Anda di halaman 1dari 108

i

ii





iii

MUHIBUDDIN HANAFIAH




INTERNALISASI
NILAI TEOLOGIS
DALAM
PENDIDIKAN
ISLAM







Ar - Ra ni r y Pr e s s
2 0 0 9




iv

Perpustakaan Nasional Indonesia : Katalog Dalam
Terbitan (KDT)

Muhibuddin Hanafiah Muhibuddin Hanafiah Muhibuddin Hanafiah Muhibuddin Hanafiah

Internalisasi Nilai Teologis Dalam Pendidikan
Islam/Muhibuddin Hanafiah,
Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009

ISBN: XXX-XXXX-XXX-XXX

1. Pendidikan Islam
I. Muhibuddin II. Judul III. Syukrinur

Penulis Penulis Penulis Penulis
Muhibuddin Hanafiah

Editor Editor Editor Editor
Syukrinur

Setting/Layout Setting/Layout Setting/Layout Setting/Layout
Tim Citra Kreasi Utama
Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata No. 3 Banda Aceh

Desain Cover Desain Cover Desain Cover Desain Cover
Alwahidi Ilyas

Diterbitkan oleh Diterbitkan oleh Diterbitkan oleh Diterbitkan oleh
Ar-Raniry Press
bekerjasama dengan Penerbit dan Percetakan
POLYDOR Yogyakarta

Cetakan Pertama Cetakan Pertama Cetakan Pertama Cetakan Pertama Juli 2009

Hak cipta ada pada pengarang
Copyright@ 2009




v


SEKAPUR SIRIH



Ucapan syukur al-hamdulillh merupakan kalimat yang
paling layak pertama sekali diungkapkan. Atas kemurahan dan
ilmu-Nya serta kemampuan dengan segala kapasitas potensial
yang telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga buku ini
dapat diselesaikan.
Di dalam buku yang berjudul Internalisasi Nilai Teolo-
gis Dalam Pendidikan Islam ini dikemukakan beberapa hal ten-
tang Konsep Pendidikan Nilai dan terapannya dalam inter-
nalisasi nilai-nilai teologis dalam Pendidikan Islam. Secara garis
besar, buku ini mengkritik komponen PBM (proses belajar
mengajar) khususnya metode, pendekatan, strategi dan teknik
yang digunakan dalam proses pengajaran pendidikan aqidah
par excellence, dan proses internalisasi nilai-nilai teologis me-
lalui ekplorasi makna implisit semua disiplin ilmu pengeta-
huan dalam platform Pendidikan Islam. Di mana selama ini,
lembaga Pendidikan Islam lebih dominan masih menggunakan
komponen PBM sebagaimana dimaksud di atas secara tra-
disional, sehingga kurang relevan dengan pandangan filosofis
tentang manusia dalam ajaran Islam (konsep fitrah), tujuan dan
ruang lingkup Pendidikan Islam yang demikian strategis.
Karenanya, orientasi ke belakang dari penggunaan
komponen PBM tersebut sudah semestinya diperbaharui (re-
formed). Buku ini mencoba menawarkan metode deduktif,
pendekatan rasional, strategi reflektif dan teknik trans-internal




vi

sebagai tawaran alternatif yang berbeda dengan apa yang dip-
raktekkan selama ini di lembaga Pendidikan Islam guna lebih
mengefektifkan internalisasi nilai-nilai teologis yang teraktu-
alisasikan dalam pribadi subjek didik.
Akhir kata, semoga hasil penelitian ini bermamfaat,
mn.

Banda Aceh, 23 Maret 2009
Muhibuddin Hanafiah






vii

DAFTAR ISI


Sekapur Sirih ......................................................................... v
Daftar Isi . viii

BAB SATU
PENDAHULUAN ..................................................................... 1

BAB DUA
KONSEPSI PENDIDIKAN NILAI ........................................ 17
A. Pengertian Nilai ........................................................... 19
B. Jenis dan Hirarkhi Nilai .............................................. 23
C. Proses Pembentukan Nilai ......................................... 27
D. Strategi dan Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai .. 30
E. Metode dan Teknik Pendidikan Nilai ....................... 37

BAB TIGA
NILAI TEOLOGIS DAN INTERNALISASINYA
DALAM PENDIDIKAN ISLAM ............................................. 49
A. Pengertian dan Dimensi Nilai Teologis .................... 50
B. Tujuan Internalisasi Nilai Teologis ........................... 56
C. Substansi Nilai Teologis .............................................. 61
D. Model; Metode, Pendekatan, Strategi dan Teknik
Internalisasi Nilai Teologis ......................................... 67

BAB EMPAT
KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI STUDI ................... 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 91
BIOGRAFI SINGKAT ................................................................ 99






viii





1

BAB S ATU
PENDAHULUAN


endidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis
untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masya-
rakat suatu bangsa. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem
pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan
hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian
dituangkan dalam undang-undang dasar dan perundang-
undangan. Di mana dalam Undang-Undang Dasar dan per-
undang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di anta-
ranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai
pendidikan dapat dilihat pada Tujuan Nasional sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 para-
graf ke empat, yaitu;
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu peme-
rintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, maka disusunlah dasar negara Indonesia
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik In-
donesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada;
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan atau perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".1
____________
1
Ketetapan MPR RI Th. 1993 No. II Tentang GBHN Negara RI Ta-
hun 1993-1998).
P



2

Secara umum tujuan pendidikan nasional sebagaimana
tercantum dalam pembukaan UUD'45 adalah untuk mencerdas-
kan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas
lagi dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya bab II pasal 4 bahwa:
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia se-
utuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian
mantap, serta mandiri dan memiliki rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.2
Bertitik tolak dari tujuan pendidikan Nasional di atas,
dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan sebagaimana disebut-
kan itu merupakan tujuan akhir (tujuan jangka panjang) yang
harus diterjemahkan lebih konkrit melalui sebuah proses. Proses
dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana dan tersistema-
tisasikan melalui proses belajar mengajar. Keinginan luhur
bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan
terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan
kesadaran terhadap dunia di sekitarnya.
Dilihat dari tridomain pendidikan (domain kognitif,
afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pem-
bukaan UUD'45 khususnya yang tertuang dalam UU No. 2 ta-
hun 1989 pada kenyataannya lebih banyak didominasi oleh do-
main afektif. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (sikap)
____________
2
Undang-Undang R.I., No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pen-
didikan Nasional dan Penjelasannya (Semarang: Aneka Ilmu, 1992), h. 4.
Bandingkan dengan TAP. MPR. R.I., NO. II Tahun 1988) bahwa tujuan Pen-
didikan Nasional adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta
tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang
dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggung-jawab atas pem-
bangunan bangsa.



3

berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecer-
dasan dan ketrampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang
dianut bangsa. Namun demikian, urgensitas nilai yang demikian
mendapat posisi strategis dalam sistem pendidikan pada ken-
yataannya tidak berperan secara riil dalam proses belajar menga-
jar di lembaga pendidikan. Atau dengan kata lain internalisasi
nilai (aspek afektif) belum mampu terwujud secara integral ke
semua bidang studi lain yang lebih bertumpu pada domain kog-
nitif dan psikomotorik. Kenyataan di lapangan pendidikan,
aspek ideal itu belum terlihat sama sekali, sehingga sistem pen-
didikan kita terkesan menganut sistem bebas nilai (value free
education).
Soeroyo menegaskan bahwa tanpa kecuali pendidikan
pada umumnya, lebih-lebih pendidikan Islam bukanlah sekedar
sebuah proses alih budaya (transfer of culture) atau alih ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge) atau juga alih teknologi
(transfer of technology), tetapi juga sebagai proses alih nilai
(transfer of values), yakni nilai-nilai moral Islami. Karena tuju-
an pendidikan Islam adalah menjadikan manusia yang bertaqwa;
manusia yang mencapai al-falh, yakni kesuksesan hidup yang
abadi dunia akhirat.3
Di antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan
dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian in-
tegral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara
eksplisit disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu
dalam kalimat "menciptakan manusia yang beriman dan ber-
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan kalimat ini secara
hirarkhi perioritas disebutkan terlebih dahulu, kenyataan ini
mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi
merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral.
Dalam tradisi pendidikan Islam sampai sekarang ini, in-
ternalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas dalam
____________
3
Soeroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Men-
jangkau Tahun 2000, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indone-
sia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 43.



4

pendidikan aqidah (teologi Islam). Yaitu pengkajian sekitar per-
masalahan yang berdimensi ilahiyah (ketuhanan) yang hanya
berdimensi transendental-kontemplatif semata, tradisi ini sudah
sejak lama berlangsung. Dengan demikian nilai-nilai teologis
belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya se-
cara holistik, walaupun masih mengatasnamakan sistem Pen-
didikan Islam. Bahkan pendekatan yang digunakan dalam proses
internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pada pen-
dekatan imani. Kecenderungan pendekat-an dalam proses bela-
jar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi
pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai te-
ologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung
memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran
ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang
demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurb,
abstrak, melangit dan kurang menyentuh persoalan-persoalan
riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa
wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga
tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-
kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya.
Dalam diskursus keagamaan komtemporer, dijelaskan
bahwa teologi ternyata memiliki banyak wajah (multi faces) dan
bukan lagi single face. Teologi tidak lagi seperti orang dahulu
memahaminya, yaitu hanya semata-mata terkait dengan perma-
salahan ketuhanan, kepercayaan, keimanan kredo. Selain ciri
dan sifat konfensionalnya, teologi yang berporos (inti) pada tau-
hid sebagai hasil pemikiran keislaman memang meng-
asumsikan bahwa persoalan teologi hanyalah semata-mata per-
soalan ketuhanan, teologi ternyata juga terkait erat dengan per-
masalahan emperis-sosial yang juga merupakan keniscayaan
manusia.4
____________
4
M. Amin Abdullah, Relevansi Studi Agama-Agama Dalam Melin-
ium Ketiga, Jurnal Ulumul Quran No. 5, Volume. VII, Tahun 1997, h.
57.



5

Berdasarkan asumsi dasar inilah, perumusan kembali ke
arah reaktualisasi dan rekontekstualisasi baik dari segi metode
maupun pendekatan pengajaran serta substansi materi kajian
teologi yang akan diinternalisasikan ke dalam semua bidang
studi (integralisasi) di lembaga pendidikan Islam nampaknya
sudah menjadi suatu keharusan. Internalisasi nilai-nilai teologis
nampaknya harus dibarengi dengan pendekatan rasional sesuai
dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Khususnya terhadap isyarat-isyarat teologis yang berhubungan
dengan pesan-pesan antropologis dan kosmologis (integrasi
ilmu). Demikian juga dengan metode pengajarannya, tidak men-
cukupi lagi dengan metode indoktrinasi, tetapi juga harus den-
gan metode argumentasi-logis.
Dengan demikian, untuk menginternalisasikan nilai-nilai
teologis secara efektif dalam semua bidang studi diperlukan
suatu strategi belajar-mengajar yang terpadu dan tepat antara
tujuan, substansi, metode/pendekatan dan evaluasi.
Para ahli pendidikan, atau praktisi yang bergelut dalam
bidang ilmu pendidikan atau bahkan pengamat dan pemerhati
masalah-masalah pendidikan baik di dunia Islam maupun di
dunia Barat bahkan di Indonesia sendiri telah banyak menulis
tentang masalah internalisasi nilai dalam sistem pendidikan. Tu-
lisan-tulisan mereka tersebar baik dalam bentuk jurnal ilmiah,
essay di koran-koran dan majalah, makalah-makalah yang
disampaikan dalam seminar atau simposium, skripsi, tesis dan
disertasi. Tidak sedikit dari tulisan-tulisan yang berserakan itu
telah dibukukan. Sepengetahuan penulis, di antara sekian ban-
yak tulisan itu belum ada yang menulis tentang internalisasi
nilai teologis secara khusus dalam bentuk skripsi, tesis atau dis-
ertasi.
Namun demikian, kajian aksiologis dalam pendidikan
Islam ini pernah diteliti dalam bentuk tesis oleh Lias Hasibuan,
mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda
Aceh tahun 1993 dengan judul: Konsep Berpikir Reflektif; Tin-
jauan Al-Qur'an Tentang Metode Pendidikan Islam Dalam
Membentuk Aqidah Non-Verbal". Dalam tesis ini Lias mencoba



6

menawarkan sebuah pendekatan alternatif yang dinilainya san-
gat efektif terhadap kajian bidang studi aqidah dalam institusi
Pendidikan Islam. Ia berangkat dari sebuah hipotesis bahwa
dalam kajian bidang studi aqidah selama ini, dimensi nilai
keimanan subjek didik hanya berhasil diinternalisasikan dalam
bentuk verbal; ucapan, pengakuan bibir semata tanpa menghu-
jam ke dalam kedalaman batin dan kesadaran subjek didik untuk
bersikap sesuai dengan kesadaran keimanannya yang mendalam.
Untuk membumikan keimanan ke dalam lubuk hati subjek
didik, maka pendekatan pengajaran bidang studi aqidah perlu
mengikutsertakan potensi akal subjek didik dalam kapasitasnya
sebagai konfirmasi dari keimanannya.
Konsep berpikir yang menekankan optimalisasi rasio ini
walaupun terhadap materi abstrak ini diadopsi dari konsep Hull-
fish dan Smith5, Reflective Thinking; The Method of Education
yang dalam penelitiannya itu dikembangkan ke arah metode
pendidikan aqidah serta diperkaya dengan konsep-konsep al-
Qur'an dan pandangan para ahli Pendidikan Islam seperti Imam
al-Ghazali dan Muhammad Iqbal.
Penelitian tentang internalisasi nilai ini juga pernah dila-
kukan oleh M. Nasir Budiman, yang berjudul: "Pendidikan
Moral Qurni; Strategi Belajar-Mengajar dan Evaluasi Pada
MAN Se-Daerah Istimewa Aceh". Penelitian ini difokuskan
pada jenjang pendidikan madrasah Aliyah, yang berangkat dari
adanya disintegrasi nilai-nilai moral secara umum dari hampir
semua bidang studi yang ada pada madrasah khususnya tingkat
`Aliyah. Oleh karena itu M. Nasir mencoba mengkonstruk kon-
sep strategi belajar-mengajar yang menurutnya ideal untuk se-
mua bidang studi dalam menerapkan nilai-nilai moral Qurni.
Strategi itu sendiri dibangun dari pemilihan beberapa kata kunci
dalam al-Qurn yang mengacu pada isyarat-isyarat al-Qurn.
Konsep-konsep dasar ini diformulasikan ke dalam strategi
____________
5
H. Gordon Hullfish and P.G. Smith, Reflective Thingking; The
Method of Education (New York: Dood & Mead, 1964).



7

proses belajar mengajar (PBM). Menurutnya, selama ini inter-
nalisasi nilai-nilai moral Qurni secara umum mengalami ban-
yak kendala jika diterapkan pada semua bidang studi tanpa kec-
uali. Hal ini dikarenakan adanya kelemah-an pendekatan yang
digunakan, yaitu pendekatan liberalisasi nilai dan pendekatan
indoktrinasi nilai. Untuk menutupi kelemahan pendekatan ini
menurutnya, pendekatan yang ditawarkan dari al-Qurn nam-
paknya menjadi pilihan alternatif. Ia yakin bahwa al-Qurn se-
bagai hudn (petunjuk) pasti menyediakan petunjuk-petunjuk-
nya.6
Penelitian lain yang juga membahas masalah inter-
nalisasi nilai adalah karya Una Kartawisastra dalam bukunya;
Strategi Klarifikasi Nilai.7 Dalam pembahasannya, Una menye-
butkan bahwa konflik nilai yang terjadi dalam masyarakat
menghadapkan subjek didik pada satu dilema antara apa yang
diajarkan dalam kelas tidak ada korelasinya dan bahkan mung-
kin juga jauh dengan kenyataan yang dihadapi subjek didik
dalam kehidupan keseharian di luar kelas. Menurut Una, konflik
nilai menjadi lebih riskan lagi dengan mengikuti konsep relativ-
isme nilai di bidang moral. Bahkan pada zaman globalisasi dan
komunikasi dewasa ini banyak nilai-nilai yang bertentangan satu
sama lain terpampang di depan mata subjek didik.
Selanjutnya sebuah pembahasan dari Jack R. Fraenkel
dalam bukunya; How to Teach About Values; An Analytic Ap-
proach8 mengatakan bahwa ada empat strategi internalisasi nilai
moral, yaitu; 1) strategi klarifikasi nilai, 2) strategi pemahaman
nilai, 3) strategi memberi kesimpulan terhadap nilai dan 4)
strategi analisis nilai. Menurutmya, nilai sebelum diinter-
____________
6
M. Nasir Budiman, Pendidikan Moral Qur'ani: Strategi Belajar
Mengajar dan Evaluasi pada MAN Se-Daerah Istimewa Aceh, Disertasi
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1996).
7
Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai (Jakarta: Proyek Pen-
gembangan Pendidikan Guru/P3G), Depdikbud, 1980).
8
Jack. R. Fraenkel, How to Teach About Values; An Analytic Ap-
proach (New Jersey: Prantice Hall, 1977).



8

nalisasikan ke dalam diri subjek didik, terlebih dahulu harus dik-
larifikasikan melalui pemberian contoh, pengenalan terhadap
kelebihan dan kekurangan nilai, dan kemudian mengorganisasi-
kan ke dalam satu tata nilai yang utuh.
Sementara Warul Walidin dalam sebuah tulisan berjudul;
Strategi Pembentukan Nilai: Upaya pengembangan Dimensi
afektif9, menulis bahwa dalam dunia pendidikan dewasa ini
upaya pengembangan domain afektif (sebagai sasaran langsung
pembentukan nilai) baru pada taraf penyerapan (alih) informasi
di dalam struktur kognitif tanpa diteruskan ke taraf yang lebih
tinggi yaitu internalisasi. Dalam kenyataannya, para pendidik
belum menemukan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan-
tujuan pengembangan domain ini. Pendekatan informatif kon-
vensional dengan strategi tradisional sering menjadi satu-
satunya pilihan pendidik di lapangan. Mereka kurang menguasai
ragam strategi yang lebih efektif untuk bidang ini, di samping
minimnya penguasaan teknik yang lebih beragam.
Dengan berpijak pada penelitian Krathwohl, Warul me-
nulis bahwa dalam proses pembentukan nilai secara hirarkhinya
ada lima tipe belajar afektif. Yaitu; 1) tipe belajar menyimak, 2)
tipe belajar menanggapi, 3) tipe belajar memberi nilai, 4) tipe
belajar mengorganisasi nilai, dan 5) tipe belajar karakteristik
nilai. Namun menurutnya, kelima tipe belajar ini secara opera-
sional dalam proses belajar mengajar harus didukung secara
kondusif oleh kelima unsur pendidikan (aktivitas interaktif). Ke-
lima unsur dimaksud adalah adanya proses memberi dan mene-
rima, adanya tujuan yang baik, cara, jalan atau metode yang
baik, dan yang terakhir adalah konteks pendidikan yang positif.
Berdasarkan studi kepustakaan di atas, dapat dipahami
bahwa penelitian tentang internalisasi nilai, khususnya tentang
nilai teologis dalam pendidikan Islam, sepengetahuan penulis,
belum ada. Adapun variabel yang membedakan penelitian ini
____________
9
Warul Walidin AK, Strategi Pembentukan Nilai: Upaya Pengem-
bangan Dimensi Afektif, Jurnal Didaktika Nomor 1, Vol. 2, September
2000, hal. 5.



9

dengan penelitian sebelumnya adalah; pertama, nilai yang men-
jadi objek internalisasi terbatas hanya nilai teologis (nilai etik
Ilahiyah). Kedua, instrumen yang digunakan untuk menginter-
nalkan nilai teologis tersebut adalah korelasi antara metode de-
duktif, pendekatan rasional-penghayatan, strategi reflektif dan
teknik trans-internal dalam satu kesatuan proses pengajaran.
Oleh karena itu, penelitian ini merupakan studi yang di-
perlukan bagi upaya mengkonstruk sebuah konsep strategi bela-
jar mengajar yang integral dan kontekstual dalam upaya meng-
internalisasikan nilai-nilai teologis untuk semua bidang studi di
lembaga pendidikan Islam.
Internalisasi nilai dalam proses pendidikan Islam pada
dasarnya merupakan upaya transfer nilai (transfer of values).
Nilai yang dimaksud di sini tentunya nilai-nilai islami (berasas-
kan Islam), dimana Pendidikan Islam tidak mengenal adanya
medan yang bebas nilai (free of value)--Pendidikan Islam men-
ganut sistem sarat nilai. Karena itu, semua kajian ilmu yang di-
internalisasikan dalam proses pendidikan Islam mengandung
nilai-nilai. Hal ini selaras dengan tujuan Pendidikan Islam yang
ingin menjadikan manusia paripurna dalam aspek spiritual (ukh-
rawi) dan temporal (duniawi). Internalisasi pada prinsipnya
adalah sebuah proses penanaman, penyadaran dan pembumian
nilai-nilai. Untuk itu diperlukan suatu konsep strategi belajar-
mengajar yang tepat dengan pendekatan yang relevan (aktual
dan kontekstual) terhadap substansi materi kajian.
Adapun yang dimaksud dengan nilai teologis (ketu-
hanan) dalam kajian kontemporer secara umum ada dua yaitu
nilai-nilai transendental (Ilhiyyah) dan nilai-nilai kemanusiaan
(insniyyah) yaitu termasuk nilai moral antar sesama manusia
sendiri (antropologis) dan dalam hubungannya dengan alam
(kosmologis). Dengan demikian, nampak bahwa nilai teologis
mengandung dimensi yang sangat luas, tidak terbatas pada
aspek nilai transendental saja seperti keimanan atau kepercayaan
kepada Tuhan sebagaimana selama ini dipahami. Dengan
demikian, kesemua nilai tersebut (antropologis, kosmologis dan
teologis) sebenarnya harus diinternalisasikan secara integral



10

dalam semua bidang kajian dalam institusi Pendidikan Islam.
Realitas yang terjadi selama ini adalah bahwa ketiga grand con-
cept nilai tersebut baru diinternalisasikan secara parsial dalam
bidang-bidang studi yang masing-masingnya terpisah.
Untuk itu dalam penelitian ini penulis mencoba rumus-
kan sebuah konsep strategi belajar yang mampu menginter-
nalisasikan dimensi nilai teologis itu ke dalam sub dimensi nilai-
nya yang lebih luas yaitu ke dalam dimensi nilai antropologis
(hablun min al-ns) dan dimensi nilai kosmologis. (hablun min
al-alm) berupa etika terhadap lingkungan. Dengan demikian
dalam aktivitas belajar mengajar diharapkan semua bidang studi
pada tataran sempit dan kurikulum pada tataran lebih luas secara
integral mengandung kesemua nilai teologis di atas dalam sub-
stansi pengajarannya.
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka kajian ini
secara umum berpijak pada Paradigma Pendidikan Nilai yang
bagaimanakah yang lebih efektif dan aplikatif sehingga semua
bidang studi dapat diinternalisasikan nilai teologis dalam proses
belajar mengajar. Dengan demikian subjek didik mampu mere-
fleksikan nilai teologis yang telah menginternal tersebut ke da-
lam sikap dan perilaku keseharian.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka peneli-
tian ini mempunyai tujuan antara lain untuk mencari jenis pen-
dekatan yang lebih efektif dan representatif yang dapat diaplika-
sikan pada aktivitas belajar mengajar dalam semua bidang studi
di lembaga pendidikan Islam.
Kenyataan bahwa belum diterapkannya pendekatan yang
relevan yang dinilai kontekstual dengan tuntutan atas perkem-
bangan ilmu pengetahuan dan menuntut subjek didik mampu
berpikir integratif dan holistik khususnya dalam hal internalisasi
nilai-nilai teologis ini dalam Pendidikan Islam mendorong penu-
lis untuk menelusuri sejumlah karya tulis yang berbicara tentang
konsep strategi belajar mengajar terutama masalah internalisasi
nilai pada umumnya ataupun nilai teologis pada khususnya.
Dengan ini diharapkan juga dapat menemukan landasan filosofis
yang lebih mendasar dalam pengembangan metode dan



11

pendekatan dalam aktivitas belajar mengajar secara umum
dalam lembaga Pendidikan Islam dewasa ini. Tujuan tersebut
diharapkan tercapai karena terdapat indikasi-indikasi awal yang
menunjukkan bahwa pendekatan indoktrinasi tidak begitu kon-
struktif bagi kajian dimensi nilai teologis kontemporer yang
substansi kajiannya tidak terbatas pada aspek etiktransendental
saja melainkan meliputi etik-moral kemanusiaan dan alam ling-
kungan hidup.
Kajian ini memiliki kegunaan. Adapun kegunaan peneli-
tian ini antara lain sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi-
kan strategi belajar mengajar khususnya terhadap efektifikasi
internalisasi dimensi nilai teologis dalam aktivitas belajar men-
gajar subjek didik. Kedua, memberikan alternatif metode dan
pendekatan sehingga mampu membumikan nilai teologis ke da-
lam kesadaran dan pemahaman peserta didik. Dengan demikian
diharapkan mereka dapat menyikapi nilai-nilai tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari secara lebih kreatif, inovatif, respon-
sif, adaptif, dan relevan dengan realita yang dihadapinya dalam
pengkajian ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Ketiga, me-
numbuhkan kesadaran bagi para pendidik Muslim untuk secara
terus menerus memikirkan penyesuaian pendekatan dalam inter-
nalisasi dimensi nilai teologis secara spesifik dalam sistem pen-
didikan Islam.
Penelitian ini berkenaan dengan pencarian konsep
strategi belajar mengajar yang ideal dalam rangka internalisasi
nilai teologis ke dalam diri subjek didik melalui aktivitas belajar
mengajar semua bidang studi. Karena yang dikaji di sini adalah
strategi belajar mengajar, maka sumber utama yang menjadi
acuan penelitian ini adalah karya-karya tulis (studi pustaka)
berupa data-data yang membahas secara khusus tentang strategi
internalisasi nilai. Demikian juga data-data lain yang mendu-
kung dan berhubungan dengannya. Sumber-sumber itu yang



12

umumnya merupakan sumber yang bersifat kepustakaan akan
dikaji dengan pendekatan rasionalistik.10
Di antara buku-buku yang masih sangat terbatas ini yang
penulis jadikan dijadikan sandaran utama penelitian ini adalah
artikel yang ditulis oleh Howard Kirschenbaun dan Sidney B.
Simon dengan judul Values and The Future Movement in Edu-
cation dalam buku Learning for Tomorrow; The Role of The
Future in Education.11 Dalam karyanya ini Kirschenbaun
mengsubordinasikan pendidikan moral ke dalam pentransferan
nilai dan kemudian merumuskan empat strategi umum untuk
menginternalisasikan nilai. Keempat strategi dimaksud adalah 1)
strategi penanaman moral (moral inculcation), 2) strategi trans-
misi melalui sikap bebas (laisser faire), 3) strategi keteladanan
(modeling), dan 4) strategi klarifikasi nilai (yang dirintis oleh
Louis E. Ratsis dari Amerika Serikat).
Buku primer lainnya adalah karya Jack R. Fraenkel How
to Teach About Values; An Analytic Approach,12 Fraenkal
mengajukan empat strategi internalisasi nilai moral yaitu 1)
klarifikasi nilai, 2) pemahaman nilai (moral reasoning), 3)
membuat kesimpulan (making inference) dan 4) analisis nilai.
Selain itu karya hasil penelitian Udin Sarifuddin,W.
yang berjudul Konsep dan Strategi Values Pendidikan Moral
____________
10
Pendekatan ini dapat digunakan pada studi tek atau studi pustaka
lainnya yang lebih memerlukan olahan filosofis dan teoritik. Studi pustaka
ditujukan untuk membangun konsep teoritis yang terkait dengan nilai, untuk
tahap lebih lanjut juga tetap diperlukan pengujian evidensi empirik.
Pendekatan rasionalistik adalah pendekatan yang bertitik tolak dari filsafat
rasionalisme. Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, edisi. III, cet.
Ke-7 (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 159.
11
Alvin Toffler (ed), Learning for Tomorrow; The Role of The Fu-
ture in Education (New York: Vintage Books, 1974).
12
Jack R. Fraenkel, How to Teach About Values; An Analytic Ap-
proach (New Jersey: Prentice Hall, 1977).



13

Pancasila di Sekolah Menengah.13 Dalam penelitian ini din-
yatakan bahwa semua strategi dan tehnik pembentukan nilai-
nilai (moral) yang banyak dikemukakan oleh para ahli pendidi-
kan dibangun atas dua asumsi dasar. Pertama, setiap masyarakat
mempunyai suatu paket nilai atau moral yang secara terus
menerus telah dipraktekkan dan dilestarikan melalui penga-
laman. Kedua, tidak adanya sistem nilai yang baik bagi setiap
orang, karena itu manusia harus menguji dan meneliti sendiri
pengikat nilai yang dianggap cocok.
Tulisan lain yang juga berbicara tentang masalah inter-
nalisasi nilai adalah karya Una Kartawisastra, dengan bukunya
Strategi Klarifikasi Nilai. 14 Dalam buku tersebut disebutkan
bahwa konflik nilai yang terjadi dalam masyarakat telah
menghadapkan subjek didik pada satu dilema antara apa yang
diajarkan dalam kelas (das sollen) tidak ada hubungannya den-
gan dan mungkin juga jauh dengan kenyataan yang dihadapi
oleh subjek didik dalam kehidupan sehari-hari di luar kelas (das
sein). Menurut Una, konflik tentang nilai dapat menjadi lebih
gawat lagi dengan mengikuti konsep relativisme nilai di bidang
moral. Bahkan pada zaman globalisasi dan komunikasi ini ban-
yak nilai-nilai yang bertentangan satu sama lain dipampang di
depan mata subjek didik.
Zakiah Daradjat, dalam bukunya Membina Nilai-nilai
Moral di Indonesia.15 Berpendapat, bahwa pembumian jiwa
agama (nilai religius) yang telah dimulai dalam keluarga harus
diteruskan di sekolah. Pembinaan nilai-nilai tersebut dilaksana-
kan harus melibatkan semua guru bidang studi lain. Zakiah
menyarankan agar nilai-nilai religius itu perlu diwujudkan
____________
13
Udin Sarifuddin, W. Konsep dan Strategi Values Pendidikan
Moral Pancasila di Sekolah Menengah (Jakarta: Proyek Pembangunan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Depdikbud, 1989).
14
Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai (Jakarta: Proyek
Pengembangan Profesi Guru/P3G), 1980.
15
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Ja-
karta: Bulan Bintang, 1971).



14

dalam kurikulum, metode, atau strategi belajar mengajar serta
guru itu sendiri.
Buku Pemikiran Pendidikan Islam, karya bersama Mu-
haimin dan Mujib Abdullah secara lebih filosofis menguraikan
sebuah sub bab khusus yang membicarakan tentang sistem nilai
dan relasinya terhadap prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Ulasan
filosofis ini meliputi bahasan tentang hakikat makna nilai, sum-
ber nilai dalam kehidupan manusia, bentuk-bentuk dan tingkatan
nilai, proses dan prinsip sosialisasi nilai dan implementasi sis-
tem nilai dalam proses pendidikan Islam.16 Sumber-sumber
data lainnya juga banyak diperoleh dari buku-buku seperti karya
M. Arifin yang sangat konsern terhadap problematika Pendidi-
kan Islam. Hal ini dibuktikan dengan produktivitas hasil tulisan.
Buku-bukunya antara lain; Kapita Selekta Pendidikan; Umum
dan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Is-
lam.17 Dan masih banyak referensi-referensi terkait lainnya
yang dengan keterbatasan penulis belum tercakup semuanya di
dalam penelitian ini.
Konsep umum yang terdapat dalam sejumlah referensi di
atas dikonstruk dari hasil penelitian pada buku teks (sumber
primer) yang membahas lebih terperinci tentang langkah-
langkah dan strategi internalisasi nilai pada umumnya. Setelah
diketahui strategi umum internalisasi nilai tersebut, maka ke-
mudian dicoba cari relevansinnya dengan cara mengkombinasi-
kan dengan fokus kajian yang lebih khusus berdasarkan kon-
teksnya. Pada tahap ini data diidentifikasikan dan dianalisis
dengan menggunakan pola pikir deduktif-kontekstual. Atas
dasar dari langkah-langkah ini kemudian ditarik suatu sintesa
____________
16
Muhaimin dan Mujib Abdullah, Pemikiran Pendidikan Islam;
Kajian Filosofis Dalam Kerangka Operasinal (Bandung: Trigenda Karya,
193).
17
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan; Umum dan Islam, Filsafat
Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis
Praktis Berdasarkan Pendekatan Inter-disipliner (Jakarta: Bumi Aksara:
1993).



15

baru atau solusi alternatif terhadap permasalahan inti yang di-
kaji.
Selanjutnya, tesis ini digarap dengan menggunakan pe-
nelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan
pisau analisis didaktik metodologis dan teologik filosofis
yang didasarkan pada frame work diskriptif analitik terhadap
semua referensi terkait.
Kajian ini mencoba membahas landasan konsepsional
pendidikan nilai secara umum. Dalam artian, pertama; konsep
umum tentang nilai-nilai dalam pendidikan (educational values),
kedua; konsepsi pendidikan nilai dalam bingkai Pendidikan
Umum, bukan dalam pandangan Pendidikan Islam secara khu-
sus. Adapun ruang lingkup pembahasan konsepsi pendidikan
nilai meliputi; definisi tentang nilai, jenis-jenis dan hirarkhi ni-
lai, proses pendidikan nilai, strategi dan pendekatan dalam pen-
didikan nilai, serta metode dan teknik pendidikan nilai.
Lebih lanjut, tulisan ini mencoba membahas konstruksi
metodologis-pedagogis internalisasi nilai-nilai teologis ke dalam
semua materi (subject matters) pelajaran yang ditawarkan kepa-
da subjek didik beserta kemungkinan-kemungkinan aplikasinya
dalam bingkai Pendidikan Islam. Bagian metodologis-aplikatif
ini meliputi pembahasan tentang hakikat nilai teologis, tujuan
internalisasi, substansi nilai teologis, model: strategi, pendeka-
tan, metode dan teknik internalisasi, serta standar evaluasi ke-
berhasilan.



16




17

BAB DUA
KONSEPSI PENDIDIKAN NILAI


onsepsi Pendidikan Nilai adalah rumusan, konstruk dasar
pemikiran tentang wacana nilai dalam pendidikan, khusus-
nya penanaman dan pengembangan nilai dalam diri peserta
didik. Pemikiran ini dibangun atas dasar postulat bahwa pen-
didikan tidak hanya mengembangkan ilmu, ketrampilan,
teknologi, tetapi juga mengembangkan aspek-aspek potensial
kemanusiaan lainnya: kepribadian, etik moral dan lain-lain,
yang kesemuanya itu dapat dikategorikan ke dalam pendidikan
nilai.
Pendidikan afektif, khususnya pendidikan nilai adalah
bagian integral dari pendidikan. Dengan bahasa sederhana ser-
ing diungkapkan; apa gunanya pandai tetapi tidak berakhlak.
Pendidikan nilai adalah proses membantu peserta didik menja-
jaki nilai yang mereka yakini secara kritis agar meningkatkan
mutu pemikiran dan perasaan mereka tentang nilai dimaksud.
Pen-didikan nilai setidaknya mencakup empat dimensi utama,
yaitu; 1) identifikasi nilai, 2) inkuiri filosofis atau tinjauan men-
dalam secara rasional tentang nilai, 3) respons afektif dan emotif
terhadap nilai, 4) dan mengambil keputusan terhadap nilai ber-
dasarkan inkuiri dan respon.
Ditinjau dari sudut pandangan sosiologis dan antro-
pologis, fungsi utama pendidikan adalah untuk menumbuhkan
kreativitas peserta didik, dan menanamkan nilai yang baik.
18

Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah untuk mengembang-
kan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang
baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan.
Persoalan manusia baik adalah persoalan nilai, tidak
hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional, akan tetapi
____________
18
Kalimat nilai yang baik, secara implisit menunjukkan bahwa nilai
tidak hanya berkonotasi positif melainkan juga negatif.
K



18

masalah penghayatan dan pemahaman yang lebih bersifat afektif
dari pada kognitif.
19
Walaupun demikian, penghayatan dan pe-
mahaman tidak akan efektif tanpa didukung oleh fakta dan ke-
benaran ilmiah rasional.
Untuk mencapai tujuan menjadikan manusia baik, dibu-
tuhkan materi pendidikan yang baik, tujuan yang baik, strategi,
pendekatan, metode dan tehnik belajar-mengajar yang baik juga.
Persoalan menjadikan manusia yang baik tidak hanya menjadi
kewajiban pendidikan keagamaan atau pendidikan moral saja,
melainkan tanggungjawab bersama semua jenis pendidikan,
baik pendidikan rasional (eksakta), teknologi, ekonomi, sosial,
politik maupun pendidikan jasmani sekalipun.
20
Dengan kata
lain, pendidikan nilai bukan pendidikan yang diberikan secara
terpisah dan terasing dari materi ajaran lainnya, hanya saja por-
sinya yang berbeda. Pendidikan nilai harus termuat di dalam as-
pek pendidikan lainnya walaupun secara implisit.
21

Kewajiban mengimplikasikan nilai dalam semua jenis
pendidikan sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari tujuan
pendidikan untuk menjadikan manusia baik. Sehingga pendidi-
kan apapun harus mampu melahirkan cendikiawan yang profes-
sional dalam bidangnya masing-masing sekaligus peduli terha-
dap tata nilai yang hidup dan dianut dalam realitas masyarakat.
Namun demikian, perlu ditekankan bahwa pendidikan
nilai tidak harus mengorbankan kreatifitas rasional bagi peserta
____________
19
Tentunya pemisahan kedua domain pendidikan ini khususnya dalam
pendidikan nilai tidak harus bersifat dikotomis. Karena antara ranah afektif
dengan dua ranah lainnya (kognitif dan psikomotor) dalam suatu aspek pen-
didikan tidak dapat dinafikan salah satu diantara ketiganya secara mutlak.
20
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, cet. Ke-1 (Yo-
gyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60.
21
Pendidikan nilai tidak harus merupakan satu program atau pela-
jaran khusus, seperti pelajaran menggambar atau bahasa Inggris, tetapi le-
bih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan. M. Sastraprat-
edja, Pendidikan Nilai dalam EM. K. Kaswardi (ed), Pendidikan Nilai
Memasuki Tahun 2000 ( Jakarta: Grasindo, 1993), h. 3.



19

didik; yang terjadi harus sebaliknya, pendidikan nilai dapat
memper-gunakan pendekatan rasional ilmiah.
Di samping itu, berbicara masalah pendidikan nilai; ter-
masuk nilai teologis tidaklah sederhana, sebab selain pendekatan
rasional dan afektif, juga didasarkan atas tata nilai yang bersifat
normatif. Di samping itu juga, pengertian baik itu sendiri cu-
kup bervariasi sesuai dengan konteks kalimat dan sifat objek
yang dijelaskan. Tujuan yang baik, tidak sama maksudnya den-
gan materi yang baik, dan manusia yang baik. Dalam konteks
pendidikan nilai manusia yang baik adalah manusia yang
memiliki kepribadian utama; tujuan yang baik adalah tujuan
yang dapat dijangkau, dan memiliki dimensi yang luas. Adapun
materi yang baik adalah materi yang sesuai dengan pemikiran
peserta didik.
A. Pengertian Nilai
Sebelum membahas lebih jauh teantang bagaimana pen-
didikan nilai, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang penger-
tian nilai. K. Berten dalam bukunya Etika mengakui bahwa ti-
dak mudah untuk menjelaskan apa itu nilai. Namun menurutnya,
setidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang
menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang di-
inginkan, singkatnya sesuatu yang baik. K. Bertens lebih jauh
mengutip pendapat salah seorang filosof Jerman, Hans Jones, ia
mengatakan; value is the addressed of a yes (sesuatu yang kita
tujukan dengan ya kita). Dalam menanggapi pandangan Hans
Jones ini tentang pengertian nilai, K. Bertens beranggapan
bahwa memang nilai merupakan sesuatu yang diiyakan atau
diaminkan. Karena itu menurutnya, nilai selalu berkonotasi
positif, sebaliknya sesuatu yang dijauhi, atau segala sesuatu
yang manusia melarikan diri darinya seperti penderitaan adalah
kebalikan dari nilai. Walaupun demikian, namun ada juga se-
jumlah aksiolog dari kalangan filosof yang berpendapat bahwa
nilai juga dapat berkonotasi negatif atau mereka sering juga



20

menggunakan istilah nilai negatif dalam ungkapannya tentang
nilai.
22
Sementara itu J.P Caplin menyatakan; nilai adalah suatu
ukuran kualitatif, satu sasaran atau tujuan sosial yang dianggap
penting dan berharga untuk dicapai. Sedangkan yang dimaksud
dengan sistim nilai menurutnya adalah perangkat nilai yang
diterima oleh seseorang secara individual atau sekelompok
orang (komunal).
23
Menurut Saliman dan Sudarsono, nilai dili-
hat dari segi fungsionalnya adalah sifat-sifat penting bagi ke-
manusiaan.
24

Menurut Robin M. Williams. Jr, dalam tulisannya, The
Concept of Values menyebutkan bahwa term nilai secara
umum biasanya berhubungan dengan; perhatian, minat, ke-
senang-an, kesukaan, pilihan, tugas dan kewajiban moral, hasrat,
kebutuhan, keengganan, dan daya tarik serta berbagai orientasi
pilihan yang berhubungan dengan perasaan lainnya.
25

Menurut Robin, term nilai yang beragam ini secara sis-
tematis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori nilai pokok,
yaitu jenis nilai conatif (hasrat, kesukaan), jenis achiefment
value (sukses dan frustasi), dan jenis affective value (kesenan-
gan dan kesengsaraan). Fenomena nilai dalam cakupan batasan
term semacam ini mengandung sejumlah ciri umum, yaitu se-
mua nilai mengandung sejumlah elemen kognitif; dimana nilai
mempunyai suatu kemampuan memilih dan menentukan arah.
Di dalamnya juga mencakup sejumlah kompenen afektif, di
mana nilai berperan sebagai suatu criteria penyeleksian dalam
tindakan. Oleh karena itu, ketika nilai dilihat secara lebih ek-
splisit dan konseptual, maka nilai menjadi kriteria penentuan,
____________
22
K. Bertens, E t i k a, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), h. 139.
23
J. P Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, cet.
Ke-2, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 256.
24
Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan
Umum, cet. Ke-1 (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), h. 156.
25
Robin M. Williams. Jr, The Concept of Values, dalam David. L
Sill (ed) International Encyclopedia of The Social Sciences, Vol. XV (New
York: Macmillan & The Free Press, t.t.), h. 238.



21

pilihan, dan pertimbangan suatu tindakan. Sebaliknya, secara
implisit cakupan nilai menjadi sedemikian sempurna sebagai
penentu dasar-dasar keputusan tingkah laku.
Bertitik tolak dari batasan term nilai di atas, kiranya da-
pat dipahami bahwa pada kenyataannya term tersebut mencakup
banyak aspek dan ruang lingkup tinjauan sesuai dengan dimensi
dan pendekatan pengamatan yang digunakan. Walaupun
demikian, pembatasan tentang term nilai sebagaimana telah
disebutkan di atas kelihatannya tidak beranjak jauh dari dimensi
psikologis dan humanis kemanusiaan baik diamati dari aspek
kebutuhan manusiawi yaitu aspek etis dan aspek estetis, maupun
diamati dari aspek fungsional nilai itu sendiri yaitu sebagai pe-
nentu tingkah laku (behavior) manusia.
Dengan kata lain, nilai merupakan acuan, kriteria, stan-
dar dan tolak ukur sikap dan tingkah laku individu. Dalam tata-
ran praktis dan aplikatif, nilai dapat terwujud menjadi semacam
ideologi, doktrin, dan etik yang tertanam secara naluriah dalam
kesadaran individu. Sehingga menjadi cukup beralasan jika nilai
dianggap sebagai salah satu komponen personalitas. Hanya saja
dalam hirarkhinya, ada nilai universal yang sifatnya final dan
absolut, dan ada nilai partikuler yang sifatnya temporal, medial
dan sementara.
Sebagai penjelasan pembanding, berikut ini dikemu-
kakan beberapa pandangan dari sejumlah pakar lainnya. Menu-
rut Milton Rokeach dan James Bank, nilai adalah:
Suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sis-
tim kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari
suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak
pantas dikerjakan.
26

Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa
nilai merupakan sifat yang melekat pada suatu sistim keper-
____________
26
Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai (Jakarta: Proyek Pen-
gembangan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud, 1980), h. 1.



22

cayaan yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi
arti (yaitu manusia yang meyakini).
Sedangkan pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel adalah
sebagai berikut: a value is an idea a concept about what some
one thinks is important in life.
27
Maksudnya: nilai adalah suatu
ide atau sebuah konsep tentang sesuatu hal yang penting dalam
hidup.
Pengertian ini menunjukkan bahwa hubung-an antara
subjek dengan objek memiliki arti penting dalam kehidupan ob-
jek.
Sidi Gazalba mendefinisikan nilai sebagai berikur:
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstraks, ia ideal, nilai bu-
kan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar
dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal
penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi
dan tidak disenangi.
28

Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar
subjek penilaian dan objek. Tuhan tidak bernilai bila tidak ada
subjek yang memberi nilai, Tuhan menjadi berarti setelah ada
makhluk yang membutuh, ketika Tuhan sendirian, maka Ia
hanya berarti bagi diri-Nya sendiri.
Namun demikian, nilai tidak semata-mata terletak pada
subjek pemberi nilai, tetapi dalam sesuatu hal yang bernilai
mengandung sesuatu yang bersifat esensial yang menjadikan
sesuatu itu bernilai. Tuhan semata-mata mengandung sifat ke-
sempurnaan yang tiada taranya dari segala makhluk di jagad
raya ini. Jadi apabila unsur yang bersifat esensial ini tidak ada,
maka manusia juga tidak akan memberikan harga terhadap se-
suatu tersebut.
Menurut Louis D. Kattsoff nilai diartikan sebagai beri-
kut:
____________
27
Jack. R. Fraenkel, How to Teach About Values; An Analytic Ap-
proach (New Jersey: Prantice Hall., 1977), h. 6.
28
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Buku IV. Teori Nilai (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 6.



23

1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat dide-
finisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami se-
cara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Den-
gan demikian nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan
ada tolak ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek
itu.
2. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yaitu suatu ob-
jek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran, ia dapat
benilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek
yang memiliki kepentingan.
3. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil
dari pemberian nilai, dimana nilai itu diciptakan oleh situa-
si kehidupan.
4. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu,
nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap ken-
yataan namum tidak ber-eksistensi, nilai itu bersifat objektif
dan tetap.
29

Dari pengertian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
nilai adalah esensi yang melekat pada suatu yang sangat berarti
bagi kehidupan manusia. Esensi belum berarti sebelum dibu-
tuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena
adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kemaknaan
esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan
daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.
B. Jenis dan Hirarkhi Nilai
Dengan memahami pengertian nilai sebagaimana dipa-
parkan di atas, belum dapat memberikan gambaran yang konkrit
bagaimana mengembangkan model-model strategi pendidikan
nilai. Karena masing-masing nilai masih terdapat keberagaman
pada sifat, sumber dan hirarkhi tata nilainya.


____________
29
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Agus Sumargono
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), h. 333.



24

1. Jenis-jenis Nilai
Nilai dilihat dari berbagai sudut pandang dan beragam
aspek tinjauan dapat terpolarisasi ke dalam beberapa jenis,
antara lain:
a. Nilai dilihat dari sudut kebutuhan manusia, dalam aspek ini
menurut Abraham Maslow
30
dapat dikategorikan menjadi;
nilai biologis, nilai keamanan, nilai cinta kasih, dan nilai jati
diri. Kelima nilai ini berkembang sesuai dengan tuntutan ke-
butuhan manusia dilihat dari skala perioritasnya, yaitu mulai
dari yang cukup sederhana (biologis) sampai dengan kebu-
tuhan yang tertinggi (jati diri). Sementara itu jika tata nilai
agama dikaitkan dengan nilai-nilai kebutuhan manusia
tersebut, menurut M. Chabib Thoha
31
tidak mungkin dapat
direlevan-sikan. Karena menurutnya, wujud jati diri seorang
Muslim tidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun
sosial budaya atau pada prestise sosial lainnya yang dimiliki.
Wujud prestise seorang Muslim itu hanyalah terletak pada
intensitas keberagamaannya.
b. Dilihat dari kemampuan jiwa manusia dalam menangkap
dan mengembangkan nilai sebagaimana dinyatakan Noeng
Muhadjir
32
, maka nilai dapat diklasifikasikan menjadi dua
klasifikasi, yaitu; 1). Nilai statis, seperti kognisi, emosi, dan
psikomotorik, 2). Nilai dinamis, seperti motivasi berprestasi,
motivasi berafiliasi, dan motivasi berkuasa. Jika
dikomposisikan kedua klasifikasi nilai ini, maka klasifikasi
yang digunakan Noeng Muhadjir lebih memudahkan
penyusunan strategi dalam pendidikan nilai, karena
sebagiannya dilakukan dengan menggunakan pendekatan
____________
30
Abraham Maslow, A Theory of Human Motivation, dalam Psy-
cology of the World today, An Interdiciplinary Approach, Rovert V. Githrie
(ed.) (California: Addison-Wesley Publishing, 1971), h. 101.
31
M. Chabib Toha, Kapita Selekta., h. 63.
32
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Suatu
Teori Pendidikan (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987), h. 133.



25

proses psikologis, sedangkan Maslow menggunakan
pendekatan basic need.
c. Dilihat dari pendekatan proses budaya, sebagai-mana
dikatakan Abdullah Sigit, maka nilai dapat dikelompokkan
ke dalam tujuh jenis, yaitu; 1). nilai Ilmu Pengetahuan, 2).
nilai Ekonomi, 3). Nilai Politik, 4). nilai Keindahan, 5). nilai
keagamaan, 6). nilai Kekeluargaan, dan 7). nilai
Kejasmanian.
33
Pengkategorian sejumlah nilai di atas dari
segi cakupan hidup manusia sudah cukup memadai. Karena
mencakup nilai yang berhubungan antara manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan
manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu nilai Ilhiy-
yah (teologis) dan nilai insniyyah (sosiologis) dan nilai ke-
masyarakat-an (ijtimaiyyah) tercakup di dalamnya.
d. Dilihat dari segi sifat nilai, maka nilai dapat dibagi kepada;
Nilai Subjektif, Nilai Objektif Rasional dan Nilai Objektif
Metafisik.
34
Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan re-
alisasi subjek terhadap objek. Nilai objektif rasional (logis)
adalah nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara
logis yang dapat diketahui melalui akal sehat; seperti nilai
kemerdekaan, kesehatan, keselamatan serta perdamaian. Se-
dangkan nilai objektif metafisik adalah nilai-nilai yang bi-
asanya mampu menyusun kenyata-an objek, seperti nilai-
nilai agama.
e. Dilihat dari segi sumbernya, maka nilai terbagi menjadi Ni-
lai Ilahiyah (ubdiyyah), dan Nilai Insaniyah (mumalah).
Adapun yang dimaksud dengan nilai Ilahiyah adalah nilai-
nilai yang bersumber dari Tuhan (wahyu Allah). Sedangkan
nilai Insaniyah adalah nilai-nilai yang diciptakan manusia
atas dasar kriteria manusia sendiri baik secara individual
maupun kelompok.
____________
33
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan.., h. 134.
34
Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 331.



26

f. Dilihat dari segi hakikatnya, menurut Noeng Muhadjir, nilai
dapat dibagi menjadi; Nilai Hakiki (root values), dan Nilai
Instrumental (instrumental values). Nilai-nilai hakiki itu ber-
sifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental
bersifat lokal dan temporal.
g. Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuan-nya, nilai
dapat juga dibagi menjadi; Nilai Universal dan Nilai Lokal.
Walaupun demikian, tidak semua nilai-nilai keagamaan itu
bersifat universal, ada yang sifatnya universal dan ada yang
sifatnya temporal.
Perbedaan nilai-nilai ini setidaknya mem-bawa pengaruh
pada perbedaan dalam menentukan tujuan pendidikan nilai, per-
bedaan strategi yang akan dikembangkan dalam pen-didikan
nilai. Di samping perbedaan nilai yang ditinjau dari sudut objek,
ruang lingkup, sumber dan kualitas/masa keberlakuannya di
atas, maka nilai dapat dibedakan dari segi hirarkhi atau struk-
turnya. Tentunya hal ini lebih ditentukan dari sumber, sifat dan
hakikat nilai itu.

2. Hirarkhi Nilai
Untuk melihat struktur dan tata nilai ada dua paradigma
yang dapat disajikan, paradigma pertama yaitu sebagaimana di-
kembangkan oleh Noeng Muhadjir, dan paradigama yang kedua
adalah sebagaimana ditawarkan oleh Sidi Gazalba.
a. Hirarkhi Nilai menurut Noeng Muhadjir, nilai dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis nilai, yaitu (1) apa yang
diistilahkan dengan Nilai-nilai Ubudiyah dan Nilai-nilai
Mumalah, (2) Nilai-nilai Etik Insaniyah, yang terdiri dari
nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai biofisik, nilai
ekonomik, nilai politik, dan nilai estetik.
35

b. Hirarkhi Nilai menurur Sidi Gazalba, hirarkhi ini didasarkan
pada pendekatan kualisi nilai, sesuai dengan pendekatan
islami. Dimana nilai terbagi ke dalam lima tingkatan; nilai-
____________
35
Noeng Muhajdir, Ilmu Pendidikan, h. 137.



27

nilai yang wajib (paling baik), nilai-nilai yang sunnah (baik),
nilai-nilai yang mubah (netral/alternatif), nilai-nilai yang
makruh (tercela), dan nilai-nilai yang haram (jelek).
36

Tata nilai sebagaimana dihirarkhikan di atas kemudian
dapat diposisikan dan dicari hubungan antara nilai-nilai Ilahiyah
sebagai sumber nilai dan merupakan esensi nilai dalam kai-
tannya dengan nilai-nilai etik Insaniyah lainnya. Pada prinsip-
nya, masing-masing nilai, walaupun secara hirarkhis dapat
dikembalikan kepada nilai-nilai Ilahiyah dan nilai etik Insani-
yah, akan tetapi pada hakikatnya tidak sama besarnya melakat
pada masing-masing individu. Dan pada perkembangan selan-
jutnya, ada juga nilai yang menyentuh nilai-nilai tertinggi, tetapi
ada juga yang hanya berada di posisi marginal dari nilai
tertinggi dan tidak pernah menyentuh sekali.
37

C. Proses Pembentukan Nilai
Dalam proses pembentukan nilai ini ada dua teori yang
dapat dikemukakan, yaitu pertama teori L. Khohlberg yang
mendekati proses pembentukan nilai dari tahap-tahap perkem-
bangan usia anak. Sedangkan yang kedua adalah teori Krath-
wohl, teori ini mengemukakan tentang proses pembentukan nilai
dari segi proses psikologis untuk melakukan proses penyesuaian
diri melalui lima tahap perkembangan. Dua teori dimaksud da-
pat dipaparkan sebagai berikut:
38

1. Proses Pembentukan Nilai menurut L. Khohlberg
Teori ini dikemukakan oleh Lawrence Khohlberg meru-
pakan validasi dari teori yang dikembangkan oleh Dewey dan
Jean Peaget. Dimana keduanya menggunakan teori kognitif da-
lam melihat perkembangan nilai-nilai moral, menurut mereka
perkembangan moral terdiri dari enam tahap, yaitu;
____________
36
Sidi Gazalba, Sistematika., h. 499.
37
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta.., h. 69.
38
Lawrence Khohlberg, The Cognitive Developmental Approach to
Moral Education, dalam H.F. Clarizo (ed) Contemporary Issues in Educa-
tional Psychology (Boston: Boston Allyn and Bacon, 1979), h. 53-55.



28

a. Pre-Conventional Level, yang terdiri dari :
1. Punishment-Obedience Orientation, tahap pertama ini
terdapat pada anak-anak kecil dimana perbuatannya
masih sangat tergantung kepada hukuman dan pujian
yang diberikan oleh orang tuanya.
2. The Instrumental-Relativist Orientation, pada tahap
kedua ini hukuman fisik, tetapi telah menggunakan
pendekatan non-fisik, tahap ini terdapat pada anak
remaja.
b. Conventional Level, terdiri dari:
1. The Interpersonal Concordance, dimana pada tahap
remaja awal mulailah terjadi pembentukan nilai. Pada
tahap ini individu mencoba bertingkah laku sesuai
dengan apa yang diharapkan dari masyarakat.
2. The Law and Orders Orientation, tahap keempat di-
miliki oleh orang dewasa muda. Pada tahap ini seseo-
rang berbuat sesuai dengan pertimbangan kepentingan
orang banyak agar masyarakat tidak terganggu keten-
tramannya.
c. Principled Level, tahap ini terjadi pada orang dewasa yang
terdiri dari dua tahapan, yaitu :
1. The Social Contract, Legalistic Orientation, pada ta-
hap ini seseorang bertindak dengan pertimbangan
bahwa ia mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu
kepada masyarakat dan masyarakatpun sebaliknya.
Orientasi pada tahap ini sudah lebih luas dari tahap-
tahap sebelumnya, akan tetapi masih terikat dengan
kondisi masyarakat tertentu di mana ia hidup.
2. The Universal-Ethical Principle Orientation, tahap ini
adalah tahap tertinggi, pada tahap ini individu telah
menemukan nilai-nilai yang dianggapnya berlaku uni-
versal dan nilai-nilai itu dijadikannya prinsip yang
mempengaruhi sikap hidupnya.
Dalam proses pembentukan dan pertumbuhan nilai menu-
rut Khohlberg ini bila dikaitkan dengan strategi dan pendekatan
dalam pendidikan nilai pada tahap pemula (pre-Conventional



29

level) dapat digunakan strategi tradisional, pada tahap kedua
(conventional level) menggunakan strategi reflektif, pada tahap
tertinggi (principled level) dapat menggunakan strategi bebas.

2. Proses Pembentukan Nilai menurut Krathwohl
Menurut David R. Krathwohl dan kawan-kawan, proses
pembentukan nilai pada tahap awal dapat diklasifikasikan dalam
lima tahap, yaitu;
a. Tahap Receiving (menyimak), pada tahap ini anak secara ak-
tif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenome-
na-fenomena, sedia menerima secara aktif, dan selektif dalam
memilih fenomena. Pada tahap ini nilai belum terbentuk me-
lainkan baru menerima nilai yang ada dari luar dirinya, dan
mencari nilai-nilai itu untuk dipilih mana yang paling mena-
rik bagi dirinya.
b. Tahap responding (menanggapi), pada tahap ini anak sudak
mulai bersedia menerima dan menanggapi secara aktif stimuli
dalam membentuk respon yang nyata. Dalam tahap ini terda-
pat tiga tingkatan, yaitu; tahap compliance (manut), willing-
ness to responce (sedia dalam menanggapi), dan satisfaction
in responce (puas dalam menanggapi). Pada tahap ini anak
sudah mulai aktif menanggapi nilai-nilai yang berkembang di
luar dirinya dan berusaha meresponnya.
c. Tahap valuing (memberi nilai), jika pada tahap pertama dan
kedua lebih banyak bersifat aktivitas fisik biologis dalam me-
nerima dan menanggapi dan menanggapi nilai, maka pada ta-
hap ketiga ini anak sudah mampu menangkap stimulus atau
dasar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pada tahap ini
juga anak sudah mampu menyusun persepsi tentang objek
yang dalam hal ini terjadi secara tiga tahap, yaitu; percaya
terhadap nilai yang ia terima, merasa terikat dengan nilai
yang ia percaya (yang dipilihnya), dan memiliki keterikatan
batin (commitment) untuk memperjuangkan nilai-nilai yang ia
terima dan diyakininya itu.
d. Tahap organization (mengorganisasikan nilai), tahap ini lebih
kompleks dari tahap-tahap sebelumnya. Pada tahap ini anak



30

sudah dapat mengatur sistem nilai yang ia terima dari luar un-
tuk diorganisasikan (ditata) dalam dirinya sehingga sistem
nilai itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dirinya.
Pada tahap ini terbagi menjadi dua tahapan organisasi nilai,
yaitu; pertama mengkonsepsikan nilai dalam dirinya, dan
kedua mengorganisasikan sistem nilai dalam dirinya. Yaitu
cara hidup dan tata perilakunya sudah didasarkan atas nilai-
nilai yang diyakini.
e. Tahap characterization (karakteristik), pada tahap ini anak
telah mampu mengorganisir sistem nilai yang diyakininya
dalam hidupnya secara mapan; kontinyu dan konsisten se-
hingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya. Tahap
ini dapat diperinci ke dalam dua tahapan, yaitu; pertama
tahap menerapkan sistem nilai dan kedua tahap karakterisasi
yakni tahap mempribadikan (internalisasi) sistem nilai terse-
but.
39

Tahap-tahap proses pembentukan nilai menurut Krath-
wohl ini lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana
individu itu menerima nilai-nilai dari luar kemudian menginter-
nalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam diri individu.
D. Strategi dan Pendekatan Pendidikan Nilai
Sebelum membahas strategi dan pendekatan dalam
pendidikan nilai ada baiknya dijelaskan beberapa pengertian
yang akan digunakan dalam sub judul ini. Dalam konteks
pendidikan, yang dimaksud dengan pendekatan belajar-
mengajar adalah cara pemrosesan subjek atas objek untuk
mencapai tujuan. Metode belajar-mengajar adalah cara kerja
pendidik atau subjek memproses objek sehingga mencapai
tujuan. Tehnik belajar-mengajar adalah prosedur belajar-
mengajar atau urutan kegiatan belajar-mengajar sesuai dengan
metoda dan pendekatan yang digunakan. Sedangkan strategi
____________
39
David R. Krathwohl (ed), Taxonomi of Educational Objectives,
Hanbook II, Affective Domain (London: Longman Group, 1964).



31

belajar-mengajar mencakup pengertian mengimplisitkan pende-
katan, metoda dan tehnik.
Karena itu dalam menentukan strategi dan pendekatan
dalam pendidikan nilai terlebih dahulu harus diketahui nilai apa
yang akan dididik, dan tujuannya.
1. Model-model Strategi Pendidikan Nilai
Dalam kajian pendidikan, paling tidak ada empat model
strategi yang biasa digunakan dalam pendidikan nilai. Keempat
model strategi dimaksud adalah model strategi tradisional,
strategi bebas, strategi reflektif, dan strategi transinternal.
40

a. Strategi tradisional
Adalah biasanya dengan jalan memberikan nasehat atau
indoktrinasi. Strategi ini ditempuh dengan jalan memberitahu-
kan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan nilai yang
kurang baik.
41
Kelemahan strategi ini adalah anak sekedar tahu
atau hafal jenis-jenis nilai tertentu yang baik, tetapi belum tentu
melaksanakan. Dalam hal ini pendidik lebih sering berperan se-
bagai juru bicara nilai dan tidak jarang ia sendiri belum melak-
sanakannya. Tekanan dari strategi ini lebih bersifat kognitif, se-
dangkan segi afektifnya kurang dikembangkan.
Penggunaan strategi ini anak hanya mengerti nilai den-
gan paksaan, paksaan akan efektif jika disertai dengan hukuman
yang bersifat fisik atau materil. Hal ini kurang menguntungkan
untuk pendidikan nilai yang seharusnya mengembangkan kesa-
daran internal pada diri anak. Dan bila dikaitkan dengan per-
tumbuhan nilai dari L. Khohlberg baru pada taraf nilai yang pal-
ing rendah dan hanya berlaku untuk tingkat anak-anak, karena
itu jika strategi ini dikembangkan di sekolah dan perguruan
tinggi menjadi tidak tepat.
____________
40
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan .., h. 135.
41
Una Kartawisastra, et. al., Strategi Klasifikasi Nilai (Jakarta:
P3G Depdikbud, 1980), h. 4.



32

b. Strategi bebas
Strategi ini merupakan kebalikan dari strategi tra-
disional, dimana pendidik tidak memberitahukan kepada peserta
didik nilai-nilai yang baik dan buruk. Pembentukan nilai secara
bebas adalah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada peserta
didik untuk memilih dan menentukan nilai yang akan dipilihnya.
Penggunaan strategi ini biasanya didasarkan pada alasan bahwa
nilai yang baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang yang
lain. Kelemahan dari penggunaan strategi ini adalah peserta
didik belum mampu memilih nilai-nilai umum yang baik dan
kurang baik, peserta didik masih memerlukan bimbingan dari
pendidik untuk memilih nilai yang terbaik bagi dirinya. Karena
itu strategi ini hanya dapat dikembangkan bagi pendidikan nilai
yang diperuntukkan untuk orang dewasa, dan terhadap objek
nilai kemanusiaan. Sedangkan terhadap nilai-nilai Ilahiyah, teru-
tama Ilahiyah Ubudiyah sulit untuk menggunakan strategi bebas
ini.
c. Strategi Reflektif
Strategi ini merupakan cara yang biasa digunakan untuk
mendidik peserta didik dalam mengenali dan memilih nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan dengan jalan mondar-mandir antara
menggunakan pendekatan teoritik ke pendekatan empirik, serta
mondar-mandir antara meng-gunakan pendekatan deduktif den-
gan pendekatan induktif. Jika dalam strategi tradisional pendidik
memiliki peran yang menentukan karena ia memegang otoritas
kebenaran, sementara peserta didik hanya pasif menerima ke-
benaran itu tanpa harus mempersoalkan hakikatnya. Sementara
itu dalam pendekatan bebas peserta didik memiliki kesempatan
seluas-luasnya untuk memilih dan menentukan mana nilai-nilai
yang benar dan yang salah, maka dalam strategi reflektif ini pe-
ran pendidik dan peserta didik sama-sama terlibat secara aktif.
Pendekatan reflektif ini memungkinkan penggunaan
pendekatan rasional sekaligus dengan pendekatan emosional,
pendekatan teoritik dan pendekatan empirik. Dalam mengguna-
kan pendekatan ini pendidik dituntut adanya konsistensi dalam
menerapkan kriteria untuk mengadakan analisis terhadap kasus-



33

kasus empirik yang dikembalikan kepada konsep-konsep teoriti-
knya. Demikian juga perlu konsistensi dalam meng-gunakan
aksioma-aksioma yang digunakan sebagai dasar deduksi untuk
menjabarkan konsep teoritik ke dalam terapan pada kasus-kasus
yang lebih sempit dan operasional. Pendekatan ini lebih sesuai
dengan tujuan tuntutan perkembangan berpikir peserta didik dan
relevan dengan tujuan pendidikan nilai untuk menumbuhkan
kesadaran rasional dan keluasan wawasan terhadap nilai.
d. Strategi Transinternal
Strategi ini merupakan cara untuk mengajarkan nilai
dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan
transaksi dan transinternalisasi. Dalam strategi ini pendidik dan
peserta didik sama-sama terlibat dalam proses komunikasi yang
aktif dan tidak hanya melibatkan komunikasi verbal dan komu-
nikasi fisik, melainkan adanya komunikasi batin (kepribadian)
antara pendidik dan peserta didik. Pendidik berperan sebagai
penyaji informasi, pemberi contoh dan teladan. Dengan kata lain
pendidik berperan sebagai sumber nilai yang melekat dalam pri-
badinya, sedangkan peserta didik menerima informasi dan mere-
spon terhadap stimulus pendidik secara fisik biologis, serta
memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima ni-
lai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian pendidik. Strategi
inilah yang sesuai untuk pendidikan nilai ke-Tuhanan dan ke-
manusiaan.

2. Model-model Pendekatan Pendidikan Nilai
Jika pada sub-point 1 telah disajikan beberapa alternatif
tentang strategi pendidikan nilai, maka ada beberapa model
pendekatan yang relevan dengan strategi-strategi dimaksud,
yaitu; pendekatan doktrinar, otoritatif, kharismatik, aksi, ra-
sional, penghayatan, dan afektif.
42

____________
42
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan ., h. 136.



34

a. Pendekatan Doktriner
Adalah cara menanamkan nilai kepada peserta didik
dengan jalan memberikan doktrin atau tekanan bahwa nilai yang
benar itu tidak perlu dipersoalkan dan dipikirkan, tetapi cukup
diterima sebagaimana adanya secara utuh. Pendekatan ini sesuai
dengan strategi tradisional, salah satu kelemahan pendekatan ini
kreativitas peserta didik tidak akan muncul dan peserta didik
tidak memiliki wawasan yang memadai tentang nilai. Sehingga
ketika nilai keimanan dan nilai Ubudiyah dikembangkan dengan
pendekatan ini akan melahirkan sikap dan pandangan keaga-
maan yang sempit dan membuta dan lebih bersifat fanatisme
emosional daripada kesadaran rasional.
b. Pendekatan Otoritatif
Adalah pendekatan yang menggunakan cara kekuasaan,
artinya nilai-nilai kebenaran, kebaikan yang datang dari orang
lain yang memiliki otoritas (keahlian, kekuasaan, orang tua)
adalah pasti benar dan baik, karena itu perlu diikuti. Pendekatan
ini hanya sesuai untuk strategi tradisional dan kurang tepat un-
tuk strategi reflketif dan transinternal. Karena kelemahan dasar
dari pendekatan ini adalah bahwa orang yang memiliki kelebi-
han ototritas formal itu belum tentu mempunyai nilai-nilai lebih.
Dan yang lebih riskan lagi, peserta didik menjadi tidak kritis
manakala melihat orang-orang yang memiliki otoritas ini sampai
melakukan nilai-nilai yang kurang baik tidak hanya didiamkan,
melainkan yang kurang baik itu bisa jadi dianggap yang baik
dan yang benar.
c. Pendekatan Aksi
Aksi digunakan untuk pendekatan pendidikan nilai den-
gan jalan peserta didik dilibatkan dalam tindakan nyata atau
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan
demikian diharapkan muncul kesadaran dalam dirinya akan
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Pendekatan ini akan tepat
untuk mengembangkan nilai-nilai kejasmanian dan nilai-nilai
kemasyarakatan, khususnya pembentukan nilai-nilai sportifitas



35

dan kejujuran yang akan lebih baik jika timbul sendiri dari pe-
serta didik sebagai hasil interaksinya dengan masyarakat.
d. Pendekatan Kharismatik
Kharismatik sebagai pendekatan pendidikan nilai cukup
relevan untuk strategi pendidikan yang memberi contoh teladan,
artinya peserta didik dengan melihat dan mengamati kepribadian
seseorang yang memiliki konsistensi dan keteladanan yang da-
pat diandalkan, akan tumbuh kesadaran untuk menerima nilai-
nilai tersebut sebagai nilai yang baik dan benar. Suatu kesulitan
dari penggunaan pendekatan ini adalah sulitnya diketemukan
pendidikan yang benar-benar dapat mempengaruhi orang secara
sadar untuk mengikutinya. Kesulitan ini kadang-kadang dapat
terjadi sebaliknya malah merusak nilai kharismatik yang se-
sungguhnya, yakni seorang pendidik yang bersikap otoriter un-
tuk mendukung kharisma yang ada pada dirinya.
Nilai yang dihasilkan dari pendekatan kharismatik ini
juga sama dengan pendekatan doktriner dan otoritatif, yakni ni-
lai-nilai yang diyakini oleh peserta didik sebagai kebaikan dan
kebenaran bukan muncul dari kesadaran rasional dengan wawa-
san yang luas dan mendalam, melainkan nilai-nilai hasil tiruan
dari orang lain yang diyakini kebenarannya tanpa dipersoalkan
hakikatnya. Karena itu untuk pendidikan nilai-nilai keimanan
dan nilai-nilai kemanusiaan bagi usia remaja, mahasiswa dan
orang dewasa pendekatan ini kurang cocok.
d. Pendekatan Penghayatan
Penghayatan sebagai pendekatan dalam pendidikan nilai
dikembangkan dengan jalan melibatkan peserta didik dalam ke-
giatan empiric keseharian tetapi lebih menekankan keterlibatan
aspek afektifnya daripada aspek rasionalnya, dengan demikian
diharapkan tumbuh kesadaran akan kebenaran. Nilai yang diha-
silkan dari pendekatan ini jauh lebih mendalam daripada pende-
katan-pendekatan sebelumnya, hal ini disebabkan karena peserta
didik secara empirik terlibat secara langsung berbagai akibat
dari dikembang-kannya nilai-nilai yang baik dan buruk dalam
kehidupan sehari-hari.



36

Dalam pendekatan penghayatan ini berarti peserta didik
dapat melihat perilaku konkrit dalam masyarakat, mengamati
akibatnya, prosesnya dan terlibat sendiri dalam aktivitasnya, se-
hingga kesan-kesan yang ditimbulkannya jauh lebih terpengaruh
dan resisten. Pendekatan ini sesuai untuk pendidikan keimanan
(ke-Tuhanan), sebab peserta didik tidak hanya sekedar terlibat
dalam aktivitas fisik kegiatan keagamaan seperti shalat, puasa,
zakat dan sebagainya, melainkan ada proses mental untuk men-
gambil makna dari aktivitas fisik itu. Pemaknaan aktivitas fisik
inilah yang disebut dengan aktivitas penghayatan.
e. Pendekatan Rasional
Untuk menanamkan kesadaran tentang nilai baik dan be-
nar adakalanya harus dimulai dari kesadaran rasional, sebab
proses pertumbuhan efek sebenarnya tidak terlepas sama sekali
dengan pertumbuhan rasional. Informasi tentang nilai baik dan
benar yang masuk melaui kesadaran rasional akan diolah secara
psikologis yang melahirkan sikap efektif terhadap objek nilai
tersebut. Jika kesimpulan rasionalnya menanggapi suatu objek
secara salah dan tidak benar, maka akan melahirkan sikap efek-
tif yang cendrung menjauh dan tidak menyukai nilai-nilai terse-
but. Sebaliknya, jika kesadaran rasionalnya menerima objek ni-
lai itu sebagai kebenaran, maka sikap efektifnya akan memberi-
kan dorongan untuk menyenangi, menyetujui, menghargai ter-
hadap nilai-nilai.
Pendekatan rasional ini jika dikembangkan untuk pen-
didikan nilai-nilai ke-Tuhanan akan menghasilkan integrasi
antara ilmu dan iman, antara kesadaran rasional yang didukung
dan dikembangkan ke dalam kesadaran afektif, atau akal dan
budi menyatu menjadi satu. Kesadaran nilai yang didukung oleh
sikap rasional ini membedakan kedewasaan iman, dengan iman
yang verbalis. Iman yang didukung oleh ilmu adalah iman yang
dewasa, sedangkan iman yang didukung oleh emosi dan taqlid
alah iman yang rawan.



37

f. Pendekatan Afektif
Pendidikan nilai dengan pendekatan afektif ini adalah
dengan jalan proses emosional yang diarahkan untuk menum-
buhkan motivasi untuk berbuat. Pendekatan afektif ini hampir
sama dengan pertumbuhan nilai-nilai menurut pendekatannya
Krathwohl dkk, yang sasaran paling akhirnya adalah inter-
nalisasi nilai-nilai yang datang dari luar melalui proses penye-
suaian diri.
Nilai-nilai yang mempribadi dari pendekatan afektif ini
belum tentu nilai-nilai yang terseleksi secara kritis dan filosofis,
tetapi lebih banyak nilai-nilai yang diterapkan dan berkembang
dalam masyarakat.
Untuk pendidikan nilai-nilai keagamaan pendekatan
afektif ini kurang memberikan akar yang kuat dalam pertumbu-
han pribadi peserta didik secara utuh, karena tidak jarang nilai-
nilai yang irrasional jika didekati dengan pendekatan afektif da-
pat diyakini sebagai suatu kebenaran. Dan yang paling riskan
dalam sistem nilai Islam adalah dua kebenaran yang saling ber-
tentangan, yaitu kebenaran hati (perasaan) dan kebenaran akal
(rasional). Dalam Islam kebenaran hanyalah satu, yaitu kebena-
ran rasional yang mencapai tingkat hakikat, dan tidak akan ber-
tentangan dengan kebenaran agama. Demikian juga sebaliknya,
kebenaran agama juga tidak bertentangan dengan kebenaran ak-
al.
Oleh karena itu, penggunaan pendekatan ini jika hanya
satu-satunya yang digunakan untuk pendidikan nilai keagamaan
tidak relevan dengan ciri nilai keagamaan itu, tetapi pendekatan
ini dapat digunakan jika diserta dengan penggunaan pendekatan
lainnya, yaitu pendekatan rasional.

E. Metode dan Teknik Pendidikan Nilai
Metode dan teknik yang sesuai dengan strategi dan
pendekatan dalam pendidikan nilai dapat dirumuskan sebagai
berikut :



38

1. Model: Metode Pendidikan Nilai
Ada beberapa metode untuk pendidikan nilai yang sesuai
dengan strategi dan pendekatan pendidikan nilai tersebut di atas,
metode-metode ini tentunya belum dapat dipastikan relevan
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan nilai ke-
Tuhanan dan kemanusiaan secara keseluruhan, melainkan harus
disesuaikan dengan strategi dan pendekatan yang digunakan.
Metode-metode dimaksud menurut Noeng Muhadjir
43
antara
lain adalah; metode dogmatik, deduktif, induktif, dan metode
reflektif.
a. Metode Dogmatik
Metode dogmatik merupakan metode untuk meng-
ajarkan nilai-nilai kepada peserta didik dengan cara menyajikan
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa
adanya dan tidak boleh mempersoalkan hakikat kebenaran itu.
Metode ini sesuai dengan strategi tradisional dan pendekatan
doktrinal otoritatif. Karena itu metode ini tidak mampu
mengembangkan kesadaran rasional peserta didik dalam
menghayati dan memahami nilai-nilai kebenaran.
Jika peserta didik menghayati dan menerima kebenaran
ini, maka penerapan mereka secara dangkal dan terpaksa.
Karena itu metode ini tidak relevan lagi dengan taraf berpikir
peserta didik, dan tidak sesuai juga dengan hakikat nilai dalam
Islam, apalagi untuk mencapai tujuan pendidikan nilai dalam
Islam yang bertujuan menumbuhkan kesadaran pribadi tentang
nilai-nilai kebenaran itu.
b. Metode Deduktif
Metode Deduktif adalah cara menyajikan kebenaran
nilai-nilai ke-Tuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara
menguraikan konsepsi tentang kebenaran itu untuk dipahami
oleh peserta didik. Metode ini berangkat dari kebenaran sebagai
____________
43
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan , h. 139.



39

teori dan konsepsi yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya
ditarik beberapa contoh kasus terapan dalam kehidupan
keseharian dalam masyarakat atau ditarik ke dalam nilai-nilai
lain yang lebih sempit ruang lingkupnya.

Metode ini cukup sesuai dengan strategi reflektif dan
dengan pendekatan rasional. Kelebihan metode ini bagi peserta
didik yang masih pada taraf mempelajari nilai pada tahap awal
akan lebih baik, karena mereka terlebih dahulu diperkenalkan
beberapa teori tentang nilai secara umum, baru kemudian ditarik
rincian yang lebih sempit dan mendetail serta dihubungkan
dengan kasus-kasus yang terjadi dalam di sekitarnya. Metode ini
cukup refresentatif bagi pendidikan nilai ke-Tuhanan dan nilai
kemanusiaan.

c. Metode Induktif
Metode ini merupakan kebalikan dari metode deduktif.
Dalam mengajarkan nilai kepada peserta didik berawal dari
pengenalan kasus-kasus yang riil dalam masyarakat, kemudian
mereka diajak untuk menganalisis dan memberi semacam
kesimpulan tentang nilai-nilai yang diamati dalam realitas
tersebut untuk kemudian diseleksi di antara yang terbaik
dikembangkan.
Metode ini merupakan pelaksanaan dari strategi reflektif
dan pendekatan rasional dalam melakukan pendidikan nilai.
Metode ini dapat digunakan untuk pendidikan nilai bagi peserta
didik yang sudah mampu diajak untuk berpikir abstrak.
Sehingga mereka mampu melakukan kajian dan analisis dari
kasus konkrit, kemudian dibuat kesimpulan yang bersifat
abstrak.
Kelemahan metode ini adalah apabila dalam berbagai
kasus yang serupa tetapi dalam kenyataan terdapat nilai yang
bersifat kontradiktif, sehingga menyulitkan peserta didik untuk
mengambil kesimpulan: atau pendidik menawarkan beberapa
kasus yang berbeda-beda namun memiliki nilai yang hampir
sama. Karena itu dalam mempergunakan metode ini untuk



40

pendidikan nilai, harus menjaga konsistensi penggunaan kriteri
pada kasus yang serupa.
d. Metode Reflektif
Metode ini merupakan integrasi dari penggunaan metode
deduktif dan induktif. Yaitu mengajarkan nilai dengan jalan
membalik antara memberikan konsep secara umum kemudian
menerapkannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, atau
melihat kasus kemudian mempelajari sistemnya. Metode ini
baik untuk peserta didik yang telah mempunyai kemampuan
berpikir abstrak, sekaligus me-miliki bakal teori tentang nilai
yang memadai.
Pemaksaan metode ini dapat digunakan untuk mengatasi
kekurangan pada metode deduktif, yang tidak jarang
mengabaikan unsur empiris. Sekaligus mengatasi kelemahan
penggunaan metode induktif yang terlalu berorientasi pada hal-
hal yang empirik, yang kadang-kadang mengabaikan unsur
teoritis. Dengan demikian, sebenarnya metode reflektif
merupakan metode yang paling tepat dipergunakan untuk
menjalankan pendidikan nilai keagamaan, terutama bagi
kalangan peserta didik tingkat atas (mahasiswa) yang telah
mampu berpikir abstrak dan analitik.
Konsekuensi dari penggunaan metode ini tetap ada,
dimana pendidik harus benar-benar menguasai teori-teori secara
umum tentang nilai-nilai kebenaran, sekaligus dituntut memiliki
daya penalaran yang tinggi untuk mengembangkan setiap kasus
dalam jajaran konsepsi sistem nilai.
Keempat metode yang telah diuraikan di atas, maka
metode dokmatik kurang tepat diterapkan pada pendidikan
keagamaan. Sementara itu metode lain dapat dipergunakan
dengan variasi penggunaan metode Bantu yang dapat menjadi
alternatif.

2. Model Teknik Pendidikan Nilai
Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk pen-didikan
nilai ada enam macam, yaitu; teknik indoktrinasi, klarifikasi,



41

moral reasoning, meramalkan konsekuensi, menganalisis nilai,
dan teknik internalisasi nilai. Adapun uraian satu demi satu ten-
tang bagaimana yang dimaksud teknik-teknik tersebut dan cara
menggunakannya untuk pendidikan nilai dapat dipaparkan seba-
gai berikut.

a. Teknik Indoktrinasi
Sebagaimana diketahui bahwa teknik doktrinasi diper-
gunakan untuk strategi tradisional, pendekatan nya doktriner dan
otoritatif, sedangkan metode yang dipergunakan adalah metode
dokmatik. Adapun prosedur penggunaan teknik ini adalah seba-
gai berikut:
1. Tahap brainwashing, yaitu pendidik mulai mendidik-kan
nilai dengan jalan merusak tata nilai yang sudah mapan da-
lam diri peserta didik, dikacaukan sehinngga tidak memiliki
tata nilai lagi. Beberapa cara dapat digunakan untuk men-
gacaukan pikiran peserta didik, yaitu menggunakan metode
Tanya jawab, wawancara mendalam, mengembangkan cara
berpikir yang tidak mapan, membuat tipuan-tipuan yang
mengacaukan cara berpikir peserta didik, ataupun membuat
teknik stimulasi. Pada saat pikiran peserta sudah kacau, su-
dah kosong, serta kesadaran rasionalnya tidak lagi mampu
mengontrol diri, pendiriannya sudah hilang, maka tahap ke-
dua sudah dapat dimulai, yaitu menanamkan fanatisme.
2. Menanamkan fanatisme, pendidikan kewajiban menanam-
kan ide-ide baru yang dianggap benar pada saat situasi ber-
pikir peserta didik kacau melalui pertimbangan rasional
yang mapan. Dalam menanamkan fanatisme banyak diper-
gunakan pendekatan afektif daripada mempergunakan pen-
dekatan rasional. Apabila peserta didik telah dapat menerima
nilai-nilai itu secara emosional, baru kemudian ditanamkan
doktrin yang sesungguhnya.
3. Menanamkan doktrin, penanaman doktrin dapat memper-
gunakan pendekatan afektif, doktriner atau otoritatif. Pada
saat menanamkan doktrin, peserta didik hanya mengenal
satu nilai kebenaran yang disajikan, tidak ada alternatif lain.



42

Semua peserta didik harus menerima kebenaran itu tanpa
harus mempertanyakan hakikat kebenaran itu.
Teknik ini apabila dipergunakan untuk pendidikan nilai
keagamaan sebenarnya tidak sesuai, karena tujuan pendidikan
nilai keagamaan adalah untuk menanamkan kesadaran
beragama, tanpa harus ada tekanan dan paksaan. Teknik ini
sebenarnya hanya sesuai untuk menanamkan nilai-nilai yang
tidak dimiliki akar kuat dan landasan kokoh sebagai nilai yang
benar dan baik. Jika tata nilai telah memiliki landasan filosofis
yang kuat, tetapi disajikan secara emosional dan membabi buta,
maka akan menurunkan ketinggian nilai tersebut. Teknik ini
hanya sesuai untuk pendidikan ideologi kebangsaan, nasionalis-
me dan sejenisnya.

b. Teknik Klarifikasi
Teknik ini merupakan suatu cara untuk membantu
peserta didik dalam menentukan nilai-nilai yang dipilih. Dalam
teknik ini terdapat empat tahap untuk melaksanakan, yaitu:
1. Tahap pemberian contoh, pada tahap ini pendidik memperk-
enalkan kepada peserta didik nilai-nilai yang baik, dan
memberikan contoh penerapan nilai tersebut sekaligus. Da-
pat digunakan beberapa cara antara lain, observasi, melibat-
kan peserta didik dalam tindakan nyata, pemberian contoh
secara langsung oleh pendidik. Contoh-contoh tersebut di-
maksudkan untuk member-kan gambaran kepada peserta
didik tentang kemungkinan variasi penerapan sistem nilai.
2. Tahap mengenali kelebihan dan kekurangan nilai, nilai yang
telah dikenali oleh peserta didik melalui contoh penerapan
tersebut kemudian didiskusikan antar peserta didik untuk
melihat di mana nilai-nilai yang tepat dan yang kurang tepat,
yang baik dan benar, yang buruk dan salah. Dalam tahap ini
dapat dipergunakan cara diskusi, Tanya jawab, untuk me-
lihat kelebihan dan kekurangan nilai. Dalam tahap berikut-
nya pendidik membimbing peserta didik dalam memilih
nilai yang seharusnya diambil.



43

3. Tahap mengorganisasikan tata nilai, pada diri peserta didik.
Setelah pilihan nilai dilakukan, pendidik harus membimbing
bagaimana cara mengorganisasikan tata nilai tersebut dalam
pribadi peserta didik.
Teknik klarifikasi dipergunakan untuk mengajarkan nilai
dengan tujuan;
a. menjajaki tingkat kuantitas dan kualitas peserta didik
mengenai nilai
b. membina kesadaran peserta didik terhadap suatu nilai
c. mengarahkan dan menyempurnakan peserta didik mengenai
nilai-nilai baru.
d. Melatih peserta didik dalam cara menilai atau memgkaji
suatu nilai, ataupun mengambil keputusan tentang nilai.
44

c. Teknik Moral Reasoning
Tehnik ini sebenarnya sama dengan pemakaian metode
pemecahan masalah, dalam proses belajar-mengajar. Peserta di-
dik dalam pemakaian metode ini dihadapkan pada suatu keadaan
nilai moral; yang bersifat dilematis untuk dinilai dan dievaluasi
oleh peserta didik, kemudian ia diajukan memilih nilai-nilai
yang baik dan benar kemudian dipilih untuk diikuti.
Langkah-langkah dari teknik ini adalah sebagai berikut:
1. Penyajian dilema moral, pada tahap ini peserta didik diha-
dapkan dengan problematik nilai yang bersifat kontradiktif.
Dari yang bersifat sederhana sampai yang bersifat kompleks.
Adapun cara penyajiannya dapat berupa observasi; melalui
media cetak dan eloktronik.
2. Pembagian kelompok diskusi, setelah para peserta didik
menyelesaikan problematik dilema moral tersebut, peserta
didik dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil untuk
mendiskusikan hasil pengamatan terhadap dilema tersebut.
3. Hasil diskusi kelompok selanjutnya dibawa dalam diskusi
kelas, dengan tujuan untuk mengadakan klarifikasi nilai,
membuat alternatif dan konsekuensinya.
____________
44
Una Kartawisastra, et.al., Strategi ., h. 6.



44

4. Setelah peserta didik mendiskusikan secara intensif dan
melakukan seleksi nilai yang dipilih sesuai dengan alternatif
yang diajukan, selanjutnya peserta didik mengorganisasikan
nilai-nilai yang dipilih tersebut. Untuk melihat hasil
pengorganisasian ini dapat diketahui melalui pendapat para
peserta didik, misalnya melalui karangan-karangan yang
disusun setelah diskusi, atau melalui tindakan follow-up dari
kegiatan diskusi.
Teknik ini dapat dipergunakan untuk mengajarkan nilai
kemanusiaan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan
berpikir abstrak. Teknik ini memadukan antara pendekatan
rasional dan pendekatan afektif.
d. Teknik Meramalkan Konsekuensi
Teknik ini sebenarnya merupakan penerapan dari
pendekatan rasional dalam mengajarkan nilai. Yaitu meng-
andalkan kemampuan berfikir ke depan bagi peserta didik untuk
membuat proyeksi tentang hal-hal yang akan terjadi dalam
penerapan satu sistem nilai tertentu.
Adapun langkah-langkah dasarnya adalah sebagai
berikut:
1. Tahap pertama, peserta didik disodorkan kusus melalui
cerita, ataupun sejumlah input dari berbagai media atau
menemukan kejadian konkrit di lapangan.
2. Peserta didik diberikan beberapa pernyataannya menyangkut
dengan nilai-nilai yang dilihat, dan dirasakan. Pernyataan-
pernyataan itu adakalanya memperdalam horizon tentang
nilai yang dilihat, alasan dan kemungkinan yang akan
terjadi, atau menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian
lain yang relevan dengan kasus ini.
3. Upaya membandingkan nilai yang terdapat dalam kasus
dengan nilai yang ada di luar kasus yang bersifat
kontradiktif, baik kontradiksi dari pemilik nilai itu maupun
kontradiksi dari latar belakang ruang dan waktu kejadian.
Masing-masing nilai yang kontradiktif disajikan proyeksi-
nya, apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.



45

4. Tahap terakhir kemampuan membuat ramalan tentang
konsekuensi yang akan muncul dari pemilihan dan
penerapan suatu tata nilai.
Tujuan teknik ini tidak untuk menginternalisasikan nilai,
melainkan untuk melakukan pilihan nilai dengan jalan nilai yang
baik dan disajikan seluruhnya dalam waktu yang bersamaan.
Peserta didik diminta untuk memilih sesuai dengan wawasan
yang dimiliki. Sehingga apabila peserta didik sudah memilih
sistem nilai, maka ia sudah memikirkan konsekuensi yang ter-
jadi dari pemilihan itu.
e. Teknik Menganalisis Nilai
Teknik ini merupakan pelaksanaan dari pendekatan ra-
sional untuk mengajarkan nilai kepada peserta didik. Teknik ini
dipergunakan dengan tujuan memberikan wawasan kepada pe-
serta didik yang luas dalam memiliki nilai agar mereka yakin
bahwa nilai yang dipilih benar-benar didasarkan atas kebenaran
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah ;
a. Analisa terhadap keputusan nilai, teknik ini dipergunakan
untuk mengajarkan nilai dengan pendekatan rasional. Krite-
ria yang digunakan untuk mendapatkan analisis terhadap ke-
putusan nilai yang disodorkan kepada peserta didik adakah:
a. Sikap personal peserta didik
b. Keahlian khusus yang dimiliki peserta didik
c. Pendapat masyarakat atas definisi yang telah disepakati
Kemampuan peserta didik untuk menggali keputusan ni-
lai merupakan suatu ciri dari kemampuan mereka untuk mere-
spon dan memilih nilai yang diyakini kebenarannya.
b. Analisis konflik nilai, teknik ini hampir identik dengan tek-
nik moral reasoning, namun sifatnya berbeda. Teknik ini
mempergunakan pendekatan rasional, sasaran yang ingin di-
capai adalah sama; yaitu membentuk wawasan yang lebih
rasional terhadap pemilikan nilai. Adapun langkah-langkah
teknik ini adalah sebagai berikut:
a. Menghadapkan konflik nilai kepada peserta didik,
b. Merumuskan alternatif yang akan muncul,



46

c. Meramalkan konsekuensi pada masing-masing alternatif
yang akan muncul,
d. Meramalkan evidensi yang akan muncul,
e. Peserta didik diminta melakukan assessing,
f. Peserta didik diminta mengambil keputusan tentang nilai
yang dipilih.
c. Analisis nilai dengan guru sebagai model, teknik ini diper-
gunakan untuk menganalisis nilai sebagaimana langkah yang
dapat ditempuh dalam poin 1 dan 2, hanya saja ditampilkan
kepada peserta didik bukan nilai yang bersifat kontradiktif,
atau keputusan tentang nilai, melainkan yang dianalisis ada-
lah model guru dalam penerapan suatu sistem nilai.
Konsekuensi dari penggunaan teknik ini adalah guru harus
memiliki sikap keterbukaan untuk dievaluasi dan dinilai si-
kapnya oleh peserta didik, sebab tidak semua peserta didik
mempunyai persepsi yang sama terhadap pendidiknya.
Yang menjadi persoalan adalah bukan kebebasan peserta di-
dik untuk nilai pendidik, sasaran yang ingin dituju adalah
kemampuan peserta didik untuk meng-analisis antara nilai-
nilai yang benar dan baik yang didasarkan atas kriteria ter-
tentu.

f. Teknik Internalisasi Nilai
Apabila dalam teknik-teknik yang telah dipaparkan di
atas hanya sebatas pada pemilihan nilai dengan argumentasi ter-
tentu, maka dalam teknik ini sasarannya adalah sampai pada
pemilikan nilai yang mengakar dalam kepribadian peserta didik.
Adapun langkah-langkah pendidikan nilai ini adalah se-
bagai berikut:
1) Tahap transformasi nilai, tahap ini pendidik mentrans-
formasikan nilai yang baik dan buruk kepada peserta didik,
yang sifatnya semata-mata sebagai komunikasi teoritik den-
gan menggunakan bahasa verbal. Pada tahap ini peserta
didik belum dapat melakukan analisis terhadap informasi
untuk dikaitkan dengan kenyataan empirik yang ada dalam
masyarakat.



47

2) Tahap transaksi, yaitu tahap pendidikan nilai dengan jalan
menjelaskan komunikasi dua arah, yaitu interaksi antara pe-
serta didik dengan pendidik yang bersifat timbal balik. Apa-
bila dalam tahap pertama masih dalam posisi komunikasi
satu arah. Tekanan dan komunikasi dua arah masih menitik-
beratkan kepada komunikasi fisik, daripada komunikasi
batin pendidik dalam mengajarkan nilai yang baik dan
memberi contoh, kemudian peserta didik diminta untuk
mencontohnya.
3) Tahap transinternalisasi, tahap ini pendidik berhadapan den-
gan peserta didik lagi sebagai sosok fisiknya saja, melainkan
juga dikap mental dan keseluruhan kepribadian. Demikian
juga peserta didik merespon terhadap apa yang dikehendaki
pendidik dengan mempergunakan seluruh aspek kepribad-
iannya. Karena itu dapat dikatakan bahwa dalam proses
transinternalisasi ini terjadi komunikasi batin antara peserta
didik dengan pendidik.
Adapun langkah-langkah dalam pengajaran dapat meng-
gunakan alur berfikirnya David R. Krathowhl dalam afektif
dominan sebagai berikut :
a. Menyimak, pendidik memberi stimulus kepada peserta
didik, dan peserta didik menangkap stimulus yang di-
berikan.
b. Menanggapi (responding), peserta didik mulai di-
tanamkan pengertian dan kecintaan terhadap tata nilai
tertentu, sehingga memiliki latar belakang teoritik ten-
tang sistem nilai, mampu memberikan argumentasi ra-
sional dan selanjutnya peserta didik dapat memiliki
komitmen tinggi terhadap pilihan nilai tersebut.
c. Memberi nilai (valuing), pada tahap ini peserta didik
sudah mampu menyusun persepsi tentang objek yang
dilakukan dengan tiga tahap; yaitu percaya terhadap
nilai yang ia terima, merasa terikat dengan nilai yang
ia percayai (dipilihnya) itu, dan memiliki keterikatan
batin (komitmen) untuk memperjuangkan nilai-nilai
yang diterima dan diyakini itu.



48

d. Memorganisasikan nilai (organization), peserta didik
mulai dilatih mengatur sistem kepribadian-nya sesuai
dengan sistem nilai yang ada.
e. Karakterisasi nilai (characterization), apabila kepri-
badian sudah diatur sesuai dengan sistem nilai tertentu
dan dilaksanakan berturut-turut, maka akan terbentuk
kepribadian yang bersifat satu hati, kata dan perbuatan.
Teknik internalisasi sesuai dengan tujuan pendidikan
agama, khusus-nya pendidikan yang berkaitan dengan
masalah aqidah, ibadah dan akhlq al-karmah.
Beranjak dari uraian tentang konsepsi pendidikan nilai
dapatlah dipahami bahwa masalah pendidikan nilai merupakan
salah satu wacana yang cukup kompleks. Akan tetapi ia cukup
menarik untuk ditelaah karena masalah pendidikan nilai ken-
yataannya kurang serius dijadikan sebagai fokus perhatian
dalam dunia pendidikan dewasa ini. Karenanya, pembahasan
lebih lanjut akan dikonsentrasikan pada internalisasi nilai teo-
logis dalam pendidikan Islam.



49

BAB TIGA
NILAI TEOLOGIS DAN INTERNALISASINYA
DALAM PENDIDIKAN ISLAM


nternalisasi pada dasarnya merupakan proses puncak dalam
hirarkhi proses pendidikan nilai dari lingkungan belajar
kepada subjek didik terutama melalui kelangsungan belajar
mengajar dalam sistem Pendidikan Islam. Dari itu, term inter-
nalisasi dalam konteks proses belajar-mengajar, atau dalam
dunia pendidikan pada umumnya, lebih sering dan relevan
digunakan dalam pendidikan nilai.
Nilai sebagai objek pendidikan adalah sesuatu yang me-
miliki posisi tertinggi dalam falsafah Pendidikan Islam melebihi
aspek substansi materi pembelajaran itu sendiri. Karena nilai
merupakan aspek yang cukup filosofis yang terkandung dalam
subjek studi (materi ajaran), bahkan pada semua disiplin ilmu
(aspek kajian) tanpa terkecuali. Dalam tradisi Pendidikan Islam
tidak dikenal adanya pendikhotomian antara pelajaran umum
dan pelajaran agama. Sistem Pendidikan Islam hanya mengenal
dan menawarkan sistem pendidikan yang holistik, diantaranya
integrasi antar multi disiplin ilmu (multi interdisipliner).
Ada perbedaan antara ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan nilai dalam proses pembelajaran, perbedaan dimaksud
antara lain pada tataran jangkauan prosesnya. Jika yang pertama
terukur, maka internalisasi nilai tidak demikian. Nilai tidak cu-
kup hanya dengan ditransfer, melainkan dengan diinternalisasi-
kan.
45

____________
45
Ada sejumlah alasan tentang mengapa pembentukan sikap (atti-
tude) dan nilai (value) penting dan proses serta hasilnya sulit terukur. Per-
tama, kurikulum pendidikan mulai prasekolah lebih diinterpretasikaan dalam
proses belajar mengajar dengan terlalu menitikberatkan pada segi kognitif.
Kedua, pembentukan sikap dan sistem nilai tidak semudah memberikan pen-
I



50

Internalisasi tidak lain adalah proses penanaman atau
pembumian nilai-nilai sehingga menghujam ke dalam jiwa pe-
serta didik. Setelah nilai-nilai itu menjadi internal, maka ia akan
melekat kuat, mengakar dan mendarah daging dalam diri peserta
didik. Bahkan hati nurani dan seluruh sikap hidupnya mencer-
minkan nilai-nilai yang dianut.
Dengan demikian, dalam meliu yang kurang kondusif-
pun subjek didik diharapkan dapat mengaktualkan sikapnya se-
suai dengan nilai yang telah menginternal tersebut. Dengan kata
lain, keseluruhan sikap dan perilakunya merupakan refleksi
langsung dari prinsip-prinsip nilai-nilai yang telah tertanam ko-
koh dalam dirinya. Karena nilai yang berhasil dinternalisasikan
akan menyatu dalam diri subjek didik selamanya. Sehingga ka-
pan saja aktualisasi nilai itu akan terefleksi dengan sendirinya
dan menjadi tolak ukur segala pertimbangan yang akan dilak-
sanakan. Dalam kapasitas demikian, nilai pada akhirnya akan
mengacu pada pandangaan hidup yang integratik dan holistik
serta komprehensif.
A. Hakikat Nilai Teologis
Berpijak pada pengkategorian nilai secara hirarkhis
sebagaimana disebutkan pada bagian kedua tesis ini yaitu dalam
kategori nilai universal dan nilai partikular, maka nilai teologis

getahuaan dan penalaran. Pembentukan sikap harus memakan waktu yang
lama, sebaliknya dalam bidang ilmu pengetaahuan subjek didik dapat mema-
haminya dalam waktu yang relatif singkat. Orang akan mudah mengetahui
dan menghafal bahwa merokok itu tidak baik bagi kesehatan, demikian juga
sikap malas, melanggar peraturan lalu lintas, mengambil barang bukan mili-
knya, berbohong, membuang sampah disembarang tempat, dan sebagainya
adalah sikap yang tidak baik. Akan tetapi tidak semua orang yang memiliki
pengetahuan semacam itu sanggup memiliki sistem nilai serta sikap yang
mencerminkan pengetahuannya tersebut. Oleh karena itu internalisasi sikap
dan sistem nilai harus dilakukaan lebih dini dan dalam waktu yang lama.
Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Melinium III, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,
2000), h. 176.



51

adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilai universal
(syuml). Hal ini didasarkan pada dimensi teologis itu sendiri
sebagai suatu yang transenden-metafisik. Nilai teologis
merupakan nilai yang lahir dari dimensi ruhaniah (psikis-
religius) manusia Muslim melalui keyakinan dan pengalaman-
nya yang benar dan lurus (hanf) kepada Tuhan. Dalam hal ini
al-Qurn menyebutkan:

) . : (
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
(Q.S. Al-Nis/4: 125)
Nilai teologis dalam konteks Islam terakumulasi dalam
konsep tauhid. Di mana dalam konsep ini, nilai teologis
berfungsi sebagai pandangan dunia (world view) yang meliputi
seluruh tatanan nilai yang ada dalam Islam. Konsep tauhid pada
dasarnya merupakan suatu konsep tentang sistem keyakinan
kepada Tuhan, namun tauhid juga sekaligus menjadi nilai dalam
Islam.
46
Tauhid sebagai esensi nilai teologis berangkat dari
kesadaran manusia terhadap eksistensi Tuhan (teologis) sebagai
tempat bergantung (Allh al-samad), kesadaran terhadap dirinya
sendiri (antropologis) sebagai individu (abd) dan mandataris
Tuhan (khalfah) yang mengemban amanah Tuhan di bumi serta
alam jagad raya (kosmologis) sebagai wadah bagi manusia
untuk menjalankan missi Tuhan tersebut.
Dalam konteks demikian, sangat jelas terlihat bahwa tata
nilai teologis dalam pandangan Islam tepatnya pada tataran
kemanusiaan cukup bernuansa teosentris (berpusat pada
____________
46
Amrullah Achmad, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidi-
kan Islam, dalam Muslih USA (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara
Cita dan Fakta (Jakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 71.



52

Tuhan)
47
. Walaupun demikian, realitasnya dalam pandangan
Tuhan itu sendiri yang menjadi issu sentral penciptaan Tuhan
atas segala sesuatu yang ada (segenap realitas kosmis) tidak lain
adalah manusia (antropologis/alam mikro) itu sendiri.
Implikasi dari kesadaran tauhid sebagai suatu pandangan
dunia (tatanan nilai universal) dalam Islam pada setiap individu
Muslim melahirkan sejumlah nilai yang inheren dan mengkristal
secara internal dalam alam kesadaran. Kesadaran terhadap
keberadaan Tuhan sebagai sumber kehidupan akan melahirkan
sikap ketundukan (muslim) dan ketaatan karena ilmu dan iman
(mukmin) yang mampu meredam sifat kerendahan (syaitaniy-
yah) sekaligus mengangkat derajat manusia kepada sifat
keilahian.
Sedangkan kesadaran terhadap kemanusiaannya sebagai
kreasi penciptaan (makhluk) Allah yang terbaik melahirkan
semangat beramal saleh untuk memakmurkan bumi dengan
mengoptimalkan segenap potensi manusiawi yang ada secara
kreatif dan inovatif dalam mensiasati dan merekayasa realitas
kosmis (fenomena alam) melalui proses pengkajian ilmu
pengetahuan.
Hubungan dan keterikatan antara Tuhan, manusia dan
alam dalam diskursus teologi Islam cukup jelas. Kesadaran
terhadap saling ketergantungan seperti ini dalam tataran
aktualnya melahirkan dan membentuk nilai teologis pada subjek
didik Muslim. Dalam tatanan kosmologis ini, subjek didik
sebagai totalitas penciptaan merasakan betapa butuhnya
kehadiran Tuhan dalam kesadaran hidupnya. Kebutuhan dan
ketergantungan subjek didik pada Tuhan inilah yang menjadikan
____________
47
Falsafah pendidikan sekuler memandang manusia terlalu antro-
posentris, sementara menurut pandangan ajaran Islam manusia dipahami se-
bagai makhluk yang teosentris. Pandangan manusia sebagai makhluk antro-
posentris hanya merupakan salah satu aspek esensial dari konsep teosentris
dimensi Filsafat Pendidikan Islam. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pen-
didikan Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 4, dan 19.



53

hidup manusia itu bermakna. Tanpa ada kesadaran ini, maka
konsekuensinya hidup manusia menjadi tidak bermakna.
Kesadaran terhadap keberadaan Tuhan sebagai sebuah
nilai teologis dalam doktrin Islamkarena ia bermuara pada
pandangan hidup yang terefleksi dalam perilaku (etik)pada
dasarnya secara primordial (alm durriyyah) telah ada pada
semua manusia tanpa kecuali (muslim atau non-muslim). Dalm
hal ini Al-Qurn menyebutkan:


) . : (
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)". (Q.S. Al-Arf/7: 172)
Kesadaran yang diungkapkan al-Qurn tersebut meru-
pakan potensi bawaan (hereditas) yang dikenal sebagai fitrah
48

____________
48
Kesadaran dan keyakinan terhadap keberadaan Tuhan merupakan
kebutuhan kodrati dalam wujud empiriknya dapat dinyatakan, bahwa
manusia selalu mengalami perasaan cemas, takut, harapan, tidak berdaya dan
sebagainya. Manusia memerlukan rasa aman dan jaminan kepastian. Kebutu-
han ini baru dilihaat dari dimensi fungsi dan mamfaat agama bagi manusia,
belum dari dimensi kebenaran Tuhan Yang Ahd. Karenanya, pencarian dan
penemuan Tuhan merupakan puncak penemuan akan kebutuhan agama. Den-
gan demikian, agama tidak hanya dipandang dari dimensi fungsi, melainkan
juga dalam dimensi kebenaran Tuhan. Menurut al-Qur'n, manusia dicipta-
kan Allah mempunyai naluri beragama, yakni agama tauhid. oleh karena
menurut Paulo F. Freire, konsep pendidikan haarus mampu menguak dan
mengembangkan kesadaraan fundamental manusia sebagai kunci pemahaman



54

ketuhanan pada manusia. Namun kesadaran primordial ini be-
lum memadai, karena masih dalam tataran potensial (ketika
alam ruh) belum aktual dalam perilaku hidup di dunia. Sehingga
sifatnya masih pasif dan sebatas imani serta masih berupa ab-
straksi-abstraksi ruhaniah. Kesadaran ini mesti berperan aktif
dalam kehidupan konkrit dimana manusia sudah dapat berperan
menentukan pandangan hidup khususnya mengenai konsep ten-
tang Tuhan khususnya.
Dalam tataran ini, menjadikan iman an sich sebagai
dasar pandangan terhadap Tuhan melalui mata hati (zawq)
49

menjadi kurang sempurna dan iman menjadi kurang teruji dan
berkembang serta kurang kokoh, tidak menghujam ke dalam
batin tanpa didukung oleh pemahaman bukti-bukti (yt) ke-
agungan Tuhan yang dapat diamati pada fenomena alam yang
sifatnya empiris melalui pengamatan indrawi (basrah) kasat
mata. Keterangan tentang hal ini dinyatakan al-Qurn, di
antara-nya:

) . : (
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekua-
saan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, se-
hingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesung-

manusia dalam proses mengembangkan dunianya. Mastuhu, Memberdaya-
kan., h. 71, 73.
49
Menurut Muhammad Fauzil Adhim, internalisasi nilai-nilai teolo-
gis (tawhd) kepada subjek didik melalui sentuhan zauq mulai diberikan pada
masa tuflah (anak-anak/2-7 tahun), dimana potensi hati dan akalnya mulai
aktif. Pilihan penanaman nilai-nilai tauhid melalui sentuhan dzauq akan lebih
meransang subjek didik memiliki tauhid yang aktif. Kedalaman tauhid mem-
beri suggesti kepadanya untuk bertindak baik (slih). Muhammad Fauzil Ad-
him, Mendidik Anak Menuju Taklif, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h. 16.



55

guhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?. (Q.S. Al-Fussilat/41:
53)
Dalam hubungan ini, sebagaimana diungkapkan Abdul
Munir Mulkhan bahwa internalisasi nilai teologis diharapkan
terwujudnya kehangatan jalinan yang harmonis dan sesuai serta
tali temali hubungan antara gerak kehidupan dunia imanen den-
gan dunia transenden. Kehidupan dunia imanen yang konkrit ril
adalaah berupa transformasi nilai-nilai transcendental sebagai
konseptualisasi dan merupakan kerangka abstrak dari kehidupan
manusa yang konkrit dan empirik.
50

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai teo-
logis yang dimaksud dalam konteks pembahasan tesis ini adalah
segenap refkelsi sikap dan tingkah laku subjek didik Muslim
yang mencerminkan adanya kesadaran terhadap kehadiran
dalam hidupnya sehingga menjadi semacam marji, norma etik
personal dalam setiap mobilitas hidupnya. Di mana nilai ini di-
peroleh mulai dari institusi keluarga, institusi pendidikan dan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pemahaman ini sebagaimana juga dipahami oleh Nur-
cholish Madjid, di mana menurutnya nilai teologis (al-qmat al-
rabbniyyah) adalah tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bah-
wa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan, ma-
ka Tuhan dalam tatanan nilai ini adalah asal dan tujuan hidup.
51

Di dalam al-Qurn dijelaskan:
... ) . : (
mereka mengucapkan, "Sesungguhnya kami berasal dari Al-
lah dan kami akan kembali kepada-Nya". (Q.S. Al-Baqarah/2:
156)
____________
50
Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebe-
basan; Sebuah Essay Pemikiran al-Ghazali, cet. Ke-1 (Jakarta: Bumi Ak-
sara, 1992), h. 167.
51
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. Ke-3 (Ja-
karta: Paramadina, 1995), h. 1.



56

Ringkasnya nilai teologis adalah kualitas-kualitas moral
insani subjek didik Muslim yang timbul melalui refleksi intensif
terhadap kualitas-kualitas Ilahi seperti sifat Maha Pengasih dan
Penyayang, Pengampun, Adil dan lainnya yang terangkum
dalam al-asm al-husn Allah, subjek didik Muslim meng-
hayati nilai-nilai luhur kejati-dirian, keakhlakan dan moralitas
ini. Personifikasi kualitas Ilahiyah tergambar dalam ayat berikut
ini:

) . : (
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Memben-
tuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih
kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Hasyr/59: 24)

Dari penghayataan secara intensif akan membuka jalan dalam
qalbu subjek didik Muslim bagi nilai-nilai ini untuk diinternalisasikan.
Maka kesimpulan dari semua paparan tentang nilai teologis ini adalah
bahwa nilai ketuhanan merupakan wujud tujuan dan makna kosmis
dan eksistensi manusia, yang berdampingan tidak terpisahkan dengan
nilai kemanusiaan yang juga merupakan wujud makna terestial hidup
ini.
B. Tujuan Internalisasi Nilai Teologis Dalam Pendidikan Islam
Secara umum tujuan pendidikan nilai-nilai ketuhanan dalam
pendidikan Islam adalah supaya peserta didik memiliki dan mening-
katkan secara terus menerus nilai-nilai iman dan taqwa kepada Allah.
Sedangkan secara khusus, dapat dirumuskan dua tujuan utama yaitu;
pertama untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah dan kedua un-
tuk menginternalisasikan nilai-nilai ketuhanan sehingga dapat men-
jiwai lahirnya nilai etik insani.
52

____________
52
M. Chobib Thoha, Kapita Selekta , h. 73.



57

Memahami rumusan tujuan pendidikan nilai ketuhanan
di atas, maka dapat dikritisi bahwa internalisasi itu sendiri--
sebagai suatu usaha puncak dari transfer atau transformasi nilai
dalam proses pendidikanternyata juga sebagai salah satu tu-
juan akhir dari pendidikan pada umumnya dan pendidikan nilai
secara khusus. Menginternalkan suatu nilai ke dalam jiwa dan
alam pikiran peserta didik merupakan tujuan tertinggi dalam
hirarkhi tujuan pendidikan nilai.
53
Internalisasi hanyalah suatu
jenjang dalam suatu proses pendidikan nilai, sedangkan menji-
wanya nilai tersebut adalah target dari proses tersebut.
Konsekuensi lebih jauh dari tujuan atau target dalam
pendidikan tentunya dapat diukur pada standar keberhasilan
54

yang telah ditentukan sebelumnya seberapa mampu dicapai.
Dalam proses pendidikan nilai tolak ukur yang biasa
dipedomani adalah pada apresiasi gaya hidup peserta didik.
Apresiasi dimaksud adalah segenap pola sikap dan perilaku
yang ditunjukkan, apresiasi dimaksud tidak terbatas pada
perilaku lahiriyah (psikomotorik) melainkan juga pada
pemahaman nilai (kognitif) dan penghayatan (afektif) nilai.
Berangkat dari preseden ini dapatlah dipahami bahwa
dalam konteks pembahasan tujuan internalisasi nilai teologis,
maka tujuan khusus pendidikan nilai ketuhananuntuk men-
ginternalkan nilai-nilai ketaqwaansebagaimana dirumus-kan
di atas menjadi tujuan eksternal.
55
Sedangkan tujuan inter-
____________
53
M. Amin Abdullah, Problem Epistimologis-Metodologis Pen-
didikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan at. al., Religiusitas Iptek, Cet.
Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 54.
54
Internalisasi nilai menekankan kemampuan anak didik untuk dapat
menumbuhkan motivasi dalam dirinya sendiri (intrinsik) sehingga dapat
menggerakkan, menjalankan dan mentaati nilai-nilai dasar agama yang telah
terinternalalisasikan dalam diri anak didik tersebut., M. Amin, Religiusitas
..., h. 56.
55
Dikaitkan dengan proses makro pendidikan, pendidikan sebagai
proses alih nilai mempunyai tiga sasaran. Pertama, seperti yang ditekankan
GBHN, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang
mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif, afektif dan



58

nalisasi nilai-nilai teologis dalam pendidikan Islam menjadi tu-
juan internal dalam tesis ini. Walaupun pada prinsipnya kedua
jenis tujuan ini tidak jauh bedanya, hanya saja perbedaannya
terletak pada efektivitas hasil dan sasaran yang diaharapkan.
Dalam proses menginternalkan nilai-nilai teologis ke
alam kesadaran subjek didik baik alam kesadaran rasional-
etiknya (aqliyyah) maupun kesadaran imaninya (qalbiyyah),
pendidikan Islam menetapkan tujuan yang jelas sehingga me-
mudahkan pengimplimentasian tujuan tersebut di lapangan.
Dari sejumlah tujuanyang tidak dicantumkan dalam
bagian iniyang ada, penulis berhasil mengelaborasi dua tujuan
utama (the ultimate aim) internalisasi nilai-nilai teologis dalam
Pendidikan Islam, kedua tujuan tersebut berorientasi pada proses
dan output (produk) peadagogik dalam nuansa sistemik keisla-
man.
Adapun kedua tujuan internalisasi nilai teologis dimak-
sud adalah; pertama, untuk mendidik kepekaan daya gugah pe-
serta didik terhadap eksistensi ketuhanan, sehingga dapat
merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya kapan dan di mana
saja subjek didik berada. Dengan saratnya nilai teologis (nilai-
nilai Ilahiyah) sekaligus insaniyah) yang mengkristal, mem-
pribadi tersebut, diharapkan hidupnya lebih bermakna, penuh
penghayatan, penuh kearifan, kebijaksanaan, pertimbangan,
kasih sayang dan cinta serta berkeadilan (kapasitas personal
islami) terhadap apa yang akan diamalkan.
Mendidik kepekaan daya gugah akan eksistensi ketu-
hanan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa melalui inter-
nalisasi, alam kesadaran rasional-etik subjek didik dalam proses
belajarnya terhadap semua disiplin ilmu yang dipelajari akan
difokuskan pada nilai-nilai etik-ketuhanan yang bersifat natural-

psikomotor. Kedua, mengalihkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, yang
terpancar pada kedudukan manusia dalam rangka melaksanakan ibadah,
berakhlak mulia, serta senantiasa menjaga harmoni hubungan dengan Tuhan,
dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Ahmad Watik Prati-
knya, Pengembangan, h. 59.



59

transendental sebagaimana dapat diamati pada tanda-tanda (al-
yt) kemaha-agungan, kemaha-adilan, kemaha-serasian,
kemaha-harmonisan, kemaha-kasih sayangan Tuhan dalam
mencipta, dan mengatur kehidupan ini (al-yt al-kawniyyah).
Objek-objek berupa fenomena alam (sunnat Allh) dapat diek-
splorasi melalui pengamatan empiris-observasitoris terhadap
semua gejala alam dan gejala sosial yang telah dielaborasikan
dalam setiap disiplin ilmu baik ilmu-ilmu kealaman (natural
sciences) maupun humanihora (behavior sciences). Tinggal lagi
masalahnya adalah bagaimana merancang dan menjalankan ku-
rikulum yang integral (integralistic curiculum)
56
dalam bingkai
sistem Pendidikan Islam, atau yang lebih dikenal dengan Islam
Untuk Disiplin Ilmu (IDI) atau Islam Dalam Perspektif Ilmu
(IPI).
Nilai-nilai--yang penulis sebut sebagai nilai teologis--ini
diinternalkan oleh pendidik secara integral-holistik di dalam
semua disiplin ilmu yang diajarkan kepada peserta didik sesuai
dengan substansi materinya masing-masing. Dengan meng-
internalnya nilai-nilai ini ke dalam alam kesadarannya diharap-
kan akan terefleksi pada sikap, tutur kata dan perilaku (akhlak)
peserta didik menjadi lebih baik (amal shalih).
Kedua terwujudnya integralitas kapasitas personal-
subjek didik Muslim dengan wawasan bernuansa ketauhidan
sebagai produk dari integralitas nilai teologis ke dalam semua
disiplin ilmu yang dipelajarinya. Integritas personal subjek didik
Muslim yang diharapkan dari internalisasi ini adalah individu
yang memiliki keyakinan (iman) ilmiah-rasional dan pengeta-
huan (ilmu) amaliah. Iman yang ilmiah dimaksudkan adalah
____________
56
Dalam melaksanakan metodologi pendidikan dan pengajaran aga-
ma harus dipergunakan paradigma holistik, yaitu memandang kehidupan se-
bagai satu kesatuan, mulai dari sesuatu yang konkrit dan dekat dengan ke-
pentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal yang abstrak dan tran-
sendental. Tegasnya materi ajaran agama harus selalu terintegrasi dengan
disiplin-disiplin ilmu umum, dan ilmu-ilmu umum harus disajikan dalam
paradigma nilai ajaran agama. Mastuhu, Memberdayakan ..., h. 74.



60

iman yang didasarkan pada pemahaman dan penghayatan yang
benar terhadap objek-objek tertentu yang harus diyakini dan da-
pat dipertanggungjawabkan secara akal sehat kepada Tuhan dan
manusia berdasarkan universalitas nilai ketuhanan dan kemanu-
siaan.
Sementara iman yang hanya berada pada tataran pem-
benaran lisan (verbal) tanpa disertai dengan penghayatan (heart)
yang dalam dan pemahaman yang benar, diyakini tidak akan
efektif terwujudnya subjek didik Muslim yang memiliki integri-
tas personal yang mumpuni dalam beramal (hand). Karena
imannya sebatas tataran pengetahuan (head), sehingga tidak
terefleksi dalam tataran amaliah. Di sinilah sering muncul per-
sonalitas individu yang pecah (split personality), atau lebih
dikenal dengan pribadi yang hipokrit. Sejatinya hubungan antara
ilmu-iman dan amal berlangsung secara dialektis-dialogis, men-
yatu dan berkelindan dalam kesadaran alam lahiriyah dan
batiniyah subjek didik Muslim. Dualisme (dichotomy) ilmu dan
amal atau antara iman dan amal seyogianya tidak mesti terjadi
jika penggunaan metode relevan dan aktual-kontekstual dengan
sistem pendidikan yang berpijak pada azas children oriented
57

dan kurikulum (proses dan pengalaman belajar) yang integral.
Yaitu kurikulum yang berdimensi fungsional kualitatif;
58
kuri-
kulum yang menitikberatkan pada substansi muatan kegiatan
belajar mengajar sebagai wahana alih nilai.
Tujuan ideal sebagaimana telah dipaparkan di atas ke-
mungkinan akan terwujud manakala keterpaduan dimensi kogni-
tif, afektif dan psikomotorik menjadi satu bangunan yang inte-
gral dan komprehensif di dalam praksis Pendidikan Islam. Me-
lalui keterpaduan yang seimbang antara ketiga ranah ini Pen-
didikan Islam yang bersifat intelektualistik-integratif yang bersi-
____________
57
Suyanto, Refleksi., h. 7
58
Ahmad Watik Pratiknya, Pengembangan Pendidikan Agama di
Perguruan Tinggi Umum, dalam Dinamika Pemikiran Islam Di Perguruan
Tinggi, Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed)., Cet. Ke-1 (Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 57.



61

fat transformatif pada ujungnya akan mampu membentuk pri-
laku dan sikap hidup yang pragmatis fungsional sebagaimana
diharapkan.
Untuk menjembatani tujuan ini, aspek lain yang tidak
kalah pentingnya adalah perlunya perubahan pendekatan bela-
jar-mengajar dari pendekatan indoktrinasi kepada pendekatan
yang mampu menyentuh dataran afeksi melalui proses penana-
man dan internalisasi nilai-nilai teologis melalui pendekatan dia-
log, kritik, diskusi, contoh-contoh yang nyata (empiris). Tuntu-
nan dan contoh baik berupa pembiasaan, keteladanan yang baik
serta pengalaman kebertuhanan khususnya yang berlangsung
secara kondusif, pada gilirannya dapat mengantarkan pesera
didik memasuki kawasan psikomotorik yang dapat menggerak-
kan mereka secara mandiri dan otonom untuk berbuat sesuatu
sesuai dengan nilai-nilai tawhd yang telah tertanam dalam kal-
bunya.
59

C. Substansi Nilai Teologis
Wacana utama agama samawi yang dibawa oleh para ra-
sul Tuhan adalah tauhid. Substansi tauhid bukan saja sebatas
pengakuan verbal (syahdah) terhadap eksistensi (wujd) Tu-
han. Karena kebanyakan manusia termasuk para penentang rasul
Tuhan, juga mengakui Tuhan sebatas eksistensi-Nya. Bahkan
mereka percaya bahwa Tuhan sajalah yang menciptkan seluruh
jagad raya beserta segenap isinya. Mekanisme alam raya dan
hukum-hukum-Nya (sunnatullah) juga tunduk kepada kehendak
Tuhan. Al-Qurn menambahkan bahwa sunnatullah itu tidak
pernah berubah, berikut kutipan ayatnya:
... ) . : (
____________
59
Amin Abdullah, Paradigma Pemikiran Keislaman Dalam
Perspektif Perubahan Sosial di Indonesia, dalam artikel Saifuddin Zuhri,
Dialog Fungsional Pendidikan Islam Dengan UUSPN Tahun 1989,
dalam buku Ismail SM, Nurul Huda, dan Ismail Kholiq (ed), Paradigma
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 188.



62

Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berla-
kunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang
yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat
penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula)
akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (Q.S. Al-
Ftir/35: 43)
Bahwa Tuhan sajalah yang berkuasa menurunkan hujan,
mengirimkan angin, dan menguasai matahari, bulan, bumi dan
planet lain (QS.23:84-89;29:61,63;dan 43:87), dalam pengertian
lain mereka kapasitas Tuhan sebatas rabb. Akan tetapi mereka
tidak mengakui bahwa Tuhan; Allah adalah rabb yang juga
sekaligus Ilh.
60

... ) . : (
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri". (Q.S. Al-Ankabt/29: 46)
Al-Qurn menegaskan bahwa Tuhan adalah rabb dan
ilh sekaligus. Dalam bahasa Arab, Ilh berarti Tuhan yang dis-
embah (mabd atau ubdiyyah) atau objek sembahan manusia.

61
Hubungan manusia dengan ilh-nya diilustrasikan seumpama
hubungan antara hamba sahaya (budak) yang cukup setia den-
gan majikan (tuan)nya. Sang hamba sanggup mengorbankan apa
saja yang dimilikinya untuk kebahagiaan sang tuan. Demikian
juga manusia yang telah berikrar dengan syahadah tauhid l
ilh ill Allh, berarti telah bersedia mematuhi kehendak Allah
dan tidak akan mengakui kekuasaan lain selain kekusaan Allah
dalam lisan dan amal. Seluruh hidup, mati, karya dan amal sha-
leh (ibadah) nya hanya didekasikan kepada Allah semata.
Sedangkan rabb, berarti Tuhan yang menciptakan, me-
melihara, mengatur, mengasihi dan yang menyempurna-kan.
____________
60
M. Amin Rais, Pengantar; Buku Abul Ala al-Mauddy, Khila-
fah dan Kerajaan, terj. Muhammad Al Baqir, cet. Ke-6 (Bandung: Mizan,
1996), h. 14.
61
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurn; Tafsir Maudlui Atas
Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-8, (Bandung: Mizan, 1999), h. 18.



63

Dalam kapasitas ini Tuhan adalah sebagai subjek, pusat, sentral
(theosentris) kehidupan. Oleh karena itu hubungan antara manu-
sia dengan rabb-nya harus ditandai dengan kepasrahan, ketaa-
tan, dan ketundukan. Karena itu, maka Allah sajalah yang ber-
hak menjadi objek ketaatan dan kepasrahan manusia.
Dalam literatur tasawuf disebutkan bahwa proses pencip-
taan alam bertujuan supaya Tuhan dapat dikenal oleh makhluk-
Nya. Dalam sebuah hadits qudsi yang dikutip oleh Ibn Arab,
Tuhan berfirman:
.
Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku ingin
supaya dikena ( maka Aku ciptakan alam ini) sehingga dengan
itu mereka mengenal Aku.
62

Menurut Ibn Arabi, meskipun alam empiris ini tidak
memiliki arti bila ditinjau dari sudut ontologisnya, tetapi Tuhan
sendiri yang menghendaki kemunculannya. Sebab Ia ingin meli-
hat citra diri-Nya melalui alam yang menjadi cermin asma dan
sifat-sifatnya. Alam semesta serta isinya adalah wadah tajall
dan nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas.
Tuhan sebagai esensi yang mutlak tidak mungkin dikenal, Tu-
han hanya dapat dikenal melalui tajall-nya pada alam empiris.
Makhluk adalah manifestasi dari esensi wujud Tuhan.
63

Kembali kepada kedua term teologis di atas, dalam
diskursus teologi Islam kedua term dimaksud setelah dikatasi-
fatkan dikenal dengan Uluhiyah dan Rububiyah. Kedua term ini
menjadi dua kategorisasi tauhid yaitu dikenal dengan tauhid
uluhiyah (Tuhan dalam keilahian-Nya) dan tauhid rububiyah
(Tuhan dalam kerabbanihan-Nya). Dalam penelitian ini kedua
____________
62
Sanad hadis ini tidak dikenal di kalangan ahli hadis. Oleh karena
itu, menurut Ibn Taimyah tidak memandangnya sebagai hadis. Yunasril Ali,
Manusia Citra Ilahi, cet. Ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 62. Akan te-
tapi Ibn Al-Arab memandangnya sahih atas dasar kasyf. Lihat. Ibn Al-
Arab, Fuss al-Hikm (ed.) A.A. Afifi (Cairo: t.p., 1947), h. 53.
63
Yunasril Ali, Manusia, h. 51.



64

term tersebut penulis reposisikan ke dalam term nilai teologis
Uluhiyah dan nilai teologis Rububiyah.
a. Nilai Teologis Rububiyah
Dengan memahami term rabb di atas, maka nilai teologis
rububiyah dapat dipahami bahwa Allah dalam kapasitas
kerabbaniahan-Nya adalah al-khliq (pencipta) atau rabb
al-lamn (pemelihara alam semesta). Dalam penciptaan
alam semesta termasuk manusia Tuhan menempuh proses
yang memperlihat-kan konsistensi dan ketaraturan berdasar-
kan aturan-aturan alamiah yang ditetapkan Tuhan sendiri
(sunnatullah) dalam alam semesta. Dalam konteks yang
demikian ini Tuhan adalah murabb (pendidik) yang se-
benarnya.
64
Kenyataan ini meniscayakan penyertaan Tuhan
dalam proses pendidikan, tentunya tanpa mereduksi peranan
manusia.
Peranan manusia secara teologis dimungkinkan karena ka-
pasitasnya sebagai khalfah Allh f al-ard atau wakil Tuhan
di muka bumi (QS.2: 30, 6:165, 10;14). Sebagi khalifah
manusia mengemban fungsi rububiyyah Tuhan terhadap
alam semesta termasuk diri manusia sendiri. Sebagaimana
kutipan ayat di bawah ini:
.
) : (
Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mere-
ka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memper-
hatikan bagaimana kamu berbuat. (Q.S. Yunus/10: 14)

Fungsi ini menjadi salah satu karakter hakiki dalam pendidi-
kan Islam, di mana pendidikan Islam pada intinya terletak
pada fungsi rububiyyah Tuhan yang secara praktis diman-
datkan kepada manusia. Dengan demikian pendidikan Islam
____________
64
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, cet. Ke-1
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 57.



65

adalah keseluruhan proses dan fungsi rububiyyah Tuhan ter-
hadap manusia (subjek didik) secara terencana, bertahap
sampai dewasa dalam semua aspek potensi yang diberikan
secara utuh. Atas dasar kekhalifahan ini juga manusia ber-
tanggungjawab untuk merealisasikan proses pendidikan Is-
lam.
b. Nilai Teologis Ulhiyyah
Berangkat dari term Ilh di atas, maka nilai teologis Uluhi-
yah adalah nilai di mana Tuhan dalam kapasitas keilahiyan-
Nya, yaitu Tuhan sebagai al-mabd (Zat yang disembah)
atau ilh al-ns (sembahan dan totalitas ketundukan manu-
sia). Nilai keilahian ini menjiwai kesadaran manusia bahwa
puncak pengabdian manusia adalah penghambaan, yang
hanya kepada Tuhan sebagai tempat paling final penang-
gungjawaban. Karenanya, segenap aktivitas positif yang di-
lakukan manusia senantiasa harus dalam bingkai peng-
hambaan. Bahkan tujuan keberadaan (hidup) manusia itu
sendiri tidak lain dalam konteks penghambaan, pengabdian
hanya kepada Tuhan. Sebagaimana ayat berikut:
) . : (

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan su-
paya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dhriyt/51: 56)
) . :
(
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS.
Al-Anm/6: 162)

Dalam konteks pendidikan Islam, di mana tanggung-jawab
kerabbaniyahan; mengaktualkan seluruh potensi fitrah
manusia termasuk potensi keilahiyahan tertumpu, maka nilai
teologis keilahiyahan terfokus pada pemeliharaan, pemupu-



66

kan terhadap kelangsungan nilai-nilai tauhid sebagai ka-
pasitas bawaan dalam diri peserta didik. Maka dalam hal ini
salah satu upaya yang ditempuh dalam proses peadagogis
islami adalah menginternalisasikan nilai-nilai teologis. Se-
hingga nature tauhid keilahian (nilai teologi Uluhiyah) men-
jadi membumi, menginternal dalam diri, dan aktual dalam
personifikasi kepribadian peserta didik.
Refleksi nilai teologis Uluhiyah tercermin pada pengkonsen-
trasian seluruh perasaan subjek didik pada Tuhan; rasa hor-
mat, rasa syukur sepenuhnya hanya menjadi otoritas Tuhan
semata. Apa yang dikehendaki Tuhan menjadi nilai yang
melekat kuat pada keyakinan, perasaan dan sikap dalam me-
nyikapi hidup. Komitmen kepada Tuhan adalah utuh, total,
positif dan kukuh, mencakup cinta (mahabbah), pengabdian
(ubdiyyah), ketaatan, dan kepasrahan (taslim) serta ke-
mauan keras untuk menjalankan kehendak-Nya.
Pada tataran ini, nilai teologis uluhyyah berfungsi mentrans-
formasikan subjek didik menjadi insan teologis yang memi-
liki komitmen ketuhanan yang stabil. Tuhan adalah sumber
kebenaran, pandangan transcendental ini memberikan kesa-
daran bahwa asal dan tujuan wujud hidupnya berpusat pada
Tuhan (esoteris) yang wahdaniyyah (Esa). Menolak wujud
kebenaran nisbi manusiawi (eksoteris) lainnya yang cende-
rung antroposentris. Karena itu dalam pandangan pendidikan
Islam manusia adalah makhluk theomorfis; makhluk yang
dibekali dua kutub daya yang saling berlawanan antara ku-
tub ketuhanan dan syaitan. Karenanya peran pendidikan da-
lam pandangan Islam adalah mengaktualisasikan daya-daya
ketuhanan itu (fitrah).
Dengan demikian, pada dasarnya hakikat nilai teologis Ru-
bubiyah dan Uluhiyah ini bertumpu pada tauhid. Yaitu pada
pentauhidan atau penyatuan (the unity of God) eksistensi
Tuhan sebagai rabb dan ilh dalam satu kapasitas mutlak.
Kesadaran subjek didik terhadap kapasitas Tuhan sebagai
murabb di alam semesta ini diharapkan akan mengantar-
kannya pada kesadaran untuk mematuhi segala yang diti-



67

tahkan-Nya. Inilah dua aspek nilai teologis, masing-masing
nilai-nilai membentuk aspek kognitif; pengetahuan bahwa
Tuhan sebagai al-Khliq, aspek afektif; timbulnya kesadaran
ubdiyyah, dan ketiga aspek psikomotorik; personifikasi
dalam sikap hidup (amaliyyah).

D. Model: Metode, Pendekatan, Strategi, dan Teknik Inter-
nalisasi serta Standar Evaluasi keberhasilan
Internalisasi nilai-nilai teologis dalam Pendidikan Islam ber-
hasil secara efektif manakala mempertimbangkan (sangat
tergantung) pada penggunaan metode, pendekatan, strategi,
dan teknik yang tepat dan relevan. Karenanya pencarian
model metode, pendekatan, strategi dan teknik yang ber-
corak inovatif-transformatif mutlak diperlukan. Dalam kon-
teks ini internalisasi adalah tujuan, sementara model metode,
pendekatan, strategi dan teknik adalah alat untuk mencapai
tujuan.
Bertitik tolak pada landasan konsepsional pendidikan nilai
sebagaimana telah dibahas pada bagian kedua tesis ini, sete-
lah penulis memahami dan menganalisis terhadap sejumlah
model; metode, pendekatan, strategi, dan teknik yang ada,
maka pada bagian ketiga ini penulis menawarkan model me-
tode deduktif, pendekatan rasional-penghayatan, strategi re-
flektif dan teknik internalisasi yang menurut hemat penulis
cukup refresentatif dapat digunakan dalam aplikasi proses
belajar mengajar khususunya dalam membumikan nilai-
nilai teologis dalam bingkai sistem pendidikan Islam trans-
formatif. Model ini sekaligus sebagai tawaran alternatif ter-
hadap kebekuan model belajar-mengajar dalam institusi
Pendidikan Islam selama ini. Tentunya model-model ini se-
telah sebelumnya ditransformasikan sesuai dengan para-
digma Pendidikan Islam.
a. Metode Deduktif
Metode deduktif secara umum dipahami sebagai me-
tode yang berangkat dari suatu rumusan konsep atau teori
yang sifatnya umum untuk kemudian dicoba terapkan pada



68

suatu kasus atau permasalahan yang sifatnya khusus. Metode
ini berangkat dari kebenaran nilai-nilai teologis sebagai teori
dan konsepsi yang memiliki nilai-nilai baik. Kelebihan me-
tode ini bagi subjek didik yang masih pada taraf baru mem-
pelajari nilai pada tahap-tahap awal akan menjadi lebih baik.
Metode ini dinilai cukup relevan dengan strategi reflektif
dan pendekatan rasional.
Aplikasi metode deduktif dalam internalisasi nilai di-
maksudkan adalah cara menyajikan kebenaran nilai-nilai te-
ologis dengan jalan menguraikan konsepsi tentang nilai-nilai
teologis untuk dipahami oleh subjek didik, selanjutnya di-
tarik sejumlah contoh kasus terapan yang sifatnya konkrit,
sederhana dan akrab dengan kehidupan (pengalaman) kese-
harian subjek didik. Artinya subjek didik terlebih dahulu di-
perkenalkan beberapa pengertian dan pemahaman tentang
nilai teologis secara umum, baru kemudian diberikan rincian
yang lebih mendetil dan kasuistik yang pernah mereka ala-
mi.
Pengajaran tentang konsep keimanan dan ruang ling-
kup aspek-aspek yang wajib diimani oleh subjek didik dalam
Pendidikan Islam biasanya diberikan lebih dini dan secara
khusus dalam satu mata pelajaran tersendiri yaitu aqidah
atau ilmu Tauhid.
65
Pendidikan aqidah dalam sudut pandang
(outlook) metode deduktik di atas menurut penulis men-
gandung rumusan-rumusan teoritis mendasar mengenai ma-
salah-masalah keimanan. Dan ini dapat menjadi landasan
konsepsional terhadap penjabaran nilai-nilai teologis tahap
____________
65
Dalam perspektif Islam, Ilmu Tauhid merupakan ilmu tertinggi
dalam hirarkhi pengetahuan, asal muasal dan tujuan pada ilmu-ilmu lain. Ia
juga merupakan sumber kesatuan semua ilmu. Setiap ilmu yang mengklaim
sebagai ilmu yang islami haruslah berhubungan secara organik dengan prin-
sip tauhid. Osman Bakar, Tauhid and Science; Essays on The History and
Philosophy of Islamic Science, terj. Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains;
Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), h. 244. Lihat dan bandingkan dengan Djamaluddin Ancok dan Fuad
Nashori, Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 128-129.



69

awal yang harus dipahami subjek didik sebelum merefleksi-
kannya lebih jauh dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Secara sekilas metode deduktik sepertinya kembali
menggiring aspek reflektif-transformatif normatifitas-nilai-
nilai teologis yang berada pada domain afektif ke dalam
bentuk pemahaman doktriner-konsepsional teologis--yang
terangkum dalam ilmu tauhid--yang berada pada domain
kognitif. Namun asumsi sementara ini akan absurd manakala
dipahami bahwa penggiringan kembali aspek doktriner te-
ologis tersebut hanya dimaksudkan sebatas pijakan teoritis
belaka untuk kemudian dilepaskan kembali pada posisi
normatifitasnya kembali. Penggiringan ini hanyalah untuk
menjembatani antara posisi doktrin teologis yang melangit
dan posisi refleksi-transformasi nilai-nilai teologis yang
membumi. Interaksi dialektis--bolak-balikantara postu-
lasi dengan fenomena faktual-emperikal merupakan raison
de tare bagian kerja metode deduktif yaitu metode reflektif.
Kembali pada penggunaan metode deduktif dalam ap-
likasi internalisasi nilai-nilai teologis di atas, bahwa kon-
sepsi teologis yang diajarkan adalah berupa konsep-konsep
dasar keimanan materinya berupa doktrin murni (pure doc-
trine)
66
. Artinya, belum direduksi ke dalam pandangan-
pandangan (interpretasi) mazhab-mazhab teologi. Dan juga
belum diajarkan dalam bentuk kemasan perspektif, ia ma-
sih berupa pokok-pokok pengetahuan keimanan (al-usl li
al-mn wa al-tawhd) belum membias dalam pendekatan
ilmu lain.
____________
66
Materi pelajaran tauhid berisikan pandangan dunia tauhid secara
utuh. Di dalamnya membahas masalah-masalah yang berkenaan dengan
keimanan; keesaan Allah beserta bukti-bukti (teologis-kosmologis-
antropologis) yang terdapat dalam rujukan resmi Islam yaitu al-Qurn dan
al-Hadits maupun fenomena kealaman, sifat-sifat Allah, kandungan makna
al-asm al husn, rukun iman, serta qadha dan qadar yang secara terpadu
langsung dikaitkan dengan pembahasan tentang keadilan Ilahi. Muhammd
Fauzil Adhim, Mendidik, h. 41-42.



70

Tahap penjelasan masalah-masalah keimanan pada diri
subjek didik di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal,
semestinya didukung secara kondusif oleh lembaga pendidi-
kan lainnya terutama lembaga keluarga (informal). Pada
tahap pengenalan dasar keimanan ini orang tua dan anggota
keluarga lainnya sangat memegang peranan penting dan cu-
kup menentukan pemahaman utuh keimanan subjek didik
berdasarkan pada intensitas pengalaman dalam penerapan
ibadah sebagai salah satu refleksi pengetahuan keimanan-
nya. Pengalaman kebertuhanan
67
subjek didik yang menda-
pat tempat cukup intens dalam lingkungan keluarga akan
mempersubur keyakinannya kepada apa yang selama ini
hanya eksis dalam alam pikirnya.
Sehubungan dengan demikian urgennya dukung-an
lingkungan keluarga terhadap kelangsungan per-kembangan
sikap keberagamaan anak pada sejak usia prasekolah (pre-
school) sampai dengan usia mulai sekolah (early childhood),
berikut dikutip pendapat Zamroni. Lebih jauh ia mengata-
kan;
Perkembangan kepribadian, sikap mental dan intelek-
tual sangat ditentukan dan banyak dibentuk pada usia ini.
Sebahagian besar perkembangan ini dipengaruhi oleh per-
anan lingkungan keluarga menurutnya ada lima aspek dari
lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap hasil pen-
didikan sekolah dasar (early childhood), yaitu pola perilaku
anak dan orang tua, bantuan dan petunjuk orang tua dalam
belajar, diskusi antara orang tua dan anak, penggunaan ba-
____________
67
Prinsip yang perlu dipertegas dalam Pendidikan Islam ialah pen-
gembangan pengalaman hidup sebagai Muslim. Setiap rangkaian kegiatan
belajar mengajar perlu ditempatkan sebagai media pengkayaan pengalaman
kebertuhanan. Secara teoritis hal ini mengandaikan kerangka dan dasar meto-
dik proses belajar mengajar sebagai penyadaran yang tumbuh dari pengala-
man panjang memahami dinamika kehidupan manusia di alam semesta.
Abdul Munir Mulkhan, Re-edukasi Etika Sarjana Tarbiyah, dalam
Religiusitas Iptek, h. 111.



71

hasa di rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua. Di ling-
kungan keluarga inilah anak akan berkembang, dan di sini
juga tahap-tahap awal proses pembentukan kepribadian anak
melalui internalisasi nilai-nilai terpantul dari emosi, minat,
sikap dan perilaku orang tuanya.
68

Setelah materi-materi utama ini dipahami subjek
didik dalam bentuk wawasan pengetahuan (kognisi)
keimanan atau ketauhidan, maka nilai-nilai keimanan, nilai-
nilai tauhid atau nilai-nilai teologis dalam bentuk wacana
atau perspektif disiplin ilmu lain mulai diperkenalkan secara
bertahap sesuai kapasitas daya (logik) nalarnya. Nilai-nilai
teologis yang secara implisitpaling tidak mempunyai kore-
lasi positif dengan pesan moral dan etik-religius yang ter-
kandung dalam disiplin ilmu itu--eksis dalam setiap subjek
kajian dielaborasi sedemikian rupa sehingga muncul secara
bersamaan dengan substansi topik yang sedang dibicarakan.
Inilah yang dimaksudkan nilai-nilai teologis dalam perspek-
tif, artinya apapun disiplin ilmu yang dikaji oleh subjek
didik, pada substansi materinya disertakan dan dioerientasi-
kan nilai-nilai teologis yang dikandung disiplin ilmu terse-
but.
Muatan nilai-nilai teologis dalam suatu disiplin ilmu
diangkat ke permukaan melalui pendekatan kontekstual dari
ilmu yang bersangkutan. Dalam hal ini, perspektif nilai-nilai
teologis dalam satu disiplin ilmu apapun merupakan muatan
substansi sertaan yang senantiasa melekat pada substansi
inti dari materi ilmu itu sendiri. Substansi sertaan ini
memang harus direncanakan sebelumnya, sejak awal
penyusunan kurikulum untuk masuk pada setiap substansi
inti, walaupun tidak secara secara formal--tidak terinderai
oleh pendidik dan subjek didik--dimunculkan. Sub-stansi
sertaan adalah nafas yang selalu harus dihembuskan
____________
68
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: Bi-
grof Publising, 2000),
h. 109.



72

manakala substansi inti disampaikan, ia berada di balik
muatan yang nampak. Kedua bagian substansi materi ini
tidak dipandang sebagai bentuk pembagian dikhotomis,
subjek didik diarahkan untuk melihat kelompok yang
pertama sebagai inti, dan kelompok yang lain sebagai
pendukung menuju pemahaman yang lebih utuh.
Untuk melengkapi metode deduktif ini perlu diguna-
kan model pendekatan empirik. Karena upaya menghadirkan
iman (baca; nilai-nilai teologis) dalam kehidupan, selain
melalui pendekatan wahyu (doktrin; konsep iman), subjek
didik harus menerima-berhadapan dengan hukum alam
ciptaan Tuhan dalam bentuk fenomena empiris mem-
butuhkan refleksi teologis sebagai waslah yang meng-
hubungi pengalaman empirik ke alam transendental. Melalui
refleksi teologis subjek didik diajak agar mampu menyikapi
problematik empirik pengalaman kebertuhanan dalam hidup
keberagamaannya sehari-hari dengan pandangan yang utuh
antara pengetahuan keimanannya dengan apresiasi sikap
keberagamaannya yang tercermin dalam intensitas ketaatan
beribadah, baik ibadah individual maupun ibadah sosial.
b. Pendekatan Rasional-Penghayatan
Seperti telah disinggung pada pembahasan tentang
metode deduktif sebagai salah satu metode alternatif
69

dalam internalisasi nilai teologis, bahwa metode deduktif
relevan dengan strategi reflektif dan pendekatan rasional.
____________
69
Penulis maksudkan dengan term alternatif, bahwa pada prinsip-
nya semua bentuk metode, pendekatan, teknik dan strategi dalam internalisasi
nilai memungkinkan untuk digunakan. Hanya saja penggunaannya terbatas
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan dunia pendidikan itu
sendiri, seperti tujuan pembelajaran, ruang lingkup dan target materi ajaran,
tingkat perkembangan dan kemampuan subjek didik, profesionalisme pen-
didik, kondisi ril tempat dan waktu pembelajaran, dan lain sebagainya. Ber-
dasarkan kemungkinan-kemungkinan ini, maka tidak ada metode atau
pendekatanpun yang bernilai absolut untuk digunakan, sejauh dianggap lebih
relavan dan lebih tepat terhadap pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
metode dan pendekatan itu dapat saja digunakan.



73

Relevansi tersebut terletak pada keharusan subjek didik
menggunakan pemahaman rasionalitasnya secara optimal
untuk menalar konsep dasar iman dan merefleksikan secara
deduksi (dari konsep ke fakta atau pengalaman) ke dalam
pengalaman-pengalaman kebertuhanan melalui pelaksanaan
ibadah dalam arti luassehari-hari.
Pemahaman fundamental terhadap norma-norma dasar
keimanan berperan sebagai landasan konsepsional yang
sekaligus menjadi batu lancatan terhadap kemampuan
merefleksikan nilai-nilai iman yang tersertakan baik pada
substansi disiplin ilmu lain atau pada pengalaman
menghayati kebermaknaan Tuhan di luar lingkungan belajar
institusi formal (sekolah alam raya). Dalam konteks
hubungan ini, metode deduksi berfungsi sebagai basis (usl)
pengenalan nilai, sementara rasionalitas adalah pendekatan
dalam mengenal dan menguasai basis, juga metode untuk
mengaktualisasikan refleksi-refleksi dalam aksi.
Untuk menanamkan kesadaran nilai adakalanya harus
dimulai dari kesadaran rasional, karena proses per-
kembangan sikap (kesadaran beragama) sebenarnya tidak
terlepas dari perkembangan penalaran (kognisi). Wawasan
awal tentang nilai yang tercerap melalui kesadaran rasional
akan diproses secara psikologis sehingga melahirkan respon
dalam bentuk sikap terhadap objek nilai. Menginternalnya
suatu nilai berawal dari penalaran yang benar terhadap nilai
itu, maka jika penalarannya salah, dengan sendirinya nilai
tersebut akan dianggap salah sehingga tidak menginternal
dalam diri subjek didik.
Pendekatan rasional dalam pengembangannya terhadap
internalisasi nilai-nilai teologis dimasudkan supaya
kesadaran terhadap kebermaknaan Tuhan dalam hidup
pada kepribadian subjek didik tidak sebatas pada
pengekoran (taqlid) buta--tanpa dibarengi dengan
pemahaman yang mendalam (ijtihad)--terhadap kebenaran
nilai yang diyakini dan diaktualisasikan. Sikap kebertuhanan
(beriman) yang gersang dari penalaran akan berimplikasi



74

pada ketidakmembumian kesadaran dalam menghadirkan
Tuhan secara internal dalam hidup.
Sementara itu dalam proses belajar mengajar,
pendekatan rasional difokuskan pada upaya pendidik men-
jelaskan bahan ajar dengan menggunakan alasan-alasan,
dalil-dalil logis--berdasarkan pengamatan empiris-- yang
dapat dicerap akal sehat peserta didik sesuai dengan
kemampuan daya nalarnya. Proses belajar-mengajar dengan
pendekatan ini tidak hanya digunakan pada materi pelajaran
pengetahuan umum seperti ilmu alam dan ilmu sosial, akan
tetapi materi pelajaran agama, bahkan materi aqidah sekali-
pun pendekatan rasional mutlak harus digunakan.
70

Jargon iman yang ilmiah dan ilmu yang amaliah
kiranya cukup sinkron dengan missi pendekatan rasional
71

dalam internalisasi nilai teologis atau pembentukan dan
____________
70
Dilihat dari segi metodologi Pendidikan Islam selama ini materi
ajaran agama tampak belum banyak diintrodusir sisi-sisi rasionalitasnya.
Karena itu perlu digunakan model penjelasan rasional, di samping intensitas
praktek dan keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin dan norma
peribadatan. Model penjelasan yang rasional, misalnya digunakan dalam
menjelaskan rukun iman yang enam. Metode belajar melalui dialog dan pen-
jelasan-penjelasan rasional sudah satnya digunakan, selain tetap mengguna-
kan metode tradisional sebatas keperluan. Metode tradisional diharapkan
tetap dipertahankan, karena ada memang nateri-materi agama yang memerlu-
kan metode belajar tradisional. Mastuhu, Memberdayakan., h. 68, 75, 88.
Dari doktrin dasar ini nilai-nilai teologis dapat dimaknai dan dihayati secara
lebih luas pada aspek materi lainnya.
71
Sistem kepercayaan harus mencapai derajat rasionalitas yang
tinggi. Terdapat kebutuhan dalam konteks kultural klasik untuk membuktikan
secara rasional keberadaan Tuhan, apalagi dalam kultural modern. Walaupun
menurut Hasan Hanafi Tuhan dalam sistem kepercayaan bukan objek ilmu
pengetahuan, tetapi kebenaran tentang keberadaan Tuhan dapat ditemukan
melalui alam materi ciptaan-Nya. Lebih jauh Hasan mengatakan Tuhan tidak
dapat dibuktikan dengan teori, melainkan dengan kenyataan. Singkatnya,
Tuhan bukan objek untuk dibuktikan secara teoritis, melainkan suatu tujuan
untuk diwujudkan secara praktis. Hasan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pem-
bangunan, terj. Shonhaji Shaleh, cet. Ke-1 (Jakarta: P3M, 1991), h. 8, 14,
115.



75

pendalaman aspek keimanan subjek didik. Betapa tidak,
iman dikategorikan ilmiah manakala dalam pembentukannya
melibatkan kapasitas rasional. Letak ilmiahnya iman adalah
pada proses, kualitas dan aktualisasinya. Pada tataran proses,
iman dikatakan ilmiah manakala dalam pembentukannya
melibatkan runtutan (sistematika) langkah-langkah berpikir
ilmiah.
72
Ia tidak hanya melibatkan tolak ukur kebenaran in-
tuisi atau pendekatan imani (trancendency) saja, melainkan
juga turut di dalamnya tolak ukur kebenaran empiri, sensori,
dan kebenaran logik. Pada tataran kualitas, iman dapat di-
kategorikan berkualitas manakala iman dapat mempribadi
atau membumi dalam bentuk kepribadian yang utuh. Semen-
tara iman dapat dikategorikan aktual,
73
manakala iman dapat
berujud amal shalih sebagai bukti konkrit yang nampak dan
terukur dalam menyikapi hidup.
Selain menggunakan pendekatan rasional dalam penje-
lasan semua materi pelajaran yang dapat mengelaborasi
nilai-nilai teologis, maka pendekatan penghayatan berperan
sebagai pendekatan pendamping yang diperlukan dalam
membimbing dan membantu penalaran rasional (aqliyyah)
subjek didik menuju ke hirarkhi penalaran batin (qalbiyyah).
Penghayatan terhadap nilai teologis yang telah melembaga
dalam alam rasional subjek didik bertujuan untuk meniup-
kan ruh (spirit) pada nilai-nilai teologis sehingga dapat tere-
____________
72
Jika mengadobsi pada ketrampilan berpikir model John Dewey,
maka langkah-langkahnya secara berurut adalah mengamati, mendiskripsi,
menganalisis, mengklasifikasi, menafsirkan, dan menarik kesimpulan. S.
Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, cet. kse-3 (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h.121. Bandingkan dengan dimensi/skop pendidikan nilai, yaitu
mengindentifikasi nilai, inkuiri filosofis/tinjauan mendalam secara rasionaal
terhadap nilai, respon afektif dan emotif terhadap nilai, dan mengambil
keputusan tentang nilai yang dipilih.


73
Hasan Hanafi mengatakan iman menjadi mandiri tanpa
pemahaman dan tindakan. Tindakan adalah manifestasi dari iman, iman tanpa
tindakan sama dengan bentuk tanpa isi, kata tanpa aksi. Hasan Hanafi,
Agama, h. 18.



76

alisasi dan terakomudasi alam aktual melalui perwujudan si-
kap dan perilaku insan yang berkapasitas iman yang ilmiah
dan ilmu yang amaliah.
Pendekatan penghayatan akan berkembang lebih efek-
tif jika subjek didik lebih intens dilibatkan dalam kegiatan
empirik sehari-hari. Dengan catatan pengalaman empirik
tersebut lebih ditekankan pada keterlibatan aspek afektifnya
daripada aspek rasionalnya. Dengan demikian diharapankan
muncul kesadaran terhadap kebenaran nilai yang diyakini
dan diamalkan. Pendekatan penghayatan memberikan ke-
sempatan yang luas kepada subjek didik untuk lebih kreatif
mengalami sendiri nilai-nilai yang hidup, melembaga dalam
dirinya dan lingkungan di luar dirinya.
Nilai-nilai teologis yang hidup dalam institusi sosial
keagamaan seperti dalam pelaksanaan ibadah individual
maupun sosial (shalat, puasa, zakat dan haji) kemudian
mampu dihayati oleh subjek didik, maka pengaruhnya jauh
lebih melembaga dalam kesadarannya. Karena di sini ber-
langsung proses mental (religios building) untuk memaknai
setiap aktivitas religius tersebut. Pemaknaan aktifitas fisik
inilah yang disebut dengan aktivitas penghayatan.
Pendekatan penghayatan adalah pendekatan yang be-
rupaya menyentuh hati nurani, mengembangkan kata hati
dan perasaan subjek didik. Dalam internalisasi niliai-nilai
teologis pendekatan ini difokuskan pada belajar mengalami
kebermaknaan keberadaan Tuhan melalui semua realitas
yang ada. Realitas kehidupan dan realitas kematian atau ke-
tiadaan (fan). Pengalaman ini sedapat mungkin berlang-
sung seumur hidup, mulai dari lingkungan keluarga, bangku
pendidikan sekolah dan masyarakat.
Lebih khusus di lembaga pendidikan, pemaknaan
hidup dengan nilai-nilai teologis ini diperoleh melalui pene-
laahan ilmu pengetahuan alam dan sosio-kultural yang ber-
peran sebagai landasan pemaknaan. Penelaahan melalui
proses pembelajaran ilmu pengetahuan di lembaga pendidi-
kan ini dengan prosesnya yang selalu menyertakan (inte-



77

grated) di dalamnya upaya mengangkat atau memunculkan
keberadan realitas mutlak (Tuhan) di balik semua fenomena
yang tersirat dalam kajian ilmu tersebut, cukup memberikan
sentuhan awal pada dinding-dinding rasional-religiusitas
subjek didik sejak awal.

c. Strategi Reflektif
Kata reflektif dalam terminologi metodologi peneli-
tian dimaksudkan sebagai metode integrasi dari penggunaan
metode dedukti dan induktif. Dalam pendidikan nilai,
strategi reflektif merupakan cara yang biasa digunakan un-
tuk mendidik peserta didik dalam mengenali, memahami dan
menghayati nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dengan
jalan mondar-mandir antara menggunakan pendekatan teor-
itik ke pendekatan empirik, serta mondar-mandir antara
menggunakan metode deduktif dengan pendekatan induktif.
Strategi reflektif memungkinkan penggunaan pendekatan ra-
sional sekaligus dengan pendekatan emosional (pengha-
yatan).
Dalam internalisasi nilai-nilai teologis, strategi reflek-
tif adalah strategi belajar dengan menggunakan aktivitas
berpikir rasional terhadap realitas empirik untuk mem-
peroleh penghayatan yang mendalam terhadap kualitas ketu-
hanan khususnya dan kemanusiaan sekaligus, sehingga
mempribadi dalam diri menjadi pandangan hidup (keyaki-
nan) bagi tolak ukur sikap dan perilaku.
Jika dirujuk ke dalam al-Qurn , konsep berpikir re-
flektif banyak terkandung dalam ayat-ayat nalar. Seperti se-
ruan Allah pada setiap penghujung ayat-ayat nalar dengan
ungkapan afal yatafakkarn, afal yaqiln, afal
yanzurn, y ul al-albb dan ungkapan-ungkapan lain.
Secara umum seruan Allah dalam ayat-ayat nalar di atas
adalah seruan untuk berpikir dan merenung terhadap ayat-
ayat Allah yang ada di alam raya (yt al-kawniyyah) ini se-
bagai tanda-tanda keagungan-Nya yang diperuntukkan bagi
manusia. Dengan demikian, diharapkan manusia seluruhnya



78

yang tergolong ke dalam hambanya dapat mengambil itibar
atau ibrah untuk lebih yakin dan memantapkan keimanan
kepada Allah.
Ajakan al-Quran pada sejumlah term sebagai-mana
disebutkan di atas, mengajak dan mendorong manusia untuk
aktif bereflektif terhadap semua objek realitas empirik alam
raya ini guna mengokohkan keimanan kepada Allah atau
menginternalnya nilai-nilai teologis yang nantinya inklusif
dalam nilai-nilai kemanusiaan.
74

Sebagai strategi pendidikan, peranan berpikir mere-
nung (reflektif) dapat dikembangkan dalam proses belajar
mengajar semua materi pelajaran. Subjek didik membiasa-
kan diri berpikir menghayati kebenaran-kebenaran Tuhan
dengan segala keagungan-Nya--pada penciptaan, pengaturan
dan pemeliharaan alam rayamelalui penelaahan ilmu pen-
getahuan yang dipelajarinya. Melalui strategi reflektif nilai-
nilai tauhid (teologis) akan muncul dari substansi ilmu yang
dipelajari.
Harapan dari strategi reflektif ini adalah terintegras-
inya antara ilmu dan iman, antara kesadaran rasional yang
didukung dan dikembangkan ke dalam kesadaran afektif
(emosional), antara berpikir dan merenung-menghayati, dan
antara akal dan budi subjek didik sehingga terkonstruk suatu
kepribadian yang utuh. Kesadaran nilai yang didukung oleh
____________
74
Q.S. Ali Imrn/3: 190-191 misalnya dan masih banyak ayat al-
Qurn lainnya yang menggunakan fenomena kealaman yang secara langsung
menjadi objek reflektif subjek didik untuk memikirkan, menghayati dan
menjadikannya sebagai hujjah untuk meneguhkan keimanan kepada Allah.
Upaya merefleksikan ayat-ayat kauniyah ini memungkinkan subjek didik
lebih terbantu dalam konstruksi berpikir yang relatif matang ketika ia
berhadapan langsung dengan medan kajian sainstec; sains dan teknologi.
(iptek). Secara aktif nilai-nilai teologis yang terinternal melalui kajian saintek
ini akan memperkokoh konstruksi berpikirnya ketika mempelajaari ilmu-
ilmu pendukung sebagai bagian dari ayat-ayat Allah yang haq. Sebagaimana
Allah sendiri memotivasi manusia agar memikirkan tanda-tanda kekuasaan-
Nya di balik fakta-fakta alam ciptaan-Nya.



79

sikap rasional ini membedakan kedewasaan iman dengan
iman yang verbalis. Iman yang didukung oleh ilmu adalah
iman yang dewasa, sementara iman yang hanya didukung
oleh emosi dan taqlid adalah iman yang rawan.
Strategi reflektif diprediksikan mampu mengintegrasi-
kan pandangan dunia tauhid dalam bingkai integrasi ilmu
pengetahuan dalam paradigma Pendidikan Islam. Dalam hal
ini Murtada Mutahhari menentukan sejumlah keunggulan
pandangan dunia tauhid dalam membentuk pandangan hidup
Muslim, yang dengan keunggulan ini internalisasi nilai-nilai
teologis dalam paradigma Pendidikan Islam akan bermakna
dan menjadi pegangan peserta didik dalam menentukan si-
kap dan arah dalam menyikapi problema-problema sosial.
Strategi refleksi mengantarkaan peserta didik lebih mengha-
yati keadilan Ilahi sehingga memberi spirit bagi tegaknya
keadilan insani di muka bumi. Tanpa adanya kapasitas re-
flektif yang mempribadi semacam ini, maka internalisasi
nilai-nilai teologis hanya akan berhasil menanamkan nilai-
nilai teologis tekstual, bukan nilai-nilai teologis aktual.
75

d. Teknik Trans-internal
Teknik pendidikan nilai transinternal ini dinilai lebih
tepat digunakan dalam penanaman nilai-nilai ketuhanan (te-
ologis) dan kemanusiaan. Ditambah lagi jika teknik ini dipa-
dukan dengan metode deduktif, pendekatan rasional-peng-
hayatan dan strategi reflektif. Tanpa mengurangi kelebihan
____________
75
Nilai-nilai teologis aktual dimaksudkan adalah nilai-nilai teologis
yang tertransformasikan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari yang sifat-
nya aktual. Karena pada dasarnya nilai-nilai teologis mengandung nilai moral
dan sosial. Muatan aktual nilai-nilai teologis pada aspek sosial misalnya ke-
pekaan terhadap issu-issu sosial, moral dan lingkungan hidup. Katakanlah
kepedulian terhadap kaum tertindas (mustazafn) secara politik, ekonomi dan
sosial; kaum pinggiran (marginal), anak yatim, fakir miskin, anak jalanan,
panti asuhan, panti jompo, pelestarian lingkungan hidup, kebersihan dan ke-
sehatan lingkungan, kriminalitas dan pelecehan terhadap wanita dan anak-
anak. Semua isu-isu ini akan mendapat sentuhan pikiran, hati dan tangan dari
subjek didik yang memiliki kapasitas nilai-nilai teologis.



80

teknik lain dan kelemahan teknik trans-internal sendiri,
maka dibandingkan dengan teknik pendidikan lain seperti
teknik indoktrinasi, klarifikasi, moral reasoning, meramal
konsekuensi, dan teknik menganalisis nilai, teknik trans-
internal memiliki keunggulan tersendiri.
Apabila dalam teknik-teknik yang disebutkan di atas
hanya sebatas pada pemilihan nilai dengan argumentasi ter-
tentu, maka dalam teknik trans-internal ini sasarannya
adalah sampai pada pemilikan nilai yang mengakar dalam
kepribadian subjek didik. Sebelum sampai pada tahap
transinternal, ada dua tahap lainnya yang harus dilaksanakan
pendidik dalam proses internalisasi nilai teologis sehingga
sampai pada tahap trans-internal.

1. Tahap transfer nilai
Pada tahapan ini pendidik mentranfer atau mem-
berkan pengetahuan tentang aspek keimanan (aqidah)
secukupnya kepeda subjek didik. Dalam kegiatan ini
aspek kognisi subjek didik sangat dominan. Transfer
wawasan pengetahuan keimanan dari pendidik kepada
subjek didik ini sifatnya semata-mata sebagai
komunikasi teoritik dengan menggunakan bahasa
verbal. Pada tahap ini subjek didik belum dapat
melakukan analisis (subjek didik pasif) terhadap
informasi aspek keimanan tersebut untuk dikaitkan
dengan realitas praksis sehari-hari dalam pengalaman
kebertuhanan subjek didik. Setelah tahapan ini
dianggap sudah mampu dicerna dan dipahami serta
memadai bagi pengalaman subjek didik dalam
kehidupan di dalam masyarakat, maka tahapan berikut-
nya sudah dapat dilaksanakan.
2. Tahap transaksi
Jika pada tahap transfer, komunikasi yang ber-
langsung sifatnya searah (informasi bersumber dari
pendidik saja), maka pada tahap transaksi sudah ber-
langsung komunikasi dua arah; yaitu antara pendidik



81

dengan subjek didik saling membagi dan menyampai-
kan informasi berdasarkan penalaran (analisis)
terhadap aspek pengetahuan keimanan yang didiskusi-
kan. Pada tahapan ini interaksi antara peserta didik
dengan pendidik bersifat timbal balik, masing-masing
memberikan konstribusi analisis. Ada semacam tawar-
menawar (bargaining information) input dari wacana
yang sedang dibahas, subjek didik terkadang berkutat
dengan penalarannya. Walaupun masih sebatas komu-
nikasi verbal yang sifatnya fisik dengan memberi con-
toh melalui pengamalan kebertuhanan yang dilakukan
pendidik sehari-hari, akan tetapi tahap transaksi ini
memberikan spirit, suggesti dan motivasi intrinsik
tersendiri bagi peserta didik untuk mencoba mem-
batin atau memaknai dan menghayati terhadap apa
yang telah diketahui dan diamatinya pada profil pen-
didik.
3. Tahap trans-internalisasi
Pada tahap ini pendidik berhadapan dengan peserta
didik tidak lagi sebagai sosok fisiknya saja, melainkan
juga sikap mental dan keseluruhan kepribadiannya.
Demikian juga peserta didik merespon terhadap apa
yang dikehendaki pendidik dengan memaksimalkan se-
luruh aspek kepribadiannya. Yaitu kepribadian dalam
kondisi saling memberi dan menerima pengalaman
penghayatan kebertuhanan melalui pengamalan praksis
dalam kehidupan. Dengan kata lain dapat dikatakan,
bahwa pada tahap transinternalisasi ini terjadi komu-
nikasi batin antara peserta didik dengan pendidik.
Dalam eskalasi ini pendidik tidak ubahnya sudah ber-
peran sebagai pembimbing ruhani, guru (murabb)
pencerah batin subjek didik yang senantiasa meng-
ayomi, memberi arah kebenaran dan teladan yang
kharismatik di mata anak-anak didiknya. Selain me-
lalui kurikulum mikro (pengalaman belajar di ruang
kelas), kurikulum makro (pengalaman belajar di luar



82

ruang (tanpa batas) kelas tahap trans-internalisasi dapat
dilangsungkan seperti di mushalla sekolah melalui
berbagai kegiatan baik yang bersifat pengasahan
wawasan pengetahuan (kognitif), pencerahan pengha-
yatan batin (afektif) maupun uji coba atau pengamalan
langsung melalui ibadah ritual, sosial dan ibadah alam.
4. Tahap transformatif
Kalaupun ketiga tahap di atas telah diutamakan dan
memperoleh porsi yang memadai, masih ada satu ta-
hapan lagi yang hendak dicapai, yaitu aspek psikomo-
torik. Tahapan ini lebih menekankan kemampuan sub-
jek didik untuk dapat menumbuhkan motivasi, sugesti,
spirit dalam diri sediri (intrinsik) sehingga dapat
menggerakkan, melaksanakan dan mentaati nilai-nilai
teolgis yang telah terinternalisasikan dalam dirinya
sendiri melalui ketiga tahapan di atas. Di sinilah tolak
ukur keberhasilan internalisasi nilai akan terlihat pada
tindakan subjek didik dalam lingkungan pengalaman
belajar terbatas (keluarga dan sekolah) maupun dalam
lingkungan pengalaman belajar lebih luas (masyara-
kat).
Terjadinya proses transformasi nilai dari tataran pen-
getahuan atau alam kesadaran kepada perwujudan si-
kap dan tidakan atau alam aktualitas adalah tujuan
utama pendidikan atau tujuan hakiki internalisasi nilai,
dan lebih khusus lagi tujuan internalisasi nilai teologis.
Kesatuan (integrality) antara ilmu, iman, dan amal
dalam keutuhan kapasitas personal subjek didik meru-
pakan harapan dan cita-cita luhur Pendidikan Islam.
Atau dalam bahasa umum pendidikan dinyatakan den-
gan karakterisasi nilai, yaitu apabila kepribadian yang
telah terbentuk sesuai dengan sistem nilai tertentu dan
dilaksanakan secara terus menerus, maka akan terben-
tuk kepribadian yang bersifat satunya hati, kata, dan
perbuatan.



83

Teknik tran-internal merupakan sebuah prosesrangkai-
an langkah-langkah pengubahan (transformasi) aspek pengeta-
huan yang bersifat kognitif menjadi makna dan nilai yang
kemudian diinternalisasikan. Selanjutnya makna dan nilai
yang telah terkunyah dan terhayati menjadi kekuatan (power)
bagi subjek didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku (mo-
torik) secara konkrit-religius dalam wilayah praksis sehari-hari.
Serangkaian model: metode, pendekatan, strategi dan
teknik yang telah dikualifikasikan di dalam proses menginter-
nalkan (internalisasi) nilai-nilai teologis dalam lingkup Pendidi-
kan Islam yang kelihatannya cukup aplikatif, kiranya hanyalah
sebatas gagasan ijtihadiyah pemula dalam wacana Pendidikan
Nilai Teologis dalam spektrum Pendidikan Islam. Dengan anal-
isis yang masih dangkal mencoba mengangkat diskursus inter-
nalisasi nilai teologis. Namun pada kenyataannya, akhir dari
diskursus ini masih tidak bisa dihindari dari nuansa teoritis-
konsepsional yang masih umum bagi upaya operasional-
aplikatif internalisasi nilai-nilai teologis itu sendiri dalam plat-
form Pendidikan Islam.
Walaupun demikian diharapkan studi ini menjadi sum-
bangsih awal guna lebih memicu telaahan yang lebih kritis dan
lebih operasional.



84




85

BAB EMPAT
KESIMPULAN
DAN IMPLEMENTASI STUDI

Kesimpulan

nternalisasi merupakan term yang terdapat dalam kajian Psi-
kologi Pendidikan. Internalisasi adalah menjadikan sikap,
perasaan, keyakinan menjadi bagian tidak terpisahkan dari per-
sonalitas seseorang melalui pengulangan pengalaman belajar.
Proses internalisasi merupakan proses pemunculan dari dalam
jiwa subjek didik. Secara umum internalisasi menunjuk ke arah
perkembangan batiniah yang terjadi bila subjek didik menjadi
sadar tentang tujuan hasil belajar, dan kemudian mengambil si-
kap-sikap, prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari dirinya di
dalam membentuk penilaian norma daan di dalam menuntun
tingkah laku (moral) nya.
Sementara nilai teologis adalah kualitas-kualitas ketu-
hanan yang telah direfleksikan pada ayat-ayat Tuhan baik tersu-
rat (qawliyyah) maupun yang tersirat (kaw-niyyah). Aktualisasi
ayat-ayat Tuhan tersebut menjadi nilai-nilai teologis dicerap
subjek didik melalui penelaahan ilmu pengetahuandalam ar-
tian non-dikhotomisdengan cara rasionalisasi (penalaran) dan
refleksi (penghayatan) atau pemaknaan aspek kognitif ilmu pen-
getahuan dengan makna atau nilai-nilai teologis yang implisit
dalam substansi materi disiplin ilmu yang dipelajari tanpa kec-
uali.
Refleksi keagungan terhadap kualitas-kualitas Ilahi --
yang dalam penelitian ini diistilahkan dengan nilai-nilai teolo-
gisyang dapat diketahui pada kompleksitas penciptaan, pen-
gaturan dan pemeliharan alam mikro (keunikan manusia), alam
makro (alam semesta) seperti Maha Kreasi, Maha Pemelihara,
Maha Mengatur, Maha harmonis, Maha adil dan bijaksana, dan
I



86

sifat-sifat positif lainnya yang secara inheren kualitas Ilahiyah
ini ada pada manusia yang juga bersifat insaniyah.
Nilai-nilai Teologis ini diinternalisasikan melalui reka-
yas peadagogik dalam bingkai paradigma Pendidikan Islam
dengan metode, pendekatan, strategi dan teknik tertentu yang
dianggap aktual dan relevan dengan tuntutan perkembangan
zaman. Metode belajar mengajar deduktif dengan langkah-
langkah yang telah disitematisasikan sesuai dengan tahap per-
kembangan aspek kognitif dan afektif subjek didik dianggap da-
pat menggantikan metode indoktrinasi yang selam ini masih dip-
raktekkan dan masih mentradisi dalam lembaga Pendidikan Is-
lam.
Demikian juga pendekatan rasional dianggap kredibel
untuk menguak kreativitas berpikir subjek didik secara optimaal
melalui kegiatan belajar dialogis yang objektif dan logis, anali-
tik, partisipatoris, dialektis dan belajar mengalami sendiri wa-
laupun terhadap aspek yang selama ini diasumsikan sakral untuk
diekploitasi (ijtihadi) kemampuan kreativitas rasional subjek
didik seperti aspek keimanan. Pendekatan rasional ini mencoba
menggantikan pendekatan otoritatif (one man show), seolah
guru satu-satunya pemilik kebenaran sementara subjek didik
seperti kertas kosong tanpa potensi apa-apa. Hal ini sangat ber-
tentangan dengan fitrah manusia dalam pandangan Pendidikan
Islam bahwa subjek didik bukan bank atau botol (benda mati)
yang pasif dan statis dan hanya siap ditransfer ilmu pengetahuan
secara otoritatif.
Stretegi reflektif (berpikir-merenung) menawarkan kon-
vergensi dengan mengawinkan metode deduktif dengan
pendekatan rasional dan mengadobsikannya sebagai strategi al-
ternatif internalisasi nilai teologis. Strategi reflektif merupakan
stretegi jalan tengah antara maksimalisasi kubu rasionalitas
(otak kanan) dengan kubu penghayatan (otak kiri) subjek
didik dalam mencerna, membatin dan mengaktualkan nilai-nilai
teologis menjadi karakteristik setiap sikap dan perilaku praktis-
nya. Strategi ini mereposisikan strategi tradisonal yang lebih



87

menekankan pada aspek verbal sehingga cukup padaa tataran
verbal (hafalan) saja.
Internalisasi nilai-nilai teologis menggunakan tehnik
trans-internal, artinya pengkondisian suasana dan proses belajar
mengajar yang lebih hidup. Suasana ini terwujud apabila jali-
nan komunikasi lahir-batin (fisik dan kepribadian) antara subjek
didik dengan pendidik secara kondusif dimungkinkan terjadi.
Tidak ada penguasa kebenaran terutama oleh pendidik, semua
dianggap sama di hadapan kebenaran, sama-sama sedang men-
cari. Melalui teknik ini transformasi dialektif nilai-nilai teologis
dari dan kepada pendidik-subjek didik berlangsung secara in-
tens. Dimana pendidik tidak saja memiliki konstribusi kognitif,
afektif dan psimotorik terhadap subjek didik, bahkan ia mampu
berperan sebagi nilai-nilai yang hidup yang tercermin pada ke-
teladan kepribadiannya.
Standar evaluasi dari segenap proses internalisasi nilai-
nilai teologis sebagai tolak ukur keberhasilan adalah pada apre-
siasi subjek didik yang lahir pada kesatuan antara kata, hati dan
amal praksis yang disikapi, dilisankan dan dilaksanakan atas
dasar keyakinan terhadap nilai yang telah mengkristal dalam
kepribadiannya secara ikhlas dan ihsan.
Implimentasi Studi
Studi penelitian ini berimplimentasi pada pengembangan
ranah afektif dalam sistem pendidikan Islam yang bercorak pada
paradigma pendidikan integralistik. Terutama dalam pengem-
bangan dan rekayasa strategi pembentukan sikap dan perilaku
peserta didik yang berorientasi pada nilai teologis. Karenanya
studi ini lebih cendrung mengacu pada aspek kajian psikologis
(pen-dekatan nilai) metodologis pendidikan Islam. Karena pada
sisi lain juga berupaya mencari metodologi pendidikan Islam
yang relevan spirit Islam itu sendiri dan juga mainstream kema-
juan ilmu pengetahuan yang mengungulkan rasionalitasdi
samping penghayatan (refleksi)sebagai piranti dalam mem-
bentuk nilai.



88

Dalam operasionalisasinya, penerapan studi penelitian
ini dapat diimplimentasikan pada pengajaran semua disiplin
ilmu pengetahuan dalam bingkai sistemik keislaman. Di mana
dalam semua disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan itu men-
gandung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang tersertakan
di dalamnya. Salah satu nilai dimaksud adalah nilai teologis,
dalam semua disiplin kajian ilmu pengetahuan secara implisit
sarat memuat aspek teologis di dalamnya. Apakah itu dalam
sains eksakta maupun dalam ilmu humaniora. Terdapat muatan
kualitas-kualitas keilahian (trancendency) yang sangat ber-
makna bagi subjek didik untuk lebih mengenal dirinya, alam dan
Tuhan. Sehingga suatu korelasi linier antara peningkatan penge-
tahuan dengan semakin membuminya nilai dapat terealisasikan
dalam kualitas kepribadian peserta didik. Model pengajaran ini
tentunya diberikan kepada subjek didik yang sudah mampu ber-
pikir abstrak dan sistematis-metodelogis. Namun pada tahap
pengenalan dapat digunakan pendekatan empiris kealaman.
Dengan demikian upaya untuk mengangkat aspek eso-
teris (substansi) teologis terhadap semua materi ajar dalam
proses pengajaran, menjadi langkah awal (step of method) yang
harus ditempuh pendidik dalam menjalan strategi internalisasi
nilai. Dengan demikian, strategi internalisasi berlaku efektif me-
lalui skil dan kapasitas pendidik dalam memaknai nilai yang
inklusif tersebut. Sehingga penerapan strategiyang terkesan
sophysticated--ini membutuhkan kesiapan meliu pendidikan
yang kondusif dan dalam iklim yang demokratis.
Oleh karena itu, strategi belajarinternalisasi--ini men-
jadi strategi pendidikan nilai alternatif. Khususnya terhadap
penggunaan strategi tradisional yang dinilai sudah out of date
dalam menyahuti kreativitas berpikir subjek didik yang
demikian berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan.
Secara fungsional strategi ini juga bertujuan menjaga kelang-
sungan dan keaktualan potensi-potensi bawaan fitrah subjek
didik sehingga senantiasa tetap pada kondisi fitrah itu.
Sementara itu, implementasi studi ini terhadap per-
kembangan pendidikan yang mempengaruhi integrasi nilai a-



89

gama dalam berbagai bidang studi adalah bahwa studi ini tidak
hanya mencari strategi pengajaran yang tepat untuk meng-
internalkan nilai teologis semata, melainkan juga dapat
dioperasinalisasikan ke dalam berbagai aspek nilai agama lain-
nya. Tentunya berdasarkan strategi internalisasi yang tepat,
maka dengan sendirinya nilai-nilai agama lainnya seperti nilai
moral (akhlak) dapat juga diintegrasikan dengan menggunakan
acuan strategi yang sama. Dengan demikian studi ini dapat men-
jadi usaha awal atau percontohan bagi perumusan strategi inter-
nalisasi nilai-nilai agama dalam upaya mengintegrasikannya ke
dalam berbagai bidang studi lainnya.
Akhirnya, sebagus apapun teori atau konsep yang berha-
sil di bangun dalam dunia pendidikan tidak akan membawa pe-
rubahan signifikan kepada pemberdayaan peserta didik bilamana
tidak didukung oleh kemauan dan sumber daya manusia yang
terlibat dalam proses memanusiakan manusia ini. Orang tua,
masyarakat dan pendidik atau guru dalam pengertian terbatas
adalah komponen penanggungjawab bagi masa depan generasi
hari ini.
Dengan harapan studi ini menjadi salah satu kontribusi
yang bernilai (having of value) bagi dunia pendidikan kita seka-
rang ini. mn Y Rabb al-lamn.



90




91

DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Rasyd Ibn Abd al-Azz Salm, Al-Tarbiyyah Al-
Islmiyyah wa Turuq Tadrsih, Kuwait: Dr al-Buhuth
al-Ilmiyyah, 1975.
Abdul Munir Mulkhan, (ed.,), Religiusitas Iptek, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Abdullah Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Pres, 1991.
Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory: Quranic
Outlook, Mekkah : Umm al-Qurra University, 1982.
-----, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qurn, terj.
H.M. Arifin dan Zainuddin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidi-
kan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Ja-
karta: Bulan Bintang, 1970.
-----, Al-Tarbiyyah wa Falasifatuh, Mesir: Al-Nalaby, 1969.
Ali Asyraf, Sayyid, New Horizon In Muslim Education, Cam-
bridge: The Islamic Academy, 1985.
-----, Philosophy of Education (Problem of Men), New Jersey:
Litlefield, Adam & Co Peterson, 1961.
Ali Syariati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad
Al-Baqir, Yogyakarta: Rajawali Pres, 1982.
-----, Tentang Sosiologi Islam, terj., Saifullah Mahyudin, Yo-
gyakarta: Ananda, 1982.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: Al-Maarif, 1990.
Ahmad Muflih Saefuddin, Tata Nilai dan Kehidupan Spritual
di Abad XXI, dalam Permasalahan Abad XXI Sebuah
Agenda, Said Tuhuleey (ed), Yogyakarta: SI Press,
1993.
Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.



92

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Islam, Bandung: Al-
Maarif, 1980.
Ahmad Watik Pratiknya, Pengembangan Pendidikan
Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam
Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (ed), Dinamika
Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi, cet. Ke-1.,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama
di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama R.I, 1982.
Ali Audah, Konkordansi Al-Qurn, Jakarta: Pustaka Antar
Nusa, 1991.
Amir Yusuf Muhammad Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Athur, Ellis K., Intruduction to Foundation of Education, New
Jersey: Prentice Hall Englewood, 1986.
Al-Attas, Sayyid Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan
Islam, terj. Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1980.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essay on Religion in Post-
Traditional World, New York: Harper & Publisher,
1976.
Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Univer-
sitas Islam, terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara
Wacara, 1989.
Budhy Munawar Rachman (ed.,), Kontekstualisasi Doktrin Is-
lam dalam sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Budi Hardiman, F., Pendidikan Moral Sebagai Pendidikan
Keadilan, Basis, No. XXXXVI, Tahun 1987, h. 25.
Crow, Lester D., an Alice Crow, Introduction to Education,
New Revised Edition, New York: American Book, 1990.
Dewan Ulama Darul Haq, Belajar Mudah Ushuluddin, cet. Ke-
2, Bandung: Pustaka, 1996.
Dewey, John, Democracy and Education, New York: The
Macmilland, 1950.
-----, How We Think, In Mental Discipline in Modern Educa-
tion, W. Kolesnick (ed.,), Madison WI: University of
Wisconsin Press, 1993.



93

Djamari, H., Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi
Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikadulun Banten,
Disertasi, Bandung: IKIP, 1985.
Donald, W Hudson, A Philosophycal Approach to Religion,
London; The Mcmilan Press., 1976.
Al-Frq, Isml Raji, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj.
Mustaruddin dan Ahmad Thoha, Bandung: Pustaka,
1984.
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pus-
taka, 1985.
-----, Tema Pokok Al-Quran, terj. Ahsin Muhammad, Band-
ung: Mizan, 1983.
Fraenkel, Jack R., How to Teach About Values; An Analytic
Approach, New Jersey: Prentice Hall, 1977.
Frankena, William K., Ethics, New Jersey: Prentic-Hall, 1973.
Freire, Paulo, Paedagogy of The Oppressed, Great Britain,
Penguin Books, 1974.
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
1997.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid II,
Jakarta: Universitas Indonesia Pers, 1989.
-----, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Ge-
rakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
-----., Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik; Gagasan Pen-
didikan al-Gazali, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pus-
taka al-Husna, 1978.
-----, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,
Bandung : Al-Maarif, 1980.
-----, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi, Fil-
safat, dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.
Hornby, A.S., Oxford Advanced Learners Dictionary, Fifth
Edition, London: Oxford University, 1995.



94

Hossein Nasr, Sayyid, Theologi, Philosophy and Spirituality,
terj., Soeharsono dan Djamaluddin MZ, Teologi, Filsa-
fat dan Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Hullfish, H. Gordon and P. G. Smith, Reflective Thinking; The
Method of Education, New York: Dood, Mead, 1964.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode, Yo-
gyakarta: Andi Officed, 1990.
Iqbl, Sir Muhammad, The Reconstruction of Relegious
Thought in Islam New Delhi, Khitab Bhavan, 1981.
Ismail S.M., et. al (ed.,), Paradigma Pendidikan Islam, Yogya-
karta: Pustaka Pelajar, 2001.
Jalaluddin dan Utsman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Kon-
sep Perkembangan Pemikirannya), Jakarta: Raja Graf-
indo Persada, 1994.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Kirschenbaun, Howard and Sidney B. Simon, Values and The
Future Movement in Education, dalam Alvin Toffler
(ed), Learning for Tomorrow The Role of The Future
in Education, New York: Vintage Books, 1974.
Krathwohl, David R., (ed), Taxonomi of Educational Objec-
tives; Hanbook IV, Afective Domain, London: Longman
Group, 1864.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Ban-
dung: Mizan, 1994.
Lois Lamya dan al-Frq, Tauhid Dasar Peradaban Islam,
terj. Rahmani Astuti, Jurnal Ulumul Quran, No. 1.,
Vol. VII., 1996, h. 57.
Made Pidarta, Landasan Kependidikan; Stimulus Ilmu Pen-
didikan Bercorak Indonesia, cet. Ke-1., Jakarta: Rineka
Cipta, 1997.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Ja-
karta: Mutiara, 1979.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: IN-
IS, 1994.
-----, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta Logos
Wacana Ilmu, 1999.



95

Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta: Firdaus,
1995.
Muhaimin dan Mujib Abdullah, Pemikiran Pendidikan Islam;
Kajian Filosofis dan Kerangka Operasional, Bandung:
Trigenda Karya, 1993.
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Telaah Komponen
Dasar Kurikulum, Solo, Ramadhani, 1991.
Muhammad Amin Abdullah, Relevansi Studi Agama-agama
Dalam Milenium Ketiga, Jurnal Ulumul Qur'an, No.
5., Vol. VII, 1997.
-----, Relevansi Studi Agama-agama Dalam Milenium Ketiga,
Jurnal Ulumul Qur'an, No. 5., Vol. VII, 1997.
-----, Studi-studi Islam; Sudut Pandang Filsafat, Islamika
5/1994, hal. 14-21.
-----, Filsafat Kalam di Era Post Modernisme, Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Muhammad Amin Mansyur, (ed), Moralitas Pem-bangunan
Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta:
LKPSM-NU DIY dan Pustaka Pelajar, 1994.
Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan
Teoritis Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
-----, Kapita Selekta Pendidikan; Umum dan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1993.
-----, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Muhammad Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al-
Quran, cet. 1, Jakarta: Nadia Press, 2001.
-----, Pendidikan Moral Qurani: Strategi Belajar Meng-ajar
dan Evaluasi pada MAN Se-Daerah Istimewa Aceh,
Disertasi Yogyakarta: IAIN Sunan Kaligaja, 1996.
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qurn; Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan, 1995.
-----, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Tematis Atas Pelbagai Per-
soalan Umat, Bandung: Mizan, 1997.



96

Muhammad Shaleh Muntasir, Mencari Evidensi Islam, Jakarta:
Rajawali Pers, 1985.
Nahlawi, Abd al-Rahmn, Prinsip-prinsip dan Metode Pen-
didikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj.
Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Pres, 1995.
Ngalim Purwanto. M., Psikologi Pendidikan, cet. Ke-11,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996.
Nasution, S, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
-----, Sosiologi Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial,
Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987.
-----, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III, cet. Ke-7,
Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
-----, Pendidikan Ilmu dan Islam, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1985.
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
-----, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1988.
-----, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992
-----, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Al-Qurn dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama R.I,
1989.
Rustiyah, NK, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, cet. Ke-3,
Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Sidi Gazalba, Sistematisasi Filsafat; Buku IV teori Tentang
Nilai, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Soejono, Ag, Aliran Baru Dalam Pendidikan, Bandung: Ilmu,
1978.
Soeroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial
Menjangkau Tahun 2000, dalam Muslih, USA, Pen-
didikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.



97

Sutari Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan ; Sistem dan
Metode, Yogyakarta : IKIP, 1990.
Tajab, et. al., Dasar-Dasar Kependidikan Islam; Suatu Pen-
gantar Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Adi-
tama, 1996.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian
Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Al-Tawmy, Muhammad Umar, Filsafat Pendidikan Islam,
terj., Muhammad Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam; Pluralisme Budaya dan
Politik (Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalam Keberaga-
maan dan Pendidikan), Yogyakarta: Sinpress, 1994.
Udin Sarifuddin W, Konsep dan Strategi Values Pendidikan
Moral Pancasila di Sekolah Menengah (Suatu Peneli-
tian Kepustakaan), Jakarta: Proyek Pembangunan Lem-
baga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Depdikbud,
1989.
Una Kartasisastra, et. al, Strategi Klarifikasi Nilai, Jakarta:
Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G), Depdik-
bud, 1980.
Wahiduddin Khan, Qadliyyatu al-Ba`ts al-Islmy; al-Manhaj
wa al-syurth, terj., Andang Mujahidin, cet. Ke-1., Ja-
karta: Rabbani Press, 2001.
Warul Walidin AK, Strategi Pembentukan Nilai; Upaya Pen-
gembangan Dimensi Afektif, Jurnal Didaktika No. 1,
Vol. II, September, 2000, h. 5.
-----, Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun dalam Tesis,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1990.
-----, Paradigma Baru Pendidikan Yang Bernuansa Islami; Sua-
tu Kajian Pendidikan Terpadu di Daerah Istimewa
Aceh, Jurnal Didaktika, No. 2, Vol. II, Maret, 2001,
h. 7.
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Ja-
karta: Bulan Bintang, 1971.



98

-----, Ilmu Jiwa Agama, cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang,
1972.
Zamakhsyari Zhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985.




99

BI OGRAFI S I NGKAT

Muhibuddin Hanafiah dilahirkaan pada tanggal 8 Juni 1970 di
Ulee Gle Pidie. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan
Hanafiah Ibrahim dan Rukiah Abdullah. Pendidikan formal
dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) tahun 1977 ta-
mat tahun 1983, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) tahun
1983 tamat tahun 1986, Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) tahun 1986 tamat 1989, semuanya di Ulee Gle Kec.
Bandar Dua Kab. Pidie D.I Aceh. Pada tahun itu juga penulis
melanjutkan studi pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Jammi`ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, tepatnya pada
Fakultas Tarbiyah dan menyelesaikaan kuliah tahun 1994.
Semasa kuliah penulis aktif pada organisasi kemaha-
siswaan baik ekstra-insrtituter, intra instituter, dan organisasi
kedaerahan. Yakni pada Himpunan Maahasiswa Islam (HMI),
Senat Maahasiswa Fakultas (SMF), Himpunan Mahasiswa Juru-
san Pendidikan agama (HMJ-TPA) dan Ikatan Keluarga Bandar
Dua (IKB), serta Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (FO-
KUSGAMPI) Banda Aceh. Di sela-sela kuliah, penulis pernah
menyempatkan diri menjadi guru privat pada sejumlah rumah di
kawasan Banda Aceh dalam bidang Pendidikan Al-Qur'n dan
Pengetahuan Agama. Bahkan sampai sekarang, penulis masih
aktif membina sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'n (TKQ-
TPQ-TQA) Nurul Ilmi Yayasan Pendidikan Prof. A. Madjid
Ibrahim (YPMI) Banda Aceh.
Setamat kuliah, penulis diminta menjadi tenaga pengajar
(asisten dosen) pada almamater, Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-
Raniry sampai tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis mem-
peroleh kesempatan mengikuti Pragram Pascasarjana Magister
(Strata-2) pada IAIN Ar-Raniry. Saat ini penulis adalah salah
seorang Staf Jurusan Pendidikan Agama (TPA) Fakultas Tarbi-
yah dan sebagai salah seorang tenaga pengajar dalam bidang
Metodologi Studi Islam (MSI).

Anda mungkin juga menyukai