Anda di halaman 1dari 236

v

RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
v
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
v
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
RIAK-RIAK
SEJARAH DI ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat
Mempertahankan Jatidiri
Oleh :
Andri Nirwana, dkk
vi
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Andri Nirwana
Riak-Riak Sejarah Aceh (Mengungkap Perjuangan Masyarakat
Mempertahankan Jatidiri / Andri Nirwana, dkk. Cet. I, 2007 :
Ar-Raniry DarussalamBanda Aceh bekerjasama dengan Ak Group
Yogyakarta.
ISBN: 978-979-3655-35-2
Penulis:
Andri Nirwana, dkk
Editor
Dr. Misri A. Muchsin
Layout/Setting
Tim CV. Citra Kreasi Utama Banda Aceh
Jl. Mohd. Jam No. 36 Banda Aceh
Desain Cover
Alwahidi Ilyas
Diterbitkan oleh:
Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh,
Bekerjasama dengan AK Group
Cetakan Pertama, Desember 2007
Hak cipta @ ada pada pengarang, terpelihara oleh Undang-undang.
Copy rights reserved ada pada penerbit buku ini.
vii
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
PENGANTAR EDITOR
Satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa selama
ini para pengajar di lembaga-lembaga pendidikan kita, terutama
di Pasca Sarjana, hanya melatih kalau tidak berani dikatakan
memaksa mahasiswa untuk membuat makalah, tetapi tidak pernah
memikirkan kemanfaatan yang signifikan makalah-makalah yang
di hasi lkan ol eh mahasiswa tersebut. Seolah tidak pernah
terpikirkan penghargaan (reward) bentuk apa yang patut diberikan
kepada penulis-penulis makalah yang tergolong bagus, selain dari
nilai A atau B yang sudah biasa tersebut.
Pada sisi lain, tradisi dan budaya tulis menulis di kalangan
pemuda Islam, khususnya mahasiswa patut mendapat perhatian
dan sokongan serius dari semua pihak, khususnya dari pengajar,
sebab selama ini cenderung terabaikan. Mereka memiliki karya,
walaupun sebagai tugas matakuliah yang terstruktur, selama ini
tidak mendapat tempat dan perhatian yang layak di mata
pengajarnya, sehingga dengan demikian jauh pula dari dunia
publikasi. Akibatnya, semagat berkarya tidak tertolong Bagi
mereka. Kecuali itu mereka berkarya sekedar untuk memenuhi
viii
tugas wajib dalam mengikuti kuliah, dan setelah terpenuhi
kepentingan kuliah tersebut, tidak lebih sebagai sampah karya.
Kenyataan demikian tidak menguntungkan bagi perkembangan
ilmu dan dunia tulis menulis, sebab tidak menyemangati mereka
untuk menjadi penulis professional di masa depan.
Tulisan yang sudah berada di tangan pembaca ini dan
berjudul Riak-Riak Sejarah di Aceh, lebih bermakna dan ditujukan
pada dan untuk yang dimaksudkan di atas. Buku ini pada mulanya
merupakan makalah-makalah yang sudah disiapkan, dipresentasi
serta direvisi secukupnya sesuai dengan tawaran-tawaran dalam
diskusi kelas di PPs IAIN Ar-Raniry tahun 2OO7. Kemudian
tulisan-tulisan yang termuat dalam buku ini merupakan tulisan
pilihan di antara tulisan yang ada dari dua unit-kelas yang
ditugaskan penyusunannya, yai tu kel as atau Konsentrasi
Pemikiran Islam dan Fiqh Modern. Dalam hal memilih tersebut
sepatutnya saya mohon maaf pada saudara-saudara yang dengan
berbagai pertimbangan sebagian tidak dimuat tulisannya.
Akhirnya kepada Allah jualah semua kita berserah diri,
dan tulisan ini diharapkan bermanfaat kiranya, terutama bagi
generasi muda Islam di Aceh dalam upaya menemukan jati dirinya.
Editor,
DR. Misri A. Muchsin
Pengantar E di tor
ix
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
DAFTAR ISI
1. ASAL USUL ACEHDANMASYARAKATNYA .............. 1
Andri Nirwana
2. SEJARAHDANPERKEMBANGANISLAMDI ACEH..... 19
J amhir
3. SEJARAHBERDIRI KERAJAAN
ACEHDARUSSALAM ................................................. 33
J amaluddin
4. ULAMA DANUMARA DI KERAJAAN
ACEHDARUSSALAM .................................................. 47
Fajri Chairawati
5. HUBUNGANACEH-TURKI DI ZAMAN KESULTANAN. 59
T. Marzan
6. KEDATANGANPORTUGIS DAN
PROBLEMATIKABAGI ACEH ..................................... 75
Safrijal
7. KEDATANGANBELANDADAN
PROBLEMATIKABAGI ACEH ...................................... 87
Rasyidin
8. KEDATANGANJEPANGDAN
DILEMATIKABAGI ACEH............................................. 115
J amhir
9. KONFLIKACEHDI ZAMANKEMERDEKAANRI :
Muncul GerakanDI/TII ................................................ 133
J amaluddin
x
10. KONFLIKACEHMASAORDE LAMA: Kasus DI / TII ... 141
Suriana
11. KONFLIK ACEHMASAORDE BARU:
Latar Historis Muncul AM / GAM .............................. 153
Fajri Chairawati
12. PENYELESAIANKONFLIKACEH
DALAMERAREFORMASI ........................................... 165
Abdul Hadi
13. UUPA DANPERDAMAIANACEH
Saprijal ........................................................................ 179
Saprijal
14. PERDAMAIAN DAN UNDANG-UNDANG
PEMERINTAHACEH .................................................... 191
Makmun
15. EKSISTENSI GAM, KPADANPRAPASCAMOUHELSINKI
DAN PENETAPAN UUPA ............................................ 201
MaimunFadi
DAFTARKEPUSTAKAAN ................................................... 219
Mu q a d d i ma h
1
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
1
ASAL USUL ACEH DAN
MASYARAKATNYA
Oleh: Andri Nirwana
Pendahuluan
Berbicara tentang asal usul Aceh, sangat sulit untuk ditarik
kesimpulan, karena tidak ada satu data sejarah yang permanent
memberikan kesimpulan tentang asal usulnya. Hingga saat ini belum
ada satu kepastian konkret mengenai asal muasal dan kapan istilah
Aceh digunakan. Begitu pula dengan asal muasal etnis Aceh, sama
sulitnya untuk menentukan dari mana, juga karena tidak ditemukan
informasi yang yang terpercaya atau sumber yang berasal dari orang
Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah popular yang
disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit
untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pernyataan yang
paling populer yang sering didengar dalam percakapan sehari-hari
bahwa orang Aceh berasal dari Arab, Cina, Eropa dan Hindustan.
Pernyataan ini bisa membantu penulis dalam melihat lebih jauh apa
sebenarnya di balik pernyataan itu, apakah karena pernyataan itu
2
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
dilihat dari sisi bahasa atau dari sisi etnis atau dari bentuk fisik
orang Aceh sendiri sehingga orang Aceh berkesimpulan bahwa
mereka berasal dari Arab, Cina, Eropa dan Hindustan.
Penulis mencoba menggunakan pendekatan bahasa Aceh
ditambah dengan teori-teori tentang asal usul Aceh dari pendapat-
pendapat tokoh dalam dan luar negeri yang diharapkan dapat
menjawab permasalahan tentang asal usul Aceh serta perkembangan
masyarakatnya hingga nanti dapat disimpulkan apa, darimana,
bagaimana,masyarakat Aceh tersebut. Pendekatan dari nama Aceh,
etnis dan bahasa Aceh bisa memberi sedikit jawaban, tapi nantinya
ada sedikit pembahasan yang lebih rinci.
Pendekatan melalui sisi sejarah dikarenakan Suku Aceh
mempunyai keunikan tersendiri, terutama banyaknya integrasi etnik
atau campuran etnik yang akhirnya terdapat banyak sub-etnik Aceh
dari sejarah yang panjang. Kedatangan imigran ke Aceh sebelumnya
membawa suatu peradaban baru bagi penghuni Aceh sebelumnya,
seperti suku Manteu dan Melayu tua yang sudah lama mendiami
Aceh.
Pada bagian berikut, penulis akan menggunakan teori-teori
yang ada tentang Aceh kemudian melihat segi pendekatan
kebahasaan dan pendekatan sejarah serta etnik hingga nanti dapat
disimpulkan tentang asal usul masyarakat Aceh tersebut.
Teori-teori Tentang asal usul Aceh
Dalam buku Muhammad Said disebutkan bahwa dahulu
daerah Aceh pertama kali yang menghuninya adalah orang Manteu
yang memiliki peradaban yang rendah. Kemudian sekitar tahun
2500 SM orang Manteu digusur oleh orang Melayu Tua
1
, lalu
Melayu Tua digusur oleh orang Melayu Muda
2
dan Orang Melayu
Muda inilah yang berada di sekitar pantai dan berinteraksi dengan
pendatang hingga melahirkan orang Aceh yang sekarang ini.
Sedangkan Orang Melayu tua itu adalah orang Gayo
3
.
3
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
K.F.H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh
berjudul De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het
Sultanaat (Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan) yang
dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan
Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai
Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum tertanggal 30 Juni
1887 No. 956, dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul
Lets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder
het Voormalig Sultanaat in Atjeh (Serba-serbi Tentang Asal-Usul
Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanaan
di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat,
penduduk asli Aceh disebut Ureueng Manteue
4
yang didominasi oleh
orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam
keluarga besar Melayu yang asal-usulnya juga belum diketahui
secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini, dijelaskan bahwa
di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan
kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh, meskipun
dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur
formatif bahasa Batak dan Gayo
5
.
Berbeda dengan keterangan di atas, dalam buku The
Acehnese karangan C. Snouck Hurgronje disebutkan bahwa suku
Manteu seperti halnya suku Dayak yang ada di Kalimantan.
Mereka makhluk tanpa busana dengan seluruh tubuh ditumbuhi
bulu yang tebal dan orang-orang mempercayai bahwa mereka
menghuni daerah pegunungan di XXII Mukim
6
.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian
besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck
Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal
ini dapat dilihat dari segi bahasa. Bahasa Aceh menunjukkan
banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa
Mon Kahmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam peristilahannya. Perbandingan atau persamaan
4
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah dibahas dalam
Aanteekeningen betreffende de verhoding van het Atjesche tot de Mon Khmer
talen, oleh K.K.J. Cowan dalam BKI 104 (1948)
7
.
Seorang ulama Aceh terkenal pada abad XIX , yaitu
Teungku Kutakarang yang popular dengan sebutan Teungku Chik
Kutarakarang (meninggal 1895), dalam karyanya Tadhkirat al
Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga
percampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki
8
. Teungku Chik
Kutakarang tidak menyebutkan adanya pencampuran dengan suku-
suku bangsa lain seperti India dan lainnya
9
.
Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius
Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en
Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan
Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang
Aceh adalah suatu Anthropologis Mixtum
10
. Dapat disebutkan
pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan
Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah
(1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874)
dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903)
adalah berasal dari Bugis
11
.
Selanjutnya Penulis ingin menjelaskan juga asal usul Aceh
dengan menggunakan pendekatan bahasa dan perkembangan
masyarakat Aceh selanjutnya setelah berinteraksi dengan para
pendatang, guna memahami Aceh secara konprehensif.
Pendekatan Tentang Muasal Nama dan Bahasa Aceh
Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah
mengunjungi Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan
menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya
menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut
Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab
menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan
5
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung
Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang
menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis
Aceh
12
.Tapi semua data itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
dikarenakan sumbernya dari mulut ke mulut semata.
Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan
tentang asal-muasal nama Aceh, namun sumber-sumber tersebut
bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh
para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda. Walupun sifatnya
dongeng tapi sebaiknya dipaparkan saja sebagai bahan pertimbangan
nantinya bagi peneliti kemudian.
Dalam satu kisah, ada seorang Puteri Hindustan hilang dan
saudaranya mencarinya hingga ke pulau Sumatra dan sesampainya
di negeri yang kemudian disebut Aceh, tiba-tiba ia menjumpai Putri
itu, kepada para penduduk dijelaskan bahwa Putri itu adalah Aci
(adik) nya. Oleh karena Putri tersebut berkelakuan baik dan
terhormat, penduduk meyakininya keturunan bangsawan. Atas
mufakat penduduk, Putri itu diangkat menjadi ratu mereka, untuk
menamai negeri yang baru dipakailah kata Aci. Lama kelamaan
berubah menjadi Aceh
13
.
Van Langen mengkisahkan bahwa Aceh berasal dari bahasa
Hindu, Aca atau Atca. Diceritakan bahwa kerajaan Hindu dulu
tidak sebatas Aceh Besar saja, tetapi meliputi Timur laut termasuk
wilayah Pasai, Pidie, karena di daerah-daerah tersebut juga
ditemukan kuburan-kuburan Hindu. Dulu Aceh dikenal dengan
Pulau Seroja yaitu Bunga Seroja, kemudian berubah menjadi nama
sungai yaitu Cedah artinya cantik, baru kemudian dinamakan Aceh
seperti dalam hikayat berikut.
Sebuah kapal Gujarat India memasuki sungai Cedah untuk
berdagang, ketika awak kapal turun ke darat dan tiba-tiba di
kampung Pandai turun hujan, dengan terburu-buru mereka pun
6
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
berteduh di bawah sebatang pohon berdaun rindang, merasa leganya
mereka mengatakan Aca Aca Aca. Kemudian ketika mereka berada
di Pidie, mereka bertemu dengan sebuah Perahu dari sungai Cedah
mereka bertanya kepada awak Perahu apakah mereka ada singgah
di Kampung Pandai, mereka menjawab ya, mereka menjawab Aca
Aca Aca dan akhirnya Aca tersebut menjadi Aceh
14
.
Dalam bahasa Aceh banyak terjadi percampuran bahasa,
maksudnya bahwa dalam bahasa Aceh ada juga didapati bahasa
Arab, bahasa Cina, bahasa dari negeri Eropa dan banyak lagi bahasa
dari Hindustan. Fenomena ini bisa didapati dalampercakapan sehari-
hari sesama masyarakat Aceh Jadi langsung tidak langsung dapat
diasumsi bahwa masyarakat negeri ini dahulu kala pernah ada
interaksi dengan bangsa-bangsa dari belahan dunia lain.
Sebuah catatan dari M. Said menyebutkan: Ada petunjuk
dalam bahasa Aceh yang menarik pikiran orang untuk menyinggung salah
satu bagian yang mungkin pernah timbul dalam perkembangan awal sejarah
Aceh. Ketika diteliti bahasa Cam, baik dalam tata bahasa maupun istilah.
Tatkala di tahun 1891 sarjana G.K. Nieman meneliti bahwa ada beratus-
ratus istilah Cam yang didapati dalam istilah Aceh, maka dia lalu
mengajukan dugaan bahwa sebagian penduduk Aceh mungkin berasal dari
perpindahan negeri Campa (Indo Cina)
15
.
Hubungan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa dari
Indo Cina dapat dilihat dari banyaknya kata yang terdapat dalam
bahasa Aceh, mempunyai kesamaan makna dan kemiripan dalam
pengucapannya. Penelitian Nieman mengidentifikasikan bahwa
unsur bahasa Indo Cina pada awalnya mempengaruhi bahasa yang
berkembang di Aceh, demikian juga apabila dilihat dari segi
linguistik, menurut hasil penelitian Nieman dalam Said, bahasa
Aceh banyak kesamaan dengan bahasa Campa dari Indo Cina.
Kesamaan bahasa dalam antropologi sedikit banyaknya karena
mereka berasal dari nenek moyang yang sama, paling kurang
7
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
sebagian dari penduduk tersebut berasal dari nenek moyang yang
berbahasa yang sama dan ditambah lagi dengan nama yang sering
disebutkan atau diidentikkan bahwa asal orang Aceh adalah
percampuran dari Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Pengaruh bahasa
Cina dalam bahasa Aceh misalnya Canca (sendok) dan Cawan (sejenis
gelas minum air).
Sehubungan dengan interaksi antara orang Aceh dengan
orang Campa dari Vietnam, Dr. Lance Castle menyatakan: Ketika
kerajaan Funan menguasai rute perdagangan melalui tanah genting Kra,
sebagian bangsa Cam pindah atau dipindahkan ke tanah genting itu. Di
sana mereka dipengaruhi oleh bahasa orang Mon dan oleh bahasa penduduk
Malaka pra Melayu. Kemudian sebagian mereka pindah ke Aceh. Di Aceh
mereka berhubungan dengan suatu bangsa yang mempunyai bahasa yang mirip
dengan bahasa Nikobar. Bangsa inilah yang barangkali di Aceh dikenal
dengan sebutan orang Mantir atau Mentee. Pada abad ke-7 bahasa Aceh
tua yang dikembangkan sebagai cabang dari bahasa Cam tua lenyap dari
tanah genting Kra karena ekspansi Sriwijaya yang membawa bahasa Melayu
di kawasan tersebut
16
.
Dilihat dari pengaruh bahasa ada bahasa yang mempunyai
kesamaan dengan bahasa Campa seperti Cicem (Aceh) Cim
(Campa), Ie (Aceh) Ia (Cam), Khem-khem (Aceh) Khim (Cam),
akan tetapi kalau dilihat dari genetik kelihatannya pengaruh Cam
tidak begitu jelas ketimbang pengaruh India dan Timur Tengah.
Kenyataan tersebut dimungkinkan karena ada hubungannya
dengan penyiaran agama Islam, sebab agama Islam dikembangkan
oleh orang Timur Tengah dan orang India.
Perkembangan masyarakat Aceh secara Periodik
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal-
usulnya, etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee
(suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan
Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552).
8
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :
1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka
berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat).
Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai
pendatang.
3. Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi
batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari
baerbagai tempat.
4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang).
Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk
agama Islam.
Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat
kawom ini seringkali terlibat dalam konflik internal. Kawom-
kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat
Aceh dan solidaritas sesama kawom cukup tinggi. Mereka loyal
kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan
diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang
dituakan dalam kawom-kawom tersebut.
Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku yang
tergolong ke dalam etnik melayu atau ras melayu. Di samping itu
etnik Aceh sering diidentikan dengan Arab, Cina, Eropa dan
Hindia. Melihat dari segi fisik memang kebanyakan bentuk muka
orang Aceh cenderung mirip dengan orang Arab atau India. Akan
tetapi kalau dilihat dari kedekatan budaya dan strategis letaknya
memang Aceh terletak di Jalur perdagangan Internasional yaitu
Selat Malaka.
Aceh sejak dahulu telah mempunyai kontak dagang dengan
bangsa asing terutama dari India, Timur Tengah dan Cina. Realitas
tersebut karena letaknya yang strategis dengan jalur pelayaran
9
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
internasional serta berdekatan dengan lautan India dan Selat
Malaka. Keberadaan suku bangsa Aceh di ujung pulau Sumatra
menjadi perhatian para saudagar yang menggunakan laut sebagai
jalan transportasi di Selat Malaka. Adanya kontak bisnis dan
interaksi sosial tersebut sekaligus mengakibatkan terjadinya kontak
budaya antar bangsa-bangsa yang singgah di Aceh. Kehadiran
saudagar-saudagar tersebut makin hari makin bertambah, sehingga
pada waktu tertentu para pedagang menetap di Aceh. Para imigran
yang datang ke Aceh merupakan suku bangsa yang tidak berbeda
dengan suku bangsa lainya di Indonesia, terutama Sumatra. dengan
adanya kehidupan dan struktur masyarakat, maka diindikasikan
sejarah kedatangan imigran ke Aceh terjadi ribuan tahun sebelum
Masehi. Said menyebutkan: dari sudut-sudut pengetahuan tentang
jenis bangsa atau darah biasalah kita meyakini sepenuhnya sudah lama
sebelum Isa, sudah 1000 tahun atau 2000 tahun sebelumnya Aceh dihuni
oleh penduduk, serupa dengan jenis suku bangsa lain di kepulauan kita
17
.
Kehadiran mereka terjadi dalam dua gelombang. Periode
pertama merupakan suku melayu lama, mereka yang hidup di
pesisir Aceh. Kedatangan suku melayu baru membuat para imigran
yang datang lebih dulu menjadi lebih senang menetap di
pedal aman. Suku bangsa mel ayu l ama enggan meneri ma
pembaharuan sehingga mereka menetap di daerah dataran tinggi.
Imigran yang lebih dulu berimigrasi disebut dengan etnik Gayo di
Aceh Tengah dan suku Manteu di Aceh Besar. Zainuddin
mengatakan: Bangsa Aceh termasuk ke dalam rumpun melayu yaitu
bangsa Mante (bante),Lanun, Sakai Cakun, Semang (orang laut), Senui
dan lain-lain yang berasal dari Pahang dan Perak menurut Ethnologie,
ada hubungannya dengan bangsa Phonesia dan Babylonia dan Bangsa
Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga
18
.
Menurut Zainuddin, etnik Aceh mempunyai kesamaan
dengan etnik melayu lainya yang ada di Perak dan Pahang. Sejak
10
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
dulu orang Aceh sering berniaga ke Malaysia dengan membawa
lada dan sumber daya alam lainya ke Malaysia. kedekatan budaya
dan daerah antara pahang, perak dan Aceh waktu iu menjadi sangat
dekat bila dibandingkan dengan budaya masyarakat di Pulau Jawa.
Aceh pada awal perkembangan peradaban atau pada abad
pertama Masehi sudah menjadi jalur perdagangan internasional
yang merupakan salah satu pelabuhan dan tempat persinggahan
atau tempat terjadinya interaksi antar bangsa. Interaksi antar
bangsa tersebut di antaranya dengan dunia Arab, India dan
Tiongkok. Dilihat dari letak yang strategis wilayah Aceh yaitu jalur
i nternasional , maka dapat di sebutkan bahwa pada awal
perkembangan paradaban di Nusantara, Aceh merupakan salah
satu tempat pertemuan antar budaya, pertemuan tersebut makin
lama makin akrab dan bagus yang akhirnya terjadilah integrasi dari
beberapa suku bangsa di Aceh.
Menurut Thomas Bradel dalam buku Said disebutkan, di
zaman Yunani orang-orang Eropa mendapatkan hasil-hasil barang
Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai
Laut Tengah. Saudagar-saudagar di sini memperoleh barang-barang
dari Arab Saba. Pemegang kunci perdagangan di suatu pelabuhan
yang ramai di zaman itu di pantai Selatan Arab, Bandar Felix
namanya. Orang-orang Arab Saba mengangkutnya dari Barygaza
atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan
pengumpulan ke tempat mana barang-barang itu didatangkan dari
negeri penghasilnya, di antaranya dari Golden Chersonese. Sebelum
diangkut ke India, barang-barang hasil dari kepulauan Indonesia
lebih dulu dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan Sumatra atau di
tempat lain. Tegasnya di zaman Yunani itu saudagar-saudagar asing
sudah sampai ke ujung Sumatra
19
.
Hubungan antar bangsa terjadi disebabkan oleh interaksi
perdagangan dan mengarah ke kontak budaya. kontak budaya
terjadi antara bangsa Aceh dan bangsa asing mempengaruhi juga
kepada penyebaran agama hindu dan Islam. Kenyataan tersebut
11
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dapat dilihat di pedalaman Aceh seperti masjid kuno di Indrapuri
yang ada pengaruh dari budaya Hindu.
Perkembangan dan pengaruh Hindu/India atau migrasi
penduduk menurut Zainuddin dapat diduga sebelum masehi atau
semenjak ekspansi Raja Iskandar Zulkarnain ke Asia. Penduduk
dari lembah sungai Indus dan Gangga lari ke Sumatra/ Aceh
(334-326 SM). Kemudian setelah zaman Islam orang-orang Arab
Parsi makin ramai datang, perhitungan tahun dimulai dengan
tahun Hijriah, dari hindia orang-orang menyesuaikan dengan
perhitungan tahun Masehi. Seperti telah diketahui secara umum
bahwa ekspansi raja Zulkarnain ke Asia Tengah dan Asia
Tenggara dalam akhir abad IV dalam tahun 334-326 SM, telah
terjadi gerakan perpindahan besar-besaran berikut ini: bangsa
Phonisia, Surya (Syam), Persia dan lain-lain dari lembah sungai
Nil, Efurat dan Indus dari teluk Persia dan lautan Arab dan
lembah-lembah dari sungai Gangga negeri Baktria (Kabul-
Afganistan sekarang) tahun 327 SM. Maka Imigran sebagai
bangsa nomaden terlebih dahulu sangkut di pintu gerbang yang
berada dalam Selat Banang/Malaka, yaitu pulau-pulau Sailan
(kendi) Andaman,Nikobar, Sumatra dan Malaka, bagian sumatra
utara terutama Perlak, Pasai, Pidie (Poli) dan Lamuri (Aceh
Besar), Sumatera Selatan dan Tengah, Sungai Musi
20
.
Secara historis perpindahan penduduk terutama dari India
adalah karena di negeri asalnya terjadi perpecahan di dalam
pemerintahan terutama tentang perebutan kekuasaaan dan mereka
mencari kedamaiaan dengan berpindah, selain mencari kedamaian
perpindahan penduduk asing ke Aceh dikarenakan di tempat
asalnya sering terjadi kekacauan dan bencana alam, sehingga
penduduk setempat mencari derah yang lebih subur atau banyak
sumber daya alamnya.
Peristiwa perpindahan penduduk sedemikian rupa terus
menerus tidak terhenti sampai ke dinasti Maharaja Asoka yang
amat kejam (272-232 SM), sehingga banyak orang Keling dari
12
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
Madras lari ke Aceh, Malaka dan lain-lain di Nusantara dan setelah
itu di masa rubuhnya Andhara 185 SM-225 SM, banyak pula bangsa
Parthi dan Saka dari India Barat lari meninggalkan negerinya,
barangkali inilah asal bangsa sakai di Malaka. Gerakan besar-
besaran berikutnya adalah setelah penyebaran agama Islam dalam
permulaan abad VII semenjak kira-kira tahun 43-602 Hijriah
bersamaan dengan 712-1206 Masehi. Khafilah-khafilah dan
Mubaligh Islam telah mengembangkan Syiar Islam ke seluruh
Afrika, Eropa dan Asia, Persia, Syam dan India diserang dan
didirikan kerajaan-kerajaan Islam. Karena perang yang maha
dahsyat itu maka bangsa-bangsa Parsi dan Hindu yang tidak mau
menganut Islam telah menghindarkan diri dan mencari kediaman
baru pula. Immigraten ini telah membanjiri pulau-pulau di Asia
Tenggara. Sudah tentu saja Khafilah-khafilah perlarian ini sebagian
telah mengambil tempat di Aceh.
Hubungan antar bangsa yang telah terbina ribuan tahun di
Aceh menurut sejarah terjadi antara Negara India dan Persia.
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari peradaban yang
ditinggalkannya di Aceh terutama tentang kebudayaan, sistem mata
pencaharian dan makanan yang dikonsumsi mendekati dengan
makanan yang dikonsumsi orang India.
Sehubungan dengan masuknya Islam ke Aceh, merupakan
usaha dari orang Persia dan India. Sehubungan dengan itu Hasyimy
menyebutkan: seperti yang tersebut dalam Idharul Haq bahwa
dalam tahun 173 H (800 M) sebuah kapal datang dari teluk
Kambey (Gujarat) berlabuh di Bandar Perlak. Kapal membawa
pasukan angkatan dakwah di bawah pimpinan Nakhoda Kalifah
yang terdiri dari orang Arab Quraisy, Palestina, Persia dan India.
Mereka masing-masing mempunyai keahlian dalam bidangnya, di
samping rata-rata mempunyai pengetahuan dasar tentang Dakwah
Islamiyah, di antara mereka ada ahli pertanian, ahli perdagangan,
ahli kesehatan, ahli tata negara, ahli peperangan dan sebagainya
21
.
13
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Kedatangan angkatan dakwah ke Aceh pada waktu itu semata-
mata untuk mengembangkan dakwah Islamiyah dan ini mudah
diterima karena pendakwah terdiri dari India atau Gujarat, Pakistan,
Palestina serta Persia yang mereka sebelumnya telah dikenal oleh
orang Aceh.
Persoalan suku bangsa Aceh secara pasti sangat sulit untuk
dilacak dengan jelas, akan tetapi menurut data dan kenyataan
antropologi, bahwa sebagian penduduk Aceh merupakan
perpindahan dari India, Persia dan Timur Tengah. Kenyataan
tersebut dapat dilihat dari unsur budaya maupun prilaku
masyarakat yang mempunyai hubungan dan berdekatan dengan
India.
Struktur Masyarakat Aceh
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat
Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua
golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat
diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah
dalam satu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan
Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam
unit pemerintahan kerajaan; Uleebalang sebagai pimpinan unit
pemerintah Nanggroe (Negeri); Panglima Sagoe (Panglima Sagi)
yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang
menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau
Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong
(kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam
struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai
lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok
elite sekuler meninjau istilah Clifford Gelrtzt.
Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang
mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukum atau syariat
Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk
14
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi
hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah
seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung
Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/
sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para
ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini
dapat disebutkan, yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang
berhubungan dengan keagamaan pada satu uni t
pemerintah Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah
keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang
bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari
Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang
bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama
atau yang dipandang menerti mengenai hukum agama pada
tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nang groe yang
disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yai tu pengel ol a l embaga-l embaga
pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga
termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup
tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku
Chiek.
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas,
yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe,
terdapat laposan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar
Habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok
ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi
kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam
masyarakat Aceh.
15
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi
harta kekayaan yang mereka miliki. Untuk itu, maka ada golongan
hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Dari uraian
di atas penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula ke
dalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas
penguasa pemerintahan dan pegawai negeri, kelompok ulama,
yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama;
kelompok hartawan (mereka yang memilik kekayaan), dan
kelompok rakyat biasa
22
.
Kesimpulan
Setelah dikaji dan diungkapkanalam bagian terdahulu maka
dapat diambil kesimpulan bahwa Suku Aceh asli adalah Suku
Manteu kemudian mereka tersisih ke pedalaman akibat datangnya
Suku Melayu Lama kemudian Melayu lama menyingkir pula karena
datangnya Melayu Muda dan Melayu Muda inilah yang tinggal di
Pesisir pantai dan mengadakan hubungan (kawin) dengan para
pendatang, baik dari India, Arab, Persia, Cina dan bangsa Eropa,
yang hasilnya banyak orang Aceh yang mirip orang India, Arab,
dan Persia, Cina, malahan ada orang Aceh yang mirip Eropa.
Tentang asal usul nama Aceh terdapat banyak pendapat yang
menurut penulis itu hanyalah cerita dongeng, yang bisa dipercaya,
bisa pula tidak.
Tujuan awal para pendatang ke Aceh hanya untuk
berdagang, kemudian kawin dengan warga setempat hingga
akhirnya berimbas kepada penyebaran agama Islam dan ada juga
mereka yang datang ke Aceh karena kurang aman di negeri mereka,
makanya mereka mencari tempat yang aman, salah satunya adalah
daerah Aceh.
Penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi ke dalamempat
kelompok, yaitu Kelompok Penguasa, terdiri atas Penguasa
Pemerintahan dan Pegawai Negeri, kelompok Ulama, yaitu orang-
16
Asal Us ul Aceh dan Masyarakatnya
Andri Nirwana
orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok Hartawan
(mereka yang memilik kekayaan), dan Kelompok Rakyat Biasa
23
.
Ada juga di Aceh orang-orang yang keturunan dan Nabi Muhammad
mereka menggunakan gelar Said, Habib dan Syarifah.[]
Endnotes:
1
Orang Melayu Tua sudah mengetahui cara membuat rumah,
berternak, bercocok tanam serta memancing. Mereka telah mempunyai Periuk
dari tanah dan makan makanan yang dimasak. ciri Melayu Tua adalah berkulit
Sawo Matang, merekalah orang Gayo sekarang
2
Orang Melayu Muda mempunyai perdaban yang tinggi, mereka bisa
mengolah Tembaga maupun Besi menjadi Genderang dan lainya, mereka
datang secara ramai sehingga Melayu Tua menyingkir ke pedalaman.lihat
Muhammad said, Aceh Sepanjang Abad
3
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Waspada Medan,
1981), hal. 7
4
Orang Manteu dapat ditandai dengan warna kulit menghitam,
hidung Pesek, rambut Keriting serta berbadan sedikit pendek. lihat Dinas
Pariwisata Provinsi NAD, Jelajah Aceh 2004, Banda Aceh
5
htt p: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opt i on=i si &t ask=vi ew&
id=1789&Itemid=249
6
C. Snouck Hurgronje, The Acehnese, Cet I, (Jakarta: Yayasan
Sokoguru, 1985), hal. 21
7
htt p: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opt i on=i si &t ask=vi ew&
id=1789&Itemid=249
8
Tgk. Chik Kuta karang, Tadzkirah al-Radikin.
9
htt p: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opt i on=i si &t ask=vi ew&
id=1789&Itemid=249
10
Suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa
pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau,
Batak, Nias, India, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya.
11
http: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opt i on=i si &t ask=vi ew&
id=1789&Itemid=249
17
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
12
http: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opti on=i si &task=vi ew&
id=1789&Itemid=249
13
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675,
(Medan: Monora, 1972), halaman 35 dan Muhammad Said, Aceh Sepanjang
Abad..hal. 9
14
Muhammad Said, Aceh sepanjang..hal. 10
15
Muhammad Said, Aceh sepanjang..hal. 15
16
Ismuha, Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara, PKA 3, (Banda Aceh
:Syiah Kuala Press, 1988), hal. 182
17
Muhammad Said, Aceh Sepanjang.hal. 25
18
M. Zainuddin, Tarikh Aceh dan Nusantara, (Medan :Pustaka
Iskandar Muda, 1961), hal. 15
19
Muhammad Said, Aceh Sepanjang.hal. 12
20
M. Zainuddin, Tarikh Aceh.. hal. 17
21
Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh :Majelis Ulama
Indonesia daerah istimewa Aceh, 1995), hal. 3
22
ht tp: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opt i on=i si &t ask=vi ew&
id=1789&Itemid=249(Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi NAD. Jelajah Aceh.
2004. Banda Aceh)
23
ht tp: //www. nad. go. i d/i ndex. php?opt i on=i si &t ask=vi ew&
id=1789&Itemid=249(Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi NAD. Jelajah Aceh.
2004. Banda Aceh)
v
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
19
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
2
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
ISLAM DI ACEH
Oleh: Jamhir
Pendahuluan
Max Muller mengungkapkanpada dasarnya agama-agama besar
di dunia, dilihat dari perspektif penyebarannya ada dua macam yakni
agama risalah dan agama non risalah. Islam di samping agama-agama
lainnya seperti Budha danKristentermasuk kepada golonganpertama.
1
Islam adalah agama dakwah,
2
karena berperedikat agama dakwah
itulah, akhirnya Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia, setelah
melewati kurun waktu yang panjang, mengalami pasang surut yang
silih berganti, sehingga Islam sampai ke Nusantara ini melalui Perlak
pada abad ke-7. Perlak banyak disinggahi oleh kapal-kapal yang antara
lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya
masyarakat Isl am di daerah ini , ter utama sebagai akibat
perkawinan antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
20
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
Teori-teori Tentang Proses Masuknya Islam di Nusantara
Tentang proses masuknya Islam ke Nusantara mengundang
silang pendapat para ahli. Agaknya hal ini berpangkal dari
berbedannya teori-teori dan fakta sejarah yang mereka temukan.
Setidaknya ada dua versi pendapat. Pertama versi yang mengatakan
bahwa Islam telah masuk ke Nusantara semenjak abad ke-7 Masehi,
yaitu abad ke-1 Hijriah atau sekitar tahun 630 Masehi, dengan
berpegang pada teori yang mengatakan bahwa pada tahun 630-675
Masehi orang Arab telah datang ke Indonesia.
3
Analisa ini juga
diterima oleh Thomas W. Arnold yang dirujuknya dari hasil penelitian
yang dilaksanakan oleh W.P. Groeneveldt.
4
Dalam pada itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 11 dan 13 Masehi.
Dugaan seperti ini dikemukakan oleh Schrieke. Ia mengatakan
Islam masuk ke Indonesia ditetapkan pada tahun 1292 Masehi
(abad 13) berdasarkan catatan penting Marco Polo yang singgah
di Peureulak pada waktu itu
5
Secara akurat maka terdapat banyak teori tentang proses
masuknya Islam di kawasan Nusantara ini, dan dari teori-teori
tersebut dapat disimpulkan kepada enam:
1. Trade Theory (teori perdagangan) teori ini mengemukakan
bahwa pedagang-pedagang muslim membawa Islam
melalui perdagangan oleh karena itu seorang pedangang
muslim pada waktu itu sekaligus merupakan pengembang
agama. Salah satu variasi dari teori ini ialah pedagang-
pedagang musl i m mel akukan perkawi nan dengan
penduduk asli dan membujuk isteri mereka memeluk
agama Islam, sehingga terbentuklah keluarga-keluarga
muslim yang akan mengembangkan Islam lebih lanjut.
Adalah dekat kepada variasi ini, pedagang-pedagang
muslim kawin dengan wanita-wanita dari keluarga yang
21
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
berkuasa dan menghimbau mereka dan keturunan mereka
untuk menggunakan pengaruh kekuasaan mengembangkan
Islam.
2. Missionary Theory. Yaitu menerangkan bagaimana Islam
berkembang melalui usaha penyebar agama professional
yang khusus datang untuk tujuan tersebut. Salah satu
versinya adalah Islam dibawa dan dikembangkan oleh para
Sufi yang ikut bersama para pedagang. Suatu gabungan
antara teori pertama dan kedua dapat pula terjadi di mana
di antara para pedagang itu ada yang terdiri dari anggota
tariqat yang kegiatannya di bidang dakwah lebih banyak
dari usaha perniagaan.
3. Political Theory. Disini dijelaskan bahwa penerimaan Islam
oleh para penguasa dan hakim adalah karena motif politik.
Sebagaimana Islam dimanfaatkan sebagai alat politik oleh
para pedagang muslimyang menghendaki perlindungan dari
penguasa muslim di mana untuk itu mereka membantu para
penguasa dengan pelbagai sumber perekonomian.
4. Sebagai melengkapi teori ketiga di atas, terdapat suatu teori
yang disebut Economic Theor y, yaitu sebuah teori yang
melukiskan bahwa dengan mengakui Islam, para penguasa
dapat secara lebih luas dan menguntungkan bergerak dalam
perdagangan internasional di daerah yang terbentang dari
Laut Merah sampai ke Laut Cina. Teori ini juga beranggapan
bahwa para pedagang muslim mempunyai kekuatan yang
menentukan dalam bidang ekonomi dan perdagangan
sehingga mereka dapat memajukan, memboykot atau
membuat sesuatu kota pelabuhan yang mereka kehendaki
menjadi mati tak berfungsi. Teori ini mirip dengan teori
ketiga dari segi penyebaran Islam itu oleh penguasa.
5. Teori ini menerangkan bahwa Islam dipelik oleh banyak
22
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
penduduk asli dengan cara yang mudah sekali, karena prinsip-
prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam yang
diperkenalkan kepada mereka, memberi kepuasan kepada
aspirasi dan penerimaan batin tertentu. Adalah jelas bahwa
Islam memberikan kepada mereka suatu perasaan baru
tentang nilai-nilai individual dan sekali gus pula memberikan
kepada mereka perasaan mempunyai suatu masyarakat yang
lebih luas. Lebih dari itu Islam membebaskan mereka dari
pengolongan orang dalam sistim kasta. Dengan ringkas
dapatlah disebutkan bahwa Islam mempunyai suatu kwalitas
yang menarik sebagai suatu agama yang dapat memberikan
kepuasan rohani yang mendalam sehingga jadilah ia faktor
utama yang mendorong perkembangannya sendiri.
6. Crusader Theory, suatu pandangan tentang penyebaran Islam
sebagai hasil dari suatu respon kesadaran terhadap
kedatangan orang-orang Portugis dan orang-orang Eropah
beragama Kristen lainnya di kawasan yang penduduknya
telah ada yang beragama Islam. Teori ini mempunya dua
versi yang perbedaannya satu sama lain tidak begitu penting
yang satu berlatar belakang agama dan yang lain berlatar
belakang politik, yang pertama melihat missi agama Kristen
dipukul mundur oleh dakwah Islam dan meningkan
kesadaran Islam secara deramatis. Oleh karena itu kegiatan
dakwah Islam pada pokoknya telah menjadi tugas orang-
orang Islam yang dengan gigih mempertahankan agama
tersebut. Yang kedua menerangkan bahwa Islammempunyai
kemampuan untuk menciptakan suatu kekuatan ideology
atau sumber solidaritas dan persatuan kelompok yang
melahirkan kekuatan terpadu untuk melawan ide-ide yang
sangat bertentangan dengan ide-ide Islam. Dengan
menerima pandangan yang terakhir ini, dapatlah dikatakan
Islam telah membentuk suatu pra kebangsaan.
6
23
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Memperhatikan teori-teori di atas, kita akan sampai pada
suatu kesimpulan bahwa kehadiran Isl am di kawasan ini
berlangsung secara damai (Penetration Pasifique), bukan exspansi
yang dilakukan oleh suatu angkatan bersenjata dengan secara
paksa dan kekerasan (violence). Suatu kenyataan menunjukan bahwa
para pedagang muslim baik Arab Persi, Gujarat dan Benggali
maupun yang l ainnya datang ke Nusantara bukan untuk
mendapatkan koloni untuk negeri mereka sebagai imperialis, tetapi
yang mereka jumpai adalah masyarakat dagang di mana hubungan
mereka sebagai pedagang dan pendakwah dengan mayarakat, baik
yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan, berlangsung dengan
sangat akrab dan baik. Crowford mencatat bahwa keberhasilan
dakwah Islam di Nusantara pada periode awal masuknya di Perlak,
di sebabkan orang-orang arab dan para pendakwah lainnya
meleburkan diri ke dalam masyarakat asli, mempelajari bahasa
mereka, mengikuti kebiasaan mereka, melakukan perkawinan
dengan mereka. Kecerdasan dan kebudayaan mereka yang tinggi
hanya dipergunakan untuk membimbing dan mengajar penduduk
serta senantiasa memanfaatkan seti ap kesempatan untuk
memasukan ajaran agama ke dalam kehidupan masyarakat.
7
Kesultanan Perlak
Tidak banyak yang diketahui tentang daerah perlak sebelum
masuknya agama Islam pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7
Masehi. Catatan sejarah menyebutkan Aceh adalah daerah pertama
yang menerima syiar agama Islam di Indonesia. Dikatakan pada
abad ke-9 Masehi di Aceh telah berdiri kerajaan IslamPerlak dengan
ibu kotannya Bandar Kalifah. Pemberian nama Bandar Kalifah
sebagai kenang-kenangan terhadap nakhoda Kalifah yang pertama
kali membawa agama Islam ke Perlak.
Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang
berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, sekitar tahun
24
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
840 sampai dengan tahun 1292. di Perlak atau Peureulak terkenal
sebagai suatu daerah penghasil kayu Perlak, jenis kayu yang sangat
bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal
dengan nama negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis
membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju
pada abad ke-8; disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain
berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya
masyarakat Isl am di daerah i ni , ter utama sebagai aki bat
perkawinan antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Perkembangan dan Pergolakan di Perlak: Komplik syiah
dan sunni
Setelah Maju dan berkembangnya Islam di perlak maka
dalam perkembangan selanjutnya agama Islam terpecah menjadi dua
aliran yaitu Syiah dan aliran Ahlussunah Waljamaah. Keadaan ini
menyebabkan di kerajaan Perlak pada tahun 918 Masehi terjadi
semacam pemerintahan kembar. Sebagian penduduk tunduk kepada
pemerintahan Syaed Maulana dari aliran Syiah dan sebagian lagi di
bawah Meurah (raja) Abdul Kadir Syah dari aliran Ahlussunah
waljamaah.
Sultan pertama perlak adalah Sultan Alaidin Maulana
Muhammad Abdul Azis Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan
keturunan Arab buah perkawinan dengan perempuan setempat,
kemudian mendirikan kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H
(840 M). Ia mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak
menjadi Bandar Khalifah. Pada pemerintahan Sultan ketiga, Sultan
Alaidin Syed Maulana Abdul Abbas Shah, yang beraliran Sunni
mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363
H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni
sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada Sultan. Kaum syiah
memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan
Alaidin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta.
25
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum
Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni
sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ke tujuh,
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat,
terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara
Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian
kerajaan menjadi dua bagian:
1. Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed
Maulana Shah (986-988)
2. Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum
Alaiddi Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu
Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali
bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan
melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan terakhir Perlak
adalah Sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Azis
Johan Berdaulat (memerintah 1267-1292). Setelah ia meninggal,
Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
pemerintahan Sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik
al-Zahir, putra Al-Malik al-Saleh.
Daftar Nama-nama Sultan Perlak
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-
888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan
Berdaulat (928-932)
26
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah
Johan Berdaulat(932-956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan
Berdaulat (956-983)
8. Sultan Makhdun Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Brdaulat (986-1023)
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan
Berdaulat (1023-1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan
Berdaulat (1059-1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik AbdullahShah
Johan Berdaulat (1078-1109)
12. Sultan MakhdumAlaiddin Malik Ahmad Shah Johan
Berdaulat (1109-1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah
Johan Berdaulat (1135-1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan
Berdaulat (1160-1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah
Johan Berdaulat (1173-1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil Shah
Johan Berdaulat (1120-1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin
Shah II Johan Berdaulat (1230-1267)
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis Johan
Berdaulat (1230-1267)
8
Kisah Penyerangan Kerajaan Sriwijaya Terhadap Perlak
Menurut catatan sejarah dalam tahun 375 H. (986 M.)
kerajaan Islam Perlak diserang oleh angkatan perang kerajaan
Sriwijaya. Penyerangan ini mendapat perlawanan seru dari
angkatan perang kerajaan Islam Perlak. Dalam perperangan
27
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
tersebut, Sulthan Alaiddin Saiyid Maulana Mahmud Syah Syahid,
dan dengan demikian seluruh kerajaan Islam Perlak berada di
bawah pimpinan Sulthan Makdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah
Johan Berdaulat. Di bawah komando Malik Ibrahim, perlawanan
bertambah dahsyat sehingga dalam tahun 395 H. (1006 M.)
angkatan perang Sriwijaya terpaksa pulang ke negerinya dengan
alasan untuk menghadapi kerajaan Darma Wangsa di pulau Jawa.
Penyerangan dan pendudukan Sriwijaya atas kerajaan Islam
Perlak yang berlangsung selama 20 tahun, di samping ada rugi
juga ada untungnya. Di antara keuntungannya adalah akibat
penyerangan Sriwijaya terhadap kerajaan Perlak banyak ulama dan
pemimpin-pemimpin serta mujahid-mujahid hijrah ke pedalaman
Gayo dengan tujuan meluaskan dakwah Islamiyah dan membagun
negeri Islam yang baru. Dengan usaha para muhajirin inilah, maka
terbagun Negeri Peunaron, Negeri Isak, Negeri Lingga, Negeri Seribu
Jadi dan Negeri Samudera Pasai. Sulthan Makdum Alaiddin Malik
Mahmud Syah Johan Berdaulat, yang memerintah Perlak dalam
tahun 402-450 H. (1012-1059 M), mengirim sepasukan angkatan
dakwah dipimpin oleh Syeh Sirajuddin yang terkenal dengan Lakab
Tengku Chik Seureuli ke Buntul Linge (daerah Aceh Tengah
sekarang), untuk melanjutkan penyebaran dakwah Islamiyah,
Beliau berhasil membagun Linge menjadi kerajaan Islam dengan
pengangkatan Adi Genali menjadi rajanya yang pertama yang
berlangsung dalam tahun 416 H. (1025 M.). Adi Genali adalah
putera dari Meurah Tanjung Kreung Jamboaye, Saudara dari Sulthan
Perlak Makhdum Johan Berdaulat Syahir Nuwi.
Raja Linge pertama adalah Adi Genali mempunyai tiga
orang putra yaitu:
1. Sibayak Lingga
Sibayak Lingga setelah dewasa di utus ke Aru (daerah
Karo) dengan sebuah angkatan dakwah dan bermukim di
28
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
sebuah gunung yang kemudian di kenal dengan namanya;
Gunung Sibayak
2. Meurah Johan
Setelah tamat pendidikan di dayah Cot Kala Perlak, ikut
bersama rombongan dakwah Syeh Abdullah Kanan ke
Negeri Indra Purba (Daerah Aceh Besar sekarang) untuk
melanjutkan pengembangan dakwah Islamiyah, dan setelah
kerajaan Indra Purba menjadi kerajaan Islam, maka Meurah
Johan diangkat menjadi Sulthan yang pertama dengan gelar
Sulthan Alaiddin Johan Syah 601-631 H.(1205-1234 M).
3. Meurah Linge
Meurah Linge, tetap tinggal di Linge kemudian mengantikan
ayahnya sebagai raja Linge, yang akhirnya menurunkan raja-
raja kerajaan Islam Linge seterusnya.
Kemudian Kerajaan Linge di pimpin oleh Malik Ishak, putra
Sulthan Perlak Makhdum Malik Ibrahim Syah 365-402 H. (976-
1012 M). atau dengan gelar Meurah Makdum Ishaq, kemudian
negeri tersebut bernama Ishaq (nama rajanya yang pertama), yang
akhirnya menjadi Isak Negeri Isak. Setelah meninggal Malik
Ishak, maka negeri Isak diperintah oleh puteranya yang bernama
Makdum Malik Mansur yang terkenal dengan Lakab Meurah Mersa
atau (Toe Mersa).
Makdum Malik Mansur mempunyai tujuh orang anak laki-
laki yaitu:
1. Meurah Jernang
Setelah dewasa memimpin satu angkatan dakwah menuju
Hulu Sungai Seunagan (Aceh Barat sekarang) dan
mendirikan Negeri Seunagan.
2. Meurah Bacang
Yang ditugaskan memimpin rombongan dakwah ke Barus
untuk meluaskan penyiaran Islam di sana.
29
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
3. Meurah Itam
4. Meurah Puteh
Kedua Meurah ini (Hitam, Putih) memimpin rombongan
dakwah ke Kiran (Khairan) untuk mendakwahkan Islam
kepada penduduk yang masih beragama Budha dan Hindu.
Kedua Meurah inilah yang membagun Negeri Meurdu (Aceh
Pidie sekarang. Nama Meurdu berasal dari Meurah dua,
(Meurah Itam dan Meurah Putih), yaitu Meurdu (Meur
Du).
5. Meurah Silu
Ia ditugaskan memimpin rombongan dakwah ke daerah
Negeri Jeumpa Syahir Tanwi (Peusangan Sekarang) untuk
mengembangkan dakwah Islamiyah di tengah-tengah rakyat
Jeumpa. Setelah Jeumpa menjadi Negeri Islam, dia diangkat
menjadi rajanya dengan lakab Makdum Malik Ibrahim, cucu
beliau adalah Malik Saleh Meurah Silu (Malikus Saleh), yang
kemudian menjadi raja kerajaan Islam Samudera Pasai
6. Meurah Popok
Ditugaskan memimpin angkatan dakwah ke daerah Daya
(Aceh Barat sekarang) untuk mengembangkan agama Islam
kepada rakyatnya.
7. Meurah Mege
Meurah Mege putra bungsu Makdum Malik Mansur tetap
tinggal bersama ayahnya di Isak dan seterusnya mengantikan
ayahnya menjadi raja Isak dan dari turunannyalah raja-raja
Isak yang kemudian diturun-temurunkan.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa:
1. Pendapat yang kuat tentang Islam masuk ke Nusantara adalah
semenjak abad ke-7 Masehi, yaitu abad ke-1 Hijriah atau sekitar
30
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
tahun 630 Masehi. Kesimpulan seperti ini berangkat dari teori
yang mengatakan bahwa pada tahun 630-675 Masehi orang Arab
telah datang ke Nusantara. Analisa ini juga diterima dan
diperkuat oleh Thomas W. Arnold yang dirujuknya dari hasil
penelitian dilaksanakan oleh W.P. Groeneveldt.
2. Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang
pertama berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur,
sekitar tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Di Perlak atau
Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu Perlak,
jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan
karenanya daerah ini dikenal dengan nama negeri Perlak. Hasil
alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang
sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi
oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia.
Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah
ini, terutama sebagai akibat perkawinan antara saudagar muslim
dengan perempuan setempat.
3. Menurut catatan sejarah dalam tahun 375 H. (986 M.) kerajaan
Islam Perlak diserang oleh angkatan perang kerajaan Sriwijaya.
Penyerangan dan pendudukan Sriwijaya atas kerajaan Islam
Perlak yang berlangsung selama 20 tahun. Akibat penyerangan
Sriwijaya terhadap kerajaan Perlak banyak ulama-ulama dan
pemimpin-pemimpin serta mujahid-mujahid hijrah ke pedalaman
Gayo dengan tujuan meluaskan dakwah Islamiyah dan
membagun negeri Islamyang baru. Dengan usaha para muhajirin
inilah, maka terbagun Negeri Peunaron, Negeri Isak, Negeri Lingga,
Negeri Seribu Jadi dan Negeri Samudera Pasai.[]
31
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Endnotes:
1
Lihat, Thomas W. Arnold, The Preaching Of Islam, terjemahan
Hasan Ibrahim Hasan. (Mesir: Maktabat al - Nahdat al - Mishriyyat, 1980)
hal. 26
2
Perintah dakwah dalam al-Quran antara lain pada (QS 16: 125)
selanjutnya untuk mendalami dan mengembangkan pengertian dakwah ini
baca: (QS 42: 13-14, 3: 19, 1: 99-100, 22: 66-67, 9: 6, 9, 10, 11, 45: 13, 16: 37, 16:
84, 29: 45, 42: 47, 10: 99, 24: 297, 64: 21, 24: 53, 22: 48, dan 5: 15)
3
George Fadlo Hourani, Arab Seafaring In The Indian Ocean In
Ancient And Early Medieval Time (Amerika Serikat: New Jersey Univ Press,
1951) hal. 62
4
W.P. Groeneveld. Historical Notes On Indonesia End Malaya Compiled
From Chinese Sourses (Jakarta: Bhratara, 1960) hal.14. Lihat juga Thomas W.
Arnold, hal. 401-402.
5
C. Snouck Hurgronje, Islam Di Hindia Belanda, terjemahan dari karya
C. Snouck Hurgronje (1857-1936), (Jakarta: Bhratara, 1913) hal.13-14
Kecenderungan berpendapat demikian dianut oleh kebanyakan sarjana Barat,
Snouck sendiri mengakui secara peribadi ia tidak dapat menerima kebenaran
sumber pribumi karena sumber seperti ini dianggapnya hanya sebagai dongeng
yang menceritakan hal-hal yang azaib tanpa kronologis, bukan mengemukakan
sej arah dari fakt a yang sesungguhnya. Agaknya orang-orang yang
berkesimpulan seperti ini disebabkan mereka belum menemukan bukti sejarah
yang bisa dipercaya untuk menerima bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke-7 Masehi. Kalau memang itu alasan bagi Snouck, tentu sebagai sarjana
muslim kita dapat menerima dan memakluminya. Namun demikian, perlu
dipertanyakan, apakah semua sumber pribumi tidak dapat dipercayai sama
sekali? Dalam hal ini, terutama bagi Islam dan pemeluknya kita tidak dapat
percaya dengan sepenuhnya pada Snouck, mengigat tugas yang diembankan
pemerintah Belanda kepadanya sebagai missionaries. Ingat saja perang Aceh,
kalau tidaklah pihak Belanda dimotori oleh pemikiran Snouck, belum tentu
rakyat Aceh dapat ditundukan pihak Belanda. Politik kembar (toleransi dan
waspada terhadap Islam) yang dijalankan Snouck pada abad ke-19 dan
peralihan abad ke-20 ternyata berhasil melumpuhkan umat Islam Indonesia.
Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta: LP3ES, 1986), hal.
199. Lihat juga R.A. Kern, De Verbreing Van den Islam, (Amsterdam: N.V.
Uitgeversmaatschappi Joost Van den Vondel, 1938) hal. 310. Sartono
Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1975), jilid III, hal. 88
32
Sej arah dan Perkembangan I sl am di Aceh
Jamhir
6
Disadur dari., Sinar Darussalam. Majalah pengetahuan dan Kebudayaan.
No ISSN 0125-9601. (Banda Aceh: Y.P.D Unsyiah, IAIN Ar-Raniry 1978) hal.
429-431
7
John Crawford, History Of The Indian Archipelago, jilid II (London:
1820) hal.275
8
SKI, Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam Di
Indonesia, , Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006. hal. 70-73
33
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
3
SEJARAH BERDIRI
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Oleh: Jamaluddin
Pendahuluan
Kerajanan Islam yang terletak di ujung Utara pulau
Sumatra, kerajan Aceh Darussalam pada awal kekuasaannyan
meliputi Aceh Besar, dan Daya di Utara pulau Sumatra. Pada tahun
berikutnya yaitu yang bertepatan pada tahun1521 diperluas oleh
Ali Muqhayyat Syah sehingga sampai ke Pidie, kemudian pada
tahun 1524 kerajan Aceh Darussalm diperluas lagi hingga sampai
ke Pase dan Aru, dan juga sampai ke Tamiang serta Lamuri.
Kitab Bustan as-Salatin, kitab kronik raj a-raj a Aceh,
menyebutkan sultan Ali Mughayat syah sebagai raja atau sultan
Aceh yang pertama. Ia mendirikan kesultanan Acehsebagai pengganti
beberapa kerajaan Islam sebelumnya, seperti Pasai, Pidei,dan lain-
lainya. Sedangkan pusat kesultanannya adalah Banda Aceh
Darussalam, yang juga disebut Kuta Raja .
34
Sej arah Berdi ri Keraj aan Aceh Darus s al am
Jamaluddin
Banda Aceh sebagai Bandar niaga tidak terlalu ideal untuk
pelabuhan kapal-kapal besar pada abad ke-16 M. Pelabuhannya
sukar dirapati kapal-kapal besar karena ombak besar samudera
Hindia. Banda Aceh baru mulai ramai didatangi para pedagang
muslim setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Selain itu banyak
pedagang asing selain Portugis yang meramaikan pelabuhan Banda
Aceh sehigga Kesultanan Aceh mendapat banyak keuntungan .
1
Kesul tanan Aceh sepeni ggal Al i Mughayat Syah
diperintah oleh putera sulungnya, sultan Salahuddin. pada
masanya pernah dilancarkan sekarang ke Malaka pada tahun
1537, tetapi gagal. Sultan Salahuddi n bersikap lunak dan
memberi peluang kepada misionaris Portugis untuk berkerja di
tengah-tengah orang Batak di daerah pantai timur Sumatra. Ia
juga dipandang kurang memperhatikan urusan pemerintahan. Ia
kemudian diganti oleh saudaranya, sultan Alauddin Riayat Syah
al-qahha, pada tahun 1538.
2
Pada masa pemerintahan sultan Alauddin al-Qahhar,
kesultanan Aceh menyerang malaka sebanyak dua kali, yaitu pada
tahun 1547 dan 1568. Pasukan Aceh kala itu menurut musafir
Portugis Mendez Pinto, memiliki tentara dari berbagai Negara,
di antaranya Turki, cambay, dan Malabar.
3
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam
Ada beberapa pendapat tentang masalah terbentuknya
kerajan Aceh Darussalm, di antaranya yaitu menurut Hikayat Aceh,
kerajaan Aceh Darussalam pada mulanya adalah gabungan dua
buah kerajaan, salah satunya adalah kerajaan Pidie di bawah
pemerintahan Sultan Muzaffar, dan yang kedua yaitu kerajaan Aceh
Besar yang menjadi Sultan adalah Inayat Syah. Mereka berdua
termasuk saudara kandung, namun mereka saling berperang untuk
merebut kekuasaan. Akhirnya perang dimenangkan oleh Sultan
Muzaffar, kemudian Muzaffar mempersatukan kedua kerajan
tersebut yang kemudian disebut dengan kerajan Aceh Darussalam.
4
35
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Pendapat lain menyebutkan bahwa dalam keadaan terpecah
belah dan kekacauan serta keributan yang terus-menerus disebabkan
kerena untuk mempertahankan kekuasaan pada kerajaan di Aceh
seperti kerajan Pasei, Pidie dan Jaya Sultan Ali Muqhayyat Syah
dari Aceh yang mempersatukan kekuatan anti Portuigis, ia menyadari
bahwa selama kerajaan-kerajaan kecil masih tetap berdiri sendiri
maka tidak akan mampu untuk mengalahkan Portugis. Oleh karena
itu guna untuk mengusir Portugis dari kerajan Pidie, dan Pasei, Jaya.
maka kerajaan-kerajaan itu perlu bersatu. Dari sebab demikian
muncullah kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Ali
Muqhayyat Syah pada tahun 913-924H/ 1514-1530, dan ia pula
yang menjadi raja pertama kalinya di kerajaan Aceh Darussalam.
5
Dari kedua pendapat di atas penulis lebih condrong kepada pendapat
yang kedua, sebab kalau melihat pada Kitab Bustan as-Salatin, jelas
bahwa Ali Mughayat Syah sebagai sultan Aceh Darussalam yang
pertama kalinya.
Setelah portugis terusir dari kerajaan samudera pasai, Sultan
Alaiddin Ali Mughayat Syah memaklumatkan panji-panji persatuan
dengan kerajaan-kerajaan yang menggabungkan diri ke dalam satu
wadah negara untuk terus melanjutkan perlawanan mengusir
Portugis di Malaka. Sejak itu diproklamirkan persatuan kerajaan
tersebut pada hari kamis, 21 Dzulqaidah 916 H (20 February 1511),
yang selanjutnya persatuan kerajaan itu diberi nama dengan kerajaan
Islam Aceh Raya Darussalam.
Musyawarah diadakan oleh para raja-raja dalam menyusun
diberlakukanya landasan dan undang-undang yang akan diterapkan
dalam kerajaan baru dibentuk. Adapun hasil kesepakantan yang
diambil dalam musyawarah tersebut adalah:
1. Nama Negara : Kerajaan Aceh Darussalam
2. Bendera Negara : Alam Peudeung (Bendera cap
Pedang)
36
Sej arah Berdi ri Keraj aan Aceh Darus s al am
Jamaluddin
3. Azas Negara : Qanun Al Asyi
4. Bentuk Negara : Kerajaan.
6
Keberhasilan gemilang mengusir Portugis, mengukuhkan
Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah secara definitif sebagai Sultan
pertama kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam dengan ibu kota
negara Banda Aceh. Berdirinya kerajaan Islam Aceh Raya
Darussalam menjadikannya sebagai salah satu kerajaan Islam besar
yang masuk dalam deretan Lima Besar Islam. Pada masanya, Lima
Besar Islam ini menjalin kerja sama ekonomi, politik, militer, dan
kebudayaan, Lima Besar Kerajaan Islam tersebut;
1. Kerajaan Islam Usmanyah di Istambul (Turki), Asia Minor.
2. Kerajaan Islam Marilo di Rubat, Afrika Utara
3. Kerajaan Islam Asfahan di Persia (Iran) Timur Tengah
4. Kerajaan Islam Mughol di Agra, Anak Benua India
Kerajaan Islam Aceh Raya Darussalam di Asia Tenggara.
7
Struktur pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam selain mempunyai peradaban
juga mempunyai sistem pemerintahan, hal ini sebagai mana tersebut
dalam Kanun Meukuta Alam Al- Asyi yaitu:
1. Gampong, juga disebut dengan Meunasah, dipimpin oleh
seorang Keusyik (kepala desa) dan seorang Imam Rawatib
yang dibantu oleh staf Tuha Peut. Pemerintahan gampong
memperoleh hak otonomi yang luas.
2. Mukim, yaitu federasi dari beberapa kampong, Mukim
membawahi paling kurang delapan kampung, Mukim
dipimpin oleh seoarang Imum mukim dan seoarang qadhi
mukim juga dibantu olehbeberapa orang wakilnya. Dalam
tiap-tiap satu mukim didirikan satu masjid.
3. Nanggroe, yang disebut juga daerah uleebalang terdiri dari
tiga Mukim, empat Mukim, Lima mukim, tujuh Mukim,
delapan Mukim, dan sembilan Mukim. Nanggroe ini dipimpin
37
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
oleh seorang Ulee balang dan dibantu oleh seorang Kadhi
Nanggroe, Nanggroe juga merupakandaerah otonomi dalam
batas-batas tertentu.
4. Sagoe adalah federasi dari beberapa Nanggroe, Sagoe ini
mempunyai tiga bagian.
A. Sagoe Teungoh Lheeploh, yang terdiri dari 25 Mukim,
yang dipimpin oleh seorang panglima Sagoe, yang
bergelar Kadhi Malikul Alam Sri Setia, dan
dibantu oleh seorang Kadhi sagoe yang bergelar
Kadhi Rabbul Jalil.
B. Sagou Duaplooh Nam, yang terdiri dari 26 Mukim,
yang dipimpin oleh seorang panglima Sagoe, yang
bergelar Sri ImamMuda OH dan dibantu seorang
kadhi sagou, yang bergelar kadhi Rabbul jalil.
C. Sagou Dua plooh Dua, yang terdiri dari 22 Mukim,
yang dipimpin seorang panglima Polem sri Muda
perkasa, dan dibantu seorang Kadhi Rabbul jalil .
5. Kerajan, yang nama lengkapnya Kerajaan Aceh Darussalam,
dengan ibu kota negara Banda Aceh Darusssalam, yang
kadang kadang disebut juga Bandar Darussalam dan
Darul Makmur. Kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang
bergelar Sultan imamMalikul Adil, dan dibantu oleh seorang
Kadhi Kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adil.
Struktur Kerajaan Aceh Darussalam merupakan suatu
sutruktur masyarakat yang sangat sempurna menurut ukuran
waktunya. Sutruktur kerajaan atau sistem lembaga masyarakat Aceh
dapat memenuhi kebutuhan untuk mengedalikan perilaku
masyarakat. Kehadiran lembaga tersebut sebagai pengontrol dan
pengendali terhadap sosial keagamaan yang ada dalam masyarakat
Aceh. Dalam hal ini strata sosial dalam masyarakat Aceh ada lima
yaitu gampong, Mukim, nanggroe, sagou dan Kerajaan atau negara
yang disebut sekarang adalah Nanggou Aceh Darusssalam.
8
38
Sej arah Berdi ri Keraj aan Aceh Darus s al am
Jamaluddin
Di bawah ini pemakalah mengemukakan Sultan-sultan Aceh
Darussalam
SULTAN-SULTAN KERAJAAN ACEH DARUSSALM
NAMA BERKUASA
1. Sultan Ali Mughayyat Syah
2. Sultan Salahuddin
3. Sultan Alauddin Riayat Syah al-
Qahhar
4. Sultan Husain
5. Sultan Muda (seorang anak kecil)
6. Sultan Sri Alam
7. Sultan Zainul Abidin
8. Sultan Mansur Syah Perak
9. Sultan Buyung
10. Sultan Alauddin Riayat Syah
Sayet al-Mukammal
11. Sultan Ali Riayat Syah
12. Sultan Iskandar Muda
13. Sultan Iskandar Sani
14. Sultan Safiatuddin Tajul Alam
15. Sultan Naqiyatuddin Nurul Alam
16. Sultan Inayat Syah
17. Sultan Kamalat Syah
18. Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim
Jamaluddin
19. Sultan Perkasa Alam Syarif
Lamtuy
20. Sultan Jamalul Alam Badrul
Munir
21. Sultan Jawharul Alam Aminuddin
1514-1530
1530-1538
1538-1571
1571-1579
1579 Beberapa bulan
1579
1579
1579- +1586
+1586- + 1588
1588- 1604
1604- 1607
1607- 1636
1636-1641
1641-1675
1675- 1678
1678-1688
1688- 1699
1699-1702
1702- 1703
1703-1726
Hanya Beberapa Hari
39
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Kemajuan Dalam Bidang Ekonomi
Untuk meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan
rakyat Sultan Alauddin Riyat Syah Al Mukammal membuka empat
pelabuhan internasional yaitu: Pantai Cermin, Daya, Pidie dan
Pasai. Keempat bandar pelabuhan itu dibuka sebebar-lebarnya
untuk lalulintas perdagangan Internasional. Pada bandar-bandar
itu didatangi pedagang-pedagang asing dari berbagai kebangsaan
di antaranya Arab, China, Persia, Siam, Turki, Pegu Benggala,
Portugal, Spayol. Orang portugis yang beberapa puluh tahun
menguasai Malaka berdagang di kepulauan Maluku dan di bandar-
bandar Aceh, tidak senang melihat kedatangan pedagang-pedagang
Eropa lainnya. Pedagang inggris dan Belanda dianggap saingan
yang mengurangi keuntungan mereka. Sikap demikian itu
bertentangan dengan pendirian sultan Al-Mukammal. Lambat
22. Sultan Syamsul Alam
23. Sultan Ahmad Syah
24. Sultan Sultan Johan
25. Sultan Mahmud Syah
26. Sultan Badruddin
27. Sultan Sulaiman Syah
28. Sultan Alauddin Muhammad
29. Sultan Alauddin Jauharul Alam
30. Sultan Saiful Alam
31. Sultan Jauharul Alam
32. Sultan Muhammad Syah
33. Sultan Mansur Syah
34. Sultan Mahmud Syah
35. Sultan Muhammad Daud Syah
Hanya Beberapa Hari
1727- 1735
1735- 1760
1760-1781
1764- 1765
1777
1781- 1795
1795-1815
1815-1818
1818- 1824
1824- 1838
1838-1870
1870-1878
1878-1903
1
1
40
Sej arah Berdi ri Keraj aan Aceh Darus s al am
Jamaluddin
laun sikap Sultan Al- Mukammal terhadap pedagang-pedagang
itu juga berubah.
Oleh karena perdagangan lada dibandar-bandar Aceh maju
sekali, maka sultan Al-mukammal memperhebat penanaman
lada.Untuk itu dibuka kebun-kebun lada yang sangat luas dan para
petani diberikan uang muka untuk penanaman kebunnya. Berkat
perdangangan l ada i tu kesul thanan Aceh menj adi sangat
makmur.Hasil penjualan lada dan cukai perdagangan dibandar-
bandar digunakan untuk Membangun Kerajaan Aceh dalam
berbagai bidang sangat pesat. Dengan hasil penjualan lada dan
bea cukai, Aceh mampu membeli kapal-kapal luar negeri untuk
memeperkuat Armadanya. Aceh akhirnya menjadi sebuah negara
maritim yang kuat dan berani mengimbangi Malaka, sehingga
Aceh ditakuti oleh pihak portugis dan lain serta disegani oleh
kawan.
10
Kemajuan Dalam Bidang Kemiliteran
Beliue mengatakan bahwa selama Iskandar Muda menjadi
Sultan rakyat Aceh telah menjadi prajurit yang terbaik di
Nusantara. Iskandar Muda menganggap kekuatan yang terpenting
dalam angkatan perang adalah di laut, oleh sebab itu kapal-kapal
perang dipersiapkan dengan jumlah besar, di tiga buah pelabuhan
yaitu Banda Aceh, Jaya, Pidie, tersedia beraratus-ratus kapal
perang. Adapun di darat dibentuk pasukan infantri yang diperkuat
dari kafelri tentera gajah dan ada juga pasukan artileri. Dalam
catatan Beliu dikatakan bahwa kapalkapal perang Aceh jauh lebih
besar dari kapalkapal yang pernah dibuat oleh orangorang
Eropa.
11
Kemajuan Dalam Bidang Agama
Raja-raja Aceh sangat mementingkan pendidikan dan
pelajaran agama Islam, sehingha raja Aceh dengan giat menyiarkan
41
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
agama Islam ke seluruh daerah, baik di Aceh maupun di luar Aceh.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pusat penyiaran Islam
pertama kalinya di Nusantara adalah samudra Pasai. Pada masa
pemerintahan Sultan Al-Kahhar muballiq-mubalilq diutus ke Aru.
Syeh Burhanuddin, murid salah seorang ulama yang tekenal pada
masa itu mendapat utusan untuk menyiarkan Islam ke Padang,
begitu juga dengan Syeh Syamsuddin, ia sangat besar perannya
dalam pemerintahan Aceh terutama pada masa Sultan Iskandar
Muda, bersama dengan Syeh Jail ani yang mengaj ar il mu
Tasauf..mendapat tugas ke Malaysia, sehingga ia meninggal di sana
pada tahun 1630 M. Syeh Hamzah Al-Fansuri telah menyiarkan
Islam ke beberapa tempat di antaranya adalah Banten, Pahang,
Kudus, dan juga Siam
Pada masa sultan Husen, yaitu Ali Mughayyat Syah (1467-
1575) Ulama dari Mekkah juga datang ke Aceh yaitu Syeh
muhammad Azhari yang bermazhab Syafii, sehingga ia meninggal
di Aceh. Pada masa pemerintahan Mansur Syah muncul juga Syeh
Ibnu Hajar, ia mengajar ilmu hukum Islam dan ia mengarang kitab;
As-Saiful Qadhi, Syeh Muhammad Jamani mengajar ilmu Ushul
fiqih; Syeh Muhammad Jailani mengajar ilmu Mantik dan juga ilmu
balaghah. Ulama lain yang terkenal adalah Syeh Ibrahim As-
Syamil dan Syeh Hmzah Fansuri ia merupakan ulama besar di
Indonesia dan Malasiya, melalui tulisan-tulisan Hamzah Al-fansuri
ajaran tasauf tersebar ke mana-mana, diteruskan perkembangan
oleh Syeh Syamsuddin As-Sumatrani adalah murid Hamzah
Fansuri.
12
Pada masa Sultan Iskandar Thani tepatnya pada tahun
1637, Syeh Nuruddin ar-Raniri muncul di Aceh, Syeh Nuruddin
mengajak sultan untuk menetang paham yang dik embangkan oleh
Syeh Hamzah Fansuri. Pada abad ke XVII Aceh memperoleh
kejayaan baru dengan munculnya Syeh Abdurrauf As-Singkili
sehingga terkenal sebagai ulama besar di Aceh. Beliau menuliskan
42
Sej arah Berdi ri Keraj aan Aceh Darus s al am
Jamaluddin
7 buah kitab, di antaranya adalah Umdat al- Muhtajin. Berkat
keaktifan Ulama-ulama terkenal tersebut menyebabkan ilmu dan
Agama Islam di Aceh menjadi maju, karena muridnya telah tersebar
ke seluruh Aceh dan Nusantara.
13
Politik Luar Negeri
a. Hubungan dengan negara Islam
Hubungan Aceh dengan negara-negara Islam terus berjalan
dengan lancar, bantuan dari Turki, Mesir serta dari kerajaan Islam
lainnya berupa pasukan artikelir, infantri diberikan untuk
membantu bangsa Aceh. Tenaga-tenaga ahli dan alat-alat perang
juga terus dikirim ke Aceh.
b. Hubungan dengan Belanda
Adapun hubungan diplomatik antara Aceh dengan Belanda
yaitu ketika pengeran Mauris meminta bantuan kepada Aceh
Darussalam. Sultan mengabulkan permintaan Belanda dan
mengirim balatentara yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Ketika sampai di Belanda Abdul Hamid menderita kesakitan dan
akhirnya ia meninggal di negeri Belanda.
c. Hubungan dengan Inggris
Hubungan Aceh Darussalam dengan Inggris tetap seperti
biasanya. Dalam hubungan diplomatik luar negeri berusaha untuk
memperkuat posisi kerajaan dalam segala bidang. Akan tetapi yang
paling penting bagi bangsa Aceh hubungan tersebut di jalankan
adalah untuk menghancurkan Portugis di Malaka.
d. Hubungan dengan Perancis
Begitu juga dengan Perancis, yang mana Raja Prancis
mengutuskan De Beaulie sebagai ketua rombongan ke Kerajaan
Aceh Darussalam dengan membawa sepucuk surat yang akan
diserahkn kepada Sultan Iskandar Muda. Raja Prancis berkeinginan
untuk mengadakan hubungan bilateral dengan kerajaan Aceh
43
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Darussalam, sebab mereka telah tahu, yang mana kerajan Aceh
Darussalam telah terkenal namanya ke seluruh dunia.
14
Masa Kemunduran
Setelah Sultan Iskandar Muda Wafat, Kerajaan Aceh
Darussalam mengalami kemunduran. Kemunduran ini tidak
terlepas dari beberapa faktor, di antaranya adalah:
A. Pucuk kepemimpinan dipegang oleh Ratu-ratu Aceh.
Yang menjadi sultan setelah Iskandar Muda adalah
Iskandar Tsani, namun tidak lama kemudian pucuk pemerintahan
kerajaan Aceh Darussalam dipegang oleh 4 orang raja perempuan
secara berturut-turut., yang pertama adalah Sultanah Safiatuddin
Tajul Al am. Pada awal pemerintahan raja perempuan i ni
kegemilangan Aceh di bidang politik, ekonomi, dan militer mulai
menurun sebab ketidak senangan sebahagian orang terhadap
pemi mpi n wani ta. Sul tanah sel anj utnya yai tu: Sri Ratu
Naqiyatuddin Nurul Alam, kemudian Inayat Syah,dan yang terakhir
adal ah Kamal at Syah. Adapun sul tanah beri kutnya ti dak
diteruskan karena banyak fatwa dari Mekkah yang mana Syariah
melarang Wanita untuk menjadi kepala negara.
B. Perebutan kekuasaan.
Kesultanan Aceh pada abad ke-18 mengalami perebutan
tahta dan pada tahun 1816 Sultan Saiful Alam bertikai dengan
jawharul Alam Aminuddin, sehingga Jawharul Alam dapat
mengalahkan saiful Alam karena ada bantuan Inggris. Setalah itu
Aceh mengikat perjanjian dengan Inggris untuk memberi keamanan
serta kesempatan bagi Inggris supaya berdagang di Aceh. Perjanjian
tersebut dibuat pada tanggal 22 April 1882.
C. Terbentuknya traktat London
Bertepatan pada 17-Maret 1824 pemerintahan Inggris dan
Belanda membuat perjanjian di London di antara isi perjanjian
44
Sej arah Berdi ri Keraj aan Aceh Darus s al am
Jamaluddin
tersebut adalah penghormatan kedaulatan Aceh oleh Belanda.
Pada tanggal 2 November 1871 dibuat Trakta Sumatra
antara Inggris dan Belanda dan membatalkan Traktat London,
Trakta yang baru ini bermaksud supaya memberi kabebasan bagi
Inggris untuk memperluas kekuasaan di Malaysia, dan memberi
kebebasan bagi Belanda untuk memperluas kekuasaan di Sumatra.
D. Bertambahnya kekuatan Belanda
Kesultanan Aceh dituduh Belanda melindungi bajak-bajak
laut dan perdagangan badak, dan mengancam keselamatan
pedagang-pedagang dari luar yang ingain membeli lada di pesisir
Aceh, dan juga armada Aceh sering menyerang negeri-negeri
tetangga. Dengan alasan ini Belanda melanggar kedaulatan Aceh
dengan menyerbu ibu kota kesultanan Aceh pada tahun 1873, serta
menduduki Banda Aceh dan kota-kota pantai lainnya. Pada bulan
Januari 1874, istana Kesultanan Aceh dapat direbut Belanda, tetapi
Sultan Aceh, Sultan Mahmud Syah, dapat meloloskan diri bersama
panglima Polem. Sultan kemudian meninggal karena sakit, dan
perj uangan mel awan Bel anda di ter uskan ol eh pangl i ma-
panglimanya dan rakyat Aceh sampai tahun 1903. Walaupun Sultan
Mahmud Syah telah meninggal, rakyat Aceh setelah itu masih
memiliki seorang sultan, yaitu Sultan Muhammad Daud Syah,
namun pada tahun 1903 ia tertangkap, kemudian Sultan dibuang
oleh Belanda ke Ambon pada tanun 1907, serta pada tahun 1937
Sultan Muhammad Daud Syah wafat di sana.
15
[]
Endnotes
1
. Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: PT Icutiar Baru Van Hoeven,1999),
hal. 50-51
2
. Anas Mahmud, Turun naiknya peranan Keraj aan Aceh
Darussalam, (makalah yang disampaikan dalam seminar Sejarah masuk
45
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Islam ke Indonesia di perlak,1981 yang dikumpulkan oleh Ali hasymi dalam
bukunya sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, hal.290
3
. Enklopedi Islaam, hal 51
4
. Ibid hal.50.
5
. Anthoni Reid, Asal Mula Komplik Aceh. Pertj Masri Maris,
(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia., 2005). hal.2.
6
. Al-Chaudar Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: Madani Pres
Oktober 1999.), hal 27.
7
Al- Chaidar , Gerakan aceh Merdeka, (Jakarta:Madani Pres,
Oktober 1999), hal. 27
8
Aiani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Janiari 2003), hal. 44-45
9
. Ibid, Ensiklopedi Islam, hal, 51.
10
. Kerajaan kerajaan Aceh. hal.70.
11
Ibid. Hal. 74.
12
. Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna,
1983), hal.96-97.
13
Lombard, kerajaan Aceh, hal 220
14
.Dennys lombart, kerajaan Aceh zaman Iskandar Muda, Terj
Winarsih Arifin, (Jakarta: balai Pustaka, 1986), hal. 54
15
. Ensiklopedi Islam hal.54
v
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
47
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
4
ULAMA DAN UMARA DI
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
Oleh: Fajri Chairawati
Pendahuluan
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari kerajaan
Peureulak dan Samudera Pasai. Kesultanan Aceh terletak di Utara
pulau Sumatera dengan ibukota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam
sejarahnya yang panjang (1514-1903), Aceh telah mengukir masa
lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan para sultan dibantu
oleh para ulama yang tidak hanya memiliki ilmu agama tetapi juga
ilmu lainnya yang berkenaan dengan pengaturan pemerintahan.
Ulama tersebut memiliki peranan dan pengaruh yang sangat urgen
dalam penyebaran Islam di Nusantara maupun di Asia Tenggara.
Tulisan ini mencoba menjelaskan pengertian dari ulama
dan umara, tokoh-tokoh ulama yang terkenal di kesultanan Aceh
48
Ul ama dan Umara di Keraj aan Aceh Darus s al am
Fajri Chairawati
dan peranannya, serta bagaimana hubungan yang terjalin antara ulama
dan umara di kesultanan Aceh.
Definisi Ulama dan Umara
Ulama dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari
alim yang berarti orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang
luas, dan dalam tingkatan yang tertinggi.
1
Dalam pengertian
terminologi, ulama hanya dibatasi pada orang-orang yang memiliki
ilmu pengetahuan agama Islam yang diperoleh melalui pendidikan
dayah, minimal ilmu yang dimilikinya cukup untuk menjadi imam
meunasah.
2
Sementara menurut Hasbi Amiruddin yang dikatakan
ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama dan umum, tahu isu
semasa, mengamalkannya dan kemudian mengajarkan/
mendakwahkan kepada orang lain dan menjadi contoh bagi orang
lain. Jadi menurutnya ulama bisa berasal dari kalangan ulama, umara
dan masyarakat lainnya yang memiliki kategori yang telah
disebutkannya. Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa ulama
yang didefinisikan oleh Hasbi Amiruddin adalah sosok ulama yang
ideal, dan definisi semacam ini dapat kita pakai untuk para ulama
yang pernah eksis di kesultanan Aceh karena tokoh-tokoh ulama
pada masa itu adalah ulama-ulama yang memiliki ilmu yang luas
baik umum maupun agama.
Hal yang senada juga diutarakan oleh Afif Nadjih Anis bahwa
bila diamati dalam pemakaian praktisnya, istilah ulama lebih
berkonotasi pada makna para ahli ilmu agama, malah dalam
persepsi yang hidup di kalangan masyarakat Islam ulama dipandang
bukan sekedar sebagai ahli ilmu agama saja, tetapi juga sebagai orang-
orang yang konsis terhadap agamanya, mempunyai komitmen
yang kuat dengan nilai-nilai moral dan kemasyarakatan.
3
Satu hal
yang perlu di garis bawahi bahwa gelar sebagai ulama tidak begitu
saja dapat dikondisikan, ia muncul pada diri seseorang yang telah
memi l i ki syarat-syaratnya, sedang bobot keul amaannya
49
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
ditentukan kemudian oleh kedalaman ilmu dan kualitas pribadinya
yang akan teruji di tengah-tengah masyarakatnya. Pengakuan dari
masyarakat ini ikut menentukan, sebab betapapun dalamnya
pengetahuan seseorang tentang masalah agama, jika masyarakat
tidak memberikan pengakuan, maka i a tidak mempunyai
kredibilitas sebagai ulama.
Sementara umara dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari amir yang bermakna pemimpin. Di dalam al-Quran
kata amir itu disebut ulil amri seperti yang termaktub dalam surat
an-Nisa ayat 59. Dalam fiqih siyasi (politik) ada empat definisi
ulil amri yaitu: (1) raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan
taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW; (2) para raja dan
ulama; (3) amir di zaman Rasulullah SAW, setelah Rasulullah wafat,
jabatan itu berpindah kepada kadi (hakim), komandan militer, dan
mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar
kebenaran; (4) para mujtahid atau yang dikenal dengan sebutan
ahl al-hall wa al-aqd (yang memiliki otoritas dalam menetapkan
hukum).
4
Dari uraian tentang definisi umara di atas yang sesuai
dengan apa yang menjadi kajian dalam makalah ini adalah definisi
yang pertama yaitu raja dan kepala pemerintahan. Untuk
selanjutnya penyebutan bagi seorang raja dalam kesultanan Aceh
disebut sultan. Di Indonesia, gelar sultan pertama kali dipakai oleh
Malikush saleh (w. 699 H/1297 M), raja pertama dan pendiri
kerajaan Pasai. Gelar tersebut diberikan oleh Syekh Ismail, seorang
pengajar agama Islam yang diutus oleh Syarif Makkah.
5
Setelah
itu, raja di kerajaan Islam Indonesia pada umumnya memakai gelar
sultan.
Tokoh-tokoh Ulama di Kesultanan Aceh
Jauh sebelum berdirinya kesultanan Aceh yakni pada tahun
1514 oleh sultan Ali Mughayat Syah, banyak para pedagang
50
Ul ama dan Umara di Keraj aan Aceh Darus s al am
Fajri Chairawati
muslim dari Makkah maupun daerah sekitarnya yang datang ke
Aceh yang tuj uannya ti dak hanya berdagang tetapi j uga
menyebarkan dan mengajarkan Islam bagi penduduk pribumi.
Tidak sedikit dari penduduk pribumi yang mengikuti ajaran-ajaran
Islam yang dibawa oleh pedagang tersebut. Selain pedagang, ada
orang yang memang berasal dari daerah setempat yang belajar
langsung di negeri-negeri Islam yang sekembalinya ke daerah
asalnya mengajarkan Islam bagi penduduk setempat dan lambat
laun mereka dianggap ulama karena kapasitas serta kualitas ilmu
yang ada padanya. Ulama-ulama yang seperti itu oleh pihak
kerajaan (kesultanan) dijadikan sebagai penasehat raja yang
keberadaannya sangat dihormati. Terlebih lagi pada saat kerajaan
Aceh mencapai masa kejayaannya. Ulama dan umara bahu-
membahu menciptakan stabilitas dari setiap aspek kehidupan. Ia
tidak hanya dikenal di dalam negeri saja tapi juga terkenal di
mancanegara. Menurut Azyumardi Azra di dalam artikelnya yang
berjudul Ulama, Politik dan Modernisasi
6
mengatakan bahwa
walaupun di dalam kenyataannya terdapat semacam hirarki yang
berkembang di kalangan ulama atau dengan kata lain adanya
pembedaan atau pembagian antara ulama syariah (sering juga
disebut ulama ortodoks) dengan ulama thariqah (tasawuf), namun
pembagian tersebut dalam kenyataannya praktis tidak ada,
terutama sejak berkembangnya neo sufisme dalam abad ke-15 dan
ke-16. Ulama besar dunia Melayu abad ke-17 dan ke-18 seperti
Nuruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili, Syeikh Yusuf Al-
Maqassari dan masih banyak yang lainnya lagi adalah ulama
tasawuf sekaligus ulama syariah. Mereka bukan hanya menulis
kitab-kitab tasawuf yang amat filosofis, tetapi juga kitab-kitab fiqih
yang dengan seksama mengungkapkan kewajiban-kewajiban fiqih.
Berdasarkan uraian singkat di atas penulis berkesimpulan
bahwa ulama tidak bisa diklasifikasikan, karena ulama tidak saja
menulis kitab fiqih tetapi juga menulis tentang tasawuf. Berikut
51
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
ini penulis akan menyajikan tokoh-tokoh ulama terkemuka di
kerajaan Aceh Darussalam, peranannya serta hubungannya dengan
para sultan.
1. Hamzah Al-Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh tasawuf dari Aceh
yang menyebarkan paham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Paham
inilah yang nantinya ditentang oleh tokoh ulama selanjutnya yakni
Nuruddin Ar-Raniry. Hamzah Fansuri juga seorang penyair yang
memperkenalkan bentuk syair ke sastra Melayu. Masih ada
perbedaan pendapat mengenai tahun dan tempat kelahiran Hamzah
Fansuri serta rentang masa hidupnya, sebab tahun kelahiran dan
kematiannya sebenarnya tidak diketahui pasti. Sekalipun demikian,
ada bukti bahwa dia hidup dan berjaya pada masa sultan Ala Al-
Di n Ri ayat Syah (berkuasa 997-1011/1589-1602), dan
diperkirakan ia meninggal dunia sebelum 1016-1607.
7
Ia berasal
dari keluarga Fansury di Fansur (Barus), Sumatera Utara. Ia banyak
melakukan perjalanan antara lain ke India,Persia, Irak, Makkah,
Madinah serta berbagai kota di Nusantara (Kudus, Banten, dan
Johor). Kendatipun tidak dapat diketahui dengan jelas siapa saja
gurunya dan apa saja ilmu yang dipelajari oleh Hamzah Fansuri,
tetapi terdapat data yang dapat ditelusuri dari ilmu-ilmu yang
dimilikinya melalui telaah tulisannya. Diantara buku-buku yang
ditulis olehnya adalah Syarb al-Sikin, Zinat al-Muwahidin, Asra al-
Arifin fi Bayani Ilmi al-Suluk wa al-Tauhid, Al-Muntahi dan Rubai
Fansuri. Adapun diantara karya syairnya adalah Syair Perahu, Syair
Burung, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir dan Syair
Ikan Tongkol. Dari syair-syair inilah diketahui riwayat hidupnya
dan pengembaraannya ke banyak tempat.
Mengingat karya-karyanya yang telah disebutkan di atas dia
dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi awal yang paling penting
di wilayah Melayu-Indonesia dan juga seorang perintis terkemuka
52
Ul ama dan Umara di Keraj aan Aceh Darus s al am
Fajri Chairawati
tradisi kesusteraan Melayu. Seperti yang diutarakan oleh Badri
Yatim bahwa di antara saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesia
dalah melalui saluran tasawuf. Di antara para ahli tasawuf yang
memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam
pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh.
8
Mengenai kiprahnya di kerajaan Aceh, menurut Schrieke
9
bahwa
Hamzah Fansuri adalah chiefe bishop (uskup kepala) yang
barangkali bisa kita sebutkan sebagai salah seorang tokoh ulama
terkemuka yang pada saat itu turut serta membicarakan perjanjian
perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh yang menjadi
wakil sultan Ala al-Din Riayat Syah yang terjadi pada tahun 1602.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Hamzah Fansuri
adalah seorang ulama besar di kerajaan Aceh yang memiliki peranan
yang sangat penting dalam membantu sultan Aceh menjalankan
roda pemerintahan.
2. Syamsuddin as-Sumatrani
Nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin ibn Abdillah
as-Sumatrani. Ia adalah seorang ulama besar dan tokoh tasawuf
dari Aceh dan terkenal juga dengan nama Syamsuddin Pasai.
Keti ka Iskandar Muda memeri ntah keraj aan Isl am Aceh
Darussalam (1607-1636), dia memilih Syekh Syamsuddin as-
Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti (disebut Syekh
al -Islam) yang mempunyai tanggung jawab dalam urusan
keagamaan.
10
Meskipun demikian ia tidak hanya berperan sebagai
penasihat agama, tapi juga terlibat dalam urusan politik. Menurut
Lombard
11
(yang dikutipnya dari Hikayat Aceh) menyebutkan
bahwa beberapa kal i as-Sumatrani di gambarkan sebagai
pemimpin rohaniah masyarakat atau menerima laporan dari para
peziarah yang kembali dari Makkah. Adat Aceh memberinya
tempat kehormatan waktu sembahyang besar (sembahyang hari
raya) dan upacara yang khidmat. Dengan dialah kebanyakan
penjelajah Eropa berurusan antara tahun 1600 dan 1630 yang
53
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
mereka sebut dengan nama uskup. Hal ini seperti yang telah
diungkapkan oleh Schrieke pada bahasan sebelumnya bahwa
terdapat dua tokoh terkemuka yang mengadakan perjanjian dengan
Lancaster (utusan khusus dari Inggris) yang salah seorang dari
tokoh terkemuka itu ialah Hamzah Fansuri dan salah seorang lagi
bisa jadi As-Sumatrani sebagaimana yang disebutkan oleh
Lombard.
Karya-karya tulis As-Sumatrani banyak dipengaruhi oleh
tokoh sufi sebelumnya yang juga ulama terkemuka di masa
kerajaan Aceh yaitu Hamzah Fansuri. Bersama dengan Hamzah
Fansuri, keduanya merupakan tokoh aliran wujudiyyah (penganut
paham wahdatul wujud). Ia banyak menulis buku berbahasa Arab
dan Melayu. Karya tulisnya tidak banyak diketahui karena telah
dibakar oleh Nuruddin Ar-Raniry. Bukunya yang lolos dari
pembakaran itu antara lain adalah Mirat al-Mukmin dan Mirat al-
Muhaqqiqina. T.Iskandar
12
menyebutkan bahwa Syamsuddin as-
Sumatrani adalah orang yang melanjutkan perkembangan tarekat
Wujudiyyah. Ia memiliki murid yang banyak (termasuk sultan Aceh
sendiri) di samping mempunyai pengaruh yang besar dalam
pemerintahan sebagai penasehat sultan.
3. Nuruddin ar-Raniri
Nuruddin ar-Raniri adalah seorang ulama besar, penulis,
ahli fikih, dan syekh tarekat Rifaiyah
13
yang merantau dari India
dan menetap di Aceh. Nama lengkap ar-Raniri adalah Nuruddin
Muhammad ibn Ali ibn Hasanji ibn Muhammad ibn Hamid ar-
Raniri al-Quraisyi Asy-Syafii. Ia lahir sekitar pertengahan kedua
abad ke-16 di Ranir (sekarang Rander)) dekat Surat, Gujarat, India.
Setelah beberapa tahun mengajar agama dan diangkat
sebagai seorang syekh tarekat Rifaiyyah di India, ia mulai merantau
ke nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia
tiba di Aceh pada tahun 1637. Belum dapat diketahui secara pasti
54
Ul ama dan Umara di Keraj aan Aceh Darus s al am
Fajri Chairawati
sebab-sebab yang mendorong ia merantau ke Aceh. Diduga
kedatangannya ke Aceh adalah karena Aceh ketika itu sedang
berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan politik
serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Menurut
pendapat T. Iskandar, ar-Raniri sebelum tahun 1637 pernah
singgah di Aceh, namun karena terdapat pertentangan paham
dengan Syamsuddin as-Sumatrani ia berpindah ke Semenanjung
Tanah Melayu dan setelah as-Sumatrani wafat ia kembali lagi ke
Aceh menetap dan berkarya sampai akhir hayatnya.
14
Tahun 1637 adalah tahun kegelapan bagi pengikut
wujudiyah dengan adanya pergantian kekuasaan dari sultan
Iskandar Muda kepada sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Syaikh
ar-Raniri yang baru tiba dari India disambut oleh sultan yang baru
serta dilantik menjadi ulama istana. Beranjak dari hubungan yang
baik antara ar-Raniri dan sultan Tsani, menjadikannya lebih leluasa
untuk menyampaikan fatwa yang isinya mengkafirkan ajaran
wujudiyah Aceh. Sebagai pelaksanaannya kitab-kitab berbau
wujudiyah dilarang dibaca di seluruh wilayah kerajaan aceh dan
ribuan salinan naskahnya dibakar di depan mesjid Raya. Pada masa
yang sama pengikut-pengikut Syamsuddin as-Sumatrani dan
Hamzah Fansuri dijatuhi hukuman mati dengan dilemparkan ke
tengah kobaran api. Ar-Raniri menceritakan peristiwa ini di dalam
bukunya Bustan.
15
Untuk menentang ajaran wujudiyah tersebut
ar-Raniri menulis beberapa buku antara lain: Asrar al-Insan fi
Makrifaturruhi war Rahman, Akbarul Akhirah fi Awwalil Qiyamah.
16
Sebagai seorang ulama juga sekaligus penulis, ia banyak
menulis buku dalam berbagai cabang ilmu seperti fiqih, hadits,
dan aqidah. Salah satu karyanya yang terkenal adalah as-Sirat al-
Mustaqim (Jalan lurus) yang membahas masalah ibadah, shalat,
puasa dan zakat. Peranannya yang penting di bidang politik dan
ekonomi adalah pada saat membatalkan peraturan yang hendak
ditetapkan penguasa Aceh, Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-
55
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
1657) yang dianggap terlampau berpihak kepada kepentingan para
pedagang Gujarat dari pada kepentingan pedagang Belanda. Di
sini ar-Raniri muncul sebagai ulama yang sangat berpengaruh
terhadap penguasa Kesultanan Aceh, melampaui posisi formalnya
sebagai Syaikh al-Islam yang lebih bersifat keagamaan.
4. Abdurrauf As-Singkili
Syeikh Abdurrauf memiliki nama lengkap Abdurrauf ibn
Ali al-Fansuri as-Singkili. Dari nama ini terlihat bahwa dia adalah
seorang Melayu dari Fansur, Singkil. Namanya kadang-kadang juga
diikuti dengan Syiah Kuala. Penggunaan kata Syiah Kuala di akhir
namanya merupakan gelar yang diberikan masyarakat Aceh pada
waktu itu sebagai nisbah dari nama tempat ia mengajar. Tempat
itu terletak dipinggir Krueng Aceh yang dikenal dengan Kuala
Krueng Aceh.
17
Setelah sultan Iskandar Tsani wafat, terjadilah perdebatan
hebat terhadap rencana diangkatnya permaisuri Tajul Alam
Safiatuddin Syah sebagai penguasa tertinggi di kerajaan Aceh.
Kaum lelaki keturunan sultan Aceh akan merebut tahta kesultanan
dengan dukungan para ulama, yang menyatakan bahwa perempuan
tidak boleh menjadi raja, karena bertentangan dengan syariat
Islam. Ketika terjadi konflik tersebut, Tajul Alam Safiatuddin
memiliki pengaruh yang besar sekaligus memiliki kekayaan yang
banyak.
Akibat dari pertentangan dan pergolakan tersebut Syeikh
Abdurrauf sebagai ulama tempatan akhirnya turun tangan. Dalam
menghadapi kondisi tersebut ia cukup hati-hati, karena akan
berakibat fatal jika tidak disikapi secara serius. Setelah membaca
dan memahami pertentangan ide dan kondisi politik Aceh ketika
itu, akhirnya ia dapat mengendalikan dan meredam pergolakan
yang terjadi dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak
yang bertikai. Dengan adanya intervensi Abdurrauf, lambat laun
56
Ul ama dan Umara di Keraj aan Aceh Darus s al am
Fajri Chairawati
stabilitas politik dan kehidupan keagamaan dapat dipulihkan.
Sebagai balas jasa, Sultanah mengangkat Abdurrauf sebagai mufti
kerajaan(Qadhi Malik al-Adil) dan sekaligus sebagai penasihatnya.
Selanjutnya sultanah inilah yang meminta Syeikh Abdurrauf untuk
menulis sebuah kitab fiqh yang diberi nama Mirat al-Thullab. Ia
menjabat Qadhi Malik al-Adil sampai berakhirnya keempat
sultanah di kerajaan Aceh.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerajaan Aceh
maju dan berkembang salah satu faktornya adalah terjalin hubungan
yang erat antara ulama dan umara. Ulama cenderung ditempatkan
di posisi yang penting dalam kehidupan kerajaan. Pada masa
kerajaan Aceh ulama ditempatkan dalam jabatan tertinggi setelah
sultan, yaitu syaikh al-Islam. Beberapa sumber Eropa bahkan
mencatat kehadiran ulama dalam setiap praktek politik penguasa
di kerajaan. Ulama sangat menentukan dalam memutuskan
kebijakan politik yang sangat penting, khususnya yang berkaitan
dengan kerjasama internasional. Seperti Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani yang mengadakan perjanjian dagang
dengan Inggris. Dengan demikian ulama dan umara di kerajaan
Aceh adalah sepasang partner kerja yang satu sama lain saling
bahu membahu dalam mewujudkan mayarakat yang berkeadilan.[]
Endnotes:
1
M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik,
Cet. 1 (Yogyakarta, Ceninnets Press, 2004), hal. 21
2
M. Gade Ismail, Ulama Aceh DalamLintasan Sejarah pada Seminar
Sehari Pembangunan Aceh Era Reformasi (Darusslam-Banda Aceh: IAIN Ar-
Raniry 14 Oktober 1998), hal.3 dalam M. Hasbi Amirudin, Perjuangan Ulama
Aceh di Tengah Konflik, hal.22
57
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
3
Afif Nadjih Anies (Ed), Islam dalam Perspektif Sosio Kultural,
Cetakan ketiga, Jakarta: Lantabora Press, 2005, hal. 223
4
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi HukumIslam, Cet. 1 (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve,1996), hal. 1842
5
Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:Ichtiar Baru Van
Hoeve,2005), hal. 251
6
Azyumardi azra, Ulama, Politik dan Modernisasi, Ulumul Quran,
Jakarta:LSAF,1990
7
S.M.N. Al-Attas, The Mysticims of Hamzah Fansuri dalam
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII &XVIII, Cet. 1 (Jakarta:Kencana,2004), hal.198
8
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1., Cet. 6 (Jakarta:PTRaja
Grafindo Persada,1997), hal. 202
9
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, hal. 243 dalam
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama , hal. 199
10
Teuku Iskandar, De Hikajat Atjeh dalam Hasbi Amiruddin, Ulama
Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, terj. Kamaruzzaman Bustamam,
Cet.1 (Lhokseumawe:Yayasan Nadiya, 2003), hal. 7
11
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Cet. 1 (Jakarta:Gramedia, 2006), hal. 225
12
T. Iskandar, Nurud-din ar-Raniri Bustanus-Salatin, (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hal. 3
13
Rifaiyah adalah nama tarekat yang didirikan di Irak pada abad ke-6 H
olehAhmad ibnAli Abul Abbas ar-Rifai, seorang sufi besar, ahli hokum(fakih),
dan penganut Mazhab Syafii. Ada tiga ajaran dasar tarekat ini: tidak meminta
sesuatu, tidak menolak, dan tidak menunggu. Di Indonesia, Tarekat Rifaiyah
terkenal dengan permainan debus dan tabuhan rebana yang dikenal di Aceh
dengan nama rapai dan di Sumatera Barat dengan nama Badabuih. Lebih lanjut
lihat: Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, jilid. 6 (Jakarta:Ichtiar Baru Van
Hoeve,t.th), hal. 62-63
14
T. Iskandar, Nurud-din , hal. 3
15
Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas: kajian hermeneutic
terhadap karya-karya Hamzah Fansuri, Cet.1 (Jakarta:Paramadina, 2001), hal.
159
16
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675,
Medan: Monora, t.t, hal. 120
17
Syahrizal, Syeikh Abdurrauf dan Corak Pemikiran Hukum Islam,
Cet. 1(Banda Aceh:Yayasan Pena, 2003), hal. 16
58
Ul ama dan Umara di Keraj aan Aceh Darus s al am
Fajri Chairawati
59
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
5
HUBUNGAN ACEH - TURKI
DI ZAMAN KESULTANAN
Oleh: T. Marzan
Pendahuluan
Sudah semenjak Kerajaan Islam Peureulak dan Kerajaan
Islam Samudra Pasai, hubungan dengan luar negeri telah diadakan,
yang sekarang disebut hubungan diplomatik. Apabila kita meneliti
sejarah perjalanan Diplomasi Aceh sejak zaman Kerajaan Islam
Peureulak, Samudra Pasei, terutama sekali di zaman Kerajaan Aceh
Darussalam, dapatlah kita diambil garis besarnya, bahwa Aceh
telah menjalankan empat jenis Diplomasi yang merupakan
Diplomasi Klasik yang terus diperbaharui yaitu :
1. Diplomasi Kancil, yang kalau dalam Kerajaan Aceh
Darussalam kemudian terkenal dengan istilah Tiepee
Aceh bagi dunia Internasional.
2. Diplomasi Meubisan, yaitu perkawinan agung antar
Negara adalah suatu diplomasi yang sangat klasik.
60
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
3. Diplomasi Kekuatan, yaitu diplomasi yang diandalkan
pada kekuatan senjata, atau yang sering disebut sekarang
Diplomasi Militer.
4. Diplomasi Ekonomi, yaitu diplomasi yang didasarkan
pada kekuatan ekonomi untuk mencapai pengaruh dan
kekuasaan politik.
1
Pada saat-saat kekuatan imperialisme Kristen Barat telah
mematahkan kekuatan sebagian besar negara-negara Islam, pada
permulaan abad ke-16 lahirlah sebuah kenyataan yang hidup Lima
Besar Islam yang terikat dalam suatu kerjasama ekonomi, politik,
militer dan kebudayaan.
Lima Besar Islam yang dimaksud yaitu :
1. Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istambul,
Asia Minor.
2. Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara.
3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4. Kerajaan Islam Agra di Anak Benua India.
5. Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
2
Hubungan antara Aceh dan Turki selama abad ke-16 yang
ditempa sebagian besar selama pemerintahan Sultan Alauddin Syah
al-Qahhar Aceh (1537-1571) dan peraturan Ottoman Sultan
Sulaiman (1520-1566) dan Sultan Selim II (1566-1578), dan
dipererat dengan saling perang mereka terhadap Portugis. Dasar
persahabatan adalah perdagangan lada selat India, dengan
mengirim langsung dari Aceh menuju pelabuhan laut Merah.
Sedangkan militer Ottoman menyuplai, keahlian dan tenaga kerja
yang besar untuk permintaan bangsa Aceh. Hubungan politik
tampak meraih puncaknya pada tahun 1560, saat kedutaan besar
Aceh diberikan masalahnya kepada pengadilan Ottoman, dan di
dalam arsip Ottoman adalah salinan cadangan beberapa surat dari
Sultan Selim tahun 1567 dan 1568 mengenai rencana untuk
61
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
ekspedisi laut ke Sumatera.
Keti ka hubungan komersil antara Aceh dan Turki
didasarkan terutama tentang lada, ini mesti disertai dengan
perdagangan dalam komoditi yang lain dan dengan pemberian jenis
barang-barang mewah yang secara alami menyertai pertukaran
diplomatik pada level tertinggi; misalnya, menurut sumber
Portugis, kapal Aceh ditangkap di pesisir Hadramaut pada tahun
1562 membawa 200.000 keping koin emas yang berharga dan
perhiasan untuk Sultan Turki. Tetapi ada sedikit barang bukti yang
masih ada yang memberi kesaksian untuk pertengahan dari
hubungan akhir antara Aceh dan Kerajaan Ottoman di puncak
kejayaannya, yaitu meriam Turki yang ditangkap oleh Belanda di
Aceh pada tahun 1874 dan dibawa ke Holland. Bagaimanapun,
hal ini akan dibantah di dalam naskah bahwa pengaruh artistik
Ottoman dapat dilihat dengan jelas pada tanda kerajaan Aceh yang
mungkin perjanjian dari akhir tahun abad ke-16, Sultan Alauddin
Riayat Syah (1589-1604).
3
Dalam tulisan ini penulis membahas hubungan Aceh
dengan Turki dari awal dimulainya hubungan tersebut yaitu pada
masa Sultan Firman Syah hingga sampai pada masa Sulthan
Iskandar Muda. Di sini penulis membahasnya secara terpisah-pisah
menurut periode kesultanan yang memerintah pada masa itu.
Sejarah Awal Dimulai Hubungan Antara Aceh-Turki
Awal dimulai hubungan antara Aceh dengan Turki menurut
M. Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad yaitu sejak masa Sultan
Firman Syah, di mana pada tahun 1516 M Sultan Aceh Firmansyah
telah menghubungi Siman Pasha, Wazir dari Sultan Selim I Turki
untuk mengikat persahabatan. Permintaan Aceh disetujui oleh
Turki. Hal ini berdasarkan sebuah surat kabar yang terbit di
Istambul pada waktu mula pecah perang antara Aceh-Belanda
(1873 M).
4
Sedangkan Denis Lombard mengatakan bahwa utusan
62
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
Aceh yang pertama di Konstatinopel, yang jejaknya dapat ditelusuri
ialah pada tahun 1562 dan dikirim oleh Alauddin Riayat Syah al-
Qahhar.
5
Ini sesuai dengan pendapat Masrsdem bahwa hubungan
Aceh dengan Turki dimulai pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah
Al-Qahhar (1567), dimana Turki telah mengirimkan 400 tentara
dan 400 meriam ke Aceh.
H.M. Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh di wawasan
Nusantara juga menyebutkan bahwa hubungan Aceh dengan
Kerajaan Turki sudah berlaku semenjak Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Qahhar, yang memerintah dari tahun 1537-1568 dengan
Sultan Salim Khan. Pada masa itu Turki telah mengikat perjanjian
persahabatan dengan Aceh dan telah mengirim 40 orang ofsir-ofsir
ahli barisan meriam, kuda (artellerie cavalerie).
6
Sultan al-Qahhar pada tahun 1545 M melakukan hubungan
diplomatik dengan mengirimkan utusan ke Turki, meminta bantuan
senjata dan tenaga ahli untuk melawan Portugis. Sultan Turki yang
berkuasa waktu itu, yaitu Sultan Sulaiman Khan 1523-1566 M.
Permintaan Aceh dikabulkan Sultan Turki, dengan memberi
sejumlah besar alat senjata dan kira-kira 300 orang tenaga ahli
(ahli teknik, militer, ekonomi dan hukum/tatanegara). Diantara
alat senjata, yaitu meriam besar, meriam Lada Sicupak.
7
Peristiwa
lada secupak, yang kadang-kadang hendak dipertautkan orang
sebagai satu cerita dongeng belaka, mungkin karena ditilik dari
zamannya, terjadi sudah 450 tahun lalu.
8
Sumber Portugis mangatakan bahwa di pertengangahan
abad ke 16 (kira-kira ditahun 1540) Aceh telah mengadakan
Hubungan dengan Turki. Di antara catatan itu adalah catatan
perjalanan petualangan Portugis Pinto yang berada di Timur. Dalam
beberapa peristiwa Pinto sendiri mengatakan ia telah turut
mengambil bagian. Namun harus dicatat dulu seperti juga apa yang
diperingatkan oleh Marsden dalam bukunya, cerita Pinto too
aprocryphal adalah cerita isapan jempol.
9
63
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Kata Pinto Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki
sebanyak 300 orang ahli, dan menurut Pinto juga bantuan tersebut
dibawa oleh kapal Aceh sendiri sebanyak 4 buah, yang sengaja
datang ke Turki, untuk mendapatkan alat-alat senjata perang dan
pembangunan.
Cerita kedatangan kapal-kapal Aceh ini tidak jauh bedanya
dengan cerita dari sumber Aceh sendiri mengenai kesan Lada
Secupak yaitu ketika perutusan Aceh diberangkatkan ke Turki
untuk diadakan perhubungan akrab antara Aceh dan Turki.
Bingkisan yang dikirimkan untuk Turki di antaranya adalah lada
yang dimuat dalam kapal-kapal. Diceritakan karena terlalu lamanya
dan banyak rintangan di laut, menyebabkan muatan lada menjadi
habis di jalan, dan akhirnya hanya tinggal secupak lada yang
diberikan kepada Sultan Turki. Suatu cerita mangatakan bahwa
kapal Aceh itu menempuh lautan lewat Afrika dan masuk ke lautan
Tengah . Tapi ini kurang dapat dipercaya, mengingat keselamatan
dan kemungkinan sampainya lebih tipis. Lebih dapat diyakini
keterangan Pinto yang mengatakan bahwa kapal Aceh menempuh
Laut Merah lewat Macha (suatu pelabuhan dijazirah Arabia),
lintasan laut sempit, kemudian mereka melanjutkan perjalanan
melalui jalan darat melewati Palestina dan Syiria (Suriah).
10
Yang
disebutnya laut sempit ini mungkin sekali teluk Akabah. Kemudian
yang menyebabkan lamanya perjalanan sehingga muatan kapal
habis mungkin karena kapal banyak singgah pada pelabuhan-
pelabuhan di India, dan juga bahaya angin topan waktu sedang
berlayar di laut.
Sarjana Australia yang kini dikenal ahli dalam sejarah-
sejarah Aceh, Anthony Reid telah berhasil membentangkang secara
jelas mengenai hubungan Aceh-Turki di abad ke-16. Dalam sutu
karangannya diungkapkan tulisan ahli sejarah Turki di tahun 1912,
Saffet Bey, berjudul Bir Osmanli Filosunun Sumatera saferi yang
sedikit banyak dapat diperhitungkan ada kemenangannya dengan
64
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
teka-teki lada secupak dari sumber Eropah. Suatu surat
keputusan Sultan Selim II Turki bertanggal 20 september 1567,
berisi penyambutan positif atas permintaan Sultan Aceh yang
dibawa oleh utusannya bernama Husin. Dari pertemuan Husin
dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin
di kepulaun Nusantara untuk membasmi kafir Portugis yang
angkara murka. Diminta supaya Turki mengirim armadanya untuk
mengganyang kafir Portugis.
Juga diinginkan agar kiranya dikirim tukang-tukang ahli
Turki pembuat meriam. Dalam surat keputusan itu Sultan Turki
memeri ntahkan geber nur-geber nur Yaman dan Mekkah
membantu pasukan Turki yang sedang bertolak menuju Aceh.
Surat keputusan tersebut memperkenankan permohonan utusan
Aceh Husin, dengan memberangkatkan 15 buah Kadirqa (galley,
gurab) dan dua buah bark, untuk berangkat dari Kairo bersama
dengan seorang pemimpin ahli membuat meriam dengan tujuh
orang tukang-tukangnya. Juga turut diberangkatkan beberapa
pasukan, meriam-meriam kecil, laksamana Turki Kurt Oglu Hizir
diserahi memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus
menggayang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam dan
merampas benteng-benteng kafir.
Ungkapan Saffet Bey tersebut mengatakan bahwa utusan
(Duta Besar) Husin sampai menunggu dua tahun lamanya di
Istambul, dan begitu Selim II naik tahta segeralah utusan ini diterima
dan dilayani.
Memperhatikan waktu yang lama mencapai dua tahun, Duta
Besar Husin menunggu di Istambul terkesan bahwa kepergiannya
ke Turki itu cukup lama, dan sama dengan waktu lama perjalanan
yang ada dalam kisah Lada Secupak dari pihak Aceh. Mengingat
bahwa catatan bertanggal (Firman Sultan Selim II di atas) lebih
mendekati kebenarannya, maka dapat diperhitungkan bahwa
kedatangan bantuan Turki bukan di masa sekitar tahun 1540 seperti
65
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
yang diceritakan oleh Pinto, tetapi adalah sekitar 20 tahun sesudah
itu (1567-an).
11
Sebenarnya hubungan Aceh dengan Turki telah dimulai jauh
sebelum itu tetapi masih bersifat pribadi dalam hubungan
perdagangan antara orang-orang Aceh dengan orang Turki.
Sedangkan pada masa sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar
barulah hubungan yang bersifat diplomatik antar dua kerajaan
tersebut.
Hubungan Aceh-Turki Pada Masa Sultan Manshur Syah
Tahun 1577-1588 M
Ketika Sultan Manshur Syah memerintah Aceh pada tahun
1577-1588 M, juga telah membuat perjanjian dan kirim mengirim
bingkisan, dengan Sultan Abdul Hamid Khan, bahwa Turki saling
bantu membantu dengan Kerajaan Aceh.
Kemudian pada pertengahan abad ke XVI, atau tepatnya
pada tahun 1563, Kerajaan Aceh mengirim suatu utusan ke
Keraj aan Turki, yang merupakan sebuah Kerajaan Islam
terkemuka pada waktu itu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
bantuan militer dalam rangka melawan orang-orang kafir (Portugis)
di Malaka. Bersama utusan tersebut dikirim pula hadiah-hadiah
yang berharga pada masa itu, yaitu berupa emas, rempah-rempah
dan lada untuk penguasa Karajaan Turki.
Selama di Turki para utusan Aceh telah meyakinkan
penguasa Turki mengenai keuntungan yang akan didapat dari hasil
perdagangan rempah-rempah dan lada, baik untuk Turki maupun
untuk Aceh, bila mana Portugis telah dapat diusir dari Malaka
oleh Aceh dengan bantuan Turki. Perutusan ini boleh dikatakan
berhasil, karena pihak Turki telah bersedia mengirimkan bantuan
kepada Aceh, berupa dua buah kapal dan 500 orang Turki. Di
antara 500 orang ini terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat
kapal-kapal dan meriam-meriam besar. Selain itu pihak Turki juga
66
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
memberikan meriam berat dan perlengkapan-perlengkapan militer
dan hasilnya, Kerajaan Aceh juga mendapatkan bantuan terbatas
dari pemimpim Cahcut dan Jepara.
12
Hubungan Aceh-Turki Pada masa Sultan Alaaddin Riayat
Syah atau Saidil Mukammil Tahun 1588-1604 M
Sultan Alaaddin Riayat Syah atau Saidil Mukammil, juga
telah melakukan hubungan dengan Sultan Turki Mustafa Khan.
Ketika itu Sultan Mustafa Khan mengirim sebuah bintang
kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberi pula sebuah
pernyataan dan izin, bahwa kapal-kapal perang Kerajaan Aceh
boleh mengibarkan berdera Turki di tiang kapal perangnya.
13
Semenjak Sultan Turki mengirim sebuah bintang kehormatan
kepada Sri Sultan Alauddin Manshur Syah, dan gambar dari bintang
itu dilekatkan pada alam Peudeung Aceh (Bendera Kerajaan Aceh).
Oleh kerena itu pula Mubaligh-mubaligh Islam pada dewasa itu
banyak datang mengunjungi negeri Aceh untuk menambahkan
syiar ke negeri Aceh dan Tanah Melayu yang di bawah takbir
Kerajaan Aceh.
14
Diplomasi Aceh-Turki ketika ini lebih cendung
kepada diplomasi yang bersifat politik.
Hubungan Aceh-Turki Pada Masa Sultan Iskandar Muda
Tahun 1607-1636 M
Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh, ada
dua cerita yang menjelaskan tentang hubungan Aceh-Turki :
Pertama tentang datangnya utusan Turki ke Aceh dalam
rangka mencari obat untuk Sultan Turki yang sedang mengalami
sakit. Dalam Hikayat Aceh dijelaskan bahwa pada masa Kerajaan
Turki Sultan Muhammad mengalami sakit, dia memanggil seluruh
hakim dan tabib berkumpul untuk menanyakan perihal penyakit
yang sedang ia alami dan apa pula obat yang dapat menyembuhkan
penyakit tersebut. Kemudian ada dua orang hakim bernama
67
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Taimunus dan Jalus memeriksa Sultan, setelah diperiksa hakim
itu mengatakan obatnya adalah minyak kapur dan minyak tanah.
Saat itu Sultan menanyakan kepada Perdana Menteri di mana
terdapat minyak kapur dan minyak tanah, menurut informasi yang
diperoleh Pendana Menteri bahwa minyak kapur dan minyak tanah
itu terdapat di bumi masyrik yang bernama negeri Aceh Darusslam.
Oleh Karenanya disuruhlah dua orang Rum yang bernama Celebi
(Tuan) Ahmad dan Celebi Ridwan untuk menghadap Sultan, Sultan
memberi sebuah kapal lengkap dengan senjata serta 100 orang
Rum lain ikut bersama dua celebi itu untuk mencari obat ke negeri
Aceh Darussalam.
Mereka mulai berlayar menuju negeri Aceh Darussalam
yang dinahkodahi oleh Yakut Istambul, dengan takdir Allah SWT
beberapa lama dalam perjalanan melalui laut sampaikan ke negeri
Darussalam.
Menurut cerita bahwa ketika utusan Turki sampai ke Aceh
Perkasa Alam Sultan Iskandar Muda tidak berada di tempat karena
sudah berangkat mengalahkan negeri Deli kemudian tidak berapa
lama Sultanpun pulang kembali ke Aceh. Maka utusan Turki
menyiapkan segala pesembahan yang dibawa dari Rum berupa
benda dan permata untuk Sultan. Sultanpun memerintah untuk
menyambut utusan Turki ini dengan sangat istimewa pula.
15
Kedua tentang pengiriman utusan Aceh ke Turki oleh
Sultan Iskandar Muda untuk mempererat kembali hubungan yang
telah dijalin oleh sultan-sultan sebelumnya. Dalam buku Tarikh
Aceh dan Nusantara H.M. Zainuddin
16
menjelaskan tentang
hubungan Aceh dengan Turki pada pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Sri Sultan Iskandar Muda membangun negerinya untuk
mencipkatan kemakmuran di bandar-bandar seluruh daerah
taklukannya, yang mempunyai cita-cita dan perhatian akan
hubungan persahabatan dengan Kerajaan Turki dan Kerajaan-
kerajaan Islam lainnya, agar Kerajaan Aceh kuat makmur dan maju
68
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
pula kebudayaan Islam akan tetapi cita-cita baginda itu terpendam
karena menanti waktu dan kesempatan yang baik, untuk
melahirkan cita-cita itu sejalan dengan kemajuan kemakmuran
negeri dan rakyatnya.
Kemakmuran negeri Aceh serta keadilan Baginda itu
termasyhur ke benua lain, hingga bertambah ramailah pelabuhan-
pelabuhan negeri Aceh didatangi oleh bermacam-macam bangsa
yang hendak berdagang.
Dalam pelabuhan-pelabuhan negeri Aceh tidak sunyi
keluar masuk berpuluh-puluh kapal luar negeri setiap hari yang
datangnya dari Eropa, Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Prancis,
dan lain-lain. Dan Dari Benua Asia yaitu Siam, Pigu, Burma, Cina,
Jepang, Parsi, Arab, Turki, Bombay, Benggala dan lain-lain, semua
membawa barang dagangannya dan membeli barang hasil bumi
yang akan didagangkan pula ke negerinya.
Barang keperluan isi negeri Aceh (import) yang terutama
dari negeri Eropa dan Amerika yaitu kain-kain, baju, tali pinggang
kulit dan sebagainya. Dari Arab dan Parsi kain-kain sutera untuk
kopiah, kurma, ikan kering, minyak sapi, kitab-kitab, minyak atar,
obat-obatan, permata dan sebagaigainya. Dan berbagai macam
barang pula dari negeri lain yang masuk ke Aceh.
Sedangkan barang hasil bumi Aceh yang diekspor terutama
adalah Lada hitam, pinang, sutera, gading, sumbu badak, kulit
lembu kering, sarang burung, dammar, rotan, kayu cendana, kapur
barus, kemenyan dan lain lain.
Pada suatu hari teringatlah lagi baginda hendak
mennguatkan hubungan Kerajaan Aceh dengan Sultan Turki dibenua
Rum, baginda bermusyawarah dengan seluruh meteri, ulama dan
hulubalangnya. Penyebab Kerajaan Aceh ingin mengadakan
hubungan dengan Turki karena Turki merupakan satu Kerajaan yang
terbesar di dunia dan mempunyai bala tentara besar dan kuat di
69
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
negeri Eropa sehingga Turki bisa membantu Aceh bila perlu.
Disiapkanlah tiga buah kapal untuk memuat bingkisan
dan hadiah yang hendak dikirim kepada Sultan Turki di Konstan
Thaniah. Kapal pertama diisi penuh dengan lada, kapal kedua beras
dan padi dan kapal ketiga pinang untuk dijual di negeri Bombay
guna pembekalan. Sedang lada khusus dipersembahkan untuk
Sultan Turki padi dan beras untuk pembekalan.
Setel ah si ap semua ur usan pembekal an bagi nda
memerintahkan Syeikh Nurdin Ar-Raniry menulis sebuah surat
dalam bahasa Arab untuk Sultan Turki di Konstan Thaniah
dibenua Rum, yang maksudnya Baginda akan memperkuat
persahabatan dengan Sultan Turki.
Setelah surat itu selesai ditulis, baginda membubuhkan
stempel Kerajaan dan surat itu dilipat diberi sampul serta
dibungkus dengan kain sutera. Kemudian dilantiklah Nyak Dum
17
sebagai panglima rombongan dan juru bahasa diminta kepada
Syeikh Nurdin Ar-Raniry untuk memberikan seorang Arab dan
seorang Hindi.
Sebelum naik ke kapal ditepung tawari semua utusan itu
oleh permaisuri puteri Sani. Setelah selesai berangkatlah utusan
itu dengan 3 buah kapal tersebut dari Aceh berlayar mengharung
laut jauh itu, siang dan malam dengan tidak henti-hentinya.
Diceritakan juga bahwa nahkoda yang membawa kapal-
kapal itu belum ada pengalaman berlayar kenegeri jauh, hanya
atas keberanian saja. Oleh sebab itu tidak diketahuainya laut mana
yang hendak dilayarinya dan arah mana yang akan dilalui supaya
sampai kenegeri Rum. Maka tersesatlah jalan kapal itu hampir 2
tahun terapung ditengah lautan, sehingga pembekalan yang dibawa
untuk awak-awak kapal habis.
Setelah sampai kapal-kapal dinegeri Rum (Konstantinovel),
maka utusan Aceh merasa takut karena pembekalan hadiah yang
70
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
dikirim oleh Sultan Iskandar Muda sudah habis termakan, hanya
tinggal lagi kira-kira 20 goni lada yang disimpan didalam kapal.
Maka diambillah sedikit (Secupak) oleh panglima Nyak Dumdibingkis
dengan kain kuning, sebagai isyarat yang merupai bingkisan untuk
dipersembahkan kepada Sultan Turki.
Adapun kedatangan kapal-kapal dari utusan Aceh
disambut dengan hormat oleh pembesar-pembesar Turki dan
dipersilakan masuk ke istana manghadap Sultan dan juga disambut
manis dan hormat, Sultan menanyakan hal dan keadaan negeri
Aceh, maka dijawablah oleh utusan itu dan juga menceritakan pula
kelancangan Portugis yang selalu serang menyerang dengan Aceh.
Sultan memuji-muji kemurahan hati Sultan Iskandar Muda, seraya
menanyakan bingkisan hadiah yang dibawa dengan kapal itu. Maka
oleh panglima Nyak Dum meminta maaf kepada Sultan karena
hadiah yang dipersembahkan untuknya telah habis termakan oleh
awak kapal (utusan Aceh) karena sangat lama diperjalanan yang
mencapai dua tahun, hanya sebagai syarat saja kami persembahkan
secupak lada dalam bungkusan ini, sedangkan yang lain sedikit lagi
masih dalam kapal. Kemudian Sultan menerima bingkisan lada
secupak dalam kain sutera itu, dengan kebesaran hati serta
menghargakan pemberian shahabat kami Sultan Iskandar Muda,
utusan Aceh juga ikut gembira. Kemudian Sultan menyuruh kepada
orang-orang besar Turki untuk menjamu utusan Aceh serta
memberi tempat istirahat.
Selama di Turki utusan Aceh melihat-lihat alat perang
Kerajaan Turki serta meninjau dan belajar taktik peperangan dari
perwira-perwira Turki. Kemudian setelah kira-kira selama dua
bulan di Turki utusan Aceh berangkat pulang yang dilepasi oleh
pembesar Turki dan diberikan sebuah meriam sebagai balasan dari
lada secupak serta dua belas orang phahlawan yang kuat dan ahli
pekerjaan pertukangan, pandai membuat meriam, bedil, dan alat-
alat perang lainnya supaya Sultan Aceh dapat membuat sendiri
71
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
semua peralatan untuk balatentara. Dan disertai sepucuk surat
yang menjelaskan tentang ke duabelas utusan Turki serta
pernyataan persahabatan Kerajaan Turki denga Kerajaan Aceh
dengan memperkuat perjanjian lama pada masa Sultan alaaddin
Riayat Syah al-Qahhar, Sultan Masyur Syah dan Sultan saidil
Mukammil.
Setelah siap semuanya dengan pembekalan, maka mereka
pulang kembali ke Aceh yang dinahkodai oleh yang pandai melayari
lautan Atlantik dan Sakutra sehingga sampailah ke Aceh denga
waktu yang cepat. Perihal kembali pulang kapal panglima Nyak
Dum serta utusan dari sultha Turki disambut oleh Sultan Iskanda
Muda dengan upacara dan kehormatan, yang mana berbunyilah
meriam di darat, lalu disambut bertalu-talu oleh meriam didalam
kapal dari negeri Rum dan disambut pula oleh kapal-kapal Aceh
yang ada dipelabuhan. Setelah selesai upacara itu, tamu-tamu
dijemput dan dinaikkan kedarat lalu menghadap baginda seri Sultan
dalam istana Darussalam.
Oleh utusan dipersembahkan bingkisan serta surat dari
Sultan Turki dan diperkenalkan pahlawan-pahlawan dua belas
orang itu. Lalu diterima baginda dengan senyuman dan kemulian
serta memuji-muji Sultan Turki, meriam itu diberi nama Lada
Secupak. Pahlawan-pahlawan itu diberi tempat tinggal dikampung
Empe Rum sehingga mereka tetap disitu bersama-sama orang
Turki lainnya.
Kesimpulan
Aceh sebuah kerajaan pada masa dulu telah melakukan
hubungan luar negeri atau hubungan diplomatik baik dalam bidang
militer, ekonomi dan politik dengan kerajaan atau bangsa lain,
salah satunya yaitu dengan kerajaan Turki. Hubungan Aceh dengan
dengan Turki yang jejaknya dapat ditelusuri ialah pada masa Sultan
Ala ad-Din Riayat Syah al-Qahhar pada tahun 1562 yaitu disaat
72
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
Sultan al-Qahhar mengirim utusan ke Turki meminta bantuan
senjata dan tenaga ahli untuk melawan Portugis. Turki waktu itu
mengabulkan permintaan Aceh dengan memberikan sejumlah
besar alat senjata dan juga tenaga ahli baik tehnik, militer, ekonomi
dan hukum/tatanegara. Diantara alat senjata yang diberikan yaitu
meriam besar yang dinamai lada secupak.
Meriam Lada Secupak ini menurut satu sumber mengatakan
terjadi pada masa Sultan al-Qahhar sebagaimana yang telah
dikatakan oleh Pinto. Dan sumber lain mengatakan terjadi pada
masa Sultan Iskandar Muda sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam buku H.M. Zainuddin, Tarikh Aceh Nusantara. Karena cerita
perjalanan utusan Aceh ke Turki pada masa Sultan al-Qahhar
hampir sama dengan masa Iskandar Muda yaitu tinjau dari lama
waktu perjalanan sampai dua tahu sehingga lada yang dibawa dari
utusan Aceh tinggal sedikit/secupak. M. Said mengatakan kalau
hubngan tersebut terjadi masa Sultan Iskandar Muda historis
kurang menyakinkan, karena zaman Iskandar muda tingkat
kemampuan perkapalan dan keahlian mengelola logam di Aceh,
seperti besi dan lain sudah tinggi sekali. Bahkan kapal-kapal
perangnya yang besar sudah melebihi kapal-kapal di Eropa sendiri.
Sebenarnya ketika Aceh dijajah oleh Belanda pada tahun
1873. Aceh pernah meminta bantuan kembali ke Turki. Sultan
Aceh megutus mangkubumi Sayid Abdurrahman Az-Zahir ke Turki
untuk meminta bantuan dalam usaha menghadapi ancaman
Belanda. Kedatangan Sayid Abdurrahman Az-Zahir di Istambul
sebenarnya mendapat sambutan yang meriah dari mereka yang
tergabung dalam golongan Turki Muda. Akan tetapi, karena Turki
pada waktu itu merupakan The sick man of Europe atau orang sakit
di Eropa, jangankan memberi bantuan kepada orang lain,
mempertahankan keutuhan wilayahnya sendiri hampir tidak
berdaya.
18
73
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Menurut sumber sejarah yang kita dapati bahwa diplomasi
Aceh-Turki, lebih cendrung kepada diplomasi kekuatan (militer)
dan diplomasi ekonomi politik, terutama mengenai bantuan Turki
ikut mengusir penjajah portugis dari Aceh. sedangkan diplomasi
meubisan tidak ada karna sepanjang sejarah kerajaan Aceh tidak
pernah mengadakan ikatan perkawinan dengan kerajaan Turki
pada waktu itu. Dalam bidang pendidikan tidak ada hubungan
yang bersifat diplomasi melainkan hubungan bersifat individual.
Bukti sejarah hubungan Aceh-Turki adalah terdapatnya sebuah
makam keramat di kampung Bitay, yang berasal dari seorang ulama
Turki suriah yang datang ke Aceh pada masa al-Qahhar, makan
tersebut dikenal dengan nama keramat tengku Bitaj yang sekarang
dijadikan tempat pemujaan keramat oleh sebagian orang. Bukti
lain adalah terdapat sebuah meriam yang dulu dikenal dengan
sebutan Meriam Lada Secupak, menurut Annabel Teh Gallop bahwa
meriam tersebut ditangkap oleh Belanda pada tahun 1874
kemudian dibawa ke Holland-Belanda. []
Endnotes:
1
A. Hasjimy, Kebudayaan Aceh Dalam sejarah, (Jakarata: Beuna ,
1983), hal. 99
2
Ibid, hal. 99
3
Annabel Teh Gallop, Ottoman Influences In The Seal Of Sultan
Alauddin Riayat Syah Of Aceh.
4
M. Said, Aceh sepanjang abad, (Medan: Waspada, 1980) hal. 184
5
Denis Lombard, Kerajaan Aceh Sulthan Iskandar Muda, (Jakarta:
Kepustakan Populer Gramedia, 2007) hal.. 158
6
H.M. Zainuddin, Tarikh Wawasan Nusantara, (Pustaka Iskandar Muda,
Medan 1961) hal. 272
7
M. Yunus Jamil : Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, hal 42-43
8
Said, Aceh sepanjanghal. 182
9
William Marsden, Historis of Sumatera, hal. 428 dan Said, Aceh
Sepanjanghal. 182
74
Hubungan Aceh - Turki di Zaman Kesul tanan
T. Marzan
10
Said, Aceh Sepanjanghal. 183
11
Ibid, hal. 199
12
IbhahimAlfian dkk, Sejarah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Proyek
Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Tahun 1977/1978), hal. 95-96
13
Zainuddin, Tarikh Wawasan hal. 272
14
Ibid, hal.301
15
Untuk lebih jelas ceritanya lihat Denys Lombard dalam buku
Kerajaan Aceh Sulthan Iskandar Muda dan lihat naskah aslinya dalamHikayat
Aceh.
16
Zainuddin, Tarikh Acehhal.. 172-176
17
Panlima Nyak Dumia berasal dari negeri Pangwa diperbatan dengan
negeri Meurudu, menurut satu naskah tua tahun 1006 H/1598 M ayahnya
bernama Haji Wandu dari negeri Pangwa dan negeri Peudoek dekat negeri
Pante Raja.
18
M. Nur El Ibrahimi, Selayang Pandang Langkah Diplomasi
Kerajaan Aceh, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993) hal. 7
75
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
6
KEDATANGAN PORTUGIS DAN
PROBLEMATIKA BAGI ACEH
Oleh: Safrijal
Pendahuluan
Daerah Aceh terletak di ujung sebelah utara pulau Sumatera,
merupakan bahagian yang paling ke Barat dan paling ke Utara dari
kepulauan Indonesia. Di sebelah barat terbentang lautan Hindia,
sedang di sebelah Utara dan Timurnya terletak Selat Malaka. Mulai
dari Salahaji di pantai Timur terus ke ujung Utara, selanjutnya ke
Singkil dan Barus di pantai Barat, adalah merupakan batas areal
daerah Aceh yang luasnya lebih kurang 21.448 mil persegi atau lebih
kurang 55.392 kilometer persegi.
Letak geografis Aceh sangatlah strategis, sehingga
merupakan pintu gerbang sebelah Barat kepulauan Indonesia dan
karena letaknya di tepi Selat Malaka, maka daerah ini penting pula
dilihat dari sudut lalu lintas Internasional. Sejak zaman Neolicicum,
Selat Malaka merupakan terusan penting dalam gerak migrasi
76
Kedatangan Portugi s dan Probl emati ka Bagi Aceh
Safrijal
bangsa-bangsa di Asia, dalam gerak ekspansi kebudayaan dari India
dan sebagai jalan niaga dunia. Selat Malaka adalah jalan penghubung
utama antara dua pusat kebudayaan yaitu Cina dan India.
Semestinyalah apabila wilayah sekitar Selat Malaka selalu
mempunyai peranan penting sepanjang gerak sejarah Indonesia.
Muncul dan berkembangnya kerajaan Aceh selama Abad 16 dan 17
itu tak mungkin dipisahkan dari letak geografisnya yang sangat
strategis itu.
1
Menilik pada pembahasan yang menjadi topik pada tulisan
ini, yakni menyangkut keberadaan Portugis di bumi Serambi
Mekkah, dimana selama seluruh awal Abad ke 17, orang Portugis
selalu dal am posisi perang dengan kesultanan Aceh. Hal
permusuhan ini dikarenakan kapal-kapal dari Malaka atau Goa
seringkali tidak boleh singgah di Aceh, dan kemudian pada
akhirnya Sultan melancarkan serangan-serangan Maritim melawan
Malaka.
Sekitar tahun 1638 ketegangan mereda meskipun hanya
secara nisbi, dan orang Portugis di Malaka mengirim utusan kepada
Iskandar Thani dengan maksud menariknya ke pihak mereka
melawan orang Belanda yang makin lama makin berbahaya. Di
antara anggota perutusan itu terdapat seorang juru mudi yang
berasal dari Normandie; Piere Berthelot. Dalam pengembaraannya
yang berkepanjangan di laut-laut Selatan, Piere Berthelot telah
menjadi Biarawan Carme Dechaux, lalu mengabdilah ia kepada
Raja muda sebagai pembuat peta. Perutusan ke Aceh menemui
nasib yang tidak baik, Berthelot ditawan bersama teman-temannya
lalu dibunuh.
2
Sekilas mengenai Portugis
Sekitar tahun 1498, bangsa Portugis dibawah pimpinan
Vasco da Gama tiba di Calicut. Dimana sebelum kejadian yang
penting ini terjadi, telah ada serangkaian usaha perjalanan yang
77
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dilakukan bangsa Portugis untuk menemui sendiri jalan ke Timur.
Pada abad ke 10, perdagangan di Eropa dipegang oleh pedagang-
pedagang Islam yang berporos di Byzantium dan juga kota-kota lain
seperti Venetia, Florensa, Genoa dan Antwerpen yang menjadi
pusat-pusat perdagangan.
Setelah perang salib berakhir yang puncak kemenangan
diraih oleh orang-orang Kristen, maka perdagangan berpasar di Laut
Tengah. Meskipun demikian peranan pedagang-pedagang Islam
masih besar juga, hal ini dikarenakan kunci perhubungan dagang
Barat dan Timur masih dikuasai oleh mereka. Terlebih dengan
dikuasainya Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Sultan
Muhammad II, dimana pedagang-pedagang Islam semakin
memegang peranan penting ketika itu. Taklama kemudian
perdagangan antara Timur dan Barat menjadi seret dan terganggu.
Timbul ide-ide baru untuk mencari jalan sendiri ke Timur, terutama
ide tersebut sangat berkembang dikalangan orang-orang Spanyol
dan Portugis.
Perang salib yang masih terus dilancarkan oleh orang
Spanyol dan Portugis untuk mengusir Islam keluar dari negerinya
mendapat kemenangan-kemenangan besar. Sekitar abad ke 14
Portugis berhasil mengusir orang Islam keseberang Selat Gibraltar
dan bahkan menduduki Ceuta di bahagian Afrika yang posisinya
tepat besebrangan dengan Selat Gibraltar. Kemenangan-
kemenangan yang diperolehnya ini merupakan dorongan yang
paling besar bagi bangsa Portugis untuk mengadakan perlawanan
keberbagai tempat di dunia. Perlawanan yang dilakukan oleh
orang-orang Portugis pada mulanya bernafaskan pada unsur
religius (bersifat Agama), dimana mereka selalu mengejar dan
memerangi orang-orang Islam setiap kali mereka jumpai. Barulah
sekitar pertengahan abad ke 15, tujuan-tujuan ekonomi dan
perhitungan-perhitungan komersil termasuk dalam tujuan dan
maksud perlawanan dan penjelajahan mereka. Hal ini karena
78
Kedatangan Portugi s dan Probl emati ka Bagi Aceh
Safrijal
dalam perlawanan-perlawanan tersebut terdapat barang-barang
baru terutama di Afrika Barat seperti emas, pasir, binatang-binatang
kera, singa dan burung nuri yang kesemuanya itu merupakan bisnis
yang paling menjanjikan di pasaran Eropa.
Pendapatan-pendapatan baru dalam bidang ilmu
pengetahuan di Eropa seperti kepandaian membuat kompas,
kemajuan dalam Ilmu Bumi (terutama dalam perpetaan tempat-
tempat di dunia sangat besar, artinya dalam kemajuan pelajaran
orang-orang Portugis dan Spanyol. Pada permulaan abad ke 15 itu
pula Portugis diperintah oleh seorang raja yang menaruh perhatian
besar terhadap pelajaran. Jasanya dalam lapangan tersebut
menyebabkan ia diberi gelar Henry Navigator. Sesudah ia
menaklukkan Ceuta pada tahun 1415, Henry mengatur persiapan
yang sistematis untuk penjelajahan bangsa Portugis kebeberapa
tempat di dunia. Berturut turut mereka menjumpai Madeira pada
tahun 1419, kepulauan Azres 1432, Teluk Verdi 1456, dan
Bartholamiuz Diaz menemukan ujung Selatan Afrika pada
tahun1487. pada tahun 1498 sampailah Vasco da Gama di Calicut
yang terletak dipantai barat India. Peristiwa terakhir ini sangatlah
penting dalam sejarah dunia, sehingga dengan penemuan Vasco da
Gama itu dimulailah satu kurun sejarah yang dinamakan oleh
Pannikar da Gama Epoch akibat yang sangat luas oleh kejadian
itu ialah terjadinya revolusi dalam lalu lintas perdagangan dan
didalam struktur perniagaan di Asia, yang membawa efek pula dalam
lapangan sosial, ekonomi, politik, agama di Asia dan hubungan antara
Barat dengan Timur selanjutnya.
3
Kedatangan Portugis dan Problematika bagi Aceh
Berbicara mengenai kedatangan Portugis dan problematikanya
bagi Aceh, maka disini penulis akan menitikberatkan pada kejadian-
kejadian yang sudah tentu erat kaitannya dengan faktor-faktor yang
menyebabkan muncul dan berkembangnya kerajaan Aceh pada
79
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
abad ke 16 dan 17, dan jatuhnya Malaka, dimana ketika itu terjadi
pertentangan tradisionil antara Portugis dan orang-orang Islam
sesudah mereka berhadap-hadapan ditempat lain yaitu di Asia. Aceh
yang sudah dua setengah abad memeluk agama Islam sampai dengan
kedatangan orang-orang Portugis di Asia telah melibatkan diri pula
dalam pertentangan ini. Kondisi dan gerak sejarah pada waktu itu
sangatlah menentukan dalam kelahiran dan perkembangan kerajaan
Aceh. Dari pelajaran-pelajaran yang diperoleh Vasco da Gama yang
tiba di Calicut pada tahun 1498, dan hasil-hasil pelajaran Diego
Lopez de Sequiera selanjutnya yang menemui tempat-tempat di
Aceh serta Malaka pada tahun 1509, mereka mengetahui tentang
rute perdagangan yang sudah berjalan sejak zaman kuno dari Cina
melalui Selat Malaka yang kemudian menelusuri pantai Selatan
Asia atau pantai Utara Aceh terus kelaut Merah dan keteluk Persia,
begitulah rute pergi dan pulangnya. Pada rute perdagangan ini,
pedagang-pedagang Islam sebagai musuh tradisionil portugis
memiliki andil yang cukup kuat, dalam arti pedagang-pedagang
Islam ketika itu memegang peranan penting yang sudah hidup dan
berkembang sejak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk dapat
menguasai perdagangan dan rute perdagangan tersebut sekaligus
memerangi mereka orang Islam dan para pedagang Islam, maka
oleh Portugis diambillah suatu keputusan yang menetapkan bahwa
kunci dari lalu lintas perdagangan mulai dari Selat Malaka, Teluk
Persia sampai ke Laut Merah haruslah dengan bantuan gerakan-
gerakan militer.
Pada tahun 1511, dibawah pimpinan Alfonso Portugis
berhasil menduduki Malaka. Dalam sejarah diungkapkan bahwa
sebelum kedatangan mereka menyerang Malaka, armada Portugis
dibawah pimpinan Diego Lopez de Sequiera pada tahun 1509
terlebi h dahul u tel ah si nggah dan berhasil menancapkan
pengaruhnya di pelabuhan-pelabuhan kerajaan-kerajaan Aceh
pada masa itu dan diterima dengan baik.
4
Kemudian mereka
80
Kedatangan Portugi s dan Probl emati ka Bagi Aceh
Safrijal
mendirikan benteng-benteng dan gudang yang dilengkapi dengan
persenjataan untuk memudahkan perdagangan di seki tar
pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Setelah penaklukan Malaka, pada tahun 1514 kota Ormuz
yang berada di pesisir pantai Teluk Persia juga ikut ditaklukkan.
Kemudian menyusul pula sebagai sasaran penyerangan berikutnya
yaitu kota Aden dan pulau Sokotra. Namun disini Portugis hanya
dapat menaklukkan pulau Sokotra, sedangkan penyerangan yang
mereka lakukan ke kota Aden gagal, sehingga impian bangsa
Portugis untuk menaklukkan kota Mekkah sebagai pusat agama
Islam dapat disinyalir gagal pula.
Pada dasarnya perang terbuka yang dilakukan orang-orang
Portugis dalam melawan kekuatan Islam berorientasi pada
perdagangan, mencari keuntungan, ekspansi politik dan agama yang
direalisir dalam bentuk yang selengkap-lengkapnya. Sejak
pergantian pimpinan perwakilan dari tangan Fransisco de Almeida
yang merupakan Gubernur pertama pada tahun 1504 kepada
Alfonso de Albuquerque pada tahun 1509, siasat perangpun
dirubah. Sikap Alfonso sangatlah agresif. Dimana tentara Portugis
yang bermarkaskan di Goa ketika itu diharuskan untuk menyerang,
tidak boleh hanya menahan serangan. Portugis menduduki Goa
pada tahun 1510, di markas besar inilah mereka membuat serangan
secara teratur terhadap lawannya.
Perdagangan tidak cukup untuk membiayai tentara
Portugis, sehingga terkadang mereka masih melakukan perampokan
terhadap kapal -kapal dagang Isl am, dan j uga mel akukan
perampokan dan pembunuhan terhadap orang-orang Islam yang
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dan oleh karenanya atas
per mi ntaan keraj aan Guj arat dan Jaman Sel atan, Mesi r
menyampaikan aksi protesnya kepada Paus dan mengintimidasi
untuk melakukan tindakan yang sama terhadap orang-orang
81
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Kristen yang akan mengunjungi Palestina. Atas intimidasi ini, Paus
mengirimkan peringatan kepada Raja Manuel dari Portugal, tapi
perubahan yang dihasilkan sangatlah sedikit.
Al asan sehingga mudahnya Portugis mel akukan
perdagangan dan mendirikan benteng-benteng di kawasan
kerajaan-kerajaan Aceh disebabkan karena memang kawasan Aceh
pada saat itu masih samar-samar dan masih berada dibawah
naungan kerajaan-kerajaan kecil sehingga tidak begitu kuat untuk
melakukan perlawanan. Hal ini dapat dibuktikan pula oleh
peristiwa singgahnya armada Alfonso de Albuquerque di negeri
Lamuri, Pidie dan pasai sebelum menyerang Malaka. Armada
Portugis diterima dengan hormat dan ramah oleh Raja-raja
kerajaan-kerajaan Aceh pada masa itu-atau oleh karena rasa takut
melihat besarnya armada Portugis yang dibawa.
5
Muhammad Zainuddin dalam bukunya yang berjudul Tarich
Atjeh dan Nusantara menjelaskan bahwa sebelum bangsa Portugis
datang, kerajaan Aceh Besar sudah pernah ditaklukkan oleh
kerajaan Pidie. Meskipun demikian kerajaan Aceh Besar tetap
melakukan serangkaian serangan-serangan melawan kerajaan Pidie
demi memperebutkan kekuasaan dan kerajaan Pidie-pun pada
akhirnya mengalami kekalahan. Kemudian oleh Raja Aceh Besar
didudukkanlah Raja Ali dan adiknya Ibrahim sebagai Wali
Nanggroe. Bersamaan dengan itu pula mereka melakukan
penyerangan terhadap benteng-benteng Portugis yang didirikan di
daerah Kuala Gigieng dan Pante Raja dan merampas semua senjata
mereka. Dengan senjata itulah kemudian mereka melakukan
penyerangan terhadap keraj aan Aceh Besar (1514) dan
menurunkan Sultan Salahuddin Ibn Muzaffar Syah dari tahtanya,
dan kemudian Raja Ali menobatkan dirinya menjadi Raja Aceh
yang baru dengan gelar Sultan Ali Mughayat Syah dan adiknya
Raja Ibrahim menjadi laksamana.
6
82
Kedatangan Portugi s dan Probl emati ka Bagi Aceh
Safrijal
Semasa pemerintahannya, para pedagang asia yang bubar
setelah direbutnya Malaka oleh Portugis banyak menetap dan
melakukan perdagangan di kerajaan Aceh. Sultan Ali Mughayat
Syah berhasil menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil
merebut kerajaan Daya yang terletak di kawasan Lamno pada
tahun 1520
7
. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa berdirinya kerajaan
Daya tidak terlepas dari beberapa keluarga keturunan Raja Pasai
(Pahlawan Syah) yang melakukan eksodus ke wilayah tersebut.,
setelah terjadinya kekalahan perang antara kerajaan Pidie dan Pasai
pada tahun 1417 M yang kemudian selanjutnya mendirikan negeri
Daya di daerah ini. Pada masa Meurohom Daya, negeri Daya ini
banyak dikunjungi oleh para pedagang-pedagang dari Cina dan
Arab. Kemudian disusul oleh orang-orang Portugis dan Spanyol
untuk berdagang dan menetap pada awal abad ke-16. oleh karena
itulah banyak ditemukan peranakan orang-orang Eropa di daerah
ini
8
.
Di samping kerajaan Daya, pada tahun 1521 kerajaan Pidie
(Pidir) pun berhasil direbut, menyusul Pidie Pasai pada tahun 1524,
dan Peurelak, Aru yang merupakan wilayah pesisir Utara kerajaan
Aceh yang menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis
selanjutnya
9
. Kemudian dari kota Banda Aceh Darussalam-lah
diciptakan lalu lintas perdagangan baru bagi para pedagang Islam
melalui pantai barat Sumatera, ke Selat Sunda dan kemudian
bersatu dengan lalu lintas Internasional menuju Tiongkok.
Kedatangan Portugis ke Aceh selain berorientasi pada
Politik dan Ekonomi, juga berpengaruh pada Agama dan Sosial
Budaya. Dimana pengaruh perang salib sebagai wujud dari kebencian
terhadap umat Islam masih sangat membekas. Hal ini berawal dari
kejayaan umat Islam selama lebih kurang 500 tahun di Spanyol.
Kemudian di tengah kejayaannya, umat Islam mengalami
kehancuran. Tentunya kehancuran tersebut dilatarbelakangi oleh
munculnya Muluk at-Thawaif (Raja-raja Kecil). Umat Kristen (Eropa
83
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Timur) ketika itu mengintai dan memanfaatkan peluang ini,
sehingga pada akhirnya mereka berhasil menghancurkan umat Islam.
Setelah kehancuran umat Islam, Spanyol-pun dipimpin oleh
tokoh Kristen yang bernama Ferdinand dan Issabella. Kemudian
lebih jauh mereka memberi alternatif kepada kepada umat Islam
(keturunan Arab) yang masih bertahan di wilayah tersebut untuk;
memeluk Agama Kristen, dibunuh (digorok), atau keluar dari
Spanyol, dalam arti kembali ke kampung asal yaitu tanah Arab.
Sebagian dari umat Islam ketika itu ada yang kembali ke daerah
asalnya dan ada juga murtad (memeluk agama Kristen), sehingga
hampir keseluruhan masyarakat Spanyol dewasa ini ber-relegius-
kan Kristen tapi berbudaya Islam (berwatak Islam). Sebagai contoh;
mereka masih mengawali kalimat Assalamualaikum dalam hal
menulis surat, dan nama-nama mereka juga masih memakai nama-
nama orang Islam. Berlatarbelakang sejarah inilah kesultanan Aceh
kemudian mengkhawatirkan arti kedatangan Portugis.
Kesultanan Aceh menjadi teladan akan kecenderungan
militan sepanjang abad XVI, tentunya hal ini ditandai dengan
bangkitnya persatuan di kawasan pesisir Utara Sumatera dalam
menghadapi Portugis. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar
(1539-1571) disanjung oleh sejarawan Muslim sebagai orang
pertama yang berjuang melawan orang-orang kafir, bahkan
menyerang Portugis di Malaka. Dia seorang pewaris pertama
perdagangan rempah-rempah langsung ke Laut Merah. Melalui
hubungan itu dia memperoleh ilmuan-ilmuan Muslim yang datang
silih berganti, selain senjata dan orang-orang yang mau berjuan
memerangi orang-orang kafir
10
.
Pada tahun 1529 sampai 1587 kerajaan Aceh terus
melancarkan usaha-usaha berkesinambungan untuk merebut
kembali Malaka. Dan kemudian antara tahun 1618 dan 1620
kerajaan Aceh berhasil merebut Pahang, Kedah dan Perak. Puncak
kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda,
84
Kedatangan Portugi s dan Probl emati ka Bagi Aceh
Safrijal
yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh
dominasinya atas penguasa lokal dan berbagai perkampungan di
seluruh wilayah semenanjung Malaka
Inilah peristiwa yang sangat penting dari permulaan
perkembangan kerajaan Aceh. Dalam arti, dari sudut inilah
menurut penulis bisa dimahami arti kedatangan Portugis dan
penaklukkan Malaka oleh Portugis bagi perkembangan dan
pertumbuhan kerajaan Aceh.
Penutup
Kedatangan bangsa Portugis pada awal abad ke 16 menjadi
dilematis bagi rakyat Aceh. Hal ini dikarenakan kondisi Aceh
ketika itu masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil, seperti Pasai,
Pedir, Lamuri, Daya dan lainnya. Ditambah lagi dengan masih
terjadinya peperangan-peperangan yang masing-masing kerajaan
saling menunjukkan kekuasaannya.
Kedatangan Portugis ke Aceh memberikan dampak yang
buruk dalam segala aspek, terlebih terganggunya stabilitas ekonomi
yang berorientasi pada perdagangan, dimana politik tipu daya
liciknya (Devide et Impera) sangat ditonjolkan, ditambah lagi dengan
berdirinya benteng-benteng yang diperkuat dengan persenjataan
lengkap di kawasan Aceh.
Kedatangan Portugis ke Aceh selain berorientasi pada Politik
dan Ekonomi, juga berpengaruh pada Agama dan Sosial Budaya.
Dimana pengaruh perang salib sebagai wujud dari kebencian
terhadap umat Islam masih sangat membekas. Hal ini berawal dari
kejayaan umat Islam selama lebih kurang 500 tahun di Spanyol.
Kemudian di tengah kejayaannya, umat Islam mengalami
kehancuran. Tentunya kehancuran tersebut dilatarbelakangi oleh
munculnya Muluk at-Thawaif (Raja-raja Kecil). Umat Kristen (Eropa
Timur) ketika itu mengintai dan memanfaatkan peluang ini, sehingga
pada akhirnya mereka berhasil menghancurkan umat Islam.
85
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Sul tan Al i Mughayat Syah (1514-1530) berhasi l
menyatukan lawan-lawan Portugis dan berhasil merebut kembali
kerajaan Aceh wilayah pesisir utara, seperti; Pasai, Pidie, Daya,
Peurelak dan Aru. Kemudian pada tahun 1529 sampai 1587
kerajaan Aceh melakukan serangan-serangan untuk merebut
kembali Malaka. Dan sekitar antara tahun 1618 dan 1620 kerajaan
Aceh berhasil merebut Pahang, Kedah dan Perak.[]
Endnotes:
1
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh; dalam tahun 1520-1675,
(Medan: CV. Monora, 1972), hal. 16.
2
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007), hal. 53.
3
Zakaria Ahmad, Op. Cit, hal. 25
4
Datangnya orang-orang Portugis ke kawasan Aceh pertama sekali
tepatnya di negeri Pidie. Karena negeri Pidie-lah yang terbesar dan lebih
banyak menghasilkan rempah-rempah pada masa itu dibanding negeri-negeri
lain di kawasan Aceh. Setelah itu mereka juga singgah di Pasai, Daya dan
dihampir seluruh pesisir pantai yang berdekatan dengan Malaka. Lihat: M.
Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, cet 1, (Medan: Pustaka Iskandar
Muda, 1961) hal. 265.
5
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Cet II, (Medan: Waspada,
1981), hal. 162.
6
M. Zainuddin, Op. Cit, hal. 204-205.
7
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. Satrio
Wahono, dkk, (Jakarta: Serambi, 2001), hal. 64
8
M. Zainuddin, Loc. Cit, hal. 204-205.
9
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh (Dari Perebutan Pantai
Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19). Terj, Masri
Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 2
10
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Terj. Sori
Siregar, dkk, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 224.
86
Kedatangan Portugi s dan Probl emati ka Bagi Aceh
Safrijal
87
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
7
KEDATANGAN BELANDA DAN
PROBLEMATIKA BAGI ACEH
Oleh: Rasyidin
Pendahuluan
Kedatangan orang-orang Eropa yang pertama di Asia
Tenggara pada awal abad XVI kadang-kadang dipandang sebagai
titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini.
Pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Meskipun orang-orang
Eropa terutama Belanda memiliki dampak negatifyang besar
terhadap Indonesia, namun hal itu pada dasarnya merupakan
fenomena dari masa-masa kemudian. Bagaimanapun juga, pada
tahun-tahun pertama kehadiran mereka, pengaruh orang-orang
Eropa sangatlah terbatas, baik dari segi daerah yang dipengaruhi
maupun kedalaman pengaruhnya.
1
Dalam tahun 1784 Aceh merupakan kekuasaan politik
terbesar di Pulau Sumatra. Di antara sekian banyak kerajaan, Aceh
adalah satu-satunya yang berani menolak keinginan pendatang-
88
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
pendatang Eropa untuk membangun benteng di dalam daerah
kekuasaannya sebagai pemukiman orang-orang Eropa dan sebagai
pegudangan bagi komoditi-komoditi yang dibeli mereka dari rakyat.
Benteng-benteng ini merupakan regu perintis, yang diluluskan,
pasti akan diikuti oleh regu-regu lain dan pasti akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan pribumi.
2
Salah satu dari bangsa Eropa yang datang ke Aceh adalah
Belanda, dan ini menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini.
Belanda merupakan salah satu bangsa Eropa yang telah menjalin
hubungan cukup lama dengan Aceh. Hubungan itu diawali dengan
berlabuhnya Houtman bersaudara (Frederick de Houtman dan
Cornelis de Houtman) ke daratan Aceh pada tanggal 21 Juni 1599.
3
Hubungan Aceh dengan Belanda saat itu berlangsung dengan
kedudukan yang setara, terutama dalam urusan perniagaan dan
diplomatik. Namun demikian, hubungan tersebut mengalami
per ubahan sej ak tanggal 26 Maret 1873 keti ka FN
Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris Pemerintah Kolonial Belanda
memaklumkan perang terhadap Sultan Aceh (Alaiddin Mahmud
Syah). Maklumat itu berujung pada perang yang sangat lama
antara Kerajaan Aceh dengan Belanda.
Awal Kedatangan Belanda
Apa gerangan yang menyebabkan negara-negara besar di
Eropa tertarik kepada Aceh ? tidak lain karena kedudukan
strategis dan adanya potensi-potensi ekonomi yang cukup besar
dan penting. Pada masa itu, Aceh terkenal sebagai gudang lada
dan pinang di Pulau Sumatra. Jikalau pantai baratnya merupakan
daerah lada (the pepper coast) maka pantai Utara/ Timurnya
merupakan daerah pinang (bettel-nut coast).
4
Pada masa jayanya,
banyak kerajaan besar dari Eropa yang ingin menjalin dan
mengikat tali persahabatan dengan Aceh. Bahkan ada di antaranya
yang dengan berkedok persahabatan ingin menguasai Aceh.
89
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Kerajaan-kerajaan besar Eropa yang pernah menjalin
hubungan persahabatan dengan Aceh, antara lain: Turki sejak masa
Sultan Firman Syah pada tahun 1516 M
5
. Kerajaan Belanda pada
bul an November 1600 M mengutus Paulus van Caarden
menghadap Sultan Aceh, kemudian diikuti oleh Inggris pada tahun
1602 di mana Ratu Elizabeth mengutus Sir James Lancaster
mengunjungi Sultan Aceh, setahun kemudian Raja James juga
mengiri m utusannya, Captai n Best.
6
Peranci s yang j uga
berkeinginan mengambil bagian dalam memanfaatkan kekayaan
yang dilimpahkan oleh bumi Aceh, memerintahkan Jenderal
Beaulieu bertindak sebagai utusan Kerajaan Perancis. Ia berangkat
sambil memimpin sebuah skuadron pada akhir tahun 1620 dan
tiba di Aceh pada bulan Januari 1621.
7
Amerika Serikat juga
memulai hubungan dagang dengan Aceh pada tahun 1789. Hal
ini ditandai dengan ramainya kapal-kapal dagang Amerika Serikat
yang datang dari kota-kota pelabuhan Salem, Boston, New York,
Beverly yang singgah di pelabuhan Aceh sebelah Barat.
8
Begitu banyaknya negara-negara asing yang menjalin
hubungan persahabatan dengan Aceh terutama dalam hal
perdagangan. Sekalipun nantinya persahabatan ini mengacu pada
penguasaan. Hubungan perdagangan kerajaan Aceh dengan negara-
negara Eropa di satu sisi ada positifnya. Antara lain: (1) Aceh
akan menjadi bangsa yang terkenal di dunia (kosmopolitanisme);
(2) dengan adanya kapal-kapal asing yang mendarat di pelabuhan
Aceh akan menambah devisa bagi kerajaan Aceh; dan (3) akan
semakin memperkuat institusi kerajaan Aceh bila terjadi konflik-
konflik kerajaan yang berhubungan dengan bangsa lain.
Dari sejumlah banyak negara-negara Eropa yang pernah
menjalin hubungan persahabatan dengan Aceh, hanya Belandalah
yang masih bertahan sampai akhirnya berkuasa di Aceh. Sekalipun
niat Belanda ingin menundukkan Aceh dalam kekuasaannya harus
melalui peperangan yang sangat lama. Awal kedatangan Belanda
90
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
ke Aceh, Nusantara pada umumnya didorong oleh suasana
persaingan antara Belanda dengan Inggris, para kapitalis dan
petualang dari negeri Belanda juga mengarungi samudra-samudra
yang berbahaya untuk mencapai Nusantara.
9
Sehubungan dengan i tu, tujuan Belanda datang ke
Nusantara untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu
mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa.
Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangannnya yang
pertama pada tahun 1595, terdiri dari empat kapal, di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian, angkatan
kedua tahun 1598 di bawah pimpinan van Nede, van Heemskerck,
dan van Warwijck.
10
Setelah rute perjalanan diketemukan, maka
sejak saat itu banyak kapal kongsi dagang Belanda datang ke
Nusantara. Dengan terjadinya persaingan yang keras di antara kaum
pedagang Belanda sendiri, maka hal itu oleh pemerintah Belanda
dianggap merugikan kepentingannya.
11
Untuk menghindari
terjadinya persaingan di antara kaum pengusahanya sendiri,
pemerintah Belanda menghimpun semua kongsi dagang di Negeri
Belanda, hingga menjadi satu badan usaha. Pada tahun 1602
berdirilah di Amsterdam Vereenigde Oost Indische Compagnie yang
disingkat VOC.
12
Dalam hubungannya dengan Aceh, Belanda telah memulai
hubungan dagangnya setelah Cornelis de Houtman tiba di Aceh
pertengahan 1599 pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah.
13
Saat
itu, kehadiran Belanda hanya sebatas hubungan dagang. Akan tetapi
setelah selang beberapa abad kemudian tujuan Belanda yang dulunya
hanya menaruh perhatiannnya pada misi perdagangan berubah
menjadi misi untuk menjajah Kerajaan Aceh. Hal ini sudah mulai
terasa pada masa Sultan Jauhar Alam Syah (1819-1824), di mana
pada saat itu, Jauhar Alam Syah mempergunakan persahabatan
antara Aceh dengan Inggris sebagai tameng dalam menghadapi
ekspansi politik Belanda yang menurut pengetahuannya sejak
91
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Cornelis de Houtman datang di Aceh mempunyai ambisi menguasai
Aceh. Lebih jauh, sewaktu pemerintahannya Belanda sedang
mencari kesempatan yang baik untuk memperluas pengaruhnya
ke daerah Aceh.
14
Sudah menjadi pelajaran bagaimana daerah-daerah lain
selain Aceh, baik di Pulau Jawa atau pulau lain di Nusantara,
pada akhirnya semuanya dikuasai oleh Belanda. Padahal awalnya
juga hanya menjalin hubungan dagang. Dari itu benarlah apa
yang diprediksikan oleh Sultan Jauhar Alam Syah (1819-1824)
ketika Cornelis de Houtman tiba di Aceh pertama kali. Kalau
diperhatikan dengan seksama, semua negara Eropa yang menjalin
hubungan dagang dengan Aceh semua ada niat buruknya, yaitu
untuk menguasai baik Inggris, Amerika Serikat, Belanda maupun
negara-negara lain.
Hanya di Aceh saja Belanda memberanikan diri untuk
menguasainya, sekalipun itu membawa pada pertikaian yang luar
biasa yaitu perang.
Perjanjian London Tahun 1824 Sebagai Titik Tolak
Belanda ke Daerah Aceh
Pada dasarnya, sebelum Belanda ingin menguasai Aceh,
Inggris telah lebih awal menguasai daerah di Sumatra. Kedua negara
tersebut pernah terjadi pertikaian yang terus menerus akibat
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Salah satunya
adalah menyangkut dengan Perjanjian Raffles tahun 1819 yang
sangat tidak menyenangkan Belanda terutama pasal 6 dari
perjanjian tersebut
15
, yang oleh Inggris sebenarnya dimaksudkan
untuk menguci l kan Ameri ka Seri kat dari Aceh. Bel anda
mempredikai dapat juga ditujukan kepadanya suatu ketika nanti.
16
Oleh karena itu, Belanda menginginkan diikatnya suatu perjanjian
dengan Inggris untuk meniadakan hambatan tersebut sehingga
92
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
terbuka jalan baginya untuk melancarkan ekspansi politik dalam
tahap pertama ke daerah Aceh.
17
Setelah melalui serangkaian perundingan yang berlarut-
larut, pada bulan Maret 1824 sampailah kedua negara tersebut
kepada suatu kesepakatan, yaitu bahwa kedua belah pihak sepakat
untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menimbulkan
pertikaian antara kedua negara. Kesepakatan tersebut dituangkan
dalam suatu perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian London
tahun 1824.
18
Persetuj uan Inggris dengan Bel anda menunjukkan
kekalahan politik Inggris berdasarkan perjanjian tersebut.Saat itu,
dengan demikian negara yang paling berkuasa di dunia adalah
Belanda.
Belanda Mengatur Langkah Ekspansi ke Aceh
Perjanjian London tahun 1824 sebagaimana yang telah
disebutkan di atas merupakan pintu yang sudah terbuka bagi
Belanda untu masuk ke daerah Aceh yang sejak lama menjadi
impiannya. Namun, jalan ke arah itu belum sepenuhnya lurus,
masi h ada hambatan-hambatan yang perl u di singki rkan.
Sehubungan dengan itu, untuk lebih melicinkan jalan bagi politik
kolonialnya maka pada tahun itu juga Menteri Jajahan Belanda,
H.E.M Elout menginstruksikan kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk berusaha mengimbangi perjanjian Aceh-Inggris
1819 (Perjanjian Raffles) dengan mengadakan suatu perjanjian
Belanda-Aceh yang memungkinkan Belanda mendapat banyak
kesempatan untuk menanam pengaruhnya di Aceh.
19
Berbagai pendekatan yang mengajak Sultan Aceh untuk
bersahabat antara lain mereka telah menawarkan kepada Sultan
Aceh 2.000 serdadu untuk membantunya menghadapi siapa aja
yang ingin merongrong kekuasaannya. Namun Sultan sudah dapat
menduga apa yang tersembunyi di belakang tawaran Belanda,
93
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
maka ditolaknya tawaran tersebut dengan tegas. Melihat tindakan
Sultan Aceh yang begitu tegas, Belanda pun melakukan serangkain
tidakan kekerasan yang bertujuan menakut-nakuti dengan harapan
Sultan Aceh akan tunduk di bawah kekuasaan mereka. Mereka
lupa bahwa apa yang dilakukan bertentangan dengan apa yang
termaktub dalam Perjanjian London yang dicantumkan dalam nota
penjelasan sebagai lampiran dari perjanjian tersebut.
20
Atas beberapa pertimbangan akhirnya pada tahun 1857
Sultan Aceh menandatangani perjanjian perdamaian, persahabatan,
dan perdagangan. Naskah perjanjian ditandatangani pada tanggal
30 Maret 1857, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal
Hindia belanda pada tanggal 09 Mei 1857. Perjanjian tersebut
terdiri dari 9 pasal.
21
Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Belanda berjanji
akan menegakkan perdamaian, mempererat persahabatan, dan
mengembangkan pengertian yang baik dengan Kerajaan Aceh.
Kalau dilihat pada perkembangnya selanjutnya, perjanjian
perdamaian itu umpan pancing atau politik jahat Belanda terhadap
Kerajaan Aceh, mengapa tidak? Setahun setelah perjanjian itu,
niat buruk Belanda itupun terungkap ketika membuat perjanjian
Siak (Traktat Siak), dan perjanjian Siak tersebut merupakan bentuk
pelanggaran sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian
perdamaian antara Kerajaan Aceh dengan Belanda tahun 1857.
Problem Bagi Aceh: Hilangnya Institusi Negara
Perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Kerajaan
Aceh dan Belanda pada tahun 1857 menimbulkan harapan di
pihak Aceh. Melalui perjanjian tersebut Aceh berharap hubungan
antara kedua negara di masa yang akan datang dapat menjadi lebih
baik dan mantap. Akan tetapi belum setahun perjanjian tersebut
berjalan Belanda kembali memperlihatkan sikap permusuhan
terhadap Aceh.
22
Salah satunya adalah dalam suatu kemelut yang
94
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
terjadi di antara keluarga Kerajaan Siak, Belanda mengambil
kesempatan untuk campur tangan yang menghasilkan suatu
perjanjian yang menetapkan garis-garis perbatasan Siak secara
berlebihan; perbatasan sebelah utara mencapai Alas dan Langkat,
yang berarti mencakup pelabuhan-pelabuhan lada yang berada di
bawah yurisdiksi Aceh dan mempunyai arti yang penting bagi
perdagangan Inggris.
23
Perjanjian tersebut dikenal dengan Siak
Tractaat pada tahun 1858.
24
Ti ndakan Bel anda membuat Si ak Tract aat sel ai n
bertentangan dengan jiwa Perjanjian London 1824 yang mengakui
kemerdekaan Aceh, juga merupakan suatu sikap permusuhan yang
bertentangan dengan Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan
antara Kerajaan Aceh dan Belanda tahun 1857.
25
Inilah tahap awal Belanda memperlihatkan permusuhannya
terhadap negara Aceh. Karena Siak saat itu adalah termasuk dalam
wilayah kerajaan Aceh, yang seharusnya mendamaikan konflik
Siak adalah kerajaan Aceh bukan Belanda. Dengan berhasilnya
Belanda membuat perjanjian Siak tersebut, maka secara tidak
langsung Belanda tidak lagi mengakui kedaulatan kerajaan Aceh,
dan kekuasaan kerajaan Aceh sedikit demi sedikit akan dikuasai
oleh Belanda, dan dengan adanya Perjanjian Siak bagi Belanda
merupakan jalan pintas menuju daerah Aceh.
Perjanjian Siak terjadi pada tahun 1858 merupakan cikal
bakal penyebab hilangnya institusi negara Aceh. Meskipun
demikian, perjanjian tersebut belum perkara yang final bagi
Belanda dalam menaklukkan Aceh, masih ada kendala-kendala
lain yang menghambat Belanda menguasai Aceh, yaitu Inggris, di
mana setiap Belanda menggerakkan langkah menuju Aceh, pasti
ada protes atau keberatan yang datang dari pihak Inggris. Oleh
sebab itu, Belanda merasa perlu mengadakan pendekatan baru
terhadap Inggris.
95
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Ol eh sebab i tu pada tanggal 2 November 1871
ditandatanganilah antara Inggris dan Belanda di London perjanjian
yang terkenal dengan Perjanjian Sumatra 1871.
26
Sejalan dengan
ditandatanganinya Perjanjian Sumatra ini berarti Perjanjian London
1824 tel ah diubah sebagai mana di kehendaki Bel anda.
Pembatasan-pembatasan yang tercantum dal am lampi ran
Perjanjian London 1824 dalam kaitannya dengan usaha Belanda
memperluas kekuasaannnya ke daerah Aceh telah terhapus. Inggris
kini tidak akan menaruh keberatan apapun terhadap rencana
Belanda menjajah Aceh.
Dari dua perjanjian di atas (Perjanjian Siak tahun 1858
dan Perjanjian Sumatra 1871) kemerdekaan Aceh mulai terancam,
kedaulatan Aceh yang merupakan suatu institusi negara yang
berdaulat kini telah dirongrong oleh Belanda. Belanda telah
menyusun niat jahatnya untuk menyerang Aceh. Oleh karena itu,
dalam rangka menghadapi ancaman Belanda, pimpinan kerajaan
memutuskan untuk memberitahukan hal tersebut kepada negara-
negara sahabat serta mengharapkan bantuan agar ancaman Belanda
dapat dihindarkan.
Usaha-usaha yang ditempuh oleh kerajaan Aceh dalam
menghadapi kemungkinan serangan Belanda, dibentuklah dua
buah kapal perutusan untuk itu. Utusan pertama ke Turki dan
negara-negara sahabat di bawah pimpina Sayyid Abdrrahman Az-
Zahir. Utusan kedua ke Singapura di bawah pimpinan Panglima
Tibang. Di Singapura Panglima Tibang mengadakan pendekatan
terhadap Mayor Studer, konsul Amerika. Tujuannya menjajaki
kemungkinan mengadakan perjanjian persahabatan dengan
Amerika Serikat sebagai upaya mencegah terjadinya serangan
Belanda.
27
Pada awal 1873, konsul Amerika di Singapura mengadakan
pembicaraan dengan utusan Aceh mengenai kemungkinan
96
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
terwujudnya suatu perjanjian Aceh-Amerika.
28
Pembicaraan
tentang adanya perjanjian itu diketahui oleh mata-mata Belanda
yaitu Teuku Muhammad Arifin. Rencana dari Panglima Tibang
akhirnya diketahui oleh Belanda. Keberhasilan usaha Panglima
Tibang akan menghambat rencananya. Sebelum perjanjian tersebut
dapat dilaksanakan, Belanda sudah lebih dahulu mengumumkan
perang terhadap Aceh pada tanggal 26 Maret 1873.
29
Problema Bagi Masyarakat
Tahun 1873 mer upakan tahun penti ng dal am
perkembangan masyarakat Aceh karena sej ak tahun i tu
dimulailah suatu periode baru dalam sejarah Aceh. Dimulainya
ekspedisi penyerangan Belanda yang pertama dan diteruskan
ekspedisi kedua menyebabkan kraton Aceh dan daerah sekitarnya
berhasil diduduki oleh Belanda. Sejak itulah Belanda secara
terang-terangan menjajah Aceh dalam segala aspek kehidupan
masyarakat Aceh.
Serangan Belanda pada tahun 1873 yang dilakukan untuk
menaklukkan Kerajaan Aceh telah menjerumus masyarakat Aceh
untuk berjuang mempertahankan kemerdekaannya, mengorbankan
segala harta benda dan jiwa secara besar-besaran.
30
Dalam
peperangan tersebut bukan hanya Sultan Aceh beserta prajuritnya
yang terlibat, bahkan para masyarakat secara keseluruhan, para
ulama bersama dengan murid-murid mereka juga ikut terlibat dalam
peperangan tersebut.
Suatu hal akibat dari pecahnya peperangan dengan pihak
Belanda yang berlangsung lama serta melelahkan, sangat
dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat Aceh, terutama oleh
para ulama. Oleh karenanya, selama kesibukan menghadapi
peperangan tersebut, para ulama sedikit sekali berkesempatan
untuk memimpin dan mengelola lembaga-lembaga pendidikan
mereka dengan baik. Dalam hal ini berakibat melemahnya sistim
97
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan tradisional
tersebut.
31
Salah satu lembaga pendidikan tradisional, yang pro-
aktif dalam peperangan Aceh misalnya Dayah Tanoh Abee yang
dipimpin oleh Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Seluruh
ulama yang ikut berperang berkumpul di dayah tersebut untuk
membahas taktik peperangan, termasuk Teungku Muhammad
Saman atau lebih dikenal Teungku Chik Di Tiro.
Sehubungan dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa akibat
peperangan Aceh dengan Belanda antara lain dapat menganggu
proses pendidikan di Aceh pada saat itu. Para santri tidak
sepenuhnya lagi memikirkan pelajaran, tetapi lebih fokus pada
berjuang membela agama dan bangsa. Apalagi para kaum ulama
mendeklarasikan Perang Sabil untuk memerangi kafir-kafir
Belanda. Terganggunya proses pendidikan merupakan suatu
problem bagi masyarakat Aceh.
Di sisi lain, yang menjadi problem bagi masyarakat akibat dari
ulahnya Belanda dalam perang Aceh adalah terganggunya
kehidupan masyarakat baik dalam aspek ekonomi, sosial maupun
dalam bidang politik. Seorang anak Aceh masih kecil sudah
ditanam semangat jihad untuk melawan kaum penjajah. Dalam
berbagai keadaan mereka selalu membawa senjata berupa rencong
ataupun lembing sebagai alat untuk melindungi diri.
Sesuai dengan kepentingannya, Belanda dalam perkembangan
penguasaannya di Aceh, pemerintah kolonial Belanda melakukan
berbagai kebij aksanaan yang menguntungkan. Berbagai
kebijaksanaan itu menyebabkan berbagai perubahan dalam
masyarakat Aceh, walaupun secara perlahan-lahan, berlaku secara
luas meliputi berbagai segi kehidupan masyarakat. Perubahan-
perubahan yang mendasar telah banyak membongkar struktur
sosial masyarakat Aceh yang sudah cukup lama terbentuk sejak
berabad-abad yang lalu.
32
98
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
Konflik Berkepanjangan
Kedatangan Bel anda ke Aceh di sampi ng menjal i n
hubungan persahabatan kedua negara dalam hal perdagangan,
Belanda juga sudah mempunyai keinginan untuk menjajah Aceh.
Dan ini telah terbukti ketika Belanda membuat surat maklumat
perang terhadap Aceh pada tahun 1873. Dan ketika itu konflik
secara terang-terangan pun terjadi antara Aceh Belanda yang
akhirnya terjerumus dalam peperangan yang cukup lama yang
merugikan kedua belah pihak.
Disisi lain, konflik tidak hanya terjadi antara Belanda dengan
kerajaan Aceh, akan tetapi merembes pada konflik sosial di Aceh
yang berbentuk pertentangan ke arah kekacauan dan perang saudara
timbul pada saat masuknya kolonial Belanda, yaitu pertentangan
yang mendalam di antara bangsawan (Uleebalang) dan para ulama.
Dimana Belanda dalam melaksanakan pemerintahannya di Aceh,
mereka memberikan berbagai hak istimewa kepada golongan adat
dan menjauhkan para ulama dari pemerintahan itu.
33
Dari sudut lain, terlalu aktifnya Uleebalang dalam berbagai
aktifitas kerajaan membuat posisi raja semakinilang dalam
percaturan pol i ti k antar bangsa. Ol eh pi hak Bel anda
mengembangkan propaganda bahwa sul tan tidak mampu
membasmi perampasan dan tidak mampu menjaga serta memelihara
keamanan. Dalam pada itu Belanda lebih mempercayai para
uleebalang sebagai kaki tangan mereka. Sebab itulah para ulama
sangat benci terhadap para uleebalang-uleebalang yang bekerja
sama dengan Belanda.
Kesibukan para uleebalang mengurus perdagangan antar
bangsanya yang mendapat perlindungan Belanda membuat mereka
lupa segala-galanya. Mereka mulai memeras rakyat dengan
mengambil cukai dari siapa yang menggunakan jalan-jalan di
kawasan jajahan mereka, mengambil cukai dari orang yang
berdagang di pasar yang dibangun mereka, mengambil cukai tanah
99
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dan sebagainya, selain itu rakyat dipaksa untuk kepentingan
mereka.
34
Selain itu, mereka juga ada yang dijadikan mata-mata
Belanda untuk mencari para pejuang-pejuang Aceh. Mereka digaji
dan dilindungi oleh pihak kolonial Belanda. Perbuatan-perbuatan
semacam itu menimbulkan kebencian masyarakat Aceh terutama
para kaum ulama.
Perang Belanda di Aceh
Perang Aceh adalah perang yang termahal dan yang terlama
yang pernah dialami Belanda.
35
Perang Aceh bagi negeri Belanda
bukan sekadar pertikaian bersenjata. Dia merupakan fokus suatu
politik nasional, kolonial, dan internasional selama satu abad.
36
Dalam perang itu Belanda kehilangan lebih dari 12.000 tentara
dan dua orang jenderalnya. Kuburan Belanda di Taman Peucut,
Banda Aceh menajdi saksi monumental tentang akibat Perang
Aceh itu. Di pihak pejuang Aceh, sebanyak 70.000 orang menjadi
korban dalam peperangan itu.
37
Meletusnya Perang Aceh disebabkan oleh faktor-faktor
berikut ini:
1. Perilaku pemerintah kolonial yang dianggap sebagai penghinaan
terhadap rakyat Aceh. Jelasnya pada waktu pemerintah di
Batavia mengirimkan Wakil Ketua Dewan Hindi Belanda,
Nieuwenhuyzen untuk menemui Sultan Alaiddin Mahmud Syah
guna menyampaikan desakannya, agar Sultan Aceh mengakui
kedaulatan Hindia Belanda. Tuntutan Nieuwenhuyzen dengan
sendirinya ditolak mentah-mentah.
38
2. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak
1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli,
Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-
daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah
kekuasaan Aceh.
100
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
3. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian
London 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan
Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis
lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
4. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga
kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
5. Di bukanya Ter usan Suez ol eh Ferdi nand de Lessep.
Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu
lintas perdagangan.
6. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan
Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada
Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus
menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda
mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan
daerahnya di Guinea Barat kepada Britania.
7. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan
diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura.
Dan mengirimkan utusan ke Turki pada 1871.
8. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika,
Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai
alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia
Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan
meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa
yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan
Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
39
Sehubungan dengan itu A.Hasjmy menyebutkan bahwa
Paul van T Veer membagi perang Aceh atas empat periode, yaitu:
perang Aceh pertama 1873, perang Aceh kedua 1874-1880,
perang Aceh ketiga 1884-1896, dan perang Aceh keempat 1898-
1942 .
40
Dari pendapat Paul ini dapat diketahui bahwa perang
101
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Aceh terjadi sejak tahun 1873 dan berkahir pada tahun 1942.
sedangkan Hamid Algadri menyebutkan bahwa perang Aceh
dimulai tahun 1873 sampai tahun 1903, tidak kurang dari 30
tahun.
41
Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong pada
apa yang dikatakan oleh Paul, bahwa perang Aceh dengan Belanda
berakhir pada tahun 1942, karena sejak tahun itulah Belanda angkat
kaki dari bumi Aceh. Kemudian kalau merujuk pada pendapat
Algadri, di mana perang Aceh berakhir pada tahun 1903 ada
benarnya juga, karena pada tahun 1903 Sultan Aceh menyerah
kepada Belanda. Akan tetapi sekalipun Sultan telah menyerah,
peperangan juga masih terjadi yang dilancarkan oleh pejuang-
pejuang Aceh secara bergerlya.
Perang Aceh Pertama, 1873
Sebelum Belanda membuat maklumat perang terhadap
Aceh pada tanggal 27 Maret 1873, terlebih dahulu di pihak
Belanda ada kekhawatiran tentang campur tangan Amerika Serikat
dalam masalah Aceh, apalagi Konsul Amerika Studer telah
mempersiapkan suatu traktat perjanjian dengan Aceh yang terdiri
dari dua belas pasal. Walaupun akhirnya traktat perjanjian tersebut
hanya tinggal kenang-kenangan.
42
Untuk mempercepat gerakannya,
Pemerintah Belanda pada tanggal 18 Februari 1873 memberikan
program bertindak kepada Gubernur Hindia Belanda di Batavia
yaitu Loudon. Kemudian ia mengangkat Nieuwenhuyzen sebagai
komisaris pemerintah ke Aceh, sedangkan yang menjadi panglima
tertinggi militer dalam ekspedisi terhadap Aceh adalah Mayor
Jenderal J.H.R. Khler.
43
Keinginan Loudon adalah mengirim
Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh.
44
Pada tanggal 19 Maret 1873 Nieuwenhuyzen dengan kapal
yang ditumpanginya, Citadel van Antwerpen tiba di Aceh. Setelah
beberapa kali surat menyurat yang tegang antara Sultan Kerajaan
102
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
Aceh, maka surat Pernyataan Perang Belanda kepada Kerajaan
Aceh yang telah ditulis pada tanggal 26 Maret 1873 disampaikanlah
kepada Sultan Aceh pada tanggal 1 April 1873.
45
Akan tetapi
pada pagi tanggal 27 Maret 1873 kapal yang ditumpangi
Nieuwenhuyzen Citadel van Antwerpen melepaskan meriam ke arah
sebuah benteng pantai sebagai pertanda perang telah dimulai.
46
Pada hari itu juga Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan
meriam yang dilakukan oleh artileri orang Aceh.
47
Setelah itu
Nieuwenhuyzen terus lari menyelamatkan diri ke Penang pada
tanggal 1 April 1873 setelah dia menyampaikan kepada Sultan
Pernyataan Perang.
48
Surat maklumat perang yang disampaikan Nieuwenhuyzen
merupakan peringatan terakhir terhadap kesultanan Aceh, di
mana kalau Aceh masih tetap pada pendiriannya bagi Belanda
tiada jalan lain selain jalan keluanya adalah perang. Pihak Belanda
beranggapan bahwa Aceh sama dengan daerah-daerah lain di
Indonesia, dapat ditaklukkan tanpa membutuhkan perlengkapan
yang begitu besar. Padahal kesultanan Aceh sehari setelah
menerima surat tersebut langsung bersiap-siap menangkal
angkatan perang Belanda, seperti yang telah digambarkan di atas,
yaitu tentara Aceh melepaskan meriam ke kapal yang ditumpagi
oleh Nieuwenhuyzen. Ini membuktikan bahwa maklumat perang
yang dibuat oleh Belanda tidak melemahkan semangat para tentara
Aceh.
Setelah surat pernyataan perang disampaikan kepada
Sultan Aceh Aceh, Belanda dibawah pimpinan Mayor Jenderal
J.H.R. Khler dengan kekuatan 168 orang perwira dan 3800
serdadu Belanda dan sewaan pada pagi hari tanggal 5 April 1873
(10 Muharram 1290) telah memulai melancarkan penyerangan.
49
Titik awal yang dituju dalam rencana Khler adalah keraton,
tempat kediaman Sultan. Tetapi dimana tepatnya letak keraton,
orang tidak tahu. Keterangan beberapa orang mata-mata yang
103
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
turut serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Diantara mereka
ini terdapat Arifin
50
. Dia turut dalam ekspedisi ini, tetapi tidak
mempunyai peranan apapun.
51
Inilah penyakit ataupun sebab-sebab kegagalan suatu
peperangan yang melibatkan orang dalam yaitu mata-mata atau
pengkhianat, kononnya secara tidak langsung dia sudah mengetahui
bagaimana pertahanan ataupun tempat yang penting dalamkerajaan
Aceh. Sekalipun demikian kehadiran Arifin dalam ekspedisi
Belanda pertama itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Karena
memang dia sendiri belum mengetahui bagaimana kubu-kubu
pertahanan Aceh.
Kemuadian ketika pasukan Belanda mencari keraton, pada
tanggal 11 April ditemukan sebuah benteng yang semula diduga
adal ah keraton, tetapi sebuah masj i d yang mati -mati an
dipertahankan bagaikan Sultan sendiri yang bersemanyam di
dalamnya. Masjid ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut
dengan mengalami kerugian berat. Namun pada hari itu juga
Khler menyuruh meninggalkan benteng itu, menurut dia pasukan
terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu
terancam. Segera pula arang Aceh menduduki masjid itu dengan
sorak kemenangan. Hingga tiga hari kemudian Khler terpaksa
memerintahkan merebut kembali masjid dengan menderita
kerugian berat. Dia sendiri merupakan korban. Pada tanggal 14
April 1873 Khler tewas di halaman masjid dan seluruh ekspedisi
kehilangan semangat.
52
Pada tanggal 16 April 1873, Kolonel van Daalen penganti
Khler bersama pasukannya menyerang keraton. Mereka dipukul
mundur dengan korban seratus orang mati dan luka. Dari tiga ribu
anggota, 4 orang perwira dan 52 orang tewas, 27 orang perwira
dan 41 orang bawahan luka. Jadi hampir lima ratus dari tiga ribu,
itulah kerugian akibat Perang Aceh pertama, yang ulang alik
perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu.
53
104
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
Perang Aceh Kedua 1874-1880
Kegagalan total dalam agressinya yang pertama tida
membuat Belanda menjadi sadar, dengan angkuh yang bercampur
ketakutan Belanda mempersiapkan ekspedisi keduanya yang
didahului dengan gerakan suversif dan pengitipan di bawah
pimpinan konsulnya di Penang G.Lavino.
54
setelah usaha G.Lavino
dianggap matang, maka Guberbur Jenderal Hindia Belanda Loudon
mengangkat Letnan Jenderal J.Van Swieten menjadi Panglima
Agressi Kedua tentara Hindia Belanda merangkap menjadi
Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh.
55
Pada tanggal 28 November 1873 tentara kolonial Belanda
dibawah pimpinan van Swieten tiba di pelabuhan Aceh dan pada
tanggal 9 Desember 1873 tentara kolonial Belanda dibawah
pimpinan Mayor Jenderal Verspijck mendarat di pantai Kuala Lue
dan besoknya berkumpul di Kuala Gigieng, dan setelah enam hari
kemudian mereka baru dapat mencapai Kuala Aceh, yang
kemudian menuju Peunayong dan Gampong Jawa, dimana sejak
hari pertama mereka mendarat sampai direbutnya Dalam
(Keraton), perlawanan yang didapatnya dari Angkatan Perang dan
Rakyat Aceh sungguh dahsyat sekali.
56
Setelah menderita korban yang sangat banyak, maka pada
tanggal 24 Januari 1874 panglima agressor Letnan Jenderal J.Van
Swi eten dapat menduduki Istana Keraj aan yang tel ah
dikosongkan, dimana saat itu dia mengirim kawat kemenangannya
kepada Gubernur Loudon di Jakarta.
57
Jatuhnya keraton dianggap
di Batavi a (Jakarta) dan di Negeri Bel anda sebagai hasil
terpenting yang dapat dicapai ekspedisi. Dan ini sudah dapat
menmbus kekalahan pada April 1873 lalu.
58
Ketika itu Van
Swieten mengeluarkan sebuah proklamasi yang berbunyi: Bahwa
Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum perang, menjadi hak milik
Kerajaan Belanda. Banda Aceh itu dinamainya Kuta Raja
105
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dengan mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat pada tanggal
16 Maret 1874.
59
Setelah istana kerajaan dan Istana Kerajaan dan Ibukota
Negara Banda Aceh diduduk seluruhnya, serta pusat pemerintahan
dengan Sultan dipindahkan kepedalaman, mula-mula ke Luengbata,
kemudian ke Indrapuri dan seterusnya ke Keumala Dalam, setelah
beberapa tempat penting di Aceh Besar direbut pula maka keadaan
sudah sangat kritik. Dalam keadaan yang sangat darurat sekitar
500 orang para pemimpin terkemuka mengadakan musyawarah
kemudian mengiqrarkan satu sumpah dibawah pimpinan Imeum
Luengbata dan Teuku Lamnga yang menyatakan wajib perang
sabil untuk mengusir kafir Belanda. Atas dasar wajib jihad yang
diikrarkan bersama dalam musyawarah itu, maka ulma-ulama
menjadi aktif dan mengambil peranan penting dalam perang Aceh.
60
Di Lamsie, Aceh Besar diadakan pula sebuah rapat rahasia
yang dihadiri oleh Teuku Panglima Polem, Teungku Chik Abdul
Wahab Tanoh Abee dan sejumlah ulama-ulama dan ulee balang
yang belum menyerah kepada kolonial Belanda. Tema pokok dalam
musyawarah tersebut adalah menggiatkan perang jihad untuk
mengusir kafir Belanda.
61
Dari keputusan musyawarah tersebut,
dikirimlah delegasi ke pidie untuk menjumpai Teungku Chik
Dayah Tjut Tiro, yaitu Teungku Muhammad Amin, seorang ulama
yang amat besar pengaruhnya untuk membantu perang yang sedang
melanda Aceh Besar. Untuk itu, Teungku Chik Dayah Tjut Tiro
mengirim sejumlah ulama dibawah pimpinan kemenakannya
sendiri, yaitu Teungku Haji Muhammad Saman yang baru kembali
dari Mekkah yang kemudian namanya ter masyhur dengan
Teungku Tjhik di Tiro.
62
Teungku Tjhik di Tiro dalam kesibukannya mempersiapkan
angkatan Perang Sabil, datanglah Teungku Haji Muhammad Pante
Kulu yang baru saja pulang dari Mekkah yang dikirimoleh pamannya
106
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
Teungku Tjhik Dayah Tjut. Teungku Haji Muhammad Pante Kulu
yang lebhi terkenal dengan nama Teungku Tjhik Pante Kulu
mempersembahkan kepada Teungku Tjhik di Tiro sebuah karya
sastra yang bernama Hikayat Prang Sabi.
63
Dengan tingginya nilai
sastra yang dikandung dal am Hi kayat Prang Sabi dapat
membangkitkan semangat perang terhadap masyarakat Aceh baik
dari kalangan orang-orang tua, pemuda-pemudi bahkan anak-anak
sekalipun. Dalam perkembangan selanjutnya muncul juga Teungku
Tjhik Kuta Karang yang juga menulis sebuah hikayat prang dengan
hebat untuk melawan Belanda.
64
Dalam periode perang Aceh kedua ini, tampil juga seorang
tokoh Turki yaitu Habib Abdurrahman
65
sebagai Panglima Tentara
Aceh yang markas besarnya di Montasik, Aceh Besar. Walaupun
akhirnya dia menyerah kepada Belanda pada tanggal 24 Agustus
1878 melalui utusannya di Pos Belanda Lambaro dengan
permohonan tertulis.
66
Perang Aceh Ketiga, 884-1896
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara
gerilya dan dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang
gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang gerilya
ini pasukan Aceh dibawah Teuku Umar bersama Panglima Polim
dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak
dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi
Cut Nya Dien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi
komandan perang gerilya.
67
Teuku Umar muncul dalam perang Aceh sekitar pada awal
tahun 1896 (akhir periode perang ketiga dan memasuki periode
perang keempat). Teuku Umar yang sekaligus melakukan prang
sabi terhadap Belanda melakukan penyergapan penyergapan di
daerah pantai barat dan tidak pula enggan menguasai dana perang
muslim di sana-sini.
68
Salah satu siasat Teuku Umar yang sangat
107
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
memusingkan para petinggi militer Belanda adalah kecerdikannya
berpura-pura membantu Belanda untuk memerangi Aceh, ternyata
ada suatu harapan dibalik bergabungnya dia dengan Belanda. Pada
tanggal 26 Maret 1896 T. Umar meneri ma berbagai al at
persenj ataan perang dari Bel anda yang di kemudi an hari
dipergunakannya beserta pasukan Aceh untuk menyerang
Belanda.
69
Perang Aceh Keempat, 1898-1942
Perang keempat adalah perang gerilya kelompok dan
perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan
pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
70
Peranan Teuku Umar dalam tahapan perang keempat masih
terlibat. Pengkhianatannya terhadap Belanda memberikan kesan
yang menghancurkan harapan di Negeri Belanda.
71
Pada bulan Februari 1898 panglima militer Hindia Belanda
dijabat oleh Van Heutsz dan penasehat residen Aceh saat itu
adalah Snouck Hurgronje. Dalam melakukan serangan kali ini dia
menggunakan pasukan marsose.
72
Aksi-aksi yang dilakukan oleh
Van Heutsz bersama Snouck Hurgronje dalam perang melawan
rakyat Aceh adalah pertempuran di Gunung Batu Illiq (Bate Illik).
Ekspedisi ini dimulai pada tahun 1901.
73
Karena sebelumnya pada
tahun 1880 daerah Bate Illik juga sudah pernah diserbu oleh
pihak Belanda dengan panglimanya Jenderal Van der Heijden yang
sampai matanya sebelah buta karena ditimpa peluru oleh pasukan
Aceh.
74
Peristiwa-peristiwa pertempuran dan semacamnya di
negeri-negeri pantai, yang mematahkan perlawanan besar para hulu
balang dengan tentaranya yang kecil-kecil dan perlawanan
golongan-golongan ulama yang bertahan dalam kubu-kubu yang
dibangun dengan baik. Pemimpin-pemimpin yang paling terkenal
adalah Panglima Polim dan Sultan Muhamma Daud Syah sudah
108
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
lama terusir dari tempat kediaman mereka. Golongan Sultan sudah
tidak melihat Kutaraja lagi sejak tahun 1874, pembungan mereka
sudah dari seperempat abad. Penglima Polim antara tahun 1884
dan 1896 telah tinggal di Indrapuri, tetap kinipun sudah lebih dari
lima tahun terus mengembara, senantiasa dibuntuti oleh brigade
brigade yang dikirim Van Heutsz untuk menyusulinya, begitu
dia disinyalir tampak di suatu tempat.
75
Pada tanggal 10 Februari
1903 Sultan Muhammad Daud Syah menyerah kemudian diikuti
oleh Panglima Polim pada tanggal 6 Desember 1903.
76
Taufik
Abdullah menyebutkan antara lain sebab menyerahnya Sultan
dan Panglima Polim, bahwa Belanda ketika itu menyandera
dengan menangkap istri-istri dan putra-putra Sultan. Belanda
mengancam bila Sultan tidak menyerah, maka istri dan anak-
anaknya akan dibuang.
77
Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914.
dari tahun 1914 terentang benang merah samapi tahun 1942, alur
pembunuhan dan pembantaian, perlawanan di bawah tanah dan
yang terbuka, yang sejak tahun 1925 sampai tahun 1927 dan pada
tahun 1933 mengakibatkan pemberontakan setempat yang luas.
78
Dengan demikian, menganggap jangka waktu dari tahun 1873
samapai tahun 1942 sebagai suatu perang Aceh yang besar.
Sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali
lagi di Aceh. Pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946 dan 1947,
ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki, tidak dilakukan
upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya
dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 pertahanan
kemerdekaan sudah menjadi kenyataan. Aceh adalah yang terakhir
yang dimasukkan kedalam pemerintahan Belanda. Dua yang
pertama keluar dari pemerintahan Belanda. Pengunduran diri tahun
1942 merupakan akhir daripadanya.
79
109
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Penutup
Belanda merupakan salah satu bangsa Eropa yang telah
menjalin hubungan cukup lama dengan Aceh. Hubungan Aceh
dengan Belanda saat itu berlangsung dengan kedudukan yang
setara, terutama dalam urusan perniagaan dan diplomatik. Namun
demikian, hubungan tersebut mengalami perubahan sejak tanggal
26 Maret 1873 ketika FN Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris
Pemerintah Kolonial Belanda memaklumkan perang terhadap
Sultan Aceh.
Perang Aceh adalah perang yang termahal dan terlama yang
pernah dialami Belanda. Perang Aceh bagi negeri Belanda bukan
sekadar pertikaian bersenjata, tetapi merupakan fokus suatu
politik nasional, kolonial, dan internasional selama satu abad.
Dalam perang itu Belanda kehilangan lebih dari 12.000 tentara
dan dua orang jenderalnya. Di pihak pejuang Aceh, sebanyak
70.000 orang menjadi korban dalam peperangan itu.
Di sisi lain, kedatangan Belanda di samping meletusnya
perang Aceh-Belanda, juga membawa problem bagi masyarakat
baik dalam bidang pendidikan, pertumbuhan ekonomi, sosial
maupun dalam bidang politik. Timbulnya konflik sosial dalam
masyarakat adalah salah satu akibat dari itu juga. []
Endnotes:
1
M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, Cet.II, 2005), hal.61
2
Lihat James Warren Gould (Penulis Buku The Americans in Sumatra)
dalamH.M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan
Aceh, (Jakarta: PT. Grasindo, Jakarta, 1993), hal. 1-2
3
M.Isa Sulaiman, dkk, Belanda dan Aceh Sebuah Bibliografi Sejarah,
(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,,
2003), hal. 5
110
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
4
H.M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi
Kerajaan Aceh, (Jakarta: PT. Grasindo, 1993), Hal. 4
5
Lihat dalam Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan:
Waspada, 1981), Hal. 184
6
H.M. Nur El Ibrahimy, Op,cit., Hal.3-4
7
Ibid.,, Hal. 4
8
Ibid., Hal. 22
9
Hardi, Menarik Pelajaran Dari Sejarah, (Jakarta: CV.Haji
MasAgung, Cet.I, 1988), Hal. 20
10
Sartono Kartodirajo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-
1900, Jilid 1, PT. Gramedia, Jakarta, 1987, Hal. 68 Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.234
11
Hardi, Op.cit., hal. 20
12
Dennis Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 30
13
H.M. Nur El Ibrahimy, Op.cit.,hal. 21
14
Ibid., hal. 21
15
Inti dari bunyi pasal 6 Perjanjian Raffles adalah sebagai berikut:
Sultan Jauhar Alam Syah tidak memberi izin kepada siapa saja dari warga
Negara Eropa dan Amerika tinggal tetap di dalam wilayah Kerajaan Aceh dan
daerah taklukkannya.
16
H.M. Nur El Ibrahimy, Op.cit., hal. 30
17
Ibid., hal. 30
18
Ibid., Hal. 31. Perjanjian ini menjelaskan, bahwa kedua negara
diijinkan untuk tukar menukar wilayah pada British India, Ceylon (Sri Langka)
dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling diinginkan, dengan
pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang
ditetapkan secara lokal. antara lain:
1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada barang dan kapal
dari negara lain.
2. Tidak membuat perjanjian dengan negara bagian Timur yang tidak
mengikutsertakan /membatasi perjanjian dagang dengan negara lain.
3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil untuk menghambat
perjanjian dagang.
4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau
perlindungan bagi pembajak atau mengijinkan penjualan dari barang-
barang bajakan.
5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru
di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seijin dari pemerintah masing-masing
di Eropa.
111
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Pertimbangan-pertimbangan dalam perjanjian ini, mengikutsertakan :
1. Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah
didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
2. Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Malaka dan setuju untuk
tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membuat
perjanjian dengan penguasanya.
3. Belanda menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Singapura
oleh Britania.
4. Britania meminta untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan
Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
5. Britania menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan
seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak
akan mendirikan kantor perwakilan di pulau Sumat atau membuat perjanjian
dengan penguasanya.
6. Britania menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Billington
oleh Belanda.
7. Britania setuju untuk tidak mendirikan kantor perwakilan pada kepulauan
Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingin, atau pulau-pulau
lain yang terletak sebelah selatan dari selat Singapura ataumembuat
perjanjian dengan penguasa-penguasa daerah.
19
H.M. Nur El Ibrahimy, Op.cit.,hal. 33
20
Ibid., hal. 33
21
Ibid., hal. 37
22
Ibid., hal. 44
23
M.C.Ricklefs, Op.cit.,hal.309
24
H.M. Nur El Ibrahimy, Op.cit.,hal. 44
25
Ibid.,hal. 45
26
Ibid., Hal. 50. Adapun isi dari Perjanjian Sumatra antara lain:
Pasal 1. Inggris menghapuskan perhatiannya atas perluasan
kekeuasaan Belanda dimanapun di pulau Sumatera, dam atas sarat mengenai
sual ini dalam nota yang sudah dipetukarkan antara wakil-wakil Belanda dan
Inggris ketika memperbuat perjanjian 17 Maret 1824.
Pasal 2. Raja Belanda menerangkan bahwa di dalam kerajaan Siak
Sri Indrapura dan wilayahnya sebagai dijelaskan dalam kontrak 1 Februari
1858 yang diikat oleh pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan tersebut,
warga dan kapal Inggris untuk seterusnya mendapat hak-hak dan
keuntungan yang serupa dengan hak-hak dan keuntungan yang telah dan
akan diberikan kepada warga dan kapal Belanda, dan seterusnya pula
persamaan sedemikian dipunyai juga oleh warga dan kapal Inggris di bagian
kerajaan lainnya yang manapun di pulau Sumatera, yang sudah dijajah oleh
Belanda dengan ketentuan bahwa warga Inggris dimaksud mematuhi
112
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
undang-undang dan peraturan pemerintah Belanda. (Anthony Reid dalam
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Waspada, Medan, 1981, hal. 574)
27
H.M. Nur El Ibrahimy, Op.cit., hal. 52
28
M.C.Ricklefs, Op.cit., hal.310
29
H.M. Nur El Ibrahimy, Op.cit.,, hal. 53
30
Abdullah Ali, dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam
Perang Kemerdekaan 1945-1949, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1985, hal. 347
31
Ibid., hal. 83
32
Ibid., hal. 30
33
Ibid., hal. 28
34
M.Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh, (Jakarta:
GunungAgung, 1986), hal. 77
35
Abdullah Ali, Ed (Tulus Widjanarko), Aceh Merdeka Dalam
Perdebatan, (Jakarta: PT.Citra Putra Bangsa, 1999), hal. 4
36
Paul van T Veer, Perang Aceh (kisah Kegagalan Snouck
Hurgronje), (Jakarta: PT.Temprint, Cet.I, 1985), hal. viii
37
Abdullah Ali, Ed (Tulus Widjanarko), Op.cit., hal. 4
38
Hardi, Op.cit.,Hal. 87. Nomor 2 s/d 8 dikutip dari http://
id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh
39
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh. Lihat juga dalamSartono
Kartodirajo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid 1, (Jakarta:
PT. Gramedia, 1987, hal. 382 dan Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006), hal.251
40
Paul van TVeer, Op.cit.,hal. vi-vii
41
Hamid Algadri, C.Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap
Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 98
42
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 29
43
Ibid., hal. 32
44
Ibid.,hal. 33
45
A.Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan
Tahun Melawan Agressi Belanda, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal.30
46
Paul van TVeer, Op.cit.,hal. 34
47
Ibid., hal. 35
48
A.Hasjmy, Op.cit., hal.33
49
Ibid., hal.31
50
Nama Lengkapnya Teuku Muhammad Arifin (mata-mata Belanda)
salah seorang yang memainkan peranan penting untuk mempercepat serangan
Belanda terhadap Kerajaan Aceh.
51
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 35
52
Ibid., hal. 36
113
RIAK-RIAK SEJARAH ACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
53
Ibid., hal. 37
54
Ibid., hal. 428-430
55
Ibid., hal. 435-436
56
Ibid., hal. 445-456
57
Ibid., hal. 473.
58
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 76
59
Mohammad Said, Op.cit., hal. 473
60
Ibid.,hal. 461-470
61
A.Hasjmy, Op.cit., hal.40
62
Ibid., hal.41
63
Ibid., hal.42
64
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 144
65
Mangkubumi (Perdana Menteri) merangkap Menteri Luar Negeri
Kerajaan Aceh. Ia diutus oleh Sultan ke Istanbul untuk meminta bantuan ke
Turki dalam usaha menghadapi ultimatum Belanda terhdap Aceh.
66
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 93-94
67
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh
68
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 148
69
Ibid., hal. 164
70
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh
71
Paul van TVeer, Op.cit., hal. 175
72
Ibid.,hal. 193
73
Ibid., hal. 203
74
Ibid.,hal. 193
75
Ibid., hal. 204
76
Ibid., hal. 204
77
TaufikAbdullah (Ed), Sejarah Umat IslamIndonesia, MUI, Jakarta,
1991, hal. 179
78
Paul van TVeer, Op.cit.,hal. 246
79
Ibid., hal. 254
114
Kedatangan Bel anda dan Probl emati ka Bagi Aceh
Rasyidin
115
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
8
KEDATANGAN JEPANG DAN
DILEMATIKA BAGI ACEH
Oleh: Jamhir
Kedatangan Jepang
Kedatangan balatentara Jepang di Aceh ditandai dengan
pendaratan tanggal 12 Maret 1942 di Ujung Batee Aceh Besar.
Akan tetapi sebetulnya sebelum datang ke Aceh pihak Jepang
telah lebih dahulu membina hubungan dengan sejumlah pemuka
Aceh, yaitu melalui kegiatan mata-mata atau kolone kelima yang
dipimpin oleh Mayor Fujiwara yang kemudian dikenal dengan
nama sandi Fujiwarakikan
1
. Sebetulnya rakyat Aceh sendiri
sebelumnya telah membentuk satu gerakan perlawanan terhadap
Belanda yang bernama Gerakan Fajar. Karena Gerakan Fajar juga
menggunakan initial Gerakan F, maka dalam pengunaannya
sehari-hari kata itu dapat berarti Gerakan Fajar atau gerakan
Fujiwara. Yang jelas keduannya bertujuan sama, yaitu memberikan
perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belanda.
116
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
Oleh karena itu, kedatangan Jepang ke Aceh pada mulanya
langsung mendapat sambutan hangat dan mendapat simpati
masyarakat Aceh, sehingga dengan bantuan masyarakat, Jepang
dengan mudah mengenal dan dapat menangkapi sisa-sisa serdadu
Belanda. Sistem pemerintahan zaman Belanda umumnya masih
diteruskan oleh Jepang, hanya saja nama-nama daerah diganti
dengan istilah Jepang. Tetapi membuat rakyat mulai curiga pada
Jepang, karena tentara pendudukan dari timur ini juga mengunakan
taktik memecah belah dalam memerintah. Jepang mengikuti politik
Belanda dengan mempertajam pertentangan antara kaum ulama
dengan golongan hulubalang. Dalam hal ini antara lain dengan
mengangkat kembali para hulubalang pada jabatan-jabatan Gunco
dan Sunco yaitu setingkat wedana dan camat. Akibatnya kaum ulama
yang tadinya sudah merasa mendapat angin menjadi sakit hati
kembali pada golongan hulubalang.
Langkah Jepang tersebut membuat para ulama PUSA
2
mengadakan rapat yang memutuskan menentukan sikap untuk
mulai melawan Jepang. Akan tetapi keputusan itu belum
dilaksanakan secara terang-terangan, sekalipun kemudian bocor
dan menyebabkan seluruh unsur pimpinan PUSA ditangkap,
namun tidak terdapat cukup bukti bahwa para ulama akan
melakukan pemberontakan, maka mereka segera dibebaskan.
Bahkan Jepang kemudi an mengadakan koreksi terhadap
kebijaksanaannya dengan kembali membujuk para ulama agar
bersedia berkerja sama. Untuk memberi kepuasan dan kedudukan
kepada kaum ulama maka dibentuklah Mahkamah Syariah yakni
satu lembaga keagamaan yang di dalamnya duduk lima orang
ulama besar, termasuk ketua umum PUSA Teuku Daud Beureueh.
Kecuali itu, Jepang juga memberikan kesempatan yang sama
kepada para pemuda, baik yang berasal dari golongan hulubalang
maupun ulama, untuk memasuki latihan angkatan bersenjata. Akan
tetapi, oleh karena segala kegiatan masyarakat harus ditunjukan
117
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
kepada perang, kemelaratan dan kesengsaraan semakin merajalela.
Dengan cara paksa Jepang merampas hasil pertanian rakyat yang
memang sedikit. Cara-cara Jepang yang kejam dan lebih buruk
dari Belanda ini akhirnya membangkitkan kembali semangat
rakyat Aceh untuk melawan Jepang.
3
Kontroversial Tentang Masuknya Jepang ke Aceh
Sebuah buku berjudul Revolusi kemerdekaan Indonesia
di Aceh (1945-1949) yang ditulis oleh sebuah tim penyusun yang
terdiri atas beberapa orang sarjana Aceh, seperti T. Ibrahim Alfian,
Zakaria Ahmad, Muhammad Ibrahim, Rusdi Sufi, M. Isa Sulaiman,
yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek pengembangan Permeseuman daerah Istimewa Aceh, pada
halaman 7 terdapat keterangan mengenai utusan PUSA ke Malaya.
Dikatakan bahwa orang-orang dari PUSA seperti Said Abu Bakar
dan Syekh Ibrahim diutus secara khusus ke Malaya guna menjajaki
kemungkinan masuknya Jepang ke Aceh dengan tujuan secepat mungkin
dapat mengusir Belanda. Tetapi menurut, M. Nur El Ibrahimy
bahwa PUSA tidak pernah mengutus, baik Said Abu Bakar,
maupun Syekh Ibrahim kepada Jepang di Malaya dengan tujuan
seperti yang diutarakan oleh Tim Penyusunan itu.
Mereka berangkat ke luar negeri (Said Abu Bakar ke
Malaya dan Syekh Ibrahim ke Singapura), dalam waktu yang tidak
bersamaan untuk tujuan peribadi yang berbeda. Said Abu Bakar
pergi ke Yan, Kedah yaitu sebuah kampong yang kebanyakan
penduduknya orang Aceh untuk mengajar pada sebuah sekolah
agama di sana. Sedangkan Syekh Ibrahim pergi ke Singapura
karena menganggap jajahan Inggris itu lebih sesuai untuk menjadi
tempat melaksanakan cita-citanya, dari pada Aceh yang kadang-
kadang mendatangkan kesulitan baginya karena sifat profesinnya
sebagai muballigh Islam dan sebagai pengacara dalam perkara
yang menyangkut hukum Islam. Kalau Said Abu Bakar kemudian,
118
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
yaitu setelah Malaya diduduki oleh Jepang mengadakan hubungan
dengan Mayor Fujiwara Iwaichi, pemimpin barisan Fujiwara Kikan,
maka itu adalah atas inisiatifnya sendiri, bukan atas suruhan PUSA.
Demikian juga halnya dengan Syekh Ibrahim. Utusan PUSA yang
resmi kepada Jepang adalah Teuku Syekh Abdul Hamid yang
terkenal dengan sebutan Ayah Hamid. Ia berangkat ke Penang
(Malaya) pada tanggal 20 Februari 1942, dengan rombongan yang
terdiri dari Haji Ahmad Batee (Sigli), Teuku Abdussamad dan
Peutua Husin, keduannya dari Idi.
Mengenai hubungan Said Abu Bakar dengan Jepang dan
pembicaraannya dengan Mayor Fujiwara Iwaichi sampai ia diutus
oleh Jepang ke Aceh sebagai anggota Barisan Fujiwara Kikan, dan
mengenai perutusan resmi PUSA kepada Jepang di Malaya, masih
dalam rangka hubungan PUSA dengan Jepang, M. Nur El Ibrahimy
memberikan komentar atas keterangan Tim Penyusunan pada hal.
23 yang berbunyi janji yang telah mempengaruhi rakyat itu terutama
disampaikan melalui Barisan Fujiwara Kikan dan juga sebagai hasil
pertemuan dengan delegasi PUSA yang diutus ke Malaya dan Penang.
4
Memang tak dapat disangkal bahwa janji Jepang yang
dibawa oleh Said Abu Bakar pertengahan Februari 1942 telah
mempengaruhi rakyat Aceh dalam sikapnya menerima balatentara
Jepang dengan pengertian bahwa janji itu merupakan faktor
perangsang, bukan faktor penyebab yang mendorong pemimpin-
pemimpin Aceh mengajak rakyat berontak terhadap Belanda dan
menerima serta memberi bantuan kepada tentara Jepang yang
mendarat di Aceh. Sebab, keputusan yang demikian itu jauh
sebelum Said Abu Bakar datang di Aceh sebagai utusan Fujiwara,
sudah diambil oleh pengurus besar PUSA dalam rapat terbatas
setelah perang Asia Timur Raya meletus. Bertolak dari keputusan
tersebut Teuku Muhammad Daud Beureueh dan Teuku
Abdulwahab Seulimeum dapat membawa T. Nyak Arief dan T.
Panglima Polem Muhammad Ali ke sebuah pertemuan yang
119
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
berlangsung di rumah Teuku Nyak Arief pada bulan Desember
1941, yang dihadiri selain oleh keempat tokoh tersebut, juga oleh
T. Ahmad Danu (Djeinieb) untuk menentukan sikap terhadap
Belanda yang sedang goncang dan terhadap Jepang sedang melaju,
melanda satu demi satu negeri-negeri di Asia Tenggara. T. Ahmad
Danu, karena hubungannya yang erat dengan Syekh Abdul Hamid,
menjadi salah seorang simpatisan PUSA. Karena hubungannya
yang akrab dengan T. Nyak Arief, maka diajak turut serta dalam
pertemuan tersebut.
Sejak keputusannya ditetapkan, anggota PUSA turun ke daerah-
daerah untuk menyampaikan keputusan PUSA kepada cabang-
cabang di seluruh Aceh secara rahasia. Dan pada gilirannya cabang-
cabang menyampaikan keputusan itu kepada anggotannya yang
dipercaya. Jadi, sebelum Said Abu Bakar datang sebagai utusan
Jepang, rakyat Aceh sudah dalam persiapan untuk berontak
terhadap Belanda dan menerima Jepang untuk menjalin kerjasama
untuk menciptakan hari depan yang lebih baik bagi bangsa. Tetapi
bagaimana bentuk dan carannya kerjasama, masih bel um
dirumuskan sebagai garis besar PUSA mengintruksikan kepada
cabang-cabangnya untuk tidak menerima Jepang sebagai musuh,
tetapi terimalah mereka sebagai sahabat, sebagai sesama bangsa
Asia yang anti penjajahan Barat.
5
Eksistensi Gerakan Fajar
Setelah pecah perang Asia Timur Raya yang ditimbulkan
oleh Jepang, pimpinan ulama seluruh Aceh (PUSA) membahas
bermacam kemungkinan yang akan terjadi. Pimpinan PUSA
berpendapat bahwa Jepang pasti akan segera merebut Aceh dan
Belanda pasti kalah. Bekerjasama dengan Jepang untuk sementara
dianggap baik sekalipun diyakini bahwa Jepang adalah penjajah
haus kekayaan juga diperhitungkan bahwa jepang tidak akan lama
bertahan. Mereka pasti akan kalah berhadapan dengan sekutu.
120
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
Oleh karena itu, pimpinan PUSA memikirkan juga sikap
apa yang akan diambil setelah nanti Jepang terusir atau kalah. Sikap
hanya satu yaitu melawan Belanda yang akan datang lagi. Untuk
melaksanakan kelanjutan sikap melawan Belanda dalam kalangan
pemuda PUSA didirikan sebuah Gerakan Bawah Tanah yang diberi
nama GERAKAN FAJAR, dengan singkatan gerakan F.
Gerakan ini dipimpin oleh dua orang tokoh pimpinan pemuda
PUSA kepanduan Islam, yaitu Ali Hasjmy dan Ahmad Abdullah,
keduanya guru pada perguruan Islam Seulimeum, Gerakan Fajar
diawasi langsung oleh dua orang ulama besar yang menjadi anggota
pimpinan pengurus besar PUSA yaitu Teungku Haji Abdul Wahab
Seulimeum (Pimpinan Pengurus Islam) dan Teuku Haji Ahmad
Hasballah Indrapuri (Pimpinan Madrasah Hasbiyah).
Di bawah pimpinan Ali Hasjmy dan Ahmad Abdullah yang
direstui oleh Teuku Abdul Wahab dan Teuku Ahmad Hasballah,
Gerakan F melaksanakan programnya dengan cepat dan hati-hati.
Usaha-usaha sabotase dan bentuk-bentuk perlawanan lainya
dilakukan terus, terutama sekali di daerah Aceh Besar. Sabotase
kecil-kecilan mulai dilakukan pada penghujung tahun 1941.
Tentara Belanda di Indrapuri mulai diganggu, demikian pula
kawat-kawat telpon mulai dipotong. Kekuasaan Belanda di Aceh
menjadi gelisah.
Di samping mendirikan Gerakan F, juga diadakan hubungan
dengan Militer Jepang di Malaya dan Singapura. Said Abu Bakar
(salah seorang Pimpinan Pemuda PUSA) yang sedang berada di
Yan Kedah diminta untuk mengadakan kontak dengan pimpinan
Tentara Jepang, Teuku Abdul Hamid Samalanga dikirim pula ke
Malaya. Said Abu Bakar pulang ke Aceh dengan membawa tugas
dari Mayor Fujiwara. sehingga gerakannya itu dinamakan Fujiwara
Kikan (Gerakan Fujiwara, dipendekan menjadi Gerakan F). Cara
kebetulan Gerakan Fujiwara Kikan kependekannya sama dengan
Gerakan Fajar, yaitu sama-sama Gerakan F. Misi Said Abu Bakar
121
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dengan Gerakan Fujiwaranya disampaikan kepada pucuk pimpinan
PUSA, kemudian Said Abu Bakar bersama-sama dengan pucuk
pimpinan PUSA dan ditemani oleh Ahmad Abdullah dari pimpinan
gerakan Fajar. Masalah tersebut disampaikan kepada Teuku Nyak
Arif (seorang Hulubalang yang Nasionalis), dan pada ulama-ulama
serta pemimpin-pemimpin lainnya.
Dengan usaha bersama yang didukung oleh segenap lapisan
rakyat, kemudian Gerakan F merata ke seluruh tanah Aceh dan
perlawanan terhadap kekuasan Belanda bermunculan di mana-
mana. Pada awal tahun 1942, perlawanan terhadap kekuasaan
Hindia Belanda terjadi tidak saja di Aceh Besar, tetapi juga di
Pidie dan Aceh Barat/Selatan. Tangal 19 dan 20 Februari 1942
terjadi penyerbuan ke kota Seulimeum, pada waktu mana
controleur JC. Tiggelman (kepala pemerintahan Bangsa Belanda)
mati terbunuh. Pada tanggal 23 dan 24 Februari 1942 terjadi
pertempuran di kemire (kira-kira 15 km dari kota Seulimeum),
dalam pertempuran mana antara lain terbunuh seorang pengusaha
Belanda yaitu, Graaf U.Bernstorf Von Sperling (kepala eksploitasi
Kreta Api Aceh). Keadaan di Aceh Besar sangat gawat, sehingga
pemeri ntah Hi ndi a Bel anda terpaksa menj adi kan daerah
Seulimeum di bawah pemerintahan militer dan Majoor WF. Palmer
Van den Broek, komandan Korp Marsose (Commandant pan Het
korp Marchausse) diangkat menjadi kepala pemerintahan sipil-
Militer berkedudukan di kota Seulimeum.
6
Dalam perlawanan yang terjadi di Aceh, peranan Pemuda
PUSA, kepanduan Islam (Kasysyafatul Islam) dan PERAMIINDO
(pergerakan angkatan Muda Islam Indonesia) benar-benar telah
memainkan peranan yang sangat penting, dan organisasi-organisasi
tersebut sel alu mendapat petunjuk dan bimbingan dalam
perlawanannya terhadap kekuasaan Hindia Belanda dari dua
ulama besar, Teuku Haji Abdulwahab Seulimeum dan Teuku Haji
Hasballah Indrapuri.
7
122
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
Pemberontakan Melawan Jepang
Pemberontakan sebagai perlawanan rakyat Aceh terhadap
pemerintahan militerisme Jepang muncul sejak awal kehadiran
tentara negeri bunga sakura itu. Perlawanan itu umumnya
dilakukan oleh kekuatan yang tidak bisa menerima kehadiran
Jepang. Sungguhpun pada awalnya Dai Nippon berhasil membujuk
rakyat Aceh dan bersama-sama mengeyahkan penjajah Belanda,
namun kekejaman dan kesewenang-wenangan bala tentara Jepang
sangat menyinggung martabat warga Tanah Rencong. Rakyat Aceh
sebagai pemeluk teguh ajaran Islam, tidak dapat menerima tingkah
laku tentara Jepang yang sering mabuk-mabukan, menghamburkan
makian dan tindakan kasar serta memperlakukan wanita secara
biadab. Meskipun perlakuan kurang senonoh itu pada umumnya
datang dari prajurit bawahan, namun rakyat Aceh melihat hal itu
sebagai budaya Barbar yang dibawa oleh Jepang.
Sikap antipati itu terutama muncul dari kalangan ulama
yang tidak terlibat di panggung politik papan atas. Mereka melihat
dengan mata telanjang dan hati nurani yang jernih mengikuti
naluri Aceh. Suatu hal yang bertentangan dengan pandangan
agama ialah setiap pagi rakyat disuruh seikeirei, membungkuk pada
Tenno Heika di negeri Jepang. Bagi umat Islam menghormati orang
yang ada di depannya boleh, akan tetapi menghormati pada orang
yang berada jauh di Tokyo sana adalah tidak sesuai dengan ajaran
Rasulullah.
Selain para ulama yang didukung oleh para pengikut-
pengikutnya, dikalangan pemuda Aceh yang memasuki barisan
ketentaraan Jepang pun terdapat unsur tidak puas terhadap
perlakuan diskriminatif. Di samping itu rasa tidak sampai hati
menyaksikan penderitaan rakyat kecil yang diperlakukan semena-
mena dan sangat keterlaluan oleh Jepang. Perlawanan demi
perlawanan pun muncul di berbagai tempat di bumi Iskandar Muda
diantarannya adalah; Perlawanan Bayu
8
, perlawanan Pandrah
9
dan
123
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
pemberontakan Gyu Gun Jungkabuya
10
.
1. Perlawanan Bayu
Latar belakang terjadinnya perlawanan ini adalah bahwa
Teuku Abdul Jalil sudah tertanam kebencian terhadap bangsa
penjajah (kaphe), ia berkeyakinan bahwa penjajahan bertentangan
dengan agama dan keduniawian, ini sesuai dengan ceramah Teuku
Abdul Jalil kepada murid-muridnya untuk menentang penjajah yang
dahulu Belanda dan sekarang beralih ke Jepang, sehingga
terungkaplah kalimat Geuleet Ase geteurimong bui Asee teuka, kaphe
plung dajeu tamong maksud ungkapan ini adalah, Jepang lebih zalim
dari pada Belanda. Jepang selalu mengundang Teuku Abdul Jalil
untuk memenuhi undangan Jepang, tapi beliau selalu menolak
dengan berbagai alasan, akhirnya pada tanggal 10 November 1942
Jepang berangkat menuju Lhoksemawe dan Bireun menuju Masjid
Cot Plieng lengkap dengan senapan mesin dan Artileri, terjadilah
pertempuran yang tidak berimbang. Di pihak Teuku Abdul Jalil
Cuma bersenjatakan tradisional seperti Rencong, Gliwang,
Peudang, Pisau dan Tombak. Perlawanan ini bertepatan dengan
Jumat tanggal 13 November 1942 Teungku bersama 19 orang
lainnya gugur dalam menghadapi Jepang di Meunasah Buloh Blang
Rayeuk, kira-kira 10 km dari Bayu. Jumlah yang gugur seluruhnya
109 orang, sedangkan dari pihak Jepang 1 perwira meninggal dunia
dan 17 orang cedera.
11
2. Perlawanan Pandrah
Latar belakang terjadinya perlawanan ini adalah karena
banyak penduduk yang dikerahkan untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan sukarela bagi tentara Jepang untuk menyerahkan hasil
pertanian. Sebelum perlawanan ini terjadi, di Meunasah Dayah
terjadi kasus penganiayaan terhadap seorang pemuda yang
bernama Nyak Umar. Dia di siksa karena tidak mau berkerja paksa
di Lapangan Terbang Tambeu, ketika waktu berkerja dia selalu
124
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
bersembunyi dan tidur di atas pohon, akan tetapi akhirnya Jepang
tahu dan memberi hukuman habis-habisan kepadanya di depan
Pang Akob (pamannya), dan inilah yang menggerakan hati Pang
Akob untuk melawan Jepang.
12
Penyerbuan terhadap tangsi Militer Jepang di Pandrah
Jeunib oleh rakyat pada tanggal 2 pagi menjelang 3 Mai 1945
dipimpin oleh Pang Akob dengan 40 anak buahnya, menyentakkan
Militer Jepang di Aceh. Para santri dari Lheu Simpang, anak buah
Pang Akob berbekal semangat Tinggi dengan keberanian luar biasa,
datang menyerbu tangsi Jepang. Sumber dedikasi itu adalah
motivasi iman di tambah kesaksian melihat kenyataan bahwa Jepang
semakin biadab. Dalam penyerbuan ke pos Jepang di Pandrah,
seluruh anak buah Pang Akob selamat sedangkan pihak tentara
Jepang tewas kecuali ada satu orang yang selamat dan melarikan
diri ke Jeunib. Para Mujahidin ini pulang membawa kemenangan
menuju pos mereka di Gle Benggalang. Jepang tidak segera
membalas serangan ke Gle Banggalang. Nippon mengatur siasat
dengan menawarkan Amnesti kepada Teuku Pang Akob, apabila
ulama itu mau berunding dengan Jepang di tempat yang disetujui
yaitu Meunasah Lheu Simpang. Pang Akob sudah menduga akan
siasat Jepang dan telah bersiap-siap dengan pasukannya. Para
Mujahidin menyembunyikan diri mereka dalam semak-semak
menunggu sambil menyelam dalam air, ketika didegungkan Allahu
Akbar mereka pun keluar dan siap menyerbu. Peristiwa ini terjadi
pada 5 Mai 1945, Mujahidin yang tewas sebanyak 44 orang
berserta Pang Akob gugur dalam pertempuran tersebut.
13
3. Perlawanan Gyu Gun Jangkabuya
Gyu Gun adalah kumpulan pemuda-pemuda yang dibekali
dengan ilmu kemiliteran dengan tujuan membantu pasukan Jepang
dalam menghadapi sekutu, Laskar ini dibentuk pada tanggal 22
November 1943. Latar belakang perlawanan ini karena tindakan
125
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
sewenang-wenang terhadap penduduk biasa maupun terhadap
pasukan Giu Gun sendiri. Perlakuan ini sudah sedemikian rupa
sehingga menyadarkan anggota Gyu Gun, bahwa mereka sudah
dijadikan alat Jepang untuk memeras dan menindas rakyat. Rakyat
diharuskan melakukan kerja paksa dan menyerahkan berbagai hasil
pertanian dan semua itu demi kepentingan peperangan Asia Timur
Raya. Disampaing itu anggota-anggota Gyu Gun di haruskan
berkerja bukan saja pada siang hari melainkan juga malam hari.
Teuku abdul Jalil Hamid adalah seorang perwira muda, terdorong
untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang akibat dari sikap
Jepang yang demikian menjijikan. Sehingga ia dan kawan-
kawannya dari Gyu Gun melarikan diri ke hutan dengan membawa
persenjataan untuk menyusun kekuatan melawan Jepang pada
tahun 1944 dan mereka adalah tentara yang terlatih. Jepang
berusaha untuk mengejar tetapi tidak berhasil, akan tetapi Jepang
akhirnya menyandera keluarga mereka dan memberi ancaman kalau
tidak menyerahkan diri mereka akan di bunuh. Akhirnya Teuku
Abdul Hamid dan kawan-kawannya menyerahkan diri.
Meskipun perlawanan ini belum bisa dikatakan berhasil
namun sudah merupakan tidakan nyata mengawali pengusiran
tentara Nippon dari bumi Aceh. Secara kualitatif pemberontakan
Jungka Buya belum sempurna, namun kuantitatif langkah itu
mengilhami putra-putra Aceh untuk melakukan perlawanan
terpadu guna mengenyshkan kekuasaan militerisme Jepang dari
bumi Indonesia.
Respon Ulama dan Hulubalang Terhadap Jepang
Kehadiran Jepang merupakan angin segar bagi rakyat untuk
mengenyahkan Belanda dari seluruh bumi Aceh. Jepang pun
diterima sebagai sahabat, bahkan mempercayai propaganda
Nippon sebagai saudara Tua Bangsa Asia. Tentu saja para ulama
126
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
yang selama kekuasaan Belanda mendapat tekanan keras, dengan
datangnya Jepang merasa mendapat sahabat. Organisasi para
ulama, PUSA dengan tangan terbuka membantu gerakan spionase
Jepang Fujiwara Kikan, sewaktu persiapan pendaratan mereka di
Aceh.
Sebaliknya, kaum hulubalang merasa kehilangan pengayom
mereka setelah Belanda kalah perang. Hulubalang yang berpikiran
maju dan berjiwa nasionalis, segera banting setir, berkerja sama
dengan Jepang yang sejak awal mempropagandakan kemerdekaan
bagi Indonesia. Akan tetapi ada juga hulubalang yang tidak senang
melihat kehadiran Jepang
14
, yang kian lama kian menunjukkan
watak kefasisannya. Hal itu tidak pernah mereka rasakan ketika
pemerintahan Hindia Belanda
15
. Ketika Jepang takluk dan sekutu
datang, ada sementara hulubalang merasa bahwa kekuasaan
mereka yang sangat dibatasi pada zaman Jepang akan pulih
kembali. Beberapa hulubalang yang berkat pendidikan Barat dan
berwawasan nasional, cepat menyesuaikan diri dan mampu
membaca perkembangan keadaan. Mereka belajar dari situasi
internasional dan menyadari bahwa feodalisme segera akan
digantikan oleh era demokrasi. Dalam tatanan masyarakat baru
yang bercirikan semangat kebangsaan, kekuasaan hulubalang tidak
mungkin dipertahankan lagi. Setidaknya zaman keemasan para
fiodal secara politis dan ekonomis akan sirna. Di antara para
hulubalang yang nasionalis itu adalah T. Nyak Arief
16
, Panglima
Sagi XXVI Mukim Aceh Besar
17
dan Teuku Panglima Polem.
Teuku Nyak Arief dianggap sebagai tokoh yang gagal oleh
Belanda karena tidak berhasil membuat rakyat Aceh setia kepada
pemerintahan kolonial bahkan sebaliknya Nyak Arief sendiri
begitu cepat mengabungkan diri dalam gerakan nasionalisme di
Volksraad. Keberaniaanya dalam menyatakan pendapat baik pada
zaman Belanda maupun pada pendudukan Jepang mewarnai
kepribadian T. Nyak Arief.
18
Sikap Nyak Arief itu oleh Belanda
127
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dianggap suatu pembangkangan. Apalagi sikap nasionalismenya
kian mencolok dengan melicinkan jalan kearah Indonesia
Merdeka baik dalam rapat-rapat di Kutaraja atau ditempat-tenpat
lain. Ketika Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Muhammad Husni
Thamrin berkunjung ke Aceh, Justru Nyak Arief dan rekan-
rekannya, hulubalang nasionalis, bertindak sebagai pembuka
hubungan. Hal itu membuat namanya dikenal secara luas
sebagai tokoh kebangsaan.
Sampai Jepang masuk ke Aceh, 12 Maret 1942, tokoh
Nasionalis T. Nyak Arief tetap menonjol. Oleh karena itu ia diajak
berkerja sama dalam menata pemerintahan Jepang di Aceh oleh S.
Matsubuchi, pimpinan Fujiwara Kikan yang ditugaskan untuk
membentuk Pemerintahan Pentadbiran Militer Jepang Sementara
di Aceh. Matsubuchi menunjuk Nyak Arief sebagai Gunco atau
Wedana Gun di kewedanan Kutaraja. Pada bulan Desember 1942
ia ditempatkan pada chasa kyoku, semacam Litbang (penelitian
dan pengembangan), yang bertanggung jawab kepada Chokan
(Residen Jepang) untuk Aceh, S. Lino delapan bulan kemudian
Agustus 1943, secara resmi Nyak arief resmi diangkat sebagai
penasehat Chokan selama itu Nyak Arief tampil sebagai tokoh
yang tegas dalam sikap namun luwes dalam pelaksanaan, sehingga
baik dikalangan pergerakan kemerdekaan maupun dikalangan
pemerintahan militer Jepang ia bisa diterima.
Berita Proklamasi
Berita proklamasi kemerdekaan RI diumumkan secara
resmi di Aceh tanggal 21 Agustus 1945. Kabar gembira itu
diterima oleh Teuku Nyak Arief dari Gubernur Sumatera Mr.
Teuku Mohammad Hasan
19
dan mendapat sambutan rakyat
dimana-mana sebagai puncak hasil perjuangan puluhan tahun.
Karena itu, dalam fungsi selaku Residen Republik Indonesia
untuk Daerah Aceh, Teuku Nyak Arief, langsung mengadakan
128
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
konsolidasi dan koordinasi dengan unsur-unsur pimpinan daerah
lainnya, serta memerintahkan rakyat untuk mengibarkan Sangsaka
Merah Putih diseluruh pelosok daerah Aceh.
Residen Teuku Nyak Arief sendiri dengan didampingi
tokoh-tokoh Aceh lainnya seperti Teuku Mohammad Daud
Beureueh, Mr. S.M. Amin, Tuanku Mahmud, T.M. Daudsyah,
Syamaun Gahar u, dan Ali Hasimi , langsung mengadakan
perundingan dengan pihak jepang untuk melaksanakan penyerahan
kekuasaan. Namun pihak Jepang yang mendapat intruksi untuk
melakukan penyerahan kekuasaan hanya kepada pihak sekutu,
agak tidak mudah untuk menerima tuntutan para pemimpin Aceh
saat itu. Tapi setelah diyakinkan betul tentang keselamatan mereka,
barulah kemudian para pimpinan tentara pendudukan Jepang di
Banda Aceh (Kutaraja) bersedia berkerja sama. Sekalipu demikian
selagi para pimpinan Aceh dengan perwira-perwira Jepang masih
sedang melakukan perundingan, rakyat diberbagai pelosok tanah
air untuk mengambil langkah sendiri-sendiri. Asrama pasukan
Altileri serta pangkalan angkatan udara Jepang di Lhok Nga di
pinggir kota Banda Aceh sempat dikepung laskar rakyat, begitu
pula posisi-posisi Jepang di daerah-daerah lain seperti Krueng
Panjo, Juli, Bireuen, Takengon, Lhoksukon, Idi, Langsa, Meulaboh,
Tapak Tuan, Bakongan, dan sebagainya menjadi sasaran langsung
rakyat yang ingin mendapatkan senjata.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, teks proklamasi yang telah
diperbanyak oleh para pemuda dengan semboyan-semboyan
patriotik mulai tersebar di seluruh Aceh. Bersamaan dengan itu
berbagai langkah konsolidasi dilakukan, seperti pembentukan
perangkat pemerintahan daerah termasuk Komite Nasional
Indonesia Daerah yang diketahui Tuanku Mahmud sementara Mr.
S.M. Amin ditetapkan sebagai wakil komite Nasional Indonesia
Pusat untuk Aceh. Untuk jabatan wakil Residen ditunjuk T.M.
Daudsyah.
20
[]
129
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Endnotes:
1
Matsubuchi Sahei, pemimpin kelompok empat Fuji WaraKikan
yang dikirim oleh Mayor Fujiwara dari Malaya ke Sumatera Utara ketika
Jepang menyerbu ke daerah itu, tetapi komflik di daerah Aceh segera menarik
perhatian jaringan spionase Jepang dalam perang Asia Timur Raya itu.
Sebagai perwira intel segera ia berhubungan dengan Said Abu Bakar yang
melicinkan pendirian Fuji Warakikan di Aceh. Ia mahir berbahasa Indonesia
(Melayu) karena selama 20 tahun menjelajahi tanah Melayu, antara lain
sebagai planter perkebunan karet di Siak. Ia kembali ke Jepang tahun 1938
dan menerbitkan sejumlah karangan serta kamus Melayu-Jepang (1941).
Kefasihannya berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dan kecerdasannya
yang luar biasa dalam persuasi penduduk, membuatnya mendapat
kepercayaan yang luas di kalangan Bumiputra. Keahliannya tentang
Sumatera itu sangat berpengaruh dalam menentukan pelaksanaan peraturan-
peraturan sipil sementara bikinan Jepang. Di Aceh ia menjadi salah seorang
tokoh Jepang yang berpengaruh dikalangan para pejuang dan orang-orang
Aceh yang akrab dengannya menyebut Matsubuchi sebagai Bapak Aceh.
2
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) didirikan di Matang
Geulumpang Dua, Kecamatan Peusangan, pada 5 Mai 1939, oleh Teuku M.
Daud Beureueh, tuj uan PUSA ialah menyiarkan, menegakkan dan
mempertahankan agama Islam. Di samping itu berusaha mempersatukan para
ulama Aceh yang pecah belah oleh Belanda. Program utama adalah perbaikan
dunia pendidikan Islam. Selain Daud Beureueh, pengurus Besar PUSA
adalah: Ketua II Teuku Abdurrahman Matang Geulumpang Dua, Sekretaris
I Teuku M. Nur El Ibrahimy, Sekretaris II Teuku Ismail Yakob, Bendahara
Teuku Muhammad Amin, pembantu-pembantu: Teuku Abdulwahab
Seulimeum, Teungku Syekh Abdul Hamid, Teuku Yahya Baden, Teuku Usman
Aziz, Tgk Ahmad Damanhuri Takengon, penasehat Teuku H. Ahmad
Hasballah Indrapuri dan Teuku Muhammad Amin (Teuku Diyan), sedang
pelindung, Teuku. Cik Muhammad Johan Alamsyah.
3
Lihat, Profil Propinsi Republik Indonesia Daerah Istimewa Aceh.
Tt. hal.21-22 Lihat dan bandingkan dengan, Hasbi Amiruddin, Perjuangan
Ulama Aceh di tengah Komplik, Yogyakarta,Cinnets, 2004. hal 49. dan
Bandingkan dengan Abdullah Ali, dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh
Dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949. tt. Hal 82-93
4
Disadur dari buku, Iwachi, Fujiwara, F. Kikan, Japanese Army
Intelligence Operations in South East Asia During Word War II, Penerjemah,
Akashi Yoji (Hongkong, Heinemann Educational Books (Asia). 1983 hal. 10-50
130
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
5
Masalah di atas disari dari, M. Nur El Ibrahimy, Teungku
Muhammad Daud Beureueh. Peranannya dalam Peergolakan di Aceh.
Jakarta, Gunung Agung. 1982. Dan bandingkan dengan, Sinar Darussalam,
Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan, No. 162/163. (Banda Aceh: Y.P.D.
Unsyiah, IAINAr-Raniry, 1987), hal. 365-367
6
Dirangkum dari, Sinar Darussalam, Majalah Pengetahuan dan
Kebudayaan, No. 108/109. Banda Aceh: Y.P.D. Unsyiah, IAIN Ar-Raniry,
1980 hal. 236-238
7
A.J. Piekar, Atjeh en de Oorlog met Japan, 1949. hal. 60-67
8
Bayu Terletak di kawasan Ladang gas alam Arun, Aceh Utara.
Pertempuran ini terjadi pada tanggal 6 November 1942. Perlawanan Bayu ini
adalah perlawanan yang dipelopori oleh ulama sejak semula tidak senang
atas kehadiran jepang di Aceh dipimpin oleh Teuku Abdul Jalil dan diantara
ulama yang ikut juga saat itu adalah Ali Hasimy.
9
Perlawanan Pandrah adalah penyerbuan terhadap tangsi militer
Jepang di Pandrah Jeunieb oleh rakyat pada tanggal 2-3 Mai 1945 yang
dipimpin Pang Akob dengan 40 anak buahnya dan di tambah para santri
Lheu Simpang merupakan anak buah pang Akob juga. Perlu diingat mereka
ini adalah bekas anggota Gyu Gun yang selamat melarikan diri atas keganasan
Jepang.
10
Peristiwa ini terjadi pada November 1944, yaitu perlawanan tiga
orang perwira Gyu Gun dari Tangsi Jungkabuya yang telah muak pada opsir-
opsir Jepang, melakukan tobo bersama, kali ini mereka tidak hanya pergi
tanpa bekal, melainkan juga membawa persenjataannya mereka itu adalah
Hasan Ismail, Teuku Abdulhamid, dan Teuku Muhammad Ali.
Untuk lebih Jelasnya masalah Perlawanan Bayu, Perlawannan Padrah
dan Pemberontakan Gyu Gun Jungkabuya Lihat, Ali Hasimi, Semangat
Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan
Kemerdekaan. (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hal 141 dan bandingkan
dengan, Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta, Bulan
Bintang, 1990. hal. 23-24
11
Lihat, Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, cet II, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998), hal. 25.
12
Abdullah Ali, dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh dalam Perang
Kemerdekaan 1945-1949, (Banda Aceh: Depdikbud, tt), hal. 153
13
Amran Zamzami, Jihad. hal. 24
14
Diantara hulubalang yang tidak senang terhadap kedatangan
Jepang mendarat di Aceh adalah Teuku Muhammad Daud Cumbok,
hulubalang Cumbok, Kecamatan Lam Meulo (sekarang Kota Bakti),
Kabupaten Pidie. Muhammad Daud Cumbok lahir tahun 1910, bersekolah
di Europeesche Lagere School Sigli. Ayahnya, hulubalang Cumbok mangkat
131
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
tahun 1931 dan kedudukannya langsung digantikan oleh Teuku Muhammad
Daud. Untuk lebih jelasnya tentang kajian ini Lihat, Amran Zamzami, Jihad
Akbar di Medan Area. hal. 34-42.
15
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
Kerajaan di Sumatera, jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987. hal. 31-68.
16
Teuku Nyak Arief dilahirkan di Uleelheue pada tahun 1899, Nyak
arief mengeyampendidikan Belanda pada sekolah guru, Kweekshool di Bukit
Tinggi, lalu pada sekolah ambtenaar Belanda, OSVIA di Serang. Sejak tahun
1920 ia mengantikan kedudukan ayahnya sebagai Panglima Sagi XXVI Mukim
pada tahun 1927-1930, Nyak Arief diangkat sebagai anggota Volksraad
(Dewan Perwakilan Rakyat buatan Belanda) di Batavia.
17
Daerah Sagi XXVI Mukim (dan juga Sagi XXII Mukim) dalam
Afdeeling Groot Van Aceh, merupakan daerah yang dirampas oleh Belanda
lewat Perang Aceh, oleh karena itu disebut Reghtstreeks Bestuurd Gebied,
yang secara langsung diperintah oleh Belanda, meskipun kenyataannya
uleebalang yang menjalankan roda pemerintahan bertindak dengan bebas
dan tidak perlu mentaati perintah-perintah Controleur di atasnya. Hal itu
berbeda dengan daerah taklukan yang disebut Zelfbestuurs Gebied atau
Swapraja (Landschap) dikepalai oleh uleebalang (Zelfbestuurder) yang mutlak
harus taat Controleur. Pada 1940 terdapat 102 landschap masing-masing 47
di Aceh Utara, 19 di Aceh Timur, Gayo, Alas, dan Serbajadi, 36 di Aceh Barat.
18
Selain Teuku Nyak Arief, juga Uleebalang Glumpang Payong, T.
Muhammad Hasan Gunco Sigli yang pernah menjadi konsul Muhammadiyah
untuk Aceh, diharapkan pengaruhnya terhadap uleebalang namun sia-sia.
T. Muhammad Hasan Pernah dikirim ke Tokyo oleh Jepang bersama T. Nyak
Arief. Tetapi sikapnya sebagai nasionalis sejati yang antifasis tidak bisa
dikompromikan, akhirnya ia dibunuh oleh Jepang. Makamnya berada di
Medan.
19
Mr. T. Haji Mohammad Hasan Lahir 4 April 1906 di Peukan Set,
Sigli. Ia menempuh pendidikan formal di Volksschool 1917, Lampoih Saka,
Europeesche Lagere School, Sigli, Koningin Wihelmina School Batavia,
MULO (extrance) Bandung, AMS (tamat 1929), Batavia. Selanjutnya ia
memasuki Rechtshoogeschool, Batavia, dimana ia memperoleh candidat II
(1931) kemudian ia memperdalampendidikan ilmu hukumdi leiden dan meraih
gelar Master in de Rechten (1933). Sepulang dari negeri Belanda membuka
praktek bantuan hukum di Kutaraja dan menjalin hubungan dengan para
ulama serta tokoh masyarakat. Gerak geriknya diawasi oleh Belanda karena
ketika di Leiden ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang
dipimpin Muhammad Hatta. Pada tahun 1935 pindah ke Batavia dan bekerja
di Departemen Van Onderwijs en Eeredienst, kemudian pindah ke kantor
Voor Bestuursheroorming (1936) pada tahun 1938 ia dikembalikan ke Kantor
132
Kedatangan J epang dan Di l emati ka Bagi Aceh
Jamhir
Gubernur Sumatera di Medan karena dianggap mencampuri urusan politik.
Konfliknya dengan penguasa Belanda itu membuatnya kian aktif dalam
organisasi kemasyarakatan dan perjuangan, ia mendirikan Studiefonds
Oentoek Atjeh (SOEA) pada tahun 1939 dan Ichwanus Safa Indonesia (ISI)
serta menjalin hubungan baik dengan Ulama Medan maupun PUSA
20
Lihat, Profil Propinsi Republik Indonesi Daerah Istimewa Aceh,
tt. Hal 22-23 dan Bandingkan dengan buku, Muhammad Hatta, Memoir,
Jakarta, Tinta Mas 1979. hal 438, 466, 500, 532.
133
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
9
KONFLIK ACEH DI
ZAMAN KEMERDEKAAN RI:
Muncul Gerakan DI / TII
Oleh: Jamaluddin
Pendahuluan
Sejak awal berdirinya Negara kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), Aceh merupakan sebuah komunitas yang unik dengan
tradisi perlawanan yang kental. Semangat primordial yang terpupuk
ol eh perl awanan ter us-mener us mul ai masa Bel anda
memaklumatkan perang tahun 1873. Fenomena primordial
keacehan ini lebih tampak ketika rakyat Aceh merasa disakiti dan
dibohongi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini dapat terlihat jelas
ketika masa revolusi. Masa revolusi kemerdekaan berkecamuk,
konsolidasi kekuasaan pemimpin pusat dengan para pemimpin
Aceh sangat kuat dan juga bahkan saling tergantung. Namun
setelah revolusi berakhir hubungan Aceh dengan pemerintah
Indonesia juga putus, pemerintah Indonesia mencampakkan
pengorbanan Aceh dan juga melupakannya.
1
134
Konfl i k Aceh di Z aman Kemerdekaan RI
Jamaluddin
Sejarah Lahirnya DI/TII
Setelah terjadi Agresi Belanda pertama tahun 1947, setiap
panglima Divisi militer diangkat menjadi Gubernur. Untuk daerah
Aceh, Langkat dan tanah Karo yang menjadi Gubernur militer
adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, pengangkatan ini
atas saran kolonel Husen Yusuf panglima Divisi x yang mengusul
kepada Wakil presiden Muhammad Hatta. Kemudian pada tanggal
17 Desember1949 Wakil Perdana Mentri Mr. Syarifuddin
Prawiranagara atas wewenangnya sendiri membuat peraturan
sebagai pengganti U.U.No.8/Des/WKPM, peraturan tersebut
bertujuan untuk membentuk Propinsi Aceh, yang menjadi
Gubernur adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, dengan
terbentuknya propinsi bagi Aceh maka posisi Gubernur militer
Aceh, Langkat dan Tanah Karo yang dipegang oleh Teungku
Muhammad Daud Beureueh dihapuskan.
2
Hanya delapan bulan, Propinsi Aceh yang merupakan
kembanggaan Rakyat Aceh karena merupakan propinsi pertama
yang dibentuk dalam negara Republik Indonesia dan merupakan
cermin dari kapasitas Rakyat Aceh dalam Republik Indonesia dan
berdemokrasi. Pada tahun 1950 Perdana Mentri mengeluarkan
peraturan lain UU.No.5./1950, dalam peraturan baru tersebut
menjelaskan bahwa Propinsi Aceh harus dihapuskan kembali serta
Propinsi Aceh dimasukkan ke dalam Propinsi Sumatra Utara
Dengan demikian tamatlah riwayat Propinsi Aceh yang baru
berumur 8 bulan atau masih merupakan bayi.
Oleh karena merasa rakyat Aceh telah diobok-obok oleh
Republik Indonesia, pada hal jikalau dilihat dalam sejarah, Aceh
merupakan modal akhir bagi Indonesia ketika dalam keadaan
genting meliputi Wilayah republik Indonesia yang diduduki oleh
Belanda, hanya Acehlah yang tidak dapat dikuasi Belanda. Hal ini
dapat dilihat Ketika Mr. Syarifuddin Prawiranegara diangkat
135
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
menjadi wakil Perdana Mentri dan ia merangkap sebagai kepala
Pemerintahan darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di
Bukit Tinggi, Belanda melakukan penyerang udara ke kantor Mr.
Syarifuddin. Dikarenakan penyerangan Belanda yang sangat hebat
ke kantor Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang bermarkaskan di
bukit Tinggi, maka Syarifuddin mengungsi ke Aceh, sebab Aceh
satu-satunya wilayah Republik Indonesia yang belum diduduki oleh
Belanda, sehingga Mr bermarkas di Kutaraja yang sekarang dikenal
dengan nama Banda Aceh.
3
Maka seluruh lapisan masyarakat Aceh melalui DPR
berusaha memperjuangkan kembali Propinsi Aceh. Walaupun para
elit Aceh dengan barbagai macam argumentasi melontarkan kepada
Pemerintah Republik Indonesia untuk memperjuangkan aspirasi
rakyat, namun Pemerintah Indonesia tidak menghiraukannya,
sehingga rakyat Aceh hanya merendam rasa kekecewaan bagi
Pemerintah Republik Indonesia.
4
Dari pembahasan di atas, jikalau dilihat dalam sejarah,
menurut satu pendapat, pertama kalinya Aceh memberontak
terhadap pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Daud Beureueh
yang bertepatan pada bulan September tahun 1953 dan berakhir
pada awal bulan mei 1962. Pemberontakan ini adalah karena
Pembubaran provinsi Aceh oleh pemerintah, serta pemerintah
Indonesia menggabungkan Aceh ke dalam Propinsi Sumatra
Utara.
5
Namun penulis kurang sependapat dengan pendapat di
atas, karena penyebab awal kalinya Daud Beureueh tertanam benih
memberontak pemerintah Indonesia adalah pada pertama awalnya
pemerintah Indonesia menunjukkan Daud Bereueh sebagai
Gubernur mi l i ter Sumatra (mewaki l i Aceh, Langkat dan
semenanjung tanah Karo). Akan tetapi kemudian pemerintah
Indonesia memisahkan Sumatra Utara dari daerah wilayah
136
Konfl i k Aceh di Z aman Kemerdekaan RI
Jamaluddin
kekuasaan Aceh dengan cara Pemerintah menghapuskan Gubernur
Militer yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh,
dengan dalih membuat Propinsi sendiri bagi Aceh.
Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Republik
Indonesia yang bertepatan pada tanggal 21 September 1953 sebagai
pucuk kepemimpinan dipegang oleh Daud Beureueh, bukanlah
kejutan bagi rakyat Aceh, melainkan jauh sebelum ini telah
menjadi rahasia umum di kalangan elit rakyat Aceh. Di mana
Teungku Muhammmad Daud Beureueh akan memproklamilkan
Aceh sebagai Negara Islam, dengan diproklamilkan Negara Islam
di Aceh, Daud Beureueh tidak mengakuai Negara Republik
Indonesia sebagai Negara yang benar. Sebab pemimpin-pemimpin
Republik Indonesia telah jauh menyimpang dari jalan yang benar,
karena pemimpin tersebut memakai pancasila sebagai dasar
pedomannya.
Organisasi yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud
Beureuh disambut serta mendapat dukungan dari beberapa
daerah, di antaranya adalah: Aceh Pidie, Aceh Besar Aceh Utara,
Aceh Ti mur dan j uga Aceh Tengah. Walaupun mendapat
dukungan dari beberapa daerah, namun organisasi ini juga tidak
luput halangan dan rintang dari kelompok Ulee Balang yang
berada di Aceh.
6
Tidak lama sestelah Daud Bereueh memproklamirkan
Aceh sebagai negara Islam maka terjadilah pemberontakan DI/
TII pada tanggal 21 September 1953. Ketika pertama kalinya
Teungku Muhammad Daud Beureuh menggencarkan perang
terhadap Pemerintah Republik Indonesia ternyata 90% dari polisi
bergabung dengan DI/TII. Demikian juga para Bupati banyak
yang bergabung dengan DI/TII, Cuma hanya dua Kabupaten yang
masih ada Bupati yang setia kepada Republik Indonesia yaitu
137
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Abdul Wahab (Bupati Aceh Besar Banda Aceh) dan Kamarusid
(Bupati Aceh Selatan).
7
Pasukan DI/TII mulai menyerbu berbagai kota kecil dan
kota besar sekalipun. Daerah pantai timur serangan dipusatkan
pada jalan-jalan kereta api menuju Banda Aceh-Medan, sehingga
DI/TII dapat menduduki kota-kota kabupaten yang ada di Aceh
seperti Tapaktuan, Melaboh, Seulimeum, Lhoknga, Sigli. Begitu
juga pos polisi Pereulak dapat dikuasai oleh DI/TII yang dipimpin
oleh Ghazali Idris. Begitu juga dengan Idi atas bantuan instruktur
polisi Amiruddin Ali dapat juga dikuasai. Sesudah direbutnya Idi,
Bayeun, dan Peurelak anggota DI/TII dengan mudah tanpa ada
perlawanan merebut Langsa. Pada tanggal 21 September Tentara
Indonesia mendapat bantuan dari Medan, berhasil merebut
kembali Langsa, begitu juga dengan Bayeun, Pereulak, dan juga
Idi berhasil dikuasai kembali oleh tentara Republik Indonesia pada
tanggal 23 September.
8
Kemudian dalam beberapa minggu selanjutnya pasukan
Republik Indonesia berhasil menghalau kelompok Teungku
Muhammad Daud Beureueh di daerah perkotaan, sehingga
mereka mengubah posisi perjuangannya ke daerah pedalaman
Aceh atau naik gunung.
Penyelasaian Konflik
Sesudah diproklamasilkan pemberontakan oleh Teungku
Muhammad Daud Beureueh, Gubernur Sumatra Utara meminta
bantuan kepada pemerintah Indonesia agar dapat menyelesaikan
kasus Aceh tersebut. Pemerintahan Ali Sastroamidjojo memilih
jalur penyelasaian Aceh dengan kekerasan senjata dengan harapan
bahwa kelompok Daud Beureueh dapat dituntaskan pada akhir
bulan Maret tahun 1954. Ternya sampai kabinetnya jatuh pada
tahun 1955 situasi keamanan di Aceh masih dalam keadaan kacau.
9
138
Konfl i k Aceh di Z aman Kemerdekaan RI
Jamaluddin
Setelah pemerintah Indonesia menyelasaikan komplik di
Aceh melalui jalur militer ternyata tidak berasil, lalu pemerintah
mengambil strategi lain untuk menyelesaikan komplik, yaitu dengan
cara perundingan. Pada masa Sjamaun Gaharu menjadi panglima
KODAM Iskandar Muda, Aceh dicetuslah suatu konsepsi baru
untuk penyelasaian konplik Aceh. Konsep tersebut diberinama
Prinsipil Bijaksana yaitu suatu konsep mengadakan kontok-kontok
dengan pihak Daud Beureueh guna mencari jalan yang lebih baik
dalam penyelasaian komplik. Dengan terciptakannya Konsepsi
Prinsipil maka berhasillah usaha Kol. Sjamaun Gaharu meredakan
suasana yang sangat kacau di Aceh dengan cara menempuh jalan
perdamaian antara Republik Indonesia dengan kelompok Daud
Beureueh pada tanggal 8 April 1957 yang kemudian dikenal dalam
sejarah dengan Ikrar Lam Teh.
10
Akhirnya komplik yang berlangsungdari tahun 1953 sampai
dengan 1959 diselesaikan melalui perundingan. Pada tahun 1959
pemerintahan pusat menyadari kekeliruan yang dilakukannya, lalu
mengadakan musyawarah dengan Darul Islam dan menghasilkan
kecepatan yaitu memenuhi tuntutan rakyat Aceh yang memberikan
daerah ini status propinsi Istimewa, dengan otonomi di bidang
agama, hukum, adat, dan pendidikan.
Dengan tercapainya persetujuan antara kedua belah pihak,
maka sempurnalah usaha pemulihan keamanan dan terciptanya
perdamaian. Pada hari Rabu tanggal 9 Mei 1962, Tgk. Muhammad
Daud Beureueh bersama-sama dengan pasukan Ilyas Leubeu dan
pasukan Gaus Taupik yang dijemput oleh Letkol Nyak Adam
Kamil kepala KODAM Iskandar Muda, menuju kembali ke
pangkuan Republik Indonesia.
11
[]
139
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Endnotes:
1
Moch Nurhasim, Konplik Aceh (Analisis sebab akibat komflik, aktor komplik,
kepentingna dan upaya penyelesaian) ( Jakarta: LIPI, 2003) hal.13-14
2
Said Abu Bakar, Berjuang Untuk Daerah, (Banda Aceh: Yayasan Nagasakti,
1995) hal.65
3
M.Nur El Ibrahimi, Peran tgk M.Daud Beureueh Dalam Pergolakan Aceh,
(Jakarta:Media Dakwah, 2001), hal 57
4
Ibid, hal 66-67
5
Nurhasim, Konplik Aceh. hal.16
6
Said Abu Bakar, Berjuang Untuk Daerah, hal. 67
7
Hendra Gunawan , M.Nasir Dan Darul Islam, Studi Kasus Aceh dan Sulawesi
Selatan, (Jakarta: Media Dakwah,2000), hal. 17
8
Cornelis.Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan,(Jakarta:Pustaka
Utama Grafiti, 1995), hal. 289-290
9
El Ibrahimi, Peran tgk M.Daud Beureueh, hal. 195
10
Ibid, hal.197
11
M. Nur El. Ibrahimi, Tgk M. Daud Beureueh, hal.255
140
Konfl i k Aceh di Z aman Kemerdekaan RI
Jamaluddin
141
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
10
KONFLIK ACEH
MASA ORDE LAMA:
Kasus DI / TII
Oleh: Suriana
Pendahuluan
Setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia
di Pusat (Jakarta) tahun 1945, maka terjadi hal -hal yang
menyebabkan kepercayaan dan loyalitas rakyat Aceh kepada
Pemerintah Pusat menjadi tipis. Rakyat Aceh yang telah berjuang
mati-matian mempertahankan kemerdekaan tanpa pamrih dan
telah mengorbankan segala-galanya untuk menegakkan kembali
Republik Indonesia mulai diliputi kekecewaan karena Pemerintah
Pusat seolah-olah memperlakukan Aceh sebagai anak tiri. Bahkan
Pemerintah Pusat melakukan tindakan-tindakan yang membuat
hati rakyat terluka, antara lain, dimasukkannya Aceh ke dalam
provinsi Sumatera Utara dengan peraturan pemerintah No. 5 tahun
1950.
1
142
Konfl i k Aceh Masa Orde Lama
Suriana
Pada tahun 1949 Pemerintah Pusat menerima tuntutan
rakyat Aceh dan menjadikan Aceh sebagai provinsi otonom,
(daerah istimewa) dengan Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai
gubernurnya. Selanjutnya, pada tahun 1950-an berbagai upaya
dilakukan Pemerintah Pusat untuk mengembalikan status otonomi
Aceh. Kekuasaan Pemerintah Pusat yang semakin meningkat,
khususnya menyusul pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik
Indonesia Serikat (RIS), mendorong negara kampanye menentang
dijadikannya Aceh sebagai daerah Istimewa.
2
Hal ini segera
mengakhiri hubungan baik yang telah berlangsung antara
Pemerintah Pusat dan para pemimpin Aceh dan akhirnya
mendorong Aceh untuk memberontak.
Pada tahun 1953 Teungku Muhammad Daud Beureueh
3
memproklamirkan berdirinya Darul Islam (Negara Islam) di Aceh,
artinya melepaskan diri dari Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
4
Beberapa tahun setelah kontak senjata terjadi, Jakarta
menyadari bahwa solusi militer tidak mungkin untuk mengakhiri
pemberontakan rakyat Aceh. Upaya negosiasi kemudian dilakukan
untuk mengakhiri konflik tersebut.
5
Pada akhir tahun 1950-an,
Aceh diakui sebagai daerah Istimewa yang otonomi terutama
dalam masalah keagamaan, hukum adat, dan pendidikan, dengan
syarat otonomi tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
Keterlibatan Ulama Dalam Pemberontakan DI/TII
di Aceh
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) didirikan pada
tahun 1939 merupakan salah satu organisasi yang tumbuh di Aceh
pada saat bangsa Indonesia berjuang meraih kemerdekaan. Ketua
umum periode awal yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Organisasi ini awalnya bergerak dalam bidang pendidikan dan
sosial keagamaan, kemudian berkembang dalam menjadi kegiatan
politik secara terselubung. Kemampuan Teungku Muhammad
143
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Daud Beureueh yang luar biasa membawa organisasi ini dalam
waktu singkat tumbuh menjadi organisasi besar dan sangat
berpengaruh serta berhasil dalam menggerakkan kesadaran dan
kekuatan rakyat Aceh. Di samping itu juga, organisasi ini dibentuk
sebagai salah satu wadah ikut berperan dalam perjuangan Bangsa
Indonesia melawan penjajah.
6
Perbedaan pendapat yang serius antara Pemimpin Aceh
dan Pemerintah Pusat Indonesia tentang Pembangunan Aceh
mengakibatkan rakyat melakukan Pemberontakan pada tahun
1953, menentang Pemerintah Pusat. Rakyat Aceh mengharapkan
daerahnya menjadi salah satu provinsi yang mendapat perlakuan
yang istimewa. Alasan atas keinginan tersebut, pertama, bahwa
rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk mempertahankan
negerinya dari Belanda. Karena hampir seratus tahun tidak ada
pembangunan yang dapat dilakukan, ekonomi dan pendidikan
tidak dapat dikembangkan.
Rakyat Aceh juga ingin memiliki pemimpin mereka, hanya
putra daerah yang dapat memahami kebutuhan rakyat dan
mengerti watak rakyat Aceh yang agak berbeda, khususnya aspek
agama dan budaya, dibandingkan dengan penduduk Indonesia
lainnya. Pemerintah pusat mempunyai pandangan yang berbeda
dalam hal tersebut. Aceh disatukan dengan Sumatera Utara untuk
di j adi kan suatu provi nsi . Pada tahun 1950, Syafr uddi n
Prawiranegara sebagai perdana Mentari Sementara, bisa memahami
atas keinginan masyarakat Aceh tentang status khusus tersebut,
namun keinginan ini ditolak oleh pemerintah pusat tatkala
kebijakan nasional ditegaskan kembali oleh Soekarno dan Hatta
sebagai Presiden dan wakil Presiden.
Tanpa menghakimi siapa yang salah, bisa dikatakan bahwa
pemberontakan ini melibatkan mayoritas rakyat Aceh karena
dipimpin oleh sejumlah ulama yang sangat dihormati. Pemerintah
144
Konfl i k Aceh Masa Orde Lama
Suriana
pusat tidak dapat menahan pemberontakan tersebut, yang
berlangsung selama sembilan tahun, dari 1953 sampai 1962.
Pemberontakan tersebut berakhir setelah pemerintah pusat
menerima status daerah Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi hak
otonomi, yaitu dalam bidang keagamaan, adat dan pendidikan.
Usaha untuk perdamaian tersebut melibatkan sejumlah ulama yang
ada di Aceh.
Pertentangan PUSA dengan Uleebalang
Ulama-ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA)
7
sebagai arsitek utama pemberontakan DI/
TII mempunyai dukungan yang kuat di sekitar daerah Aceh Besar,
Aceh Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tengah. Pengaruh
mereka yang kuat di daerah tersebut dikarenakan mereka memang
memiliki banyak pesantren di sana.
8
Berdirinya DI/TII Aceh
ditentang oleh kaum Uleebalang (bangsawan) yang ada di Aceh.
Kelompok ini punya pendukung di sekitar Aceh Besar, Aceh Pidie,
dan Aceh Utara. Persaingan untuk menjadi penguasa Aceh antara
kelompok Uleebalang dengan kelompok PUSA sebenarnya telah
terjadi sejak zaman penjajahan Belanda dan meningkat pada saat
Jepang menyerah tahun 1945.
9
Bahkan pada tahun 1946 sempat
terjadi perang saudara di Aceh antara kedua kelompok tersebut,
yang berakhir dengan kemenangan pihak PUSA. Sebagai akibatnya,
sejak tahun 1946 PUSA semakin menguasai pemerintahan Aceh.
Bahkan ketika provinsi Aceh dibentuk tahun 1949, mulai dari
jabatan gubernur hingga kepada desa, banyak didominasi oleh
orang-orang PUSA.
10
Keberhasilan PUSA dalam mendominasi jabatan-jabatan
pegawai negeri di Aceh rupanya menimbulkan ketidaksenangan
kelompok ulama lainnya. Kelompok ulama tersebut adalah
kelompok ulama yang tergabung dalam Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti). Perti ini banyak mempunyai pesantren di Aceh
145
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Barat dan Aceh Selatan. Daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan ini
kemudian menjadi daerah anti DI/TII
Penyebab Terjadinya Pemberontakan DI/TII di Aceh
Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap
Pemerintah Pusat adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah,
dan semua orang mengakuinya. Perasaan tidak puas dan kekecewaan
tersebut juga dirasakan oleh rakyat di daerah-daerah lain di Indonesia.
Mereka menganggap Pemerintah Pusat seolah-olah tidak
menghiraukan keinginan dan keluhan rakyat Aceh. Perasaan tidak
puas dan kecewa rakyat Aceh ini lama kelamaan berubah menjadi
perasaan tidak percaya kepada Pemerintah Pusat. Tepatnya pada
tanggal 21 September 1953 terjadilah pemberontakan DI/TII yang
dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh.
Menurut M. Hasbi Amiruddin, penyebab terjadinya
pemberontakan di Aceh tahun 1953 adalah perhatian serius oleh
ulama terhadap kondisi Aceh pada waktu itu. Sebagaimana warisan
kesadaran sejarah dan keunikan budaya, sikap para pemimpin Aceh
tersebut didasarkan pada situasi psikologi, keagamaan dan
kegiatan-kegiatan kultural mereka. Dalam hal ini, berbagai
pandangan muncul mengenai pemberontakan tersebut. Dia
Menambahkan, bahwa pemberontakan ini terjadi sebagai
kelanjutan konflik antara ulama dan Uleebalang. Di sisi lain
penyebab pemberontakan ini terjadi sebagai perluasan konflik
antara Masyumi dan PNI.
11
Menurut M. Nur El Ibrahimy, penyebab utama terjadinya
pemberontakan DI/TII di Aceh yaitu kekecewaan yang mendalam
rakyat Aceh terhadap pembubaran provinsi Aceh dan digabung
dengan provinsi Sumatera Utara. Di samping itu juga, pada tahun
1951 Divisi X yang terdiri dari orang Aceh dibubarkan dan hanya
tinggal satu resimen yaitu Mayor Nazir yang berhaluan kiri dan
pernah ditahan oleh gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah
146
Konfl i k Aceh Masa Orde Lama
Suriana
Karo pada tanggal 12 Juli 1948. Kemudian resimen di bawah
pimpinan Mayor Nazir akhirnya juga dipecah-pecahkan, dan
batalyon-batalyon-nya dipindahkan ke luar daerah Aceh, diganti
dengan batalyon lain yang didatangkan dari daerah-daerah lain.
Kalau masih ada kompi yang masih utuh, maka kompi ini pun
dipecah-pecahkan dan anggotanya dicampurkan dengan anggota
tentara yang datang dari luar daerah Aceh.
12
Menurut Hasanuddin Yusuf Adan, ada beberapa sebab yang
menghar uskan Teungku Muhammad Daud Beureueh
menggabungkan diri dengan gerakan DI/TII yang bertujuan
menghancurkan Republik Indonesia dengan mendirikan Daulah
Islamiyah, di antaranya:
1. Sukarno mengingkari janji untuk menjalankan hukum Islam
di Indonesia yang ketika itu berpenduduk 99% beragama
Islam.
2. Sukarno tidak menepati janjinya dengan Daud Beureueh
untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah yang
mempunyai otonomi dalam pemberlakuan hukum Islam
secara penuh.
3. Dengan terang-terangan Sukarno mendukung, membantu
dan berpihak kepada partai komunis Indonesia serta
menghina Islam.
4. Mengenyampingkan syariat Islam dengan menjalankan
sistem pemerintahan sekuler yang sangat dibenci Daud
Beureueh khususnya di Aceh.
5. Menghancurkan struktur pemerintahan di Aceh dengan
memindahkan putra-putra Aceh keluar dan menggantikannya
dengan orang-orang dari daerah lain.
6. Menurunkan pangkat dan jabatan kolonel Husin Yusuf
sebagai orang PUSA dari jabatannya sebagai Panglima Divisi
X menjadi komandan Brigade dengan pangkat Letnan
Kolonel tahun 1950.
147
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
7. Pemindahan kepala polisi Aceh Muhammad Insya dan
Komisaris Muda Yusuf Efendi ke Medan merupakan
tamparan hebat bagi Aceh.
8. Pemindahan semua batalyon tentara yang dipimpin putra
Aceh untuk keluar dari Aceh dan digantikan oleh orang luar
yang kebanyakan tidak beragama Islam.
9. Pembubaran provi nsi Aceh ol eh Perdana Menteri
Muhammad Natsir dari Partai Masyumi yang muat di Radio
Republik Indonesia (RRI) Kuta Raja (Banda Aceh) pada
tanggal 23 Januari 1951, menj adi penyebab utama
meletusnya peristiwa berdarah di Aceh.
10. Karena ada satu peristiwa yang bagi bangsa Aceh sangat
pahit dan pedih dirasakan, yaitu peristiwa Operasi Ogos
1951 atau razia Sukiman yang telah menginjak-injak
kehormatan ulama sekaligus bangsa Aceh yang dahulu
pernah menjadi pelopor kemerdekaan Republik Indonesia.
Razia ini diperintahkan oleh Perdana Menteri Dr. Sukiman
ke semua daerah untuk mencari sisa-sisa senjata simpanan
anggota Komunis.
11. Pengambilan paksa sebuah mobil yang sedang dipakai
gubernur Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh, oleh
gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim merupakan pukulan
berat bagi Aceh dan bangsanya.
13
Uraian di atas dapat dipahami bahwa sebab Teungku
Muhammad Daud Beureueh bergabung dengan DI/TII dan
memisahkan diri dengan Republik Indonesia yaitu: pertama,
Sukarno mengingkari janji untuk melaksanakan Hukum Islam di
Indonesia, kedua, Sukarno tidak menepati janj inya untuk
menjadikan Aceh sebagai daerah otonomi dalam pemberlakuan
hukum Islam, ketiga, Sukarno mendukung dan membantu partai
komunis Indonesia, keempat, Sukarno menerapkan sistem
pemerintahan sekuler yang sangat dibenci Daud Beureueh
148
Konfl i k Aceh Masa Orde Lama
Suriana
khususnya, keenam, menghancurkan struktur pemerintahan di
Aceh dengan memindahkan putra-putra Aceh keluar dan
menggantikannya dengan orang-orang dari daerah lain, ketujuh,
menurunkan pangkat dan jabatan kolonel Husin Yusuf sebagai
orang PUSA dari jabatannya, kedelapan, pemindahan kepala polisi
Aceh Muhammad Insya dan Komisaris Muda Yusuf Efendi ke
Medan, kesembilan, pemindahan semua batalyon tentara yang
di pi mpi n putra Aceh untuk kel uar dari Aceh, kesepul uh,
pembubaran provinsi Aceh oleh Perdana Menteri Muhammad
Natsir, kesebelas, razia yang dilakukan Dr. Sukiman yang telah
menginjak-injak kehormatan ulama Aceh yang dahulu pernah
menjadi pelopor kemerdekaan Republik Indonesia, keduabelas.
pengambilan paksa sebuah mobil yang sedang dipakai gubernur
Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
penyebab terjadinya pemberontakan DI/TII di Aceh yang
dipelopori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh yaitu karena
Pemerintah Pusat telah mengecewakan dan menyakiti hati rakyat
Aceh dengan kebijakan yang sangat bertentangan dengan hati
nurani masyarakat Aceh, seperti pembubaran provinsi Aceh dan
digabungkan dengan provinsi Sumatera Utara. Demikian juga,
Pemerintah Pusat tidak menghiraukan keluhan rakyat Aceh dan
menghancurkan sistem pemerintahan Aceh.
Memproklamirkan Negara Islam Aceh
Teungku Muhammad Daud Beureueh memproklamirkan
berdirinya negara Islam Aceh pada 21 September 1953, ia
menyatukan daerah-daerah sekitarnya menjadi bagian dari negara
Islam Indonesia. Untuk membenarkan proklamasi ini dan tidak
lagi mengakui Republik Indonesia ia mengemukakan alasan,
pemimpin-pemimpin Republik Indonesia di Jakarta telah
menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak
149
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
berkembang menjadi suatu negara yang berdasarkan Islam, yang
menurut pandangannya adalah satu-satunya kemungkinan yang
terkandung dalam prinsip ketuhanan yang Maha Esa, sila pertama
Pancasila. Sebaliknya, makin menjadi jelas baginya, para politisi
Republik kian lama kian jauh juga beralih dari cita-cita Islam.
14
Pemberontakan Dar ul Isl am di pi mpi n Teungku
Muhammad Daud Beureueh dan menyatakan berdirinya negara
Islam di Aceh dan daerah yang berbatasan dengannya menjadi
bagian negara Islam Indonesia. Para pengikutnya pada waktu yang
sama menyerang sejumlah kota dan beberapa desa di Aceh. Dalam
Minggu-Minggu pertama kaum pemberontak menguasai hampir
seluruh Aceh. Hanya kota-kota besar seperti Banda Aceh
(Kutaraja), Sigli, Langsa, dan Meulaboh di pantai selatan yang
tetap dalam tangan Republik.
Tidak lama setelah Daud Beureueh memproklamirkan Aceh
sebagai negara Islam maka terjadilah pemberontakan DI/TII pada
tanggal 21 September 1953. Pasukan DI/TII mulai menyerbu dan
menduduki kota-kota kabupaten yang ada di Aceh seperti
Tapaktuan, Meulaboh, Seulimeum, Lhoknga, Sigli, Lhokseumawe,
Langsa, Perlak, Idi, dan lain-lain.
15
Pada waktu dimulainya perang
ternyata 90% dari polisi bergabung dengan DI/TII, alasannya
mereka ingin mendapat kedudukan yang lebih baik di DI/TII dan
juga takut dibunuh oleh TII. Demikian juga para Bupati juga
banyak yang bergabung dengan DI/TII, hanya dua kabupaten yang
masih ada Bupati yang setia kepada Republik Indonesia yaitu Abdul
Wahab (Bupati Aceh Besar/Banda Aceh) dan Kamarusid (Bupati
Aceh Selatan). Untuk membalas serangan DI/TII, TNI mulai
mengarahkan pasukannya untuk menduduki kota-kota yang
diduduki DI/TII.
Kemudian dalam beberapa Minggu selanjutnya pasukan
Republik berhasil menghalau pemberontak Darul Islam dari
perkotaan, dan mereka memulai perjuangannya ke daerah
150
Konfl i k Aceh Masa Orde Lama
Suriana
pedesaan/pedalaman Aceh. Selama bertahun-tahun terutama
kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara gerakan DI/TII
sangat berpengaruh dan merupakan basis kekuatan yang kuat.
16
Pada tahun 1959 Pemerintah Pusat mengadakan musyawarah
dengan Darul Islam dan menghasilkan kesepakatan yaitu
memenuhi tuntutan rakyat Aceh dan memberikan daerah ini status
Provinsi Istimewa, dengan otonomi di bidang agama, hukum adat,
dan pendidikan.
Akhirnya, konflik yang berlangsung dari tahun 1953
sampai dengan 1959 diselesaikan melalui perundingan dengan
pihak RI dan DI/TII. Pemerintah pusat menyadari kekeliruan yang
dilakukannya dan status Aceh menjadi provinsi Daerah Istimewa
Aceh. DI/TII beserta ulama dan pendukungnya kembali
kepangkuan kesatuan Republik Indonesia.
Penutup
Berbagai kebijakan politik yang diciptakan oleh Pemerintahan
Pusat menyebabkan terjadinya pemberontakan di beberapa daerah
di Indonesia, termasuk di Aceh. Rasa kecewa rakyat Aceh karena
merasa tidak dihargai atas apa yang telah dikorbankan demi
kemerdekaan Negara Indonesia menyebabkan terjadi pemberontakan
DI/TII pada tanggal 21 September 1953 yang dipimpin langsung oleh
Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalamrangka memisahkan diri dari
Republik Indonesia dan mendirikan negara Islam di Aceh.
Pemberontakan tersebut melibatkan organisasi Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) karena ketua umum periode awal ialah Tgk.
Muhammad Daud Beureueh. Peristiwa ini menjadi catatan sejarah
penting yang dilakukan oleh ulama di Aceh setelah kemerdekaan
bangsa Indonesia.[]
151
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Endnotes:
1
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureueh Dalam
Pergolakan Aceh, (Jakarta: Media Dawah, 2001), hal. 42.
2
Tim Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Editor.
Taufik Abdullah, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hal. 48.
3
Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah seorang ulama dan
pemimpin besar yang pernah berbuat banyak untuk umat selama hidupnya.
Ulama ini dilahirkan dari pasangan suami istri Keucik Cut Ahmad dan Cut
Manyak di sebuah Kampung yang bernama Beureueh Meunasah Dayah Pidie
pada 10 Jumadil Akhir 1316 H/1896 M. Ketika itu kehidupan masyarakat masih
sangat tertinggal dari berbagai bidang dan keberadaan umat Islam masih
tradisionalis. Pada tahun 1914 ia menikah dengan Halimah, seorang Janda
yang masih punya hubungan keluarga dengannya. Teungku Muhammad Daud
Beureueh yang berpikiran modern hanya sempat belajar pendidikan tradisional
dan kemudian menjadi seorang ulama besar yang bertaraf antar Bangsa. Beliau
wafat pada bulan Juni 1987 dan dimakamkan di Desa Meunasah Dayah Pidie.
Lihat, Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan di
Aceh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2003), hal. 57.
4
A. Hasjmy, Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan
Tamaddun Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 114.
5
Tim Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi , hal. 48.
6
Agus Budi Wibowo, dkk, Dinamika dan Peran Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) Dalam Kehidupan sosial Budaya Masyarakat Aceh, (Banda Aceh:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2005), hal. 87-88.
7
PUSA didirikan pada Mei 1939. Salah seorang pendirinya ialah
Teungku Muhammad Daud Beureueh pemimpin Islam terkemuka yang lahir
pada tanggal 10 Jumadil Akhir 1316 H/1896 M. PUSA kuat berakar dalam
masyarakat Aceh dan mendapat dukungan dari berbagai pesantren tradisional
di seluruh Aceh.
8
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul
Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal.185.
9
Pada saat Jepang menyerah, baik kelompok Uleebalang dan PUSA
berlomba-lomba merebut senjata peninggalan Jepang yang masih ada di Aceh.
10
Hendra Gunawan, M. Natsir dan Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan
Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958, (Jakarta: Media Dawah, 2000), hal.17.
11
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh,
(Banda Aceh: Yayasan Nadia Foundation, 2003), hal. 55-56.
152
Konfl i k Aceh Masa Orde Lama
Suriana
12
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk., hal. 71.
13
Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan , hal. 63-64.
14
Cornelis Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1995), hal. 255.
15
Hendra Gunawan, M. Natsir dan ., hal.17.
16
Cornelis Van Dijk, Darul Islam: .., hal. 255.
153
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
11
KONFLIK ACEH
MASA ORDE BARU :
Latar Historis Muncul AM / GAM
Oleh: Fajri Chairawati
Pendahuluan
Aceh adalah salah satu propinsi di Indonesia yang terletak
di ujung barat pulau Sumatera. Letaknya yang strategis dalam
perdagangan dunia menjadikannya selalu dilirik dan diminati oleh
negara-negara di dunia. Sejarah telah mencatat dan membuktikan
bahwa Aceh pernah mengukir peradaban yang gemilang di
kepulauan Nusantara yang mencapai puncaknya pada masa Sultan
Iskandar Muda.
Aceh juga dikenal sebagai salah satu daerah yang tak pernah
reda dengan konflik. Sejak penjajahan kaum imperialis Belanda
dan Jepang, Orde Lama, Orde Baru sampai era reformasi Aceh
terus bergejolak. Ibarat api dalam sekam siapa saja mampu untuk
membakar dan menyulut berkobarnya konflik di Aceh dengan
154
Konfl i k Aceh Masa Orde Baru
Fajri Chairawati
mengusung kepentingannya masing-masing. Inilah sisi yang
membedakan Aceh dengan propinsi-propinsi lainnya di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tak terhitung berapa jumlah korban
jiwa dan harta akibat imbas konflik tersebut.
Pemerintah pusat (Jakarta) pada masa Orde Lama telah
berhasil meredam pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan
Teungku Muhammad Daud Beureueh melalui perundingan dengan
menyepakati tuntutan yang diajukan olehnya, yaitu menerapkan
syariat Islam di Aceh.
1
Namun lagi-lagi Aceh tertipu dengan janji
manis pemerintah pusat (Jakarta).Ternyata hal yang pernah terjadi
terulang kembali. Janji tersebut tak pernah terealisasi. Aceh telah
muak dengan janji-janji yang diucapkan Jakarta. Dari perasaan yang
berkecamuk ini, lambat laun menanam kebencian sebagian
masyarakat Aceh kepada Jakarta. Perasaan ini mencapai puncaknya
dengan membuat gerakan baru yang diberi nama Gerakan Aceh
Merdeka yang terjadi di masa Orde Baru.
Selanjutnya makalah ini mencoba mengupas tentang apa
yang melatar belakangi munculnya GAM, bagaimana tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam menghadapi
dan mengatasi konflik tersebut.
Latar Belakang Lahirnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Orde Baru adalah pengganti Orde Lama. Masa akhir transisi
tersebut terjadi pada tahun 1969.
2
Orde Baru yang dipimpin oleh
Soeharto berhasil menekan inflasi ekonomi ketika itu. Soeharto juga
dengan kepiawaiannya memerintah telah mampu mengundang
banyak investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di negara
Indonesia. Khusus di Aceh didirikan pabrik gas Arun pada tahun
1970 dan disusul kemudian berdirinya berbagai industri besar lainnya
seperti PT Kraft Aceh, PT. AAF, PT Pupuk Iskandar Muda yang
sentralnya berada di Lhokseumawe Aceh Utara. Penghasilan yang
berhasil diraup oleh pemerintah pusat ketika itu dapat memberi
155
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
sumber penghidupan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Ironisnya masyarakat yang berada di sekitar pabrik tersebut bila
dilihat dari tingkat kehidupannya semakin menurun dan tak tampak
sama sekali imbas dari berdirinya pabrik-pabrik yang berkaliber
internasional. Terlebih lagi tidak adanya perimbangan penghasilan
yang diperoleh pemerintah kepada rakyat Aceh serta tuntutan
terhadap syariat Islam yang belum juga dikabulkan. Keserakahan
dan ketidak adilan yang dipertontonkan oleh pemerintah pusat
(Jakarta) telah membuka peluang baru timbulnya gerakan reaksioner
dari masyarakat sipil. Jurang yang terlalu mengangga ini sulit untuk
dipersatukan. Luka yang mulai sembuh kembali terkoyak. Inilah di
antara sebab-sebab yang membuat Hasan Tiro mendeklarasikan
gerakan Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) yang
kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada
tanggal 4 Desember 1976. Ia menyebut wilayahnya sebagai Negara
Aceh, Sumatera.
3
Sementara itu menurut R. William Liddle pada
mulanya GAM belum mempunyai massa, hanya segelintir kecil
calon pemimpin yang sedang melatih diri dan mengembangkan
jaringan konspirasi di belakang layar. Lebih lanjut ia menjelaskan
bahwa keluhan orang Aceh yang paling dalam dan keras adalah
menyangkut pemerintahan lokal. Menurut mereka, Aceh telah dua
kali dijanjikan otonomi oleh Sukarno, di zaman revolusi dan pada
akhir pemberontakan Darul Islam. Tapi otonomi yang sebenarnya
tak kunjung diberikan, baik oleh Sukarno maupun Soeharto.
4
Mengenai peristiwa hari lahirnya (proklamasi) GAM masih
terdapat perselisihan di antara tokoh-tokohnya. Sebagian tokoh
GAM menyatakan hari tersebut hanya hasil karangan (manipulasi)
Hasan Tiro yang ingin mengaitkan proklamasi GAM 4 Desember
1976 dengan kenangannya terhadap hari kematian kakeknya
Tengku Maat di Tiro yang dibunuh Belanda pada 4 Desember
1911. Sebenarnya GAM lahir pada tanggal 24 Mei 1977,
dideklarasikan pembentukannya sebagai gerakan perlawanan
156
Konfl i k Aceh Masa Orde Baru
Fajri Chairawati
terhadap pemerintah RI di kaki gunung Halimun di Pidie dalam
suatu upacara yang sangat sederhana. Saking sederhananya sehingga
dokumen pembentukannya pun tidak lengkap. Acara proklamasi
ketika itu hanya diisi pernyataan lisan dan sambutan lisan dari
beberapa tokohnya. Pada saat itu Hasan Tiro tidak hadir karena
masih ada di Amerika. Proklamasi itu kemudian disusul dengan
pembentukan Kabinet Pemerintahan Aceh-Sumatera pada tanggal
28 Mei 1977.
5
Sampai saat ini hari proklamasi GAM tetap
di sel enggarakan pada tanggal 4 Desember sebagai hasi l
kemenangan dari pendapat Hasan Tiro.
Selain Hasan Tiro terdapat sejumlah tokoh-tokoh penting
lainnya di dalam pergerakan ini di antaranya adalah Teungku Ilyas
Leube, Teungku dr. Muchtar Yahya Hasbi Geudong, Teungku
Fauzi Hasbi Geudong, dr. Husaini Hasan. Sementara Teungku
M. Daud Beureueh oleh sebagian masyarakat beranggapan masih
terdapat kontroversi terhadap keterlibatannya dalam GAM, yang
dapat dipastikan bahwa ia adalah inspirator bagi tumbuhnya
GAM.
6
Menyangkut deklarasi GAM, menurut al-Chaidar terdapat
beberapa hal yang menjadi pertanyaan dan terasa janggal apabila
dipandang dari sudut Islam dan budaya Aceh, antara lain: (1)
Naskah proklamasi kemerdekaan Aceh tidak diawali dengan
bismillah dan tidak diakhiri dengan takbir. Oleh karenanya,
proklamasi itu tidak patut ditaati oleh mereka yang mengaku diri
mukmin. (2) Pada alinea terakhir proklamasi Hasan Tiro terdapat
kata-kata Siploh droe njang po tanda droe nibak surat peunjata njoe ka
mugule mate sjahid (Sepuluh orang tokoh yang menandatangani
proklamasi ini telah terguling mati syahid) disanggah antara lain
oleh Teungku Hasbi Geudong dan memberikan usulan perubahan
kalimat: Meu ribee-ribee droe endatu bangsa Atjeh ka mugule mate sjahid
nibak peutheuen naggroe nan mulia njoe (Beribu-ribu moyang bangsa
Aceh telah mati syahid dalam mempertahankan negara yang mulia
157
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
ini). (3) Klaim wilayah kekuasaan Aceh-Sumatera yang meliputi
seluruh Sumatera sampai ke Lampung dianggap mengada-ada serta
mengindikasikan adanya penjajahan baru. (4) Bentuk negara yang
diinginkan Hasan Tiro adalah kerajaan, menurut beberapa
sahabatnya jika memang demikian seseorang yang lebih berhak
adalah Tuanku Ibrahim di Banda Aceh sebagai pewarisnya karena
dia adalah anak Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (wafat
1982) yang pernah dinobatkan sebagai putra mahkota pada tahun
1903. (5) Hasan Tiro menetapkan bendera negara berbeda dengan
bendera yang diinginkan oleh para tokoh Aceh lainnya yang pernah
ikut serta dalam RIA (Republik Islam Aceh) di bawah pimpinan
Teungku Muhammad Daud Beureueh, yaitu bendera yang pernah
dikibarkan sejak masa kerajaan. (6) Hasan Tiro mengharamkan
penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (negara)
dengan alasan sudah menjadi bahasa Jawa, meskipun para tokoh
senior mengusulkannya bersama dengan bahasa Aceh. (7) Pijakan
sejarah Hasan Tiro hanya tertuju kepada Teungku Chik Di Tiro
dengan keluarganya sampai tahun 1911 saat syahidnya Teungku
Maat Di Tiro, sedangkan tokoh lainnya berpijak mulai dari Sultan
Ali Mughayat Syah, Ali Riayat Syah al-Qahar dan Sultan Iskandar
Muda, bersambung sampai 1942 ketika Belanda hengkang dari
Aceh.
7
Dari uraian singkat diatas dapat digaris bawahi bahwa
sesungguhmya terdapat perbedaan ideologi politik yang sangat
mendasar antara DI/TII dengan GAM. DI/TII yang dipimpin
oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh memperjuangkan
kehidupan Islami dalam masyarakat Aceh khususnya, rakyat
Indonesia pada umumnya, dan tetap dalam bingkai ke-Indonesia-
an. Sementara GAM yang berada di bawah komando Hasan Tiro
sejak awal menginginkan kemerdekaan Aceh lepas dari negara
Republik Indonesia. Spirit Islam ternyata bukan sesuatu yang
dianggapnya penting. Kesamaan yang menonjol di antara kedua
158
Konfl i k Aceh Masa Orde Baru
Fajri Chairawati
gerakan ini adalah keduanya memberi perhatian yang besar untuk
memperjuangkan martabat Aceh.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1990
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terpecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah kelompok Hasan Tiro yang dalam
pergerakannya menggunakan bentuk propaganda.Aksi tersebut
bertujuan untuk mencari dukungan moril dan finansial dengan cara
memeras harta rakyat Aceh.
8
Kelompok yang kedua adalah kelompok dr. Husaini Hasan,
yang merupakan kelompok murni yang memperjuangkan nasib
rakyat Aceh dengan bendera Islam.
9
Menurut Al-Chaidar, terjadinya
perpecahan di dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka itu disebabkan
oleh adanya penetapan Hasan Tiro seputar suksesi sepeninggalnya,
yang mana Kari m (anaknya) adal ah orang yang berhak
menggantikannya. Di samping itu adanya kecenderungan Hasan
Tiro yang ingin menjadikan Aceh sebagai sebuah negara yang
berbentuk kerajaan yang sekuler.
Tindakan yang Diambil Pemerintahan Orba dalam
Menghadapi dan Menyelesaikan Pemberontakan GAM
Ada ti ga teori sebagai justi fi kasi pembenaran atas
perlawanan masyarakat suatu daerah dalam komunitas kebangsaan,
yakni persoalan ekonomi, pertentangan ideologi, dan nilai-nilai
yang dianut. Cara dan bentuk perlawanan bisa beragam, secara
umum lahirnya pemberontakan dilatari ketiga unsur tersebut. Sebut
saja Philipina, Thailand, Srilangka, Nepal dan beberapa daerah
bagian dari sebuah bangsa.
Berbagai cara pula negara menyelesaikan. Ada pendekatan
melalui jalan dialog, fasilitasi sebuah lembaga/negara, pendekatan
kultur hingga tindakan represif atau militeristik.
Orde Baru di bawah pimpinan Suharto tidak jauh beda
dengan Orde Lama yang mengedepankan tindak kekerasan dalam
159
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
menyelesaikan konflik Aceh. Padahal kalau mau dicermati lebih
jauh oleh pemerintah pusat (Orde Baru) tentang kultur rakyat Aceh
yang apabila dihadapi dengan kekerasan akan dibalas dengan
kekerasan pula. Dalam bahasa Belanda, gejala ini disebut Atjeh
Moord atau dalam istilah asli Aceh disebut Aceh Pungo (Aceh gila).
10
Adapun tindakan yang diambil oleh Suharto sebagai
penguasa rezimOrde Baru adalah dengan menggelar bentuk operasi
Sadar dan Siwah (1977 1982), Operasi Jaring Merah yang lebih
dikenal dengan Daerah Operasi Militer/DOM (Mei 1989 s/d 7
Agustus 1998). Inilah serangkaian penindasan sistematis yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru terhadap rakyat Aceh, yang
oleh beberapa pengamat sejarah mengatakan bahwa telah terjadi
genosid (pembantaian etnis).
Sebagai akibat dari memuncaknya pemberontakan, pada
pertengahan 1990, Jakarta mengirim pasukan Kostrad ke Aceh di
bawah pimpinan Prabowo.
11
Kemudian dilanjutkan dengan
pengiriman pasukan organis (sebanyak 12 kompi) dari Pangdam
Bukit Barisan yang dibantu oleh Satgas Intelejen (Kopassus).
12
Sejak saat itu hingga tahun 1998, Aceh dianggap sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM), dan penyebutan terhadap GAM diubah
menjadi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Gerakan
Pengacau Liar (GPL), dan di saat itu diberlakukan hukum darurat
perang. Dalam perkembangan selanjutnya, pasukan yang dikirim
untuk mengamankan wilayah yang bergolak ini telah melakukan
penyimpangan dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Selama
DOM berlangsung, hukum tidak berlaku atau lebih tepatnya
hukum rimbalah yang berlaku pada saat itu di mana siapa yang
kuat dialah yang menang, sehingga keadilan sosial tidak dapat
diwujudkan. Segala sesuatu ditentukan sesuai dengan selera militer.
Tiga wilayah yang bergolak, yaitu Pidie, Aceh Utara, dan Aceh
Timur merupakan wilayah yang paling menderita akibat kekerasan
militer dan pelanggaran HAM. Hal tersebut semakin diperparah
160
Konfl i k Aceh Masa Orde Baru
Fajri Chairawati
dengan ketidakmampuan aparat keamanan untuk membedakan
antara rakyat biasa dan kaum pemberontak (GAM) sehingga
menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat Aceh.
Periode DOM benar-benar merupakan periode yang paling
buruk bahkan mengerikan yang pernah dialami rakyat Aceh. Rakyat
Aceh mengalami tindak kekerasan fisik dan nonfisik yang
dilakukan oleh militer. Aceh telah menjadi ladang pembantaian
(The Killing Field) oleh bangsa sendiri yang oleh Gerakan Aceh
Merdeka menyebutnya Indonesia-Jawa. Al-Chaidar mengatakan
bahwa DOM merupakan pembantaian peradaban muslim yang
paling keji sepanjang sejarah Indonesia.
13
Ia berhasil mengungkap
kesadisan dan kekejaman yang dilakukan oleh tentara-tentara
Republik Indonesia sehingga pemerintah pernah melarang
beredarnya buku ini, karena ditakutkan akan menjadikan rakyat
Aceh khususnya memiliki kekuatan untuk memperjuangkan nasib
rakyat Aceh dan pada akhirnya akan menambah bibit-bibit
perlawanan baru.
Selama Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer tersebut,
terdapat dua pos satuan yang paling terkenal sebagai tempat
penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan
kuburan massal, yaitu rumoh Geudong di Pidie dan Rancong di
Aceh Utara.
Imbas dari pemberlakuanDOMtersebut telahmengakibatkan
ribuan anak menjadi yatim piatu, banyak rumah rusak atau dibakar,
banyak istri yang menjadi janda, banyak yang cacat karena
penganiayaan, dan korban jiwa pun sulit diprediksikan jumlah
pastinya. Ada versi yang menyebutkan jumlah korban DOM sekitar
35.000 jiwa.
14
DOM menyebabkan pula lumpuhnya perekonomian
Aceh, sehingga kondisi kehidupan rakyat sangat memprihatinkan.
Rakyat merasa ketakutan untuk melakukan aktivitasnya. Hal ini
terjadi di sebagian besar Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Di
ketiga daerah ini sering kali terjadi perampasan harta benda,
161
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
intimidasi, kekerasan dan bentuk-bentuk teror lainnya. Dan yang
sangat menyedihkan lagi , DOM telah memperburuk dan
memperparah kondisi pendidikan di Aceh.
Demikianlah cara Orde Baru mengatasi GAM di Aceh,
tidak hanya GAM yang merasakan akibatnya, bahkan rakyat sipil
yang tidak tahu apa-apa menjadi korban kebrutalannya. Hal inilah
yang nantinya - seperti yang diungkapkan oleh Syarifudin Tipe -
menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap TNI yang
imbasnya terlihat pada saat generasi baru TNI yang di kemudian
hari bertugas di Aceh mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
tugas dan melakukan upaya asimilasi dengan rakyat sebagai akibat
dari tindakan represif dan arogansi prajurit TNI yang berlangsung
selama sepuluh tahun Daerah Operasi Militer (DOM).
15
Fenomena Cuak pada Masa DOM
Selama lebih kurang sepuluh tahun lamanya Daerah
Operasi Militer diberlakukan di daerah yang dikenal dengan serambi
Mekkah. Selama itu pula telah banyak fenomena-fenomena yang
terjadi yang muncul di dalam masyarakat, salah satunya yaitu cuak
yang bisa dianggap sebagai suatu hal yang meresahkan masyarakat.
Cuak berasal dari bahasa Aceh yang sering disebut juga
lalat mirah yang berarti orang yang memberikan informasi tentang
Gerakan Aceh Merdeka, baik orang yang terlibat di dalam
gerakan ini, yang membantunya maupun hal-hal lainnya yang
berkaitan dengan informasi seputar GAM. Sementara itu istilah
cuak ini dalam tubuh militer dikenal dengan sebutan Tenaga
Pembantu Operasi (TPO).
Menurut Al-Chaidar ada empat motif yang melatarbelakangi
mengapa seseorang mau menjadi cuak yaitu ingin mendapatkan
fasilitas proyek dari pemerintah, ada pula yang terpaksa untuk
menyelamatkan diri dan keluarganya dari ancaman aparat keamanan.
162
Konfl i k Aceh Masa Orde Baru
Fajri Chairawati
Ada yang dipaksa menjadi cuak untuk meringankan hukumannya
yang berat secara fisik, karena sebelumnya pernah dituduh sebagai
pemasok logistik kepada GAM. Dan ada pula yang sekedar arogan
sekaligus menjadi pemeras harta rakyat.
16
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa
banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi cuak
diantaranya ialah: (1) Karena terpaksa. Hal ini dilakukan karena
ia telah dipaksa oleh militer untuk mencari informasi tentang
GAM. Kalau ia tak melakukannya maka nyawanya beserta
keluarganya tidak akan selamat. (2) Karena diiming-imingi
hadiah. Biasanya ini terjadi karena TNI tidak mampu lagi
menangkap orang yang dianggap penting dalam GAM. (3) Karena
sakit hati dan dendam.
Namun demikian tidak semua orang mau menjadi cuak
walaupun moncong senjata siap menyalak di hadapannya. Ini
membuktikan bahwa masih ada rakyat Aceh yang rela mengorbankan
nyawanya demi menolong orang lain. Al-Chaidar menyebutnya:
Setidaknya ia bisa mewakili keluhuran dan resistensi sosok Aceh
yang sesungguhnya: militan dan tak mudah terbujuk.
17
[]
Endnotes:
1
Abdul Rachman Patji dkk., Negara dan Masyarakat Dalam Konflik
Aceh (Studi Tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaiaan Konflik
Aceh), (Jakarta: PMB-LIPI, 2004), hal. 47
2
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj. Satrio Wahono
dkk, Cetakan I, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal: 582
3
Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, hal. 70
dalam Moch. Nurhasim dkk, Konflik Aceh: Analisis Atas Sebab-sebab Konflik,
Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, (Jakarta:LIPI, 2003), hal. 22
4
R. William Liddle, Tragedi Aceh dan Indonesia, Tempo Edisi
Khusus, 24 Agustus 2003
163
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
5
Lihat Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Aceh Merdeka: Solusi,
Harapan dan Impian, (Jakarta, PT Grasindo, 2001), cp. dalam Abdul Rachman
Patji dkk, Negara dan Masyarakat, hal. 36
6
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan
Negara Islam, Edisi Revisi, (Jakarta: Madani Press, 2000), hal. 159
7
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka..., hal. 147-149
8
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka , hal: 211
9
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka , hal: 211
10
Gejala Atjeh Moord ini ditandai oleh orang-orang yang kehilangan
keseimbangan jiwa. Mereka dengan tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas,
menghunus dan menghujamkan rencongnya ketubuh orang-orang Belanda.
Akan tetapi di dalam beberapa hal, gejala ini hanyalah merupakan label yang
merendahkan. Sebab pada dasarnya apa yang disebut dengan Atjeh Moord itu
adalah tindakan-tindakan penyerang yang berani dan nekad dari beberapa
kalangan Aceh terhadap Belanda dengan perencanaan dan perhitungan yang
matang. Semua ini dilakukan tak lain hanya sebagai dorongan untuk berjihad.
Lihat Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1987), hal. 135.
11
M. c. Ricklefs, Sejarah Indonesia , hal.626
12
Moch. Nurhasim dkk, Konflik Aceh , hal. 25
13
Al-Chaidar dkk, Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998), hal. 91
14
Moch. Nurhasim dkk, Konflik Aceh, hal. 26
15
Syari fudi n Ti pe, El - Hur r : Nurani Unt uk Aceh, Cetakan I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 15
16
Al-Chaidar, Aceh Bersimbah, hal. 211-212
164
Konfl i k Aceh Masa Orde Baru
Fajri Chairawati
165
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
12
PENYELESAIAN KONFLIK ACEH
DALAM ERA REFORMASI
Oleh: Abdul Hadi
Pendahuluan
Aceh merupakan suatu provinsi yang berada di ujung pulau
Sumatra, keberadaan Aceh mempunyai peranan penting dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia, baik sebelum maupun
sesudah kemerdekaan, sehingga Aceh dijuluki daerah modal bagi
perjuangan kemerdekaan bangsa. Kegigihan rakyat Aceh dalam
mempertahankan bangsa dari penjajah menjadi tolak ukur akan
kesetiaan terhadap bangsa Indonesia. Namun kesetiaan yang
diberikan kepada Negara itu tidak sesuai dengan perlakuan yang
diterima rakyat Aceh.
Dalam perjalanan sejarah kita dapat melihat berbagai
macam konflik yang terjadi antara rakyat dengan pemerintah pusat,
mulai dari terjadinya pemberontakan DI/TII pada tahun 1953 yang
dipimpin oleh tengku Daud Beureueh hingga munculnya GAM
166
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
(gerakan Aceh merdeka) pada tahun 1976 yang dikomandoi oleh
Hasan Tiro. Dalam meredam kedua perlawanan ini berbagai
kejahatan Negara yang dilakukan oleh TNI terjadi di Aceh.
Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah ternyata tidak
membuat perlawanan ini lenyap bahkan semakin hari semakin
berkembang.
Setelah Soeharto mundur dari presiden, Indonesia
memasuki era baru yang dikenal dengan masa reformasi, dalam
masa ini rakyat Aceh merasa sedikit lega karena kebijakan
pemerintah mencabut status daerah operasi militer (DOM), dan
rakyat diberi keleluasaan untuk menyampaikan pendapat.
Pada masa ini rakyat mulai berani mengemukakan
pendapat, namun bukan berarti persoalan Aceh selesai begitu
saja, malah ekskalasi konflik di Aceh semakin meningkat hal ini
di tandai dengan kembali menguatnya kekuatan GAM di seluruh
pelosok Aceh. Mulailah babak baru perseteruan antara TNI
dengan GAM.
Menjelang akhir tahun 2005 tercapailah suatu kesepakatan
MoU antara pemerintah dengan GAM di Helsinki yang dimotori
oleh satu lembaga NGO yang dipimpin oleh mantan presiden
Finlandia. Kesepakatan ini merupakan kelanjutan dari beberapa
perundingan yang dilaksanakan sebelumnya.
Dalam makalah ini penulis ingin mengupas beberapa
permasalahan yang terjadi di Aceh setelah runtuhnya orde baru
dan memasuki masa reformasi.
Pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM)
Setelah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998,
timbul berbagai reaksi dari elemen masyarakat, menuntut supaya
diadakan reformasi dalam struktur kepemerintahan dari sistem
otoriter yang dipraktekkan oleh rezim Orde Baru dengan sistem
yang lebih demokratis yang sesuai dengan kehendak rakyat.
167
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Seiring dengan arus tuntutan reformasi, para elit politik
Aceh baik yang ada di Jakarta maupun di daerah menuntut supaya
pemerintah segera mencabut status Daerah Operasi Militer di Aceh
dengan menarik semua pasukan non organik, karena dalampersepsi
masyarakat bahwa kehadiran pasukan tersebut menjadi akar
konflik di Aceh.
Pada tanggal 7 Agustus 1998 panglima TNI Jenderal
Wiranto mengumumkan pencabutan Status Daerah Operasi
Militer di Aceh, kebijakan itu ditindak lanjuti oleh panglima
TNI di Lhokseumawe. Setel ah pencabutan ini terjadi lah
kekosongan infrastruktur keamanan dalam penyelesaian konflik
Aceh. Periode ini terus berlanjut hingga akhir tahun 1999,
karena koordinasi antara TNI dan Polri kurang memadai dan
keduanya melakukan operasi-operasi yang berbeda jenisnya.
Keadaan itu memperlihatkan kurang adanya antisipasi dari
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan,
yang terjadi malah sebaliknya, pelanggaran-pelanggaran terus
dilakukan oleh TNI melalui operasi-operasi khusus di bawah
komando Korem 011/ Lilawangsa.
1
Sejak DOM dicabut hingga awal tahun 1999, terdapat
beberapa kasus pelanggaran HAM kategori berat. Dalam periode
Agustus 1998-1999, minimal telah terjadi sembilan kasus yang
dilakukan oleh TNI dan Polri. Pada periode ini pengamanan
konflik dilakukan melalui operasi PPRM yang kemudian diganti
dengan operasi wibawa 99, yang di teruskan dengan pola
penanganan konflik melalui Operasi Sadar Rencong I, Operasi
Sadar Rencong II.
Semua operasi yang diterapkan pemerintah di Aceh,
ternyata tidak dapat menciptakan rasa aman bagi masyarakat,
bahkan perseteruan TNI dan GAM semakin meningkat, rakyat
diombang-ambing dalam rasa ketidakpastian.
168
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
Pembentukan SIRA
SIRA merupakan suatu organisasi yang dilahirkan secara
bersama dalam kongres mahasiswa dan pemuda Aceh serantau
yang berlangsung pada tanggal 31 Januari sampai 4 Februari 1999
di Gedung Teungku Chik di Tiro Banda Aceh. Kongres ini diikuti
oleh 104 delegasi terdiri dari 386 peserta yang terdiri dari organisasi
mahasiswa di Aceh maupun dari luar Aceh. Kongres tersebut telah
melahirkan dua keputusan yang sangat penting bagi Aceh,
pertama, referendum merupakan satu-satunya cara penyelesaian
akar persoalan Aceh secara adil, damai, dan demokratis. Kedua,
Membentuk Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai
pusat informasi dan lembaga independen yang akan mengorganisasi
perjuangan untuk mendapat hak penentuan nasib sendiri melalui
referendum.
2
Kelahiran SIRA pada awalnya merupakan euforia politik
rakyat Aceh semata-mata akibat perkembangan era reformasi di
Indonesia. Akan tetapi hakikatnya, kelahiran SIRA merupakan
bagi an dari akumul asi kekecewaan rakyat Aceh yang
berkepanjangan yang tidak mendapat respons dari pemerintah
Indonesia secara maksimal dan sungguh-sungguh. Baik pada masa
orde baru maupun setelah kejatuhan Soeharto pada masa reformasi.
Menurut Syarifuddin Tipe, kelahiran SIRA yang diprakarsai
oleh mahasiswa dan pemuda Aceh Serantau awalnya merupakan
upaya tekanan (pressure) politik agar pemerintah Indonesia lebih serius
menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di Aceh. Tuntutan
referendum pada saat itu bukanlah satu-satunya cara untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Aceh, akan tetapi masih
banyak pilihan pilihan lain sebelum sampai kepada referendum,
namun disebabkan pemerintah Indonesia terlalu lambat merespons
segala keinginan atau tuntutan masyarakat Aceh yang berkembang,
di samping jaringan NGO luar negeri yang masuk ke Aceh dalam
wacana konflik, maka tuntutan referendum akhirnya menjadi suatu
169
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
hal yang sangat berkembang sehingga menyebabkan pemerintah
Indonesia menjadi bingung dan kehilangan kepercayaan diri dalam
menangani segala sesuatu berkaitan dengan permasalahan Aceh.
3
Muncul dan Berkembangnya LSM di Aceh
Perubahan politik setelah jatuhnya presiden Soeharto
pada bulan Mei 1998 memberi kesempatan bagi kelompok-
kelompok masyarakat sipil di Aceh untuk mendorong proses
perubahan lebih lanjut. Seiring dengan bergulirnya reformasi di
Indonesia, yang kemudian di ikuti pencabutan status DOM di
Aceh pada tanggal 7 Agustus 1998, maka mulai bermunculan
LSM dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya baik lokal
maupun internasional untuk menangani berbagai masalah pasca
pencabutan DOM. Aceh pasca DOM ibarat sebuah wilayah tak
bertuan karena pemerintah pusat seolah-olah membiarkan dan
meni nggalkan Aceh dal am kondi si terkoyak penuh l uka.
Beberapa pelanggaran yang terjadi semasa DOM dibiarkan berlalu
tanpa upaya penanganan yang semestinya. Kondisi masyarakat
Aceh pasca DOM sangat trauma.
4
Lembaga-lembaga kemanusiaan lokal yang di bentuk oleh
aktivis mahasiswa seperti Peoples Crisis Center dan PEMRAKA,
serta lembaga yang dibentuk oleh aktivis perempuan, seperti
Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPuK), sangat besar
manfaatnya bagi penanggulangan masalah kemanusiaan pasca
DOM dan masa selanjutnya. Selama periode 1999-2001, banyak
pul a l embaga kemanusi aan dan l embaga pembangunan
internasional yang bekerja di Aceh, seperti Medicine Sains Frontier,
Jesuit Refugee Service, Internasional Rescue Committee, UNICEF, WHO,
dan sebagainya.
Perkembangan LSM di Aceh pun semakin subur setelah
Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang dimotori oleh
mahasiswa Aceh mengajukan tuntutan referendum bagi penentuan
170
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
nasib Aceh. Gerakan mahasiswa yang pada awalnya hanya
bermaksud ingin mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat
itu akhirnya semakin besar memberi inspirasi bagi munculnya
berbagai gerakan kemanusiaan lainnya di Aceh.
Peran LSM dalam penyelesaian Konflik
Sebenarnya terdapat lebih dari 300 buah LSM yang
bergerak dalam menangani kasus Aceh, namun tidak semua LSM
masuk dalam satu simpul jaringan LSM yang terorganisir. Banyak
sekali LSM yang ada di Aceh bekerja sendirian. Setidaknya
ada sekitar empat LSM sebagai simpul sebagian besar LSM yang
ada di Aceh, yaitu KKTGA (Kelompok Kerja Transformasi
Gender Aceh), Forum LSM, Suluh Aceh, dan koalisi NGO
HAM.
5
Forum LSM memiliki 78 anggota yang tersebar di hampir
setiap kabupaten di Aceh. Mereka mempunyai agenda yang
dinamis hingga tahun 2004. agenda mereka adalah pemilu yang
damai, memperkuat posisi sipil, penggalian harapan-harapan
masyarakat Aceh ke depan dan mengampanyekan isi CoHA
kepada masyarakat.
Sementara itu koalisi NGO HAM Aceh merupakan salah
satu lembaga advokasi HAM yang bersifat nirlaba, non partisan,
serta memiliki mandat untuk membangun aliansi dengan NGO
regional, nasional maupun internasional. Koalisi NGO HAM
didirikan pada tanggal 7-agustus-1998 oleh 13 LSM dan jaringan
LSM. Ada ti ga i su strategis yang hendak dicapai dengan
dibentuknya koalisi NGO HAM ini yaitu : (1) Bagaimana agar
pemeri ntah dan l embaga mi li ter bertanggung jawab atas
pelanggaran HAM di Aceh; (2) Bagaimana agar terjadi desakan
publik terhadap pemerintah untuk merubah tatanan di Aceh; dan
(3) Bagaimana agar perjuangan HAM di Aceh menjadi agenda
dan concern masyarakat internasional.
6
Hingga saat ini, koalisi
171
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
NGO HAM membawahi sekitar 28 LSM. Dari 28 LSM itu, dua
diantaranya menangani masalah korban konflik dan pembelaan
terhadap kasus Aceh TPKA (tim pembela kasus Aceh). Koalisi
ini pun telah mendirikan 6 buah Pos HAM di 6 kabupaten/kota
yaitu di Kabupaten Pidie, Lhokseumawe, Takengon, Langsa,
Tapaktuan, dan Sigli.
Upaya-upaya HDC dalam penyelesaian konflik Aceh
Sebagai lembaga mediator antara GAM dan pemerintah
RI, telah banyak upaya yang dilakukan oleh HDC dalam rangka
penyelesaian konflik di Aceh. Setelah melakukan assessment
selama bulan Oktober sampai Desember 1999, HDC mulai
merancang program untuk mengurangi intensitas kekerasan dan
menangani akibat-akibat konflik bersenjata itu terhadap penduduk
sipil. Langkah selanjutnya adalah mengundang wakil pemerintah
Indonesia dan pimpinan GAM yang bermarkas di Swedia untuk
berdialog.
Pada Januari 2000 HDC berhasil mengundang wakil
pemerintah dan GAM ke Swiss untuk memulai dialog yang
pertama. Pembicaraan awal tersebut menghasilkan proposal
penyel esai an konflik Aceh secara damai, yang mencakup
kesempatan pengurangan konflik senjata dan penyaluran bantuan
kemanusiaan.
Pada tanggal 12 Mei 2000 hasi l pembi caraan i tu
dituangkan dalam kesepakatan jeda kemanusiaan (humanitarian
pause) yang ditandatangani kedua belah pihak, dan mulai berlaku
secara efektif sejak 2 Juni 2000. dalam kesempatan itu ditetapkan
antara lain pengurangan tindak kekerasan dan kontak senjata di
seluruh Aceh dan penyaluran bantuan kemanusiaan ke Pidie, Aceh
Utara, dan Aceh Timur. Untuk memantau pelaksanaan jeda
kemanusiaan tersebut, dibentuk Tim modalitas keamanan bersama
(TMKB) yang memantau situasi keamanan dan menjadi pelaksana
172
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
penyaluran bantuan kemanusiaan. Kesepakatan ini awalnya hanya
akan berlangsung tiga bulan (hingga September), tetap karena
konflik senjata dan tindak kekerasan dinilai cenderung menurun,
kedua pihak sepakat memperpanjang pemberlakuannya selama
tiga bulan lagi (hingga Januari 2001).
7
Walaupun relatif efektif mengurangi kekerasan, namun
jeda kemanusiaan tidak berhasil menyentuh berbagai persoalan
pokok, seperti pengungkapan kasus-kasus kekerasan dan
pengadilan yang efektif. Masalah sosial ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat juga tidak dapat perhatian. Faktor ketidakterlibatan
pemerintah daerah, kepolisian daerah organisasi masyarakat sipil,
institusi keagama-an dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan
jeda kemanusiaan mengakibatkan jeda kemanusiaan Akhirnya
tidak bisa lagi dipertahankan.
8
Si tuasi yang semaki n membur uk setel ah j eda
kemanusiaan gagal dipertahan-kan, membuat pemerintahan
Abdurrahman Wahid pada tanggal 21 April 2001 mengeluarkan
i nstr uksi presi den No. 4/2001mengenai l angkah-l angkah
komprehensif penanganan masalah Aceh. Selain itu pemerintah
Abdurrahman Wahid juga mengambil kebijakan praktis dengan
memberlakukan otonomi khusus kepada Aceh dengan mengubah
nama Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) melalui UU No. 18/2001.
9
Peran ulama dalam penyelesaian konflik Aceh
Seiring dengan perkembangan kondisi di Aceh, maka posisi
ulama pun dari masa ke masa mengalami pergeseran. Pada masa
perjuangan, ulama bersama rakyat sama-sama berjuang demi
kemerdekaan, setelah merdeka pun sama-sama berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan, diantara mereka seumpama
Teungku Muhammad Daud Bereueh, Teungku Abdullah Ujong
Rimba, Teungku Abdul Wahab Seulimum, mereka selain ulama
173
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
juga politikus yang tidak tunduk pada kepentingan negera semata-
mata, namun lebih mementingkan kepada kepentingan rakyat
kecil. Mereka menjadi tumpuan harapan masyarakat, sifat
kharismatik mereka lebih mencuat kepermukaan dibandingkan
para Ulee Balang.
Memasuki Orde Baru peran ulama pun bergeser dan
termarginalkan. Orde Baru menciptakan ketergantungan ulama
pada penguasa,sehingga ulama diperalat untuk kepentingan politik
penguasa, baik ketika masa kompanye, maupun ketika adanya
acara-acara pemerintahan. Hal-hal demikian mengakibatkan
memudarnya nilai kewibawaan dan karisma ulama. Peran ulama
merosot secara lebih nyata sejak diberlakukannya UU RI No. 5
tahun 1974 tentang tentang pemerintahan dn UU RI No. 5 tahun
1979 tentang pemerintahan desa, karena sistem sentralistik dan
penyeragaman yang kemudian berlaku dalam berbagai lembaga
adat di Aceh.
10
Memasuki era pemberlakuan Darurat Militer di Aceh pada
Mei 2003, secercah harapan akan kembalinya peran ulama di Aceh
tumbuh kembali, namun ulama yang diketahui oleh publik adalah
ulama yang sering datang ke pusat kekuasaan. Namun ulama-
ulama tersebut kurang mendapat simpatik dari masyarakat,
sementara ulama yang dicurigai terpaksa keluar dari Aceh.
11
pada
masa ini juga ulama dihadapkan pada pilihan yang serba salah
ditengah pertentangan dua belah pihak yaitu, RI dan GAM yang
pada masa ini di istilahkan dengan GPK (gerakan pengacau
keamanan). Ulama sering mendapat teror dari kedua belah pihak
yang menyebabkan mereka tidak bebas dalam menangani
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pada masa refor masi peran ul ama lebi h mencuat
kepermukaan, reformasi yang terjadi menjadikan ulama tidak lagi
menjadi diperalat oleh pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dengan
berdirinya HUDA (himpunan ulama dayah) yang bersifat
174
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
independen. Para ulama melakukan pendekatan-pendekatan dalam
meleraikan konflik antara dua pihak yang sedang bertikai, Wujud
kongkrit dapat kita lihat ketika mereka berusaha melakukan
pendekatan dengan Hasan Tiro di Swedia dan melakukan dialog
dengan pemerintah pusat, dalam mencari penyelesaian konflik
Aceh baik pada masa Presiden Habibi,Gusdur,Megawati maupun
pada masa presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Penerapan syariat Islam
Pintu bagi jalan penerapan syariat Islam mulai terbuka
keti ka Habi bi menj adi presi den republ i k Indonesi a. Ia
mengeluarkan Inpres No.44/1999 tentang penyeleng-garaan
Keistimewaan Aceh pada 22 September 1999, Habibi kemudian
menindak lanjuti dengan mengeluarkan Perda No 5 tentang
pelaksanaan Syariat Islam pada tahun 2000, yang didukung pula
dengan pengesahan Undang-undang Otonomi Kusus No.18/2001
yang mengubah Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh
Darussalam di era kepemimpinan Megawati. Sepanjang kurun
waktu 3 tahun setelah digulirnya wacana tentang pelaksanaan
Syariat Islam di Aceh, pendeklarasiannya telah dilakukan lebih
dari sekali. Pertama ketika Abdurrahman Wahid berkunjung pada
19 Desember 2000 bertepatan dengan 1 Muharram dan belakangan
oleh Gubernur Abdullah Puteh bertepatan 1 Muharram.
12
MoU Helsingki
Musibah yang menimpa Aceh pada 24 Desember 2004
menjadi momentum paling bersejarah bagi kelangsungan sejarah
Aceh. Musibah yang telah merengut ratusan ribu nyawa menjadi
pelajaran berharga bagi pihak yang bertikai di Aceh Khususnya
TNI dan GAM. Atas bantuan CMI (Crisis Management Initiative)
yang di ketuai oleh Martti Ahtisaari sebagai mediator perundingan,
maka pada tanggal 15 Agustus 2005 berhasil dicapai suatu
175
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
kesepakatan antara RI dan GAM dengan ditandatanganinya nota
kesepahaman( MoU )di Helsinki. Untuk menjaga perdamaian itu
pada 15 September 2005, dibentuklah satu tim pemantau asing
yaitu AMM (Aceh Monitoring Mission). Berdasarkan MoU Helsinki,
misi itu terdiri atas delegasi Eropa dan negara-negara ASEAN.
13
Tugas AMM itu adalah untuk memantau implementasi hasil
perundingan yang telah ditandatangani di Helsinki, yaitu
pemusnahan semua senjata GAM, pembentukan partai lokal, dan
menyukseskannya jalannya pilsung kepala daerah.
Penutup
Aceh merupakan satu daerah yang dijuluki dengan Daerah
Modal bagi perjuangan bangsa namun dalam perjalanan sejarahnya
, Aceh tidak pernah luput dari berbagai konflik, baik pada masa
Orde Lama, Orde Baru, bahkan setelah masa reformasi pun Aceh
tidak luput dari konflik.
Pada masa reformasi, setelah pencabutan DOM oleh
pemerintah pusat, Aceh mengalami tahapan baru dalam proses
perjuangannya, dimana Aceh tidak lagi tertutup bagi dunia luar,
ini tidak terlepas dari politik GAM dalam mendapatkan dukungan
Masyarakat internasional, Dengan memanfaatkan isu pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh Negara selama pemberlakuan DOM di
Aceh. Dengan masuknya LSM-LSM lokal dan luar, Aceh semakin
diketahui keberadaannya, dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan
oleh Negara semakin terbuka dan bantuan pun mengalir ke Aceh
dari lembaga- lembaga donatur Internasional.
Pada masa reformasi ini elemen pemuda dan mahasiswa
membentuk organisasi SIRA untuk menampung aspirasi rakyat,
sekal i gus sebagai tekanan poli ti k bagi pemeri ntah untuk
memperhatikan keinginan Rakyat Aceh untuk melaksanakan
referendum. Permintaan itu ditolak oleh pusat, karena hal itu dapat
menyebabkan Aceh lepas dari Indonesia, untuk meredam gejolak
176
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
masyarakat pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan keputusan
adanya kebebasan bagi rakyat Aceh untuk melaksanakan Syariat
Islam.
Walaupun DOM telah dicabut, pemerintah juga menggelar
operasi-operasi militer untuk mematahkan perlawanan GAM yang
semakin menguat, namun pada akhirnya mereka sepakat untuk
menyelesaikan masalah melalui meja perundingan yang difasilitasi
oleh HDC. Dari hasil perundingan itu mereka sepakat untuk
melakukan gencatan senjata dengan membentuk CoHa (Komite
Penghentian Permusuhan). Dalam pelaksanaannya komite ini gagal
mencapai perdamaian karena dianggap oleh pemerintah HDC ini
terlalu memihak kepada GAM. Setelah Musibah gempa dan tsunami
pada tahun 2004, peran HDC diganti Oleh CMI (Crisis Management
Initiative). Pada tahun 2005 mereka mencapai suatu kesepakatan
untuk mengakhiri permusuhan dengan menandatangani MoU di
Helsinki, dan ini momentum yang paling bersejarah bagi rakyat Aceh
karena konflik yang mendera Aceh puluhan tahun menemukan titik
terangnya. Semoga perdamaian ini abadi di Aceh. []
Endnotes:
1
Al-Chaidar, Aceh Bersimbah, hal. 213
2
Abdul Rahman patji, Negara & Masyarakat dalam Konflik Aceh, (Jakarta:
LIPI,2004), hal. 94
3
Efendi Hasan, SIRA, Partai Lokal dan Perjuangan Rakyat Aceh, ( Suwa, 6
Maret 2007, No. 08, Thn VI) hal. 8
4
Suwa, 6 Maret 2007, No. 08, Thn VI Suwa, Hal.8
5
Abdul Rahman Patji, Negara & Masyarakat dalam Konflik Aceh, (Jakarta:
LIPI,2004), hal.182
6
Abdul Rahman Patji, Negara & Masyarakat . . ., hal.183
7
http: //www. Koalisi ham. Org / profil koalisi Mei 2004.htm
8
Abdul Rahman Patji, Negara & Masyarakat . . ., hal.186
9
ELSAM, Briefing Paper No.2,30 April 2003,hlm.8.
177
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
10
UU No. 18/2001 tentang otonomi daerah khusus bagi Aceh baru
disahkan pada 9 Agustus 2001 oleh presiden Megawati, tidak lama setelah
mengambil alih pemerintahan dari Abdurrahman Wahid
11
Abdul Rahman Patji, Negara . . . , hal.177
12
Abdul Rahman Patji, Negara & Masyarakat . . ., hal.180
13
J. Anto, Luka Aceh, Duka Pers ( Medan; Kippas, 2002), hal. 135
14
Kontras, No.363, Tahun VII, 14 Desember 2006, Hal. 10
178
Penyel es ai an Konfl i k Aceh Dal am E ra Reformas i
Abdul Hadi
179
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
13
UUPA DAN PERDAMAIAN ACEH
Oleh: Saprijal
Pendahuluan
Sej arah Aceh adal ah rangkai an kisah tentang
kepahlawanan orang Aceh dan kebingungan militer. Keperwiraan
orang Aceh dalam bertempur memang sulit terbantahkan
1
. Bahkan,
hingga pada detik-detik pergolakan Aceh pra perdamaian. Catatan-
catatan komandan perang di Aceh menunjukkan betapa mereka
memuji ketangguhan tentara Aceh. Dibanding dengan perang Jawa
atau yang lebih dikenal dengan perang Diponegoro (1825-1830),
sejarah tak pernah mencatat adanya Jenderal Belanda yang tewas.
Berbeda jauh dengan sejarah perang Aceh, perlawanan rakyat di
sana menorehkan catatan bahwa empat Jenderalnya pun ikut tewas.
Dengan berlatarbelakang sejarah inilah dapat dipahami,
bahwa rakyat Aceh memiliki semangat juang yang tinggi dalam
mempertahankan martabat dan kedaul atan wi l ayahnya.
Pergolakan Aceh dalam lintasan sejarah seperti adanya perselisihan
180
UUPA dan Perdamai an Aceh
Saprijal
yang terjadi antara pemerintah RI dan GAM adalah merupakan
cerminan ketidakpuasan rakyat Aceh terhadap situasi dan kondisi
yang semakin hari semakin memburuk baik dari segi politik,
ekonomi dan lain sebagainya.
Sejarah panj ang pergol akan tersebut menunjukkan
resistensi terhadap dominasi kekuasaan pemerintah pusat yang
sewenang-wenang, serta perjuangan menegakkan martabat dan
kedaulatan seakan telah menjadi tradisi dan built in dalam karakter
rakyat Aceh. Kemunculan Gerakan Aceh Merdeka yang menjadi
kunci dalam pergolakan politik bersenjata di Aceh, kiranya
merupakan kebangkitan kembali tradisi resistensi tersebut.
Pergolakan-pergolakan tersebut terus memanas. Banyak
masyarakat yang menjadi korban ketika pemberlakuan DOM
(Daerah Operasi Militer) yang berlangsung pada tahun 1989
sampai 1998. Pergolakan tersebut mulai mereda setelah banyak
menempuh kesepakatan-kesepakatan, dan yang terakhir ditandai
dengan kesepakatan damai yang dilakukan di Helsinki, Finlandia
yang kemudian membuahkan hasil pada terciptanya UUPA yang
dinilai bisa lebih demokratis.
Lahirnya UUPA yang berimplikasi pada Perdamaian
Aceh merupakan daerah yang sarat dengan tradi si
pergol akan dan kekerasan yang mer upakan dampak dari
serangkaian proses sejarah yang panjang yang dialami masyarakat
agraris di ujung utara Pulau Sumatera itu sehingga membekas ke
dalam Social Memory
2
.
Kesepakatan perdamaian antara pemerintah RI dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki,
Finlandia pada 15 Agustus 2005 hampir berusia dua tahun. Banyak
kemajuan telah dicapai oleh kedua belah pihak. Proses demiliterasi
dan politik telah dikuasai secara baik. Pilkada yang demokratis telah
melahirkan pemerintah yang baru yang didukung oleh masyarakat.
181
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Hal ini berbeda dengan keadaan Aceh pra perdamaian.
Ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi yang makin menurun
secara sosial, ekonomi dan moral, mendorong beberapa kalangan
masyarakat untuk menegakkan kembali cita-cita Aceh masa lalu
sebagai bangsa yang makmur, berdaulat dan Islami. Diantaranya
dengan perjuangan mendirikan negara Aceh berdiri sendiri lepas
dari pemerintah Indonesia
3
.
Lintas historis yang sangat tragis tersebut kiranya menjadi
pelajaran dan renungan atas semua pengalaman historis seluruh
rakyat Aceh untuk mengambil sikap arif dan bijaksana dalam
menyelesaikan kasus Aceh, dan juga bagaimana caranya dalam
konteks ber Integrasi kembali dengan RI yang tetap mempunyai
tradisi klasik dalam pelanggaran HAM dan prilaku ketidakadilan
4
.
Dalam perjalanannya, perdamaian bukan hanya diiringi
cerita-cerita kesuksesan, tetapi juga tidak lepas dari berbagai
persoalan. Lingkaran persoalan yang muncul saat ini bukan hanya
berada dalam wilayah politik, bahkan telah meluas menjadi
persoalan-persoalan keamanan dalam pengertian yang luas.
Di bidang politik, dapat dilihat banyak kemajuan telah
diraih, khususnya setelah UU No. 11 Tahun 2006, tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) disahkan oleh DPR-RI dan
Pemerintah Indonesia. Pengesahan UUPA tersebut mempertegas
ikatan komitmen kedua pihak (RI dan GAM) beserta seluruh
kekuatan politik yang ada di Jakarta dan Aceh untuk mematuhi
aturan-aturan tersebut secara ikhlas dan terbuka. Salah satu bukti
kongkrit dari pelaksanaan UUPA adalah pemilihan kepala
pemerintah Aceh yang hingga hari ini sedang bekerja untuk
menyelesaikan apa yang telah mereka ucapkan dan terima dari
rakyat pada tanggal 11 Desember 2006 lalu.
Sejauh ini dipandang masih perlu memberi waktu kepada
pemerintah Aceh supaya bisa bekerja mewujudkannya. Karena
182
UUPA dan Perdamai an Aceh
Saprijal
disamping persoalan pemerintahan, UUPA juga mengamanatkan
kewenangan-kewenangan lain kepada pemerintah Aceh. Dalam
hal ini terlihat bahwa UU tersebut belum bisa berfungsi maksimal
karena belum adanya aturan-aturan pelaksana yang dapat digunakan
sebagai payung hukum pel aksanaan kewenangan Aceh
sebagaimana termaktub dalam UUPA.
Aturan-aturan pelaksana dalam hal penerapan UUPA yang
dibuat di Aceh dan Jakarta, sejauh ini masih ada peraturan
pemerintah (PP) yang belum diselesaikan oleh pemerintah RI.
Seharusnya pemerintah RI mempercepat penyelesaian PP yang
dibutuhkan supaya UUPA bisa segera efektif diberlakukan di
Aceh.
Apabila pemerintah terus menunda-nunda dalam hal
penyusunan PP yang bi sa mereduksi kewenangan Aceh,
dikhawatirkan akan muncul ketidakpercayaan politik (Political
distust) dari masyarakat Aceh kepada pemerintah RI. Demikian
j uga hal nya dengan Qanun-qanun yang semestinya perl u
diselesaikan oleh DPR Aceh untuk menjalankan UUPA, tetapi
saat ini juga belum siap
5
.
Tampaknya DPRA dan DPRK sel ur uh Aceh perlu
mempercepat langkah menyusun Qanun-qanun agar mengelola
transisi politik dan perdamaian di Aceh berjalan seperti yang
diharapkan. Paling tidak ada sepuluh Qanun substansi yang harus
segara dibuat oleh DPRA dalam hal pengimplementasian UUPA
supaya bisa berjalan dengan baik. Pada intinya kita melihat bahwa
UUPA tidak bisa dilaksanakan kalau pemerintah RI tidak memiliki
niat tulus untuk membantu percepatan pelaksanannya. Juga jika
DPRA tidak mendukungnya dengan membuat qanun-qanun
substansi yang dibutuhkan.
Beberapa insiden yang terjadi di lapangan yang melibatkan
masyarakat, anggota KPA dan TNI cukup membuat masyarakat
183
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
khawatir. Khawatir dikarenakan masyarakat tahu bahwa diktum-
diktum perdamaian tidak bisa bekerja dalam situasi di mana para
pihak bergerak dalam ruang saling mencurigai.
Insiden-insiden di lapangan umumnya diselesaiakan oleh
kedua belah pihak dengan dialog. Insiden Alue Dua, Nisam, Aceh
Utara misalnya telah memecut satu pesan bahwa perdamaian bisa
terus bertahan kalau para pihak TNI, POLRI, KPA dan masyarakat
bisa menahan diri.
Disadari bahwa ada beberapa kesalahan yang dilakukan
oleh para anggota KPA karena keterbatasan pemahaman mereka
terhadap makna perdamaian. Umumnya mereka memahami bahwa
perdamaian berarti tidak ada pergerakan militer yang dilakukan
baik TNI maupun POLRI di lapangan, baik dilakukan secara
terbuka maupun tertutup. Maka ketika mereka melihat celah bahwa
ada gerakan yang menurut mereka mencurigakan, merekapun
melakukan tindakan-tindakan yang melawan hukum, seperti main
hakim sendiri.
Dalam konteks ini perlu diingatkan kepada anggota KPA
supaya tidak melakukan tindakan-tindakan kontra perdamaian dan
mel awan hukum. Seti ap ti ndakan mel awan hukum akan
mengakibatkan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Kalaulah sekiranya anggota KPA menemukan indikasi-
indikasi aneh yang melanggar MOU Helsinki di lapangan, maka
segera melapor atau berkordinasi dengan pimpinan atau pihak
terkait lainnya yang tidak perlu dikaitkan disini.
Selain persoal an poli ti k dan keamanan, persoalan-
persoalan pemerintah harus dapat dikaji. Dengan kata lain,
praktik-praktik pemerintahan disemua level tetap mengedapankan
kepentingan masyarakat. Lembaga pemerintahan seperti eksekutif
dan legislatif tetap menjaga hubungan harmonis dan tidak
melakukan manuver-manuver politik dengan saling menyudutkan
184
UUPA dan Perdamai an Aceh
Saprijal
satu sama lain yang bisa merugikan masyarakat. Misalnya,
persoalan pemutasian, promosi dan perampingan badan-badan
pemerintahan diharapkan bisa dilakukan dengan bijak dan arif
sehingga tidak muncul instabilitas pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah.
Kepentingan politik dan kelompok harus diletakkan
dibawah kepentingan masyarakat sehingga pemutasian, promosi
dan perampingan badan-badan lembaga pemerintahan tidak
dikesankan demi kepentingan kelompok, tetapi harus didasarkan
pada kebutuhan dan keprofesionalitas. Walaupun menyadari
sepenuhnya bahwa hal ini merupakan kewenangan mutlak
pemerintah, tetapi hubungan harmonis dengan semua pihak
haruslah tetap di jaga. Dengan demikian, masyarakat bisa
merasakan per ubahan di era perdamai an ini , tanpa perlu
disibukkan dengan pertikaian dan konflik antarelit dan lembaga
politik.
UUPA Memberi Tantangan Baru
6
Secara bul at sel ur uh fraksi DPR dan pemeri ntah
menyetujui Rancangan Undang-undang mengenai pemerintahan
Aceh disahkan menjadi undang-undang. Ini menandai babak baru
otonomi daerah, sekaligus memberi tantangan bagi seluruh elemen
di Aceh untuk menggunakannya sebagai instrumen menciptakan
kesejahteraan dan keadilan.
Rapat paripurna DPR yang dipimpin ketua DPR Agung
Laksono mengagendakan penyampaian pendapat akhir sepuluh
fraksi DPR dan pemerintah atas RUU. PemerWakil pemerintah
adal ah menteri Dal am Negeri Moh Mar uf dan Menteri
Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil.
Sejumlah kekhususan termuat dalam Undang-undang ini.
Syariat Islam yang diberlakukan sesuai tradisi dan norma yang
hidup di Aceh. Sumber daya minyak dan gas dikelola bersama
185
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
oleh pemerintah pusat dan Aceh. UU yang memungkinkan
hadirnya partai politik lokal dan calon perorangan juga bisa muncul
dalam sekali pemilihan kepala daerah di Aceh.
Suasana meriah menyertai rapat paripurna DPR, ditandai
dengan penuh sesaknya balkon ruang rapat paripurna di gedung
Nusantara II, terutama oleh elemen masyarakat Aceh. Di DPR
tampak pejabat Gubernur Mustafa Abu Bakar, Kapolda NAD
Bri gj end Bahr umsyah Kasman, anggota DPRD, Maj l i s
Permusyawaratan Ulama (MPU), Majlis Adat Aceh, serta unsur
organisasi masyarakat sipil. Setiap juru bicara fraksi menyatakan
persetujuan, tepuk tangan meriah terdengar, seperti biasa,
suasana meriah itu justru kontras dengan tingkat kehadiran
anggota DPR. Dari 279 anggota yang menandatangani daftar
hadir di awal rapat, hanya 160 yang bertahan sampai akhir sidang.
Menteri Dalam Negeri Moh Maruf menyatakan, RUU
yang disepakati diharapkan dapat menjadi tonggak baru otonomi
daerah di Aceh. Tujuannya adalah terciptanya demokrasi dan
pencapaian kesejahteraan.
Jurubicara Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi
Rapiuddin Hamarung (Sulawesi Selatan II) dan Ahmad Farhan
Hamid (Fraksi Partai Amanat Nasional Aceh II) menyatakan UU
itu memberikan terobosan pelaksanaan otonomi daerah. Ini
diharapkan bisa menjadi model daerah khusus. Namun Sutradara
Ginting (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Banten
I) meminta UU tidak dijadikan kambing hitam, jika pelaksanaannya
kelak tidak menghasilkan kesejahteraan.
Sedangkan Nasir Jamil (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Aceh I) dan Zainal Abidin Husein (Fraksi Partai Bintang Reformasi,
Aceh II) dan Saifullah Mashum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jatim
V) menyatakan implementasi RUU menjadi tanggung jawab
bersama pemerintah pusat, daerah dan rakyat Aceh.
186
UUPA dan Perdamai an Aceh
Saprijal
Sementara, ketua Panitia Khusus RUU Ferry Mursyidan
Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II) menyebutkan, UU
yang dihasilkan memang tidak sempurna karena tidak dibuat untuk
memuaskan pihak tertentu.
Diluar kesepakatan bulat yang dicapai, juru bicara Fraksi
Partai Damai Sejahtera Carol D Kadang mengingatkan soal judul
UU yang tidak lazim dan mengesankan adanya pemerintahan
sendiri di Aceh. Anggota DPR Eva Kusuma Sundari (Fraksi Partai
Demokrat Indonesia Perjuangan, Jatim V) juga mengingatkan soal
belum terakomodirnya keterwakilan perempuan dan pidana Islam
di Qanun ( peraturan daerah ) yang merugikan perempuan.
Pejabat Gubernur Mustafa Abu Bakar merasa terharu
dengan proses persetujuan yang mulus. Ini merupakan hadiah besar
dan tak ternilai bagi Aceh dan karenanya Aceh berhutang budi
kepada bangsa Indonesia. RUU ini dihasilkan lewat proses
demokratis, walaupun hasilnya tidak sama persis dengan aspirasi
rakyat Aceh. Bagi mereka yang tidak puas tempuh mekanisme
yang ada. Jika GAM belum puas, sampaikan ke Aceh Monitoring
Mission, tambah wakil ketua DPRD Provinsi NAD Raihan
Iskandar.
Sementara itu Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) dan
Jaringan Perempuan untuk Kebijakan di NAD (JPuK) kemarin
menyatakan kekecewaan atas sejumlah pasal, seperti pembagian
kewenangan, keterwakilan perempuan, pengadilan HAM, dan
pengelolaan minyak gas. Komisi untuk orang hilang dan korban
tindak kekerasan (kontras) juga menilai UU belum menjamin
penanganan pelanggaran HAM masa lalu.
Lantas, bagaimana Komentar AMM?
Juru bicara AMM Faye Belnis mengatakan bahwa Aceh
Monitoring Mission (AMM) menyambut baik kesepakatan DPR
dan pemerintah mengesahkan RUU PA. Prosedur legislatif yang
187
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dibentuk serta proses perumusan UUPA berj al an secara
demokrati s. Ini mer upakan el emen kunci dal am proses
perdamai an di Aceh menyusul penandatanganan nota
kesepakatan pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki pada
Agustus 2005 lalu. Menurut Faye, AMM kini telah mempelajari
isi UUPA, berdasar prinsip-prinsip dalam MuO Helsinki. AMM
akan melakukan konsultasi dengan pihak-pihak yang terlibat
dalam MuO Helsinki guna mempertimbangkan pandangan
mereka. AMM berharap kerja sama untuk membangun aceh
dilanjutkan dalam implementasi UU
7
.
Di Aceh sendiri, sebagian warga berharap RUU PA bisa
membawa perdamaian abadi di Aceh. Kalaupun ada penolakan
dari sejumlah kalangan,termasuk dari GAM diharapkan dilakukan
dengan cara-cara damai dan tidak lagi memicu terjadinya konflik
baru. Perbedaan sikap, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme
hukum yang ada.
Pilkada diharapkan menjadi kunci perdamaian abadi di
Aceh
Nota kesepakatan damai (MuO) Helsinki yang mengakhiri
konflik politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah
Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dinilai
banyak pihak dapat dijadikan contoh bagi perdamaian dunia
Internasional. Keberhasilan penandatanganan MuO Helsinki dan
pelaksanaan perdamaian dalam satu tahun terakhir di Provinsi
NAD merupakan suatu contoh baik bagi dunia Internasional yang
berniat menciptakan suasana damai, terutama terkait dengan
banyaknya perdamaian dunia yang gagal beberapa waktu terakhir
8
.
Mediator hingga melahirkan nota kesepahaman antara
Pemerintah RI- GAM yang juga mantan presiden Finlandia Matti
Ahtisaari, dalam kunjungannya ke Aceh mengatakan ada beberapa
dalil yang harus digunakan dalam mewujudkan kesepakatan damai;
188
UUPA dan Perdamai an Aceh
Saprijal
antara lain keinginan politik, komitmen delegasi dan waktu.
Selain itu, kesuksesan mewujudkan MuO Helsinki dalam
waktu singkat juga karena adanya kebutuhan menyelesaikan
masalah secara cepat, keterkaitan melalui jalur multitrack
dengan organisasi-organisasi lainnya yang memberikan kontribusi
berharga untuk perdamaian dan adanya Aceh Monitoring
Mission(AMM).
Pemerintah Indonesia dan GAM, memiliki komitmen
politik yang sangat serius untuk mewujudkan perdamaian di Aceh.
Kesepakatan damai bukanlah akhir tapi awal perdamaian.
Komitmen dari kedua belah pihak adalah kuncinya, sedangkan
fasilitator luar hanya membantu. Oleh karena itu, penting bagi
kedua bel ah pi hak untuk menghargai dan menghor mati
kesepakatan yang telah dibuat.
Sejarah mencatat bahwa selama hampir tiga abad rakyat
Aceh tel ah banyak menderi ta aki bat keti dakstabi lan dan
kenyamanan di wilayahnya. Banyak keluarga kehilangan sanak
saudara, rumah dan harta benda, karena pertikaian yang berlangsung
di beberapa wilayah Propinsi tersebut.
Musibah Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember
2004 yang telah menambah bencana bagi rakyat Aceh dan pada
saat yang bersamaan telah menumbuhkan rasa solidaritas dari
seluruh rakyat Indonesia untuk membangun kembali Aceh dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nota kesepakatan yang ditandatangani di Helsinki pada
15 Agustus 2005 telah menciptakan babak baru dalam sejarah Aceh
ke arah perdamaian yang membawa keadilan, kemakmuran serta
martabat. Kedamaian Aceh kini mulai dirasakan masyarakat
Provinsi ujung paling Barat di Indonesia.
Perdamaian abadi membutuhkan kepemimpinan politik
masyarakat Aceh guna mendorong lahirnya kemampuan untuk
189
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
bergotong royong dalam format politik Aceh yang baru. Rakyat
Aceh saat ini sudah dapat bercerita kepada dunia bahwa mereka
telah berhasil menyelesaikan pertikaian yang berlangsung selama
30 tahun.[]
Endnotes:
1
Zulfikar Salahuddin, dkk, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh
mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 2000), hal. V
2
Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998), hal. 3.
3
Dyah Rahmany Rumoh Geudong; Tanda Luka Orang Aceh, (Jakarta:
Cardova, 2001), hal. 7
4
Abu Jihad, Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh, (Jakarta, t.tp), hal. 5.
5
Ibrahim KBS, Mengelola Transisi Perdamaiaan, (Opini Serambi
Indonesia; Jumat, 8 Juni 2007)
6
Harian Kompas, Edisi Rabu; 12 Juli 2006.
7
Harian Kompas, Edisi Senin; 28 Agustus 2006
8
Saidulkarnain Ishak, Tempatkan Aceh Jadi Contoh Internasional, Pilkada
Jadi Kunci Terciptanya Perdamaian Abadi di Aceh, (Harian Suara Karya; Senin,
28 Agustus 2006).
190
UUPA dan Perdamai an Aceh
Saprijal
191
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
14
PERDAMAIAN DAN UNDANG-UNDANG
PEMERINTAHAN ACEH
Oleh: Makmun
Pendahuluan
Perjanjian Damai yang di tandatangani tgl 15 Agustus 2005
di Helsinki Firlandia antara pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ), mer upakan ti ti k awal
terciptanya damai untuk menuju masa depan Aceh yang sejahtera
setelah pergolakan di aceh selama tiga dekade. Tentunya perjanjian
ini tidak terlepas dari sikap bijak, arif dan baik. dari pemerintah
RI maupun Gerakan Aceh Merdeka untuk mengakhiri konflik
berkepanjangan yang meruntuhkan sendi-sendi ekonomi, adat,
budaya serta menaburkan trauma bagi banyak orang.
Dengan adanya Memorandum of Understanding ( MOU )
yang di tandatangani Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka telah mengharuskan kedua belah pihak ( Pemerintah
RI dan GAM ) untuk saling menjaga, menghor mati dan
192
Perdamai an dan Undang- undang Pemeri ntahan Aceh
Makmun
mengimplementasikan butir butir nota kesepahaman damai (
MoU ) secara konsekwen dan bertanggung jawab, sehingga dapat
melestarikan perdamaian sepanjang masa yang telah lama
didambakan masyarakat di Aceh.
Dalam upaya menjaga kedamaian serta mewujudkan
seluruh isi nota kesepahaman damai, Pemerintah RI dan GAM
secara bijaksana dan tulus ikhlas bersepakat untuk menghadirkan
lembaga yang memantau pelaksanaan komitmen damai tersebut
yaitu Aceh Monitoring Mission ( AMM ), keberadaan AMM di
Aceh juga merupakan kesepakatan hasil MoU di Helsinki dengan
salah satu agenda kerjanya adalah pembaharuan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh
Undang-Undang Pemerintah Aceh merupakan hasil usaha
dari kerja keras dan itikad baik antara Pemerintah RI Pusat,
Pemerintah Aceh, DPR Pusat dan DPR Daerah serta elemen-
elemen masyarakat Aceh dengan harapan bisa menciptakan aceh
Baru, yang damai, sejahtera, adil dan makmur sehingga menjadi
solusi dalam membangun Aceh dan sebagai kunci penting
terhadap perjalanan Aceh ke depan dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Disahkannya Undang-Undang
pemerintahan Aceh pada tanggal 1 Agustus 2006 di Jakarta
merupakan tonggak sejarah sebagi tahap awal dalam usaha
menciptakan bumi Syariat Islam ini menjadi damai, tentram dan
bermartabat.
Perdamaian Aceh
Peristiwa Gempa dan Tsunami yang terjadi pada tanggal
26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias
banyak memakan korban harta dan jiwa yang tidak dapat
dilupakan dalam sejarah kehidupan manusia terutama masyarakat
Aceh. Bencana ini telah melahirkan penderitaan dan kesedihan
bagi Masyarakat Aceh khususnya dan manusia pada umumnya.
193
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Sudah jatuh ditimpa tangga, demikianlah kata yang dapat
diberikan untuk menggambarkan Masyarakat Aceh pada waktu
terjadi bencana gempa dan tsunami. Konflik yang terjadi di Aceh
dalam waktu yang cukup l ama, ki ranya telah melahi rkan
penderitaan dan trauma yang mendalam bagi masyarakat Aceh.
Bagaimanapun juga konflik telah menciptakan ketakutan,
kegelisahan dan telah meruntuhkan banyak sendi-sendi kehidupan,
belumlah selesai penderitaan akibat konfli k, datang pula
penderi taan bar u ber upa bencana gempa dan tsunami .
Demikianlah penderitaan yang dirasakan masyarakat Aceh.
Seiring dengan musibah yang telah meluluh lantakkan
Aceh, simpati dan empati dunia mengalir deras untuk Aceh baik
dari lembaga donor, Lembaga Swadaya Masyarakat dari dalam
maupun luar negeri atau lembaga yang bernaung di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Mereka datang ke Aceh dengan
satu tuj uan yakni atas rasa sol i dari tas, kepri hati nan dan
kemanusiaan, ingin membangun kembali kehidupan rakyat Aceh
ke posisi normal baik dari sisi manusianya, maupun dari sisi
infrastrukrur dan suprastruktur.
Dalam proses memberi bantuan para donor asing maupun
lokal, LSM asing maupun lokal menghendaki ada suasana yang
kondusif untuk memudahkan proses pemberian bantuan,
termasuk juga proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca
bencana tsunami.
Dengan melihat kenyataan ini pemerintah menyadari perlu
adanya melakukan berbagai upaya untuk bisa mendekati jajaran
elit GAM, mengajak sekaligus mengimbau untuk meredam
ketegangan di Aceh, sekaligus ingin mengakhiri konflik di tanah
Rencong. Upaya ini disambut positif oleh GAM yang juga sangat
empati atas musibah yang membawa trauma berat bagi rakyat
Aceh. Akhirnya lembaga Crisis Management Initiative (CMI)
yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari berhasil mempasilitator kedua
194
Perdamai an dan Undang- undang Pemeri ntahan Aceh
Makmun
pihak yakni RI-GAM untuk masuk ke meja perundingan. Kedua
belah pihak sepakat untuk mewujudkan perdamaian di Aceh
setelah konflik yang bekepenjangan dan tsunami yang telah
meluluh lantakkan Aceh.
Disatu sisi musibah gempa dan tsunami telah membawa
kesedihan dan penderitaan bagi rakyat Aceh dan peristiwa ini akan
diingat sepanjang masa, tapi pada sisi lain dibalik kesedihan dan
penderitaan ada secercah harapan yang tercerahkan bagi Aceh ke
depan yaitu terwujudnya perdamaian antara RI dengan GAM.
Sebab dengan terjadinya gempa dan tsunami perhatian dunia tidak
melihat pada konflik yang terjadi, akan tetapi bagaimana kembali
memulihkan dan membangun Aceh pasca gempa dan tsunami yang
memang di butuhkan masyarakat Aceh, dengan demi ki an
masyarakat dunia pada umumnya dan rakyat Aceh khususnya
mengaharapkan kepada pihak RI dan GAM untuk bersama-sama
membangun kembali Aceh. kenyataan inilah yang menjadikan tidak
ada pilihan lain baik dari pemerintah RI maupun GAM kecuali
mengakhiri segala bentuk konflik dan melakukan kesepakatan
untuk berdamai.
Perundingan demi perundingan terus dilakukan. Untuk
pertama kalinya pertemuan informal berlansung pada tanggal
28-29 januari 2005 di Helsinki, Indonesia mengirim 10 juru
rundingnya yang dipimpin oleh Menkumham Hamid Awaluddin,
Menkoinfo Sopyan Jalil serta penasehat delegasi Menkopolhukam
Widodo AS dan dari pihak GAM diwakili oleh lima orang yang
dipimpin oleh Malik Mahmud, Zaini Abdullah (Ketua Delegasi),
Bakhtiar Abdullah (juru bicara), M. Nur Juli dan Nurdin Abdul
Rahman. Pada pertemuan pertama ini antara Martti Ahtisaari
dan masing-masing pihak tidak bertemu secara langsung
Selanjutnya pertemuan kedua terjadi pada tanggal 2-3
Februari 2005 dengan dimediator oleh Martti Ahtisaari kedua
pihak bertemu secara langsung. Anggota dari pihak RI tetap dan
195
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dari GAM sebagai juru rundingnya diangkat Damien Kingsbury.
Pada pertemuan kedua ini kedua belah pihak menemukan titik-
titik kesepakatan untuk gencatan senjata.
1
Pertemuan ketiga pada tanggal 12 April 2005 mencatat
sejarah baru, ketika delegasi RI dan GAM bertemu satu meja tanpa
dimediasi staff CMI, dalam pertemuan itu dicapai frame pedoman
kesepahaman yang kelak menj adi draff Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki
2
Pertemuan Putaran keempatkembali terjadi pada tanggal
26-31 Mei 2006 di Vanta, lokasi yang sama pada pertemuan
sebelumnya. menjelang perundingan keempat ini, pada tanggal
16 Mei 2005 digelar konsultasi antara Presiden dan Pimpinan
DPR di Gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Dalam agendanya
disepakati beberapa masalah antara lain, Perubahan status
darurat sipil di Aceh berubah menjadi status tertib sipil, perlu
adanya kerangka batas waktu dalam menyelesaikan konflik Aceh,
tentang otonomi khusus, dan penyelesaian konflik di Aceh harus
dalam kerangka NKRI.
3
Selanjut pertemuan kelima pada tanggal 14 Juli 2005 kedua
belah pihak telah banyak menghasilkan kesepahaman dan
kemajuan dari hasil-hasil pertemuan pertama hingga pertemuan
keempat antara lain, reintegrasi anggota GAM, nama Aceh, Sistem
pemerintahan, amnesti, politik dan pembenahan ekonomi.
Pada pertemuan kelima ini wakil Presiden RI Muhammad
Yusuf Kal l a menyatakan buti r-butir kesepahaman antara
RI_GAM telah mencapai 90%. GAM juga sudah sepakat atas
sebagian bentuk pemerintahan sendiri dalam naungan NKRI, dan
tidak lagi menuntut kemerdekaan Aceh, hal ini juga seperti yang
dikatakan juru Bicara GAM Bakhtiar Abdullah bahwa Pimpinan
GAM di Swedia memutuskan menerima Aceh tetap menjadi
bagian dari Indonesia.
4
196
Perdamai an dan Undang- undang Pemeri ntahan Aceh
Makmun
Demikianlah dari lima kali putaran pertemuan yang cukup
alot dan melelahkan baik bagi pihak RI maupun GAM, serta
harapan masyarakat Aceh yang selalu mengikuti perkembangan
hasil-hasil perundingan, dengan dukungan doa, aspirasi, statemen-
statemen dan lain-lain, akhirnya membuahkan hasil yaitu berupa
kesepakatan damai antara RI dan GAM.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, kesepakatan damai tersebut
ditandatangani, bertempat di Balai Pertemuan Finlandia atau
Smolna The Govermant Bunked Hall, Helsinki Finlandia terletak
200 meter dari Istana Presiden Finlandia. Sekitar jam 16:00 WIB
atau pukul 12: 00 waktu Hel sinki, Naskah MoU Helsi nki
ditandatangani oleh ketua delegasi. pihak RI oleh Hamid
Awaluddin dan ketua delegasi GAM Malik Mahmud al- Haytar.
Dengan itu sejarah baru telah lahir bagi Aceh yaitu perdamaian.
Adalah wajar di saat perjanjian ini ditandatangani, seluruh lapisan
masyarakat aceh khususnya dan dunia pada umumnya memberi
ucapan selamat dan i kut gembi ra. Beberapa tokoh dunia
menyatakan kegembiraannya dan begitu juga para pemburu berita
dengan tinta emasnya menulis berita tentang perdamaian di Bumi
Serambi Makkah.
Setelah MoU di Helsinki ditandatangani, dalam upaya
menjaga serta melestarikan perdamaian di Aceh, dipandang perlu
langkah-langkah kongkrit untuk mempertahankan perdamaian
tersebut, Pemerintah RI, GAM dan CMI memutuskan untuk
membentuk lembaga yang mengawasi implementasi dari butir-butir
MoU. Yaitu Aceh Monitoring Mission (AMM) yang anggotanya
terdiri dari tiga elemen yaitu pihak Asing Uni Eropa dn Asean
pemerintah RI dan GAM. Sebagai Ketua AMM adalah Pieter Feith,
perwira tinngi Belanda.
Secara garis besar ada empat tugas yng diemban AMM yaitu,
proses dimobilisasi GAM, decomisioning atau penghancuran
197
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
senjata, relokasi pasukan non organik TNI/Polri dari Aceh, serta
memantau perubahan undang-undang pemerintahan Aceh.
5
Undang-Undang Pemerintahan Aceh
Salah satu dari butir nota kesepahaman yang ditandatangani
antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki adalah kesepakatan
antara RI dan GAM tentang penyelenggaraan pemerintahan di
Aceh, undang-undang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh,
batas waktu disahnya Undang-undang baru tentang pemerintahan
di Aceh yang berdasarkan beberapa prinsip seperti yang tercantum
dalam butir MoU Helsinki.
Tahap awal pembentukan peundang-undangan baru bagi
pemerintahn Aceh diawali dengan pembentukan tim penyusun
undang-undang pemerintahan Aceh berdasarkan keputusan
Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 828.29/
269/005 tentang tim penyususun Draft Rancangan Undang-
Undang Republik Indonesia tentang Penyelenggaraan Pemerntahan
Aceh yang melibatkan tiga perguruan tinggi di Aceh yaitu
Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan Universitas
Malikussaleh dengan beranggotakan 200 orang, Tugasnya antara
lain, menyusun draft akademik UU PA, menyusun draft awal,
melakukan diskusi internal, melakukan sosialisai rancangan UU
PA kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik.
Hasil naskah RUU PA dari tiga kampus tersebut dan hasil
draft yang dibuat Tim XVIII DPRD Aceh selanjutnya akan
diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri. Dalam pengawasan
RUU PA yang diserahkan ke Departeman Dalam Negeri dan
membahas tentang butir-butir yang terkandung dalamRUUPAmaka
dibentuklah tim Pansus untuk membahas butir-butir RUU PA
tersebut. sebagai ketuanya terpilih Ferry Mursyidan Baldan yang
juga masih berdarah Aceh.
198
Perdamai an dan Undang- undang Pemeri ntahan Aceh
Makmun
Setelah melalui tahapan pembahasan yang cukup panjang
di DPR RI, mulai dari penyerahan darft undang-undang
pemerintahan Aceh versi rakyat Aceh yang disusun oleh berbagai
kalangan mewakili rakyat Aceh serta adanya beberapa demo yang
menuntut disegarakannya UU PA secepat mungkin maka pada
tanggal 11 juli 2006, Rancangan Undang-Undang Pemerintahan
Aceh resmi disahkan pemerintah menjadi Undang-undang
Pemerintahn Aceh. Selanjutnya setelah disahkan, pada tanggal 13
juli 2005 tepatnya malam Jumat Undang-Undang Pemerintahan
Aceh diserahkan kepada rakyat Aceh dalam suatu acara sederhana
yang dihadiri segenap pimpinan pemerintah dn tokoh masyarakat
dari seluruh propnsinsi NAD, di Anjong Monmata. Naskah UU
PA diserahkan secara berturut-turut oleh mantan Ketua dan Wakil
Pansus RUU PA Kepada Pj Gubernur NAD, Ketua DPRD NAD,
Kapolda NAD, Kepala kejaksaan Tinggi NAD dan Panglima
Kodam Iskandar Muda.
6
Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang disahkan terdiri
dari 273 pasal dan 40 bab.
7
Di antara bab-bab yang cukup menonjol
dan terjadi pro-kontra dalam menanggapinya yaitu, masalah RUU
Partai Politik Lokal, Kewenangan Pemerintahan Aceh, Hak Asasi
Manusia dan Syariat Islam.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan
bahwa Konflik yang terjadi yang terjadi di Aceh sesungguhnya
telah melahirkan penderitaan yang dalam bagi rakyat Aceh dan
penderitaan itu semakin bertambah dengan terjadinya Gempa dan
Gelaombang Tsunami yang meluluh lantakkan Aceh.
Disisi lain saat penderitaan itu menimpa Aceh lahir pula
sejarah baru bagi Aceh yaitu dengan ditandatanganinya MoU
Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 tantara RI dan GAM untuk
menghentikan segala konflik menuju Damai. Dengan adanya MoU
199
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
merupakan titik awal untuk membangun Aceh ke masa depan yang
lebih baik. Dalam upaya melestarikan perdamaian yang abadi
Pemerintah RI dan GAM berusaha menjaganya dengan membentuk
Lembaga Pengawas hasil dari MoU Helsinki yaitu dengan
dibentukya AMM.
Salah satu butir MoU Helsinki adalah tentang pemerintahan
Aceh, untuk mewujudkan penyelenggaran pemerintah Aceh lahirlah
UU PA yang disahkan oleh Pemerintah RI pada tanggal 1 Agustus
2006. dengan disahkan UU PA merupakan jawaban sekaligus
tantangan dalam membangun Aceh kedepan yang kaya dengan
sumber alamnya.[]
Endnotes:
1
Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nangroe Endatu Catatan Seorang
Wakil Rakyat Aceh, (Jakarta, Suara Bebas, 2006), hal. 177
2
Syahrizal Abbas, ed. Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia untuk
AMM, (Banda Aceh, 2006).
3
Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR, Status Aceh Kembali Normal,
Kompas, 17 Mei 2005
4
GAM; Aceh Bagian dari Indonesia, Tempo Interaktif, 11 Juli 2005.
5
Syhrizal Abbas, dkk, Perwakilan Pemerintah, hal 9
6
" UU PA diserahkan Pada Rakyat Aceh, Serambi, 14 Juli 2006.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh
2006, Jakarta, Tamita Utama, 2006, hal.1-139
200
Perdamai an dan Undang- undang Pemeri ntahan Aceh
Makmun
201
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
15
EKSISTENSI GAM, KPA DAN PRA
PASCA MoU HELSINKI DAN
PENETAPAN UUPA
Oleh: Maimun Fuadi
Pendahuluan
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah
undang-undang baru bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai pengganti Undang-Undang Otonami Khusus No. 18 Tahun
2001 dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka, yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki.
Penyetujuan dan pengesahaan Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh menjadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh
oleh DPR berlangsung pada 11 Juli 2006.
1
Dalam sejarahnya, proses berlakunya UUPA di Nanggroe
Aceh Darussalam sebenarnya tidak terlepas dari pada upaya
penyelesaian konflik Aceh yang berkepanjangan. Dalam hal ini,
upaya penyelesaian masalah separatisme di Aceh telah menunjukkan
202
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
kemajuan yang cukup pesat. Penandatanganan Nota Kesepahaman
Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 merupakan babak baru bagi
penyelesaian separatisme di Aceh yang telah berlangsung hampir
30 tahun.
Iktikad baik Pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) dalam menyelesaikan masalah Aceh telah meredam
konflik bersenjata dengan diserahkannya sejumlah persenjataan
milik GAM dan penarikan seluruh pasukan non organik TNI dan
Polri yang difasilitasi oleh Aceh Monitoring Mission (AMM).
2
Selanjutnya dalam proses penyelesaian separatisme di Aceh juga
telah disepakati dalam kerangka NKRI melalui repatriasi mantan
anggota GAM dan penyusunan peraturan perundangan sistem
pemerintahan daerah Aceh. Meskipun organisasi GAM belum
dibubarkan, namun pimpinan GAM tidak akan menghalangi para
mantan anggotanya untuk berkiprah di pemerintahan seperti
menjadi anggota TNI, Polri, Pegawai Negeri Sipil ataupun
berkiprah dalam partai politik baik dalam skala nasional maupun
lokal. Untuk keperluan tersebut, GAM membentuk Komite
Peralihan Aceh (KPA) guna membantu para mantan anggotanya
untuk mendapatkan hak dasar seperti hak memperoleh pekerjaan,
hak memperoleh perlakuan yang sama dengan masyarakat yang
lainnya, atau hak kebebasan berpolitik. Kemudian pada tahun
kedepan, diharapkan kegiatan separatisme semakin tereduksi
dengan ditetapkannya Undang-Undang Pemerintah Aceh yang baru
sesuai dengan kesepakatan Helsinki yang juga dalam isinya
menerima kehadiran parpol lokal dalam sistem pemerintahan di
Aceh.
3
Selama 30 tahun lamanya GAM wujud di Aceh dan
Indonesia, banyak hal yang terjadi dan menjadi liputan sejarah
yang cukup bermakna bagi semua bangsa. Mulai dari sejumlah
kecil kaum ulama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah Aceh
Teungku Hasan Muhammad Tiro telah berhasil mempengaruhi
203
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
fikiran dunia sehingga dunia tahu bahwa di pulau Sumatera ada
satu wilayah dalam negara RI yang bernama Aceh. Lebih jauh dari
itu bangsa-bangsa di dunia hari ini telah mengerti bahwa Aceh
didiskriminasi oleh RI dengan cara yang sangat biadab, suasana
sebegini muncul sangat dalam semenjak masa perang DI/TII
(Darul Islam/Tentera Islam Indonesia) tahun 1953 sampai 1963,
praktik Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989 sampai 1998
dan masa Darurat Militer/Darurat Sipil tahun 2003 sampai 2005.
Walaupun selama terjadinya konflik antara RI dengan GAM
dalam masa lumayan lama itu banyak dan hampir semua orang Aceh
tersiksa, namun ketika perdamaian itu tiba maka hampir semua
orang senang, bergembira dan sepertinya tidak terjadi apa-apa.
Namun demikian beberapa kisah biadap dan tidak
berprikemanusiaan yang pernah terjadi terhadap siapa saja dalam
konteks konflik tersebut tetap menjadi sejarah penting dalam
memori masayarakat Aceh.
Berdasarkan uraian singkat di atas, lebih jauh makalah ini
mencoba melihat dan membahas tentang bagaimana Eksistensi GAM,
KPA dan PRA pasca MoU Helsinki dsn Penetapan UUPA di Nanggroe
Aceh Darussalam sebagai salah satu wadah yang terwujud dalam
Kesatuan Negara Republik Indonesia.
GAM Pasca MoU Helsinki dan Penetapan UUPA
Sebagaimana telah disebutkan dalam makalah sebelumnya,
bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan pertama sekali
oleh Teungku Hasan Muhammad Tiro pada 4 Desember 1976.
Pemberitahuan secara meluas tentang gerakan itu dilakukan di
Glee Alimon (gunung alimun) sebuah tempat bersejarah dalam
pergerakan DI/TII yang dipimpin Teungku Muhammad Daud
Beureueh. Dalam sejarahnya, selama lebih kurang 30 tahun
perjuangannya, gerakan ini secara resmi meletakkan senjata dan
berdamai dengan Republik Indonesia (RI) pada 15 Agusutus 2005
204
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
lebih kurang delapan bulan setelah wilayah Aceh dilanda gempa
bumi besar dan gelombang tsunami dahsyat pada hari Minggu,
26 Desember 2004.
Pada giliran berikutnya, setelah terjadinya perjanjian
Helsinki dan terciptanya Undang-Undang Pemerintahan Aceh,
terdapat sebagian pengamat yang melihat bahwa eksistensi GAM
telah memainkan warna baru dalam menciptakan kondisi damai
di Nanggroe Aceh Darussalam hari ini. Hal ini sebagaimana
terlihat dimana sejak MoU ditandatangani pada 15 Agusutus 2005,
GAM telah mengubah paradigma perjuangannya meninggalkan
tujuan politik untuk memerdekakan Aceh, dan siap mengubah/
mengikuti proses demokratisasi yang berlaku dalam sistem politik
Indonesia.
4
Hal ini sebagaimana juga telihat dalam Nota Kesepahaman
Bersama (MoU Helsinki) dalam masalah Pengaturan Keamanan,
bahwa:
(4.1) Semua aksi kekerasaan antara kedua pihak akan berakhir
selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota
Kesepahaman ini.
(4.2) GAM delakukan demobi li sasi atas semua 3000
pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan
memakai seragam maupun menunjukkan emblem
simbol militer setelah penandatanganan Nota
Kesepahaman ini.
(4.3) GAM melakukan decommissioning semua senjata,
amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para
anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan MISI
Monitori ng ceh (AMM). GAM sepakat untuk
menyerahkan 840 buah senjata.
5
Sebaliknya, pemerintahan RI tidak perlu lagi melakukan
pendekatan keamanan (security approach) untuk merespon gangguan
205
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
KAMTIBMAS yang diakibatkan oleh hadirnya GAM. Kedua
belah pihak telah sepakat menghentikan komplik. GAM bahkan
telah menyerahkan senjatanya untuk dimusnahkan. Pada sisi lain,
sebagai kompensasinya, Pemerintah RI juga menarik Polri dan
TNI non-organiknya dari Aceh selain memberi berbagai konsesi
politik dan ekonomi kepada GAM dan kepada rakyat Aceh pada
umumnya.
Selisih pendekatan atau dalam bahasa sedikit kasar
perpecahan yang pernah terjadi dalam tubuh GAM sendiri
menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam konteks Aceh Damai
hari ini Sebagaimana juga organisasi perjuangan pembebasan
wilayah lain di dunia ini, GAM terjadi beberapa kali perselisihan
dalam tubuh organisasinya semenjak awal sampai selesainya
perdamaian dengan RI. Terlepas dari mana asal muasalnya
persel i si han i tu datang. Sej arah tel ah mencatat bahwa
tersingkirnya kelompok Dr. Husaini (barangkali termasuk Daud
Paneuk, Syahbuddin, M. Yussuf Daud, dll) dari koordinasi
Teungku Hasan yang sama-sama bermukim di Sweden merupakan
satu babak sejarah hitam dalam perjalanan dan perjuangan GAM
masa lalu. Selanjutnya muncul gerakan baru dalam tubuh GAM
sendiri dengan nama MP-GAM yang dikoordinasikan Teuku Don
Zulfahri di Kuala Lumpur Malaysia dalam era reformasi (1998-
2000) menjadi satu sejarah hitam dalam rentetan perjuangan GAM.
6
Begitu pula dengan, Teungku Fauzi Abu Hasbi Geudong
(mantan orang kuat GAM) yang pernah muncul dengan beberapa
bukunya yang menentang kewujudan kepemimpinan Teungku
Hasan Muhammad Tiro menjadi edisi tersendiri perselisihan
dalam tubuh GAM. Semua itu menjadi pengalaman yang amat
berharga baik bagi GAM sendiri maupun kepada seluruh
masyarakat Aceh. Begitu juga, ketika terjadinya penandatangan
MoU di Helsinki, malah jauh sebelumnya, sebahagian tokoh GAM
di luar negeri juga masih memilih berperang sampai merdeka
206
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
ketimbang berdamai dengan Indonesia. Walaupun tokoh-tokoh
yang menetap di Norway, Australia, Sweden dan Malaysia tersebut
tidak membuka perlawanan terhadap induk GAMnya.
7
Walaupun gerakan-gerakan ini berakhir setelah terbunuhnya
Teuku Don Zulfahri di sebuah restoran kawasan Ampang, Kuala
Lumpur dalam tahun 2000, namun kesannya dapat berimbas untuk
masa panjang. Selain itu, akibat dari perpecahan seumpama ini juga,
di satu sisi kewujudan GAM semakin kental kerena tidak ada lagi
perpecahan dari dalam. Selain itu semua komponen dan pendukung
GAM semakin bersatu menghadap Jakarta dengan segala upaya yang
ada. Ketika GAM tidak ada oposisi yang dapat mengugat
perjuangannya dari dalam, maka kewujudan dan hakikat
perjuangannya semakin sempurna dan bersatu dalam ikatan
perjuangan kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan perjuangan
kemerdekaan lain di dunia seperti di Moro (Filipina Selatan),
Palestin, Kashmir, dan perjuangan bangsa Kurdi di Turki yang
mengalami perpecahan dalam tubuh organisasinya sehingga
membawa kepada kegagalan.
8
Lebih jauh lagi, setelah terjadinya perjanjian Helsinki,
kesan terjadi perpecahan ditubuh GAM juga terjadi kembali. Hal
ini sebagaimana terlihat dalam PILKADA baru-baru ini GAM
pendukung Ahmad Human Hamid dan GAM pendukung Irwandi
Yusuf.
9
Perpecahan antara kubu para pemimpin GAM (kaum tua)
di Swedia dengan (kaum muda) kubu yang memang selama konflik
tetap berada di Aceh telah pula menyimpang kesan bahwa
kesiapan GAM dalam menyikapi hasil perjanjian dan UUPA terus
dipertanyakan.
10
Akan tetapi jalannya waktu telah menjawab bahwa
perpecahan itu merupakan suatu arah menuju suatu proses
demokratisasi dalam menyonsong masa depan Aceh Damai.
Penolakkan terhadap perintah tokoh tua GAM agaknya menjadi
207
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
bukti bahwa proses demokrasi dalam tubuh GAM mulai lahir.
Anak-anak muda dari kel ompok l uar i stana tel ah berani
menyatakan Tidak untuk perintah orang-orang yang datang dari
istana. Ini menunjukkan bahwa kultus dan kebanggaan pada
sejarah masa lalu mulai berlaku. Begitu pula dalam melahirkan
konsep partai lokal, anak-anak muda GAM lebih mampu menarik
massa, lebih paham berorganisasi dan peka terhadap arus bawah.
Aksi kolosal pada referendum 1998 menjadi bukti kerja nyata anak
muda GAM.
11
Pada sisi lain, yakin atau tidak yakin, mengakui atau tidak
mengakui, perjuangan GAM telah membawa banyak hasil yang
amat positif bagi kehidupan bangsa.
12
Memang tidak boleh
dinisbikan di sana tentu ada malapetaka akibat perang dalam
waktu lama. Namun demikian, adanya perhatian pemerintah
Indonesia yang mengawal Aceh dari Jakarta terhadap perbaikan
jalan-jalan, jambatan-jambatan, pusat-pusat pemerintahan di Aceh,
pendidikan dan sejumlah infrastruktur lainnya dalam masa 20
tahun terakhir tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan GAM.
Lahirnya UU. No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan
Aceh dan UU. No. 18 Tahun 2001 Tentang Autonomi Khusus
juga sulit dipisahkan dengan perjuangan GAM. Malah selain dua
Undang-undang tersebut di atas, Aceh memerlukan banyak Qanun
untuk menjalankan amanat dua Undang-undang tersebut. Terakhir
Undang-undang paling istimewa dimiliki Aceh sebagai kesan dari
perlawanan GAM adalah UU. No. 11 tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh. Dapat dipastikan tidak satupun wilayah di
Indonesia yang memiliki Undang-undang pemerintahan sendiri
seperti dimiliki Aceh.
Perkenalan Aceh ke peringkat dunia antarabangsa sehingga
ia popular seperti zaman Kerajaan Aceh Darussalam lewat
perlawanan terhadap kezaliman Indonesia menjadi salah satu upaya
208
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
keras GAM dalam perjuangan menuntut kemerdekaannya. Selama
perjuangan GAM nama Aceh kembali popular di Amerika, Eropah,
Afrika, Australia dan hampir seluruh penjuru dunia yang
sebelumnya orang Malaysia saja tidak tahu di mana Aceh dan apa
itu Aceh. Di terimanya sejumlah tokoh GAM tinggal di Sweden
merupakan babak awal kemenagan popularitas Aceh di Eropah.
Terjadinya perbincangan antara GAM dengan RI yang diprakarsai
oleh Hendri Dunant Center (HDC) dalam tahun 2000 menjadi
satu langkah baru bagi dunia antarabangsa untuk lebih mengenal
Aceh secara dekat. Dan perdamaian paling akhir di Helsinki
(Findland) yang diprakarsai mantan Perdana Menteri negara
tersebut Martti Ahtisaari lewat lembaganya Cricis Management
Initiative (CMI) membuat informasi Aceh sangat melonjak di
peringkat antarabangsa.
Terlepas ada pihak yang sangat senang atau tidak senang
dengan pemberl akuan Syari at Isl am di Nanggroe Aceh
Darussalam, sejarah telah mencatat bahwa Aceh mendapatkan
persetujuan pelaksanaan Syariat Islam, salah satunya berkat
perlawanan GAM terhadap RI yang sangat diskriminatif terhadap
Aceh. Ketika RI sulit mengamankan Aceh dari Gerakan Aceh
Merdeka yang berlangsung hampir 30 tahun, maka sebahagian
tokoh Aceh dan Indonesia mencari penyelesaian lain bagi
menenangkan Aceh dengan pemberlakuan Syariat Islam.
Diharapkan dengan cara itu Aceh boleh aman dan GAM mahu
meletakkan senjata karena dalam sejarah perjuangan Aceh selalu
mengutamakan Syariat Islam serta Jakarta tahu bahawa bangsa
Aceh sangat cinta terhadap Islam.
Walau bagaimanapun, perjuangan GAM yang berakhir
dengan usaha kesepakatan damai dengan RI di Helsinki belumlah
menjadi satu keberhasilannya bila diukur dengan lamanya
berperang melawan Indonesia. Sesungguhnya sasaran perjuangan
GAM adalah dapat mendirikan Negara Aceh yang mandiri dan
209
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
lepas dari Indonesia, ketika sasaran ini tidak tercapai maka secara
mudah dapat dikatakan perjuangan itu telah gagal. Namun melihat
keadaan Aceh hari ini tidaklah secara serta merta boleh dikatakan
perjuangan GAM telah gagal kerana mereka sudah merubah sistem
dan pendekatan perjuangan dari memakai senjata kepada memakai
pena (dari perlawanan lewat senjata ke perlawanan lewat jalur
politik).
Sekarang kepakaran beralih tempat dari kepakaran
menembak kepada kepakaran menulis dan berdiplomasi. Yang
menjadi persoalan kepada GAM hari ini adalah; adakah mereka
memiliki pakar-pakar tersebut sehingga dalam suasana damai ini
dapat menggunakan kesempatan untuk mencapai tujuan? Kalau
ada, maka perjuangan asalnya akan terus berlanjut, tetapi kalau
tidak ada, maka kewujudan perjuangannya akan ditelan zaman.
Kerena itu teknik dan mekanisme meluaskan kepakaran bagi
memperolah manfaat sangat diperlukan kalangan GAM, kalau
tidak demikian maka dibimbangi perjuangan panjang yang
memakan waktu 30 tahun dengan korban harta benda dan nyawa
manusia yang tidak terhitungkan akan berakhir sia-sia.
Kemenangan calon pasangan Gubernur, Irwandi-Nazar
yang diperjuangkan kalangan GAM muda merupakan satu
momentum dan peluang yang sangat bermakna untuk mencapai
tujuan. Itu pun kalau mereka dapat memimpin dengan baik dan
dapat memuaskan semua pihak terutama sekali kalangan GAM
sendiri, kalau tidak demikian mereka akan berhadapan dengan
masalah baru yang dapat berakibat fatal bagi perjuangan jangka
panjang GAM. Ada kemungkinan kalau pasangan Irwandi-Nazar
gagal memimpin Aceh lima tahun ke depan, maka GAM secara
organisasi akan terpaksa membuka lahan perang yang kesekian
kalinya sebagai akibat kekecewaan dan kekecewaan sesuatu
golongan.
210
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
Eksistensi KPA Pasca MoU dan Penetapan UUPA
Begitu pula dengan keberadaan KPA di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam juga pada dasarnya tidak terlepas oleh terjadinya
Nota Kesepahaman antara Republik Indonesia dan GAM. Mereka
menegaskan suatu komitmen untuk penyelesaian komplik Aceh
secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi
semua. Dalam perjanjian ini, kedua pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat
diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam
kenegaraan kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia..
13
Lebih jauh, dalam menjawab dan menyahuti isi perjanjian
tersebut, Gerakan Aceh Merdeka secara resmi menyatakan
pembubaran sayap militernya pada hari Selasa 27 Desember 2005
Jam 11.00 Wib. Pembubaran ini dilakukan di kantor GAM, Desa
Lamdingin, Kuta Alam, Banda Aceh. Dalam surat resmi yang
berkop Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang
berpusat di Norsborg, Sweden, Panglima Tentara Neugara Aceh
Muzakkir Manaf, mengeluarkan pernyataan pembubaran militer
mereka.Surat itu berbunyi :
14
Atas nama pasukan GAM, saya mendapat kehormatan
untuk mengumumkan bahwa Tentara Neugara Aceh (TNA)
atau pasukan tempur GAM, sekarang sudah dimobilisasi
atau dibubarkan. Selanjutnya, dalam surat resmi itu juga
disebutkan, Saat ini kami telah menyerahkan seluruh
persenjataan kami, sesuai dengan kesepakatan dalam nota
kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki
pada 15 Agustus 2005. Kami komitmen dalam
melaksanakan MoU dan akan berpegang teguh kepada
semua isinya. Dan TNA sekarang beralih menjadi bagian
masyarakat sipil, guna memperkokoh perdamaian, stabilitas
211
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
dan harmoni di Aceh. Untuk tujuan tersebut, kami telah
membentuk sebuah komite yang bernama KPA (Komite
Peralihan Aceh). Bagian akhir surat itu tertulis, Harapan
kami agar semakin erat kerjasama antara berbagai elemen
masyarakat sipil Aceh, dalam menjamin perdamaian abadi
dan pembangunan di Aceh setelah dilanda oleh konflik
selama tiga dekade dan musibah tsunami setahun lalu.
Terimakasih.
15
Berdasarkan dari apa yang disampaikan oleh Muzakkri
Manaf di atas, maka dapat dipahami bahwa pembentukkan KPA
(Komite Peralihan Aceh) pada dasarnya tidak telepas oleh adanya
suatu komitmen sesuai dengan hasil MoU Helsinki. Lebih jauh,
Pembubaran TNA GAM dan pembacaan statement di kantor
GAM itu juga, dihadiri oleh para petinggi GAM, antara lain,
Bakhtiar Abdullah, Tgk. Usman Lampoh Awe, Nashiruddin,
Munawar Liza Zein, Irwandi Yusuf, Sofyan Dawood, Darwis
Jeunib, Mukhsalmina, dan beberapa personil GAM lainnya. Selain
itu, Deputi AMM Nipat Thonglek dan beberapa staf AMM juga
ikut hadir.
16
Pada sisi lain, pembubaran GAM menjadi KPA pada
dasarnya juga tidak terlepas dari suatu keinginan/bertujuan untuk
mewadahi pada anggota GAM agar tidak tercerai berai serta guna
membantu para mantan anggotanya untuk mendapatkan hak dasar
seperti hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh perlakuan
yang sama dengan masyarakat yang lainnya, atau hak kebebasan
berpolitik.
Hal i ni sebagaimana terlihat dari pernyataan yang
dikemukakan oleh Perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission
(AMM), Irwandi Yusuf, seusai pemusnahan enam senjata mereka
di Blang Padang, Banda Aceh, Rabu, 21 Desember 2005. Irwandi
Yusuf mengemukakan bahwa:
212
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
Kami tidak akan membiarkan mantan prajurit GAM
telantar begitu saja seperti ayam kehilangan induk. Oleh
karena itu, akan dibentuk KPA atau Komite Peralihan
Aceh. Ia juga menambahkan bahwa KPA ini menjadi
wadah peralihan pasukan GAM menjadi warga sipil biasa.
KPA sekaligus memberikan sanksi bila mereka melanggar.
Ke depannya, KPA ini juga bisa diarahkan menjadi partai
politik, tentu saja setelah amandemen UU partai politik.
Ke depan senjata tak bisa lagi jadi jawaban. Yang kini kami
butuhkan adalah alat politik yang baru untuk membentuk
masa depan Aceh, katanya.
17
Untuk keperluan tersebutlah, akhirnya GAM membentuk
Komite Peralihan Aceh (KPA) guna membantu para mantan
anggotanya. Kemudian pada tahun kedepan, diharapkan kegiatan
separatisme semakin tereduksi dengan ditetapkannya Undang-
Undang Pemerintah Aceh yang baru sesuai dengan kesepakatan
Helsinki.
Sehubungan dengan pembentukkan KPA ini, dalam suksesi
kepemimpinan KPA, dalam hal ini GAM masih memakai para
bekas komandan militernya. Hal ini dilakukan sebagaimana
dipaparkan oleh Sofyan Dawood, Karena mereka lebih bisa
mengatur para personel di jajarannya. Dia juga menambahkan,
GAM masih tetap ada dan tidak dibubarkan. Karena kalau GAM
dibubarkan, menurutnya, proses perundingan perdamaian tidak
ada yang mengawasi lagi. Kemudian, Sofyan Dawood mengatakan,
nama GAM akan tetap dipakai dan tidak akan diganti. Yang
penting, kata dia, bukanlah sebuah nama, tapi niat dan tujuan GAM
dalam memelihara proses damai di Aceh.
18
Menurut Sofyan Dawood, juru bicara militer GAM,
Wadah ini sangat berbeda dari sebelumnya. Selain tidak
bersenjata, mereka-mantan prajurit GAM-juga akan berproses
213
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
pelan-pelan menjadi sipil biasa hingga mereka bisa mandiri. Saat
ini yang sangat dibutuhkan oleh mantan prajurit GAM adalah
pendidikan dan keterampilan untuk berdiri sendiri setelah
bertahun-tahun memegang senjata.
19
Pada si si l ai n, pembentukan KPA i ni j uga tel ah
disosialisasikan sebelumnya oleh Muzakkir Manaf dan puluhan
petinggi GAM dengan melakukan pertemuan tertutup di Hotel
Raj awal i Lampul o, Banda Aceh. Dal am per temuan i ni ,
Muzakkir Manaf menjelaskan tentang peralihan dari militer
menjadi sipil. Dia menginstruksikan semua panglima wilayah
mensosialisasikan keputusan pembubaran TNA ke prajurit di
lapangan. Sehingga, setelah pembubaran, tidak ada lagi pihak-
pihak yang bergerak mengatasnamakan TNA atau militer
GAM, Sofyan Dawood juga menambahkan, para panglima
wilayah menyambut baik keputusan yang diambil petinggi
GAM, sebagai komitmen dalam menjalankan butir-butir MoU
kesepahaman damai.
20
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa
pembentukan KPA sebenarnya tidak terlepas dari adanya MoU
Helsinki, yang pada gilirannya GAM secar lembaga merobah dirinya
kepada suatu tujuan untuk mewadahi pada anggota GAM agar
tidak tercerai berai serta guna membantu para mantan anggotanya
untuk mendapatkan hak dasar seperti hak memperoleh pekerjaan,
hak memperoleh perlakuan yang sama dengan masyarakat yang
lainnya, atau hak kebebasan berpolitik.
Wacana PRA (Partai Rakyat Aceh) Pasca Penetapan
UUPA
Pada sisi lain, salah satu tuntutan dari MoU Helsinki
mengenai proses penyelesaian konflik antara RI-GAM adalah
diterimanya kehadiran parpol lokal dalam sistem pemerintahan di
Aceh, dalam hal ini lebih lanjut PRA sebagaimana terlihat dalam
214
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
UUPA pada Bab XI yang memberikan kewenangan kepada
masyarakat Aceh untuk dapat membentuk partai lokal.
21
Dalam sejarahnya, permintaan untuk dapat berpartisipasi
politik (membentuk partai lokal) di Nanggroe Aceh Darusalam
juga sebenarnya di awali oleh adanya isi Nota Kesapahaman antara
Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Mereka menegaskan suatu komitmen untuk penyelesaian komplik
Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat
bagi semua. Dalam hal ini para pihak bertekad untuk menciptakan
kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan
melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam kenagaraan
kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Oleh karena itu,
untuk menyahuti hal tersebut, maka pemerintahan RI dan GAM
menyepakati hal-hal yang di antara lainnya adalah Pemerintahan
RI menyepakati dan akan menfasilitasi pembentukan partai-partai
politik yang berbasis di Aceh dan memenuhi persyaratan
nasional.
22
Lebi h l anjut, untuk menyahuti i si perjanj ian nota
kesepahaman i ni , maka di bentukl ah suatu pansus untuk
membicarakan rancangan undang-undang pemerintahan Aceh. Di
antara keputusan paling penting dalam Pansus RUU Pemerintahan
Aceh adalah perlu adanya parpol lokal dalam khazanah politik di
Aceh.
23
Terlepas dari adanya pro-kontra terhadap keberadaan
parpol lokal dalam RUUPA sebelumnya, lebih jauh keberadaan
parpol lokal telah diakui keberadaannya dengan disahkannya
UUPA di maksud. Oleh karena itu, dalam menyahuti keberadaan
partai lokal dalam UUPA ini, maka telah membuka ruang bagi
masyarakat Aceh untuk bisa lebih luas ikut berpartisipasi dalam
politik untuk membentuk partai-partai lokal di Aceh. Dalam hal
ini, tak ketinggalan pula dengan sebagian besar tokoh-tokoh dan
pengikut Gerakan Aceh Merdeka untuk mendirikan partai yang
215
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
salah satuaya adalah transformasi GAM menjadi partai politik yang
bernama Partai Rakyat Aceh (PRA).
Lebih jauh, Komite Persiapan PRA menggelar kongres
pertama 27 Februari hingga 3 Maret 2007, yang diikuti sekitar
400-an kader partai dari 16 kabupaten/kota. Usai berkongres, KP-
PRA akan dideklarasikan menjadi partai lokal pertama di Aceh.
Selain mendesak pemerintah untuk mengesahkan payung hukum
partai lokal, Thamrin Ananda dalam pidato politiknya mengatakan,
kongres ini bertujuan untuk menentukan program, asas, platform,
dan memilih ketua dan sekretaris jenderal partai definitif. Setelah
berkongres, Partai Rakyat Aceh akan dideklarasikan sebagai partai
lokal pertama di Aceh.
24
Ketua Komite Persiapan PRA, Thamrin
Ananda menyatakan, yang menjadi basis partai tersebut adalah
kalangan masyarakat menengah ke bawah.
25
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa kehadiran
partai lokal dalam kancah perpolitikan di Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan wujud nyata dari komitmen untuk
melaksanakan isi MoU Helsinki dan UUPA yang sekang ini berlaku
di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu partai lokal
yang telah mendeklarasikan pembentukannya adalah PRA (Partai
Rakyat Aceh) yang banyak didominasi oleh para kombatan GAM
dan masyarakat ekonomi mengengah kebawah.
Penutup
Berdasarkan dari hasil pembahasan di atas, maka dapatlah
disimpulkan antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah undang-
undang baru bagi Provinsi Aceh sebagai pengganti Undang-
Undang Otonami Khusus No. 18 Tahun 2001 dan hasil
kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka, yang di kenal dengan MoU Hel si nki .
Penyetujuan dan pengesahaan Rancangan Undang-Undang
216
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
Pemerintahan Aceh menjadi Undang-Undang Pemerintahan
Aceh oleh DPR berlangsung pada 11 Juli 2006.
2. Sejak MoU ditandatangani pada 15 Agusutus 2005, GAM telah
mengubah paradigma perjuangannya meninggalkan tujuan
politik untuk memerdekakan Aceh, dan siap mengubah/
mengikuti proses demokratisasi yang berlaku dalamsistempolitik
Indonesia.
3. Keberadaan KPA di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga
pada dasarnya tidak terlepas oleh terjadinya Nota Kesepahaman
antara Republik Indonesia dan GAM. Mereka menegaskan suatu
komitmen untuk penyelesaian komplik Aceh secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Dalam
perjanjian ini, kedua pihak bertekad untuk menciptakan kondisi
sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui
suatu proses yang demokratis dan adil dalam kenegaraan
kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
4. Kehadiran partai lokal dalam kancah perpolitikan di Nanggroe
Aceh Darussalam merupakan wujud nyata dari komitmen
untuk melaksanakan isi MoU Helsinki dan UUPA yang sekang
ini berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu
partai lokal yang telah mendeklarasikan pembentukannya
adalah PRA (Partai Rakyat Aceh) yang banyak didominasi
ol eh para kombatan GAM dan masyarakat ekonomi
mengengah kebawah.[]
Endnotes:
1
Nasional, Dalam: Lembaran Baru Dua Seteru, Tempo, No. 44/
XXXIV/26 Desember 2005 1 Januari 2006, hal. 124. Lihat juga: http://
id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pemerintahan_Aceh.
2
Simak hasil wawancara khusus Pieter Cornelis Feith dengan Fairus
M. Nur Ibrahim. Dalam Laporan Utama: Bencana Bagi Aceh Jika Tak Ada
Resolusi Konflik, Aceh Magazine. Edisi VI Juni-Juli 2006, hal. 12.
217
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
3
Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang Pemerintahan
Aceh.
4
TSAD (Tim Sosialisasi Aceh Damai) menjawab: MoU Memandu
Transformasi di Aceh, Aceh Megazine. Edisi VII Agusutus-September 2006,
hal. 23.
5
Lihat: Nota Kesepahaman Antara Pemerintah RI dan GAM dalam
Pengaturan Keamanan ayat 4.1., 4.2., 4.3. Atau lihat juga: Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11 Tahun 2006), cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hal. 188.
6
Hasanuddin Yusuf Adan merupakan penasihat konflik bagi World
Bank dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry di Banda Aceh.
Li hat : ht t p: //www. ummahonl i ne. com/i ndex/
modules.php?name=News&file=article&sid=433.
7
Hasanuddin Yusuf Adan, Ibid.
8
Ibid.
9
Laporan Utama: GAM Retak Siapa Untung, Aceh Megazine. Edisi
September-Oktober 2006, hal. 12.
10
Irman Lantipengamat politik, yang menjadi pembicara dalam
seminar Aceh Post Election yang diadakan oleh S Rajaratnam School of
International Studies Singapura. Lihat: http://www.rsi.sg/indonesian/
fokusasia/view/20070306160600/1/.html.
11
Ahmad Ibrahim, Menerobos Tembok Istana, Majalah Aceh Kita (Pinto
Nusantara Pinto Donya), September 2006, hal. 13. Lihat juga: Irwandi Yusuf,
Hubungan Saya dengan Swedia Susah, Aceh Megazine, Edisi Februari 2007, hal.
32-33.
12
Ibid.
13
Lihat: Isi Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005/Nota Kesepahaman
antara Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam hal
Partisipasi Politik.
14
Lihat: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/27/
brk,20051227-71275,id.html.
15
Ibid.
16
Lihat: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/27/
brk,20051227-71275,id.html.
17
Li hat : ht t p: //www. freel i st s. org/archi ves/ppi /12-2005/
msg00555.html.
18
Lihat: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/27/
brk,20051227-71275,id.html.
218
E ks i stens i GAM, KPA dan PRA Pas ca MoU Hel si nki dan Penetapan UUPA
Maimun Fuadi
19
Li hat : ht t p: //www. freel i st s. org/archi ves/ppi /12-2005/
msg00555.html.
20
Li hat : ht t p: //www. acheh-eye. org/a-eye_news_fi l es/a-
eye_news_bahasa/news_item.asp?NewsID=2346.
21
Lebih lanjut lihat: Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11
Tahun 2006), cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 55.
22
Lihat: Isi Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005/Nota Kesepahaman
antara Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam hal
Partisipasi Politik.
23
Malik Ridwan: Jalan Panjang Menuju RUU-PA, Majalah Sumber Post,
April 2006, hal. 4.
24
Lihat: http://www.seketika.com/berita.php?idd=3462.
25
Lihat:http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2007/
02/22/brk,20070222-93993,id.html.
219
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Hasjmy, Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan
Tamaddun Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
A.J. Piekar, Atjeh en de Oorlog met Japan, 1949
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.I, Jakarta, Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996
Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang tertindas: kajian hermeneutik terhadap
karya-karya Hamzah Fansuri, Cet.I, Jakarta, Paramadina,
2001
Abdullah Ali, dkk, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang
Kemerdekaan 1945-1949. tt
Abdullah Taufik, (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta,
1991
Abu Bakar, Said Berjuang Untuk Daerah, Banda Aceh: Yayasan
Nagasakti, 1995
Abu Jihad, Hasan Tiro dan Pergolakan Aceh, Jakarta, t.tp
Aceh Magazine. Edisi VI Juni-Juli 2006, Dalam Laporan Utama:
Bencana Bagi Aceh Jika Tak Ada Resolusi Konflik.
Aceh Megazine, Irwandi Yusuf: Hubungan Saya dengan Swedia Susah,
Edisi Februari 2007.
Aceh Megazine. Edisi September-Oktober 2006, GAM Retak Siapa
Untung, hal. 12.
Aceh Megazine. Edisi VII Agusutus-September 2006, MoU
Memandu Transformasi di Aceh.
220
Daftar Kepus takaan
Agus Budi Wibowo, dkk, Dinamika dan Peran Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) Dalam Kehidupan sosial Budaya
Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Banda Aceh, 2005.
Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nangroe Endatu Catatan Seorang
Wakil Rakyat Aceh, Jakarta, Suara Bebas, 2006.
Ahmad,Zakaria, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675,
Medan: Monora, 1972
Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jakarta: Madani Pres, Oktober
1999
Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, cet II, Jakarta, Pustaka Al-
Kautsar, 1998
Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998
Alfian Ibrahim.dkk, Sejarah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Proyek
Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Tahun
1977/1978
Algadri, Hamid, C.Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap Islam
dan Keturunan Arab, Sinar Harapan, Jakarta, 1984
Ali Hajmy, Kebudayaan Aceh dalam sejarah, Jakarta: Beuna, 1983
Ali Hasimi, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan
dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta, Bulan Bintang, 1985
Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam sejarah, Jakarta: Beuna,1983
Ali, Abdullah, Ed (Tulus Widjanarko), Aceh Merdeka Dalam
Perdebatan, PT.Citra Putra Bangsa, Jakarta, 1999
Ali, dkk, Abdullah, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang
Kemerdekaan 1945-1949, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1985
Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta, Bulan
Bintang, 1990.
Anthoni Reid, Petrj Masri. Asal Usul Komplik Aceh, Jakarta Yayasan
Obor.
221
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh (Dari Perebutan Pantai
Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-
19). Terj, Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005)
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan
di Sumatera, jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Terj. Sori
Siregar, dkk, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004)
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986
Arani Usman, Sejarah peradaban Aceh, Yayasan obor Indonesia,
Januari 2003
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusant ara Abad XVII & XVIII, Cet. I, Jakarta,
Kencana,2004
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. VI, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 1997
C. Snouck Hurgronje, Islam Di Hindia Belanda, terjemahan dari
karya C. Snouck Hurgronje (1857-1936), Jakarta: Bhratara,
1913
Cornelis Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Dennys Lombart, Kerajaan Aceh Masa Iskandar Muda, Terj Winarsih
Arifin, Jakarta: Balai Pustaka
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Jakarta, Gramedia.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Terj. Winarsih Arifin, Cetakan II, (Jakarta;
Gramedia, 2007).
Dyah Rahmany P, Rumoh Geudong; Tanda Luka Orang Aceh, Jakarta:
Cardova, 2001
222
Daftar Kepus takaan
El Ibrahimi M.Nur, Peran tgk M.Daud Beureueh Dalam Pergolakan
Aceh,
El Ibrahimi Nur, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh,
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993
El Ibrahimy, H.M. Nur, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan
Aceh, PT. Grasindo, Jakarta, 1993
El Ibrahimy, M.Nur, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Gunung
Agung, Jakarta, 1986
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Icutiar Baru Van Hoeven, 1999
George Fadlo Hourani, Arab Seafaring In The Indian Ocean In Ancient
And Early Medieval Time Amerika Serikat: New Jersey Univ
Press, 1951
Grafiti,1995.
Gunawan Hendra , M.Nasir Dan Darul Islam, Studi Kasus Aceh dan
Sulawesi
Hardi, Menarik Pelajaran Dari Sejarah, CV.Haji MasAgung, Jakarta,
Cet.I, 1988
Harian Kompas, Edisi Rabu; 12 Juli 2006.
Harian Kompas, Edisi Senin; 28 Agustus 2006
Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah: Etnografi Kekerasan
di Aceh, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2003.
Hasbi Amiruddin, Per juangan Ulama Aceh di tengah Komplik,
Yogyakarta,Cinnets, 2004
Hasjmy, A., Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun
Melawan Agressi Belanda, Bulan Bintang, Jakarta, 1977
Hasjmy, Ali, 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: Majelis Ulama
Indonesia Daerah Istimewa Aceh, 1995
Hendra Gunawan, M. Natsir dan Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan
Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958, Jakarta: Media Dawah,
2000.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh.
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang Pemerintahan
Aceh.
223
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
http://www.acheh-eye.org/a-eye_news_files/a-eye news bahasa/
news item.asp?NewsID=2346.
http://www.nad. go.i d/i ndex.php?opti on=i si&task=view&
id=1789&Itemid=249(Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi
NAD. Jelajah Aceh. 2004. Banda Aceh)
h t t p : / / www. r s i . s g / i n d o n e s i a n / f o k u s a s i a / v i e w/
20070306160600/1/.html.
http://www.seketika.com/berita.php?idd=3462.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/27/
brk,20051227-71275,id.html.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2007/02/
22/brk,20070222-93993,id.html.
http://www.ummahonline.com/index/modules.php?name=
News&file=article&sid=433.
Hurgronje, Snouck, The Acehnese, Cet I, Jakarta: Yayasan Sokoguru,
1985
Ibrahim KBS, Mengelola Transisi Perdamaiaan, Opini Serambi
Indonesia; Jumat,
Isi Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005/Nota Kesepahaman antara
Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka dalam hal Partisipasi Politik.
Ismuha, Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara, PKA 3, Banda Aceh:
Syiah Kuala Press, 1988
Iwachi, Fujuwara, F. Kikan, Japanese Army Intelligence Operations in
South East Asia During Word War II, Penerjemah, Akashi
Yoji (Hongkong, Heinemann Educational Books (Asia).
1983 Jakarta:Media Dakwah, 2001
Jamil Yunus M, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh,
John Crawford, History Of The Indian Archipelago, jilid II London:
1820
Kartodirajo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900,
Jilid 1, PT. Gramedia, Jakarta, 1987, Hal. 68 Lihat Badri
224
Daftar Kepus takaan
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT.RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2006
kepentingna dan upaya penyelesaian) Jakarta: LIPI, 2003
Kompas, Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR, Status Aceh Kembali
Normal, 17 Mei 2005
Lihat: http://www.freelists.org/archives/ppi/12-2005/msg00555.
html.
Lombard, Denis, Kerajaan Aceh Sultan Iskandar Muda, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2007
Lombard, Dennis, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636), Balai Pustaka, Jakarta, 1986
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. Satrio
Wahono, dkk, (Jakarta: Serambi, 2001)
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat
Aceh, Banda Aceh: Yayasan Nadia Foundation, 2003.
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh,
terj. Kamaruzzaman Bustamam, Cet. I, Lhokseumawe,
Yayasan Nadiya, 2003
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureueh Dalam
Pergolakan Aceh, Jakarta: Media Dawah, 2001.
M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh. Peranannya
dalam Peergolakan di Aceh. Jakarta, Gunung Agung. 1982
M. Said, Aceh sepanjang abad, Medan: Waspada, 1980
M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Cet I, (Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961)
Majalah Aceh Kita (Pinto Nusantara Pinto Donya), Menerobos
Tembok Istana, September 2006
Majalah Sumber Post, April 2006, Malik Ridwan: Jalan Panjang
Menuju RUU-PA.
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Cet II, (Medan:
Waspada, 1981).
Muhammad Hatta, Memoir, Jakarta, Tinta Mas 1979
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul
Islam Aceh, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
225
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
Nurhasim Moch, Konplik Aceh Analisis sebab akibat komflik,
aktor komplik, Profil Propinsi Republik Indonesi
Daerah Istimewa Aceh, tt.
R.A. Kern, De Verbreing Van den Islam, Amsterdam: N.V.
Uitgeversmaatschappi Joost Van den Vondel, 1938
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta, Cet.II, 2005
Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, PT.Percetakan dan
Penerbitan Waspada, Medan, 1981
Said, Muhammad, Aceh Sepanjang Abad,Medan: Waspada Medan,
1981
Saidulkarnain Ishak, Tempatkan Aceh Jadi Contoh Internasional,
Pilkada Jadi Kunci Terciptanya Perdamaian Abadi di Aceh,
Harian Suara Karya; Senin, 28 Agustus 2006
Sartono Kartodi rdj o, Sej arah Nasi onal Indonesi a, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975
Selatan, Jakarta: Media Dakwah, 2000
Serambi, UU PA diserahkan Pada Rakyat Aceh, 14 Juli 2006
Sinar Darussalam, Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan, No. 108/
109. Banda Aceh: Y.P.D. Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, 1980
Sinar Darussalam, Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan, No. 162/
163. Banda Aceh: Y.P.D. Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, 1987
Sinar Darussalam. Majalah pengetahuan dan Kebudayaan. No ISSN
0125-9601. Banda Aceh: Y.P.D Unsyiah, IAIN Ar-Raniry
1978
SKI, Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam Di
Indonesia, , Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006
Sulaiman, M.Isa, dkk, Belanda dan Aceh Sebuah Bibliografi Sejarah,
Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Banda Aceh, 2003
Syahrizal Abbas, ed. Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia untuk
AMM, Banda Aceh, 2006
Syahrizal, Syeikh Abdurrauf dan Corak Pemikiran Hukum Islam, Cet.
1, Banda Aceh, Yayasan Pena, 2003
226
Daftar Kepus takaan
T. Iskandar, Nurud-din ar-Raniri Bustanussalatin, Kuala Lumpur,
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996
Tempo Interaktif, GAM; Aceh Bagian dari Indonesia, 11 Juli 2005
Tempo, No. 44/XXXIV/26 Desember 2005 1 Januari 2006,
Dalam: Lembaran Baru Dua Seteru.
Thomas W. Arnold, The Preaching Of Islam, terjemahan Hasan
Ibrahim Hasan. Mesir: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat,
1980
Tim Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Editor. Taufik Abdullah, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2003.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU RI No. 11 Tahun 2006), cet.
1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tentang Pemerintahan
Aceh 2006, Jakarta, Tamita Utama, 2006,
Van Di j k Cornel i s, Darul Isl am Sebuah Pember ont akan,
Jakarta:Pustaka Utama
Veer, Paul van, Perang Aceh (kisah Kegagalan Snouck Hurgronje),
PT.Temprint, Jakarta, Cet.I, 1985
W.P. Groeneveld. Historical Notes On Indonesia End Malaya Compiled
From Chinese Sourses. Jakarta: Bhratara, 1960
Zainuddin H.M, Tarikh Wawasan Nusantara, Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961
Zainuddin, Muhammad, Tarikh Aceh dan Nusantara, Medan:
Pustaka Iskandar Muda, 1961
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh, Medan: Monora, 1972
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh; dalam tahun 1520-1675,
(Medan: CV. Monora, 1972).
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675,
Medan: Monora, t.t
Zulfikar Salahuddin, dkk, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh
mewujudkan Negara Islam, Jakarta: Madani Press, 2000
227
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri
v
RIAK-RIAKSEJARAHACEH
Mengungkap Perjuangan Masyarakat Mempertahankan Jatidiri

Anda mungkin juga menyukai