Zulhijjah
1340 H/28 Juli 1922 M).43
Nampaknya, penggolongan yang dilakukan van Langen
tersebut bukan tanpa sengaja, hal itu menunjukkan hubungan
di dalam hikayat yang tersurat kata Negeri Daya sebagai salah
satu koalisi Kerajaan Aceh dan destinasi perdagangan di Bagian
Barat Aceh. Kerajaan Daya tentu memiliki pengaruh territorial
dengan Meulaboh yang dapat menunjukkan eksistensi dan
kedaulatannyadi Aceh. Apabila ditinjau lebih dalam kisah
tersebut, antara penyerangan Malaka oleh Iskandar Muda,
peperangan dengan Portugis, hingga periode pemerintahan
Iskandar Muda menunjukkan hubungan Aceh dan sekitarnya
(dalam hikayat disebut takluk jajahannya) telah terjalin erat.

Hikayat Pocut Muhammad


Hikayat Pocut Muhammad merupakan teks syair yang
menyebutkan keberadaan Meulaboh, sekaligus mengisyaratkan
wilayah Meulaboh sebagai sebuah negeri yang memiliki
41
Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, II. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, h. 69
42
H.K.J Cowan, The Hikajat Malem Dagang. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan
sastra Indonesia dan Daerah, 1980.
43
Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Beuna, 1983.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 33


hubungan pemerintahan legislatif dan administratif dengan
Kesultanan Aceh Darussalam. Oleh karena itu, perlu diungkap
sekilas tentang hikayat Pocut Muhammad yang mengisahkan
pra kolonial, disamping hikayat-hikayat Aceh lainnya.
Beberapa kajian terdahulu telah dilakukan terhadap hikayat
Pocut Muhammad. James Siegel melakukan kajian atas penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya, H.T. Damstsalah satunya
meneliti naskah koleksi Universitas Leiden Co. 8669d, dari
koleksi Snouck Hurgronje dan sekretarisnya, Teungku Nurdin
(Noerdin), dan dibandingkan dengan hasil kajian teks oleh
Tgk Anzib Lamnyong di Aceh.44Hasilnya diperoleh beberapa
perbedaan yang signifikan. Namun pengakuan Siegel, ia masih
menunggu karya epos tersebut hasil suntingan G.W.J Drewes
dari naskah koleksi Museum (PNRI) Jakarta.45
Kandungan Hikayat Pocut Muhammad menceritakan
penegakan keadilan di kerajaan dan penanganan pertikaian
internal dalam perebutan tahta kesultanan Aceh. Kisah yang
diangkat untuk menjaga identitas, marwah keluarga dan
kerajaan merupakan citra protagonis dalam hikayat ini yang
menampilkan satu negeri dua raja. Pada saat itu, Sultan Alaudin
Ahmad Syah, atau dikenal dengan Maharadja Lela Melayu (1727-
1735), keluarganya memiliki garis keturunan Bugis. Sultan itu
mempunyai empat orang putra yaitu Raja Muda atau Pocut
Oe bernama Sultan Alauddin Johan Syah, Pocut Kleng, Pocut
Sandang, dan yang bungsu bernama Pocut Muhammad, tokoh
terakhir sebagai subjek utama dalam kisah hikayat ini.
Kandungan naskah Pocut Muhammad ini bukanlah
menceritakan tentang eksistensi Meulaboh seutuhnya, tapi

44
Lihat Tgk Anzib Lamnyong, Hikajat Potjut Muhammad. Banda Aceh: Lambaga
Kebudajaan Atjeh, 1964.
45
James Siegel, Shadow and Sound; The Historical Thought of a Sumatran People.
Chichago: The University of Chichago, 1979, h. 34.

34 TEUKU DADEK - HERMASYAH


hanya keterlibatan regional Meulaboh saat mendukung salah
satu pihak yang bertikai di kerajaan Aceh. Sama halnya dengan
beberapa wilayah lainnya yang ikut serta (atau ikut campur)
dalam konflik tersebut. Keikutsertaan itu bisa jadi memiliki latar
belakang yang berbeda, sisi keterikatan bisnis, emosional atau
ketergantungan ekonomi dan hubungan wilayah.
Raja Muda dipilih sebagai sultan pengganti ayah kandung-
nya membuat Jamalul Alam (Jamaloi Alam), salah seorang sultan
Aceh memiliki garis keturunan syarif yang tersingkir sebelumnya
akibat konspirasi politik. Kisah ini sebenarnya belum terangkum
seutuhnya dalam hikayat tersebut, karena lebih fokus pada
tokoh utama yang berperan dalam menanggulangi kericuhan
dan mengumpulkan kekuatan, sehingga menimbulkan tanda
tanya akan periode yang berbaur antara keagungan dengan
kemerosotan di Aceh.
Pocut Muhammad berniat dan penuh tekad yang kuat
mengalahkan musuhnya, ia kurang senang dengan ketidakpatuhan
Jamaloi Alam kepada Kerajaan Acehyang dipimpin kakaknya,
sehingga membuatnya mencari mencari dukungan dan bala tentara
ke Wilayah Timur Aceh, seperti Laweueng, Pidie, Awe Geutah,
Kemangan, Langsa, Pasi Puteh, dan sebagainya.
Jamaloi Alam dan seluruh pendukungnya menyahuti
seruan perang yang ditabuh oleh keluarga sultan terpilih,
untuk memperkuat pertahanannya, ia telah meminta bantuan
hulubalang-hulubalang yang setia kepadanya. Dari pantai barat
ia mendapat bantuan dari Kuala, Meulaboh, Sinagan, Bubon dan
Ranto Seumayam. Dimintanya pula bantuan dari negeri Batak.
Semua bantuan sudah tiba dan sudah menempati benteng-
benteng Gampong Jawa di Banda Aceh.
Penyebutan Meulaboh inilah menunjukkan daerah tersebut
memiliki otoritas tersendiri dan masyarakat yang majemuk,
serta menunjukkan wilayah yang independen dari Daya ataupun

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 35


daerah lainnya. Penyebutan tersebut terdapat dalam beberapa bait
sebagaimana hasil suntingan teks Ramli Harun46 sebagai berikut:

Neutanyong bak Pangulee Peunaroe


Pajan tawoe hai aneuk raja
Pajan tawoe nanggroe Meulaboh
Pajan saleh troh aneuk tagisa (h.66)
Lheuehnyan neutanyong daratan Meulaboh
Sire awai roh daratan rimba
Kawai Mahraja Keujruen Dua Blah
Nyang that meugah bak Simpang Tiga (h.67)
Umu sibuleuen prang meuhubo
Yohnyan taloe saboh kuta
Jisurot sinan u Pasi Meulaboh
Di langa troh u Pasi Sira(h.70)
Teuma jisurot u babah Meulaboh
Maken that jiuoh geulet lanja
Di Mare kon troh u Lahan
Kuta simban di Gampong Panga(h. 72)
Kuala Meulaboh beude meuhala
Jihato meusigak na limong laksa
Hantom geuteubit hantom mupadang
Hantom geumuprang dilua kuta (h. 72)
Kuala Meulaboh troh u Bubon
Rakyat jitron nanggroe Woila
Di tunong kon troh Batee Tutong
Rakyat jitron u gampong Jawa (h. 138)
Terjemahan:
Ditanyai kepada pimpinan kuasa

46
Sesuai dengan transkripsi teks Hikayat Pocut Muhammad koleksi Museum Aceh dalam
bentuk manuskrip.Naskah tersebut pernah disunting oleh Drs. Ramli Harun (1981)
diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta.

36 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Kapan kembali hai anak raja
Kapan kembali ke negeri Meulaboh
Kapan anak salih kembali lagi
Kemudian ditanya daratan Meulaboh
Lebih awal ketemu daratan rimba
Kawasan Maharaja Keujreun Dua belas
Kawasan sangat megah di simpang Tiga
Perang bergolak sudah sebulan
Saat itu sudah takluk satu kota
Pasukan mundur ke Pasi Meulaboh
Di Lamnga sampai daerah Pasi Sira
Kemudian mundur ke Meulaboh
Semakin jauh mengejar pasukan raja
Di Mare (Marek) hingga ke Lahan (Leuhan)
Kota Simban di Kampung Panga
Kuala Meulaboh lagi bergejolak
Diatur pasukan sekitar lima ribu
Belum pernah keluar dan belum pernah terjadi
Belum pernah berperang di luar kota
Kuala Meulaboh sampai ke Bubon
Rakyat datang ke Negeri Woyla
Di selatan hingga sampai Batee Tutong
Rakya datang ke kampung Jawa
Teks di atas lebih menunjukkan geografis wilayah Meulaboh
daripada eksistensi masyarakat dan kehidupan di sana. Walaupun
Meulaboh dalam gambaran tersebut menunjukkan daerah yang
tidak memiliki kedaulatan raja-raja dan hanya pusat-pusat
sentral-sentral pelabuhan akan tapi terintegrasi dengan wilayah
Aceh. Integrasi tersebut yang kemungkinan besar menjadi
landasan utama keikutsertaan dalam peristiwa tersebut.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 37


Kisah Pocut Muhammad tidak berbeda jauh dengan
periode sebelumnya di dalam Istana Kesultanan Aceh. Ini bukan
pengulangan sejarah yang pernah terjadi, hikayat Aceh lebih
pada penekanan hapalan lisan. Pasca era Sultan Alauddin Riayat
ah (1588-1604)47 memimpin mulai muncul benih pertikaian,
khususnya internal dan sesama. Ia memiliki empat orang anak;
Maharaja Diraja, Sultan Muda dikenal juga Sultan Ali Riayat
Syah yang menjabat sultan 1604-1607 menggantikan ayahnya.
Selanjutnya Sultan Husein dan Sultan Abangta Meurah Upah
keduanya adek dari Sultan Ali Riayat Syah.
Peristiwa kekisruhan di internal keraton tercatat dalam
Bustanus Salatin, sebuah kitab sastra karangan Nuruddin ar-
Ranirytokoh asal India. Ia menjabat posisi penting dan tertinggi
di periode Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) dan diawal periode
Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam sebelum ia kembali ke
India. Disebutkan bahwa:
Kemudian dari itu, maka kerajaan sultan Alauddin Riayat
Syah ibn sultan Firmansyah pada hari Senin, 15 Zulqadah,
maka ada bagi sultan itu empat orang anaknya laki-laki,
1); Maharaja al-Daraj [diraja], 2); sultan Muda, 3); sultan
Husain, 4); Abghat Meurah Upah.
Setelah itu, maka sultan itupun dimazulkan anaknya pada
1012 H (1604 AD) sebab terlanjur hukumnya atas hamba
Allah, adalah lamanya kemudian daripada ia mazulkan kira
setahun ialah yang bergelar Marhum Sayyid al-Mukammil.
Kemudian dari itu, maka kerajaan anaknya sultan Muda

Sultan Alauddin Riayat Syah dikenal Sayyid Mukammil menjadi Sultan periode (1588-
47

1604). Sebagian kronik berbeda penanggalan tahun. Ia putra dari Firmansyah cucu dari
Sultan Ali Mughayat Syah, keturunan Inayat Syah, raja Darul Kamal. Lihat beberapa
sumber; Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Raden
Hoesein Djajadiningrat, terj. Teuku Hamid, Kesultanan Aceh (Suatu Pembahasan tentang
Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan yang terdapat dalam Karya Melayu).
Banda Aceh.

38 TEUKU DADEK - HERMASYAH


bergelar sultan Ali Riayat Syah ibn sultan Alauddin Riayat
Syah, pada hari Senin 15 Zulqadah, dan pada masa itulah
terlalu pahit segala manusia banyak mati. Adalah lama sultan
itu dalam kerajaan 2 tahun 11 bulan, setelah itu maka sultan
itupun hilang pada hari Rabu, tahun1015 H [1606 M]48
Naskah Bustanus Salatin tentu tidak ditulis di masa Sultan
Alauddin Riayat Syah Sayyid Mukammil, tapi jauh sesudah ia
meninggal. Peristiwa yang diungkapkan oleh Nuruddin ar-Raniry
merupakan tradisi lisan yang berkembang di periode-periode
berikutnya. Hubungan Aceh dengan wilayah-wilayah taklukannya
terjalin secara ketat dan terjaga untuk menjaga stabilitas ekonomi
dan politik di pusat kerajaan Aceh, Banda Aceh. Musim paceklik
(kemarau), perang internal, konflik istana, yang disebut dalam
Bustanus Salatin, lagi-lagi terulang dalam Hikayat Pocut Muhammad
abad ke-18, dan Hikayat Sultan Fansuri abad ke-19 M.
Naskah Syair Sultan Fansuri yang dikumpulkan seorang
Belanda bernama Van Der Turk ketika tinggal di Barus 1852-1857
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur sejarah
dan kepercayaan di Barus, terutama tokoh sufi Hamzah Fansuri
(awal abad ke 17) dengan tokoh pimpinan Sultan Fansuri (abad ke-
19 M). dari data yang ditampilkan Syair Sultan Fansuri menjadi
menarik tentang riwayat masa lalu kota pelabuhan di pantai barat
ini. Barus biasa juga disebut Fansur dan sebagai kerajaan yang
pernah terkenal di seluruh dunia pada masa lalu, namun pada masa
Kolonial Belanda hanya sebuah desa kecil.
Barus juga diceritakan pernah diserang Kesultanan Aceh,
pasukannya dibantu dari Meulaboh. Dalam sebuah pertempuran
Sultan Fansuri (Ibrahim) tewas, kepalanya dipenggal. Namun

Nuruddin ar-Raniry, Bustanus Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin (MS). Lihat kajian
48

Jelani Harun, Bustan al-Salatin; 'the garden of kings': a universal history and Adab
work from seventeenth-century, Aceh, in Indonesia and the Malay word, Vol. 32:92. Carfax
Publishing: Taylor & Francis group, 2004, h. 21-52.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 39


Sultan Aceh menyesal karena terjadi bencana di negerinya setelah
menyerang Barus, kemudian Sultan Aceh memberi kemerdekaan
untuk Barus.49 Pemakaman Sultan Fansuri di Barus dilakukan
dengan upacara besar-besaran oleh Kerajaan Aceh dan Masyarakat
Barus, tidak seperti meninggalnya Sufi Aceh Hamzah Fansuri.
Adanya paradoks dalam ingatan masyarakat kini antara sumber
primer dengan realitas yang dianggap lebih utama.
Dalam banyak literatur, kasus Meulaboh masih dibutuhkan
banyak sumber primer Aceh yang patut direkonstruksi untuk
mendapatkan gambaran utuh terhadap sejarah dan peradaban
masa lampau. Peran dan kedudukan Meulaboh dalam berbagai
hikayat patut direproduksi untuk membuktikan jati diri dan
identitas bangsa dalam kancah dunia. Sumber (manuskrip)
lokal akan semakin kaya dibumbui oleh sumber-sumber catatan
penjelajah ke Aceh dan Meulaboh, karena Meulaboh diyakini
telah terkoneksi dengan dunia luar sejak kejayaan Kesultanan
Aceh. Sebab, pada periode Kolonial Belanda, kita akan sangat
sulit menemukan catatan para penjelajah dan rekaman para
intelektual dalam melahirkan karya, kecuali para petinggi
kolonial Belanda yang menulis Meulaboh sebagai bagian dari
laporan perkembangan di Aceh.
Hubungan Aceh dengan Meulaboh tentunya dapat terjalin
sebab agama atau keyakinan, regional pemerintahan (kerajaan),
letak geografi, dan pelaku bisnis perdagangan. Tetapi peran
pembangunan ekonomi dan wilayah di Meulaboh tercipta dengan
komoditas-komoditas unggulan yang dilirik oleh pedagang luar,
Belanda, India, Jazirah Timur, Inggris, Portugis, Amerika Serikat,
dan negara-negara lainnya yang hadir pada detik-detik atau saat
peperangan Belanda dengan Aceh yang berefekpositif atau
negatif pada segala lini kehidupan masyarakat Aceh nantinya.

49
Henry Chambert-Loir sultan Fansuri dalam Sultan, Hakim dan Pahlawan. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole Francaise dExtreme-Orient, 2011

40 TEUKU DADEK - HERMASYAH


BAB II

MEULABOH
PERIODE KOLONIAL

M
eulaboh menjadi taman idaman para kolonial
Belanda dengan menempatkannya sebagai sentral
perdagangan dan pusat pengontrolan kewenangan
di wilayah bagian Barat, yang kemudian dikenal oleh belanda
Westkust van Atjeh. Van Langen saat menjabat posisi penting di
Meulaboh telah menilik peta lengkap wilayah penghasil Lada
tersebut, bersamanya ditandai dengan regional penting daerah
penghasilan secaratopografi, geologi, hidrologi, iklim cuaca,
perbatasan wilayah, dan lainnya.
Dengan menempatkan Meulaboh sebagai pusat
pemerintahan pantai Barat, maka sentralisasi kolonial di
wilayah pantai barat selatan tertumpu ke Meulaboh. Demikian,
segala administrasi pemerintahan di Meulaboh diubah, sesuai
dengan aturan-aturan pihak penguasa. Susunan pemerintahan
di Aceh pra kemerdekaan seperti yang telah diatur pada waktu
pemerintahan Belanda merupakan sebuah keresidenan, yang
diperintah oleh seorang residen ditunjuk dari Batavia atau
melalui persetujuan dari Banda Aceh. Sistem ini, hampir ada di
seluruh wilayah Nusantara sebagai daerah jajahan kekuasaan
Kolonial Belanda.
Namun demikian, saat kami menulis (membaca) Aceh
periode kolonial, mungkin sulit untuk dapat memisahkan

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 41


dengan perjuangan-perjuangan Aceh di periode tersebut.
Kadangkala kisah-kisah perjuangan dan tuntutan keadilan
yang diperoleh di masyarakat lebih kental dari tulisan laporan
ataupun penelitian opsir Belanda. Dari kedua versi tersebut akan
kita peroleh info yang sama, sama-sama mengklaim menang,
kemenangan dengan menewaskan ribuan lawan dalam perang.
Tentu kita pahami tidak ada yang ingin disebut kalah perang
dalam sejarah, setidaknya untuk sebuah laporan ke pimpinan
atau kisah ke generasi selanjutnya.
Pada bab ini, tentu tidak dapat dijauhkan dari tulisan-tulisan
para opsir Belanda, termasuk dalam bahasa (Belanda) mereka.
Sebagaimana yang telah kita kemukakan di bab sebelumnya dari
isi buku van Langen tentang sastra dan hikayat karya orang
Aceh dibagian Barat (west kust van Atjeh). Ada dua klasifikasi
hikayat dimana kisah Pocut Muhammad dan Malem Dagang
tidak kami ikutkan dalam bab ini; pertama karena hikayat
tersebut menceritakan kisah epos Kesultanan Aceh, periode
sebelum Belanda menginjak kakinya di Aceh, walaupun karya
itu lahir periode kolonial.
Sedangkan beberapa hikayat epos karya sastra perang
dengan Kolonial Belanda merupakan karya yang lain saat
perang Aceh ataupun sesudahnya. Maka dengan beberapa teori
postkolonial atau sejenisnya mungkin relevan diterapkan untuk
hikayat tersebut, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Tengku Di
Meukek, Hikayat Teungku Cut Ali, dan sebagainya yang memiliki
pengaruh post-kolonial dalam hikayat atau sebuah karya sastra.
Perlu disebut mengapa kami berkutat pada hikayat tersebut, tidak
lain karena catatan literatur (manuskrip) tersebut merupakan
referensi kehidupan masyarakat sebelumnya, cerminan tradisi,
dan kekuatan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Aceh.
Karenanya, hikayat-hikayat yang lahir sebelum periode
kolonial akan berbeda dengan periode setelahnya. Tentunya,

42 TEUKU DADEK - HERMASYAH


kita akan sepakat dan banyak sumber menyebut perang Aceh
melawan Belanda dimulai saat Gubernur Hindia Belanda
yang berpusat di Batavia mengeluarkan ultimatum Belanda 26
Maret 1873, atau sejak perang ditabuh 4 April 1873 di Kutaraja
(Banda Aceh), sebagai awal koloniliasme di Aceh. Namun, harus
dipahami bahwa hingga sampai konflik perang terjadi, tentu
memiliki runutan sejarah yang cukup panjang bagi keduanya, di
mana banyak pihak yang ikut serta mengambil untung ataupun
melepaskan diri sebelum dan sesudah momen tersebut. Bahkan
beberapa sumber menyebutkan bahwa bagian belahan Aceh
selain Kutaradja telah diacak oleh Belanda sebelum ultimatum
itu diterbitkan, sebagaimana yang akan kita temui dalam
pembahasan nantinya.

Meulaboh di Mata Belanda


Sebagian sejarawan tentu telah menemukan titik nadi
Meulaboh yang memikat pihak asing. Tanah yang memiliki
sumber alam melimpah, dan tempat persinggahan srategis
untuk sebuah pelabuhan di pantai laut lepas. Bagi Belanda,
menempatkan Meulaboh sebagai ibukota Westkust van Atjeh
yang membawahi beberapa mukim dan gampong/desa di
sekitarnya itu bukan tanpa alasan.
Setidaknya ada tiga pertimbangan yang sangat mendasar,
pertama letak geografis segitiga yang dianggap cukup strategis
antara Banda Aceh, Meulaboh dan Pidie. Kedua, letak bandar
atau pelabuhan yang cukup strategis daripada bandar-bandar di
wilayah tetangganya. Dan terakhir, pertimbangan geologi dan
iklim (cuaca) yang lebih baik daripada daerah sekitarnya. Dalam
beberapa penelitian ditemui pernah terjadi bencana alam gempa
dan tsunami beberapa kali di perairan laut lepas Hindia yang
berdampak pada Pesisir Pantai Barat Aceh, seperti gempa tektonik

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 43


yang terjadi di Singkil (Barus) pada Hari Selasa 12 Februari 1861
(1 Syaban 1277 H) yang menghancurkaninfrastruktur Belanda
yang dibangun sejak tahun 1852.
Selain pertimbangan di atas, ada banyak faktor yang
mendorong Belanda menempatkan Westkust van Atjeh di
Meulaboh. Salah satunya hukum adat istiadat, saat pendatang
menjamur di tanah pribumi akan terjadi akulturasi budaya dan
adat di masyarakat, toleransi akan diterima sebagai keberagaman,
perbedaan bahasa, adat, dan ragam tradisi merupakan kekayaan
dengan tetap menjaga sikap saling menghormati. Implementasi
budaya pribumi dan yang diaggap mayoritas tidak menjadi
ancaman bagi komunitas kecil dan pendatang.

Gambar: T. Tjik Meulaboh 1894 (di seputaran Jalan Merdeka sekarang). Ia juga [mungkin]
dikenal Teuku Tjik Abah Itam yang diangkat Belanda karena anak Teuku Tjik Ali semuanya
melawan Belanda.

44 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), seorang antropolog
Belanda yang dikenal Bapak Hukum Adat, fokus tulisannya
berkaitan dengan hukum adat, salah satu karyanya terkenal
Het Adatrecht van Nederlandsch-Indi (Hukum Adat Hindia
Belanda) yang berisi kajian dan kumpulan hukum adat dari 19
lingkungan adat di Hindia Belanda yang berbeda dari tradisi
adat kaum pendatang (Vreemde Oosterlingen- Timur asing,
seperti suku Arab, Tionghoa, dan India).
Hukum adat merupakan sistem hukum yang dikenal
dalam lingkungan kehidupan sosial. Sumbernya dapat
diterapkan melalui peraturan-peraturan hukum tidak tertulis,
biasanya tumbuh dan berkembang dengan seiring waktu dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang,
maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis.
Tentunya kami belum mengetahui sejauh mana korelasi atau
pengaruh hukum adat dan reusam yang diadopsi dari Kesultanan
Aceh di Meulaboh (Weskust van Atjeh) dan yang tersisa saat ini
(setelahnya). Walaupun dapat diyakini, Belanda menerapkan
peraturan pemerintahan yang sama seperti di Banda Aceh
(Kutaradja) dan beberapa daerah lainnya untuk menghilangkan
regulasi yang pernah diterapkan Aceh sebelumnya. Merujuk
kepada Qanun al-Asyi, bahwa hukum qanun dibagi kepada
empat perkara : yang pertama; hukum (dalil al-Quran dan
Hadist), kedua; Adat, ketiga; Qanun, dan terakhir; Reusam.1
Masyarakat di Meulaboh dianggap lebih terbuka dan
heterogen karena berasal dari beragam suku (etnis) dan dari
berbagai daerah. Lazimnya pusat pelabuhan yang dihuni oleh

1
Naskah Qanun al-Asyi Meukuta Alam. Lihat A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah
I. Jakarta: Penerbit Beuna, 1983, h. 70

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 45


beragam etnis dan tidak hanya dikuasai oleh pribumi setempat,
seperti yang tampak di beberapa daerah pedalaman di sekitar
Aceh. Dugaan ini sangat kuat jika dikaitkan dengan migrasi
penduduk ke Meulaboh sejak periode kesultanan hingga akhir
abad ke-19 M. Tentunya migrasi yang dimaksud terjadi bukan
hanya faktor ekonomi saja, akan tetapi juga geologi dan geografi
di Pantai Barat Aceh.
Dia awal abad ke-19 Masehi misalnya, kapal perang Amerika
Potomac, tahun 1832 telah menghukum rakyat Kuala Batu di
Aceh Barat, karena rakyatnya disana dipersalahkan menjarah
kapal dagang Amerika Friendship yang berdagang Lada di
wilayah itu.2 Sepertinya dapat dikatakan ini pertama kalinya
sejarah Amerika seorang presiden mengeluarkan perintah untuk
mempergunakan angkatan bersenjatanya menyerang penduduk
lain di negara asing di Asia.
Jika Amerika menghukum rakyat Aceh Barat akibat
perselisihan itu, tentu pada tahun tersebut Aceh Barat bukan
di bawah kekuasaan teritorial Belanda. Oleh karena itu, dapat
diyakini Meulaboh belum dijamah oleh Belanda sebelum
ultimatum ke Aceh tahun 1873.
Sebagaimana disebut di awal, dari sumber-sumber yang
ditemukan bahwa Belanda telah memasuki pantai barat selatan
sebelum deklarasi perang Belanda dengan Aceh tahun 1873
M.3 Keberadaan dan peran Belanda di sana tentu tidak berbeda
jauh dengan Inggris dan Perancis dalam kerjasama perdagangan

2
Goerge Granville Putnam, Salem Vessels and Their Voyages: A History of the Pepper Trade
with the Islan Sumatra. Salem, Mass: The Essex Institute, 1992
3
Pada tanggal 8 April 1873 angkata bersenjata Belanda dengan enam buah kapal uap, dua
buah kapal angkata laut, lima buah kapal barkas, delapan buah kapal peronda, sebuah kapal
komando, enam buah kapal pengangkut, lima buah kapal layar berada di perairan Aceh
dengan kekuatan 168 orang opsir dan 3198 bawahan. Hari itu juga mendaratlah pasukan
Belanda di pantai Aceh di bawah komando Jenderal J.H.R. Kohler. Lihat E.B Kielstra,
Beschrijving van den Atjeh-Oorlog, Jil. I, 1883, h, 66-67

46 TEUKU DADEK - HERMASYAH


bisnis Lada dan rempah-rempah lainnya.
Pendapat lainnya menyebut sejak mengambil alih Kotaradja
(Banda Aceh) pada Januari 1874, dalam tahun itu Belanda
mulai menggurita ke pesisir pantai Aceh, termasuk Meulaboh.
Taktik yang pertama dilakukan Belanda terhadap Meulaboh
adalah menggunakan korte verklaring, sebuah perjanjian pendek
yang disodorkan Belanda kepada hulubalang-hulubalang yang
mengakui kedaulatan Belanda di Bumi Aceh Barat, beriring
dengan rayuan perjanjian bisnis.
Mohammad Said berpesepsi kuat dan berbeda dengan dua
teori di atas tentang awal perang rakyat Meulaboh melawan
Belanda, bahwa itu terjadi tiga tahun kemudian setelah pendudukan
Banda Aceh, pada tanggal 3 Maret 1877 angkatan perang Belanda
mendarat di Meulaboh.4 Konon, Belanda berhasil meminta datang
Teuku Tjhik Meulaboh (red. Teuku Tjik Ali) yang sudah tua itu ke
kapal perang Deli. Belanda dibawah pimpinan asisten residen R.C.
Kroesen bersama panglima-panglima perang Belanda berhasil
memaksa pengakuan kedaulatan Belanda di Bumi Aceh, dan
dengan senang hati membantu Belanda untuk mendirikan benteng
di Meulaboh dan sekitarnya.
Padahal sejak pendaratan, pasukan Aceh yang siap siaga
dipimpin Teuku Tjik Abdurrahman atau Keujruen Muda dan
panglima lainnya terus menggempur. Dalam kurun waktu
genap dua tahun (1877-1879), Belanda belum mendapat tempat
nyaman di Meulaboh, pasukan Belanda selalu mendapat teror di
mana saja terdapat bivak dan posko, khususnya Merbau, Penaga,
Ujung Tanjung, Meulaboh menjadi daerah maut bagi serdadu.
Catatan Mohammad Said menyebutkan setidaknya ada sembilan
kali pertempuran (penyerangan) dalam setahun, dan lebih 6 kali
pergantian pimpinan tinggi Belanda guna meredam pergolakan

H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, 1985, II, h. 161
4

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 47


di Meulaboh.
Dalam Mededeelingen Afdeeling Bestuur zaken Buitenge
westen Serie A III, disebutkan bahwa tanggal 24 Pebruari 1877
Teuku Kejuruan Chik Lela Perkasa5 telah menandatangani kontrak
politik (korte verklaring) pengakuan kedaulatan Belanda. Jika diteliti
dari pertempuran yang terjadi dan fakta yang diceritakan oleh
Belanda sendiri bahwa Teuku tersebut sudah ditumbangkan dan
digantikan oleh anaknya dapat disimpulkan bahwa kontrak politik
itupun hanya siasat dan tipudaya belaka. Sampai pada permulaan
tahun 1878 tidak ada kegiatan militer Belanda di bagian Meulaboh,
sehingga dapat dipastikan bahwa waktu itu situasi dalam keadaan
status quo.6
Laporan-laporan yang dikirim ke Batavia dan ke Belanda
tentu berbeda dengan realitas di lapangan. Statemen Belanda
yang menyebut dapat menerapkan pemerintahan sipil secepatnya
setelah pendudukannya di Aceh sangat kontras dengan kondisi,
bahkan tentara-tentara Belanda tewas saban hari di Meulaboh,
khusus para petingginya dibawa pulang dan dikebumikan di
kuburan Kerkhoff Banda Aceh. Sebagai aksi balas dendam,
Belanda membakar kampung-kampung yang dianggap sentral
pejuang Aceh, tindakan persuasif hingga diplomatik dilakukan
untuk menaklukkan Meulaboh.
Sebaliknya di pihak Aceh pun tidak sedikit korban
perang dari masyarakat, pejuang dan pimpinan syahid pada
penyerangan-penyerangan pertama Belanda di kawasan Aceh
Barat (Meulaboh dan sekitarnya), Teuku Amin, Teuku Abas,
menyusul pada peperangan-peperangan selanjutnya tokoh-

5
Hingga saat ini masih banyak interpretasi terhadap Lela Perkasa sebuah nama atau satu
jabatan dalam pemerintahan atau kesultanan, seperti posisi Qadhi Malikul Adil, namun
kuat dugaan nama Teuku Tjik Lela Perkasa adalah nama jabatan atau gelar untuk penguasa
di suatu daerah dan lazim digunakan terutama untuk PenguasaMeulaboh.
6
H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, 1985, II, h. 181

48 TEUKU DADEK - HERMASYAH


tokoh pejuang lain, Teuku Umar, Teungku di Rundeng/Teungku
di Meukek, Teungku Malem, Teuku Kejuruan Muda, Panglima
Nyak Asan, Teungku Krueng Kale Kuta Pasi, Teungku Syeh
Dawod, Teuku Said Putih, dan lain sebagainya.
Bahkan, Belanda menutup semua pintu pelabuhan dari
perdagangan internasional. Akibatnya, Inggris mengecam
keras kebijakan embargo sepihak, protes Inggris dari Straits
Settlements dan Inggris kepada Belanda yang menyuruh
membuka Pelabuhan Aceh, adalah didasarkan kepada perjanjian
bahwa Inggris bebas berniaga dengan negeri-negeri di Sumatera,
sebab dengan ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut amat
merugikan Inggris di perairan Hindia.
Perdagangan atas kepentingan bisnis ini menjadikan dua
negara tersebut memilih untuk mencari keuntungan-keuntungan
yang lebih banyak di Aceh khsususnya, dan di Sumatera secara
keseluruhan. Di Pantai Barat Aceh ini misalnya, Inggris telah
memperoleh banyak keuntungan sebelum Belanda singgah,
sebaliknya Belanda mengutip keuntungan di Sumatera Barat.
Pada November 1883 menjadikan kasus Lada tampil lebih
luas di tingkat internasional, saat peristiwa kapal S.S Nisero
milik Inggris yang berlayar dari Surabaya kandas di Pantai Barat
Aceh, tepatnya di Panga, Teunom, empat puluh mil dari di utara
Meulaboh. Kasus itu kemudian yang menunjukkan negara-
negara seperti Inggris dan Belanda saling mempertahankan
kepentingannya.
Anthony Reid cukup panjang lebar menjelaskan dalam
bukunya menjadi salah satu aspek terjadinya konflik di Aceh
yang berkelanjutan7. Walaupun ia masih mempertanyakan kapal
yang masih baru dikepalai oleh Kapten Woodhouse tiba-tiba
kandas berada di Teunom. Di sisi lain, kejadian itu dimanfaatkan

Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh: dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga
7

Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor, 2007, h. 236

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 49


oleh Teuku Imam Muda dari Teunom, seorang tokoh yang
disegani dan musuh Belanda, ia bersama pasukannya menawan
29 awak kapal yang terdiri dari 18 orang Inggris, dan selebihnya
dari berbagai kebangsaan : 2 orang Belanda, 2 orang Jerman, 2
orang Norwegia, 2 orang Italia, 1 orang Amerika, Norwegia, dan
China-. Dalam laporan yang diberikan kepada pihak pengguna
jasa kapal Pinkney & Sons dari Sunderland tahun 1882, bahwa
Nisero sedang dalam perjalanan dari Surabaya ke Suez dan
memutuskan untuk membelokkan kapalnya ke Uleelheue untuk
memuat batubara yang lebih baik8.
Tentu hal ini menimbulkan kecurigaan bagi Belanda bahwa
Uleelheue jauh berada di Banda Aceh daripada ke Teunom.
Mereka melancarkan tuduhan bahwa Nisero sengaja dikandaskan
untuk memperoleh rempah-rempah atau menyeludupkan senjata
di Aceh. Tuduhan tersebut cukup beralasan, sebab Teunom,
Woyla, Bubon, dan sekitar Meulaboh terletak di daerah yang
menjadi pusat budidaya Lada di Sumatera antara tahun 1839
dan 1860. Meski sudah dihuni sejak awal abad itu oleh orang-
orang dari XXII Mukim, Teunom memiliki kelemahan, yaitu
pelabuhannya yang sangat terbuka, dan iklim pesisir pantai yang
kurang stabil untuk kapal, sehingga perdagangan dapat berjalan
hanya selama beberapa hari saja setiap tahun.
Karena kondisi pelabuhan yang kurang mendukung,
menempatkan Meulaboh menjadi satu-satunya pintu gerbang
perdagangan antara barat Aceh dengan luar. Peristiwa Nisero
yang berlanjut pada perundingan demi perundingan antara
Teuku Imam Muda dengan pihak Belanda tanpa membuahkan
hasil, sebagai tokoh sentral yang berpengaruh dan panglima
perang memimpin atas 800 orang anak buah yang berperang

8
Lihat Peuncefote kepada admiralty [Kantor Pelayaran] 31 Januari 1884, F.O. 37/691;
Kennedy kepada Granville tanggal 19 Januari 1884, P.P 1884, Laporan atas kapal S.S Nisero
tanggal 8 November 1883.

50 TEUKU DADEK - HERMASYAH


mempertahankan Aceh Besar dari Belanda pada bulan Februari
1874, dan di Teunom serta di Aceh Barat diperiode berikutnya.
Kebenciannya terhadap Belanda membuat dirinya
bersumpah tidak akan menjual Ladanya kepada mereka, ia
mengumpulkan Lada selama bertahun-tahun memperoleh hasil
hingga mencapai 20.000 pikul dari 6.000 pikul setahun. Akan
tetapi, Belanda mendapatkan hasil Lada dari orang dan tempat
lainnya, dan mendirikan sebuah sentral pos di Meulaboh awal
tahun 1877.
Di atas semua kepentingan ekonomi dari bisnis Lada,
kepentingan berbagai pihak, tawanan kapal Nisero, dan saling
ketidakpercayaan membuat negosiasi Teuku Imam Muda
dengan Belanda buntu dari tuntutan 100.000 guilder dan
pembebasan tawanan serta menuntut Belanda membuka
memblokade pelabuhan-pelabuhan di Teunom. Di pihak lain,
Inggris juga menekan Belanda untuk mengakhiri perang di Aceh
dan membebaskan awak kapal Nisero, semua desakan tersebut
itu ditolak Belanda.
Sebaliknya, Januari 1884 pemerintah kolonial Belanda
memutuskan untuk bertindak keras kepada Teunom. Detasemen
militer Belanda dari Kutaraja (Banda Aceh) mendarat dekat
pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut.
Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi militer Belanda
ini ialah bahwa para sandera diseret lebih jauh ke pedalaman,
dan Teuku Imam Muda pemimpin Teunom melipat gandakan
uang tebusannya.
Sesudah kegagalan tersebut, dengan tekanan Inggris yang
berat melalui perwakilannya di Singapura. Inggris mengambil
alih langsung negosiasi ke Aceh Barat, perwakilan seorang
dewan pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwell menjadi
perunding dan perantara untuk berbicara langsung. Belanda
menyetujui tapi tidak memenuhi semua hak yang diajukan,

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 51


terutama perjanjian diplomatik perbatasan di perairan tersebut
dan hubungan Aceh dengan internasional.
Walaupun negosiasi buntu, beberapa poin penting tercetus
disana, terutama perdamaian dengan Aceh dengan jaminan
negosiator Inggris. Kekhawatiran Den Haag menjadi kenyataan
saat Menteri Luar Negeri Inggris mengirim delegasinya Lord
Granville pada tanggal 26 April 1884, yang bersedia menjadi
perantara untuk memulihkan perdamaian di Aceh.Butir-butir
kesepakatan ini muncul di wilayah Meulaboh, Pantai Barat Aceh,
bukan di sentral pemerintahan Kerajaan Aceh, Kutaraja (Banda
Aceh) yang juga sedang berkutat dengan Belanda.
Sebagaimana yang telah kita ungkapkan peristiwa Nisero di
atas, maka beberapa tahun kemudian muncul kasus penahanan
Kapal Hok Canton yang dipimpin Teuku Umar dan ini
merupakan tindak lanjut contoh kasus yang diperolehnya saat
berhadapan dengan Teuku Imam Muda, dan saudaranya Teuku
Said Putih di Teunom.
Berbeda kasus dengan penahanan Kapal Hok Canton
di Rigah yang dipimpin oleh Teuku Umar pada tahun 1886.
Penahanan sekaligus penyanderaan ini berawal dari usaha
Belanda untuk menangkap Teuku Umar, hidup atau mati
karena kasus pembantai awak Kapal Boeukulen dalam upaya
membebaskan Nisero, akan dihargai kepalanya $ 25.000 tunai.
Akibatnya Teuku Umar menjadi nomor wahid di Aceh, dicari
oleh Belanda dan disegani oleh masyarakat Meulaboh.
Teuku Umar menyadari harga kepalanya itu, maka ia
bertindak lebih cepat daripada seruan Belanda, pada hari Senin
14 Juni 1886, ia menahan kapal Hok Canton yang berbendera
Belanda, menewaskan Kapten Hansen, dan menyandera Nyonya
Hansen, John Fay, serta beberapa awak lainnya. Awalnya harus
ditebus sebesar $ 40.000 oleh Belanda.
Kabar ini cepat tersebar ke Penang, pusat perdagangan

52 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Inggris dan Amerika, namun Belanda bersikap agresif dengan
menahan Teuku Said Putih sebagai sandera dengan tujuan
barter. Sayangnya, orang yang berpengaruh terhadap Teuku
Umar harus dibayar mahal. Teuku Said Putih meninggal dalam
sandera Belanda, sedangkan sandera di tangan Teuku Umar
wajib dibayar.
Pada awal bulan September 1886 Belanda menebus sebesar
$ 25.000, semua sandera dipulangkan ke Banda Aceh, termasuk
nyonya Hansen dan John Fay. Menurut Mohammad Said, saat
itu, mereka sudah berpakaian khas Aceh dengan memakai
sarung dan lancar berbahasa Aceh.9
Penghasilan Lada menjadi komoditas utama di Pesisir Pantai
Barat Utara Aceh, dan terus bertambah hingga akhir abad ke-19
M. Jalur pergolakan Lada dari tahun 1870 bergeser dari bagian
utara (bandar) ke pantai timur. Dapat dikatakan tidak dijamah
manusia sama sekali sebelum tahun 1840, wilayah antara
Diamond Head dan Tamiang memanfaatkan tanahnya yang
subur dan jarak yang dekat dengan Penang untuk mengalahkan
wilayah pantai barat dalam produksi Lada pada tahun 1860-an.
Wilayah di sebelah timur menjadi wilayah pertumbuhan pesat
yang baru bagi Aceh, tempat mengeruk keuntungan dengan
cepat, salah satunya wilayah Simpang Ulim, pemukiman yang
berhasil di antara pemukiman-pemukiman yang berkembang di
sana pada tahun 1870.
Mungkin timbul tanda tanya mengapa peralihan komoditas
Lada migrasi ke pantai Timur Aceh pada periode tersebut.
Keamanan dan sulitnya memasuki wilayah pantai barat menjadi
salah satu alasan yang berakibat menurunnya aktivitas kapal
berlabuh kesana. Namun, demikian dengan wilayah bencana

9
H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, 1985, II, h. 192.
Menurut Mohammad Said, para sandera berada di pedalaman Aceh Barat selama kurang
lebih 3 bulan, akan tetapi menurut Abdul Karim Ms, para tahanan berada selama dua tahun.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 53


menjadi salah satu faktor yang berakibat pada transmigrasi
penduduk di Pesisir Pantai Barat Aceh, sebagaimana yang telah
diungkap beberapa data gempa di Aceh

Literatur Aceh Periode Kolonial


Sebagaimana disebut bahwa kepedulian masyarakat
Aceh kepada karya intelektual semakin berkurang dengan
gencarnya peperangan kolonial Belanda dengan Aceh. Pola
pikir masyarakat terbentuk oleh situasi politik dan ekonomi
yang berpengaruh kepada agama, budaya, dan pendidikan.
Intensitas keamanan dan kenyamanan menjadi prioritas
utama, walaupun harus dalam situasi yang sulit.
Bukan hanya itu, tradisi Aceh yang menulis dan menyalin
semakin berkurang, terkecuali di lembaga-lembaga pendidikan
untuk kepentingan personal atau kelompok di lembaga. Transisi
sebuah budaya diakibatkan beberapa faktor yang dianggap
cukup berpengaruh dalam jangka waktu yang lama.

Hikayat Versi van Langen

Van Langen pernah hidup dan bertugas di Meulaboh,


untungnya dia sempat menyalin ulang hikayat-hikayat yang
dibukukan dalam karyanya. Beberapa karya (hikayat) berbentuk
sastra keilmuan dan keagamaan disamping hikayat-hikayat yang
memiliki cerita fiksi yang disalin di wilayah penghasil Lada
(seuneubok) tersebut. Tentunya belum ada kajian mendalam
terhadap apa yang dilakukan oleh van Langen terhadap karya
orang Aceh tersebut, akan tetapi cukup menjadi catatan kita
bahwa hikayat ini memiliki makna penting bagi seorang perwira
Belanda yang memiliki posisi besar dan strategis di Aceh,
sehingga ia menyalin ulang dan mengkajinya. Adapun hikayat

54 TEUKU DADEK - HERMASYAH


tersebut---Kemungkinan besar--diberi judul oleh van Langen
atas kesesuaian tema atau kandungan isi naskah, di antaranya:
Hikayat si Bungkoek Jipeungeut Peurumoeh lee Pancuri.
Hikayat Inoeng Meusunoeh Aneuk.
Hikayat Jin Meusunoeh Peudati ngoen Insan.
Hikayat Cicem Ghang Tipee Eungkoet.
Hikayat Ureng Buta Gigeh Hatee.
Na Saboeh Hiem.
Hikayat Banta Beuransah ngon Meutuwah Hana Tara.
Hikayat Diwa Singsaripa [sangsarifa].
Hikayat Baginda Syah Keubit neu Meukawen Meuhet ngoen
Putri Idara.
Hikayat Malem Dagang.
Hikayat Pocut Muhammad.10
Sejauhmana hikayat-hikayat yang dicatat oleh van Langen
tersebut dapat mewakili realitas sejarah Meulaboh khususnya,
dan Aceh Barat keseluruhan tentunya sulit dijawab. Sebahagian
hikayat-hikayat dalam bahasa Aceh di atas tidak menyentuh
substansial tentang asal Meulaboh dan Aceh Barat, namun
itu akan tetap penting untuk mengulang kaji pemikiran dan
peradaban masa lalu di Aceh.
Hadirnya hikayat-hikayat tersebut menunjukkan penge-
tahuan sosial-budaya dan warisan khazanah serta kearifan
masyarakat setempat. Karena judul-judul naskah yang
ditampilkan dalam buku van Langen tersebut memiliki
keunikan tersendiri, sebab belum diperoleh varian lainnya di
luar Meulaboh dan Aceh Barat, kecuali dua naskah terakhir
(Hikayat Malem Dagang dan Hikayat Pocut Muhammad) yang
secara umum ditemui di wilayah Melayu Nusantara.

10
K.F.V van Langen, Handleinding voor de BeoefeningAtjehsche Taal. Sravenhages.
Martinus Nijhoff, 1889: 95-170

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 55


Memang, daya tarik syair di Aceh jelas terlihat pada isinya
yang bernilai sejarah, bukan pada bentuknya. Walaupun
strukturnya juga masih berusaha mengikuti aturan-aturan yang
ada, sebab syair sejarah sebagai suatu genre sastra tidak banyak
mempedulikan harmoni dan estetika. Dan hikayat-hikayat
(syair) di atas termasuk kategori yang tidak menghiraukan
keindahan sastra tersebut.
Hikayat-hikayat yang hadir di periode Belanda dan
setelahnya didominasi oleh hikayat epos, yaitu yang memiliki
kandungan roman epik dan patriotisme (emotional quantity),
kisah Hikayat Maleem Dagang dikarang oleh Tgk Chik Pantee
Geulima pada 8 Jumadi al-Awal 1306 H (10 Januari 1889
M) menceritakan sosok perjalanan Malem Dagang sebagai
Laksamana Muda ke Negeri Malaka untuk mengusir Portugis.
Demikian pada Hikayat Prang Sabi, sastra epos jihad dalam
bahasa Aceh yang sangat fenomenal dikarang oleh Tgk H. Chik
Muhammad Pante Kulu lahir pada tahun l25l H (l836 M) di
Desa Pante Kulu, Titeue, Pidie, juga memiliki nilai semangat
juang yang tinggi terhadap realitas masyarakat di bawah kendali
kolonial dan penegakan agama dari penguasa Belanda.

Hikayat Teungku di Meukek dan Hikayat Ranto

Hikayat perjuangan di barat Aceh juga terdeteksi dari


Hikayat Teungku di Meukek yang dikarang oleh Teungku Malem
berasal dari Trumon dan kemudian hari menetap di Peunaga.
Hikayat tersebut menggambarkan perlawanan rakyat Aceh
di daerah Meulaboh yang digerakkan oleh seorang pemimpin
agama terhadap rezim pemerintahan kolonial Belanda dan
koloninya. Hikayat ini kemudian lebih dikenal oleh seluruh
rakyat Aceh atas jasa beberapa penyalin naskah, salah satunya
Panglima Nyak Amin dari naskah Juhan Muda Pahlawan, yaitu

56 TEUKU DADEK - HERMASYAH


putra Lela Perkasa, penguasa Meulaboh. Sosok Lela Perkasa
memang bukan kisah asing di masyarakat Aceh Barat, hanya
saja perlu dikaji lebih lanjut tokoh tersebut, sebab dalam naskah
Tazkiyatut Tabaqat pada periode Sultan Alauddin Johan Syah
1173 H (1759 M) di kesultanan Aceh, disebut nama tersebut
merupakan posisi (jabatan) di Kesultanan Aceh yaitu Menteri
Lela Perkasa sebagaimana posisi Qadhi Malik al-Adil, bukan
sekedar ketokohan atau personal.
Apa yang disebut di atas perlu dikutip suntingan dari kajian
Ramli Harun, menyebut bahwa keberadaan Teungku di Meukek
memperkuat Negeri Rundeng dianggap oleh para hulubalang
yang berkuasa sekitar negeri itu dapat mengganggu ketertiban
dan keamanan. Belanda yang mengetahui hal itu segera
memanggil para hulubalang dan menghasut mereka supaya
menyerang Negeri Rundeng dan melawan Teungku di Meukek,
seraya membekali mereka dengan alat senjata yang diperlukan.
Para hulubalang yang berkedudukan sebagai raja menyambut
baik bantuan Belanda dan mempersenjatai anak negeri. 11
Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar
berita bahwa pihak Belanda akan membantu para hulubalang,
mereka semakin giat memperbanyak benteng-benteng
pertahanan dan mengatur siasat perang di masing-masing
tempat. Dengan semangat yang tinggi Teungku di Meukek
dengan khutbahnya yang berapi-api mengumumkan perang
jihad fisabilillah melawan Belanda dan kaki tangannya.
Awal terang bulan dianggap hari yang paling baik untuk
memulai perang menyerang Rundeng. Di bawah pimpinan
Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima Nyak Yeb,
beserta Lila Perkasa dan berpuluh-puluh panglima lainnya secara

Ramli Harun, suntingan Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku di Meukek. Jakarta: Dep. P
11

& K, 1983. H, 40-41. Belum ada penelitian komprehensif sosok Teungku di Meukek dan
Teungku di Rundeng, dua nama satu aktor atau berbeda.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 57


serentak rakyat Meulaboh menyerang Rundeng dari segala sisi.
Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu
kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan hulubalang antara
lain Kuta Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet dan Kuta Sijaloh.
Memahami konflik internal yang terjadi antara ulama dengan
hulubalang (uleebalang) merupakan bagian dari skenario yang
diterapkan oleh Belanda. Sisi lain, beberapa penguasa lokal ingin
mendapat tempat kembali, dengan otonomi-otonomi yang ada sejak
kesultanan. Tidak hanya di Aceh Barat, akan tetapi juga dialami di
bagian Aceh lainnya. Perselisihan tersebut juga terjadi di Banda
Aceh dan Aceh Besar, demikian pemimpin di Pidie dan Samalanga.
Faktor adu domba ini kerap kali diakibatkan komunikasi antara
pemimpin Aceh lambat dan terhalang oleh pos-pos Belanda.
Naskah-naskah yang disebut oleh van Langen sebagian
besarnya terlepas dari fenomena konflik peperangan antara
Belanda dengan Aceh. Di Aceh, originalitas karya Aceh yang
terkenal antaranya Hikayat Ranto, yang mampu menggambarkan
Meulaboh dan Aceh Barat di bidang ekonomi dan sosial budaya
masyarakat disana. Hikayat ini lebih daripada sebuah karya
sastra, yang melukiskan keadaan masyarakat pada masa itu
berdasarkan pengalaman pengarang sendiri.
Pengarang Hikayat Ranto adalah Leube Isa, sebagaimana
disebut dalam naskahnya;
Nyang han leumah lon peuleumah
Jinoe lon peugah nan bu meusoe
Leube Isa nan untong cut
Meunan geuseubot le ureueng nanggroe
Dudoe nibak nyan nama teumpat
Geubalek adat nama nanggroe
Teuma geuhei Leube Bambi
Nan geurasi akhee dudoe.
Ia berasal dari Bambi daerah Pidie, kemudian bermukim

58 TEUKU DADEK - HERMASYAH


di Keulibeuet, Mukim XII, ia dikenal dengan nama panggilan
Leube Bambi. Isi hikayat menggambarkan kehidupan para Petani
Lada di Aceh Barat, yang pada masa itu biasa disebut Ranto, atau
kemungkinan itu disebut daerah 12 Ranto. Pembisnis Lada
dianggap profesi paling menggiurkan di Aceh Barat pada saat
itu, sehingga banyak pendatang dari luar daerah Aceh Barat
hijrah ke daerah tersebut.
Apa yang dikisahkan oleh Snouck tentang buruknya kondisi
tempat dan rusaknya sosial di tempat Mukim XII (12 Ranto)
adalah semata-mata untuk diskriminasi dan menjauhkan para
pedagang Lada dari luar ke daerah tersebut, sehingga bisnis ini
dapat dimonopoli oleh Belanda seluruhnya. Menurutnya, tidak
ada orang Aceh yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk
mengadu untung di perkebunan Lada tersebut, dapat kembali
tanpa cedera raga ataupun jiwa. Demam merusak kesehatan,
dan segala kenyamanan hidup tidak ditemukan. Moral di
ranto adalah paling rendah karena tidak ada orang Aceh yang
diperkenankan ataupun mampu membawa anak-isteri ke sana.12
Padahal kisah peranto Lada ini dapat disinkronisasi
dengan data-data peneliti luar, penjelajah asing, dan para bintara
Belanda. Sehingga negara-negara luar, seperti Inggris, Amerika,
dan Belanda,lalu-lalang kapal layar di perairan barat Aceh
salah satunya- untuk bisnis rempa-rempah. Aktivitas bisnis di
pelabuhan-pelabuhan pesisir pantai barat dengan kapal-kapal
besar menjadi suatu pemandangan yang biasa, di sana transaksi
antara petani Aceh dengan pihak luar terjadi setiap harinya
dalam volume yang berbeda.
Mereka, para pendatang petani Lada itu terdiri dari para
perantau yang meninggalkan sanak keluarga mereka di kampung

12
C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, terj. The Achehnese. Jakarta: Yayasan
Soko Guru, 1985, h. 127

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 59


halaman, termasuk dari selatan, utara, dan timur Aceh, ataupun
dari luar wilayah Kesultanan Aceh.

West Kust van Atjeh


Berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jenderal
Hindia Belanda tanggal 18 September 1899 No. 25 yang
dituangkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie (Lembaran
Negara Hindia Belanda) No. 259. Aceh dan daerah-daerah
bawahannya dibagi ke dalam 2 (dua) wilayah keresidenan, yaitu:
De afdeeling Groot Atjeh (wilayah Aceh Besar) dipimpin
oleh seorang Assisten Residen dengan ibu kotanya Koeta
Radja (Kutaraja) (red. Banda Aceh). Dan dibagi dalam 9
(sembilan) onderafdeelingen.
De afdeeling Onderhoorigheden van Atjeh (wilayah daerah-
daerah bawahan Aceh) juga dipimpin oleh seorang Assisten
Residen berkedudukan di Koeta Radja. Afdeeling ini dibagi
dalam 7 (tujuh) onderafdeelingen. Dan masing-masing
onderafdeelingen ini dibagi ke dalam beberapa landschappen
(kenegerian). Meulaboh terdiri atas 7 (tujuh) landschappen
yaitu:
Wojla (Woyla);
Boebon (Bubon);
Lho Boebon (Lhok Bubon);
Meulaboh;
Seunagan;
Tripa;
Seuneuam.
Periode berikutnya, keresidenan Aceh dibagi atas empat
afdeling(sekarang setingkat kabupaten/kota) yang dikepalai oleh
seorang asisten residen, yaitu:
Afdeling Groot Atjeh, (Aceh Besar) ibukotanya Kutaraja,

60 TEUKU DADEK - HERMASYAH


termasuk ke dalamnya wilayah tiga sagi; Mukim XXII,
Mukim XXV, dan Mukim XXVI
Afdeling Weskust van Atjeh,(Aceh Barat) ibukotanya
Meulaboh.
Afdeling Noordkust van Atjeh(Aceh Utara) dengan ibukota
Sigli,
Afdeling Ooskust van Atjeh(Aceh Timur) dengan ibukota
Langsa.
Pada tahun 1913 pemerintah kolonial Belanda menambah
satu lagi afdelingdi Aceh, yaitu:
Afdeling Alaslanden (Alas) ibu kotanya Koeta Tjane
(Kutacane).
Pembagian afdeling-afdeling tersebut di atas ke dalam
beberapa onder afdeling yang dikepalai oleh seorang controleur
(Aceh: kontule). Jumlah seluruhnya 22 onder afdeling, dan dari
tingkat residen sampai controleur dijabat oleh orang Belanda.
Selanjutnya onder afdeling dibagi lagi atas distrik-distrik yang
dikenal dengan nama uleebalang schap. Distrik ini dibagi atas
mukim-mukim dan dibawahi atas beberapa gampoeng (desa).
Memang, hingga saat ini di wilayah Aceh, satu kemukiman
terdiri dari beberapa gampoeng, walaupun jumlahnya berbeda-
beda antara satu mukim dengan lainnya.
Sistem Belanda tersebut diteruskan oleh Jepang (1942-
1945) dengan perubahan nama (istilah)nya. Jepang tidak banyak
mengubah struktur wilayah administrasi ini kecuali penggantian
nama dalam bahasa Jepang, seperti afdeeling menjadi bunsyu,
yang dikepalai oleh bunsyucho, dan onderafdeeling menjadi gun
yang dikepalai oleh guncho, demikian landschap menjadi son
yang dikepalai oleh soncho.13
13
Muhammad Ibrahim, dkk. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta:
Depdikbud, 1991) 178

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 61


Akan tetapi, jika ditinjau lebih dalam pembagian wilayah
regional Aceh oleh Belanda pada dasarnya sudah dilakukan

Gambar:
Peta
Westkust
van
Atjeh
versivan
Langen

oleh Kerajaan Aceh. Di bawah pemerintahan sultan Alauiddin


al-Qahhar (1541-1568), kerajaan Aceh membentang dari pantai

62 TEUKU DADEK - HERMASYAH


timur Tamiang ke pantai barat Ujung Raja.14
Maka, pada periode Sultan Iskandar Muda (1607-1636) saat
ia menaklukkan kerajaan Deli, tahun1021 H (1612 M), dan Siak
(Bintan) tahun 1023 H (1614 M), yang kemudian diberi istilah
Rantau Dua Belas, wilayah yang terletak antara Anyer Bangis
(Air Bangis) Pasaman-Sumatera Barat dan Meulaboh di tepi
pantai barat Sumatera.15
Menurut van Langen bahwa batas Aceh Barat secara geografis
membentang dari pantai barat Aceh dari Raja Point (Belanda:
Koningspunt), Ujong Raja ke Ujung Pati Kala (perbatasan dengan
Singkil). Namun wilayah utama metropolitan berarti hanya
bagian dari pantai di bawah ini, yang dipahami antara Tjarakman
(Caramon) Koewala (Kuala) dan Udjung Tjolok Batu.
Persoalan lainnya yang diungkapkan oleh van Langen
adalah perbatasan wilayah. Perbatasan timur Pantai Barat (West
Coast Atjeh) dibentuk oleh Pedirsche Bovenlanden, Gayo Alas
dan negari-negari sekitarnya. Batas yang tepat untuk mencapai
suatu batasan yang jelas saat itu tidak menunjukkan wilayah
masing-masing, sebagai kepala pemerintahan sendiri biasanya
tidak tahu interior sedetailnya dan seberapa jauh daerah mereka.
Ringkasnya batas-batas pembagian pantai barat Aceh
meliputi:
Cara Mon (kuala Tjarakmon dan Ujung Tjolok Batu) utara
sungai, di sebelah barat Samudera Hindia;
Pedir (Pidie) atas wilayah Timur, Gayo dan tanah Alas;
Garis Selatan antara lahan sekitar Kuala Labuhan Tangkar
bukit yang terletak Pintoe Rimba ke Ulee Bengkong.

14
K.F.H. Van Langen, De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder Het Sultanaat,
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1888:9
15
K.F.H. Van Langen, De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder Het Sultanaat,
13

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 63


Pejuang dan Srategi Perang Meulaboh
Periode kolonial telah banyak melahirkan tokoh-tokoh
penting yang menggerakkan jiwa semangat perang untuk
memilih lebih baik syahid di medan perang daripada meninggal
di rumah. Motto prang sabi (perang sabil) itu menumbuhkan
semangat patriotisme pada masyarakat Meulaboh. Selain tokoh-
tokoh yang kita sebut di atas, tentu masih banyak pahlawan
lainnya yang berjasa, dikenal ataupun tidak terekam.
Tokoh pejuang yang terkenal di Meulaboh yang membuat
kerugian besar Belanda, salah satunya yang terbaik Teuku
Umar (1854-11 Februari 1899).16Menurut Ny. M.H. Szekely
Lulofs dalam bukunya berjudul Tjoet Nya Din, mengatakan
bahwa Teuku Umar adalah putera dari Teuku Cut Mahmud
yang datang ke Meulaboh dan kawin di sana, beroleh putera
yang dinamai Teuku Umar. Ayahnya adalah saudara dari Teuku
Nanta, uleebalang Mukim VI Aceh Besar, dan karena itu berdasar
sumber ini asal keturunan Teuku Umar dari Aceh Besar, hanya
ibunya orang Aceh Barat bernama Tjut Mohani anak uleebalang
Meulaboh Teuku Tjik Meulaboh (Teuku Tjik Ali).
Senarai dengan sumber asisten residen Belanda di

Teuku Umar mendapat gelar sebagai pahlawan nasional Indonesia (SK


16

Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973), namun T Tjut


Yatim---seorang tokoh dan pelaku sejarah yang ikut dalam Tim pengusulan
kepahlawan tersebut----di Meulaboh mengatakan,Teuku Umar diangkat
pahlawan Nasional pada 1955 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor
217/1955 dan diperingati untuk pertama sekali tahun 1957 dan Cut Nyak
Dhien diangkat jadi pahlawan 1964 dengan Surat Keputusan Presiden
Nomor 106 Tahun 1964 tanggal 2 Mei1964, dan gelar Teuku Johan
Pahlawan Panglima Besar Hindia Nederland, sebagai putra Aceh yang
berani dan gigih berasal dari Meulaboh. Biografi lengkapnya lihat, Abdul
Karim Ms, Riwayat Teukoe Umar, Djohan Pahlawan, Panglima Perang
Besar di Tanah tjeh. Medan: Aneka, 1936. H. Mohammad Said, Aceh
Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, 1985.

64 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Meulaboh, van Langen mengatakan bahwa Teuku Cut Mahmud
adalah putera dari Teuku Nanta Chik Panglima Perang dari
Sultan Sulaiman. Ia berputera 4 orang, Teuku Cut Amat, Teuku
Putih Simalur, Teuku Umar dan Teuku Musa. Encyclopedie van
Nederlandsch Indie juga mencatat bahwa Umar putera Teuku
Cut Mahmud dan cucu Teuku Nanta dari VI Mukim.
Bagi kolonial ia dianggap sebagai aggressor awalnya,
namun berubah dengan gelar pengkhianat, tapi ia seorang
pahlawan dalam pandangan Aceh. Sikapnya selama berjuang
menentang Belanda, maupun memihaknya dan kemudian
melawan kembali secara luar biasa hebat, akhirnya mendapat
gelar Panglima Prang Besar Government Hindia Belanda dari
pemerintah Belanda, dan ia juga diistilahkan burung oleh van
Heutsz atas kecerdikan dan kepiawaiannya.
Beberapa sumber mencatat bahwa istri pertama Teuku
Umar bukanlah Cut Nyak Dhien, namun Cut Nyak Dhien-lah
yang mengilhaminya kembali berjuang di barisan pasukan Aceh.
Inspirator Cut Nyak Dhien yang didukung baik oleh Teungku
Fakinah, sebagai teman baiknya di Lam Krak Aceh Besar. Kedua
wanita ini memiliki prinsip kuat dan kokoh, bepegang teguh
kepada agama, dan meyakini sepenuhnya kehidupan akhirat
dan perjuangan suci dalam melawan Belanda.
Atas kebesaran hati dan ketabahan Cut Nyak Dhien telah
menyakinkan Teuku Umar untuk kembali berjuang bersama
rakyat Aceh. Sosok yang sangat berpengaruh saat suami masih
hidup dan setelah meninggal, ia meneruskan perjuangan Teuku
Umar hingga tertangkap pada 4 Nopember 1905 dan dibuang
ke Seumeudang dan meninggal di pengasingan pada tahun 6
Nopember 1908.
Sumber Belanda menyatakan bahwa dengan menyunting
Cut Meuligoe dan dianugerahi anak; Teuku Sapeh, Teuku Raja
Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh dan Teuku Bidin

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 65


[Abidin]. Kemudian Teuku Umar juga menikahi dengan Cut
Nyak Sapiah. Perkawinan dengan tiga wanita utama ini diungkap
dalam sebuah hadih maja Aceh : Cut Nyak Dhien geutung ke
gagah, Cut Meuligoe geutung keu tuah, Cut Nyak Sapiah Geutung
keu bangsa.
Teuku Umar syahid pada hari Sabtu subuh, 11 Februari
1899 (30 Ramadan 1316 M), penutup bulan Ramadhan, ia terkena
tembakan serdadu Belanda di Suak Ujong Kalak, Meulaboh,
saat para pejuang sedang menunaikan sahur. Di tempat ia
menghembus nafas terakhir didirikan tugu (monument) batu
putih oleh J.J. Smicht atas perintah Gubernur Militer Aceh yang
saat itu dipimpin oleh Letnan Jendral H.N.A Haart.17

Gambar: Monumen peringatan tertembaknya Teuku Umar di dekat pesisir pantai Aceh Barat.
Tugu tersebut tertulis di sini Teukoe Umar meninggal 11 Febuari 1899 (sumber: tropen)

17
Kuburan Teuku Johan Pahlawan mantan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia
Belanda baru diketahui langsung tanggal 1 Nopember 1917 atau 18 tahun setelah ia
mangkat. Seorang pegawai purbakala Belanda atau Oudheidskunddigendienst, J.J. De Vink
melihat kuburan Teuku Umar setelah mendapat izin Teuku Chik Ali Akbar (Uleebalang
Kaway XVI) dan Teuku Panyang, Ulee Balang Meugo, dengan syarat kuburan tersebut tidak
diganggu/dibongkar lagi.

66 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Sebelumnya, sekitar lima tahun sebelum Teuku Umar berkiprah
di Meulaboh, telah berjuang Tgk Di Rundeng di Meulaboh.
Menurut beberapa sumber dan Hikayat Teungku di Meukek
yang pernah ditransliterasi oleh G.W.J Drewes dalam bahasa
Inggris.18 diperoleh bahwa beliau merupakan sosok dai dan
penyebar Islam sejak tahun 1872 di Aceh. Pasca dikuasai keraton
kesultanan Aceh oleh Belanda dan misi mereka mulai merayap
ke wilayah-wilayah sekitarnya, pada saat itu ia hijrah ke Dama
Tutong, Aceh Selatan.
Di bumi penghasil Pala itu, ia populis dengan sapaan
Tgk. Dama Tutong, beliau sempat bertempur melawan pasukan
Belanda ketika mendarat di Tapak Tuan. Satu dasawarsa
Belanda di Meulaboh, ia pun menggalang kekuatan untuk
berperang di sana, dengan semangat perjuangan perang sabil.
Ia memilih lokasi yang dianggap strategis sebagai markas dan
basecamp pejuang, tepatnya di Desa Rundeng sekarang serta
Desa Gampong Darat yang saling berbatasan, Kecamatan Johan
Pahlawan wilayah Timur Kota Meulaboh, Aceh Barat, Di sana,
beliau kembali di sapa masyarakat dengan sebutan Tgk di
Rundeng.
Selain itu, tokoh dan pejuang lainnya yang patut dikaji
lebih luas, di antaranya dari kawasan pedalaman pantai Barat
Aceh yang dipimpin oleh Teuku Keumangan di Nagan, Teuku
Kejrun Woyla (Teuku Tuha), Teuku Kejrun Tunong (Teuku
Nyak Khadam) di Pedalaman kaway XVI. Mereka merupakan
pemimpin-pemimpin handal dan disegani oleh Belanda, namun
biografi mereka hingga saat masih sangat minim, padahal
kebesaran para pejuang sangat diagungkan oleh masyarakat
Aceh Barat, sebaliknya itu dianggap paling membahayakan

G.W.J Drewes, Two Achenese Poems. Kemudian disunting kembali oleh


18

Ramli Harun, Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku di Meukek, Jakarta:


Dep. P & K, 1983.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 67


terhadap kekuasaan Belanda.
Pada dasarnya, Belanda kehabisan taktik dan cara
mengalahkan Aceh, maka diketahui Belanda beberapa kali
melakukan penelitian tentang Aceh, di antaranya C. Snouck
Hurgronje alias Abdul Ghafar,19telah berada di tengah-tengah
masyarakat Aceh antara Juli 1891 sampai Pebruari 1892.
Laporannya Verslag omtrent religieus-politieke toestanden in
Atjeh, yang kemudian diperluasnya ke dalam buku De Atjehers,
mengupas kekurangan bangsanya dalam menghadapi Aceh.
Sarannya diaplikasi oleh Gubernur Militer Belanda Johannes
Benedictus van Heutsz untuk dapat menguasai Aceh melakukan
beberapa strategi;
Rakyat Aceh merupakan satu rantai yang tersambung,
putuskan hubungan tersebut dengan menghentikan usaha
mendekati sultan, dan orang besarnya, sebab sultan tidak berkuasa
penuh pada rakyat. Kalau dia dapat diajak damai, tidaklah dengan
sendirinya berarti bahwa yang lain-lain akan turut serta berdamai.
Sultan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa berunding dengan
Teungku Kali Malikul Adil, Teuku Ne, Panglima Meuseugit Raja
dan Imam Leungbata. Para pembesar yang empat ini pun tidak
dapat bersikap tanpa bersandar pada tiga panglima Sagi. Panglima
Sagi tergantung pula pada ketujuh kaum, yaitu wakil rakyat.
Sedangkan rakyat tidak akan berbuat apa-apa, kalau tidak sesuai
dengan pendapat-pendapat ulama.
Tidak berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya,
demikian juga tidak mengadakan perundingan dengan musuh
yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama. Sebab

19
Snouck Hurgronje anak seorang pendeta, mempunyai nama kecil Christiaan, lahir 8
Pebruari 1857, di Oosterhout (Nederland) di mana dia mulai memasuki bangku sekolah
rendah, untuk kemudian masuk HBS di Breda, untuk bahasa Latin dan Yunani. Tahun 1874,
dia masuk universitas di Leiden, mula-mula jurusan teologi, kemudian sastra, bahasa Arab
dan agama Islam.

68 TEUKU DADEK - HERMASYAH


keyakinan merekalah yang menyuruh mereka melawan Belanda.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Rayeuk atau rebut kembali
Aceh Besar. Maka pada periode ini kita tahu strategisnya Aceh
Besar, dan banyak pejuang-pejuang Meulaboh (Aceh Barat)
hijrah dan pernah berjuang di sini, termasuk Teuku Raja Teunom
dan Teuku Umar
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh,
dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-
jalan irigasi, giatkan pertanian, kerajinan dan membantu
pekerjaan sosial rakyat Aceh.20
Usulan Snouck kepada pemerintah Hindia Belanda adalah
membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak
bangsawan Aceh dan membuat korps pangreh praja (Inlands
Bestuur atau Inlandsch Bestuur) senantiasa merasa diri kelas
memerintah. Sistem inilah yang kemudian membelah status
sosial di Aceh antara ulama dan uleebalang.
Ide-ide Snouck tidak selamanya dapat diterapkan, terutama
awal abad ke-1900-an, sesuai perkembangan politik di Aceh
dan perdebatan di pemerintahan Belanda yang mengalami
kerugian perang serta distabilitas pemerintahan Belanda di Aceh
berakibat banyak tentara dan pimpinan Belanda tewas terbunuh.
Untuk ke sekian kalinya, tahun 1912 Pemerintah Hindia
Belanda menugaskan R.A. Kern, penasihat urusan bumiputera,
datang ke Aceh untuk menyelidiki dan membuat laporan
mengenai gejala bunuh kafir (Aceh: poh kaphe), yang oleh pihak
Belanda disebut Atjehmoord. Kern hanya mengutip laporan-
laporan yang dibuat oleh pegawai-pegawai administrasi Belanda
sejak tahun 1910 hingga 1921, dan menurut kesimpulannya

20
Lihat H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Harian Waspada, 1985, II,
h. 97. Juga, E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda (1889-1936). Jakarta: Indonesian
Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1990.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 69


yang melatarbelakangi serangan secara perseorangan itu adalah
ide perang sabil dan perasaan benci terhadap kafir (kafir-haat).21
Pada bulan April 1924 sebagian penduduk Daya di Aceh
Barat merencanakan penyerangan ke bivak Belanda di Lamno.
Sebelum serangan dilakukan diadakan pembacaan Hikayat
Prang Sabil guna membangkitkan semangat jihad di kalangan
barisan muslimin. Serangan ini dapat digagalkan oleh pihak
Belanda.22 Belanda menganggap hikayat perang sabil itu sangat
berbahaya sebab dapat membangkitkan semangat melawan
Belanda, sehingga hikayat-hikayat perang sabil disita oleh pihak
Belanda dan sebagian besar dari padanya dimusnahkan.
Laporan Belanda menyebutkan pembunuhan khas Aceh
ini antara tahun 1910 1920 telah terjadi sebanyak 79 kali
dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka,
sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini
terjadi dalam tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap
tahunnya. Sedangkan di tahun 1933 dan 1937 masing-masing
6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban dalam perang Belanda di
Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX (1899-1909)
sebagaimana disebutkan Paul Vant Veer dalam bukunya De
Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh.
Pada tahun 1932 Gubernur Hindia Belanda di Aceh A. H.
Philips menyatakan bahwa pembacaan hikayat perang sabil yang
diadakan di hadapan umum dapat merangsang pembaca atau
pendengarnya sedemikian rupa, sehingga dapat menghilangkan
keseimbangan jiwa, yang kemudian disalurkan dalam tindakan
membunuh kaphe. Sebab itu, pemerintah Belanda penting sekali

21
Ibrahim Alfian, Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil.
Jakarta: Balai Pustaka, 1992, h. 19
22
Surat Gubernur Hens kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, no. 192/82, Koetaradja
10 Agustus 1924 dalam Kernpapieren no. H 797/ 16 1 KITLV Leiden.

70 TEUKU DADEK - HERMASYAH


bertindak hikayat-hikayat seperti itu disita dan dibakar.
Akan tetapi H.T. Damste seorang pegawai tinggi
Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda mengajukan
pendapat bahwa Hikayat Perang Sabilamat penting dipelajari
untuk mengetahui jalan pikiran, sikap, dan perilaku orang Aceh,
dan Hikayat Perang Sabil yang telah diperoleh jangan sampai
lenyap serta usaha-usah yang lebih efektif dan secara kontinyu.23
Maka sejak tahun 1926 semua naskah-naskah Hikayat Prang
Sabi diboyong ke Leiden, Belanda.
Terkait hikayat prang dan poh kaphe oleh Belanda
diistilahkan dengan nama Atjeh Moorden atau het is een typische
Atjeh Moord, suatu pembunuhan khas Aceh yang orang Aceh
sendiri menyebutnya poh kaphe (bunuh kafir). Di sini para
pejuang Aceh tidak hanya melakukan peperangan secara
bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan.
Penyerangan ini dengan seorang saja dan bersenjata
rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para
pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-
orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun.
Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan
perbuatan itu gila yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang
yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda
yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang
kemudian populer dengan sebutan Aceh pungo (Aceh gila).
Bagi pejuang Aceh secara umum memiliki tata cara
untuk memulai perang, baik dari persiapan mental, peralatan
hingga situasi dan kondisi alam, seperti membaca Hikayat
Prang Sabi. Selain itu, masyarakat masih berpedoman

23
H.T . Damste , "Atjehsche Oorlogspapieren", IG (1912) , h. 788, dan Damste , "Hikajat
Prang Sabi", BKJ Jil. 84 (1928) , h, 545. Lihat juga surat controleur Seulimeum Dr. J. J. van
de Velde kepada Prof. Dr. Snouck Hurgronje, 5 Agustus 1932, UB Leiden, Cod. Or. 8134.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 71


pada keputusan ulama-ulama (sebagai penasihat) dalam
memutuskan hari baik untuk berperang, dengan merujuk
pada surat fal sebuah sistem mitologi (kepercayaan) dengan
rumus-rumus tertentu. Oleh karena itu, setiap tindakan dan
strategi perang akan dikomunikasikan dengan para ulama
atau penasehat tertinggi di tempat itu.
Strategi penahanan kapal layar di perairan laut seperti
kasus Nisero yang dilakukan oleh Teuku Imam Muda (1882)
dan kapal Hok Cantonyang dilakukan oleh Teuku Umar
(1886) merupakan taktik jual beli peperangan yang dilakukan
di perairan Aceh Barat. Tujuan penahanan dan penyanderaan
ini dianggap merupakan metode paling jitu untuk mendulang
modal perjuangan dengan cara ganti rugi (tebusan), sekaligus
melemahkan agresi Belanda yang brutal kepada sikap-sikap
diplomatik dan lunak.
Faktor-faktor penyanderaan dilakukan oleh pejuang-
pejuang Aceh di Meulaboh merupakan akumulasi balas dendam
atas penyanderaan tokoh-tokoh pejuang Aceh oleh Belanda,
dan ini hanya faktor ekonomi semata. Sebab, dalam berbagai
laporan yang diterbitkan di media-media Eropa, terutama
pada kasus Hok Canton tidak melukai atau menganiaya
sandera. Dalam laporan surat-surat kabar Belanda umumnya
menyiarkan bahwa pemeliharaan terhadap Nyonya Hansen baik
sekali. Harian Belanda di Medan De Deli Courant menyiarkan
kesimpulan laporan resmi Belanda tentang tawanan tersebut
yang mengatakan bahwa de gevangenen zijn over het algemeen
redelijk goed behandeld, (terjemahan: umumnya para tawanan
dipelihara dengan bagus).
Strategis lainnya yang digunakan pejuang Aceh di
Meulaboh adalah perang gerilya (guerrilla). Strategi ini tidak
mengedepankan dalam menyerang akan tetapi bertahan dan
membuat basecamp (wilayahnya) sebagai pusat komando dan

72 TEUKU DADEK - HERMASYAH


menjadi neraka bagi musuh atau kelompok/bangsa lain yang
menyerang. Mereka lebih menguasai seluk beluk medan tempur
dan mampu bertahan walaupun dalam telah dikepung. Dalam
hal ini, Aceh sendiri paling ahli dalam perang gerilya.
Menjelang kemerdekaan (1942), pejuang Aceh masih
juga menerapkan perang gerilya, khususnya di basis-basis
pertempuran. Hasan Saleh mengungkapkan bagaimana aplikasi
sistem perang gerilya pada masa menjadi tiga bagian:
Pertama, mereka yang memanggul senjata, sebagai pasukan inti,
agar membentuk pasukan kecil dipimpin seorang komandan
dan kembali ke tempat asalnya masing-masing untuk melakukan
perang gerilya.
Kedua, para pembesar dan yang memiliki posisi strategis,
mulai dari camat hingga ke atas, agar mengikuti saya ke Tangse.
Dan Ketiga, para imum mukim dan partisan lainnya
agar kembali ke kampung dan bekerja seperti biasa, dengan
kewajiban membantu kelancaran perang gerilya. Komando
umum dipimpin komando resimen masing-masing sebagai
pelaksanaan penguasa perang gerilya. Walaupun taktik tersebut
tidak disetujui oleh Daud Beureueh sebagai pimpinan tertinggi,
dan akhirnya dibatalkan untuk diterapkan.24
Beberapa sumber nazam atau syair klasik (hikayat)
menempatkan strategi adalah taktik gerilya paling jitu untuk
memporak-porandakan barisan lawan. Gerilya yang dimaksud
adalah dalam jumlah banyak (besar) yang dikomandoi oleh
satu orang panglima, dan dibawahi beberapa kelompok kecil,
dan mereka terpusat pada satu titik, ini untuk memudahkan
koordinasi dan komunikasi.
Snouck menyebut perang gerilya akan menempatkan

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan
24

Bersabung untuk Kepentingan Daerah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992, h. 240

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 73


pejuang Aceh di pihak yang paling menguntungkan, setiap
kali pasukan Belanda berhadapan dengan orang Aceh di
medan terbuka kematian sudah dapat segera diketahui; hal ini
disebabkan mereka lemah di dalam persatuan dan organisasi,
sehingga tidak mampu mengerahkan suatu pasukan militer
untuk jangka waktu yang lama. Sebaliknya mereka memiliki
keunggulan dalam perang gerilya. menyebabkan upaya
menundukkan mereka menjadi suatu tugas raksasa dan besarnya
jumlah prajurit yang dikerahkan musuh mereka menjadi lebih
tidak berguna lagi dibanding strategi dan organisasinya yang
lebih unggul. Di antara daerah daerah yang berpenduduk, orang
Aceh kadang-kadang menemukan hutan atau rawa-rawa sebagai
tempat persembunyian, atau akan menempati hutan-hutan dan
akan bercocok tanam padi atau Lada, mereka akan membuka
lahan baru yang jauh dari akses orang luar.25
Bagi Aceh, perang gerilya ini tidak memberi peluang
untuk prestasi-prestasi keprajuritan yang pada umumnya
dianggap hebat, akan tetapi keberanian, pengabdian, ketajam-
an pandangan dan pengetahuan tentang keadaan setempat
yang diperlukan guna memungkinkan para perwira dengan
detasemen-detasemen kecil dari pasukan yang bergerak
puluhan mil sehari melalui medan yang berbukit-bukit yang
seringkali tanpa jalan setapak melalui hutan, rawa dan dasar
sungai untuk mencapai tujuan yang tersembunyi.
Bukan hanya Aceh, taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh
Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsose (het korps
marechaussee) yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan
Colone Macan yang mampu dan menguasai pegunungan-
pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

25
Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1980, h. XXVI

74 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Pasukan ini dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki
keberanian dan semangat tempur yang tinggi, dengan tugas
untuk melacak dan mengejar para pejuang Aceh melawan
Belanda ke segenap pelosok-pelosok daerah Aceh. Mereka akan
membunuh para pejuang Aceh yang berhasil ditemukan atau
setidaknya diasingkan ke luar daerah Aceh.
Dalam beberapa hikayat ditemui pejuang Aceh juga
menggunakan strategi ranjau dan jebakan, bagi serdadu
Belanda dikenal tipu musihat Aceh. Beberapa jebakan terkenal
menggunakan dan memanfaatkan alam sekitar, seperti
perangkap, racun hutan, dan ranjau. Snouck dalam bukunya
menyebut pemeritah Belanda sangat sulit melacak jejak para
pejuang, karena setiap area yang dilewati melalui hutan belantara
dan rawa-rawa. Oleh karena itu, mengusahakan pejuang keluar
dari persembunyiaan dianggap paling baik, atau membuat
jebakan baru dan melibatkan marsose lokal untuk mengurangi
korban dari pihak Belanda.
Strategi Aceh yang acak dan beragam membuat Belanda
menyimpulkan sebagai orang-orang yang punya banyak taktik
(ide). Strategi jebakan dengan ranjau, gerilya, penyanderaan,
penyerangan spontan, penyelipan alat perang dan rencong,
dan strategi lainnya disikapi oleh spontanitas rakyat Aceh yang
tertekan dan benci terhadap tindakan kekerasan dan sewenang-
wenang yang dilakukan pasukan marsose dan pasukan
Belanda yang masuk ke kampung-kampung dan merasuk ke
persembunyian pejuang.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 75


76 TEUKU DADEK - HERMASYAH
BAB III

MEULABOH
PERIODE KEMERDEKAAN

P
eriode ini (kemerdekaan) kita sepakat untuk memulai
sejak kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945),
walaupun diakui, atas keterbatasan komunikasi di wilayah
Indonesia pada saat itu berdampak pada terlambatnya informasi
sampai ke Meulaboh, sebulan kemudian, Jumat 14 September
1945 baru diketahui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bukan
hanya di sini, hal yang sama itu juga terjadi di daerah lain, Calang
misalnya, mengetahui merdeka sejak tanggal 6 September 1945,
dan Banda Aceh 30 Agustus 1945, serta Bukit Tinggi pada 20
Agustus 1945 saat mengibarkan bendera merah putih.1
Walaupun demikian, semangat merdeka dan hidup mandiri
dari kolonial Belanda merupakan cita-cita yang selama itu
diidam-idamkan oleh seluruh rakyat wilayah di Indonesia,
sehingga memacu persatuan walau dalam kondisi terbatas dan
terkendala. Semangat ini jelas terlihatsebagaimana yang telah
disebut pada bab-bab sebelumnya, dan yang akan ditunjukkan
buktinya di depan- sejak perang kemerdekaan dengan Belanda
pada agresi sebelum kemerdekaan dan setelah proklamasi

Hasil wawancara dengan Teuku Tjut Yatim di Meulaboh (Agustus, 2013)


1

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 77


kemerdekaan, serta perlawanan terhadap pendudukan Jepang
(1945-1948). Melalui organisasi-organisasi yang ada serta
dukungan masyarakat dapat menyatukan visi dan misi dalam
satu wadah seperjuangan.
Di Meulaboh salah satunya, Kamis pagi 4 Oktober 19452
dilaksanakan rapat umum di Tugu, dimana rapat tersebut
menyatakan kesetiaan pemuda kepada perjuangan dan menjaga
kemerdekaan Republik Indonesia. Semangat itu, sebagaimana
disinggung di awal lahir seketika untuk meyakinkan para
penjajah Belanda dan Jepangperiode berikutnya-akan eksistensi
cinta tanah air pribumi di Meulaboh.

Gambar: Pelopor pembentukan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Meulaboh.Duduk dari kiri
ke kanan: T. Ilyas Polem, H. Dawood Dariyah, H. Daod NA, TR. Iskandar. Berdiri dari kiri ke
kanan: IH. Hasan, TM. Yatim, Amat, T. Tjut Mahmud, M. Saleh.

2
Drs. Twk Abbas Abdullah dalam buknya Detik Detik Bersejarah merebut dan menegakkan
Kemerdekaan di Pantai Barat Selatanmenyatakan bahwa rapat tersebut dilaksanakan pada
tanggal 23 Oktober 1945, sementara Tjut Yatim mengatakan bahwa tanggal diatas yang
sebenarnya.

78 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Meulaboh dan Aceh Barat
Secara periodik, Meulaboh telah bermain di kancah nasional,
mesti belum diperoleh sumber-sumber secara mendalam.
Sebagai rekaman yang mesti dibedakan pada bagian ini adalah
antara Meulaboh dan Aceh Barat. Bahwa Meulaboh memiliki
peran lebih awal daripada sebuah catatan Aceh Barat.
Pada periode kemerdekan Indonesia, regionalisasi daerah
Istimewa Aceh ternyata mengadopsi regional sebelumnya, sesuai
dengan pertimbangan faktor-faktor topografi Aceh. Pembagian
wilayah tersebut adalah:
Wilayah I : Aceh Timur dan sebagian Aceh Tenggara yang
pusa kegiatandibidang export dengan pintu gerbangnya
Belawan (Medan)
Wilayah II : Aceh Selatan, sebagian Aceh Tenggara dengan
pintu gerbangnya Meulaboh
Wilayah III : Aceh Utara, Aceh Tengah, dan sebagian Aceh
Timur dengan pintu gerbangnya Lhokseumawe
Wilayah IV : Aceh Besar, Aceh Pidie, dan sebagian Aceh
Barat dengan pintu gerbangnya Krueng Raya (Banda Aceh).3
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
Pembentukan regional di Indonesia secara bertahap sesuai
kepulauan. Wilayah pulau Sumatera dibentuk Komisi Nasional
Daerah, melalui maklumat Gubernur Sumatera No.8/M.G.S
pada tanggal 12 April 1946. Dewan Perwakilan Sumatera dilantik
pada tanggal 17 April 1946. Dewan membagi Provinsi Sumatera
ke dalam 3 sub Provinsi.
Sub 1 Provinsi Sumatera Selatan meliputi; Bangka Belitung,
Bengkulu, Lampung

3
Tim, Rencana Tata Kota Meulaboh, Analisa Dan Rencana. Banda Aceh: Direktorat Tata
Kota Dan Tata Daerah, 1976: 10.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 79


Sub 2 Provinsi Sumatera Tengah: Keresidenan Jambi, Riau,
dan Sumatera Barat
Sub 3 Provinsi Sumatera Utara: Keresidenan Aceh, Sumatera
Timur, dan Tapanuli.

Hal tersebut merupakan bagian dari beberapa provinsi di


wilayah Indonesia berdasarkan ketetapan dalam Peraturan
Pemerintah R.I.S. No. 21 Tahun 1950 merupakan propinsi-
propinsi administratif, diantaranya yang telah dibentuk sebagai
provinsi otonom teritorial atas dasar-dasar yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah-daerah
Otonom No. 22 Tahun 1948, selain di kepulauan Sumatera, yaitu:

Provinsi Jawa Timur,


Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Jawa Barat,
Provinsi Kalimantan,

Sedang 3 provinsi lagi yaitu:

Provinsi Maluku,
Provinsi Sulawesi,
Provinsi Nusa Tenggara,

Masih merupakan daerah-daerah administratif yang


berdasarkan Peraturan Pemerintah R.I.S. No. 21 tersebut di atas
belum dapat menjalankan hak-hak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sebagai Propinsi otonom.4
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 23 November 1945 mengatur tentang kedudukan Komite

4
UU Darurat (Drt) Republik Indonesia No. 24 tahun 1956

80 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Nasional Daerah, dimana UU ini mengamanatkan bahwa
sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu diadakan aturan
buat sementara waktu untuk menetapkan kedudukan Komite
Nasional Daerah sebagai pengganti perwakilan rakyat. Dalam
UU ini disebutkan bahwa Komite Nasional Daerah diadakan
-kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta- di keresidenan, di
provinsi otonom, kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap
perlu oleh menteri dalam negeri.
Pasal 2 menyatakan bahwa Komite Nasional Daerah menjadi
Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan
dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan
mengatur rumah-tangga daerahnya, asal tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
yang lebih luas dari padanya.
Kelahiran Aceh Barat dapat disimpul pasca kemerdekaan
---artinya ini terputus dengan istilah west kust van Atjeh versi
Belanda--- dan baru memiliki kelengkapan hukumnya baik
untuk kepala daerah dan perwakilan rakyatnya berdasarkan UU
Nomor 1 Tahun 1945 ini, walaupun tidak disebut Kabupaten
Aceh Barat di dalamnya sebab UU tersebut hanya menjadi payung
hukum bagi pembentukan kabupaten di seluruh Indonesia.
Komite Nasional Daerah Kabupaten Aceh Barat secara
tidak resmi sudah diteruskan oleh Teungku Hanafiah, tetapi
kemudian beliau ke Tapak Tuan, sementara Komite Nasional
Daerah yang resmi baru dibentuk sesuai dengan Surat Gubernur
Sumatera tanggal 29 Desember 1945 yang menunjuk Ibnu
Saadan sebagai Kepala Luhak/Kabupaten.5 Walaupun ada data

5
Wawancara dengan Tjut Yatim menyebutkan bahwa Teungku Hanafiah adalah guncho
(gunco) Meulaboh yang berlanjut sebelum kemerdekaan, namun penunjukan ini tidak resmi
dan beliau sendiri takut memegang amanah ini dan keluar Meulaboh menuju Tapak Tuan.
Foto lihat Lampiran 3. Sedangkan dalam buku Kenapa Aceh bergolak disebutkan ..Said
Abubakar ditunjuk Jepang menjadi gunco di Meulaboh... Hasan Saleh, Mengapa Aceh
Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 81


lain yang menunjukkan pada 20 September 1945,6 kami menilai
itu penunjukan dalam kondisi darurat, sedangkan pelantikan
resmi sesuai tanggal versi pertama (29 Desember 1945), sebab
selaras pasca penetapan UU No. 1 Tahun 1945 tertanggal 23
November 1945.
Wilayah administratif Kota Meulaboh mulai dibentuk pada
tahun 1946 yang meliputi perkampungan/desa: Pasar Aceh,
Panggung, Kampung Belakang, Kampung Pasir, Kampung Suak
Indrapuri. Administratif kota ini langsung dibawah Bupati
selaku Kepala Daerah Tk.II Aceh Barat.
Periode berikutnya, berdasar UU Nomor 22 Tahun 1948
tentang tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai
pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri, di mana UU ini hanya
mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, tidak
mengatur secara gamblang tentang pembagian dan penyebutan
Aceh Barat sebagai sebuah kabupaten.
Dalam perkembangan UU Indonesia, berdasarkan UU
Darurat (Drt) Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan
Provinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan
menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan
Kabupaten Aceh Selatan.
Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri
dari tiga wilayah; Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan
jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan
yaitu: Kaway XVI, Johan Pahlawan, Seunagan, Kuala, Beutong,
Darul Makmur, Samatiga, Woyla, Sungai Mas, Teunom, Krueng

Daerah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992, h. 26


6
Foto Ibnu Saadan selaku kepala daerah Aceh Barat yang ada di ruang pertemuan (rapat)
Bupati Aceh Barat.

82 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Sabee, Setia Bakti, Sampoiniet, Jaya, Simeulue Timur, Simeulue
Tengah, Simeulue Barat, Teupah Selatan dan Salang, sebagai
dimaksud dalam Ketetapan Gubernur Sumatera-Utara tanggal
27 Januari 1949 No. 5/GSO/ OE/49.
Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan dengan ibu kotanya
Tapak Tuan, meliputi wilayah: Tapak Tuan, Bakongan dan
Singkil.7 Hingga akhirnya Aceh Selatan resmi dimekarkan
lagi sesuai dengan UU RI Nomor 4 Tahun 2002 menjadi tiga
Kabupaten, yaitu: Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh
Singkil dan Kabupaten Aceh Selatan.8
UU No 7 Drt 1956 kemudian disahkan menjadi UU 24
Tahun 1956,9 hal ini berkenaan dengan hasrat Pemerintah
dalam usahanya meninjau kembali pembentukan-pembentukan
daerah-daerah otonom Provinsi sesuai dengan keinginan dan
kehendak rakyat di daerahnya masing-masing, memandang
perlu membentuk daerah Aceh sebagai daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri lepas dari
lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera Utara;
Berhubung dengan pertimbangan tersebut serta untuk
melancarkan jalannya pemerintahan daerah otonom Provinsi
Sumatera Utara yang terbentuk dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 (sejak telah
diubah dengan Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1955,
Lembaran-Negara Tahun 1955 No. 52) perlu ditinjau kembali

7
Sebagai dimaksud dalam Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Tanggal 27 Januari 1949 No.
5/Gso/ Oe/49. Undang-undang Darurat ditanda tangani oleh Soekarno sebagai Presiden RI
pada Tgl 7 Nopember 1956. Sumber: UU LN 1956/58; TLN No. 1092
8
Undang-undang RI No 4, Tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten
Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Dan Kabupaten Aceh Tamiang,
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tanggal 10 April 2002, ditanda tangani oleh
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI.
9
UU 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh Dan Perubahan
Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara Tanggal 29 Nopember 1956; diundangkan
7 Desember 1956, dan masih berlaku hingga kini.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 83


dan diganti dengan undang-undang ini. UU ini mencabut
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun
1950 tentang pembentukan Provinsi Sumatera-Utara.

Pasal 1
(1) Daerah Aceh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten

1. Aceh Besar,
2. Pidie,
3. Aceh Utara,
4. Aceh Timur,
5. Aceh Tengah,
6. Aceh Barat,
7. Aceh Selatan, dan
8. Kota Besar Kutaraja

Ke delapan kabupaten tersebut dipisahkan dari lingkungan


daerah otonom Provinsi Sumatera-Utara dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun
1950 dan dibentuk menjadi daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah-tangganya sendiri, tingkatan ke-I dengan
nama Propinsi Aceh.
Poin utama dari UU ini yang menunjukkan Aceh Barat telah
berdiri dari sebelum Indonesia lahir pada poin nomor 5 dan 6
yang dimaksud adalah Telah dimaklumi bahwa rakyat Aceh
sudah pernah menjalankan pemerintahan daerah otonom dalam
tingkatan provinsi, yaitu ketika daerah Aceh dahulu dibentuk
sebagai propinsi otonom pada tahun 1949 dengan Peraturan
Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor
8/Des/WKPM. Seperti diketahui Provinsi Aceh tersebut telah
dibubarkan pada waktu dibentuknya daerah otonom Propinsi
Sumatera-Utara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

84 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Undang-undang No. 5 Tahun 1950 yang telah diubah dengan
Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1955 (Lembaran Negara
Tahun 1955 No.52), provinsi mana tidak saja meliputi daerah
Aceh, tetapi juga Sumatera-Timur dan Tapanuli.
Dalam poin 6 berbunyi Propinsi Aceh yang dibentuk
dengan Undang-undang ini meliputi Keresidenan Aceh di-
maksud dalam Staatsblad 1934 No. 539 yang dalam kenyataannya
dewasa ini telah terbagi-bagi dalam Kabupaten-kabupaten oto-
nom, yaitu:

1. Kabupaten Aceh Besar,


2. Kabupaten Pidie,
3. Kabupaten Aceh Utara,
4. Kabupaten Aceh Timur
5. Kabupaten Aceh Tengah,
6. Kabupaten Aceh Barat,
7. Kabupaten Aceh Selatan,

Dalam keputusan Gubernur Sumatera Utara dahulu tanggal


27 Januari 1949 No.5/GSO/OE/49, termasuk juga Kota Kutaraja
dimaksud dalam Keputusan Gubernur Sumatera dahulu
tertanggal 17 Mei 1946 No. 103, yang dengan Undang-Undang
Darurat telah dibentuk menjadi kota besar. Dengan terbentuknya
kembali daerah otonom Provinsi Aceh ini maka wilayah daerah
otonom Provinsi Sumatera Utara akan meliputi hanya wilayah
keresidenan-keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur saja.
Melihat aspek-aspek perkembangan Kota Meulaboh yang
relatif menonjol, oleh Pemerintah Daerah Tk. II Aceh Barat
dengan Perdanya No. 2 Tahun 1973 ditetapkan batas baru dan
perluasan areal untuk Kota Meulaboh yang meliputi 12 (duabelas)
gampong: Pasar Aceh, Panggung, Kampung Belakang, Kampung
Pasir, Kampung Suak Indrapuri, Kampung Padang Sirahet,

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 85


Kampung Ujung Kalak, Kuta Padang, Ujung Baroh, Rundeng,
Drien Rampak, Gampong Darat. Wilayah kota ini termasuk
dalam wilayah Kecamatan Johan Pahlawan.10
Selanjutnya pada rapat terbatas/diskusi antara Tim Perancang
Kota Meulaboh dari Unit Perencanaan D.I. Aceh, Departemen
PUTL dengan Pemda Tk. II Aceh Barat pada tanggal 13 Juli
1976 telah diambil keputusan sementara dimana Kota Meulaboh
telah diperluas meliputi 17 (tujuh belas) perkampungan. Dengan
batas-batas Kota Meulaboh yang dimaksud adalah;
Sebelah Utara : Krueng Leuhan dan Kecamatan Kaway
XVI.
Sebelah Selatan : lautan Indonesia
Sebelah Timur : Sungai Suak Sigading dan Lautan
Samudera Indonesia.
Sebelah Barat : Krueng Meureubo dan Lautan Indonesia.
Kampung-kampung (gampong) yang termasuk dalam
wilayah Kota Meulaboh adalah sebagai berikut: Pasar Aceh,
Gampong Belakang, Kampung Panggung, Kampung Padang
Sirahet, Kampung Ujung Baroh, Kampung Drien Rampak,
Kampung Lapang, Kampung Seuneubok, Kampung Gampa,
Gampung Darat, Kampung Suak Ribee, Kampung Suak Sigading,
Kampung Rundeng, Kampung Ujung Kalak, Kampung Pasir,
Kampung Suak Indrapuri, Kampung Kuta Padang.
Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi
menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu :
Kabupaten Aceh Barat meliputi : Kecamatan Kaway XVI,
Johan Pahlawan, Seunagan, Kuala, Beutong, Darul Makmur,
Samatiga, Woyla, Sungai Mas, Teunom, Krueng Sabee, Setia
Bakti, Sampoi Niet, Jaya dengan ibukotanya Meulaboh, dan
Kabupaten Administratif Simeulue meliputi kecamatan

10
Peraturan Daerah Aceh Barat No. 02, Tanggal 8 Februari 1973

86 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Simeulue Barat, Teupah
Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.

Periode berikutnya, pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan


Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan
menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga;
Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan
Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat
memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan.
Setelah ditetapkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002
Tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten
Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Jaya, Wilayah Kabupaten Aceh
Barat daratannya yang luasnya sekitar 1.010.466 Ha, dimekarkan
menjadi 3 Kabupaten yaitu; Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten
Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya. Pasca pemekaran tersebut
Wilayah Kabupaten Aceh Barat terdiri dari 12 Kecamatan, 32
Kemukiman dan 322 Gampong.11
Pemekaran di wilayah pantai barat selatan Aceh memiliki
berbagai latar belakang historis dan filosofis. Karenanya
akulturasi budaya di beberapa wilayah pemekaran tidak dapat
dielakkan begitu saja. Sangat mudah dipengaruhi atau bahkan
menghadirkan wajah baru dalam beberapa aspek, budaya, adat
istiadat, ataupun bahasa.
Oleh karena itu, sepanjang pantai Aceh Barat merupakan
mahligai bagi para pelaut sejak dulu, yang memiliki luas
wilayah sepanjang laut dari Singkil hingga Daya, atau tepatnya
bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatera
yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki gunung
Geurutee (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai ke sisi Krueng
Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis

11
Undang-undang No. 4 Tahun 2002 ini bersamaan dengan pemekaran Aceh Selatan.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 87


pantai sejauh 250 Km. Dengan kata lain, Aceh Barat mempunyai
luas wilayah 10.097.04 km atau 1.010.466 Ha, dengan panjang
garis pantai sejauh 250 km. Sesudah dimekarkan luas wilayah
menjadi 2.927,95 km.
Dengan keragaman etnis dan suku yang tumbuh, maka tak
salah jika penduduk di wilayah itu hidup dalam keberagaman
dan heterogenitas masyarakat di daerah tersebut. Multikultural
etnik, budaya, tradisi dan adat istiadat merupakan suatu wujud
dari pembentukan keragaman pemikiran, keragaman paradigma,
keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya,
yang terpadu saat kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, itu telah
diwarisi oleh generasi sebelumnya, jauh sebelum teori budaya
akulturasi diaplikasi di benua Asia.

Respon Aceh Barat Terhadap Kemerdekaan


Meulaboh dan daerah (kabupaten) lainnya memiliki peran
penting dalam kemerdekaan Indonesia dari kolonial Belanda
dan pendudukan Jepang. Tokoh dan peran yang lahir di periode
kemerdekaan merupakan cermin kesatuan visi dan misi dari
bangsa yang maju dan merdeka. Peran Meulaboh dan atau Aceh
Barat secara keseluruhan di periode kemerdekaan menjadi
begitu nyata, setelah beberapa tokoh penting muncul dan
memperjuangkan kemerdekaan.
Pada saat rakyat Aceh menerima kabar---walaupun terlambat
informasi tersebut---bahwa telah diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia disambut oleh seluruh rakyat Aceh dengan semangat
jihad yang meluap-luap. Mereka bertekad akan mempertahankan
kemerdekaan dengan mengorbankan jiwa dan harta bendanya
untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan
Indonesia sehingga rencana Belanda hendak menduduki lagi
daerah Aceh tidak dapat terlaksana.

88 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Respons tersebut disambut dengan penaikan bendera merah
putih di beberapa tempat. Banda Aceh, penaikan bendera
dipimpin langsung oleh Teuku Nyak Arief, sedangkan penggerek
benderanya adalah Husein Naim (mantan Kepala Polisi pertama)
dan Muhammad Amin Bugeh. Menyusul kemudian penaikan-
penaikan bendera di seluruh Aceh, di antaranya: Penaikan
bendera di Lhoksukon, pada tanggal 29 Agustus 1945, dipimpin
oleh Hasbi Wahidi, di Lhokseumawe dipimpin oleh Teuku
Panglima Agung Ibrahim dan Hasan Sab, di Langsa pagi tanggal
1 Oktober 1945 di lapangan stasiun kereta api, di Kuala Simpang
pada tanggal 3 September, pengibaran bendera dipimpin oleh H.
Burhan Jamil. Pada tanggal 5 September dinaikkan bendera di
depan Kantor Camat Kuala Simpang dipimpin oleh Syamsuddin
Siregar dan Abu Samah, peniup terompet Arifin Bujong dan
Sofyan Tanour, Teuku Raja Sulung, di Tualang Cut pada tanggal
2 Oktober oleh barisan laskar, di Aceh Selatan pada tanggal 4
Oktober dipimpin oleh AR. Hajat, Khabar Ginting, Abdul Karim,
Gindo Bangko, di Blang Keujeren pada tanggal 4 Oktober 1945
dipimpin oleh Muhammad Din Sinar Terang, di Aceh Tengah
pada tanggal 5 Oktober 1945 dipimpin oleh Teuku Mahmud
yang memimpin acara Raja Abdul Wahab Muda Sedang.
Sedangkan di Aceh Barat Meulaboh berkibar bendera
merah putih pada 14 September 194512 yang dilakukan oleh
para pemuda yang berkumpul di Pasar Aceh No 91, di depan
Toko HM. Dariah, yang terdiri dari H. Daood Dariyah, Said
Abdullah, Gulfam, H. Hasan, Ibrahim Hamid, Ahmad Hafi,
Teuku Baharuddin (anak Ulee Balang Tanjung), Mus Hasan, Abu

12
Drs. Twk Abbas Abdullah dalam buknya Detik Detik Bersejarah merebut dan menegakkan
Kemerdekaan di Pantai Barat Selatan mengatakan bahwa bendera pertama dikibarkan pada
tanggal 19 September, sementara T.Tjut Yatim menyatakan bahwa yang pertama bendera
berkibar adalah di Toko NV Dariyah tersebut.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 89


Bakar Rahman, T Tjut Yatim, T Raja Iskandar, T Ilyas Polem, H
Daud Nyakna, Said Husin, Saleh Yusuf, Kasim Musa, Teuku Tjut
Mahmud.
Peristiwa ini sudah diketahui sehari sebelumnya, Kamis 13
September 1945, waktu itu ada sekitar 16 orang pemuda yang
hadir dari 24 orang yang terdaftar dan diundang. Esoknya, Jumat
pagi mereka bersumpah untuk membela kemerdekaan, bersorak
yel-yel kemerdekaan seraya penaikan bendera, kejadian ini
mengagetkan masyarakat sekitar sehingga keluarlah Keuchik
M Thayib, ayah Amir Yahya (Kuala Tripa Hotel) dan beberapa
masyarakat lainnya. Konon, tentara Jepang hanya tersenyum
saat melihat dan mengetahui penaikan bendera merah putih.
Perjuangan Aceh mempertahankan keutuhan Indonesia di
awal-awal kemerdekaan sangat jelas dan sepenuhnya, baik ril
maupun materil, hingga peleburan Aceh. Disinilah perpecahan
ideologi dan perjuangan mulai pecah, sehingga lahirnya UU
dua kali pada tahun 1956 merupakan respons pemerintahan
pusat Indonesia kepada perlawanan Aceh atas kekecewaannya
terhadap sikap pemerintahan di Jakarta yang menggabungkan
wilayah otonom Aceh ke dalam Sumatera Utara tahun 1950.
Padahal pada Staatsblad tahun 1934 No. 539 telah ditetapkan
Aceh menjadi wilayah otonom dan independen dari wilayah-
wilayah territori militer Belanda.
Imbasnya, kekecewaan para tokoh pimpinan masyarakat di
Aceh atas dileburnya Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera
Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu
seakan mengabaikan jasa baik rakyat Aceh ketika perjuangan
mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia
dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Selain alasan utama tersebut, tuntutan hak lainnya memuncak
dan menempatkan Daud Beureueuh untuk memimpin gerakan

90 TEUKU DADEK - HERMASYAH


DI/TII sejak 20 September 1953.13 Tokoh ini sangat berpengaruh
karena seorang pemimpin sipil, agama, dan militer, ia pernah
menjadi ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA),
Gubernur Militer Aceh pada masa perang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda
pada pertengahan tahun 1947.
Di Meulaboh juga berpengaruh pada ketidakstabilan politik
akibat DI/TII ini, sebagaimana laporan yang disampaikan kepada
pemerintah Pusat tersebut menyebutkan di daerah Meulaboh
(21 September 1953) gerombolan (DI/TII) menyerang pos-pos
polisi, dan dalam suatu pertempuran mengakibatkan pengikut
DI/TII meninggal, satu orang terluka, dan tujuh lainnya
ditangkap. Selain itu, hubungan kabel telepon diputuskan oleh
pasukan gerombolan tersebut. Sehingga polisi yang berada
di luar Kota Meulaboh dikirim ke Kota Meulaboh untuk
memperkuat keamanan dan mencegah kudeta pemerintahan di
Meulaboh oleh kelompok DI/TII. Sedangkan keesokan harinya,
tiga jembatan rusak, daerah-daerah di luar Kota Meulaboh
mencekam, daerah Kuala Bubon dan Jeuram Alue Raya telah
dikuasai.14
Lebih mengesankan bahwa dari laporan tersebut menye-
butkan bahwa dokter-dokter di wilayah kurang aman dan ditarik
kembali ke Banda Aceh, kecuali satu orang dokter berkebangsaan
Austria, Dr Sauerwein, yang telah bertugas satu tahun lebih
dengan memuaskan.15 Sedangkan dokter-dokter lain secara
bergiliran dikirim melalui kapal ALRI ke kabupaten-kabupaten
tertentu; Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Meulaboh, dan Tapak

13
Kementerian Penerangan RI, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Peristiwa
Daud Beureueh. Jakarta, 1953. Lihat juga http://www.acehbooks.org/pdf/ACEH_02539.pdf
14
Kementerian Penerangan RI, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Peristiwa
Daud Beureueh h. 9-10
15
Kementerian Penerangan RI, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Peristiwa
Daud Beureueh h. 72

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 91


Tuan untuk bekerja selama 1 atau 2 minggu.
Ketidakstabilan tersebut bukan hanya diakibatkan dari faktor
internal di Aceh secara khusus Meulaboh, tapi juga eksternal,
dan negara pada masa transisi yang masih diaduk oleh hasrat
Belanda dan Jepang. Bayang-bayang negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada tahun 1949 serta berbagai perjanjian de-
facto untuk pemenuhan kejelasan territorial Indonesia, yang
terkadang disebut klaim sepihak.
Bukan hanya Aceh yang meminta kejelasan statusnya,
bahkan di beberapa wilayah di luar Aceh terdengar pemisahan
dengan sayup-sayup. Apa yang disebut oleh banyak sejarawan
keretakan konstitusi bukan cerita dongeng. Namun, Aceh dan
beberapa kabupaten di Aceh, termasuk Aceh Barat menjadi salah
satu pondasi keberlanjutan negara.
Meskipun demikian, negara bagian pertama yang secara
resmi bergabung kembali dengan Republik Indonesia adalah
Negara Bagian Sumatera Selatan. Pada tanggal 10 Februari 1950,
Dewan Perwakilan Negara Bagian Sumatera Selatan mengadakan
pemungutan suara untuk menyerahkan kekuasaan negara bagian
itu kepada Pemerintah RIS. Peristiwa itu kemudian menjadi efek
bola salju yang semakin lama semakin besar, karena kejadian
di Sumatera Selatan segera diikuti oleh hampir semua negara
bagian. Namun demikian ada kecenderungan untuk lebih
memilih membubarkan negara bagian yang bersangkutan dan
kemudian digabungkan ke dalam Negara Bagian RI.
Dengan demikian, negara-negara bagian itu tidak mem-
bubarkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada RIS,
tetapi melebur ke dalam RI. Gerakan itu tidak ditentang oleh para
pemimpin RIS. Mereka justru memberikan kesempatan kepada
gerakan tersebut untuk meneruskan tindakannya. Fenomena itu
disebabkan gelombang pasang semangat nasionalis yang besar
di kalangan anggota Senat RIS. Mereka itu percaya bahwa tujuan

92 TEUKU DADEK - HERMASYAH


dan politik masa depan mereka harus disesuaikan dengan kondisi
politik yang sedang berkembang saat itu. Oleh karena itu, mereka
mengikuti kemauan Majelis Permusyawaratan16 dan Pemerintah RIS
untuk mengeluarkan suatu Undang-Undang Darurat berdasarkan
Pasal 130 Kontitusi RIS yang berisi pembubaran negara-negara
bagian dan digabungkan ke dalam RI.
Undang-Undang itu dikeluarkan pada tanggal 7 Maret
1950. Dua hari kemudian, diadakan pemungutan suara bagi
persetujuan penggabungan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Madura ke dalam RI. Setelah itu, berbagai daerah dan negara
bagian mengajukan permohonan untuk menggabungkan diri ke
dalam RI. Sehingga pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara
bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat,Negara
Sumatera Timur (NST), Negara Indonesia Timur (NIT) dan RI
yang wilayahnya menjadi lebih luas.17
Setelah Kalimantan Barat digabungkan ke dalam RI melalui
sidang Majelis Permusyawaratan pada tanggal 22 April 1950,
maka tersisa tiga negara bagian dalam RIS,yaitu; R I, NST, dan
NIT. Masih kokohnya dua negara bagian terakhir itu disebabkan
beberapa faktor. Berhubungan dengan kokohnya NIT sebagai
negara bagian dalam RIS, terdapat banyak hal bersifat kompleks
yang telah membentuk aliansi antirepublik. Aliansi itu terdiri dari
kaumbangsawan Melayu, bagian terbesar raja-raja Simalungun,
beberapa Kepala Suku Karo, dan kebanyakan tokoh masyarakat
Cina.18
Mereka itu semua merasa kedudukannya terancam dengan

16
Majelis Permusyawaratan adalah sidang gabungan parlemen RIS dan Senat RIS
17
George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indoensia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University Press, 1995, h. 579
18
Michael van Langenberg, Sumatera Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam Sebuah
Karesidenan di Sumatera Timur, dalam Audery Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal
Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990. h. 140.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 93


berdirinya negara baru. Perasaan itu muncul karena selama
tahun-tahun awal kemerdekaan terdapat pengalaman pahit
berkaitan dengan tekanan kaum republik terutama kaum
pemudanya yang sangat antibangsawan. Oleh karena itu, bagi
kaum bangsawan Sumatera Timur mereka mendambakan
kembalinya Pemerintah Kolonial Belanda yang mampu
menjamin kedudukan dan keselamatannya. Dalam pandangan
kaum bangsawan Melayu, RI akan mengancam kelanjutan
perlindungan dan keistimewaan yang mereka nikmati di
bawah payung pemerintah kolonial.
Kondisi itu kemudian ditambah munculnya kesadaran oleh
para petani Melayu pada akhir 1945 bahwa ada keinginan di
kalangan mayoritas penduduk non-Melayu untuk menghapus
hak-hak istimewa kaum Melayu atas tanahnya. Sehingga mereka
menyambut baik kalangan campur tangan Belanda di Sumatera
Timur. Harapannya adalah dengan kembalinya Belanda, maka
akan pulih kembali hak-hak adat penduduk Melayu maupun
penduduk asli lainnya. Selain itu, tentu saja akan terjaga segala
kepentingannya.
Di Aceh pun terjebak pada konflik Perang Cumbok antara
sesama yang terhasut oleh kepentingan ini. Sebagian uleebalang
(hulubalang) telah mengakui dan menyatakan tunduk kepada
kekuasaan Belanda. melalui penandatanganan Korte Verklaring
(Perjanjian Pendek). Dari 100 lebih uleebalang, 82 daripadanya
telah menandatangani perjanjian ini. Isinya berbunyi :1) bahwa
negeri yang dikepalai oleh uleebalang itu merupakan bagian dari
Hindia Belanda dan berada di bawah kekuasaan Nederland;
Uleebalang tetap setia pada Ratu Belanda dan pada wakilnya
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 2) Tidak mengadakan
hubungan dengan negara-negara asing, 3) Tunduk pada perintah
Gubernur Aceh. Isi perjanjian ini tertuang dalam Putusan
Majelis Rendah Belanda tahun sidang 1900-1, 169 No. 25, 27,

94 TEUKU DADEK - HERMASYAH


dan No. 47.
Seluruh daerah kekuasaan dibagi dalam dua wilayah
administrasi. Pertama, disebut Gouvernement Gebied (daerah
gubernemen) yang diperintahi secara langsung oleh Pemerintah
Belanda. Kedua, disebut dengan zelfbestuurgebied atau swapraja
(kenegerian) yang diperintah secara tidak langsung, tetapi
melalui para uleebalang setempat,19 yang telah menyatakan
tunduk di bawah kekuasaan Hindia Belanda.20 Kedua daerah
ini dalam struktur Pemerintahan Hindia Belanda disebut
Gouvernement Atjeh en Onder horigheden (Gubernemen Atjeh
dan Daerah Taklukannya).21
Kombinasi dari semua faktor itu akhirnya mendukung
lahirnya aliansi anti republik di Sumatera Timur. Keadaan itu
membuat NST masih berdiri hingga saat terakhir eksistensi RIS.
Walaupun demikian, tidak berarti rakyat di Sumatera Timur
tidak menghendaki pembubaran negara bagiannya dan memilih
bergabung dengan RI. Selama revolusi fisik, di Sumatera Timur
bahkan muncul berbagai macam kelompok bersenjata yang
gigih berjuang melawan Belanda.
Aceh Barat secara khusus dan Aceh secara umum merupakan
salah satu wilayah yang memperjuangkan kemerdekaan, di saat
wilayah dalam cengkraman, Aceh malah sebaliknya menjadi
cambuk bagi penjajah. Oleh karena itu, meskipun kontrol
pemerintah pusat terhadap mereka sangat lemah, bahkan dapat

19
Pemerintah langsung dilaksanakan di wilayah-wilayah yang kemudian dikenal sebagai
Kabupaten Aceh Besar, Kewedanaan Singkil dan sebahagian besar kota-kota di daerah
pesisir, yaitu Sigli, Bireuen, Lhk Seumawe, Lhok Sukon, Idi, Langsa, Kuala Simpang,
Calang, Meulaboh dan Tapak Tuan. Sejumlah 93 Nanggro (negeri) yang berada di luar
tempat-tempat tersebut berada di bawah pimpinan Ulebalang. Lihat J. Jongejans, Land en
Volk van Atjeh Vroeger en Nu, Hollandia Drukkerij NV. Baarn, 1939, h. 276-278.
20
Lihat Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999, h. 192.
21
Rusdi Sufi, Gerakan Nasionalisme di Aceh 1900-1942. Banda Aceh: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1998, h. 1.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 95


dikatakan tidak ada sama sekali, akan tetapi memiliki semangat
kesatuan yang sama untuk merawat kemerdekaan.

Meulaboh Era Baru Post-Disaster


Pada dasarnya kita tidak terlalu buru-buru memasuki
tahap ini, wajah Meulaboh dan Aceh Barat secara umum pada
periode post-disaster, yaitu pascabencana alam gempa tsunami
dan pasca bencana kemanusiaan (konflik). Akan tetapi, terus
terang periode sebelum itu, kita akan menemui banyak ruang-
ruang kosong dan semu dari berbagai sumber dan perspektif.
Era reformasi Indonesia dan yang mengaung pada konsep
referendum di Aceh pada akhir abad ke-21 Masehi pun lebih
fokus pada konteks Aceh secara keseluruhan.
Meulaboh dan Pantai Barat Aceh sekitarnya bergeliat
perekonomian, keagamaan dan sosial kebudayaannya pasca
bencana tersebut. Mata dunia terarah ke sini, fokus pada bidang
kemanusiaan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Tentu, dalam
bab awal di bumi ini terurai panjang kisah Pasir Karam yang
misterius meninggalkan banyak tanda tanya, sebab kisah itu
tidak terekam dengan tuntas, dan bukan kali pertama terjadi di
Aceh.22
Atas pertimbangan itu, sepertinya kami harus merekam
peristiwa bersejarah, sebuah kisah yang menempatkan Meulaboh
kelak menjadi anak emas, oleh Aceh, pemerintah pusat,dan
Internasional, sebelum semua luput oleh ingatan sejarah. Serta
menjadi gerbang dasar perdamaian antara Pemerintah Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah berkonflik

Lihat data-data gempa-tsunami di beberapa situs, NOAA -National


22

Geophysical Data Centre, atau http://www.bmkg.go.id/


http://earthquake.usgs.gov/, dan lainnya

96 TEUKU DADEK - HERMASYAH


selama puluhan tahun.
Pasir Karam akibat gempa tsunami yang pernah dibahas
tentu bukan sebuah folklore belaka, atau dendang nyayian
smong,tapimemiliki makna sangat berarti. Beberapa peneliti
telah menemukan dan memutuskan Aceh berada di patahan
lempengan bumi. Gempa tsunami 2004 telah mengkaramkan
beberapa wilayah di Pesisir Pantai Aceh, walaupun belum
terpublis data-data akurat berapa banyak kampung (desa) yang
hilang seketika itu.
Dalam sumber-sumber Aceh terbukti dengan terjadinya
gempa di Banda Aceh pada hari Jumat 29 September 1837
(28 Jumadi al-Akhir 1253 H) berkekuatan 7.3 SR, tepatnya
pada periode Sultan Muhammad Syah (1824-1838), yang
mengakibatkan Mesjid Baiturrahman dan sekitar Kota Banda
Aceh banjir. Dan, gempa kembali terjadi pada Senin 14 Desember
1885 (7 Rabi al-Awal 1303 H) dan hari Minggu 31 Januari 1886
(25 Rabi al-Akhir 1303 H) walaupun tidak sekuat sebelumnya.
Pantai Barat Aceh adalah wilayah paling rawan dan sering
mengalami gempa, terutama yang terekam- abad ke-19 M.
Di tahun 1861 (1277 H) Aceh-Sumatera terjadi gempa secara
beruntun, 12 Februari di Singkel, 16 Februari di Siberut-
Mentawai (8.5), 9 Maret (7.0 SR), 26 April (7.0 SR) dan 17 Juni
(6.8 SR) di Nias dan sekitarnya. Kemungkinan besar volume
gempa yang sering terjadi ini diakibatkan oleh efek gempa
besar sebelumnya. Sebagaimana gempa-gempa di Aceh pasca 24
Desember 2004, seperti gempa pada 25 Maret 2005 di Pulau Nias
(Samudera Hindia) (8,2 SR), 27 Mei 2006 gempa bumi tektonik
di Yogyakarta (5,9-6,2 SR), 17 Juli 2006 di Cilacap dan Ciamis
(7,7 SR), 11 Agustus 2006 di Pulau Simeulue (6,0 SR), 6 Maret
2007 di Padang dan Bukit Tinggi (6,4 SR), 12 September 2007
di kepulauan Mentawai (7,7 SR), 30 September 2009 di Padang
Sumatera Barat (7,6 SR), 7 April 2010 di Sinabang (7,2 SR), 9 Mei

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 97


2010 di Aceh Barat (7,2 SR).
Salah satunya gempa tektonik yang terekam dahulu yang
terjadi pada Hari Selasa 12 Februari 1861 (1 Syaban 1277 H)
di Kota Singkil, dan menghancurkan semua infrastruktur
yang dibangun pemerintah Belanda sebelum tahun 1852.23
Sebelumnya, sejarah mencatat gempa pada Hari Senin 25
November 1833 (12 Rajab 1249 H) terjadi gempa sekitar pukul
10.20 WIB waktu Dhuha berkekuatan 8,8 SR di wilayah barat
Aceh dan Simeulu yang berakibat tsunami, masyarakat lokal
menyebutnya Smong. Catatan inilah yang kemudian banyak
terekam dalam manuskrip disebut Bab pada menyatakan gempa
pada Bulan Rajab, jika waktu Dhuha gempa alamat akan air laut
keras [datang] padanya.24

Gambar: Teks Naskah Tabir Gempa, dan teks Gerhana Matahari dan Bulan yang disalin pada
tahun 1324 H (1906/07 M), koleksi Museum Negeri Aceh, Banda Aceh

23
E.B Kielstra, The Geographical Journal (1892). Lihat, Sudirman, Sejarah Maritim
Singkel
24
Lihat manuskrip (MSs) Tabir Gempa koleksi Museum Negeri Aceh, Yayasan Pendidikan
Ali Hasjmy, dan Tarmizi A Hamid.

98 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Minggu pagi, 26 Desember 2004 (14 Zulkaedah 1425 H)
Gempa terjadi pada waktu 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak
pada bujur 3,316LU 95,854BT kurang lebih 160 km sebelah
barat Aceh sedalam 10 kilometer. Gempa ini berkekuatan 9,3
menurut skala Richter, dan United States Geological Survey
menetapkan magnitude 9.2.25 dan dengan ini merupakan gempa
bumi terdahsyat dalam kurun waktu setengah abad ini yang
menghantam Aceh, Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung
Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan
sampai Pantai Timur Afrika.
Gempa yang mengakibatkan tsunami menyebabkan
sekitar 230.000 orang tewas di 8 negara. Ombak tsunami setinggi
9 meter. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang
sejarah. Aceh (Indonesia), Sri Lanka, India, dan Thailand
merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar.
Jumlah korban yang meninggal menurut U.S. Geological
Survey korban tewas mencapai 283.100, 14.000 orang hilang
dan 1,126,900 kehilangan tempat tinggal. Menurut PBB, korban
229.826 orang hilang dan 186.983 meninggal. Khusus Aceh dan
Nias (Sumatera), gempa menelan lebih dari 126.000 korban
jiwa. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di
Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra. Di Meulaboh,
sebagian besar dari semua bangunan rusak akibat gempa dan
tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami
yang menghantam pantai barat Aceh dan Sumatera Utara.
Jumlah korban yang meninggal di Meulaboh saja diperkirakan
7.000 orang dengan jumlah pengungsi sebanyak 45.000 orang.
Korban tersebut, sebahagian besar ditemukan, namun tidak
semua bisa diidentifikasi, banyak juga yang hilang dan tidak

25
http://walrus.wr.usgs.gov/tsunami/sumatraEQ/seismo.html

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 99


pernah ditemukan.
Pengungsi 45.000 orang tersebut di atas, tersebar di banyak
tempat dan ini sangat menyulitkan dalam pendistribusian
makanan dan bantuan lainnya. Untuk memudahkan, maka
pengungsi dikonsentrasikan menjadi hanya paling banyak 4 titik
yaitu di Kantor Bupati dan Kantor BAPPEDA yang bersebelahan
mencapai 10.000 orang, di SMA Negeri 1 Meulaboh sekitar
5.000 orang, di SMK/STM mencapai 9.800 orang dan sisanya
masih tinggal di rumah-rumah saudara atau ada yang telah
mendapatkan rumah sewa.
Pasca bencana pemerintah pusat membentuk badan
penanggulangan bencana disebut Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara.26 Badan tersebut mempunyai staf
penuh waktu dan dua badan pengawas. BRR beroperasi selama 4
tahun dan berkantor pusat di Banda Aceh dengan kantor cabang
di Nias dan kantor perwakilan di Jakarta.27 Tindak lanjutnya,
masyarakat Aceh dan Meulaboh- harus mampu belajar dan
bersahabat dengan alam untuk tetap berusaha menjaga ekosistem
dan kearifan lokal, selain hadir media teknologi sebagai sistem
peringatan dini dan pengetahuan mengenai bahaya dan risiko,
peramalan, peringatan, dan reaksi, observasi (monitoring

26
BRR berdiri pada tanggal 16 April 2005 hingga dibubarkan 17 April 2009 oleh Presiden
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berdasarkan mandat yang tertulis dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2/2005 yang dikeluarkan
oleh Presiden Republik Indonesia. Tanggal 29 April 2005 SBY menandatangani Peraturan
Presiden (Perpres) No. 34/2005 menjelaskan tentang struktur organisasi dan mekanisme
BRR yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto. Dewan Pengarah yang terdiri dari 17
orang diketuai oleh Menko Polhukam Widodo AS. Ketua Dewan Pengawas yang berjumlah
sembilan dipimpin Prof. Dr. Abdullah Ali.
27
Dengan dibubarnya BRR di Aceh dan dilanjutkan oleh BKRA dengan menyisakan banyak
tugas, pekerjaan, dan berbagai persoalan di hampir semua satuan yang tertera dari rancangan
Blueprint hingga laporan akhir tugas BRR.

100 TEUKU DADEK - HERMASYAH


gempa dan permukaan laut), integrasi dan diseminasi informasi,
kesiapsiagaan.
Sayangnya, kesigapan ini belum berlanjut pada pengetahu-
an kesiapan mitigasi bencana masyarakat dan sumber daya
manusia yang ada, ditambah lagi sikap dan tata hidup masyarakat
yang konsumtif, pragmatis, dan metropolis, membentuk pola
pikir masyarakat tumbuh dalam sikap keterbukaan serta
pemusatan kekuasaan berada pada kekuatan kelompok dan
semakin berubah-ubahnya peran sosial individu, khususnya
daerah-daerah epicenter gempa tsunami berubah menjadi pusat
kota. Pengaruh yang sangat besar terjadi saat hadirnya para
relawan (NGO) asing dan berbagai pihak dari luar Meulaboh
yang peduli dengan tsunami membuat anak-anak, remaja dan
masyarakat Aceh pada umumnya harus berinteraksi dengan
banyak pihak. Keadaan ini membuat anak-anak, remaja dan
masyarakat Aceh belajar secara langsung budaya baru dari kultur
orang lain sebagai hasil dari interaksinya.
Persoalan pembangunan pasca bencana juga menjadi
isu yang perlu menjadi pertimbangan penting dengan letak
geografis Kabupaten Aceh Barat yang berada pada lempeng
Eurasia dan Hindia-Australia yang berdampak pada sisi negatif
dan atau positif dengan keberadaan wilayah Kabupaten Aceh
Barat tersebut. Dampak positif adalah Aceh Barat kaya akan
kandungan logam, mineral, minyak bumi, gas, dan bahan
tambang lainnya, yang tentu harus dikelola sebijak mungkn.
Sedangkan dampak negatif Aceh Barat akan rawan bencana
gempa bumi, letusan gunung berapi (bawah laut), iklim cuaca,
dan tsunami. Oleh karenanya dibutuhkan kearifan jangka
panjang didalam memanfaatkan kekayaan alam yang adadengan
memadukan teknologi informasi geospasial tanpa menanggalkan
pengetahuan lokal.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 101


Selain pembangunan secara fisik yang terus menerus
dilakukan, maka pembentukan non-fisik seperti perkembangan
psikologis dan teologis harus juga menjadi perhatian agar
masyarakat Aceh dapat mencapai keseimbangan keduanya,
termasuk akidah dan kerukunan beragama. Perubahan sosial
masyarakat Aceh post-disaster, perubahan perilaku generasi
muda-mudi, dan penurunan intensitas dan motivasi generasi
baru untuk melaksanakan kebiasaan-kebiasaan yang arif yang
selama ini ada akan berpengaruh pada proses pembentukan
identitas dirinya.28
Salah satu identitas diri remaja Aceh yang diwariskan
oleh budaya masyarakat Aceh adalah budaya Aceh yang identik
dengan Budaya Islam karena Aceh dikenal sebagai Serambi
Mekkah. Oleh karena itu, masyarakat Aceh harus berupaya
mengantisipasi perubahan perilaku remaja tersebut agar proses
pembentukan identitas diri remaja Aceh tetap berada pada
konsistensi budaya Aceh.
Disadari atau tidak, wilayah Kabupaten Aceh Barat
memiliki potensi kebencanaan yang cukup tinggi, berupa gempa
bumi dan dampak yang diakibatkannya, seperti tsunami, longsor,
atau dampak lainnya seperti angin puting beliung (topan) dan
banjir. Potensi kebencanaan ini dapat menimbulkan kerusakan
yang parah dan seketika karena sebagian besar wilayah perkotaan
berkembang di Pesisir Pantai Barat. Oleh karena itu, pemerintah
bersama masyarakat tidak hanya fokus pada infrastruktur
saja, tapi juga pemahaman kerohanian dan keagamaan, dan
pengembangan kearifan dan kenyamanan dalam bencana alam.

28Nurul Hartini, Remaja Nangroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami Jurnal Unair, Tahun
2011, Volume 24, Nomor 1, Hal, 45-51

102 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Gambar: Seahawk helicopter Anti-Kapal Selam Squadron Dua (HS-2) ditugaskan untuk
membantu korban gempa-tsunami mendarat di halaman mesjid agung Baitul Makmur di
Meulaboh (gambar: Zainal Arifin)

Budaya Meulaboh Pasca Bencana Aceh


Konsep budaya dan kebudayaan yang kita bahas disini
sangat umum, sebab budaya pada dasarnya tidak terikat pada
nilai budaya, karena budaya merupakan sebuah konsep lebih
luas daripada sekedar nilai budaya. Walau budaya (culture)
seringkali didefinisikan dengan beraneka ragam arti dan makna,
antara satu makna dengan makna yang lain dapat berbeda.
Antara orang awam dan akademisi pun dapat berbeda pendapat
tentang arti budaya ini. Bahkan di antara akademisi mempunyai
pandangan yang tidak sama.
Kenyataannya, budaya adalah konsep yang bermakna
keaneka-ragaman. Ada yang memaknai secara luas dan ada pula
yang memaknainya secara sempit. Bagi mereka yang paham
dalam analogi sempit dan terbatas hanya pada sekadar sebuah
seni, bangunan benteng dan keraton, tari-tarian, kesusasteraan,
dan sebagainya. Padahal bagian dari arti-arti seperti disebutkan
adalah bagian dari budaya.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 103


Mengutip apa yang disebut oleh Koentjaraningrat bahwa
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Sistem gagasan atau sistem ide miliki
satu masyarakat yang dijadikan acuan tingkah laku dalam
kehidupan sosial dari masyarkat yang bersangkutan merupakan
wujud kebudayaan itu yang bersifat abstrak, sedangkan perilaku
atau tata tindakan dan hasil karya (benda budaya) merupakan
simbol-simbol kebudayaan saja.
Akibatnya, memudarnya identitas kebudayaan Aceh Barat
data informasi di instansi-intansi terkait, walaupun kini telah
mengarah kepada perbaikan, sebut saja data yang dipublish
(2009) menunjukkan suku bangsa yang menghuni di Aceh Barat
selain Aceh, terdapat Jawa, Padang, dan Cina. Namun, minim
pada informasi kebudayaan, seperti permainan rakyat, kerajinan
tradisional, cerita rakyat (folklore), upacara adat, kesenian, dan
termasuk kekhasan Meulaboh atau Aceh Barat.29
Dalam konteks ini, nilai budaya yang dimiliki masyarakat
Meulaboh dan Aceh Barat dapat terdiri dari beberapa kategori
nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni,
dan nilai ekonomi. Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah nilai,
misalnya nilai gotong royong, tertib, setia kawan, harga diri,
tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya.
Hal tersebut dapat dilihat pada sejarah Meulaboh, dengan
sikap dan nilai kepahlawanan, tolong-menolong, bersatu,
dan sebagainya, yang menunjukkan ciri-ciri kekahasan diri
masyarakat Meulaboh.
Nilai disiplin juga merupakan unsur nilai religi, di samping
taqwa, iman, patuh, amanah, dan sikap tawadhu dan rendah
hati. Sikap ini lebih banyak tercermin pada konteks perjuangan
di Meulaboh, sehingga sangat sedikit mendapat informasi
Sumber Dinas Kebudayaan dan Parawisata Aceh, 2009,
29

104 TEUKU DADEK - HERMASYAH


tokoh-tokoh penting yang berperan besar dalam perjuangan
Meulaboh, sebab mereka tak ingin dipublikasi. Pada beberapa
tahapan, tokoh-tokoh yang memiliki nilai religi itu semakin
tidak terekam (terabaikan) riwayatnya di periode kemerdekaan.
Akibatnya seperti apa yang terjadi pada tahun 2009 saat
Meulaboh dicanangkan sebagai kota Tauhid-Tasawuf. Dalam
konteks penerapan Syariat Islam di kota ini akhirnya menuai
pro kontra, sebagian dianggap sebagai konsep politisasi,
sebagian lainnya hanya simbolisasi, dan sebagian lainnya
menganggap program terburu-buru sebab kurangnya sosialisasi
dan sebagainya.30 Pada semua kasus tesebut, persoalan
yang dihadapi adalah belum adanya tokoh (pamor) sebagai
pedoman masyarakat selama kurun waktu setengah abad.
Selain itu, persepsi masyarakat umumnya yang keliru atau
kurang memahami konsep ilmu tasawuf itu sendiri. Di sisi
lain, secara historis, pendalaman syariat dan akidah merupakan
bagian sangat penting untuk menangkal aliran dan ajaran sesat
yang merasuki daerah-daerah post-disaster.
Di masyarakat Aceh terdapat beberapa aturan, nilai, norma
atau kebiasaan yang diharapkan oleh masyarakat Aceh mampu
mencegah terjadinya perilaku menyimpang. Di antaranya:
penekanan bahwa belajar agama sejak kecil adalah solusi dalam
pendidikan anak-anak dan remaja Aceh (generasi Aceh), masuk
pesantren/dayah atau pengajian meunasah, kebiasaan untuk
lima waktu shalat berjamaah; keharusan untuk berlatih mandiri
pada remaja laki-laki dengan tidur di meunasah dan terpisah
dari keluarga serta keharusan berbusana (berjilbab) pada wanita
yang mulai beranjak usia remaja (baligh) serta tidak boleh
keluar rumah sendiri tanpa muhrim sehabis magrib. Pada sisi
lain mengembangkan kompetensi dan keterampilan masyarakat
untuk melakukan penyesuaian terhadap masalah (adaptive
30
Lihat berita lokal cetak dan online medio September-Desember 2009 konteks tentang
Meulaboh kota Tasawuf.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 105


coping) perkembangan zaman, berbagai ketrampilan tidak
hanya berbasis pada sejarah Meulaboh semata, tetapi juga harus
ditinjau sisi filolosofis dan ekonomis untuk eksistensinya.
Kebiasaan masyarakat Aceh untuk melestarikan reusam,
kesenian lagu-lagu daerah dan tarian tradisional dengan
bertemakan keberanian dan kehalusan budi bahasa diharapkan
dapat memberikan proses pembelajaran positif saat menghadapi
masalah, dan ini sering ditonjolkan sebagai sikap nasionalisme
kedaerahan. Selain itu, budaya patuh dan taat pada alim ulama
juga turut memberikan kekuatan tersendiri dalam masyarakat
Aceh untuk menyelesaikan masalah.
Ketidakseimbangan rehab rekons Aceh, termasuk Aceh
Barat, antara pembangunan fisik dan peningkatan non-fisik
melahirkan cerita baru, interaksi masyarakat Aceh (generasi
muda) dengan relawan asing yang berbeda agama dan budaya
pascatsunami membuat Aceh belajar budaya asing---terkadang-
--tanpa filter. Selain itu, perkembangan teknologi informasi
di Aceh pascatsunami membuat generasi Aceh menunjukkan
peningkatan pada keterampilan memanfaatkan teknologi
informasi di luar kontrol. Kondisi tersebut memberikan
pengaruh pada penurunan motivasi dan kecintaan generasi
Aceh pada kebiasaan, kesenian, tradisi dan budaya Aceh, yang
akhirnya menjadi tugas baru dan beban berat bagi pemerintahan
berikutnya.

Khazanah Aceh Barat


Pembahasan pembentukan Aceh Barat dan Meulaboh di
awal periode kemerdekaan Indonesia telah dikupas di awal bab
ini. Seyogyanya meneropong kilas khazanah pemerintahan saat
ini, terutama potret pascabencana alam 2004 dan kemanusiaan
di Meulaboh, yang menjadi khazanah warisan ke depan, sebagai

106 TEUKU DADEK - HERMASYAH


kepeduliaan kita dalam membangun Aceh Barat secara bersama-
sama dan sekaligus menjadi referensi untuk generasi mendatang.
Jika beranjak dari waktu tersebut, setidaknya ada enam
orang yang menjabat nomor wahid di Aceh Barat, baik
terpilih dalam pemilihan umum kepala daerah, ataupun pejabat
sementara, mereka menjadi tokoh penting dalam rekonstruksi
dan rehabilitasi Aceh Barat, fisik dan non-fisik. Dengan
mewadahi masyarakat di 12 Kecamatan, 32 Kemukiman dan 322
Gampong.
Setelah ditetapkan UU Nomor 4 Tahun 2002 Tentang
Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan
Raya dan Kabupaten Aceh Jaya, Wilayah Kabupaten Aceh Barat
dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat,
Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya.
Dengan demikian Aceh Barat memiliki beberapa
kecamatan, diantaranya;
- Arongan Lambalek, luas 130,06 Km2 (4,44% luas Aceh
Barat) (27 desa, dan 2 mukim)
- Bubon, luas 129,58 Km2 (4,43% luas Aceh Barat) (17 desa,
3 mukim)
- Johan Pahlawan, luas 44,91 Km2 (1,53% luas Aceh Barat)
(21 desa/kelurahan)
- Kaway XVI, luas 510,18 Km2 (62 desa, 4 mukim)
- Meureubo, luas 112,87 Km2 (26 desa, 2 mukim)
- Pantai Ceureumen, luas 490,25 Km2 (25 desa, 4 mukim)
- Panton Reu, luas 83,04 Km2 (19 desa, 2 mukim)
- Samatiga, luas 140,69 Km2 (32 desa, 6 mukim)
- Sungai Mas, luas 781,73 Km2 (18 desa, 2 mukim)
- Woyla,luas 249,04 Km2(43 desa, 3 mukim)
- Woyla Barat, luas 123 Km2 (24 desa, 2 mukim)
- Woyla Timur, luas 132 Km2 (26 desa, 2 mukim)

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 107


Sedangkan jumlah penduduk di Aceh Barat sebesar
177.532 jiwa, terdiri dari 90.107 jiwa laki-laki dan 87.425
jiwa perempuan. Penyebaran penduduk Aceh Barat 32,30
persen masih terkonsentrasi di Kecamatan Johan Pahlawan
yakni sebesar 57.334 jiwa, kemudian diikuti oleh Kecamatan
Meureubo dan Kaway XVI masing-masing sebesar 27.116
dan 19.182 jiwa.31
Letak geografis pasca pemekaran Kabupaten Aceh Barat
secara astronomi terletak pada 0461-0447 Lintang Utara
dan 9500- 8630 Bujur Timur dengan luas wilayah 2.927,95
Km dengan batas-batas wilayah yang diapit dari Utara oleh
Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie, dari Selatan oleh
Samudra Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya, dari Barat
Samudera Indonesia, dan dari Timur Kabupaten Aceh Tengah
dan Kabupaten Nagan Raya.
Jika ditinjau topografinya, maka kondisi fisik Kabupaten
Aceh Barat sebagian besar terdiri dari daerahperbukitan dengan
bentuk topografi dibagian utara adalah daerah pegunungan
yang merupakan rangkaian dari Bukit Barisan dan termasuk
dalam ekosistem Leuser. Berdasarkan kajian lereng dengan
menggunakan skala Maberry, maka dapat dikatakan daerah
Aceh Barat memiliki lahan yang sesuai untuk pengembangan
wilayah karena memiliki sudut lereng berkisar antara 0 sampai
3 persen. Jika ditinjau dari konstur wilayah, sebagian wilayah
di Kecamatan Sungai Mas dan Pante Ceureumen memiliki
ketinggian diatas 1500 m dpl, sedangkan sekitar 20 persen dari
keseluruhan wilayah yang merupakan dataran pesisir berada
pada ketinggian sekitar 25 m dpl yang mencakup Kecamatan

31
Sumber Badan Pusat Statistik Aceh Barat, 2012

108 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Johan Pahlawan dan Meureubo.
Struktur tanah Aceh Barat berada diantara dua patahan
(sebelah Timur Utara dan sebelah Barat - Selatan Kota) dan
berada pada pertemuan Plate Euroasia dan Australia yang
berjarak 130 km dari garis pantai barat sehingga kabupaten ini
rawan terhadap tsunami. Berdasarkan data yang ada, Kabupaten
Aceh Barat memiliki potensi bahan galian/tambang, antara
lain batu bara (di Desa Bukit Jaya Kecamatan Meureubo dan
Kaway XVI), emas di Kecamatan Sungai Mas, sedangkan daerah
Kecamatan Woyla dan Pante Ceureumen banyak terdapat batu
kapur/gamping, batu koral, kerikil, dan pasir. Keadaan geologi
tanah berupa endapan yang mencapai 58,05 persen atau 586.525
Ha.32 Kekayaan perut bumi di tanah Aceh Barat diharap dapt
dikelola dengan baik dan menyejahterakan rakyat, sebab belajar
dari berbagai fenomena kekayaan alam di daerah-daerah lain di
Indonesia belum dapat dikelola dengan baik untuk pembangunan
dan peningkatan ekonomi setempat.
Kabupaten Aceh Barat dikenal sebagai negeri penghasil
lada, dan merupakan daerah agraris yang memiliki potensi
lahan pertanian yang besar, subsektor pertanian tanaman
pangan merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar
masyarakat khususnya di daerah pedesaan.
Kekayaan sumber daya air yang dimiliki sangat besar
karena dialiri oleh 2 (dua) sungai besar yaitu Krueng Woyla dan
Krueng Meureubo dengan kapasitas alirannya lebih dari 250 liter/
detik. Dengan karakteristik dan pola aliran sungai ini, terdapat
permasalahan berupa adanya banjir periodik pada musim
penghujan. Dan sejumlah sungai yang ada di seputaran Aceh
Barat, yang paling luas efek persoalan banjirnya adalah Krueng
Woyla dan Meureubo. Khususnya Krueng Meureubo dimana

32
Sumber data dan hasil penelitian Departemen Pertambangan dan Energi Aceh Barat dan
Prov. Aceh, 2011.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 109


pada area banjirnya terdapat simpul perkotaan Meulaboh sebagai
ibukota Kabupaten Aceh Barat. Perencanaan dan pembangunan
ke depan tersebut harus juga dipertimbangkan iklim di Aceh
Barat yang termasuk dalam kategori sub-tropis yang terdiri dari
dua musim, yaitu musim hujan antara bulan September sampai
dengan Februari, kadang disertai tingginya gelombang laut. Dan
kedua, musim kemarau antara bulan Maret sampai dengan bulan
Agustus.
Dengan kondisi alam yang demikian, sangat potensial dan
mendukung untuk pengembangan lahan produktif, ekonomi
kerakyatan, kelautan dan pertanian di Aceh Barat, sebagaimana
yang pernah dicapai dimasa lalu. Kini, dalam pemanfaatan
ruang atau penggunaan lahan di Kabupaten Aceh Barat pada
umumnya digunakan untuk keperluan areal perkampungan
dan permukiman penduduk, areal perkebunan, sawah, ladang
tegalan, areal budi daya perikanan darat, semak belukar dan
hutan. Pembangunan yang dimaksud secara berkelanjutan
dengan tetap melindungi dan melestarikan fungsi lingkungan
hidup, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, danau/
sungai, dan kawasan rawan bencana.
Jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan sejumlah
40,95% mata pencaharian penduduk di Kabupaten Aceh Barat
bergerak di sektor pertanian, hal ini disebabkan karena sebagian
besar masyarakatnya bertempat tinggal di daerah pedesaan,
diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 31,60
%, dan jasa kemasyarakatan sebesar 19,51%, sektor bangunan
dan kontruksi yakni 0,47 %, dan mencengangkan sektor industri
pengolahan 0 %.33
Sektor pertanian yang dikembangkan dalam bentuk
tanaman pangan merupakan salah satu sub sektor yang

Tim, Aceh Barat Dalam Angka, 2012


33

110 TEUKU DADEK - HERMASYAH


mencakup tanaman padi (padi sawah dan padi ladang) dan
palawija (jagung, kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau,
ubi kayu dan ubi jalar). Luas panen padi sepanjang tahun 2011
mencapai 13.585 hektar yang terdiri dari padi sawah sebesar
12.884 hektar dan padi ladang seluas 701 hektare.
Kecamatan Pante Ceureumen, Woyla dan Kaway XVI
merupakan daerah penghasil padi sawah terbesar di Aceh Barat.
Sedangkan untuk padi ladang, Kecamatan Sungai Mas adalah
pusatnya.Komoditi terbesar palawija di kabupaten ini adalah
kacang tanah dan ubi kayu. Produksi kedua komoditi ini di tahun
2011 masing-masing sebesar 3.258 ton dan 944 ton. Produksi
dan produktivitas kacang tanah ini tiap tahun terus meningkat.
Selain padi dan palawija, Aceh Barat juga kaya akan
produksi buah-buahan. Komoditi buah-buahan unggulan disini
adalah durian, rambutan, langsat dan semangka. Produksi durian
pada tahun 2011 mencapai 405 ton, tertinggi dibanding tahun-
tahun sebelumnya. Begitu juga dengan produksi rambutan yang
melonjak mencapai 253 ton di tahun 2011. Produksi langsat dan
semangka juga terus bertambah masing-masing mencapai 29
dan 10 Ton.34
Pada sektor lainnya, khazanah intelektual merupakan
bagian penting untuk pertumbuhan ekonomi dan kecerdasan
masyarakat Aceh Barat, sebab data pencari kerja di Meulaboh
masih didominasi oleh tamatan SMA atau sederajat (65 %),
dan disusul Strata Diploma (23%).35 Kabupaten Aceh Barat
salah satunya yang mampu meningkatkan jumlah angka melek
huruf usia 15 tahun menjadi 95.67 % pada tahun 2011. Namun
tantangan ke depan adalah konsentrasi (spesialisasi) pendidikan
dan pengetahuan, sehingga lahan-lahan pekerjaan yang

34
Lihat data http://www.acehbaratkab.go.id
35
Sumber Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Barat, 2011

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 111


dibutuhkan oleh pangsa pasar dapat terserap dari anak-anak asli
pribumi Aceh Barat. Sumber-sumber itu tidak hanya fokus pada
pelayanan jasa masyarakat, atau pertambangan, sumber mineral,
akan tetapi juga dapat dikembangkan dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora yang menunjukkan karakteristik dan kekhasan Aceh
Barat.
Permasalahan berat yang dihadapi Pemerintah Aceh
Barat ke depan adalah bertambahnya tingkat pengangguran
terbuka (TPT), dari data Kabupaten Aceh Barat tahun 2009
(4,6%) hingga 2011 (6,4%) mengalami fluktuasi. Bertambahnya
jumlah pengangguran di Kabupaten Aceh Barat pada tahun
2011 disebabkan oleh berbagai faktor, internal ataupun
eksternal, perluasan kesempatan kerja belum sebanding
dengan pertumbuhan angkatan kerja, kualitas dan daya saing
calon tenaga kerja belum sesuai kebutuhan pasar kerja, sarana
prasarana penyelenggaraan pelatihan kerja belum sesuai dengan
perkembangan kebutuhan pasar kerja, belum optimalnya sistem
informasi ketenagakerjaan atau Bursa Tenaga Kerja On Line
(BKOL), serta terbatasnya spesiliasi program di bidang masing-
masing yang dibutuhkan pasar.
Intelektual berbasis pengetahuan agama di dayah/
pesantren, yang merupakan lembaga pertama dan tertua di
Nusantara dalam pengembangan pendidikan dan pengajaran.
Kualitas dan kuantitas pesantren atau dayah harus terus
dikembangkan, seiring dengan perkembangan pembangunan
dan kepemerintahan di Aceh Barat. Pada tahun 2011 berjumlah
82 unit (dayah/pesantren) dengan total jumlah santri sebanyak
8.230 orang dibawah bimbingan 725 orang teungku36. Ke depan,
jumlah tersebut belum selaras dengan kuantitas jumlah masjid
dan meunasah yang ada di Kabupaten Aceh Barat sebanyak 618

Sumber Dinas Syariat Islam dan Pemberdayaan Dayah Kabupaten Aceh Barat, 2011
36

112 TEUKU DADEK - HERMASYAH


unit yang terdiri atas 286 unit masjid dan 332 unit meunasah.
Khazanah Meulaboh (Aceh Barat) yang harus
dipertahankan dan dikembangkan adalah keseniaan dan
kebudayaan. Warisan ini dapat memberikan pemasukan kepada
pemerintahan dengan program wisata sejarah, seni dan budaya,
dengan corak dan kekhasan Aceh Barat. Pegiat seni dan budaya
harus mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah, yaitu
dukungan infrastruktur dan jasa, seperti gedung pusat budaya
(cultural center) sebagai pusat pengembangan bakat, dan dapat
beriring dengan pusat khazanah (heritage center)Aceh Barat,
yang dapat dikembangkan dengan metode digital (modern).
Dengan demikian, hal tersebut membuka peluang sektor
pariwisata Aceh Barat berbasis pada khazanah lokal yang
bernilai sejarah, alami, dan islami, dipadu dengan objek
wisata yang telah dimiliki saat ini, baik berupa wisata alam
pantai; Batee Puteh, Ujong Kareung, Pasar Aceh, Suak Ribee,
Lanaga, Lhok Bubon, dan pantai Suak Geudeubang. Wisata alam;
Geunang Geudong, Geunang Pulong, Geunang Laot Blang. Atau
wisata budaya dan rohani; Mesjid Agung Baitul Makmur, Mesjid
Tuha Gunong Kleng, Quran Ju Panton Rheu, Makam Pahlawan
(Pocut Baren, Teuku Umar, Ibrahim Woyla, dan sebagainya),
dan sebagainya; atau wisata sejarah ke kuburan massal Tsunami
dan tugu meninggalnya Teuku Umar.
Akhirnya, pembangunan Aceh Barat ke depan tidak
semudah wacana dalam buku ini, namun dibutuhkan sinergisitas
antarinstansi atau lembaga dengan pemanfaatan sumberdaya
alam untuk mendukung pembangunan Aceh Barat harus optimal,
komprehensif, simultan dan sustainable (keberlanjutan), karena
potensi ini masih belum dapat dimanfaatkan oleh investor akibat
kurangnya informasi, promosi dan regulasi yang mendukung
investasi.
Oleh karena itu, pencapaian tujuan pembangunan era post-

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 113


disaster merupakan tantangan global yang harus dituntaskan
oleh Pemerintah Aceh Barat ke depan, dengan berbagai
indikator tujuan pembangunan pada memberantas kemiskinan
dan kelaparan; mewujudkan pendidikan dan pengetahuan
dasar; meningkatkan kesetaraan hak sebagai warga masyarakat;
pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; kesiagaan
mitigasi bencana dan dampaknya; serta pengembangkan
kemitraan global dalam pembangunan di Aceh Barat.
Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek pemerin-
tahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan
tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini dan pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam, sebagai salah satu aspek konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistennya, pengelolaan kawasan
pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan
secara lestari dan bijak.
Sehingga pelaksanaan pembangunan Kabupaten Aceh
Barat haruslah berwawasan lingkungan, sehingga dapat
mengendalikan sistem iklim melalui pengelolaan sumber daya
alam yang baik. Sebagai daerah agraris dan bahari memiliki
hutan tropis dengan keragaman hayati yang terkandung di
dalamnya dan merupakan modal yang sangat penting dalam
meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat serta telah
terbukti dan teruji di periode-periode sebelumnya, kerajaan,
kolonial Belanda hingga kemerdekaan bahwa di bidang pertanian
dalam arti luas, perikanan, dan kehutanan mampu memberikan
kontribusi yang signifikan pada produk domestik
Oleh karena itu penyusunan visi misi secara komprehensif
dan berkesinambungan antara pemerintahan dan melibatkan
komponen masyarakat dapat memiliki gambaran yang sama

114 TEUKU DADEK - HERMASYAH


mengenai kondisi yang harus dicapai oleh masyarakat dan
pemerintah daerah Kabupaten Aceh Barat, dalam jangka pendek,
menengah dan panjang melalui pelaksanaan pembangunan,
sehingga sejarah Meulaboh (Aceh Barat) tetap eksis ke depan
dengan mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berlandaskan Islam adalah
memperkuat jati diri dan karakter masyarakat Aceh Barat
Selain itu, mewujudkan masyarakat yang mempunyai daya
saing yang menonjol dan handal pembangunan sumber daya
manusia berkualitas dengan meningkatkan penguasaan dan
pemanfaatan iptek yang tepat dalam meningkatkan produksi
dan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan.
Di bidang pembangunan, mewujudkan pemerataan pem-
bangunan dan berkeadilan dengan meningkatkan pembangunan
daerah Aceh Barat yang asri dan lestari yang dapat menjaga
keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan,
dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan
dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan serta
mewujudkan Kabupaten Aceh Barat menjadi daerah yang
maju, mandiri, kokoh dan berbasiskan kepentingan masyarakat
menumbuhkan wawasan luas bagi masyarakat dan pemerintah
agar pembangunan berorientasi pada potensi alam, manusia dan
masa depan Aceh Barat.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 115


116 TEUKU DADEK - HERMASYAH
BAB IV

KESIMPULAN

Meulaboh

B
eberapa literatur klasik di Aceh (dalam negeri) ataupun
di luar negeri dapat diperoleh informasi bahwa Meulaboh
telah eksis sejak keberadaan Kesultanan Aceh, khususnya
periode Alauddin Riayat Syah Sayyid Mukammil (1588-1604
M). Sumber luar (asing) menampilkan banyak referensi dan
beragam dari catatan penjelajah asing di Aceh ataupun hasil
kajian akademis.
Di kawasan teluk barat Aceh disebut-sebut dalam sumber-
sumber Arab, Cina dan Eropa sebagai pusat perdagangan
penting. Tempat ini banyak dikunjungi para pedagang dari
Timur Tengah, Gujarat dan kawasan Asia tenggara. Salah satu
pelabuhannya disebut Nalaboo, sebagaimana diungkapkan Reid.
Catatan Meilink-Roelofsz menyebut tahun 1526 M sebagai
waktu pertama tercatat bagi kemunculan kapal Aceh yang
bermuatan rempah-rempah mengarungi Laut Arabia menuju
Jeddah. Dan dalam kajian R.C Lane menyebut antara tahun 1555
sampai dengan 1566, kapal-kapal Aceh melintasi Lautan India
dan berlabuh di Jeddah, walaupun harus melewati hadangan dan
jarahan Portugis di tengah lautan lepas. Dan Sultan Alauddin

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 117


al-Qahhar (+1537-1568) telah memperkenalkan wilayah Aceh
kepada Turki sebagai bentuk kerjasama dan relasi antara dua
negara Islam.
Dalam perjalanan Augustin De Beaulieu tahun 1621 M
ke Aceh dan Sumatera disebutkan bahwa di antara pelabuhan-
pelabuhan yang terdapat di bagian pantai barat Kerajaan Aceh
Darussalam di antaranya yang dikenal nama Labo.
Nama tersebut kemudian lebih eksis dan bertahan lebih
lama sebagaimana kajian Dasgupta menyebut the late conquest
of Iskandar Muda, Labo, Singkel, Barus, Batahan, Pasaman,
Tiku, Pariaman, and Padang all on the west coast Sumatra.
Sebelumnya, kesuksesan perluasan wilayah kerajaan Aceh telah
diraih hingga Singkel dan Deli pada era Sultan Alauddin al-
Qahhar (+ 1537-1568).
Merujuk kepada literatur-literatur tersebut, maka eksistensi
wilayah-wilayah Aceh telah dimulai di kancah internasional
periode Sultan Alauddin al-Qahhar (+ 1537-1568), dan
kemapanan bandar-bandar di wilayah Aceh, termasuk Laboo
(Labo) yang dimaksud kini adalah Meulaboh sejak periode
Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid Mukammil (1588-1604
M), tepatnya pada hari kenaikan tahta Sayyid Muqammil, hari
Senin 20 Zulqadah 996 H bertepatan dengan 11 Oktober 1588
M. Penanggalan tersebut disesuaikan dengan naskah Bustanus
Salatinfi Zikri al-Awwalin wal Akhirinkarya Nuruddin Ar-Raniry
pada masa Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M).
Sedangkan nama Analabu (Analabou) untuk Meulaboh eksis
sekitar abad ke-18 Masehi. Lem Kam Hing dalam penelitiannya
menyebutkan bukan berarti nama Analabu tidak begitu dikenal,
sebaliknya ia menjadi pusat transit antara Banda Aceh menuju
Barus, Singkil dan sekitarnya. Kata Analabu sesuai dengan apa
yang terungkap dalam sketsa lukisan peta (manuskrip) yang
digambar langsung dengan tangan Kapten Samuel Ashmore

118 TEUKU DADEK - HERMASYAH


pada tahun 1821 yang kini dikoleksi New York Gallery mencatat
bahwa nama tempat Meulaboh adalah Analabou. Menurut
referensi arsip yang sama, James Horsburgh mengulang sketsa
peta tersebut tahun 1822, meskipun telah diidentifikasi ada
contoh yang masih tersimpan. Fakta bahwa peta tersebut dalam
bahasa Perancis, atas asumsi kami punya bahwa Ashmore atau
asistennya menyiapkan versi Perancis untuk seorang teman atau
permintaan seseorang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Labo (Laboo)
dan Analabu (Analabou) merupakan bandar Meulaboh yang
berada di pantai Barat Aceh, dengan demikian dapat dipastikan
bahwa pelabuhan itu sudah dikenal sejak periode Kesultanan
Aceh, atau kemungkinan juga sebelum Aceh Darussalam
eksis di level internasional, sebab Kerajaan Daya telah terjalin
hubungan dengan kerajaan Pedir. Namun, kita terhalang oleh
sumber-sumber primer yang belum kita temui.
Sedangkan nama Meulaboh sendiri sudah dikenal sebelum
Belanda menginjak kakinya di Meulaboh 1877. Sebagaimana
terbukti dalam peta Asia-Nusantara yang dipersembahkan
Sultan Aceh Mansur Syah (1838-1870) kepada Sultan
Abdlmecid di Istambul, 1849 M (1265 H), yang menunjukkan
Bandar Meulaboh pelabuhan bukan kerajaan. Kemudian nama
Meulaboh benar-benar dinobatkan setelah Belanda berada di
negeri penghasil rempah-rempah tersebut tahun 1877.

Aceh Barat
Dalam beberapa dokumen diperoleh informasi bahwa UU
No. 1 Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 23 Nopember
1945 mengatur tentang kedudukan Komite Nasional Daerah,
dimana UU ini mengamanatkan bahwa sebelumnya diadakan
pemilihan umum perlu diadakan aturan buat sementara waktu

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 119


untuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Daerah sebagai
pengganti perwakilan rakyat.
Maka, kelahiran Aceh Barat dapat disimpul pasca
kemerdekaan Indonesia, dan itu sekaligus kita memutuskan
makna dari West Kust van Atjeh yang diberikan Belanda kepada
pesisir pantai Barat Aceh. Melalui Komite Nasional Daerah
Kabupaten Aceh Barat secara resmi baru dibentuk sesuai
dengan Surat Gubernur Sumatera tanggal 29 Desember 1945
yang menunjuk Ibnu Saadan sebagai Kepala Luhak (Bupati)
Kabupaten Aceh Barat.
Wilayah administratif Kota Meulaboh mulai dibentuk pada
tahun 1946 yang meliputi perkampungan/desa: Pasar Aceh,
Panggung, Kampung Belakang, Kampung Pasir, Kampung Suak
Indrapuri. Administratif kota ini langsung dibawah Bupati
selaku Kepala Daerah Tk.II Aceh Barat.
Dalam perkembangan UU Indonesia, berdasarkan UU
Darurat (Drt) Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan
Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan
menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dengan
ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Aceh Selatan ibukotanya
apak Tuan.
UU No 7 Drt Tahun 1956 kemudian disahkan menjadi UU
24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi
Aceh yang melingkungi kabupaten-kabupaten: Aceh Besar,
Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh
Selatan, dan Kota Besar Kutaraja. UU ini kemudian menjadi
pegangan pemerintahan Aceh dan Meulaboh hingga saat ini.
Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi
menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat dan
Kabupaten Administratif Simeulue. Berlanjut periode berikutnya,
pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun

120 TEUKU DADEK - HERMASYAH


2000, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah
kecamatan-kecamatan baru. Setelah ditetapkan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh
Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Jaya.
Aceh Barat---dalam konteks yang lebih luas dan asal
mulanya- memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia
dari kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Tokoh dan
peran yang lahir di periode kemerdekaan merupakan cermin
kesatuan visi dan misi dari bangsa yang maju dan merdeka.
Peran Aceh Barat secara keseluruhan di periode kemerdekaan
menjadi begitu nyata, setelah beberapa tokoh penting muncul
menggoyang dunia dan memperjuangkan kemerdekaan.

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 121


122 TEUKU DADEK - HERMASYAH
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdul Karim Ms, Riwayat Teukoe Umar, Djohan Pahlawan,
Panglima Perang Besar di Tanah tjeh. Medan: Aneka,
1936.
Aboebakar Atjeh, dkk, Kamus Aceh-Indonesia. Jakarta:
Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan, Lembaga
Pengembangan dan Bahasa dan Kebudayaan, 1985.
Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka
Beuna, 1983.
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh: dari Perebutan Pantai
Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19.
Jakarta: Yayasan Obor, 1995
_____________, Sumatera Tempo Doeloe. Jakarta, Komunitas
Bambu, 2010
_____________, The Contest for North Sumatra, Atjeh, The
Nederlands And Britain 1859-1898, London, Oxford
University Press, 1969
Arun Kumara Dagusta, Acheh In Indonesian Trade And Politics :
1600-1641, Cornell University, 1962
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Jakarta: Prenada Media,
2005
Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari
Abad XVI Sampai dengan Abad XX. Jakarta: KPG.
C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, terj. The
Achehnese. Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, h. 127
Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di
Indonesia.Jakarta: KPG, 2008, h. 71-100.
D. Catz Rebecca, The Travel on Mendez Pinto. Chicago:

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 123


Chicago University Press, 1989.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar
Muda (1607-1636). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), 2008,
Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, Gempa
Bumi Dan Tsunami, Bandung: Direktorat Vulkanologi
Dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje
Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia
Belanda (1889-1936). Jakarta: Indonesian Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1990.
E.B Kielstra, Beschrijving van den Atjeh-Oorlog, Jil. I, 1883.
Edwar Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV
Manasco, 2002
Fernao Mendes Pinto, Prgrination, Paris: Editions de la
Diffrence, 1991.
G.J.W Drewes, Two Achehnese Poems. The Haque, 1980
G.W.J Drewes dan L.F Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri,
Bibliotheca Indonesia 26, KITLV, 1986
George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di
Indoensia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan kerja sama
dengan Sebelas Maret University Press, 1995.
Goerge Granville Putnam, Salem Vessels and Their Voyages: A
History of the Pepper Trade with the Islan Sumatra. Mass
Salem: The Essex Institute, 1992
H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Harian
Waspada, 1985.
H.K.J Cowan, The Hikajat Malem Dagang. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Bacaan dan sastra Indonesia dan Daerah,
1980.
H.M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961,

124 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk
Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan
Daerah. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992
Henry Chambert-Loir sultan Fansuri dalam Sultan, Hakim
dan Pahlawan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
Ecole Francaise dExtreme-Orient, 2011
Ibrahim Alfian, Sastra Perang: Sebuah Pembicaraan Mengenai
Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
James Siegel, Shadow and Sound; The Historical Thought of a
Sumatran People. Chichago: The University of Chichago,
1979.
Jane Drakard, A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran
Kingdom. Ithaca: Cornell University Press, 1990
Julius Jacobs, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh,
Leiden: E. Y. Brill., 1894
K.F.H. Van Langen, De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur
onder Het Sultanaat, Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1888
_____________, Atjehs Westkust, Leiden, E. J. Brill, 1888
_____________, Handleinding voor de BeoefeningAtjehsche Taal.
Sravenhages. Martinus Nijhoff, 1889
Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan pengajarannya.
Yogyakarta: Pustaka, 2006
Lem Kam Hing, Achehs Relation with the British, 1760-1819.
University of Malaya, Thesis 1969
_____________, The Sultanate of Aceh Relations with the British
1760-1824. New York:Oxford University Press, 1995.
M. H. Szekely Lulofs, Tjoet Nja Din De geschiedenis van een
Atjehse vorstin, Thomas and Eras Uitgevers, 1947
M. Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh. Bandung: 2009
Michael van Langenberg, Sumatera Timur: Mewadahi Bangsa
Indonesia dalam Sebuah Karesidenan di Sumatera Timur,
dalam Audery Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 125


Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Muhammad Ibrahim, dkk. Sejarah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh. Jakarta: Depdikbud, 1991
Panuti Sudjiman, Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya. 1995: 14
Raden Hoesein Djajadiningrat, terj. Teuku Hamid, Kesultanan
Aceh (Suatu Pembahasan tentang Sejarah Kesultanan Aceh
Berdasarkan Bahan-bahan yang terdapat dalam Karya
Melayu). Banda Aceh: Depertemen P & K dan Proyek
Pengembangan Permuseuman. 1983,
Ramli Harun, Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku di Meukek,
Jakarta: Dep. P & K, 1983.
_____________, Hikayat Pocut Muhammad, Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980.
Rusdi Sufi, Gerakan Nasionalisme di Aceh 1900-1942. Banda
Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1998
Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, II. Jakarta: Yayasan
Soko Guru, 1985
T. Ibrahim Alfian, Emas, Kafir dan Maut, Catatan Singkat
Mengenai Pengalaman Dua Orang Perancis Di Aceh
Barat Pada Akhir Abad XIX, Banda Aceh: Pusat Latihan
Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, 1976.
_____________, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda
Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999
Tgk Anzib Lamnyong, Hikajat Potjut Muhammad. Banda Aceh:
Lambaga Kebudajaan Atjeh, 1964.
Twk Abbas Abdullah dalam buknya Detik Detik Bersejarah
merebut dan menegakkan Kemerdekaan di Pantai Barat
Selatan
Tim, Rencana Tata Kota Meulaboh, Analisa dan Rencana. Banda
Aceh: Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1976
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG,

126 TEUKU DADEK - HERMASYAH


2009
William Marsden, Sejarah Sumatra. Jakarta, Komunitas Bambu,
2008

Arsip/Jurnal/Makalah
Anonim, Naskah Tabir Gempa, (MS) Koleksi Museum Negeri
Aceh. Banda Aceh
Badan Pusat Statistik Aceh Barat, 2012
Departemen Pertambangan dan Energi Aceh Barat dan Prov.
Aceh, 2011.
Dinas Kebudayaan dan Parawisata Aceh, 2009,
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh
Barat, 2011
Dinas Syariat Islam dan Pemberdayaan Dayah Kabupaten Aceh
Barat, 2011
Hermansyah, Naskah Tabir Gempa: Antara Mitigasi Bencana
dan Kearifan Lokal di Aceh (Kajian Terhadap Naskah-
Naskah Kuno) Prosiding ADIC III Malaysia, 2012, Vol. II.
Jelani Harun, The garden of kings: a universal history and Adab
work from seventeenth-century, Aceh, in Indonesia and
the Malay word, Vol. 32:92. Carfax Publishing: Taylor &
Francis group, 2004.
JohnHarris, I, R.C. Temple (ed) The Expedition of commodore
Beualieu to the East Indies, in A Geographical Account of
Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679. 1944.
Jongejans, J. Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu, Hollandia
Drukkerij, N.V. Baarn, 1939
Mailr. No. 847/13. Besluit van den Directeur van Binnenlandsch
Bestuur Besluit van den Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie van 18 September 1899 No. 25 dalam
Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 259

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 127


Nuruddin al-Raniry (Ms) Bustanus Salatin fi Zikr al-Awwalin
wal Akhirin (unpublished).
Nurul Hartini, Remaja Nangroe Aceh Darussalam Pasca
Tsunami Jurnal Unair, Volume 24, Nomor 1, 2011.
R.C.Lane, The Mediterranean Spice Trade: Further Evidence
of its Revival in the Sixteenth Century, The American
Historical Review, 45 (1939/40), 586. M.A.P Meilink-
Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the
Indonesian Archipelago, Den Haag: Nijhoff, 1962.
Surat Gubernur Hens kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
no. 192/82, dalam Kernpapieren no. H 797/ 16 1 KITLV
Leiden.Koetaradja 10 Agustus 1924
UU Darurat (Drt) Republik Indonesia No. 24 tahun 195
UU No 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Propinsi Aceh Dan Perubahan Peraturan Pembentukan
Propinsi Sumatera Utara Tanggal 29 Nopember 1956;
diundangkan 7 Desember 1956.
UU No 4, Tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya,
Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Nagan Raya, Dan Kabupaten Aceh Tamiang, di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Tanggal 10 April 2002,

Artikel/Online
T. Dadek, Menggagas Hari Jadi Meulaboh, Harian Serambi
Indonesia, 28 April 2013
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_24_1956.pdf
http://www.acehbaratkab.go.id/
http://www.kitlv.nl/
http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/
WestSumatraPepperPorts-ashmore-1821.

128 TEUKU DADEK - HERMASYAH


http://www.acehbooks.org/pdf/ACEH_02539.pdf
http://www.bmkg.go.id/
http://earthquake.usgs.gov.
http://walrus.wr.usgs.gov/tsunami/sumatraEQ/seismo.html
http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2012/02/08/
u/u/uu-1945-2012.pdf
http://eprints.undip.ac.id/3265/2/20_artikel_P%27_Haryono.
pdf

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 129


130 TEUKU DADEK - HERMASYAH
Lampiran I
Fi hijratin Nabiyyi s.a.w alf wa-miatain tsamaniyah wa-
khamsna, wa-f hijrat al-yawmi syahr Jumdi al-Akhir, yawm al-
Ahad, waqt al-Ashri fi saati al-mubarak . [1 Jumadi al-Akhir
1258 H/ Ahad 10 Juli 1842 M].
Bi-Aunillah al-malik al-alam, wa-bibarakati an-Nabiyyi
Sayyid al-Anam, wa-ala alihi wa-sahbihi wa-sallam, wa-
bibarakati sahabat al-Arbaah, wahiya Abu Bakar, Umar, Usman,
Ali radhiallahu anhum. Wa-bibarakati Izzati Quthbi ar-Rabbani
wal-Arifi samadani, wa-bihaqqi Sayyid Syaikh Muhjiddin Abdul
Qadir Jailani, wa-bibarakati kullihim Awliya as-Shalihin al-
Abidin, min masyriq al-ardhi il maghribih. Wa-bibarakati
afwah paduka marhum kulluhum, wa-bibarakati afwah paduka
marhum Sayyidil Mukammil, wa-bibarakati afwah paduka
marhum Meukuta Alam Iskandar Muda, wa-bibarakati afwah
Sultan[ah] al-marhum Tajul Alam Safiatuddin, wa-bibarakati
afwah Sultan al-marhum Alaiddin Ahmad Syah, , wa-bibarakati
afwah Sultan al-marhum Alaiddin Johan Syah, wa-bibarakati
afwah Sultan al-marhum Alaiddin Mahmud Syah, wa-bibarakati
afwah Sultan al-marhum Sultan Alaiddin Muhammad Syah, wa-
bibarakati afwah Sultanal-marhum Alaiddin Jauhar Alam Syah,
rahimatullahi alaihim ajmain, insya Allah Taala.
Dengan tolong Allah dan dengan berkat yang mempunyai
kebenaran dan ketinggian dan kemuliaan serta martabat al-ala
dan pada yang telah dikarunia daripada Tuhan yang bernama
Rabbukum al-Ala, yaitu Sayyidina wa-Maulana paduka Seri
Sultan Alaiddin Mansur Syah ibn Sultan al-marhum Jauhar
Alam Syah Johan berdaulat dhillullah f al-alam, tatkala baginda
semayam serta istirahat al-khair di atas singgasana kerajaan
daripada masa qudrati yang sepuluh mutu dan bertahtakan
dengan ratna mutu manikam dan berumbaikan mutiara daripada

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 131


intan dikarang dan berjadi yang telah terjadi, dan yang telah
dipertuan dalam negeri Aceh di Bandar Darussalam dewasa itu.
Maka bersabdalah dauli hadarat Syah Alam menyuruh
perbuat sepucuk surat ini menurunkan titah hukum wilayah
nikah dan pasakh, karunia dauli hadarat Syah Alam akan
Teungku Tjut (Cut).
Syahdan barang sekalian tuan-tuan ketahuilah yang di dalam
negeri Daya, pertama hulubalang dan segala pertuan dan segala
orang tuha-tuha, dan sekalian keuchik dan wakil atau tandial
serta segala rakyat kiranya.
Maka adalah seperti Teungku Cut ini sudahlah dia menjunjung
titah hukum wilayah nikah pasakh daripada dauli hadarat
Syah Alam, akan sekarang ini pun siapa yang mau akan nikah
dan pasakh hendaklah sekalian tuan-tuan datangkan kepada
Teungku Cut Alam, lagi pun jangan menjadikan kesukaran atas
sekalian hamba Allah yang jauh dengan dauli hadarat Syah Alam
di perkara lagi, jikalau sampai Teungku Cut barangmana negeri
dalam sebelah barat rantau dua belas, inipun siapa akan pasakh
atau nikah, demikian juga seperti yang telah tersebut hukum di
dalam surat ini, supaya segera mendapat hendaknya sekalian
hamba Allah jangan menjadi kesusahan.
Demikianlah, hendaklah pengetahuan sekalian tuan-tuan hal
inilah. Intaha al-kalam, sanah 1258 H1.

[cap Sikeurueng]

1
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta Pusat: Beuna, 1983, h 243-244

132 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Lampiran 2

Peta digambar oleh Samuel Ashmore pada tahun 1821.Geographicus Rare Antique Maps
- New York Gallery201 West 105th St., Ste. 42, New York, 10025, USA

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 133


Lampiran 3

H. Ibnu Sadan (Saadan)


Bupati Aceh Barat yang Pertama
(29 Desember 1945 s/d 15 Juni 1947)

134 TEUKU DADEK - HERMASYAH


H. T. Alaindinsyah
Bupati Aceh Barat ke-23
(08 Oktober 2012 s/d Sekarang)

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 135


Drs. H. Rachmat Fitri HD, MPA
Wakil Bupati Aceh Barat ke-2
(08 Oktober 2012 s/d Sekarang)

136 TEUKU DADEK - HERMASYAH


MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 137
138 TEUKU DADEK - HERMASYAH
UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1956
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM
KABUPATEN-KABUPATEN
DALAM LINGKUNGAN DAERAH PROPINSI SUMATERA
UTARA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:
a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang No.
14 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956
No. 30) tentang pembentukan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah
Peralihan di Kabupaten-kabupaten otonom yang
ada di dalam Propinsi Sumatera Utara sekarang
ini telah diadakan persiapan-persiapan juga
untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah Peralihan
dimaksud untuk menggantikan dewan-dewan
perwakilan rakyat daerah lama yang masih
ada atau untuk menjalankan pemerintahan
daerah Kabupaten dimana masih saja belum
ada dewan-dewannya daerah, walaupun
hak-hak kewenangan pemerintah-pemerintah
daerah Kabupaten itu yang termasuk dalam
lapangan urusan rumah-tangganya ternyata
belum tegas diatur dalam peraturan-peraturan
pembentukannya;
b. bahwa berhubung dengan perkembangan
ketatanegaraan dan untuk melancarkan

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 139


jalannya pemerintahan Kabupaten-kabupaten
otonom dimaksud, perlu segera kepada
Kabupaten- kabupaten otonom dimaksud
diberikan dasar-dasar hukum yang
tegas dan yang semestinya dengan jalan
membentuk Kabupaten-kabupaten otonom
itu dengan Undang-undang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
No. 22 tahun 1948;
c. bahwa berhubung dengan keadaan yang
mendesak, pengaturan pembentukan
Kabupaten-kabupaten tersebut perlu dilakukan
dengan Undang-undang Darurat.
Mengingat:
a. pasal-pasal 96, 131, dan 142 Undang-Undang
Dasar Sementara;
b. Undang-undang No. 22 tahun, 1948;

Mendengar:
Dewan Menteri dalam rapatnya yang ke-33 pada tanggal 4
Oktober 1956;
Memutuskan:
Menetapkan:Undang-Undang Darurat Tentang Pembentukan
Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam
lingkungan Daerah Propinsi Sumatera-Utara.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Nopember 1956.
Presiden Republik Indonesia,

SOEKARNO.

140 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Menteri Keuangan,
JUSUF WIBISONO

Menteri Perekonomian,
BURHANUDDIN.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Nopember 1956
Menteri Kehakiman,
MOELJATNO

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 141


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1956
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM PROPINSI ACEH
DAN
PERUBAHAN PERATURAN PEMBENTUKAN
PROPINSI SUMATERA UTARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa berkenaan dengan hasrat Pemerintah
dalam usahanya meninjau kembali
pembentukan-pembentukan daerah-daerah
otonom Propinsi sesuai dengan keinginan dan
kehendak rakyat di daerahnya masingmasing,
memandang perlu membentuk daerah Aceh
sebagai daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah-tangganya sendiri lepas dari
lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera
Utara;
b. bahwa berhubung dengan pertimbangan ad
a di atas serta untuk melancarkan jalannya
pemerintahan daerah otonom Propinsi Sumatera
Utara yang terbentuk dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undangundang No. 5

142 TEUKU DADEK - HERMASYAH


tahun 1950 (sejak telah diubah dengan Undang-
undang Darurat No. 16 tahun 1955, Lembaran-
Negara tahun 1955 No. 52) perlu ditinjau
kembali dan diganti dengan undang-undang
dimaksud di bawah ini.
Mengingat : 1. Pasal-pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-undang
Dasar Sementara;
2. Undang-undang No. 22 tahun 1948.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

Memutuskan
Menetapkan: Undang-undang tentang pembentukan
daerah otonom Propinsi Aceh dan perubahan peraturan
pembentukan Propinsi Sumatera Utara.
Mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No. 5 tahun 1950

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Nopember 1956.
Presiden Republik Indonesia,

ttd.

SOEKARNO.

Menteri Dalam Negeri,

ttd.

SUNARJO

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 143


Diundangkan
pada tanggal 7 Desember 1956.
Menteri Kehakiman,

ttd.

MULJATNO

LEMBARAN NEGARA NOMOR 64 TAHUN 1956

144 TEUKU DADEK - HERMASYAH


BUPATI ACEH BARAT

PERATURAN BUPATI ACEH BARAT


NOMOR 70 TAHUN 2013

TENTANG

HARI JADI MEULABOH DAN KABUPATEN ACEH BARAT

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA


BUPATI ACEH BARAT,

Menimbang : a. bahwa Hari Jadi merupakan momentum


sejarah suatu daerah yang dapat digunakan
sebagai titik tolak dalam pelaksanaan
pembangunan dan sekaligus pendorong
untuk meningkatkan kreatifitas dan
atraktifitas guna mewujudkan otonomi
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
bahwa kota Meulaboh secara kewilayahan,
dan Aceh Barat sebagai sebuah Kabupaten
yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-
kabupaten dalam Lingkungan Daerah

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 145


Propinsi Sumatera Utara belum ditetapkan
suatu tanggal sebagai Hari Jadi;
bahwa berdasarkan penelusuran sejarah
Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat
dalam rangka penggalian Hari Jadi, telah
menemukan bukti-bukti pendukung yang
kuat tentang asal mula Meulaboh dan
Kabupaten Aceh Barat;
bahwa penetapan Hari Jadi Meulaboh dan
Kabupaten Aceh Barat dapat diperingati
setiap tahun, sebagai bagian dari jati diri
dan eksistensi suatu daerah, disamping
berperan sebagai faktor integrasi
masyarakat juga dapat memotivasi
peningkatan pembangunan daerah;
bahwa menjelang momentum peringatan
hari jadi, maka mendahului pengaturan
dalam Qanun Kabupaten Aceh Barat, perlu
menetapkan dalam suatu Peraturan Bupati;
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, perlu
menetapkan Peraturan Bupati Aceh Barat
tentang Hari Jadi Meulaboh dan Kabupaten
Aceh Barat;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 (Drt) Tahun


1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Kabupaten-kabupaten dalam Lingkungan
Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1956
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara

146 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Republik Indonesia Nomor 1092);
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3893);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 4438);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 147


Republik Indonesia Nomor 4633);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011Nomor 694);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG HARI


JADI MEULABOH DAN KABUPATEN
ACEH BARAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Aceh Barat.
2. Kabupaten adalah Kabupaten Aceh Barat yang merupakan
suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemeritahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

148 TEUKU DADEK - HERMASYAH


1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati.
3. Meulaboh yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat
adalah sebuah kota dalam pengertian kewilayahan, dan
bukan identitas dalam kontek struktur kepemerintahan.
4. Pemerintah Kabupaten Aceh Baratyang selanjutnya disebut
Pemerintah Kabupaten adalah unsur penyelenggara
pemerintahan kabupaten yang terdiri atas Bupati dan
perangkat daerah Kabupaten Aceh Barat.
5. Hari Jadi adalah tanggal yang ditetapkan sebagai hari
terbentuknya Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat.
6. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-
luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Penetapan Hari Jadi Meulaboh dan Kabupaten Aceh


Barat dimaksudkan untuk memberikan kejelasan bagi
Pemerintah Kabupaten dan masyarakat Kabupaten Aceh
Barat mengenai mulai terbentuk/berdirinya Meulaboh
dan Kabupaten Aceh Barat.
(2) Penetapan Hari Jadi Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat
mempunyai tujuan untuk memberikan kepastian hukum
mengenai mulai terbentuk/berdirinya Meulaboh dan
Kabupaten Aceh Barat.
(3) Selain tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penetapan Hari Jadi Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat
bertujuan memberikan rasa memiliki warga Kabupaten
Aceh Barat terhadap kota dan daerahnya, sekaligus

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 149


dapat lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam
mengisi pembangunan.

BAB III
PENETAPAN HARI JADI MEULABOH
DAN KABUPATEN ACEH BARAT

Pasal 2

Dengan Peraturan Bupati ini ditetapkan Hari Jadi Meulaboh dan


Kabupaten Aceh Barat.
Pasal 3

Hari Jadi Meulaboh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah


pada tanggal 11 (sebelas) Oktober 1588 M atau bertepatan
dengan tanggal 20 (dua puluh) Zulqaidah 996 H, bertepatan
dengan naik tahtanya Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
Sayyid al-Mukammil.
Pasal 4

Hari Jadi Kabupaten Aceh Barat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1 adalah pada tanggal 29 (dua puluh sembilan) Desember
1945 M atau bertepatan dengan tanggal 24 (dua puluh empat)
Muharram 1360 H, bertepatan dengan dilantiknya Ibnu Sadan
sebagai Bupati/Luhak Aceh Barat.

Pasal 5

Penelusuran sejarah Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat


dalam rangka penggalian hari jadi sebagaimana tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Bupati ini.

150 TEUKU DADEK - HERMASYAH


B A B IV
HARI ULANG TAHUN

Pasal 6

(1) Pada tanggal 11 Oktober setiap tahunnya, Pemerintah


Kabupaten beserta masyarakat melaksanakan Hari Ulang
Tahun untuk memperingati Hari Jadi Meulaboh.
(2) Pada tanggal 29 Desember setiap tahunnya, Pemerintah
Kabupaten beserta masyarakat melaksanakan Hari Ulang
Tahun untuk memperingati Hari Jadi Kabupaten Aceh
Barat.
(3) Tatacara pelaksanaan peringatan Hari Ulang Tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Peraturan Bupati.
(4) Masyarakat Kabupaten Aceh Barat dapat menyelenggarakan
Hari Ulang Tahun Meulaboh dan Kabupaten Aceh
Barat dengan berpedoman kepada Peraturan Bupati
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BABV
TEMA HARI ULANG TAHUN

Pasal 7

(1) Dalam setiap pelaksanaan peringatan Hari Ulang Tahun


Meulaboh dan Kabupaten Aceh Barat, Bupati menetapkan
suatu tema yang dapat mendorong semangat persatuan
dan kesatuan masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, meningkatkan pembangunan bagi
kesejahteraan rakyat dan memperkuat jati diri daerah

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 151


serta jati diri masyarakat Aceh Barat.
(2) Tema sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi
dalam beberapa sub tema sesuai dengan situasi dan
kebutuhan.

B A B VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 8

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Bupati ini mengenai


teknis pelaksanaannya akan diatur dalam Peraturan tersendiri.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 9

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya
dalam Berita Daerah Kabupaten Aceh Barat.

Ditetapkan di Meulaboh
pada tanggal 11 Oktober 2013 M
6 Zulhijjah 1434 H

BUPATI ACEH BARAT,

ttd.
T. ALAIDINSYAH

152 TEUKU DADEK - HERMASYAH


Diundangkan di Meulaboh
pada tanggal11 Oktober 2013 M
6 Zulhijjah 1434 H

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN


ACEH BARAT,

ttd.

BUKHARI

BERITA DAERAH KABUPATEN ACEH BARAT TAHUN


2013 NOMOR 70

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 153


BIODATA PENULIS

Teuku Dadek yang bernama


lengkap HT. Ahmad Dadek, SH,
lahir di Meulaboh pada tanggal 29
Nopember 1968, saat ini bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat.
Tamat pendidikan di Fakultas
Hukum UGM Yogya 1988-1992,
kemudian ia berkecimpung di media
Harian Serambi Indonesia (1992-
1994) dengan pengalaman terakhir
sebagai redaktur opini. Tulisannya
pun banyak termuat di media nomor satu di Aceh
Dadek memiliki minat yang luas terhadap sejarah dan budaya
Aceh Barat umumnya dan Kota Meulaboh khususnya. Ia pun
fokus menulis kedua subjek tersebut selain menduduki Ketua
Dewan Kesenian Aceh Barat.
Pasca rehab rekon gempa-tsunami di Aceh tahun 2004, ia
terlibat pada bidang kemanusiaan, antaranya menyampaikan
pidato tentang Tsunami di depan Presiden dan Masyarakat
Singapura dalam rangka peluncuran buku tsunami 2007 di
Singapura, melaksanakan kunjungan ke Negara Bagian Arizona
dan Kentucky USA dalam rangka promosi tsunami dan Sister
City pada Januari 2006, serta melaksanakan kunjungan ke
Jepang sebagai pemateri dalam kegiatan Rehab dan Rekon di
Jepang 2012.
Disamping itu, Dadek juga memiliki aktivitas akademis
dan kemasyarakatan, seperti mengajar terutama dalam bidang
pemerintahan di berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan

154 TEUKU DADEK - HERMASYAH


di Aceh Barat, memberikan motivasi dan penyuluhan kepada
para camat di Aceh Jaya dalam rangka mengalang kerjasama
dengan LSM asing atas prakasai UNDP pada tahun 2005,
pemateri dalam penyelesaian tapal batas bagi aparat gampong,
kecamatan di Nagan Raya, Aceh Barat Daya tahun 2007, Nara
sumber tentang peran BPBD yang diadakan TDMRC 2011,
Nara sumber tentang peran BPBD bagi BPBD se-Aceh, Nara
sumber tentang peran BPBD kepada BPBD Nias Selatan 2011,
Nara Sumber pertemuan negara selatan 2011, Nara sumber pada
Seminar Nasional tentang pengurangan resiko di Departemen
Dalam Negeri Desember 2011.E-mail: tadadek@gmail.com[]

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 155


BIODATA PENULIS

HERMANSYAH

Lahir di Blang Pulo Lhokseumawe


05 Mei 1980. Saat ini aktif mengajar di
Fakultas Adab dan Humaniora (FAH)
UIN Ar-Raniry Banda Aceh sejak 2009.
Usai menamatkan pendidikan Aliyah di
Pesantren Modern Misbahul Ulum Paloh,
ia melanjutkan jenjang S1 ke India, di
Institut Nadwatul Uloom Lucknow (BA)
(2003), dan dilanjutkan jenjang S2 di Aligarh Muslim University
(M.Th) (2003-2005). Dan mendapat kesempatan mengecap
pendidikan S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (MA.Hum)
(2009-2011) konsentrasi Filologi.
Sejak kembali ke Aceh tahun 2006, ia aktif mengajar dan
program kemanusiaan di NGO Tdh Itali (2007), selanjutnya di
bidang reintegrasi dan perdamaian Aceh dalam lembaga SSPDA
(Strengthtening Sustainable Peace and Development in Aceh)
(2009) kerjasama Bappenas dan UNDP.
Sebagai filolog Aceh yang konsendi bidang manuskrip,
tulisannya telah menghiasi media cetak dan online, Serambi
Indonesia, Atjehpost, dan lainnya, majalah Santunan kanwil
kemenag, Jurnal Adabiya FAH, dan buku 10 Cermin Merah
(2010), Aliran Sesat di Aceh: Dulu dan sekarang (2011).
Ia juga aktif di pertemuan ilmiah sebagai peserta dan pemateri
fokus pada kajian manuskrip, antaranya; Tabir Gempa dalam
Manuksrip di seminar Internasional ADIC Malaysia (2012),
Preservasi naskah kuno Aceh (UiTM Malaysia IAIN Ar-Raniry,
2012), Mufti Aceh dalam Manuskrip di seminar Internasional

156 TEUKU DADEK - HERMASYAH


ICAIOS (2013), Pangan dalam Naskah Kuna Nusantara di
seminar Nasional Perpusnas Jakarta (2013). Pemateri di seminar
dialog penelusuran Hamzah Fansuri (2012); seminar dialog
gempa dan sains (2013); seminar pelestarian naskah Melayu-
Nusantara (2013)
Aktifitas lainnya ia sebagai wakil ketua Jurnal Adabiya FAH
UIN Ar-Raniry (2012-sekarang), Tim penilai naskah Museum
Negeri Aceh (2012-sekarang), Ketua Program Lembaga
Rumoh Manuskrip Aceh (2012-sekarang), Ketua Tim Pengkaji
Manuskrip Aceh (2013), anggota Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa) (2010-sekarang), dan aktif mengelola blog
URL: www.hermankhan.blogspot.com atau www.hermansyah.
tksebagai referensi informasi manskrip di Aceh dan Nusantara.
E-mail: herman.atjeh@gmail.com

MEULABOH DALAM LINTAS SEJARAH ACEH 157

Anda mungkin juga menyukai