Anda di halaman 1dari 124

KONTINUITAS ISLAM TRADISIONAL DI BANGKA

Penulis: Zulkifli

Editor: Indra Gunawan


Tata Ietak: Indra Gunawan

Desain Sampul:
Indra Gunawan dan Ahmad Suwaidi
DioIah dari: http: bakri.indonetwork.co.id
dan www.pariwisata-bangkabelitung.com

ISBN: 978-979-15710-1-2
Perpustakaan RI:
Data Katalog Dalam Terbitan (KD1)
Cetakan I, Desember 2007
x + 130 hIm; 14 x 20 cm

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


All rights reserved

Diterbitkan oIeh:
Shiddiq Press
STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
J1. Diponegoro No. 1 Sungailiat-Bangka 33215
Telp.: (0717) 94578 .. Fax. (0717) 93543
E-mail: shiddiq_press@yahoo.com.
Pengantar Penerbit

A dalah suatu kelangkaan menemukan literatur yang mengandung


.l"l.analisis mendalam berkenaan dengan Islam di Bangka, lebih-
lebih ten tang Islam dengan karakter tradisionalnya. Selama ini setiap
lembar hasil publikasi sangat kuat dengan warna timah, lada, atau
sekedar potret lain dari keseharian masyarakat Bangka. Islamdi
Bangka dengan segala seluk beluk ciri khasnya, sepertinya menjadi
isu atau wacana yang kurang seksi, sehingga buku tentang hal ini
menjadi suatu yang tertinggal jauh.
Berangkat dari kegundahan semacam itu, Shiddiq Press
memberanikan diri menerbitkan buku ini guna mengisi kekosongan
khazanah keislaman yang terpendam selama ini. Lebih dari itu,
penerbitan buku ini merupakan bukti kepedulian Shiddiq Press yang
sangat mendalam terhadap pentingnya mengenal tradisi keislaman
sebagai salah satu bagian dari jati diri masyarakat Kepulauan Bangka
Belitung. Dengan hadirnya buku ini di hadapan pembaca, semakin
memperjelas riwayat-riwayat tentang keislaman di kepulauan ini yang
selama ini terkesan hanya sekadar cerita dari mulut ke mulut dan
dari generasi ke generasi.
Atas penerbitan buku ini, Shiddiq Press mengucapkan banyak
terima kasih yang mendalam kepada penulis yang telah mempercayai
penerbitannya. Kami yakin hasil deskripsi dan analisis penulis

v
merupakan buah dari kerja keras baik material maupun spiritual.
Kelengkapan teoritis, kelayakan metodologis, cara kerja, dan sosok
penulis yang kami kenal menjadikan kami tak pernah ragu
menerbitkannya. Terlebih dalam konteks alur materi buku ini penulis
termasuk "orang dalam" yang secara jernih dan bijak mampu
mencermati dan bersikap objektif layaknya "orang luar".
Bagi beberapa "oknum" sejawat di Shiddiq Press, selama
kurang lebih delapan tahun, riwayat panjang naskah hasil penelitian
yang dibukukan ini takkan pernah terlupakan. Berbagai kendala
dan cerita manis melekat pada setiap lembar naskah dan file-nya di
banyak komputer dan lap top. Hanya terima kasih yang dapat kami
ungkapkan atas bantuan dan kesabaran mereka menunggu
penerbitannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada
Yusrizal (Ijul) dan kawan-kawan di Pintu Air Atas, Pangkalpinang,
yang telah membantu pengetikan hampir dua bab naskah yang juga
hampir terlupakan. Harapan kami, semua ini mendapat ridha dan
memperoleh berkah dari Allah SWT.
Berbagai kekurangan dari penerbitan bukuini, kami mohon
maaf. Kritikan dan saran pembaca guna perbaikan buku ini, sangat
kami harapkan. Mudah-mudahan semua ini, mendapat apresiasi yang
layak dari pembaca. Semoga semua ini bermanfaat dalam banyak
hal dan bagi semua pihak. 0

Penerbit

vi
Pengantar Penulis

A lhamdulillah, syukur ke hadirat Allah, dan shalawat serta salam


.r1atas Nabi Pilihan, buku ini dapat hadir di hadapan pembaca
yang budiman.
Buku kecil ini berasal dari laporan hasil penelitian pada tahun
1998/1999 tetapi telah mengalami penyempurnaan sehingga menjadi
publikasi yang layak untuk konsumsi komunitas ilmiah dan umum.
Publikasi hasil penelitian dalam bentuk buku ini merupakan upaya
ambil bagian dalam penyebaran informasi dan pengetahuan kepada
komunitas ilmiah dan umum. Hal ini dilatarbelakangi oleh langkanya
publikasi ilmiah tentang realitas historis dan sosiologis masyarakat .
Muslim di Bangka. Perlu dikemukakan bahwa publikasi ini mencakup
bagian-bagian dari dua artikel yang pernah terbit di dua jurnal ilmiah,
yaitu "Pengaruh Ulama Banjar dalam Tradisi Islam di Bangka" yang
terbit diJurnal IntiZflr, Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang
1997, dan "Konflik dan Integrasi di Kalangan Kaum Tuo di Bangka"
yang terbit di Jurnal TawshiJah STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik
Bangka Belitung 2006. Atas perkenan dan izin kedua redaksi jurnal
tersebut diucapkan terima kasih.
Buku ini ten tu saja merupakan hasil kerja banyak pihak yang
kepada mereka perlu disampaikan terima kasih. Pertama, pihak

vii

STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik yang bersedia membantu


pembiayaan penerbitannya dan Shiddiq Press yang berkenan
menerbitkannya. Kedua, Indra Gunawan yang telah mengetik ulang
naskah laporan hasil penelitian dan telah mengedit serta mengatur
tata letak naskah sehingga siap untuk diterbitkan. Indra Gunawan
dan Ahmad Suwaidi dengan caranya masing-masing telah berjasa
dalam penerbitan buku ini. Terakhir, tetapi terpenting, adalah
dukungan moral istri (Ai Juariah) dan anak-anakku (Dhea UZ dan
Azka KZ) yang tanpa dukungan tersebut tidak inungkin buku ini
dapat hadir di hadapan pembaca. Kepada mereka buku kecil ini
saya persembahkan. Namun, jika terdapat kekeliruan dalam karya
ini, tentu saja, rnecjadi tanggung jawab penulis semata clan kepada
Allah penulis mohon ampun.
Semoga karya ini bermanfaat.

Sungailiat, Desember 2007

Penulis

viii
e

Daftar Isi

PENGANTAR PENERBIT v

PENGANTAR PENULIS : vii


DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR x

BAB I PENDAHULUAN f

·BAB 11 ISLAMISASI DI BANGKA 11


A. Jalur Islamisasi : 11
B. Saluran Islarnisasi 27

BAB III KARAKTERISTIK ISLAM TRADISIONAL 31


A. Sistem Keyakinan 31
B. Ibadah 40
c. Tasawuf 47
D. Adat 51

ix
BAB IV PESANTREN DAN ISLAM TRADISIONAL 55
A. Karakteristik Pesantren 55
B. Pesantren clan Pemeliharaan Islam Tradisional 69

BAB V PENGAJIAN DAN ISLAM TRADISIONAL 77


A. Karakteristik Pengajian 77
B. Pengajian clan Pemeliharaan Islam Tradisional 89

BAB VI KONFLIK DAN INTEGRASI 95


A. Konflik clan Faktor-faktornya 95
B. Integrasi clan Faktor-faktornya 99

BAB VII PENUTUP 105

DAFTAR PUSTAKA 111


INDEKS 116
TENTANG PENULIS 129

Daftar Tabel Dan Gambar


Tabel
Tabel Kitab-kitab untuk Tingkatan Tsanawiyah 66
Tabel Kitab-kitab untuk Tingkatan Aliyah 66

Gambar
Gambar Komponen-komponen Islam Tradisional 9
Gambar Bagan Lembaga-lembaga Pengajian 78

x
>

BabI
PENDAHULUAN

S ecara umum, Islam di Indonesia dapat dibedakan antara Islam


yang berorientasi tradisional dan Islam yang berorientasi mo-
dern. Penganut Islam tradisional dikenal dengan sebutan kaum tuo,
sedangkan penganut Islam modern disebut kaum mudo. Kelompok
pertama adalah kelompok tradisionalis, sedangkan kelompok kedua
adalah kelompok modernis. Islam tradisional cenderung memelihara ...
dan mempertahankan tradisi Islam yang telah diterima secara turun
temurun, sedangkan Islam modern lebih mementingkan pemurnian
dan pembaharuan aspek-aspek ajaran Islam sesuai dengan tuntutan
kehidupan masyarakat modern. Dua orientasi keagamaan tersebut
seringkali tidak hanya berbeda tetapi bahkan bertentangan satu sama
lain. Bahkan, tidak jarang terjadi konflik terbuka antara kedua
penganut dua orientasi keagamaan tersebut. Paling tidak, ketegangan
dan konflik terbuka pernah terjadi antara kedua penganut orientasi
Islam tersebut seperti terjadi di Kalimantan Selatan (Saifuddin 1986).
Dalam perkembangan studi-studi Islam di Indonesia, terdapat
kecenderungan yang kuat bahwa dikotomi Islam tradisional-mod-
ern digunakan sebagai alat analisis. Tidak jarang, kajian Islam
tradisional cenderung dikesampingkan atau, paling tidak, kurang
mendapat perhatian yang proporsional. Padahal, dalam kenyataan,
meskipun tidak ditemui data statistiknya, jumlah penganut Islam

1
tradisional di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan
jumlah penganut Islam modern. Ironisnya lagi, penelitian ten tang
Islam tradisional seringkali menggunakan perspektif dan standar
ukuran Islam modern sehingga melahirkan kekeliruan dan
kesalahpahaman mengenai Islam tradisional itu sendiri. Inilah yang
disebut Woodward sebagai bentuk penggunaan pendekatan teologis
dalam kajian historis atau sosiologis. Studi Islam tersebut diwarnai
oleh orientasi teologis peneliti itu sendiri seperti terjadi pada studi-
studi Deliar Noer atau Alfian yang berorientasi modernis dalarn
memahami Islam tradisional. Studi semacam itu, menurut Wood-
ward, lebih mengumandangkan ortodoksi modernisme Islam dan
heterodoksi tradisionalisme Islarn di Indonesia (1998: 22).
Sebagai akibat dari bias teologis tersebut, golongan Islam
tradisional yang dideskripsikan oleh Deliar N oer adalah golongan
yang lebih banyak menghiraukan masalah-masalah ibadah belaka
dan cenderung menyamakan Islam dengan fiqh, di samping
kecenderungan yang kuat pada Sufisme. Apalagi, mereka yang
mengaku pengikut suatu mazhab tidak mengikuti langsung dari
pendiri mazhab tersebut tetapi melalui guru-gurunya yang sudah
menyimpang dari ajaran pendirinya. Dalam tasawuf, misalnya, tidak
sedikit dari mereka yang jatuh pada perbuatan syirik (menyekutukan
Tuhan), sebagai salah satu bentuk dos a besar dalam ajaran Islam.
Gambaran yang sangat negatif ini berbeda sekali dengan
deskripsinya ten tang golongan Islam modern, yakni golongan yang
memberikan perhatian pada sifat Islam pada umumnya, yaitu Is-
lam sebagai agama universal. Pikiran dan aksi mereka mengikuti
syariatyang telah digariskan dalam al-Qur'an dan hadits (Noer 1980:
322). Kesalahpahaman serupa juga terdapat pada karya-karya
Geertz, antropolog dan indonesianis Amerika terkenal. Geertz
(1960) memandang Islam tradisional sebagai orientasi yang memiliki
ciri yang hampir sama dengan orientasi varian abangan yang
mengandung elemen-elemen non-Islam. Geertz tampaknya sangat

2
p

terinspirasi oleh Islam modern yang dianggapnya sebagai Islam yang


benar atau Islam murni. Dalam analisisnya terhadap Islam di Jawa,
Geertz mungkin sangat dipengaruhi oleh Weber yang meriekankan
aspek rasionalitas. Dalam pandangannya, penganut Islam tradisional
seringkali dicap sebagai kelompok masyarakat yang pasif, kolot,
dan ketinggalan zaman sehingga mereka dianggap sebagai kelompok
yang bersikap antipati terhadap kemajuan dan perubahan
masyarakat.
Pada sisi lain, analisis dikotomi Islam tradisional-modern
seringkali dihubungkan dengan dikotomi desa-kota sehingga Is-
lam tradisional identik dengan Islam masyarakat pedesaan sedang
Islam modern identik dengan Islam masyarakat perkotaan.
Demikianlah beberapa studi tentang perkembangan Islamdi Indo-
nesia telah dilakukan oleh beberapa ahli seperti H.J. Benda (1958),
Lance Castles (1957), dan Alfian (1989). Inti dari kajian-kajian .
tersebut adalah bahwa Islam pedesaan bersifat terisolasi, tradisional
dan tidak sekuler, sedangkan Islam perkotaan adalah Islam reformis,
rasional dan modern. Singkatnya, kebanyakan studi ten tang Islam
tradisional tampaknya masih berfokuskan pada masyarakat
pedesaan.
Dalam tiga dekade terakhir, telah banyak studi ten tang Islam
tradisional yang berusaha memahami hakikat Islam tradisional secara
objektif, komprehensif dan utuh. Intinya, studi-studi tersebut
menggunakan perspektif penganut Islam tradisional itu sendiri.
Dhofier (1982) telah mengawalinya melalui karya rnonumentalnya,
Tradisi Pesantren. Studi ini telah menunjukkan bagaimana vitalitas
Islam tradisional di Jawa dan bagaimana peranan kyai dalam
mempertahankannya dalam kaitannya dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat Jawa. Kemudian Wood-
ward (1989) menganalisis Islam tradisional yang berfokus pada
dikotomi antara dimensi syariat dan tasawuf di kesultanan
Yogyakarta. Perbedaan antara dimensi syariat dan dimensi tasawuf

3
dikajinya dengan menggunakan pendekatan historis dan strukturalis
yang berkaitan erat dengan perbedaan antara keraton dan desa.
Woodward menjelaskan bagaimana interaksi antara Islam univer-
sal baik dari Timur Tengah maupun dari India dan kultur Jawa.
Interaksi tersebut telah melahirkan dinamika Islam di Jawa.
Demikian juga studi yang dilakukan oleh Van Bruinessen (1995)
yang menunjukkan bahwa Islam tradisional memiliki dinamika yang
tinggi dalam wacana intelektual maupun dalam memberikan respon.
terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sosial, dan politik di In-
donesia. Kajian lainnya oleh Greg Fealy dan Greg Barton (eds.)
tentang persinggungan Nahdlatul Ulama (NU) dan negara juga
menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan kajian-kajian para sarjana
yang diwarnai dengan bias orientasi modern. Memberikan pengantar
buku ini, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa "mereka
[penganut Islam tradisional] ternyata merupakan suatu komunitas
dengan vitalitas yang cukup untuk menyerap dan berhubungan
dengan perubahan sosial dalam bentuknya yang rasional. Termasuk
dalam hal ini kemampuan untuk melakukan penyesuaian dalam
berbagai bidang yang sangat penting" (1997: vii-viii).
Dhofier mengartikan Islam tradisional sebagai "Islam yang
masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh
(hukum Islam), hadits, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf
yang hidup antara abad ke-17 sampai dengan ab ad ke-13" (1982:
1). Penganut Islam tradisional itu sendiri menganggap mereka
sebagai penganut ahl-sunnab wa af.jama'ah (biasa ditulis ahlussunnah
wal jamaah yang disingkat aswaja), yang menurut bahasa berarti
para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma' ulama, yang secara
inplisit membedakan mereka dengan golongan modernis yang
berpegang hanya pada al-Qur'an dan hadits. Secara lebih sempit,
abl-sunnah wa al-jama'ab menunjuk kepada paham yang berpegang
teguh pada tradisi mazhab Syafi'i dalam bidang fiqh, tradisi aliran
Asy'ari dalam bidang teologi, dan tradisi al-Ghazali dan Junaid Al-

4

Baghdadi dalam bidang Sufisme (Dhofier 1982: 148-149). Ketiga


aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ..
Keseluruhan pemahaman clan praktik keagamaan penganut
Islam tradisional memiliki dasar-dasar doktrin yang kokoh. Dasar-
dasar doktrin perintah untuk berpegang teguh pada tradisi ulama
adalah ayat al-Qur'an yang menyatakan bahwa "innama yakh.rya Al-
lah min 'ibadih al- 'ulama" yang berarti bahwasanya yang bertakwa
kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS. 35: 28)
dan hadits Nabi yang berbunyi: "al- 'ulama' waratsah al-anbiya" (ulama
adalah pewaris nabi-nabi). Namun, meskipun berpegangteguh pada
pendapat ulama terdahulu, ini tidak berarti bahwa pemahaman Is-
lam tradisional tersebut bersifat statis dan tidak menerima setiap
perubahan. Tetapi, sebaliknya dalam batas-batas tertentu, Islam tetap
diinterpretasi kembali sesuai dengan perubahan sosiokultural,
apalagi bila berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum
dibahas secara mendetail dan belum ada keputusan hukumnya dalam
al-Qur'an, hadits, dan pendapat para ulama.
Meskipun beberapa studi tentang Islam tradisional sudah
dilakukan tetapi kebanyakannya masih berpendirian bahwa Islam
tradisional itu merupakan entitas yang monolitik, tanpa menunjuk-
kan variasi yang terdapat di dalamnya. Hal ini menunjukkan keku-
rangan nuansa analisis sehingga Islam tradisional hanya menunjuk
kepada satu pernahaman dan praktik keagamaan yang dikontradik-
sikan dengan Islam modern. Padahal, perbedaan kondisi sosiokul-
tural suatu masyarakat akan melahirkan corak Islam tradisional
tersendiri. Oleh karena itu, studi tentang Islam tradisional di Bangka
ini telah mengungkapkan Islam tradisional secara bulat dan utuh
dengan variasi-variasi yang ada di dalamnya.
Masyarakat Bangka secara umum termasuk ke dalam suku
Melayu dan mayoritas beragama Islam. Islam yang dianut penduduk
pulau tersebut sangat berakar kuat dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat setempat. Bagi masyarakat Bangka, istilah Melayu identik

5
dengan Islam karena kebanyakan yang tidak beragama Islam bukan
tergolong suku Melayu. Istilah Melayu dan Islam itu identik juga
dengan istilah "urang" (orang, manusia) sehingga orang Cina yang
konversi ke dalam Islam tidak lagi dianggap sebagai Cina tetapi
boleh dianggap Melayu karena sudah "menjadi urang". Terdapat
juga suku 'primitif" (small-scale society, masyarakat berskala kecil)
sebagai penduduk asli seperti Mapur yang kebanyakannya tidak
memeluk Islam. Oleh karena itu, suku-suku tersebut disebut dengan
"urang lom", yakni orang yang belum menjadi Muslim dan, oleh
karena itu, belum dianggap memiliki peradaban. Meskipun Islam
menjadi agama bagi mayoritas penduduk pulau Bangka dan
pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan sosial dan budaya, studi
yang komprehensif ten tang Islam di daerah ini belum ditemukan.
Pokok masalah dalam buku ini adalah bagaimana Islam
tradisional dipelihara dalam masyarakat Bangka. Yang menjadi fokus
utama adalah lembaga pesantren dan lembaga pengajian, dua
lembaga keagamaan yang memiliki peranaB dalam proses
pemeliharaan Islam tradisional di Bangka. Secara umum, studi ini
bertujuan untuk mengungkapkan pemeliharaan Islam tradisional
di Bangka. Secara spesifik, studi irii bertujuan untuk: 1)
mendeskripsikan karakteristik Islam tradisional di Bangka; 2)
mengungkapkan karakteristik lembaga pesantren dan lembaga
pengajian di Bangka; 3) menjelaskan peranan lembaga pesantren
dan lembaga pengajian dalam pemeliharaan Islam tradisional dalam
masyarakat Bangka; 4) membandingkan antara lembaga pesantren
dan lembaga pengajian dalam hal karakteristik dan peranannya
dalam pemeliharaan Islam tradisional dalam masyarakat Bangka;
5) menjelaskan bagaimana konflik dan .integra si terjadi antara
kelompok pesantren dan pengajian serta faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik dan integra si terse but.
Buku ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan
pengetahuan mengenai keanekaragaman pemahaman dan praktik

6
keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Muslim di Indo-
nesia. Pengetahuan itu sangat penting dalam menambah khazanah
intelektual Islam Indonesia dan, secara praktis, dapat menghindari
seseorang dari jebakan etnosentrisme, yakni melihat dan mengukur
budaya orang lain dari sudut pandang clan kerangka budaya sendiri.
Secara metodologis, pendekatan yang digunakan dalam buku ini
dapat dipakai oleh peneliti lain dalam mengkaji persoalan-persoalan
serupa dalam masyarakat atau komunitas lain. Secara praktis, buku
ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar dan masukan dalam
pengambilan kebijakan di bidang pembinaan kehidupan umat
beragama, di samping bagi peningkatan kualitas lembaga-lembaga
keagamaan yang diungkapkan dalam buku ini.
Studi tentang kontinuitas Islam tradisional ini, menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode etnografi, yakni suatu
deskripsi dan analisis mengenai suatu kebudayaan masyarakat.
Pemahaman dan praktik agama di sini dianggap sebagai suatu sistem
budaya. Artinya, agama yang telah mengejawantah dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat, bukan yang tertulis dalam kitab suci al-
Qur'an dan hadits Nabi sebagai dua sumber pokok ajaran Islam.
Dalam studi ini, peneliti mendeskripsi dan menganalis Islam
sebagaimana dipahami dan dipraktikkan masyarakat penganut Is-
lam tradisional itu sendiri.
Buku ini berasal dari hasil penelitian yang dilakukan di dua
desa di Bangka, yaitu Desa Kemuja Kecamatan Mendo Barat dan
Desa Baturusa Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka pada
1999. Keduanya secara administratif termasuk bagian wilayah
Kabupaten Bangka. Dua desa ini dipilih karena keduanya memiliki
pesantren di Bangka, yakni AI-Islam Kemuja dan Nurul Ihsan
Baturusa. Kedua pesantren tersebut juga merupakan pesantren
tertua dan (pada waktu penelitian dilakukan) terbesar di Bangka.
Kedua desa itu juga memiliki tradisi pengajian yang kuat dan
sejumlah ulama terkenal.

7
Data yang telah dikumpulkan dalam buku ini mencakup data
yang berkenaan dengan islamisasi dan pembentukan Islam
tradisional di Bangka, karakteristik Islam tradisional, karakteristik
lembaga pesantren, karakteristik lembaga pengajian, pemeliharaan
Islam tradisional, peranan lembaga pesantren, dan peranan lembaga
pengajian. Selain dikumpulkan dari sumber tertulis, data utama
dikumpulkan dari itifOrman melalui teknik wawancara dan observasi.
Data juga diperoleh melalui pengalaman penulis sebagai orang
dalam. Data yang terkumpul itu diadakan analisis secara kualitatif
(metode induktif) setelah melalui proses pengolahan. Dalam
pengolahan dan analisis diperhatikan sifat holistik dan konteks dari
objek studi sehingga diperlukan pendekatan teoritis struktural-
fungsional yang dikembangkan oleh sosiolog Talcot Parsons dengan
sistem sosialnya. Dengan analisis sistemik tersebut buku ini tidak
hanya menjadi sekedar deskripsi naratif tetapi bersifat deskriptif
analitik.
Berkenaan dengan pendekatan struktural-fungsional yang,
dikemukakan Parsons, terdapat asumsi bahwa masyarakat secara
keseluruhan merupakan suatu sistem sosial yang hidup. Dalam sistem
sosial terdapat unsur-unsur sosial yang saling berkaitan dan
berpengaruh untuk melahirkan keseimbangan tertentu. Unsur-unsur
yang sating berkaitan tersebut disebut sub-sistem dan keseluruhan
sub-sistem tersebut membentuk sistem sosial yang hidup. Agar dapat
melestarikan kehidupan diperlukan empat prasyarat fungsional ifunc-
tiona/prerequisites). Pertama adalah adaptasi (adaptation), yakni keharusan
bagi sistem untuk beradaptasi dengan lingkungan; kedua ialah
pencapaian tujuan (goa/-attainmen~, yakni keharusan bagi sistem dalam
berupaya untuk mencapai tujuan khususnya tujuan bersama anggota
sistem; ketiga ialah integrasi (integration), yakni keharusan bagi sistem
untuk menjaga solidaritas internal, bekerja sama dan berintegrasi;
dan keempat ialah lestari (pattern maintenance), yakni keharusan bagi
sistem dalam menjamin tindakan yang sesuai dengan norma dan

8
=

aturan yang berlaku (Craib 1992: 43). Dengan menggunakan kerangka


teori struktural-fungsional tersebut, Islam tradisional dipandang
sebagai suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang
berperan secara fungsional bagi sistem tersebut. Komponen atau sub-
sistem utama dari Islam tradisional adalah sistem keyakinan, sistem
ritual, adat atau tradisi, penganut, dan sistem lembaga. Kelima
komponen tersebut bersifat fungsional bagi masing-masing
komponen dan bagi keseluruhan sistem Islam tradisional itu sendiri.
Kelima komponen tersebut dapat digambarkan di bawah ini.

Gambar Komponen-komponen Islam Tradisional

Fokus utama dari studi ini adalah lembaga pesantren dan


lembaga pengajian. Mengikuti kerangka teori struktural-fungsional,
lembaga pesantren dan pengajian dipandang sebagai suatu sistem
yang memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan satu
sama lain yang berpengaruh terhadap kelangsungan masing-masing
lembaga dan terhadap Islam tradisional sebagai suatu kesatuan
sistem.

9
Sistematika penyajian buku ini mencakup tujuh bab termasuk
pendahuluan (bab pertama) dan kesimpulan (bab ketujuh). Bab
kedua menyajikan kajian historis tentang proses islamisasi di Bangka
sebagai latar historis pembentukan Islam tradisional di Bangka. Bab
ini mencakup penjelasan tentang jalur dan saluran islamisasi. Bab
ketiga mendeskripsikan karakteristik Islam tradisional sebagai
dipahami dan dipraktikkan masyarakat Bangka. Bab ketiga
mencakup sistem keyakinan, ibadah, tasawuf dan adat. Bab keempat
mendeskripsikan karakteristik lembaga pesantren dan peranannya
dalam pemeliharaan Islam tradisional. Bab kelima mendeskripsikan
karakteristiklembaga pengajian dan peranannya dalam pemeliharaan
Islam tradisional. Bab keenam menganalisis konflik dan integrasi
antara kedua kelompok (pesantren dan pengajian) dan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap konflik dan integrasi tersebut.D

10

Bab 11
ISLAM1SAS1 D1 BANGKA

A. J alur Islamisasi

B elum ditemui data yang dapat dipercaya ten tang proses awal
masuknya Islam di Pulau Bangka. Dilihat dari letak
geografisnya yang berada di jalur lalu lintas yang menghubungkan
Malaka, Sumatera dan Jawa, besar kemungkinan Islam sudah masuk
ke Pulau Bangka bersamaan dengan masuknya Islam ke Palembang
atau Jawa. Bahkan, kalau komunitas Muslim sudah terbentuk di
Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak menutup
kemungkinan bahwa pada masa itu suda:h ada orang Muslim yang
datang ke Bangka meskipun belum membentuk suatu komunitas.
Perlu dicatat bahwa sudah sejak lama Pulau Bangka menduduki
posisi penting bagi Kerajaan Sriwijaya yang ditandai dengan
didirikannya prasasti di Kotakapur yang bertulis tahun 686. Konon,
Pulau Bangka kemudian menjadi benteng pertahanan Kerajaan
Sriwijaya untuk ekspansi ke Majapahit dan Melayu. Namun,
beberapa abad kemudian Pulau Bangka menjadi sarang bajak laut
yang dikenal oleh masyarakat Bangka dengan sebutan lanun atau
lanon (mungkin berasal dari kata Lanoa, yaitu suatu suku yang tinggal
di Pulau Mindano, Philipina) yang banyak menimbulkan malapetaka
dan penderitaan bagi masyarakat (Mahmud 1994: 2). Dalam kondisi

11
kehidupan yang penuh penderitaan tersebut belum ada usaha
penyebaran Islam secara giat di Bangka, apalagi pulau ini tidak
menguntungkan secara ekonomi.
Ada beberapa jalur proses pengislaman masyarakat Bangka,
yang semuanya itu membentuk tradisi Islam yang berkembang di
sana. Jalur pertama adalah Johor (Malaysia). Ini terjadi sekitar abad
XVI. Bangka telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal yang
berlayar dari Malaka ke Jawa dan daerah lain. Islamisasi menjadi
lebih in tens ketika pulau ini menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan
johor yang sebelumnya bersekutu dengan Kesultanan Minangkabau
dan berhasil menumpas bajak laut di Bangka. Sultan Johor kemudian
mengangkat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di Pulau Bangka
yang pemerintahannya berkedudukan di Bangkakota. Pada masa
itu, penyebaran Islam mulai digalakkan. Penyebaran Islam dan
pengaturan adat istiadat berpusat di Bangkakota. Setelah Penglima
Sarah wafat, wilayah Bangka diserahkan kepada Kesultanan
Minangkabau yang dipimpin oleh Raja Alam Harimau Garang yang
berkedudukan di Kotawaringin. Dengan demikian, jalur kedua yang
mempengaruhi tradisi Islam di Bangka adalah Minangkabau.
Diceritakan bahwa pada masa itu penyebaran agama Islam mendapat
perhatian lebih besar dari Raja Alam Harimau Garang. Dia sendiri
adalah seorang ulama yang ahli ilmu agama Islam dan sekaligus
pemimpin pemerintahan. Adapun pus at pengembangan agama Is-
lam dan pengaturan masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan
pemerintahan berpindah dari Bangkakota ke Kotawaringin. Pada
masa itu, dilakukan peletakan batu pertama pendirian Masjid Jami'
Kotawaringin. Raja Harimau Garang wafat di Kotawaringin dan
makamnya masih dapat diidentifikasi masyarakat setempat. Pada
periode yang sama, juga datang ke Muntok tokoh yang bernama
Nakhoda Sulaiman dan Qori dari Batusangkar yang kemudian
bersama anak-anak dan cucunya mendirikan masjid di kota
pelabuhan tersebut (Abdullah et al. 1991: 108).

12
D

Jalur ketiga adalah Banten yang berlangsung sejak pertengahan


kedua abad XVII. Setelah Raja Harimau Garang wafat, Bangka
diambil alih oleh Sultan Agung Tirtayasa (1651-1692) daft Banten
yang menunjuk Bupati Nusantara sebagai Raja Muda yang
berkedudukan ill Bangkakata (Mahmud 1994: 2-3). Dengan
demikian, Bangkakata kembali menjadi pusat pemerintahan,
penyebaran Islam dan pengaturan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan di Bangka.
Pada periade selanjutnya, Bangka menjadi wilayah kekuasaan
Kesultanan Palembang. Ini berarti bahwa jalur keempat adalah
Palembang. Setelah Bupati Nusantara wafat pada 1671, putrinya
Khadijah yang telah menjadi isteri Sultan Abdurrahman mewarisi
pulau Bangka dan sekitarnya (Ishak 2007: 26). Pada masa Sultan
Abdurrahman memegang kekuasaan tersusunlah hukum adat yang
dinamakan Undang-UndangSi;burCahqya. Sedangkan untukdaerah
Bangka terbitlah dan diberlakukan hukum adat yang dinamai U ndang-
Undang SindangMardika.1 Pusat pengaturan undang-undang tersebut
berada di Muntak dan dikepalai oleh pejabat yang bergelar Rangga
(Karim et al. 1996: 8). Dalam aturan ten tang hak dan kewajiban
Rangga disebutkan bahwa "Rangga berkuasa atas segala perkara
agama dan boleh memutuskan sampai kepada perkara mati'; (Harun
1967: 30). Di samping itu, kedudukan hukum Islam di Kesultanan
Palembang semakin menjadi perhatian Sultan Abdurrahman
sehingga hukum Islam juga diterapkan dalam tradisi-tradisi dan
kehidupan kemasyarakatan di Bangka. Jadi islarnisasi pada masa ini
lebih tampak pada penerapan aspek hukum Islam dalam masyarakat.
Islamisasi mungkin juga tidak begitu tampak pada kekuasaan
Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714), Sultan Agung
Kamaruddin (1714-1724) dan Sultan Mahmud Badaruddin
Jayawikrama (1724-1758). Hanya saja pada 1710 biji timah

I Kutipan pasal-pasal dari Undang-Undang Sindang Mardika dapat dilihat dalam Harun (1967:
31-35).

13
ditemukan di Bangka. Penemuan ini merupakan peristiwa penting
yang telah mengubah kedudukan Bangka sebagai pulau yang semula
tidak menguntungkan menjadi pulau yang sangat penting dan
berarti. Namun penemuan biji timah tersebut tampaknya masih
belum menguntungkan bagi proses islamisasi di sana. Perhatian
sultan-sultan Palembang terlalu terpusat pada pengambilan hasil
tambang timah untuk kepeduan ekonomi keluarganya dan
Kesultanan Palembang. Andaya (1993: 187-188) menulis tentang
Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama:

With his authority over Bangka restored, Sultan Mahmud's primary con-
cern was to exploit the richesfor which he had fought. The main impediment to
achieving this goal was the sparsity of Bangka's population. If the Palembang
ruler was to retain control of the tin trade, it was vital that the island bepeopled
fry loya! suo/ects who would acknowledge his rights over the mines. It was natural
that Sultan Mahmud should think first in terms of his own relatives. His first
and most loved wife was apart-Cbinese S iantan woman, now entitled Mas --1Jiu,
whom he had married someyears before when he had taken refuge on that island
with his brother. InS eptember 1734 he announced that because of his lovefor
Mas Ayu he was sending afleet of ships back to Siantan to bring to Palembang
more than a thousand of her "relatives, good friends, and servants. " Five hun-
dreds were settled in the Mentuk [sic] area of Bangka, with the specific aim of
increasing tin deliveries fry establishing close links betweenproducers and b19'ers.
The females of this familY, bearing the title yang, " henceforth reserved exclu-
sive(yfor the sultan 'spalace.

Ketika berkuasa, Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama


menunjuk Encek Wan Akup atau lebih dikenal di Bangka dengan
sebutan Datok Rangga Setia Agama sebagai kepala pemerintahan
dan kepala urusan penambangan biji timah yang berkedudukan di
Muntok. Di samping itu, sultan mengangkat mertuanya, Encek Wan
Abdul Jabbar yang lebih dikenal di Bangka dengan sebutan Datok
Dalam Hakim atau Datok Temenggung Prabu Nata Manggala,
sebagai penghulu agama Islam, atau hakim di Bangka. Barangkali,
penerapan hukum Islam ill Bangka semakin mendapat perhatian

14
Kesultanan Palembang. Namun, sejak masa itu sultan menerapkan
peraturan yang bernama "timah tiban", sejenis pajak tahunan yang
harus dibayar oleh setiap orang yang sudah menikah kepada Encek
Wan Akup yang selanjutnya diserahkan kepada sultan di Palembang,
kecuali mereka yang berasal dari Johar dan Siantan (Bakar 1969: 8).
Pengecualian tersebut dikarenakan mertua dan kerabat-kerabat sul-
tan berasal dari daerah-daerah tersebut. Setelah Encek Wan Akup
meninggal dunia, posisi Rangga di Bangka diduduki oleh saudaranya
Encek Wan Serin yang bergelar Datok Kongsi Pahlawan Bumi Laut
Darat yang selanjutnya digantikan oleh putranya Encek Wan Usman
(Mahmud 1994: 5). Encek Wan Usman bergelar DatukAji Manteri
Rangga Usman j'ang diberi hak dan kekuasaan penuh atas Bangka
dalam hal pengelolaan tambang timah dan penerapan hukum Is-
lam pada masyarakat (Sujitno 2007: 53).
Ketika masa Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1776), Rangga
Encek Wan.Usman sudah lanjut usia sehiogga sultan mengangkat
Abang Pahang dengan gelar Tumenggung Dita Menggala yang tetap
berkedudukan di Muntok. Perubahan dari Rangga menjadi
Tumenggung ini merupakan upaya penyesuaian dengan sistem
pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Palembang. Padaperiode
ini, Bangka mencapai kemajuan yang pesat karena banyaknya
tempat-tempat penambangan timah sehingga Lange (yang dikutip
Mahmud 1994:: 5) menyebutnya sebagai zaman keemasan bagi
Bangka. Namun demikian, tampaknya belum ada perhatian serius
dari sultan Palembang maupun tumenggung untuk melaksanakan
kegiatan penyebaran agama Islam di pulau ini. Perhatian tersebut
juga tidak tampak pada masa pemeritahan Sultan Muhammad
Bahauddin (1776-1803) dan Tumenggung Kerta Menggala di
Bangka. Bahkan Tumenggung Kerta Menggala (yang aslinya
bernama Abang Islmail) dianggap rakyat sebagai pemimpin yang
tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
la kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Abang

15
Muhammad Tayib yang bergelar Tumenggung Kerta Wijaya ketika
Kesultanan Palembang diperintah oleh Sultan Mahmud Badaruddin
II (1803-1821). Setelah Kesultanan Palembang dihapuskan, Bangka
juga diserahkan kepada Inggris dan kemudian kepada Belanda lagi.
Pada 18 Mei 1812, Bangka secara resmi diserahkan kepada Inggris
yang berakhir pada 10 September 1816, yakni hari pelaksanaan serah
terima Bangka dari Inggris ke Belanda di Muntok (Mahmud 1994:
5-9).
Penting juga ditekankan di sini bahwa proses islamisasi di
Bangka pada fase awal ini, paling tidak hingga awal abad XIX,
termasuk lamban. Ini disebabkan oleh faktor-faktor: pertama,
karena situasi dan kondisi sosial dan politik yang tidak mendukung.
Para penguasa cenderung sibuk berkompetisi dalam memonopoli
perdagangan, khususnya timah. Dalam masa yang panjang, Bangka
menjadi wilayah yang diperebutkan oleh berbagai pihak seperti
Palembang, Banten, Belanda, dan Inggris karena motif dan alasan
ekonomi; kedua, barangkali karena tidak terdapat tokoh ulama
terkenal dan kharismatik yang benar-benar aktif menjalankan .
kegiatan dakwah dan pendidikan Islam pada masyarakat. Tokoh-
tokoh yang ditugaskan baik oleh kesultanan Johar, Minangkabau,
Banten maupun Palembang hanya merupakan ulama kerajaan dan
penghulu yang lebih banyak bertugas untuk melayani keperluan
kesultanan dan pejabat-pejabat di daerah Bangka dan terbatas dalam
menerapkan aturan-aturan hukurn Islam pada masyarakat.
Sementara mereka tidak memperhatikan secara serius upaya-upaya
menjalankan dakwah dan pendidikan Islam pada masyarakat.
Pada masa pemerintah kolonial, rakyat Bangka tidak menyerah
begitu saja kepada penjajah Belanda. Pada pertengahan abad XIX
berbagai pertempuran dan pemberontakan terjadi di beberapa
tempat di Bangka seperti Bangkakota dan Kotawaringin. Pemimpin
pejuang yang terkenal adalah Depati Bahrin (wafat pada 1848 di
Merawang) dan Depati Amir (tertangkap pada 1851 dan wafat di

16

Kupang pada 1885) (Bakar 1969). Yang terpenting clicatat dalam


sejarah perjuangan masyarakat Bangka ini adalah besarnya
keterlibatan para tokoh agama Islam. Sebagai cantoh, Haji Abubakar
yang banyak membantu perjuangan Depati Amir menyerukan
kepada seluruh umat Islam cli Bangka untuk melaksanakan jihad fi
sabil Allah melawan penjajah Belanda (Bakar 1969: 30). Ini
menunjukkan bahwa Islam sudah menjacli kekuatan politik bagi
masyarakat Bangka yang menyebabkan seluruh rakyat Bangka ikut
berjuang bersama Depati Amir.
Adapun jalur yang sangat menentukan pembentukan Islam
tradisional di Bangka adalah Banjar (Kalimantan Selatan), jalur
kelima. Sudah clikemukakan sebelumnya, bahwa selama beberapa
abad, proses islamisasi di Bangka berlangsung sangat lamban
sehingga tidak clitemui peristiwa-peristiwa penting dan berarti dalam
kegiatan-kegiatan penyebaran Islam tersebut. Adapun potret
sederhana Islam cli Bangka pada pertengahan abad XIX adalah
seperti berikut ini:

Yet Lange reports that in 1846 onlY afew villages actuallY had Muslim
prayer-bouses. By /871 the New Villages also had their surat: (prC!)lerhouse)
and their religious officiaL-khatib, bilal or imam (the Dutch often spoke of a
"church" and a "priest"}. The authorities were indined to tolerate Islamic activi-
ties,jor example, itinerant preachers, if they were convinced they had nopolitical
implications (Heidheus 1992: 95).

Proses islamisasi baru berlangsung intensif sejak pertengahan


kedua ab ad XIX. Ulama Banjar memainkan peran penting dalam
proses islamisasi cli Bangka ketika itu. Namun, ini juga berkaitan
dengan eratnya hubungan Nusantara dengan Timur Tengah yang
ditandai dengan peningkatan jumlah orang naik haji dan
perkembangan institusi pencliclikan Islam cli Nusantara, yang oleh
Kartoclirdjo (1966) clisebut sebagai revivalisme Islam.
Kesultanan Banjar yang semula telah menggantikan kedudukan
Palembang sebagai pus at kebudayaan dan traclisi intelektual Islam

17
juga harus tunduk pada kekuasaan Hindia Belanda. Pada 1859
kesultanan Banjar ditaklukkan dan dihapuskan oleh pemerintah
Hindia Belanda. Ini menyebabkan kemarahan dan kemurkaan baik
di pihak kesultanan maupun dari pihak masyarakat Banjar pada
umumnya. Namun, pemberontakan dan peperangan terhadap
Belanda selalu dapat dipatahkan oleh pemerintah Belanda (Nazir
1992: 21). Penjajah Belanda tidak hanya melumpuhkan kekuatan
ekonomi masyarakat tetapi juga menimbulkan perasaan tidak aman
pada dirt masyarakat untuk tinggal di daerah tersebut. Ini merupakan
salah satu faktor yang mendorong banyaknya masyarakat Banjar
untuk merantau ke tempat-tempat lain seperti Bangka, Riau, Ma-
laysia, dan Singapura (Nezir 1992: 22). Dari perspektif ini, kehadiran
Belanda di Banjar membawa pengaruh positif terhadap perkem-
bangan Islam di Bangka karena di antara yang "hijrah" tersebut
terdapat ulama dan tokoh agama.
Salah seorang ulama Banjar yang ikut pindah dan bermukirn
di Bangka ialah Haji Muhammad Afif. Ulama ini tinggal di Muntok, .
sebuah kota pelabuhan terpenting di Bangka, bersama isteri
mudanya, Sofiyah binti Haji Muhammad Qasim dan tiga orang
putranya. Tidak jelas kapan ia berangkat dan bersama siapa dia
datang ke Bangka. Kemungkinan besar itu terjadi setelah dekade
1860-an. Adapun Haji Muhammad Afif ini adalah keturunan ketiga
dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), seorang
ulama Banjar terkenal dan pengarang kitab Sabil al-Muhtadin yang
terkenal itu. Dengan kata lain, Muhammad Afif adalah cicit dari
Muhammad Arsyad al-Banjari. Kemungkinan besar Muhamad Afif
belajar dasar-dasar ilmu agama Islam di daerah kelahirannya,
Martapura, dengan ulama-ulama Banjar yang kebanyakan keturunan
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Seperti halnya ulama-ulama
sezaman dengannya, mungkin juga Muhammad Afif kemudian
belajar ilmu agama Islam di tanah suci. Selama di Bangka, Haji
Muhammad Afif menjadi ulama terkenal yang menjadi panutan

18
dan disegani masyarakat Bangka. Berkat usaha ulama inilah, proses
islamisasi di Bangka berlangsung lebih cepat.
Kegiatan penyebaran Islam di Bangka kemudian dilanjutkan
oleh putra Haji Muhammad Afif yang dikenal dengan panggilan
Syaikh Abdurrahman Siddik (1857-1939). la lahir pada 1857 di
Kampung Dalam Pagar, Martapura yang terletak sekitar 45 kilo-
meter dari Banjarmasin. Karena ibunya Safura meninggal ketika ia
berusia dua bulan, Abdurrahman diasuh oleh bibinya Saidah, yang
telah mendapat pendidikan agama Islam dari ulama-ulama di
Kesultanan Banjar, mendidik Abdurrahman dalam mengaji al-
Qur'an dan mempelajari dasar-dasar ilmu keislaman. Kemudian dia
belajar di bawah bimbingan ulama-ulama di kampungnya. Setelah
mendapat pendidikan Islam dari ulama-ulama Banjar di kampung
halamannya, Abdurrahman berangkat ke Padang di rnana dia
mendalami ilmu-ilmu agama pada ulama setempat sambil bekerja
sebagai pengrajin emas. Dia menetap di kediaman pamannya, Haji
Muhammad As'ad yang bekerja sebagai pedagang perhiasan emas
dan berlian. Kemudian Abdurrahman berdagang sendiri ke Barus
dan Natal (Tapanuli Selatan) sambil berdakwah dan mengajarkan
kitab Sabil al-Muhtadin di sebuah surau di Natal selama dua tahiin.
Keinginannya yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci
Mekkah baru tercapai pada 1889. Selama dua tahun belajar di
Mekkah, Abdur.rahman mendalami berbagai ilmu keislaman seperti
tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab dan tasawuf. Pad a akhir masa
studinya, Abdurrahman diberi gelar oleh gurunya, Sayid Bakri
Syatha", "Al-Siddiq" karena prestasi studinya yang gemilang dan
akhlaknya yang mulia. Kemudian, ia melanjutkan studinya di
Madinah selama dua tahun. Setelah itu, dia kembali lagi ke Mekkah
dan mendapat izin mengajar di Masjid al-Haram bersama rekannya

Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyati adalah ulama Syafi'iyah terkenal di Mekkah
pada akhir abad XIX dan pengarang kitab fiqh terkenal, I'anab al-Tbalibin, salah satu rujukan
utama komunitas pesantren dalarn bidang fiqh.

19
4

Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (Nazir 1992: 18-24; Arsyad


Ash 1996: 23-28).
Setelah setahun mengajar di Masjid al-Haram, Syaikh
Abdurrahman Siddik kembali ke Martapura. Tetapi ini tidak
berlangsung lama karena pada tahun yang sama (1898) Syaikh
Abdurrahman Siddik berangkat ke Jakarta dan bertemu dengan
teman akrabnya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dalam
perjalanannya kembali ke tanah suci. Selama tiga bulan di Jakarta .
dia tinggal di rumah Sayyid Utsman bin Yahya al-Alawi, seorang
ulama keturunan Arab yang menjadi mufti Batavia (Arsyad Ash
1996: 30-31). Ulama yang disebut terakhir ini merupakan tokoh
yang kontroversial dan teman akrab Snouck-Hurgronje, orientalis
Belanda terkemuka itu. Meskipun ditawar oleh Sayyid Utsman untuk
menjadi mufti di Batavia, Syaikh Abdurrahman Siddik lebih memilih
pergi ke Bangka, tempat ayahnya, Syaikh Muhammad Afif
menyebarkan agama Islam.
Diceritakan bahwa kedatangan Syaikh Abdurrahman Siddik
di Bangka semula tidak mendapat sambutan baik dari ayahnya karena
ayahnya telah mendengar kabar yang menyatakan bahwa Syaikh
Abdurrahman Sidik tidak belajar secara serius selama berada di
Mekkah. Selama beberap bulan berada di Muntok, Syaikh
Abdurrahman Siddik tidak melaksanakan kegiatan pengajaran dan
dakwah sama sekali kecuali tinggal di rumah dan bersilaturrahmi
pada keluarga dan tetangga. Akan tetapi, ketika ayahnya jatuh sakit
sehingga kegiatan pengajian di masjid tidak diselenggarakan,
masyarakat mengusulkan agar Syaikh Abdurrahman Siddik
menggantikan ayahnya mengajar di pengajian tersebut. Setelah
berkali-kali diminta, dia akhirnya mulai mengisi pengajian untuk
meneruskan kitab-kitab yang diajarkan ayahnya. Dengan
pengalaman mengajarnya di Mekkah dan diskusinya dengan para
ulama di Mekkah, Martapura, maupun di Batavia, Syaikh
Abdurrahman Siddik dapat menjelaskan materi kitab dengan baik

20
r
dan menarik sehingga peserta pengajian pun semakin bertambah
(Arsyad Ash 1996: 32).
Mendengar pengajian yang diberikan oleh anaknya itu
menghilangkan perasaan tidak percaya pada diri Haji Muhammad
Afi£ Setelah mendapat penjelasan dari peserta pengajian bahwa
anaknya menguasai kitab-kitab yang diajarkan, konon Haji
Muhammad Afif diarn-diam ikut mendengarkan dari luar masjid
uraian pengajian anaknya dan kemudian baru dia yakin akan
kemampuan anaknya. Setelah sembuh dari sakitnya, Haji
Muhammad Afif meminta anaknya untuk tetap mengajar secara
bergantian sampai akhirnya pengajian tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada anaknya (Arsyad Ash 1996: 33). Syaikh
Abdurrahman Siddik inilah kemudian melanjutkan kegatan-kegiatan
dakwah dan pengajaran agama Islam kepada masyarakat Bangka.
Semua kegiatan dakwah da~ pendidikan agama Islam yang
dilakukan oleh Syaikh Abdurrahman Siddik semula berpusat di
Muntok. Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di
kota-kota dan di des a-des a di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan,
Kemuja, Kundi, Pudingbesar, dan Kotawaringin. Kegiatan dakwah
dan pendidikan tersebut dipusatkan di masjid-rnasjid dan rurnah-
rumah penduduk karena pada masa itu belum terdapat lembaga
pendidikan formal di Bangka. Kondisi seperti ini berbeda dengan
Jawa yang terkenal dengan lembaga pesantren, atau dengan Aceh
yang terkenal dengan dayah dan Mingkabau dengan suraunya.
Namun demikian, pada masa Syaikh Abdurrahman Siddik inilah
penyebaran Islam bedangsung dengan pes at. Islam semakin
berpengaruh dan berakar kuat dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Bangka.
Syaikh Abdurrahaman Siddik tidak hanya giat dalam
melaksanakan kegiatan dakwah dan pendidikan Islam tetapi juga
menulis. Diceritakan bahwa beberapa muridnya adalah anak-anak
pegawai pemerintah kolonial Belanda sehingga mempermudah

21
Syaikh Abdurrahman Sidclik melaksanakan kegiatan penyebaran
agama Islam. Bahkan ia mendapat "Surat Keterangan" (verklariniJ
yang berisi izin untuk mengajarkan ilrnu-ilmu Agama Islam. Dengan
demikian, Syaikh Abdurrahman Siddik dapa secara leluasa
berdakwah dan mengajar ke seluruh pelosok pulau Bangka. Namun,
setelah kurang lebih 12 tahun tinggal di Bangka, Syaikh
Abdurrahman Sidclik pindah ke Sapat, Indragiri (Riau), setelah
terlebih dahulu berkunjung ke Malaysia dan Singapura. Di Sapat
inilah clia membangun sebuah lembaga pencliclikan Islam sejenis
pesantren untuk melaksanakan kegiatan dakwah dan penclidikan
Islam. Madrasah yang dilengkapi dengan asrama ini berkembang
dengan pesat sehingga dapat menarik pelajar dari berbagai daerah.
Setelah selesai, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk
melaksanakan dakwah dan pencliclikan Islam kepada masyarakatnya.
Ada cliantara murid tersebut yang meneruskan stuclinya ke Mekkah
yang kemudian menjadi ulama dan tokoh agama terkenal di
daerahnya masing-masing. Syaikh Abdurrahman Siddik kemuclian
menjacli mufti cli Kesultanan Indragiri selama lebih dari 20 tahun.
Beliau berhenti dari jabatan mufti pada 1936 karena alasan usia
yang sudah tua. Ulama terkenal dan penulis produktif ini wafat
pada 1939 dalam usia 82 tahun dan climakamkan cli Kampung
Hidayat, Sap at, Indragiri (Nazir 1992: 34; Arsyad Ash 1996: 44).
Selama 12 tahun berdakwah dan melaksanakan kegiatan
pencliclikan Islam cli Bangka, Syaikh Abdurrahman Sidclik sempat
menghasilkan sembilan karya tulis, sementara tujuh karya tulis
lainnya clitulis ketika ia menetap cli Sapat, Indragiri. Kesembilan
kitab tersebut adalah Jadwal Sifat Dua Puluh yang clitulis cli Belinyu,
Pelajaran Kanak-kanak cliKemuja, Syarah SittinMasalah dan JurumiJah
cli Sungaiselan, Asrar al-Shalah min 'Iddab Kutub al-Mu'tamadah cli
Muntok, Fath al-'Alim fi Tartib al-Ta'lim cli Kuncli, Tadzkirah li Ncifs
wa li Amtsal di Belinyu, dan Syair Ibarah dan Khabar QiJamah di
Muntok. Kebanyakan kitab-kitab tersebut clicetak cli Mathba'ah

22
a

Ahmacliyah Singapura. Sedangkan kitab-kitab Fara'id, Majmu' al-f!yat


wa al-Ahadits, Maw'izhah li Nafs wa liAmtsal, Syarah .Arsyadiyab, Kutub
al-Jumu'ah, Bqy'u al-Hayawan li al-Kafirin, dan Takmilah Qawlli al-
Mukhtashar cli Sapat, Indragiri.
Ketika meninggalkan Bangka, Syaikh Abdurrahman Sidclik
menunjuk sepupunya, Haji Muhamrnad Khalid, sebagai
penggantinya menjacli guru agama dan melimpahkan kepercayaan
kepada beberapa ulama untuk berdakwah dan mengajarkan agama
Islam ke berbagai pelosok Pulau Bangka. Beberapa murid Syaikh
Abdurrahman Sidclik kemuclian menjacli ulama terkenal cliBangka
dan bahkan menjacli tokoh kharismatis yang clisegani pemerintah
kolonial Belanda. Selain Haji Muhammad Khalid cli atas, seorang
ulama bernama Haji Khatamarrasyid giat menyebarkan agama Is-
lam di daerah Belinyu. Ulama ini tidak hanya terkenal karena
kedalaman pengetahuan agamanya tetapi juga karena kezuhudan
dan kemuliaan akhlaknya. Selain itu, ia mempunyai banyak
keistimewaan dan kekeramatan yang hingga saat ini masih cliakui
oleh masyarakat Bangka. Makamnya yang berlokasi cliBakik, daerah
Jebus, masih ramai cliziarahi orang baik sebagai kegiatan tahunan
maupun dalam rangka memenuhi nazar ketika mendapat suatu
keberuntungan atau terhindar dari suatu rnusibah dan bahaya. Ziarah
ke makam tersebut clipandang dapat mendatangkan berkah yang
senantiasa dicari oleh masyarakat cli sana. Dua ulama terkenallain
yang pernah menjacli murid Syaikh Abdurrahman Sidclik adalah
Haji Suhaimi dan Haji Hasan Basri, dua saudara yang lahir cli
Kotawaringin. Semasa hidupnya Haji Suhaimi aktif berdakwah dan
memberikan pengajian di seluruh pelosok Pulau Bangka. Dia
climakamkan cli Pemakaman Keramat Pangkalpinang. Haji Hasan
Basri aktif mengajar dan memberikan pengajian, selain menjacli
sesepuh Pondok Pesantren Darussalam Pangkalpinang. Adapun
murid terkenal lainnya adalah Haji Usman yang banyak
melaksanakan kegiatan dakwah dan pengajaran agama cli daerah

23
Bangka Tengah. Setelah belajar dengan Syaikh Abdurrahman Sidclik,
Haji Usman bermukim cli tanah suci untuk mendalami ilmu-ilmu
agama Islam dan kemudian kembali menjadi ulama terkenal cli
Bangka. Setelah wafat dan dimakamkan cliDesa Payabenua, kegiatan
dakwah dan pengajaran agama dilanjutkan oleh anak-anaknya yang
kebanyakan menjadi ulama dan tokoh agama yang clisegani di
daerahnya. Syaikh Abdurrahman Siddik juga banyak mempunyai
murid cli Kemuja karena clia pernah menetap cli des a tersebut. Di
desa ini pada 1935 bercliri sebuah madrasah atau ketika itu dikenal
sebagai "Sekolah Arab" yang dapat clisebut sebagai cikal bakal
Pondok Pesantren Al-Islarn, pesantren terkenal yang memiliki
ribuan santri.
Proses islamisasi di seluruh pelosok Pulau Bangka dijalankan
oleh murid-murid Syaikh Abdurrahman Sidclik yang kebanyakan
meneruskan studinya cli tanah suci Mekkah. Oleh karena itu, pada
awal abad XX Islam sudah semakin tersebar cli pelosok-pelosok
pulau tersebut dan semakin kuat pengaruhnya dalam kehidupan
sosial dan budaya masyarakat. Penting clicatat bahwa kebanyakan
putra Syaikh Abdurrahman Siddik giat berdakwah dan mengajarkan
agama Islam kepada masyarakat, baik yang berada di Martapura
(Kalimantan Selatan) dan Indragiri (Riau), maupun di Bangka.
Bebeberapa putranya bahkan menjadi ulama dan tokoh agama
. terkenal cliBangka yang banyak melaksanakan kegiatan dakwah dan
pengajaran agama cliPangkalpinang, Muntok, Belinyu, Sungaiselan,
Kemuja, Pudingbesar, dan des a-des a sekitarnya. Salah seorang
putranya adalah Haji Muhammad Toyib yang tinggal di
Pangkalpinang hingga wafat pada 1996. Dia adalah seorang ulama
terkenal cliBangka yang memberikan pengajian climasjid-masjid cli
Pangkalpinang dan desa-desa sekitarnya.
Menjelang akhir abad XX, hubungan Bangka dengan Banjar
cenderung menguat kembali dengan pengiriman murid-murid ke
sana. "Telah terjadi reorientasi belajar agama ke Banjar clikalangan

24
sejumlah anggota masyarakat Bangka dalam bentuk pengiriman
sejumlah pelajar ke pesantren-pesa~tren di Banjar. Sebagian alumni
kembali ke bangka dan mendirikan atau mengelola lembaga
pendidikan model Banjar tersebut" (Zulkifli et ai. 2006: 5).
Dari uraian di atas tampak bahwa, selain jalur Banjar, Timur
Tengah merupakan salah satu jalur langsung yang membentuk corak
Islam tradisional di Bangka. Inilah jalur keenam. Peningkatan jumlah
orang naik haji juga terjadi di Bangka pada awal abad XX. Pada
1914 dan 1920 terdapat lebih dari 200 orang naik haji. Jumlah
tersebut meningkat sampai 500 orang pada 1926-1927 dan
meningkat lagi menjadi 600 orang pada 1928 (Heidheus 1992: 103).
Dalam konteks ini, dikenal istilah naon atau menahun, yakni tinggal
beberapa tahun di Mekkah untuk belajar agama di kalangan sebagian
orang yang naik haji yang disebut juga haji muqim. Memang terjadi

peningkatan yang signifikan berkenaan dengan jumlah orang
Nusantara yang naik haji pada periode tersebut (Vredenbregt 1962).
Bahkan ketika tinggal di Mekkah selama lebih kurang tujuh bulan
(Februari-Agustus 1885), Snouck-Hurgronje (1931), yang kemudian
menjadi penasihat pemerintah kolonial Belanda untuk urusan
pribumi (1899-1906) dan setelah itu menjadi professor di Unversitas
Leiden, mengamati bagaimana kehidupan sosial keagamaan rnigran
asal Nusantara (komunitas Jawi) di Mekkah pada akhir abad XIX
dan mereka merniliki peranan yang sangat besar dalam memotivasi
peningkatan kehidupan keagamaan di wilayah Nusantara. Dia
menulis:

... here lies the heart of the religious life of the East Indian Archipelago,
and numerous arteries pump from thencefresh blood in ever accelerating tempo to
the entire body of the Muslim populace of Indonesia (Snouck-Hurgronje 1931:
291).

Di antara para muqimin yang menahun di Mekkah tersebut


sebelumnya telah mendalarni ilmu-ilmu agama Islam kepada Syaikh
Abdurrahman Siddik dan murid-muridnya. Mereka masih mengikuti

25
tradisi guru-gurunya dalam melaksanakan dakwah dan pengajaran
agama Islam, yakni melalui pengajian di masjid dan rumah
penduduk. Jalur Banjar dan Timur Tengah tampaknya merupakan
dua jalur paling dominan mempengaruhi peningkatan proses
islamisasi dan pembentukan Islam tradisional di Bangka.
Jalur Jawa, yakni jalur ketl!Juh tampaknya relatif baru dalam
menanamkan pengaruh secara kuat dalam sejarah dan
perkembangan Islam di Bangka. Sudah sejak lama, orang-orang
Jawa mendatangi Bangka untuk berdagang atau mengajar di sekolah
umum atau madrasah. Ketika bermukim di tanah suci, kontak antara
berbagai suku terjadi dan ini tentu saja berpengaruh terhadap
percepatan islamisasi di Bangka. Kemudian, pelajar-pelajar dari
.Bangka melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah dan universi-
tas-universitas di Jawa. Ada juga di antara anak-anak orang Bangka
yang menjadi santri di pesantren-pesantren salafiah di Jawa seiring
dengan semakin dikenalnya lembaga pesantren bagi masyarakat
Bangka. Beberapa di antara mereka kembali ke daerah asalnya dan
ikut serta mempengaruhi penyebaran dan pembentukan Islam
tradisional di Bangka. Selain itu, Pond ok Modern Gontor juga mulai
menarik minat orang Bangka untuk mengirim anak-anaknya belajar
di sana. Netralitas dalam persoalan-persoalan k~agamaan yang
bersifat khilafiyah dengan penekanan pada kemandirian dan
penguasaan bahasa Arab dan Inggris menyebabkan alumni-alumni
Gontor tetap bergabung dengan mayoritas penduduk yang
berorientasi kepada pemahaman Islam tradisional, tentu dengan
pengecualian-pengecualian.
Bersamaan dengan itu, satu-satunya pesantren terkenal di
Sumatera Selatan ialah Nurul Islam yang berlokasi di Seribandung,
Ogan Komering Ilir (sekarang Ogan Ilir) dan tidak sedikit anak-
anak dari Bangka yang menuntut ilmu-ilmu agama Islam di sana.
"Setelah kembali, mereka juga memainkan peranan dalam
membentuk corak Islam tradisional. Jalur Seribandung ini adalah

26
jalur kedelapan. Dua jalur terakhir ini tampaknya telah melahirkan
sistem kelembagaan baru dalam pemeliharaan Islam tradisional di
Bangka, yang sebelumnya hanya memiliki lembaga pengajian.
Lembaga tersebut adalah lembaga pesantren.

B. Saluran Islamisasi
Dalam proses islamisasi di Bangka dari kedelapan jalur tersebut,
dapat diidentifikasi saluran-saluran atau, barangkali, mekanisme yang
dijalankan oleh ulama dan tokoh agarna. Saluran-saluran islamisasi
tersebut mencakup perdagangan, politik, perkawinan, pendidikan,
dan tasawu£
Saluran islamisasi awal dan terkenal secara internasional adalah
perdagangan. Ini mungkin disebabkan oleh terjadinya kontak dan
komunikasi antarindividu yang memungkinkan terjadinya sating
tukar informasi dan nilai antara individu atau kelompok yang satu
dan yang lain. Diakui secara luas bahwa penyebaran Islam di Indo-
nesia dilakukan oleh pedagang (poesponegoro dan Notosusanto
1984: 188). Di Bangka juga terdapat indikasi bahwa pedagang
memainkan peran dalam proses islamisasi. Ini ditunjukkan oleh
bukti bahwa islamisasi awal terjadi pada masyarakat pesisir pantai
seperti Muntok, Belinyu dan Bangkakota. Kota-kota pantai tersebut
merupakan kota pelabuhan dan sekaligus pus at perdagangan.
Tinggalan-tinggalan arkeologis berupa makam-makam tua yang
terdapat di Muntok dan Belinyu menunjukkan keberadaan
pendatang Muslim, termasuk dari kalangan Arab. Selain Cina, suku-
suku yang terlibat dalam perdagangan di Bangka pada ab ad XVII
dan XVIII adalah Arab, Melayu, dan Bugis (Andaya 1993: 221).
Andaya (1993: 221) mencatat bahwa kelompok-kelompok tersebut
dan vac (perusahaan dagang Belanda) berkompetisi dalam
perdagangan timah Bangka. Selain itu, perlu dicatat bahwa di antara
ulama terkenal seperti Syaikh Abdurrahman Siddik juga berprofesi
sebagai pedagang sambil melaksanakan dakwah Islam.

27
Saluran kedua adalahpolitik. Artinya Islam tersebar di Bangka
berkaitan dengan perkembangan politik, khususnya pemerintahan
yang menguasai pulau tersebut dari zaman ke zaman. Dengan
semangat dan caranya masing-masing, para penguasa di Bangka
baik ketika dalam kekuasaan Johor, Minangkabau, Banten maupun
Palembang cenderung untuk menyebarkan agama Islam kepada
penduduk setempat. Hasilnya memang tidak dapat dinilai karena
kelangkaan data tetapi proses islamisasi itu tetap berlangsung sekecil
apapun hasilnya. Kesultanan Palembang telah mencoba rnenerapkan
hukum Islam pada penduduk Bangka sesuai dengan konteks sosial
dan budaya masyarakat melalui U ndang-U dang Sindang Mardika, yakni
peraturan adat tentang perkawinan dan tata susila.
Saluran berikutnya adalah perkawinan. Ketika para migran dan
pedagang Muslim datang ke Bangka, sebagian mereka menikahi
perempuan lokal dan pernikahan tersebut membentuk institusi
keluarga yang kemudian melahirkan keturunan. Perkawinan juga
terjadi antara perempuan lokal dengan pihak kesultanan. Dengan
demikian, perkawinan telah meningkatkan kuantitas penduduk
Muslim dan sekaligus kualitas pengamalan ajaran-ajaran Islam yang
ditanamkan dalam keluarga. Syaikh Abdurrahman Sidclik, misalnya,
memiliki sembilan istri dengan sejumlah anak yang tersebar di
Bangka dan Riau temp at dia lama menetap. Sebagian anak
keturunannya kemudian menjadi guru atau tokoh agama yang
mengajar dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat.
Saluran islamisasi penting lainnya adalah pendiclikan baik yang
diselenggarakan secara institusional maupun individual (Heidheus
1992: 103). Pelaksanaan pendidikan berlangsung di lingkungan
keluarga dalam bentuk pendidikan informal dan di lingkungan
masyarakat dalam bentuk lembaga pendidikan non-formal.
Lembaga pendidikan non-formal disebut pengajian dalam berbagai
jenis dan tingkatan. Dua lingkungan pendiclikan inilah yang berperan
penting dalam proses islamisasi di Bangka dalam waktu yang

28
panjang, paling tidak, hingga awal abad XX. Pelaksanaan pendidikan
mengalami intensifikasi dengan semakin eratnya hubungan dengan
Tirnur Tengah sejak akhir ab'ad XIX. sebagaimaria telah
dikemukakan di atas. Di antara orang Bangka juga terdapat yang
naik haji ke Mekkah dan bermukim di kota suei tersebut dalam
rangka studi agama. Setelah kembali ke tanah kelahirannya, mereka
menggalakkan kegiatan pendidikan dan dakwah Islam kepada
masyarakat. Sejak dua dekade awal abad XX, madrasah mulai
mengambil bagian dalam proses islamisasi sementara pesantren baru
muneul sejak era 1970-an.
Islamisasi melalui saluran pendidikan tidak selalu bersifat
institusional. Aktor individual tentu saja berperan penting dalam
kompleksitas proses tersebut. Walaupun mengajar di sekolah umum,
guru yang mendapat pendidikan agama juga melakukan penyebaran
agama. Aktor individual juga terlibat langsung dalam saluran-saluran
perdagangan, politik, dan perkawinan. Berkaitan dengan pendidikan
dan islamisasi di Bangka, harus disebutkan peranan literatur
keagamaan yang menyebar di kalangan masyarakat, dibaea dan
dipelajari anggota-anggota masyarakat. Karya-karya ula.ma
Nusantara abad XVIII dan XIX seperti Scryr al-Salik.in oleh
Abdussamad al-Palimbani, al-Durr al-Nafis oleh Muhammad Nafis
al-Banjari dalam bidang tasawuf dan Sabil al-Muhtadin oleh
Muhammad Arsyad al-Banjari dalam bidang fiqh tersebar di
kalangan masyarakat Bangka. Bahkan Sabil al-Muhtadin menjadi salah
satu rujukan utama orang Bangka dalam bidang fiqh.
Tasawuf dan tarekat juga menjadi saluran islamisasi di Bangka.
Karya-karya tasawuf yang disebutkan di atas juga mengilustrasikan
bahwa Islam tersebar di Bangka melalui tasawuf Para ahli tampaknya
bersepakat bahwa para sufi memegang peranan penting dalam
proses islamisasi di Nusantara. Johns (1961: 15-17), misalnya,
menulis:

29
Mereka adalab guru-guru pengembara yang menjelajahi seluruh dunia,
mereka dengan sukarela menghC!Jatikemiskinan, mereka seringkali berhubungan
dengan perdagangan atau serikat tukang kerajinan menurut tarekat mereka
masing-masing; mereka mengajarkan teosoJi sinkretis yang telab dikenal luas
bangsa Indonesia tetapi suckJh menjadi /eryakinafl1!ya, walaupun merupakan
perluasan dari ajaran Islam yangfunckJmental,- mereka mabir ckJlamsoal magis
dan mempu1!Jai kekualan me1!Jembuhkan dan tickJk berakhir sampai di situ,
secara sadar ata« tickJk, mereka siap memelihara kesinambungan dengan masa
lampau dan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur bu~a pra-Islam dalam
konteks Islam. Guru-guru tasawtif ini dengan kebqjikan kekuasaan1!Ja dan .
kekuatan magiS1!Jadapat mengawiniputri-putri bangsawan Indonesia dan, dengan
demikian, keturunan mereka mendapat pengaruh keturunan darab raja, sebagai
tambahan untuk mendewakan cahaya kharisma keagamaan1!Ja.

Salah satu tarekat yang menjadi anutan guru sufi yang


menyebarkan Islam di Bangka adalah Sammaniyah.' Abdussamad
al-Palimbani, Nafis al-Banjari, dan Arsyad al-Banjari adalah murid
dan guru tarekat ini. Murid-murid mereka ini tampaknya telah
membawa tarekat ini ke Bangka. Syaikh Abdurrahman Siddik yang
berperan penting dalam proses islamisasi sebagaimana telah
diuraikan di atas adalah juga guru tarekat Sammaniyah. Pada masa
lampau, tarekat ini sangat berpengaruh di Bangka yang ditunjukkan
oleh meluasnya pelaksanaan Ratib Samman di desa-desa (Karim et
al. 1996: 34-35).

Keseluruhan saluran tersebut seringkali tidak dapat dipisahkan


satu sama lain. Bisa jadi, seorang sufi yang berprofesi sebagai pedagang
dan kemudian datang ke Bangka, menikah dengan perempuan lokal
dan melaksanakan dakwah Islam di pulau tersebut. Dalam sejarah,
berbagai jalur dan saluran islamisasi tersebut di atas melahirkan
pembentukan karakteristik Islam tradisional di Bangka.D

) Sammaniyah adalah tarekat yang dinisbahkan kepada Syaikh Muhammad Samman bin Abdul
Karim al-Madani (w.177S). Tarekat ini merupakan gabungan dari berbagai tarekat, antara
lain, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadzaliyah, dan Khalwatiyah. Pada abad XVIII, tarekat ini
adalah tarekat yang paling populer di Madinah sehingga banyak menarik pengikut dari berbagai
daerah di Nusantara.

30
D

Bab III
KARAKTERISTIK ISLAM
TRADISIONAL

P ada dasarnya, Islam tradisional yang berkembang dalam


masyarakat Bangka memiliki karakteristik yang hampir sama
dengan Islam tradisional yang diformulasikan oleh Dhofier, yakni
"Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama
ahli fiqh (hukum Islam), hadits, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan
tasawuf yang hidup antara abad ke-7 sampai ab ad ke-13" (1982: 1).
Penganut Islam tradisional di Bangka menggunakan istilah ahl-sunnab
wa al-jama'ah untuk menyebut pemahaman dan praktik keislaman
yang mereka anut tersebut. Secara doktrinal, Islam tradisional
tersebut mencakup riga aspek utama, yaitu tauhid, fiqh, dan tasawu£
Ketiga aspek tersebut sesungguhnya dipandang sebagai satu
kesatuan yang utuh. Dalam bidang tauhid, masyarakat Bangka
berpegang teguh pada aliran Asy'ariyah, dalam bidang fiqh mereka
berpegang kepada mazhab Syafi'iyah, sementara dalam bidang
tasawuf mereka mengikuti tasawuf akhlaqi Imam al-Ghazali.
Namun ketiga aspek tersebut menyatu dengan adat yang telah
diwarisi dari generasi ke generasi.

A. Sistem Keyakinan
Aspek tauhid (akidah, usuhuluddin) menduduki kedudukan
yang paling penting bagi penganut Islam tradisional di Bangka. Ilmu

31
Tauhid sering juga disebut ushuluddin (ushul at-din, yakni pokok-
pokok agama) atau Sifat Dua Puluh dan kegiatan mempelajari ilmu
tersebut disebut "mengaji tauhid" atau "mengaji sifat dua puluh".
Pengetahuan ten tang tauhid atau sifat dua puluh sering
diperbincangkan dan dibahas secara komprehensif di kalangan
pemuka agama masyarakat Bangka. Pengetahuan tauhid tersebut
bahkan menjadi ukuran tinggi rendahnya pengetahuan agama
seseorang. la menjadi persyaratan penting bagi seeorang untuk
memperoleh predikat ulama yang disebut Guru atau Tuan Guru.
Pada dasarnya, ajaran tauhid bertujuan untuk mengesakan Allah
dan menyucikan diri dari segala bentuk syirik (menyekutukan Tuhan)
yang dianggap sebagai dosa paling besar dalam Islam, baik syirik
jali (nyata) maupun syirik khaft (tersembunyi). Oleh karena itu, setiap
mukmin diwajibkan untuk memiliki keyakinan yang sesuai dengan
ajaran-ajaran tauhid. Ajaran-ajaran tauhid tersebut mengikuti ajaran-
ajaran tauhid yang diformulasikan oleh Abu Hasan al-Asy'ari dan
Abu Mansur al-Maturidi dan pada saat yang sama menolak secara
tegas dan keras ajaran-ajaran tauhid yang dikembangkan para ulama
yang berbeda dan bertentangan dengan ajaran tauhid Asy'ariyah.
Karena mengikuti penggabungan ajaran-ajaran kedua ulama
tersebut tauhid seringkali diidentikkan dengan istilah "Sifat
Duapuluh". lstilah tersebut digunakan hanya sebagai penyederha-
naan dari keyakinan kepada sifat-sifat yang wajib bagi Tuhan tetapi
ajaran yang terkandung dalam sifat dua puluh sebetulnya tidak hanya
mencakup masalah-masalah sifat Tuhan semata tetapi dilengkapi
juga dengan rukun-rukun iman yang lain.
Pembahasan teologi Asy'ariyah beranjak dari konsep rukun
iman yang meliputi iman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, rasul-rasul, hari kiamat, dan qadar baik dan buruk. Keenam
perkara terse but merupakan suatu kemestian yang mesti dipegang
secara teguh dan, tentu saja, tidak boleh berubah. Mempersoalkan
atau meragukan hal tersebut dipandang bertentangan dengan ajaran

32
Islam. Memang, unsur terpenting dari sistem keyakinan tersebut
adalah iman kepada Allah. Tamp~knya, rukun iman tetap menjadi
persoalan penting bagi penganut Islam tradisional yang tergolong
awam sekalipun sehingga sejak kecil anak-anak biasanya telah
diajarkan untuk menghafalnya.
Namun demikian, penganut Islam tradisional terutama ulama
dan guru agama di Bangka lebih tertarik dan lebih banyak membahas
dan mendiskusikan rukun iman yang pertama. Dipahami bahwa
pengenalan terhadap Tuhan tidak dapat dilakukan melalui zat -Nya
tetapi melalui sifat dan perbuatan-Nya. Mereka meyakini bahwa
Tuhan memiliki dua puluh sifat yang wajib yang dikontraskan
dengan dua puluh sifat mustahil, di samping sifatjaiz (boleh). Dua
puluh sifat yang wajib bagi Tuhan tersebut adalah wtdud (ada), qidam
(terdahulu), baqa'(kekal), mukhalaJatuh li al-hawadits (berbeda dengan

makhluk), qjyamuh bi naJsih (berdiri sendiri), iuabdamyat (esa), qudrat
(kuasa), iradat (berkehendak), 'ilmu (tahu), bayat (hidup), sama'
(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara), qadirun (Yang
Kuasa), muridun (Yang Berkehendak), 'alimun (Yang Mengetahui),
hC!}yun (Yang Hidup), sami'un (Yang Mendengar), bashirun (Yang
Melihat), dan mutakallimun (Yang Berbicara). Lawan dari dua puluh
sifat wajib tersebut disebut dengan sifat mustahil yang merupakan
sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh Tuhan. Adapun salah satu
sifat jaiz bagi Tuhan adalah fi'! kull mumkinin aw tarkuh, yakni
melakukan sesuatu yang mungkin atau tidak melakukannya
merupakan hak prerogatif Tuhan sendiri. Tujuan terpenting dari
keyakinan akan sifat-sifat Tuhan tersebut adalah menegaskan
keberadaan Tuhan sebagai yang sangat berbeda dengan makhluk
ciptaan-Nya dan memiliki kekuatan yang tidak sebanding dengan
ciptaan-Nya. Setiap Muslim diwajibkan meyakini secara mendalam
keberadaan sifat-sifat tersebut.
Keduapuluh sifat Tuhan tersebut ada kalanya dibahas dalam
bentuk dua bagian yang dikenal dengan istilah "bagi dua" dan

33
kadang-kadang dalam bentuk empat bagian atau "bagi empat". Di
dalam mempelajari sifat dua puluh masyarakat Bangka biasanya
mempelajari "bagi dua" dulu, baru kemudian "bagi empat", dan,
setelah itu, "ta'allurj'. Yang dimaksud dengan "bagi dua" ialah sifat-
sifat Allah yang jumlahnya dua puluh dan lawan-Iawannya sebagai
sifat mustahil dapat clibagi kepada: pertama, sifat istighna, yaitu sifat-
sifat kaya yang hanya dimiliki Allah dan, kedua, sifat iftiqar, yaitu
sifat-sifat yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya. Sifat istighna terdiri
atas sebelas, yaitu wlfiud, qidam, baqa', mukhalcifatuh li al-hawadits,
qryamuh bi nafsih, sama', basbar, kalam, sami'un, basbirun, dan
mutakallimun, serta lawan-Iawannya. Sedang ada sembilan sifat iftiqar,
yaitu iuahdaniyat, qudrat, iradat, 'ilmu, bayat, qadirun, muridun, 'alimun,
dan hqyyun, serta lawan-Iawannya. Sifat-sifat istighna dan iftiqar
ditambah dengan sifat-sifat rasul bergabung di dalam kalimah la
ilah ilia Allah yang berarti tiada yang kaya dan dibutuhkan selain
Allah dan kalimat Muhammad rasul Allah.
Adapun yang dirnaksud "bagi empat" adalah bahwa
keduapuluh sifat wajib bagi Allah tersebut dibagi kepada empat:'
Pertama, sifat naJsryah ialah wujud. Kedua, sifat salbryah (negatif), yaitu
sifat-sifat yang menafikan pengertian yang berlawanan dengannya
atau menafikan persamaan antara Tuhan dengan yang lain. Ada
lima sifat salbiyah, yakni qidam, baqa', mukhalcifatuh li al-hawadits,
qryamuh bi nafsih, dan iuahdaniyab. Ketiga, sifat ma'ani (positif)
mencakup tujuh sifat, yaitu qudrat, iradat, 'ilmu, bayat, sama', basbar;
clan kalam. Sifat-sifat ma'ani ini kemudian bertalian dengan sifat-
sifat jenis keempat, yaitu sifat ma'nawiyah yang terdiri atas qadirun,
muridun, 'alimun, hqyyun, sami'un, basbirun, dan mutakallimun.
Memahami masalah ta'alluq dipandang sangat sulit bagi guru-
guru agama di Bangka, sehingga penguasaan terhadap persoalan
tersebut dipandang sebagai suatu prestasi tinggi. Yang dimaksud
ta'alluq (pertalian) di sini ialah pertalian beberapa sifat Allah dengan
makhluk-Nya. Sifat-sifat tersebut mencakup qudrat, iradat, 'ilmu,

34
sama', basbar, dan kalam. Menurut tempatnya, ta'alluq itu terbagi
kepada tiga: Pertama, ta'alluq dengan segala yang mumkin (mungkin),
yaitu qudrat dan iradat yang mencakup mumkin ma,,!jud (mungkin
ada), mumkin ma'dum (mungkin tiada), mumkin sqy'!iad (mungkin akan
ada), dan mumkin 'ilm Allah annabu laytgad. Kedua, ta'alluq kepada
segala yang ma'!iud, yaitu sama' dan basbar. Ketiga, ta'alluq dengan
segala yang wajib, mustahil dan jaiz, yaitu 'ilmu dan kalam. Menurut
narnanya, ta'alluq dapat dibagi kepada tiga: Pertama, ta'alluq ta'tsir
(ta 'alluqyang membawa bekas), yaitu qudrat dan iradat. Bekas tersebut
merupakan mq;az 'aq!J karena yang memberi bekas tersebut pada
hakikatnya adalah zat Tuhan. Kedua, ta 'alluq inki.rycif(ta'alluq terbuka),
yaitu sama', bashar, dan 'ilmu. Ketiga, ta'alluq dilalah (ta'alluq dalil),
yaitu kalarn. Sesungguhnya penjelasan tentang tentang ta'alluq jauh
lebih rumit lagi dari sekedar yang,dipaparkan di sini.
Seringkali pemahaman ya'ng mendalarn ten tang ketauhidan
tersebut hanya terbatas di kalangan tokoh-tokoh dan ulama
tradisional saja. Beberapa tokoh penganut Islam tradisional di
Bangka tersebut mampu menjelaskan secara rinci ajaran-ajaran
ketauhidan yang ada dalam sistem keyakinan mereka. Namun, inti
dari keyakinan tersebut bertujuan untuk mengesakan Tuhan Yang
Maha Kuasa dan sekaligus menjelaska n keterkaitan dan
ketergantungan manusia dengan-Nya. Menurut mereka,
pemahaman akan keyakinan tersebut akan menghindarkan diri
manusia dari berbagai bentuk syirik dan melahirkan sikap dan
pandangan yang tepat berkenaan dengan hubungan manusia dengan
Tuhan.
N arnun, keyakinan kepada Tuhan mengharuskan sesorang untuk
mayakini adanya makhluk gaib yang disebut dengan malaikat. Setiap
Muslim harus meyakini sejumlah malaikat dengan tugas-tugas yang
diperintahkan kepadanya. Malaikat itu sendiri sebetulnya tidak
diketahui jurnlahnya tetapi yang wajib dipercayai sebanyak sepuluh,
yaituJibril yang bertugas menyampaikan wahyu, Mikail yang bertugas

35
menurunkan rezeki, Israfil yang bertugas meniupkan sangkakala pada
Hari Kebangkitan, Izrail (sering disebut malaikat maut) yang bertugas
mencabut nyawa makhluk hidup. Keempat malaikat tersebut, yakni
Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail tergolong teristimewa yang dikenal
sebagai malaikat al-muqarrabin. Selanjutnya adalah Munkar dan Nakir
yang bertugas menanyakan mayat dalam kubur, Raqib dan Atid yang
bertugas mencatat amal perbuatan, Ridwan (malaikat surga) yang
bertugas menjaga surga, dan Malik sebagai malaikat yang mengerikan
yang bertugas menjaga neraka. Malaikat itu sendiri adalah makhluk
Allah yang senantiasa tunduk dan patuh kepada segala perintah-Nya.
Mereka tidak berjenis kelamin, tidak makan dan minum, tidak tidur,
dan tidak memiliki hawa nafsu sebagaimana manusia. Cleh sebab
itu, diyakini bahwa iman para malaikat itu selamanya tetap tanpa
mengalami peningkatan dan perubahan.
Berkaitan dengan makhluk gaib tersebut juga diyakini adanya
jin, iblis dan setan. Jin adalah makhluk halus yang diciptakan dari
api. Dia memiliki sebagian sifat manusia seperti berjenis kelamin,
makan, minum, memiliki tempat tinggal, berkeluarga dan
berketurunan, dan memikili sistem sosial dan pemerintahan. Tempat
yang dihuni jin biasanya merupakan tempat-tempat yang angker
seperti gunung, sungai, sumur, batu, pohon, masjid, dan makam.
Tempat-tempat tersebut tidak boleh diganggu atau dirusak dan bila
itu dilanggar jin akan membalasnya dengan cara bermacam-macam
yang mengakibatkan manusia sakit, hilang kesadaran dan sebagainya.
Jin juga sama dengan manusia dalam tujuan penciptaannya,
yakni untuk beribadah kepada Allah. Tetapi, sama dengan manusia,
jin ada yang mukmin dan ada pula yang kafir; ada yang baik dan
saleh tetapi ada pula yang jahat dan berdosa. Jin yang baik suka
membantu manusia dalam hal-hal tertentu. Sebaliknya, jin yang jahat
suka mengganggu dan menakut-nakuti manusia.
Jin dapat menampakkan diri dalam wujud manusia tetapi
kebanyakan berwujud binatang seperti kucing, anjing atau ular.

36
Kadang-kadang wujud jin nampak seperti raksasa yang membuat
manusia takut melihatnya. Sebagian orang rnengaku dapat
berhubungan dan berkomunikasi dengan jin dan mengambilnya
sebagai kawan, pembantu, dan bahkan istri. Ada ulama atau guru
agama yang mernpelajari dunia jin dan menguasai ilmu gaib.
Iblis dan setan adalah makhluk gaib yang diciptakan dari api.
Keduanya adalah makhluk jahat yang selalu menggoda dan
menghasut manusia dengan berbagai cara dan taktik agar
meninggalkan perintah-perintah Allah dan melaksanakan perbuatan
dos a dan maksiat, Iblis dikenal sombong ketika diperintahkan Al-
lah untuk bersujud kepada Adam karena merasa lebih dahulu tinggal
di surga daripada Adam. Selain itu, iblis juga merasa lebih mulia
derajatnya daripada Adam karena ia diciptakan dari api sedang Adam
diciptakan dari tanah. Kesombongan tersebut menyebabkan iblis
dikutuk dan dibuang, tetapi permohonannya agar hukuman
ditangguhkan sampai hari kiamat dan ia akan menyesatkan Adam
dan keturunannya dikabulkan,
Demikianlah, cerita Adam dan Hawa yang tinggal di surga
dengan segala kenikmatannya terkena godaan dan hasutan iblis.
Allah telah melarang mereka mendekati sebuah pohon di surga,
yakni khuldi, Terrnakan godaan iblis, Adam dan Hawa mendekati
pohon tersebut, memetik buah terlarang tersebut dan memakannya.
Hawa telah rnenelan dua buah, masuk ke rongga dada dan menjadi
payudara (tanda perempuan dewasa) sedang buah yang dimakan
Adam masih tertahan di kerongkongan dan menjadi jakun (tanda
laki-laki dewasa). Akibat dari melanggar larangan Allah, keduanya
terlempar ke bumi, di tempat yang berjauhan satu sama lain.
Setelah terbuang dari surga, iblis memiliki keturunan yang
disebut setan. Tidak jelas sosok makhluk gaib ini tetapi diyakini
bahwa jumlahnya terus berlipat ganda karena iblis dan setan tidak
mati. Iblis dan setan senantiasa berupaya menggoda dan
menjerumuskan manusia agar jatuh ke dalam kemaksiatan dan dosa.

37
Pada dasarnya, manusia yang terkena godaan setan akan dimurkai
Allah dan akan tinggal bersama mereka di neraka.
Selain konsep jin, iblis dan setan yang berasal dari bahasa Arab,
di Bangka juga dikenal berbagai istilah yang merujuk kepada
berbagai jenis hantu yang pada umumnya menakut-nakuti manusia.
Eksistensinya tentu saja tidak jelas dan sering diperbincangkan atau
diperdebatkan. Salah satunya adalah menyadin atau pocong. Mc'!}adin
mungkin berasal dari kata menjadi, artinya, orang mati yang menjadi
haritu. la diyakini sebagai roh orang mati yang karena satu atau
beberapa sebab tidak dapat menuju ke tempat yang semestinya.
Pada umumnya, sebabnya adalah perilaku buruk orang tersebut
semasa hidupnya .
.Rukun iman ketiga adalah percaya kepada kitab-kitab Allah.
Meskipun orang Muslim berkeyakinan bahwa kitab sucinya adalah
al-Qur'an mereka juga meyakini bahwa Tuhan telah menurunkan
kitab suci yang wajib dipercayai, yaitu Taurat (perjanjian Lama)
diturunkan kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, lnjil
(perjanjian Baru) kepada Nabi Isa, dan al-Qur'an kepada Nabi
Muhammad. Hanya saja, kitab-kitab suci selain al-Qur'an sudah
tidak ada lagi yang asli karena sudah dilakukan perubahan-perubahan
oleh pemuka agama-agama tersebut. Sementara al-Qur'an adalah
kitab suci yang masih terjaga keaslian dan kemurniannya dan akan
terus terjaga hingga akhir zaman. AI-Qur'an juga dianggap sebagai
kitab suci penyempurna ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab-
kitab suci terdahulu sehingga dapat berlaku universal dalam segala
waktu dan tempat. Karena al-Qur'an adalah kitab suci, setiap or-
ang yang menyentuh, memegang dan membawanya harus suci
daripada hadats, baik hadats besar (dalam keadaan junub) maupun
hadats kecil (tidak berwudhu). AI-Qur'an harus diletakkan di temp at
yang tinggi dan membawanya harus dalam posisi di atas pusar.
Singkatnya, sikap terhadap al-Qur'an berbeda dengan sikap terhadap
buku-buku. Selain kitab-kitab suci di atas, Tuhan juga menurunkan

38
lembaran-lembaran suci yang tidak dibukukan sebagaimana keempat
kitab tadi yang dikenal dengan ~sti1ahshuhuf seperti enam puluh
shuhuf bagi Nabi Syis, tiga puluh shuhuf- bagi Nabi Ibraliirn, dan
sepuluh shuhuf bagi Nabi Musa sebelum turun Taurat.
Setiap Muslim di manapun di dunia ini meyakini bahwa
Muhammad adalah nabi dan rasul. Nabi Muhammad adalah suri
tauladan bagi kaum Muslim. Pengakuan terhadap N abi Muhammad
tersebut ditegaskan dalam dua kalimat syahadat (Rukun Islam yang
pertama) yang harus dilakukan pertama kali ketika seseorang ingin
masuk agama Islam. Namun, Tuhan juga diyakini telah mengutus
banyak sekali nabi dan rasul untuk menyampaikan risalah-Nya
kepada umat manusia. Dalam sistem keyakinan Islam tradisional,
seorang Muslim harus mempercayai dua puluh lima Rasul, yaitu
Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Luth, Ya'kub,
Yusuf, Syu'aib, Musa, Harun, Ilyas, Ilyasa', Ayyub, Zulkifli, Daud,
Sulaiman, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, .dan Muhammad SAW
Dikatakan bahwa empat dari para rasul masih hidup, yaitu Nabi
Idris dan Nabi Isa yang tinggal di langit dan Nabi Khaidir dan Ilyas
yang tinggal di bumi. Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan
Muhammad tergolong ulu al- 'azmi. Juga wajib diimani bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah yang paling utama dari segala nabi dan
rasul. Para rasul memiliki empat sifat yang wajib, yaitu shiddiq (benar) ,
amanab (kepercayaan), tabligh (menyampaikan), danfathanah (cerdas).
Sebaliknya, para rasul tidak mungkin memiliki sifat-sifat kizjb (dusta),
khryanat (khianat), khitman (tidak menyampaikan), dan baladah
(bodoh). Hal ini dapat dipahami dengan mudah karena para rasul
merupakan manusia pilihan dan seorang Muslim dituntut untuk
dapat meneladani sifat-sifat para rasul tersebut. Tentu .saja yang
menjadi panutan utama adalah Nabi Muhammad sebagai nabi yang
terakhir dan penghulu segala nabi.
Dalam sistem keyakinan Islam tradisional di Bangka diyakini
betul akan datangnya hari kiamat atau hari kemudian. Dalam sistem

39
Q

keyakinan ini, hidup manusia di dunia hanya bersifat sementara


dan kematian pasti dialami setiap orang meskipun tidak seorang
pun yang mengetahui waktu dan tempatnya. Setelah mengalami
kematian, manusia akan dikuburkan dan terus berada di sana hingga
hari kiamat. Ketika berada dalam kubur itulah dua malaikat, yakni
Munkar dan Nakir menjalankan tugasnya untuk mengajukan
beberapa pertanyaan kepada mayat tersebut. Orang yang banyak
amal kebaikan selama hidupnya dapat menjawab seluruh pertanyaan
yang diajukan kedua malaikat tersebut. Sebaliknya, orang yang
banyak amal kejahatannya tidak akan mampu menjawab, dan sebagai
akibatnya, ia akan dipukul dengan tongkat kedua malaikat tersebut.
Kemudian ditanya lagi dan dipukullagi dan begitulah scterusnya
berlangsung hingga kiamat tiba. Inilah yang disebut dengan siksa
,(azab) kubur yang sangat ditakuti.
Penganut Islam tradisional di Bangka percaya kepada qadha
dan qadar, yakni ketentuan Tuhan atas manusia. Sejalan dengan
teologi Asy'ariyah, sistem keyakinan Islam tradisional di Bangka
meyakini kekuasaan mutlak Tuhan atas hasil perbuatan dan usaha
manusia. Akan tetapi, manusia wajib melakukan usaha yang dikenal
dengan ikhtiar. Para guru agama di sana menyebut i'tikad mereka
dengan sebutan i'tikad abl al-sunnah wa al-jama'ab seraya menolak
secara keras aliran teologi qadariyah yang hanya mementingkan
kekuasaan manusia dan aliran teologi jabariyah yang bersifat
deterministik. Secara sederhana, i'tikad ahl-sunnah wa aljama'ah dapat
dikatakan sebagai usaha mencari titik temu atau titik tengah dari
kedua aliran tersebut.

B.lbadah
Sistem keyakinan tersebut harus dimanifestasikan dalam
bentuk tindakan nyata yang, secara sederhana, dapat disebut ibadah
dalam pengertian yang luas. Dalam arti sempit, ibadah itu biasanya
berorientasi fiqh. Sebagaimana sudah dijelaskan, masyarakat Bangka

40
pada umumnya mengikuti mazhab fiqh Syafi'iyah. Namun demikian,
kedudukan mazhab-mazhab fiqh yang lain, yakni Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanbaliyah tetap dibenarkan, berbeda dengan sikap
terhadap aliran-aliran teologi lain selain Asy'ariyah. Mazhab Syafi'i
dianggap sebagai mazhab paling sempurna dan paling teliti dalam
melahirkan hukum Islam meskipun, dalam realitas, kitab al-Umm
Imam Syafi'i jarang sekali atau mungkin tidak pernah dijadikan
rujukan langsung dalam kegiatan pengajian maupun di pesantren.
Tetapi kitab-kitabyang biasa dijadikan rujukan adalah kitab-kitab
yang ditulis oleh para ulama yang berpegang teguh pada mazhab
Syafi'i.
Keterkaitan penganut Islam tradisional dengan mazhab
cenderung ketat dan pada gilirannya membedakan mereka, bahkan
bertentangan, dengan penganut Islam modern yang berusaha
menganjurkan umat agar tidak terbelenggu dengan ajaran-ajaran
mazhab tertentu. Dengan kata lain, yang membedakan antara
penganut Islam tradisonal dan modern adalah bahwa kelompok
pertama ber-taqlid kepada kesepakatan ulama (ijma' ulama) sedang
kelompok kedua berupaya melakukan pemurnian dan pembaruan
dengan merujuk kepada al-Qur'an dan hadits semata.
Dasar utama ajararr fiqh yang berkembang di Bangka beranjak
dari konsep rukun Islam yang lima sebagai dasar ibadah yang wajib
dilaksanakan. Rukun Islam tersebut dijabarkan sebagai kewajiban
untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat,
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji ke Mekkah sekali dalam hidupnya jika
mampu. Jika rukun Islam tersebut dilaksanakan dengan baik, maka
seseorang dianggap telah menunaikan kewajiban yang diperintahkan
Allah dan, dengan demikian, diyakini akan memperoleh pahala dari-
Nya dan akan masuk surga yang penuh dengan kenikmatan, tetapi
jika tidak ditaati Allah akan membalasnya dengan siksaan azab di
neraka.

41
Kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan
memperhatikan segala rukun, syarat, dan sunnatnya sesuai dengan
petujuk Nabi Muhammad SAW Untuk dapat melaksanakan
kewajiban tersebut, seseorang diharuskan memahami rukun, syarat,
batal dan sebagainya. Mengenai syahadat (rukun Islam pertama),
misalnya, yang disajikan pada awal kitab Perukunan Melqyu Besar,
kitab yang tersebar luas di kalangan masyarakat Bangka, diuraikan
seperti berikut:

Adapun fardhu syahadat itu dua perkara: pertama ikrarkan


dengan Iidah kedua tasdikkan dengan hati. Adapun kesempurnaan
syahadat itu empat perkara: pertama diketahui kedua dikrarkan ketiga
ditasdikkan keempat diyakinkan. Adapun rukun syahadat itu ernpat
perkara: pertama mengisbatkan zat Allah Taala kedua mengisbatkan
sifat Allah Taala ketiga mengisbatkan afal Allah Taala artinya segala
perbuatan keempat mengisbatkan kebenaran RasulullahSAWAdapun
syarat sah syahadat itu empat perkara: pertama diketahui kedua
diikrarkan ketiga ditasdikkan keempat diamalkan adapun yang
membinasakan syahadat itu empat perkara: pertama menduakan Al-
lah Taala kedua syak hatinya ketiga menyangkal dirinya dijadikan Al-
lah Taala keempat tiada diisbatkan zat Allah Taala. Adapun yang
dinamakan syahadat yaitu asyhadu an la ilah illa Allah wa asyhadu
anna Muhammadan rasul Allah (Anonim n.d: 2).

Sembahyang merupakan ibadah yang sangat penting dalam


Islam, termasuk Islam tradisional. Menurut bahasa, shalat berarti
doa sementara menurut istilah, shalat adalah beberapa perkataan
dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Ibadah tersebut dilakukan menurut tata cara, syarat
dan aturan-aturan yang telah digariskan. Begitu pentingnya
sembahyang, sehingga ia merupakan ibadah pertama yang dinilai
keabsahannya. Kata Islam sendiri sering dianggap sebagai
kepanjangan dari Isya, Shubuh, Luhur (Zuhur), Ashar, dan Maghrib,
yakni shalat fardhu lima waktu dalam sehari semalam. Dalam kitab
S abil al-Muhtadin, kitab fiqh yang dipakai secara luas di kalangan

42
-
orang Bangka, dikatakan: "bermula yang difardhukan daripada
sembahyang di dalam tiap-tiap sehari semalam hanya lima
sembahyang jua seperti yang maklurn daripada agama dengan
darurat maka barang siapa ingkar ia akan wajibnya jadilah ia katir"
(Al-Banjari n.d: 137). Sembahyang fardhu lima waktu mencakup
tujuh belas rakaat dengan rincian: isya 4, shubuh 2, zhuhur 4, ashar
4, dan maghrib 3 rakaat. Sembahyang-sembahyang tersebut dapat
dilaksanakan secara sendiri tetapi sangat dianjurkan untuk dilakukan
secara berjamaah.
Termasuk ke dalam sembahyang wajib adalah sembahyang
Jumat yang harus dilakukan secara berjamaah. Salah satu syarat
dasar sembahyangJumat adalah jumlah anggota jamaah yang tidak
boleh kurang dari empat puluh orang dewasa. Kalau tidak,
sembahyang zhuhur masih tetap dilaksanakan. SembahyangJumat
dilakukan sekali dalam seminggudalam waktu zhuhur. la berjumlah
dua rakaat tetapi harus didahului dengan dua khutbah yang harus
didengar dan diperhatikan setiap anggota jamaah. Kebanyakan
masjid di Bangka sekarang menggunakan bahasa Indonesia,
meskipun sesekali masih dijumpai khutbah berbahasa Arab di
masjid-masjid tertentu.' SembahyangJumat diawali dengan dua kali
azan dan sebelum khutbah Jumat dibacakan seorangbilal
membacakan doa, shalawat, dan hadist tentang perintah untuk
memperhatikan .isi khutbah. Bahasa yang digunakan bilal adalah
bahasa Arab sehingga mungkin saja ada di antara jamaah yang tidak
mengerti maksud hadits yang dibacakan. Namun, kadang-kadang
diikuti dengan terjemahan Indonesia. Peringatan terse but biasa
disebut "ma'asyiral" karena menggunakan panggilan "ma'asyir al-
muslimin" kepada seluruh jamaah. Kecuali dalam keadaan udzur yang
dibenarkan syariat Islam, sembahyangJumat wajib dilakukan oleh

I Khutbah berbahasa Arab ini pemah menjadi sumber perdebatan dan perselisihan di Bangka.
Perselisihan yang menghebohkan terjadi di Masjid Muntok pada 1927 ketika Haji Bakri dalam
khutbahnya mengatakan bahwa omng yang mendengar khutbah tetapi tidak mengerti artinya
seperti mendengar suam kodok (Rahim 1998: 229).

43
lelaki. Ditegaskan bahwa seseorang tidak boleh meninggalkan
sembahyangJumat lebih dari tiga kali berturut-turut.
Akan tetapi, orang Islam tidak hanya mengerjakan sembahyang
fardhu tetapi juga sejumlah sembahyang sunnat. Di antara
sembahyang sunnat terdapat yang tergolong sangat dianjurkan atau
sunnat muakkad seperti sembahyang hari raya Idul Fitri (setiap 1
Syawwal) dan Idul Adhha (setiap 10 Dzu al-Hijjah) setahun sekali.
Sembahyang tahajjud, hajat, dan sembahyang taraweh pada malam
bulan Ramadhan adalah sebagian dari sembahyang sunnat. Adapun
sembahyang taraweh pada bulan Ramadhan dilaksanakan sebanyak
dua puluh tiga rakaat. Ayat-ayat al-Qur'an yang dibacakan sudah
ditentukan dan tidak boleh dipertukarkan atau diganti dengan ayat-
ayat lain. Singkatnya, semua harus dilakukan menurut aturan dan
tata cara tertentu yang telah digariskan dalam kitab-kitab fiqh.
Seringkali persoalan-persoalan furu'iyah yang bersifat
khilafiyah menjadi perhatian besar penganut Islam tradisional di
Bangka. Bersuci harus dengan air yang suci lagi menyucikan dalam
berwudhu, misalnya, tidak dibenarkan air dari muka jatuh ke dalam
air yang digunakan untuk berwudhu yang jumlahnya kurang dari
dua quiiah. Karena air tersebut sudah menjadi air musta'mai yang
tidak lagi bersifat menyucikan. Persentuhan kulit antara laki-laki
dan perempuan yang bukan muhrim juga dipandang membatalkan
wudhu sehingga hal ini harus diperhatikan secara serius sehingga
ibadah yang dilaksanakan sah dan diterima Allah. Sembahyang juga
sedapat mungkin harus memakai sarung dan kopiah. Melalaikan
persoalan-persoalan furu'iyah ini juga dipandang negatif oleh
masyarakat dan seringkali melahirkan gunjingan.
Penganut Islam tradisional di Bangka juga mementingkan
amalan-amalan tambahan yang dianggap sunnah Nabi sehingga
mereka tampak ritualistik. Ibadah sembahyang tidak boleh hanya
mementingkan rukun-rukunnya saja tetapi yang dianggap sunnat
pun tidak boleh ditinggalkan. Untuk memulai shalat dianjurkan

44
diawali dengan membaca usha//i sebagai lafaz niat. Niat memang
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap ib~dah.
Dalam pelaksanaannya, niat biasanya diawali dengan lafaz niat
dalam bahasa Arab seperti ushalli tersebut. Meskipun masalah
ushalli hanya bersifat furu'iyah tetapi dalam kenyataan tidak boleh
ditinggalkan. Berbagai kitab fiqh yang digunakan masyarakat
Bangka selalu menyajikan berbagai lafaz niat dalam melaksanakan
ibadah. Untukibadah-ibadah lain seperti wudhu, zakat, dan puasa,
niat harus diucapkan dengan lafaz nawCfYtu yang artinya "aku
berniat". Kutipan dari kitab Peruleunan MefCfYu berikut ini, yakni
kitab yang digunakan secara luas oleh masyarakat Bangka, patut
diperhatikan:

Bism allah al-rahma al-rahim. ketahui olehmu hai thalib .


bahwasanya tiada sah segala amal itu melainkan dengan niat seperti
sabda nabi SAW innama al-a'mal bi al-niyyat arcinya hanya sanya sah
segala amal itu dengan niat tegasnya tiada sah segala amal melainkan
dengan niat demikian pula tiada sah amal sembahyang itu melainkan
dengan niat jua karena niat itu suatu rukun sembahyang adapun hakikat
niat itu yaitu qashd al-syay' muqtarinan bi fi'Jih arcinya hakikat niat itu
menuju sesuatu halnya berbarengan dengan perbuatannya maka apabila
terkemudian atau terdahulu perbuatannya daripada yang dituju rnaka
tiada sah niatnya dan ligi adalah tempat niat iru dalam hati dan masa
berniat itu pada permulaan ibadat terkecuali pada puasa fardhu maka
tiada memadai menyertakan pada permulaan karena wajib menjatuhkan
niat puasa fardhu pada malam harinya yaitu antara masuk matahari
daripada fajar shadiq (Anonim nd: 23).

Khusus untuk sembahyang Shubuh sangat disunatkan


membaca doa qunut setelah i'tidal pada rakaat kedua sebagaimana
dianjurkan oleh Imam Syafi'i. Doa qunut tersebut adalah a//ahumma
ahdini ji man badayt dan seterusnya yang dibaca sambil mengangkat
kedua telapak tangan. Hukum membacanya adalah sunnat ab'ad
sehingga apabila terlupakan seseorang harus menggantikannya
dengan sujud syahwi. Orang yang tidak membaca doa qunut

45
biasanya dianggap sebagai kaum baru, istilah yang digunakan untuk
menyebut golongan modernis.
Secara sepintas, islam tradisional tampak lebih mementingkan
kehidupan ukhrowi daripada kehidupan duniawi. Untuk itu,
seseorang diharapkan dapat melakukan amal ibadah sebanyak
mungkin selama hidupnya. Amalan-amalan wajib saja tentu tidak
cukup untuk bekal hidup di akhirat nanti. Seseorang harus
melengkapinya dengan amalan-amalan sunnat seperti berbagai
sembahyang sunnat, puasa sunnat, dan zikir. Zikir seharusnya
dilakukan setiap saat tetapi paling tidak sehabis mengerjakan shalat
fardhu yang disebut wirid.
Sehabis wirid, biasanya dilanjutkan dengan doa yang dianggap
sebagai mukhkh al- 'ibadah atau esensi ibadah. Arti kata shalat juga
doa. Setiap orang sangat dianjurkan untuk banyak berdoa; orang
yang tidak mau berdoa dianggap sombong. Demikianlah, setiap
habis sembahyang, biasanya doa selamat dan doa tolak bala
dipanjatkan. Doa selamat adalah permohonan agar mendapat
keselamatan dan hal-hal yang positif di dunia dan di akhirat sedang
doa tolak bala adalah permohonan agar terhindar dari segala macam
musibah dan bencana. K.alau doa selamat dilakukan dengan
menengadahkan kedua telapak tangan ke atas, doa tolak bala
dilakukan dengan menelungkupkan telapak tangan ke bawah sebagai
simbol penolakan.
Banyak lagi aspek-aspek ibadahyang dipahami dan
dipraktikkan penganut Islam tradisional di Bangka. Tidak mungkin
dikemukakan semuanya di sini. Tetapi cukuplah ditekankan kembali
bahwa paham dan praktik keagamaan terse but mengikuti pendapat
clan tata cara yang berlaku dalam mazhab Syafi'i. Fiqh Syafi'iyah itu
sendiri bersifat Sufistik. Fiqh-Sufistik menekankan pentingnya
amalan-amalan yang diakui berasal dari Nabi, sahabat, tabi'in, serta
ulama-ulama terdahulu.

46

d
C. Tasawuf
Tasawuf atau Sufisme adalah dimensi esoteris dan terdalam
dari Islam. Tasawuf merupakan pengembangan dari konsep ihsan
yang tertera dalam hadits Nabi tentang iman, islam, dan ihsan. Iman
dimanifestasikan dalam sistem keyakinan, islam yang bermakna
berserah diri dimanifestasikan dalam bentuk ibadah yang berupa
ritual formal rukun islam yang termasuk kategori fiqh, sedang ihsan
diwujudkan dalam bentuk akhlak dan tasawuf. Konsep ihsan
diartikan sebagai beribadah kepada Allah seakan-akan berdiri di
hadapan-Nya dan melihat-Nya. Ketiga komponen ajaran tersebut
tidak bertentangan satu sama lain, bahkan sating berkaitan dan
merupakan satu kesatuan yang utuh.
Ajaran-ajaran yang terkandung dalam tasawuf dianggap
sebagai ajaran keutamaan yang seharusnya diamalkan oleh setiap
orang. Ajaran tasawuf yang dipegang itu adalah ajaran tasawuf
Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali sehingga kedua tokoh sufi
tersebut dipandang sebagai sosok sufi yang ideal. Namun demikian,
sebelum mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf seseorang harus
memiliki dasar ilmu tauhid dan fiqh yang kuat agar tidak sesat dan
rusak akidahnya karena tasawuf merupakan ajaran Islam yang pal-
ing dalam. Bahkan seringkali ditekankan bahwa seseorang yang
memasuki dunia tasawuf tetapi meninggalkan syariat akan menjadi
gila. Dalam kitab Sya'ir Ibarat dan Kbabar Kiamat, Syaikh
Abdurrahman Siddik (1343: 29) menulis:

IImu tasawuf bukamrya mudah


S esungguh1!Jaitu rabasia indah
Jikalau memahami engkau tersalab
Mef!Jadi kaftr, na'udzu bi Allah
Jikalau menuntut ilmu suft
Tuntut/ah dulu ilmu ushlili
Karena tasawuf rabasianya tinggi
Mengqji1!Ja baruslab hati-hati

47
Kalau tasawuf hanya mungkin diamalkan oleh orang-orang
tertentu, akhlak harus menjadi miliki setiap orang. Memang akhlak
menjadi lebih penting lagi bagi orang yang menjalani tasawuf
Sebenarnya antara akhlak dan tasawuf tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Apalagi ajaran-ajaran tasawuf al-Baghdadi dan al-Ghazali
sering disebut dengan tasawuf akhlaqi. Inti ajaran tasawuf akhlaqi
tersebut adalah penerapan berbagai ajaran mengenai zuhud, qana'ah,
ikhlas, rid ha, tawakkal, shabar, syukur, khauf, dan raja', serta pada
waktu yang sama meninggalkan akhlak yang tercela seperti thama',
riya', 'ujub, has ad, takabur, dan sum'ah. Amal ibadah orang yang
memiliki akhlak mabmudah dan meninggalkan akhlak mazmumah
tersebut akan dibalas oleh Allah dengan pahala dan nikmat surga.
Semua itu ditujukan kepada penyucian diri.
Ibadah harus dilaksanakan dengan niat yang ikhlas dan
internalisasi sifat ikhlas dalam ibadah dan kehidupan sudah
menunjukkan penerapan tasawuf Konsep ihsan itu juga dapat
berkaitan erat dengan konsep ikhlas yang merupakan makna sentral
dan terdalam dari agama itu sendiri. Pentingnya kedudukan ikhlas
itu diabadikan Tuhan melalui nama surat dalam al-Qur'an, yakni
surat al-Ikhlash.
Ajaran-ajaran tasawuf akhlaqi tersebut disajikan secara
mendalam dalam kitab-kitab tasawuf yang beredar di kalangan or-
ang Bangka. Di antara kitab-kitab tersebut adalah karya-karya ulama
sufi Nusantara terkenal seperti Hidqyah al-S alikin dan S qyr ai-S alikin
oleh Abdussamad al-Palimbani, al-Durr al-Nafis oleh Muharnmad
Nafis al-Banjari, Risalab :Amal Ma'rifah oleh Syaikh Abdurrabman
Siddik. Kitab-kitab tersebut masih dibaca dan digunakan dalam
pengapan.
Ajaran-ajaran tasawuf juga dipraktikkan dalam bentuk tarekat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tarekat yang
berpengaruh dalam kehidupan keagamaan dan sosiokultural
masyarakat Bangka adalah Sammaniyah. Walaupun tidak diketahui

48
dengan pasti seberapa besar pengikut yang sungguh-sungguh
melaksanakan ajaran-ajaran tarekat tersebut, beberapa ritualnya
masih dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. 'Ratib
Samman dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas
keberuntungan yangdiperoleh atau karena terjadi penyakit menular
dan malapetaka yang menimpa masyarakat. Ratib samman berisi
bacaan ayat al-Qur'an, doa dan zikir yang disertai dengan gerakan
badan dan kepala menurut tata cara tertentu dan biasanya
dilaksanakan di masjid danberkeliling desa pada malam hari setelah
maghrib pada bulan purnama. Ratib dilaksanakan secara berjamaah
dan dipimpin oleh seseorang yang disebut tuseh. Tuseh membaca
shalawat, al-Fatihah, al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas, beberapa ayat awal
surat al-Baqarah dan tahlil yang diikuti oleh jamaah (Karim et al.
1996: 34).

Kemudian tuseh diam sejenak menarik nafas, mata dipejamkan,


kepala dituri.dukkan hingga dagu mencecah dada, kepala diputar dalam
ke kiri diliukkan ke belakang lalu diputarkan ke kanan hingga kepala
tegak kembali. Gerakan-gerakan itu dibuat berulang-ulang hingga tiga
kali dan pada kali ketiga, tuseh mengeluarkan suara yaitu ucapan
kalimah, la ilaha illallah sambil terus menggoyangkan kepala, irarna .
suaranya perlahan-lahan. Pada putaran ketiga suara tuseh mulai keras
selanjutnya bertambah keras diikuti oleh banyak orang. Setelah selesai
acara di halaman rnesjid kemudian mereka berduyun-duyun pawai
menuju arah ujung kampung ke arah timur, sambil berteriak-teriak
ratib yang diikuti oleh orang kampung serta anak-anak yang turut pula
meramaikan upacara ini. Ketika menyebutkan nama Allah sambil
menggoyang-goyangkan badan mereka menghentak-hentakkan
kakinya ke tanah. Apabila tuseh mengeluarkan suara seperti nada or-
ang membentak, orang rarnai membentak pula, apabila tuseh
mengeluarkan suara sedih, orang rarnai menurut pula. Di tempat yang
dianggap rawan atau angker mereka serentak menyerukan azan.
Apabila sudah sarnpai ke ujung kampung sebelah timur, mereka
balik menuju kampung sebelah barat, kemudian balik lagi menuju
kampung sebelah timur, kemudian balik lagi menuju mesjid, Ratib
Sammanpun berakhir (Karim et al. 1996: 34).

49
, Selain Ratib Samman, pembacaan manaqib Samman pun masih
dilaksanakan baik ketika memperoleh keberuntungan maupun
ketika terhindar dari musibah dan malapetaka. Sebagai ilustrasi, pada
1983 Manaqib Samman dibaca pada acara syukuran atas kelulusan
santri madrasah tsanawiyah Pondok Pesantren AI-Islam Kemuja.
Pembacaan Manaqib tersebut biasanya dikenal dengan sebutan
"Baca Khaul", yakni upacara peringatan kematian.
Tarekat-tarekat lain juga mendapat pengikut di Bangka.
Qadiriyah-Naqsyabandiyah'' pimpinan K.H. Shahibul Wafa Tajul
Arifin yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Anom di Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya memiliki sejumlah pengikut di Bangka.
Demikian juga, akhir-akhir ini beberapa orang menjadi pengikut
Tijaniyah;' di antara mereka ada yang menjadi guru tarekat tersebut
dan berusaha mengajarkannya kepada anggota masyarakat.
Pengaruh tarekat-tarekat ini tidak begitu kuat dalam kehidupan
keagamaan masyarakat Bangka.
Sejalan dengan ajaran-ajaran tasawuf dimaksud, dalam Islam
tradisional di Bangka dikenal dengan ajaran ten tang kewalian yang
erat kaitannya dengan keramat. WaliAllah atau kekasih Allah itu adalah
orang yang senantiasa dekat dengan Allah dan dilimpahkan berbagai
kemuliaan clan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa
yang disebut karamah atau keramat. Keramat itu sendiri terus
diterimanya meskipun seorang wali sudah wafat. Bahkan jasad wali
yang keramat tersebut tetap utuh di alam kubur karena tidak dimakan
oleh semut atau serangga lainnya. Oleh karena itu, penganut Islam
tradisional di Bangka beranggapan bahwa para wali yang keramat

2 Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah oleh


Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w.1875) pada akhir abad XIX. Dia merniliki beberapa murid
yang kemudian melahirkan cabang-cabang tarekat tersebut di Indonesia. Suryalaya mengambil
silsilah dari muridnya Syaikh Thalhah from Cirebon (Zulkifli 2002).
, Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhktar al-Tijani (w. 1815)
dari Aljazair dan pertama kali masuk ke Indonesia, tepatnya di Cirebon pada 1928 (Pijper
1987).

50
tersebut dapat dijadikan wasilah dalam melaksanakan ibadah dan
meminta pertolongan. Hadiah pahala, terutama al-Fatihah, biasa
dikirimkan kepada para wali, di samping kepada Nabi Muhammad
SAW, agar pahala yang berlipat nanti diterima kembali oleh yang
mengirimkan itu. Hadiah pahala juga dikirimkan kepada para arwah
yang sudah meninggal setelah terlebih dahulu dikirim kepada Nabi
SAW dan para wali. Ini juga dilakukan agar pahalanya dapat diterima
secara berlipat ganda karena Nabi SAW dan para wali itu adalah or-
ang-orang yang sangat dekat dengan Allah.

D. Adat
Sistem keyakinan, ibadah, dan tasawuf yang dipahami dan
dipraktikkan kaum tuo di Bangka menyatu dengan adat. Adat sama
dengan tradisi yang telah diwarisi secara turun-temurun. Mernang
terdapat perbedaan antara Islam dan adat tetapi perbedaan tersebut
seringkali sulit untuk diidentifikasi. "There is ageneral tendenry throughout
the Malqyo-Islamic area to see the terms adat and Islam (hukum) as repre-
senting complementary versions of a unitary concept of the right and propel'
(Ellen 1983: 68). Bahkan ciri utama orang Melayu adalah beragama
Islam dan beradat Melayu, selain berbahasa Melayu. K.esatuan Is-
lam dan adat terkandung dalam nilai filosofi "adat bersendi syarak
dan syarak bersendikan kitabullah." Artinya, "adat-istiadat yang
berlaku dalam masyarakat Bangka-Belitung adalah adat dan tradisi
asli Melayu yang serasi dan tidak bertentangan dengan ajaran agama
Islam" (Ishak 2002: 106).
K.etiga komponen Islam tradisional yakni sistem keyakinan,
fiqh, dan tasawuf tersebut dipelajari dan diwarisi dari genera si ke
generasi sehingga telah menjadi bagian dari tradisi itu sendiri.
"Dengan kata lain, Islam telah menjadi suatu tradisi tersendiri yang
secara kukuh tertanam dalam konteks sosio-ekonomi dan politik
selama tujuh abad ... " (Abdullah dan Shiddique 1988: 1). Tradisi
tersebut memiliki kekuatan untuk mempertahankan kesinambung-

51
Q

annya dalam perkembangan masyarakat. Dengan demikian, corak


keagamaan tersebut disebut Islam tradisional.
Sebagaimana masyarakat Muslim pada umumnya, orang
Bangka melaksanakan berbagai perayaan agama berdasarkan
kalender Islam untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi dalam sejarah Islam. Selain dua hari raya yang dirayakan
semua penduduk Muslim, masyarakat tertentu memiliki jenis
perayaan tertentu yang dilaksanakan secara besar-besaran. Di antara
perayaan-perayaan keagamaan terkenal adalah Maulid Nabi" (setiap
12 Rabi' al-Awwal) di Kemuja, Tahun Baru Islam (setiap 1
Muharram) di Kenanga, dan Ruah (setiap 15 Sya'ban) di Tempilang.
Masyarakat desa-desa lain juga memperingatinya walaupun dalam
cara dan kadar yang terbatas. Berbagai perayaan hari-hari besar Is-
lam terse but biasanya dilaksanakan menurut tata cara yang telah
diwarisi secara turun temurun.
Sedekah atau kenduri adalah konsep yang paling umum dipakai
baik untuk perayaan tanda syukur maupun untuk peringatan tanda
duka cita. Geertz menyebutnya slamatan yang "diadakan untuk
memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian
yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan" (1960: 11). Tetapi
sedekah bukan perayaan khas kaum abangan seperti pandangan
Geertz. Sedekah sebagai tanda syukur dilaksanakan untuk
merayakan kelahiran, khitanan, perkawinan, pindah rumah, habis
panen, terhindar dari bahaya, dan sebagainya. Inti dari sedekah
tersebut adalah pembacaan doa dan makan bersama. Sedekah
merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah
melimpahkan rizki dan kasih sayang kepada yang menyelenggarakan
sedekah dan permohonan agar senantiasa diberi keselamatan dan
perlindungan kepada yang melaksanakan sedekah dan semua
anggota masyarakat pada umumnya.

• Menurut Kaptein, di dunia Islam perayaan maulid nabi adalah perayaan terbesar setelah dua
hari raya. Tentang sejarah perayaan maulid nabi lihat Kaptein (1994)

52
Pelaksanaan sedekah di Bangka, khususnya daerah pedesaan,
kadang-kadang dilaksanakan kegiatan nganggung. Setiap bubung
rumah melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa ke masjid, surau
atau temp at berkumpulnya warga kampung. Nganggung adalah
membawa makanan di dalam dulang atau talam yang ditutup tudung
saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama setelah
pelaksanaan ritual agama. Cara membawanya biasanya dengan
meletakkannya di atas telapak tangan dan mengangkat setinggi bahu
atau dengan cara menjunjungnya di atas kepala. Di tempat-tempat
tersebut makanan disajikan untuk dimakan bersama setelah diadakan
pembacaan doa yang dipimpin oleh imam, penghulu atau pemimpin
agama.
Nganggung juga dilakukan dalam rangka tahlilan untuk
memperingati kematian. Tahlilan itu sendiri mencakup baca~n al-
Fatihah, kalimah la ilab ilia Allah, dan doa khusus yang bagi yang
meninggal dan para arwah lainnya. Semuanya dibacakan secara
bersama dan pahalanya dihadiahkan kepada para arwah yang sudah
mendahului mereka. Tahlilan untuk kematian berlangsung pada hari
pertama, ketiga, ketujuh, keduapuluh lima, keempat puluh, keseratus
dan kesetahun. Seringkali tahlilan juga dilaksanakan selama s~tu
minggu setelah hari kematian. Semua ini dilakukan dalam rangka
menghormati dan membantu arwah yang sudah meninggal karena
hanya itulah jalan y.ang bisa dilakukan. Upacara kematian biasanya
juga diakhiri dengan makan bersama.
Masih berkenaan dengan kematian ini, penganut Islam
tradisional di Bangka mengharuskan agar setiap mayit dilaksanakan
talqin di atas kuburnya. Talqin tersebut merupakan "pengajaran"
dan peringatan kepada mayit akan adanya pertanyaan dari dua
malaikat, Munkar dan Nakir, mengenai Tuhan, Nabi, agama, Kitab
Suci, kiblat, dan saudara-saudara. Mayit diharap dapat menjawabnya
dengan jawaban fasih dan keyakinan yang benar. Talqin jua dilakukan
untuk menolong mayit di dalam kubur dan memanjatkan doa

53

L
baginya agar dilimpahkan nikmat selama berada di alam barzah.
"Dan sunnat kemudian daripada selesai menanam dia membaca
talqin jika ada ia aqil baligh atau ada ia gila kemudian daripada aqil
baligh dan jika ada mayit itu syahid sekalipun dan jika ada mayit
kanak-kanak atau gila dahulu daripada balighnya maka tiada sunnat
talqin" (Al-Banjari n.d: 84). Tampaknya persoalan kematian memang
sangat diperhatikan dalam Islam tradisional di Bangka. Semuanya
itu tidak dianggap sebagai bid'ah atau khurafat sebagaimana dituduh
oleh kalangan modernis tetapi dianggap sebagai bagian integral dari
ajaran Islam.
Masih banyak lagi jenis-jenis adat yang sangat kuat dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran Islam. Dalam upacara perkawinan, misalnya,
dilaksanakan khatam al-Qur'an atau disebut betamat. Dalam betamat,
baik mempelai laki-laki maupun perempuan membaca surat-surat
pendek dari al-Qur'an secara bergantian. Orang yang tidak pernah
menamatkan pembacaan al-Qur'an tentu tidak dapat ikut betamat.
Ritual ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting dalam
pendidikan keagamaan di masyarakat karena orang yang tidak
mampu membaca al-Qur'an atau tidak fasih dalam membacanya
akan menanggung malu dan mendapat gunjingan dari masyarakat.
Demikianlah, karakteristik Islam tradisional sebagaimana
dipahami dan dipraktikkan di Bangka. Islam tradisional tersebut
mencakup unsur-unsur sistem keyakinan, ibadah, tasawuf dan adat .
yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan tetapi saling
berkaitan satu sama lain. Dengan berfungsinya seluruh komponen
Islam tradisional sesungguhnya memiliki potensi kesinambungan
di tengah perkembangan dan perubahan masyarakat. Komponen
penting yang perlu dikaji secara lebih mendalam berkaitan dengan
kesinambungan Islam tradisional tersebut adalam lembaga pesantren
dan pengajian yang akan dibahas pada dua bab yang akan datang.O

54
BabIV
PESANTREN DAN ISLAM
TRADISIONAL

A. Karakteristik Pesantren

I stilah Pesantren bagi masyarakat Bangka merupakan istilah asing


dan termasuk relatif baru dikenal secara luas. Istilah tersebut
baru mulai berkembang dalam masyarakat Bangka sekitar 1970-an
ketika banyak para orang tua yang mengirim anak-anaknya untuk
belajar di sebuah pesantren terkenal di Seribandung Kabupaten
Ogan Komering Ilir, yakni Pesantren Nurul Islam. Ketika itu
Pesantren Nurul Islam Seribandung sedang mencapai puncak
kemajuannya dengan jumlah murid ribuan sehingga namanya
semakin dikenal masyarakat di wilayah Sumatera Selatan. Pada
dekade yang sama, juga terdapat sejurnlah santri yang bermukim di
beberapa pesantren di Jawa. Tentu saja, lembaga pendidikan Islam
yang disebut dengan istilah pesantren belum ada sepanjang sejarah
Islam di Bangka.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, dalam waktu
beberapa ab ad pembentukan Islam tradisional di Bangka dilakukan
melalui lembaga pengajian. Baru pada awal abad XX pendidikan
madrasah diperkenalkan yang biasa disebut "sekolah Arab" yang
didirikan di kota-kota seperti di Pangkalpinang dan Muntok. Istilah
ini digunakan untuk membedakan lembaga tersebut dengan sekolah

55
umum atau sekalah rakyat karena ilrnu-ilmu yang dipelajari di
"Sekalah Arab" adalah ilmu-ilmu Agama Islam dan menggunakan
kitab-kitab berbahasa atau bertuliskan huruf Arab. Pengertian istilah
"Sekalah Arab" ini dapat diperhatikan pada uraian Rahim (1998:
175) berikut ini:

Sekolah Arab adalah sekolah yang didirikan oleh orang Arab


untuk mendidik anak-anak mereka. Dalam perkembangannya rnurid-
muridnya tidak terbatas pada orang-orang Arab tapi juga bagi orang
Islam lainnya. Oleh sebab itu sering juga sekolah Arab diidentikkan
dengan sekolah Islam, sehingga dalam masyarakat, sekolah agama
sering disebut sekolah Arab. .

Madrasah-madrasah yang didirikan pada periade awal tersebut


tampaknya sudah tidak ada lagi yang berfungsi pada saat ini. Ada
yang sudah berubah dan menjadi cikal bakal pesantren yang
berkembang hingga saat ini. Paling tidak, itulah yang terjadi dalam
sejarah dua pesantren terkenal dan terbesar di Bangka hingga akhir
abad XX, yaitu Pesantren Nurul Ihsan di Baturusa dan Pesantren
AI Islam di Kemuja. Kedua pesantren ini berawal dari madrasah-
madrasah yang sudah didirikan jauh sebelumnya. Madrasah-
madrasah paling awal didirikan di dua des a ini sekitar tahun 1920-
an. Hanya saja perkembangan madrasah-madrasah terse but
mengalami pasang surut dan bahkan tidak berfungsi lagi. Diceritakan
bahwa pada 1932 di Desa Kemuja didirikan sebuah madrasah
sebagai sarana untuk mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu Agama
Islam. Madrasah tersebut didirikan aleh Haji Abdussamad, Haji
Usman, Haji Adam, dan lain-lain. Pada masa awal berdirinya,
madrasah irii mengasuh sekitar tiga puluh murid dengan
menggunakan sarana dan fasilitas yang sangat sederhana. Sayang
sekali, sekarang ini tidak ditemui lagi murid-rnurid madrasah tersebut
yang masih hidup. Padahal tidak sedikit di antara para murid tersebut
-kemudian melarijutkan srudinya di tanah suci dan kemudian menjadi
ulama berpengaruh di desa tersebut.

56
Sementara di des a Baturusa mungkin sebuah madrasah sudah
berdiri sebelurn berdirinya madrasah di Desa Kemuja, pada dekade
1920-an. Pendiri madrasah tersebut adalah Haji Usman dan salah
seorang muridnya adalah anaknya sendiri yang bdakangan menjadi
ulama terkenal di Baturusa, yakni Haji Muhammad Umar.
Diceritakan bahwa pada sekitar 1930-an telah terdapat dua madrasah
di Baturusa, yakni madrasah yang didirikan oleh ulama dari kalangan
Islam tradisional (kaum tuo) dan madrasah Al-Irsyad yang didirikan
oleh ulama kaum mudo. Kaum mudo itu sendiri masuk ke daerah
Baturusa pada 1928 dan kemudian menimbulkan konflik antara
kedua belah pihak. Akan tetapi, lama kelamaan pengaruh kaum mudo
semakin berkurang sehingga tidak lagi terjadi pertentangan yang
berarti antara keduanya. Pada periode yang sama, di kota-kota dan
desa-desa lain di Bangka mungkin juga telah berdiri madrasah tetapi
tidak diperoleh informasi tentang hal itu. Perkembangan rnadrasah-
madrasah tersebut mengalami pasang surut. Madrasah di Desa
Kemuja itu kemudian tidak berfungsi dalam waktu yang cukup lama.
Bangunan dan fasilitasnya pun tidak dapat bertahan lagi. Madrasah-
madrasah di Baturusa pun mengalami nasib yang sama.
Seiring dengan semangat kemerdekaan dan meningkatnya
perhatian dan kebutuhan akan pengajaranAgama Islam, pada 1952
sebuah madrasah didirikan kembali di Desa Kemuja. Pada tahun
yang sama didirikanlah sebuah gedung bertingkat dua dengan empat
ruang belajar. Madrasah ini kemudian dinamakan Madrasah Al-
Ibtidaiyah Al-Khairiyah yang telah melahirkan tidak sedikit guru
agama dan pejabat agama yang berpengaruh di Bangka. Sejak 1968
madrasah ini mengikuti kurikulum Departemen Agama dengan
memasukkan beberapa mata pdajaran umum.
Di Baturusa juga telah didirikan madrasah yang sederajat. Para
guru agama dan pemuka masyarakat di Kemuja mendirikan
madrasah Tsanawiyah pada 1976 dan madrasah Aliyah pada 1982.
Sementara madrasah Aliyah telah didirikan di Baturusa pada 1981

57
dan ini adalah madrasah Aliyah pertama di Bangka. Di Kotamadya
Pangkalpinang juga didirikan beberapa madrasah negeri termasuk
Pendidikan Guru Agama N egeri (pGAN) sampai kemudian
berubah status menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) pertama
di Bangka.
Deskripsi historis singkat di atas sesungguhnya menunjukkan
bahwa lembaga pesantren seperti di Jawa memang tidak dikenal
sebagai lembaga pendidikan Islam asli masyarakat Bangka. Data
historis menunjukkan bahwa lembaga pesantrentertua di Bangka
adalah Pesantren N urul Ihsan di Baturusa yang didirikan pada 1977.
Adapun yang dianggap sebagai ulama pendiri pesantren ini yang
kemudian dijadikan sebagai kyainya adalah Haji Muhammad Umar
dan Haji Chalid Samid. Sementara Pesantren Al-Islam di Kemuja
baru berdiri pada 1978 dan yang dianggap sebagai ulama pendirinya
adalah Haji Abdussomad dan Haji Ahmad Abu Bakar. Sedang
beberapa pesantren lain yang hingga akhir ab ad XX tidak sebesar
dan sepopuler kedua pesantren tersebut baru berdiri beberapa tahun
kemudian.
Salah satunya adalah Pondok Pesantren Salafi Nurul Muhibbin
yang didirikan oleh Haji Zainawi pada 1999. Sesuai dengan namanya,
pesantren ini adalah pesantren salafi yang semata-mata menyajikan
ilmu-ilrnu agama Islam. Terdapat beberapa perbedaan antara
Pesantren Al-Islam dan Pesantren Salafi Nurul Muhibbin. Berbeda
dengan Al-Islam, Nurul Muhibbin tidak mengajarkan ilmu-ilmu .
umum. Kalau pesantren pertama lahir dan didirikan oleh para pemuka
agama dan pemuka masyarakat secara bersama-sama sehingga ia
menjadi milik bersama yang dikukuhkan dalam bentuk yayasan,
pesantren kedua didirikan atas inisiatif pribadi Haji Zainawi yang
kemudian menjadi pimpinannya sehingga lebih merupakan milik
pribadi daripada kolekti£ Jadi tipe kepemimpinan Pesantren Nurul
Muhibbin cenderung tradisional-kharismatis di mana segala keputusan
berkenaan dengan sistem pengajaran dan kurikulum berada di tangan

58
pendiri, pemilik, dan pimpinannya. Lokasi pesantren dibangun di .
atas lahannya sendiri sementara biaya pembangunan juga dia peroleh
dari para donatur yang berhasil dia kumpulkari dari masyarakat dan
pemerintah daerah. Dalam percakapan sehari-hari pesantren tersebut
sering disebut Pesantren Haji Nawi.
Semua santri di Pesantren Nurul Muhibbin adalah santri
mukim dan kebanyakan berasal dari luar Desa Kemuja. Berbeda
dengan AI-Islam. Pesantren Nurul Muhibbin mengikuti tradisi
pendidikan keagamaan Banjar, Kalimantan Selatan, di mana hampir
semua tenaga pengajarnya berlatarbelakang pendidikan Banjar,
kurikulum yang diterapkan diadopsi dari Banjar, dan kitab-kitab
yang dipakai adalah kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Banjar
dan yang dipakai pesantren-pesantren di sana. Landasan filosofis
pendirian pesantren terakhir ini tampaknya lebih merupakan usaha
menyambung kembali tradisi ulama Banjar yang telah berpengaruh
bat dalam tradisi Islam di Bangka. Bahkan, salah seorang pengajar
di pesantren ini adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Siddik yang
sebelumnya telah menuntut ilmu di Banjar. Sebelumnya, tradisi
ulama Banjar tersebut dipertahankan melalui lembaga pengajian.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nurul Muhibbin
merupakan pesantren yang berasal dari tradisi pengajian.
Yang penting dicatat di sini ialah bahwa asal usullembaga
pesantren di Bangka pada umumnya berawal dari madrasah. Hal
ini membedakan secara kontras dengan pesantren-pesantren di Jawa
berawal dari lembaga-lembaga pengajian. Ada kalanya pendirian
pesantren di Jawa berawal dari kedatangan seorang kyai muda ke
suatu desa yang kemudian didatangi sejumlah santri sehingga lama-
kelamaan menjadi pus at pengajaran dan dakwah Islam. Bisa juga
terjadi sebuah pesantren berdiri berawal dari pembukaan hutan oleh
seorang kyai muda setelah diizinkan gurunya untuk membawa
sejumlah santri dan pesantren baru tersebut menjadi cikal bakal
sebuah des a sebagaimana Pesantren Tebuireng di Jombang. Karena

59
berasal dari madrasah, kultur pesantren tidak berakar kuat dalam
struktur sosial dan kultural masyarakat Bangka sehingga pesantren-
pesantren tersebut tidak mungkin berubah menjadi sebuah
pesantren salafiah seperti di Jawa.
Pendirian kedua lembaga pesantren di Bangka, khususnya AI-
Islam dan Nurul Ihsan, sesungguhnya hanya merupakan
penggabungan dari beberapa madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah,
Tsanawiyah sampai tingkat Aliyah yang menjadi satu kesatuan yang
dikelola oleh suatu badan hukum berbentuk yayasan. Sebagai
tambahan, disajikanlah kurikulum pesantren yang berupa pengajian
kitab-kitab kuning dan beberapa kegiatan seperti muhadharah
(latihan pidato dan ceramah) dan ibadah kemasyarakatan. Kemudian
disediakan juga asrama bagi santri yang berasal dari desa yang jauh
letaknya dari pesantren tersebut. Sementara di Jawa madrasah
merupakan sistem baru di dalam tradisi pesantren. Beberapa
pesantren di Jawa bahkan tetap bertahan dalam bentuknya yang
asli, tanpa menyelenggarakan madrasah, yang dikenal dengan
sebutan pesantren salafiah.
Dengan demikian, karakteristik utama lembaga-lembaga
pesantren di Bangka adalah penggabungan dari sistem madrasah
yang klasikal dan sistem pesantren atau secara lebih spesifik lagi
penggabungan dari kurikulum madrasah dan kurikulum pesantren
khususnya pengajian kitab dan kegiatan ekstra-kurikuler lain.
Bahkan, dalam kenyataan, posisi madrasah tetap dominan
dibandingkan kurikulum pesantren itu sendiri. Seringkali aspek yang
dominan dalam evaluasi tampaknya lebih mementingkan prestasi
santri di madrasah daripada penguasaan kita-kitab yang disajikan
dalam kurikulum pesantren. Adapun madrasah-madrasah yang
dikelola Pesantren Nurul Ihsan adalah Ibtidaiyah, Tsanawawiyah
dan Aliyah. Sedang di Pesantren Al-Islarn Kemuja terdapat Taman
Kanak-kanakAI-Qur'an, Madrasah Ibtidaiyah, Diniyah, Tsanawiyah
dan Aliyah. Oleh karena itu, adalah wajar jika kebanyakan lulusan

60
kedua pesantren ini tidak menjadi ularna berpengaruh atau guru
agama yang disegani di tengah masya.rakat.
Sebagai konsekwensi dari pertumbuhan pesantren yang berasal
dari madrasah, kedudukan kyai yang dulu dijabat oleh ulama senior
tamatan lembaga pengajian kadang-kadang tidak memiliki pengaruh
yang besar'baik di Pesantren Al-Islam maupun di Pesantren Nurul
Ihsan, terutama di kalangan santri madrasah. Sebaliknya, para santri
lebih menghormati guru agama senior di pesantren. Tokoh guru
yang sangat dihormati dan disegani pada santri di Pesantren Kemuja
adalah Ahmad Hijazi dan di Pesantren Baturusa adalah Effendi.
Keduanya alumni Pesantren Nurul Islam Seribandung. Di samping
memiliki tingkat pengetahuan Agama Islam yang tinggi dan
kemampuan didaktik dan metodik yang cukup, keduanya dikenal
sebagai ustadz yang berwibawa dan bijaksana. Sebetulnya para kyai
yang diangkat untuk memimpin baik pesantren di Kemuja maupun
pesantren di Baturusa memiliki pengaruh dan kharisma yang kuat
di kalangan masyarakat. Kondisi tersebut cenderung menyulitkan
posisi kyai itu sendiri. Kurangnya pengaruh kyai di kalangan santri
sesungguhnya tidak karena rendahnya tingkat pengetahuan agama
kyai tersebut tetapi lebih karena rendahnya kemampuan metode
pengajaran dan penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar dalam pembelajaran. Dalarn kenyataan, memang para
ularna di Bangka cenderung menggunakan metode pengajaran yang
bersifat monoton dan biasanya menggunakan bahasa Melayu dialek
Bangka sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran agama. Para
santri cenderung berpendapat bahwa bahasa daerah tersebut tidak
cocok dipakai sebagai bahasa pengantar sehingga seringkali mereka
tampaknya meremehkan pengajian kitab yang dilaksanakan kyainya.
Para ulama di Bangka tampaknya memang lebih cocok dengan
kultur pengajian daripada kultur pesantren.
Dalam perkembangan terakhir, posisi kyai Pesantren AI-Is-
lam dijabat oleh Ahmad Hijazi, yang sebelumnya menjadi seorang

61
guru agama senior dan berpengaruh di pesantren tersebut. Pak
Hijazi ini pertama kali mengajar di Pesantren AI-Islam pada 1983
dan terus dipercayai oleh yayasan dan masyarakat untuk
membimbing santri di dalam pondok. Dia sendiri adalah alumni
pesantren Nurul Islam Seribandung sehingga dia memiliki
kemampuan yang tinggi dalam bidang pengetahuan agama terutama
dalam membaca kitab kuning. Tetapi dia sesungguhnya tidak hanya
dikenal karena pengetahuan agama Islamnya tetapi karena.
keikhlasan, kesabaran dan kearifan dalam mengasuh dan
membimbing santri di pondok tersebut. Bagi santri di pesantren
ini, Ahmad Hijazi dianggap sebagai sosok kyai yang memiliki
kharisma yang tinggi dan berwibawa. Oleh sebab itu, meskipun
berusia relatif masih muda, kyai ini dipandang cakap dalam
menjalankan fungsi tersebut.
Sementara Pesantren N urul Ihsan sedang mengalami berbagai
krisis mulai dari keuangan, santri, dan pimpinan pondok
sebagaimana diungkapkan beberapa guru. Jumlah santri jauh
manurun dibandingkan beberapa tahun sebelumnya sehingga ini
juga membuat berkurangnya penghasilan pesantren. Pimpinan yang
diangkat dipandang tidak cakap dalam menjalankan fungsinya.
Effendi, yang sebelumnya menjadi guru yang paling berpengaruh
dipesantren tersebut, mengundurkan diri dari pesantren karena
menolak kebijakan-kebijakan pesantren. Menurut pengakuannya,
pengunduran dirinya hanya bersifat sementara saja sambil
menunggu saat yang tepat untuk membangun kembali pesantren
sehingga mencapai kemajuan seperti terjadi beberapa tahun
sebelumnya. Dia menegaskan beberapa pengurus dan guru sudah
mendatanginya untuk memintanya kembali dan mengubah arah
kebijakan pesantren. Meskipun sudah mengundurkan diri tetapi
Effendi tinggal di rumah yang berlokasi di lingkungan pesantren
sehingga sesungguhnya dia tetap memiliki pengaruh di pondok
tersebut. Para guru dan santri tetap menganggapnya sebagai bagian

62
dari pesantren sehingga untuk menyelenggarakan beberapa kegiatan
dakwah ke desa-desa cliBangka mereka tetap berkonsultasi kepada
Effencli. Perlu clitegaskan clisini bahwa kyai muda ini menyelesaikan
sarjana muda dalam ilmu agama Islam cli Pesantren Nurul Islam
Seribandung sehinggasoal kualitas keilmuannya tidak clipertanyakan
lagi cli kalangan pesantren tersebut. Ini dilengkapi lagi dengan
kemampuannya dalam mengatasi masalah spiritual dan magis. Dia
adalah seorang guru agama yang berwibawa dan berpengaruh cli
kalangan santri, cli samping tetap mengajar cli beberapa pengajian
cliBangka dan pernah menjacli dosen bahasa Arab cliSekolah Tinggi
Ilmu Agama Islam (STAI) cliSungailiat, Ibukota Kabupaten Bangka,
yang sejak akhir 2004 berubah menjacli Sekolah Tinggi Agama Is-
lam Negeri Syaikh Abdurrahman Sidclik (STAIN SAS) Bangka
Belitung.
Konsekwensi lain dari penclirian pesantren yang berawal dari
.madrasah adalah kepemimpinan pesantren yang cenderung rasional-
demokratis. Kedudukan kyai di pesantren-pesantren tersebut
cliangkat oleh pengurus yayasan dan masyarakat desa setempat hanya
sebagai simbol semata karena setelah stucli-stucli perbanclingan ke
pesantren-pesantren cliJawa, sebuah pesantren harus clipimpin oleh
kyai. Segala keputusan dan kebijakan pesaptren dilakukan secara
musyawarah antara pengurus yayasan. Hal ini juga membedakan
kepemimpinan pesantren cliBangka dengan kedudukan kyai sebagai
pemimpin dan bahkan pemilik pesantren. Arah dan kebijakan
pesantren cli Bangka clitentukan oleh pengurus yayasan dan para
pimpinan madrasah yang ada cli lingkungan pesantren tersebut.
Melalui pola kepemimpinan tersebut pesantren-pesantren tersebut
mampu bertahan hingga sekarang dan dalam batas-batas tertentu
mengembangkan cliri dalam rangka peningkatan kualitasnya.
Seiring dengan kecilnya peranan kyai cli pesantren-pesantren
tersebut, pesantren-pesantren yang mementingkan pola madrasah
bertumpu pada peranan guru-guru, senior maupun yunior, baik

63
guru-guru yang mengajarkan mata pelajaran agama maupun guru-
guru yang mengajarkan mata pelajaran umum. Di Pesantren Al-
Islam terdapat lebih dari lima puluh tenaga pengajar untuk berbagai
tingkatan madrasah dan pengajian kitab. Kebanyakan guru di
madrasah Tsanawiyah dan Aliyah adalah sarjana, terutama sarjana
agama dari perguruan tinggi Agama Islam, kecuali untuk bidang-
bidang tertentu dan pengajian kitab kuning. Terdapat juga beberapa
guru yang memiliki latar belakang pendidikan formal madrasah .
Aliyah ditambah dengan pendidikan agama di pesantren-pesantren
salafiah di Jawa. Untuk bidang-bidang umum, guru-guru memiliki
latar belakang pendidikan di perguruan tinggi umum. Selain diangkat
oleh yayasan, di Pesantren Al-Islarn terdapat beberapa guru negeri
yang diperbantukan oleh Departemen Agama. Demikian juga, di
Pesantren Nurul Ihsan terdapat sarjana-sarjana agama dan umum
dan alumni pesantren terkenal di Jawa yang mengajar dan memimpin
madrasah-madrasah di pesantren dimaksud. Bahkan di pesantren
ini terdapat beberapa alumni Pesantren Nurul Islam Seribandung,
di antaranya adalah Basit, adik kandung dari Ahmad Hijazi di
PesantrenAl-Islam. Apalagi dengan berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah (STIT) yang kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi
Ilmu Agama Islam (STAI) di Baturusa, para guru dapat meneruskan
pendidikannya sampai menjadi sarjana. Dilihat dari latar belakang
pendidikan guru yang bervariasi tersebut, kedua pesantren
dimungkinkan untuk mengadakan berbagai perbaikan dan
peningkatan baik itu dalam bidang kelembagaan maupun dalam
bidang pendidikan dan pengajaran.
Sebagaimana sudah dijelaskan, kurikulum utama pesantren di
Bangka mengikuti kurikulum Departemen Agama, baik pada tingkat
madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, maupun Aliyah. Khusus untuk
Pesantren Al-Islam terdapat Madrasah Diniyah untuk masa belajar
tiga tahun dengan kurikulumnya sendiri. Madrasah Diniyah hanya
mencakup mata pelajaran dalam lingkup ilmu-ilmu Agama Islam,

64
sesuai dengan namanya. Madrasah ini biasanya diperuntukkan bagi
murid-murid Sekolah Dasar (SD) yang ingin menambah
pengetahuan agama. Dengan dernikian, anak-anak di desa ini
biasanya belajar di SD pada pagi hari dan di Madrasah Diniyah
pada sore hari. Waktu belajar untuk madrasah Ibtidaiyah
dilaksanakan pada pagi hari, sama dengan waktu belajar Sekolah
Dasar, di samping pada sore hari-hari tertentu untuk pelajaran
ekstra-kurikuler. Sementara waktu belajar untuk madrasah Diniyah,
Tsanawiyah danAliyah adalah sore hari (antara 13.30 sampai dengan
17.30 WIB). Sedangkan kegiatan belajar-mengajar di madrasah-
madrasah di Pesantren Nurul Ihsan pada umunya diselenggarakan
pada pagi hari, sedang pada sore dan malam hari diselenggarakan
kegiatan ekstra-kurikuler dan pengajian kitab.
Selain kurikulum madrasah, diselenggarakan pengajian kitab

dan kegiatan ekstra-kurikuler lain sebagai ciri khas pesantren yang
bias a disebut kurikulum ·pesantren. Kitab-kitab kuning yang
dipelajari di kedua pesantren ini masih tergolong kitab tingkat rendah
bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang dipelajari di pesantren-
pesantren di Jawa. Bidang ilmu Agama Islam yang dikaji dalam
pengajian kitab kuning tersebut mencakup tafsir, hadits, fiqh, tauhid,
nahwu, sharaf, balaghah, tajwid, dan akhlak. Kitab-kitab kuning
yang dipakai di Pesantren AI-Islam tampaknya lebih bervariasi
daripada di Pesantren Nurul Ihsan. Bahkan sejak Pak Effendi tidak
lagi aktif di Pesantren Nurul Ihsan ini pengajian kitab kuning
semakin jarang diselenggarakan.
Adapun beberapa kitab yang pernah dipakai dalam pengajian
kitab kuning di pesantren ini adalah Path al-Qarib (fiqh),Jawahiral-
Kalamtyah (tauhid), Mukhtashar Ajrumryah (nahwu) dan Tanqih al-
Qawl al-Mughits (hadits) (pulungan et al. 1997: 102). Kitab-kitab
tersebut juga tetap dipakai di Pesantren Al- Islam. Di Pesantren Al-
Islam pengajian kitab dibedakan antara santri tingkatan Tsanawiyah
dan santri tingkatan Aliyah. Adapun secara lengkap kitab-kitab

65
kuning yang digunakan untuk tingkatan madrasah Tsanawiyah
Pesantren Al-Islam adalah sebagai berikut:

Tabel Kitab-kitab untuk Tingkatan Tsanawiyah


Pelajaran Judul Pengarang
Tafsir Tafsir AI-Jalalayn Jalaluddin a~Suyuthi
dan Jalaluddin al-Mahalli
Hadits Hadits al-Arba'in al-Nawawiyah ImamNawawi

Nahwu Matan al-Ajrumiyah Ahmad Zaini Dahlan


Nahwu Mukhtashar Jiddan Ahmad Zaini Dahlan
Shara! Matan al-Bina' Mulla al-Danqan
Shara! al-Amtsilah al- Tashrifiyah Maksum Ali

Fiqh al-Ghayah wa al- Taqrib Abu Suja al-Is!ahani


Tauhid Matan Umm a/-Barahin Muhammad al-Sanusi
Tajwid al- Tajwid al-Wadhih Darul Quthni

Sedang kitab-kitab untuk tingkatan madrasah Aliyah di


Pesantren Al-Islam adalah:

Tabel Kitab-kitab untuk Tingkatan Aliyah


Pelajaran Judul Pengarang
Tafsir Tafsir al-Jalalayn Jalaluddin al-Suyuthi
dan Jalaluddin al-Mahalli
Nahwu al-Kawakib al-Dariyah Muhammad bin Ahmad bin
Abdul Ban'
Nahwu Qawa'id al-Lughah al-'Arabiyah Hafni Nashif
Sharaf al-Kaylani Ali bin Hisyam
Fiqh Fafh al-Qarib Ibn Qasim al-Ghazzi
Tauhid Kifayah al-'Awwam Muhammad a~Fadhdhali
Tajwid Hidayah al-Musfafid Muhammad a~Mahmud
Akhlak Ta'lim al-Mufa'allim Burhan al-Zamuji

Semua kitab kuningyang dipelajari di pesantren tersebut adalah


kitab-kitab yang berbahasa Arab. Kitab-kitab tersebut pada
umumnya ditulis oleh ulama yang berpegang teguh pada tradisi

66
dan diakui oleh ulama ahl al-sunnah wa aljama'ah. Tidak terdapat di
antara kitab-kitab tersebut yang ditulis oleh ulama modernis yang
tidak mengikuti prinsip-prinsip dan tradisi ahl'al-sunnah wa aljama'ah.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa Islam yang dipahami dan
dipraktikkan di pesarttren-pesantren di Bangka adalah Islam yang
mengikuti paham abl-sunnah wa aljama'ah.
Pengajian kitab kuning diajarkan oleh guru-guru yang memiliki
latar belakang Pesantren Nurul Islam Seribandung. Kegiatan
pengajian kitab kuning tersebut pada umumnya diselenggarakan
pada malam hari. Metode yang umum digunakan adalah metode
bandongan, yakni metode di mana seorang guru membacakan dan
menjelaskan isi kitab sedang santri memegang kitabnya masing-
masing, mendengar, dan mencatat keterangan guru baik langsung
pada lembaran kitab itu maupun Rada kertas catatan lain (Prasodjo
et al. 1974: 53). Akan tetapi, dalam pelaksanaannya metode tersebut
dikernbangkan dengan metode lain seperti tanya jawab dimana
seorang guru bertanya kepada para santri baik mengenai cara
membaca maupun ten tang makna kata yang terdapat dalam kitab
atau salah satu atau beberapa santri bertanya kepada guru mengenai
masalah yang tidak dipahaminya. Setelah pembacaan dan penjelasan
guru selesai, biasanya santri disuruh membaca bagian dari kitab
yang baru saja dipelajari secara bergiliran. Dengan metode
pembelajaran seperti itu guru dapat mengetahui apakah pada santri
sudah dapat membaca kitab dan memahami kandungannya.
Selain pengajian kitab kuning, pesantren-pesantren di Bangka
menyelenggarakan berbagai kegiatan ekstra-kurikuler, Kegiatan
ekstra-kurikuler dimaksud meliputi mengaji al-Qur'an, muhadharah
(latihan pidato dan ceramah), pembacaan Barzanji, praktik ibadah
kemasyarakatan, olahraga, seni qasidah, keterampilan dan
kepramukaan yang pada umumnya dilaksanakan pada malam hari
atau Minggu. Selain membaca al-Qur'an, muhadharah merupakan
kegiatan ekstra-kurikuler yang secara rutin dilaksanakan. Kadang-

67
kadang para santri diajak untuk mengadakan kegiatan tabligh di
desa-desa dengan menampilkan qari' atau qari'ah dan penceramah
yang terbaik dari kalangan mereka. Hal ini dilakukan tidak hanya
sebagai sarana latihan bagi santri tetapi juga untuk melakukan
kegiatan dakwah Islam dan sekaligus untuk menumbuhkan dan
meningkatkan minat para orang tua untuk memasukkan anaknya
ke pesantren tersebut. Pembacaan Barzanji, wirid, doa, pengurusan
jenazah, dan berbagai ibadah kemasyarakatan lain juga sangat
penting sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bangka yang
cenderung mempertahankan tradisi-tradisi tersebut.
Baik di Pesantren AI-Islam maupun di Pesantren Nurul Ihsan
santri terbagi kepada dua macam, yakni santri mukim dan santri kalong,
karena tidak ada peraturan yang mengharuskan seluruh santri untuk
menetap di asrama. Akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah
santri kalong. S antri mukim adalah santri yang tinggal di asrama
pesantren tersebut. Kebutuhan santri mukim yang mencakup
konsumsi dan akomodasi biasanya diatur dan dikelola oleh pondok.
Mereka diharuskan membayar biaya konsumsi dan akomodasi
tersebut kepada pengelola sesuai dengan jumlah yang sudah
ditetapkan. Kegiatan mereka selama sehari dan semalam sudah
diatur sesuai dengan peraturan pondok maisng-masing. Mereka
hanya boleh meninggalkan asrama bila telah mendapat izin dari
pimpinan asrama atau kyai pesantren. Adapun santri kalong yang
kebanyakan adalah penduduk desa pesantren itu sendiri datang ke .
pesantren hanya untuk mengikuti kegiatan belajar di madrasah,
pangajian kitab atau kegiatan ekstra-kurikuler saja dan setelah itu
kembali ke rumah orang tuanya masing-masing .. Dewasa ini,
tampaknya terdapat kecendrungan bahwa jumlah santri yang berasal
dari desa pesantren tersebut semakin menurun bila dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya.
Dengan ijazah madrasah yang diakui pemerintah, tidak sedikit
para alumni pesantren-pesantren di Bangka yang meneruskan studinya

68-
di madrasah-madrasah negeri, sekolah-sekolah umum dan perguruan
tinggi baik perguruan tinggi Islam m.aupun perguruan tinggi umum.
Tidak sedikit alumni pesantren-pesantren tersebut mengajar agama
di madrasah dan sekolah-sekolah di Bangka dan melaksanakan
kegiatan dakwah Islam di daerahnya masing-masing. Bahkan, telah
banyak para sarjana baik umum maupun agarna berasal dari kedua
pesantren besar di Bangka tersebut. Sebagian mereka telah kembali
ke almamaternya untuk mengabdi dengan ilmu yang telah dimilikinya.
Sebagiannya lagi menetap di berbagai daerah dengan berbagai macam
profesi yang digelutinya. Ini menunjukkan bahwa, terlepas dari sistem
yang dipakai dengan kelebihan dan kelemahannya, kehadiran
pesantren sangat dibutuhkan masyarakat Bangka khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.

B. Pesantren dan Pemeliharaan Islam Tradisional


Pihak pimpinan, gur'u dan santri di -pesantren di Bangka
senantiasa berusaha mempertahankan dan memelihara Islam
tradisional atau yang dikenalnya sebagai ab! a/ sunnah wa a/jama'ah.
Bahkan hal ini dirumuskan dalam tujuan pesantren di Bangka
sebagaimana ditunjukkan dalam rumusan tujuan pendidikan
Pesantren Al-Islam Kemuja, yakni "tarbfyah al-insan sha/ihin 'ala thariqah
abl al-sunnah wa a/jama 'ab atau mendidik insan shalih yang berwawasan
ab! al-sunnah wa .al-jama'ab. Pesantren Nurul Ihsan juga berusaha
mempertahankan Islam tradisional meskipun tujuan pendidikan
pesantrennya dirumuskan secara lebih umum, yakni mendidik generasi
penerus agar menjadi ins an yang berilmu, bertaqwa kepada Allah
dan berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Adanya tujuan yang
dirumuskan secara jelas tersebut merupakan lendasan penting dalam
rangka menyusun rencana dan melaksanakan program kegiatan
pesantren. Dengan mengacu kepada konsep abl al-sunnab wa a/jama'ah
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di pesantren di Bangka
mengacu kepada norma tersebut.

69
Kurikulum madrasah yang dirumuskan oleh Departemen
Agama sesungguhnya, dalam batas-batas tertentu, mengikuti
prinsip-prinsip ajaran abl al-sunnah wa al-jama'ab. Hal ini tampak dari
kandungan buku-buku pelajaran yang digunakan di madrasah
tersebut. Akan tetapi, pihak pesantren tidak merasa puas dengan
hanya mengajarkan dan mendidik para santri dengan materi yang
ada dalam kurikulum madrasah. Meskipun secara kuantitatif lebih
sedikit daripada kurikulum madrasah, pengajian kitab dan kegiatan
ekstra kurikuler terutama kegiatan praktik ibadah kemasyarakatan
dan Barzanji dipandang sebagai usaha untuk mempertahankan dan
memelihata tradisi abl al sunnab wa al-jama'ab atau Islam tradisional
pada umumnya. Sebagaimana sudah dijelaskan, kitab-kitab yang
dipakai sebagai kurikulum pesantren adalah kitab-kitab yang secara
ketat mengikuti ajaran-ajaran Islam tradisional seperti kitab fiqh
yang ditulis oleh ulama-ulama Syafi'iyah dan kitab tauhid oleh ulama-
ulama Asy'ariyah. Kitab-kitab fiqh tersebut, pada umumnya,
mengajarkan agar para santri melaksanakan ibadah secara teliti dan
hati-hati dengan tidak hanya melaksanakan amalan-amalan wajib-
wajib saja tetapi seluruh atau sebagian besar dari amalan-amalan
sunnat. Sementara kitab-kitab tauhid, pada intinya, mengajarkan
agar santri dapat mencapai tingkat tertinggi serta terhindar dari
berbagai bentuk syirikjali dan khcgi. Kemudian, keduanya (tauhid
dan fiqh) menyatu dengan ajaran-ajaran kesempurnaan dalam
bentuk akhlak dan tasawuf. Semuanya merupakan inti dari Islam
tradisional.
Apalagi berbagai kegiatan praktik ibadah kemasyarakatan
mencakup doa, pengurusan jenazah, tahlilan dan ma'a.ryira/khutbah
Jumat yang semuanya merupakan usaha pemeliharaan
kesinambungan Islam tradisional. Di samping itu, dalam waktu-
waktu tertentu para guru dan santri menyelenggarakan dakwah dan
tabligh ke desa-desa guna meningkatkan pengetahuan agama
masyarakat. Kalau kegiatan yang bersifat intern merupakan

70
pelaksanaan fungsi pendidikan dan pengajaran lembaga pesantren,
kegiatan dakwah dan tabligh merupakan pelaksanaan fungsi
pesantern sebagai lembaga dakwah. Dengan demikian, usaha-usaha
pencapaian tujuan pendidikan pesantren merupakan usaha langsung
untuk memelihara Islam tradisional di Bangka.
Dalam pembicaraan sehari-hari sering terdengar mengenai
pentingnya mengikuti ajaran abl al-sunnab wa aljama'ah sebagai satu-
satunya aliran yang benar dari tujuh puluh tiga aliran yang berkembang
dalam sejarah dan perkembangan masyarakat Muslim. Bahkan, istilah
tersebut seringkali digunakan dalam pengertian yang lebih sempit,
yakni sebagai lawan dari pemahaman Islam modern atau yang mereka
sebut dengan istilah kaum baru. Pesantren-pesantren di Bangka secara
tegas menolak pemahaman dan praktik Islam modern yang dianggap
sebagai penyimpangan dari ajaran"Islam yang benar dan, oleh sebab
. itu, mereka ya.ng menganutnya dipandang sesat. Berbagai tindakan
yang secara nyata dapat dianggap kaum baru itu adalah tidak
menggunakan kopiah dalam shalat, meninggalkan qunut dalam shalat
shubuh, melaksanakan shalat tarawih delapan rakaat pada bulan
Ramadhan, menolak talqin atas mayit, tahlilan, upacara sedekah
kematian, dan sebagainya. Oleh karena itu, ~erbagai kegiatan ektra-
kurikuler diselenggarakan agar para santri tidak mengikuti pemahaman
dan praktik Islam modern.
Pihak pesantren biasanya sangat hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap tradisi abl al-sunnah
wa aljama'ah. Setiap isu penyimpangan yang muncul baik di Bangka
maupun di daerah lain dengan cepat diteliti dan didiskusikan. Kyai
dan para guru berkumpul untuk membahas dan mencari
penyelesaian mengenai persoalan dimaksud. Diskusi-diskusi agama
tersebut biasanya disebut bahts al-masa'il.' Ini dilakukan agar
1 Babts al-Matsa 'il (bahtsul masail) adalah tradisi musyawarah dan diskusi di kalangan pesantren
yang melibatkan kyai dan santri senior dalam rangka membahas masalah-masalah sosial dan
keagamaan yang berkembang di masyarakat dan hasilnya disosialisasikan kepada masyarakat
(Moesa 2007: 126-127).

71
penyimpangan dan isu-isu yang menyesatkan tidak masuk ke
pesantren, tidak diikuti oleh para santri dan tidak berkembang luas
di masyarakat karena fungsi pesantren itu meliputi fungsi internal
(ke dalam) dan fungsi eksternal (keluar), yakni masyarakat. Kitab-
kitab senantiasa dijadikan rujukan dalam proses pemecahan masalah
tersebut, selain penerapan kaidah-kaidah ilmu bahasa Arab dan ushul
fiqh yang relevan dengan masalah yang dibahas.
Sebagai upaya untuk menjaga kesinambungan Islam tradisional
tersebut pihak pesantren biasanya menyeleksi secara ketat guru-
guru yang akan mengajar di sana. Ijazah saja tampaknya tidak
menjadi satu-satunya standar yang digunakan dalam penerimaan
tetapi aspek kualitas dan kepribadian manjadi lebih penting. Bahkan
kadang-kadang kepribadian dan kepatuhan kepada tradisi pesantren
lebih penting daripada pengetahuan dan kemampuan akademis
seseorang. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa terjadinya
pemecatan terhadap guru yang dianggap menentang kebijakan
pimpinan pesantren. Kegiatan dan perilaku para guru selalu
mendapat perhatian karena mereka dijadikan suri tauladan bagi
santri. Kewibawaan dan kepribadian kyai atau guru tersebut akan
sangat menentukan kepatuhan santri kepada aturan-aturan yang
digariskan dan diterapkan pesantren.
Dalam masyarakat Bangka Islam tradisional sudah berakar kuat
sepanjang sejarah. Berbagai jalur seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya secara bersatu telah menjadikan Islam tradisional dianut
secara kuat oleh masyarakat Bangka. Bahkan dapat dikatakan bahwa
tanpa menafikan adanya penganut Islam modern di perkotaan. Is-
lam tradisional telah menyatu dengan kultur masyarakat Bangka.
Oleh karena itu, kehadiran pesantren-pesantren di Bangka
merupakan upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Kehadiran pesantren diharapkan dapat
mentransmisi norma-norma yang dipegang masyarakat dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Sebagian norma tersebut tercakup

72
clalam Islam traclisional. Hal ini terungkap, misalnya, clari keinginan .
para orang tua untuk memilih menyerahkan anaknya untuk dididik
cliPesantren Al-Islam Kemuja karena jika pesantren tersebut ticlak
memiliki kualitas clalam pengetahuan agama niscaya mereka lebih
memilih sekolah-sekolah umum atau maclrasah negeri cli kota.
Harapan masyarakat Bangka tersebut sesungguhnya juga merupakan
cita-cita clan harapan pesantren-pesantren cli sana sebagaimana
tercantum clalam tujuan pencliclikan pesantren. Aclanya kesatuan
cita-cita clan harapan merupakan kekuatan yang potensial clalam
mempertahankan clan memelihara kelestarian Islam traclisional.
Pemeliharaan Islam traclisional di Bangka tersebut, pacla
gilirannya, terlaksana ketika para alumni pesantren kembali ke tengah-
tengah masyarakat. Apapun profesinya, nilai-nilai yang suclah
clitanamkan cli pesantren tetap akan clijadikan acuan clalam berpikir
clanberperilaku. Di samping itu, ticlakseclikitcliantara mereka menjacli
guru agama clidesanya sencliri atau cli clesa-desa lain yang menjacli
rujukan clan panutan dari masyarakat. Bahkan ada juga cli antara
mereka yang menclirikan madrasah cli desa-desa lain yang belum
memiliki lembaga serupa. Meskipun jumlahnya mungkin ticlakbanyak,
usaha perorangan ini tetap memelihara kesinambungan tradisi yang
clipegang para guru clan kyai cli pesantren. Selain itu, terclapat juga
usaha kerjasama antara dua masyarakat clesa atau lebih sebagaimana
terjacliantara pihak Pesantren Al-Islam Kemuja clanmasyarakat Desa
Pelangas. Pihak pesantren telah mengirimkan beberapa alumninya
untuk mengajar cli sebuah pesantren yang belum lama cliclirikancli
clesa tersebut clan resiko pembiayaan tetap clibebankan kepacla
Pesantren Al-Islam. Hubungan antara pesantren pun terwujucl melalui
kegiatan kunjungan stucli clan silaturrahmi. Ini merupakan jaringan
pesantren yang memiliki kekuatan vital clalam penyebaran clan
pemeliharaan Islam traclisional.
Para guru clan kyai pesantren ticlak hanya memfokuskan
kegiatan pengajaran clan pencliclikan santri clipesantren tetapi juga

73
berpartisipasi dalam kegiatan dakwah Islam di masyarakat, baik
masyarakat des a pesantren maupun masyarakat desa lain. Pada
umumnya, mereka secara pribadi maupun secara kelembagaan
dibutuhkan masyarakat baik sebagai guru dan pemimpin ibadah
maupun sebagai ahli agama yang dapat memecahkan persoalan-
persoalan keagamaan. Bahkan guru dan kyai pesantren kadang-
kadang diminta oleh pihak pemerintah daerah untuk berpartisipasi
dalam pertemuan dan kegiatan-kegiatan tertentu yang pada
gilirannya diharapkan dapat mensosialisasikan program-program
dan kebijakan-kebijakan pemerintah dimaksud. Hubungan dan
kerjasama tersebut ten tu bersifat mutualistik. Pihak pemerintah dan
masyarakat, pada satu sisi, tentu mendapat keuntungan dari kegiatan
dan usaha yang dilaksanakan pihak pesantren tetapi, pada sisi lain,
guru dan kyai dapat menyebarluaskan prinsip dan ajaran Islam dalam
kaitannya dengan kebijakan pemerintah dan perkembangan
masyarakat. Bagi pesantren, hal ini merupakan pelaksanaan
fungsinya sebagai lembaga sosial kemasyarakatan.
Kekuatan pesantren tentu saja terletak pada integrasi antara
berbagai komponen baik pengurus, kyai, guru, santri, kurikulum,
maupun sarana dan fasilitas sebagai suatu sistem. Dalam kenyataan,
ketika terjadi ketimpangan atau kemacetan pada salah satu atau
beberapa komponen tersebut keutuhan pesantren menjadi
terancam. Gejala ini muncul akhir-akhir ini di Pesantren Nurul Ihsan
sehingga tampak pesantren tersebut mengalami kernerosotan
dibadingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini juga tampaknya berakibat
pada penurunan kuantitas dan kualitas pelaksanaan kegiatan
pengajian kitab kuning dan kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler.
Sebaliknya, di Pesantren Al-Islam keseluruhan komponen sistem
pesantren pada umumnya berjalan cukup baik sehingga seluruh
kegiatan pendidikan dan pengajaran dan kegiatan sosial keagamaan
tampaknya dapat berjalan lancar meskipun tetap mengalami pasang-
surut.

74
Kesinambungan pesantren dan Islam tradisional itu sendiri
akan terwujud apabila disertai de,ngan usaha-usaha adaptasi dari
pihak pesantren. Meskipun pesantren-pesantren tetap berpegang
teguh pada tradisi ahl al-sunnab wa aljama'ah, ini tidak berarti bahwa
pihak pesantren sarna sekali menolak setiap perubahan. Pihak
pesantren tetap berpendirian bahwa mereka memelihara tradisi lama
yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Ini sesuai
dengan prinsip terkenal yang dipegang Islam tradisional, yakni al-
muhcifazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu 'ala al-jadid al-asblab.
Akan tetapi perubahan-perubahan dalam aspek ajaran Islam
tradisional tidak pernah dibenarkan kecuali persoalan-persoalan yang
tidak mendasar tetapi telah dipahami dan dipraktikkan secara salah.
Pimpinan dan guru-guru di Pesantren Al-Islam, misalnya, telah
berusaha memperbaiki beberapa bacaan shalawat dan, doa yang
dipandang keliru.
Usaha-usaha perubahan pada umumnya menyangkut
perbaikan dan peningkatan kegiatan pembelajaran, pembinaan
santri, penerapan aturan dan sanksi terhadap santri, kegiatan
pengembangan pesantren, kegiatan ketrampilan dan lain-lain. Para
pimpinan seringkali meminta pendapat dan saran yang kostruktif
demi perbaikan dan peningkatan kualitas pesantren. Kegiatan diskusi
dan seminar sudah mulai dilaksanakan di pesantren dalam rangka
mernecahkan- dan mencari solusi terhadap permasalahan-
permasalahan yang berkembang baik di dalam pesantren maupun
di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu, pimpinan pesantren
senantiasa memperhatikan perkembangan pendidikan dan pesantren
secara umum sehingga setiap kegiatan latihan, kursus atau
pertemuan-pertemuan harus selalu diikuti agar perkembangan
pesantren tidak mengalami kemunduran dan ketertinggalan.
Demikianlah, pesantren sebagai suatu sistem memiliki peranan
yang penting dalam pemeliharaan Islam tradisional di Bangka.
Dalam batas-batas tertentu, pesantren-pesantren di Bangka memiliki

75
cita-cita dan harapan yang kuat untuk memelihara Islam tradisional
dan cita-cita tersebut juga menjadi cita-cita masyarakat pada
umumnya sehingga ia menjadi kekuatan laten bagi kesinambungan
corak Islam tersebut. Hal ini tentu saja dilengkapi dengan adanya
integrasi antara berbagai komponen yang ada dalam pesantren dan
integrasinya dengan masyarakat serta adanya usaha penyesuaian
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sekarang. Dengan
demikian, pesantren baik sebagai lembaga pendidikan dan.
pengajaran, lembaga dakwah maupun sebagai lembaga sosial
kemasyarakatan dapat terus memelihara dan menyebarluaskan Is-
lam tradisional pada masyarakat Bangka.D

76
BabV
PENGAJIAN DAN ISLAM
TRADISIONAL

A. Karakteristik Pengajian

D alam bab terdahulu sudah dijelaskan bahwa p.engajian


merupakan lembaga pentlidikan Islam tertua di Bangka.
Melalui lembaga inilah Islam tradisional dibentuk dan kemudian
dipertahankan dalam masyarakat Bangka sepanjang sejarah. Oleh
karena itu, kultur pengajian berakar sangat kuat dalam kehidupan
sosio-religius masyarakat Bangka. Lembaga pengajian itu sendiri
sesungguhnya adalah lembaga pendidikan Islam yang bersifat non-
formal sebagaimana lembaga pendidikan pesantren 'dalam
bentuknya yang asli dalam masyarakat Jawa. Lembaga pengajian
telah memainkan peranan besar dalam proses pengajaran dan
dakwah Islam di Bangka sebelum maupun sesudah berdirinya
madrasah dan pesantren.
Terdapat empat jenis lembaga pengajian di Bangka, yakni
pengajian al-Qur'an, pengajian umum, pengajian kitab, dan netar
batu. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dalam aspek-
aspek tertentu. Di antara keempat jenis lembaga pengajian tersebut,
pengajian umum adalah yang paling banyak jumlahnya dan yang
paling langka adalah near batu. Dari segi jumlah peserta, pada
umumnya yang paling banyak adalah pengajian umum sementara
yang paling sedikit adalah netar batu. Penting ditekankan bahwa

77
pengajian al-Qur'an adalah merupakan lembaga pendidikan Islam
paling elementer pada masa lalu. Jenis-jenis lembaga pengajian
tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut ini:

Bagan Lembaga-Iembaga Pengajian


Pengajian Kitab

Pengajian al-Qur'an

Pengajian aI-Qur'an diberikan kepada anak-anak. la


dilaksanakan agar anak-anak dapat membaca al-Qur'an dengan baik
dan fasih. Kemampuan membaca al-Qur'an sangat esensial bagi
seorang Muslim karena beberapa alas an. Pertama, dalam rangka
melaksanakan berbagai bentuk ibadah kepada Allah yang di
dalamnya terdapat kewajiban membaca ayat-ayat suci aI-Qur'an;
kedua, membaca al-Qur'an itu sendiri merupakan ibadah; ketiga,
norma dalam masyarakat yang mengharuskan agar setiap orang
dapat membaca al-Qur'an dengan baik dan ketidakmampuan dalam
membaca al-Qur'an adalah negatif; apalagi terdapat tradisi betamat
bagi mempelai laki-laki dan perempuan dalam upacara perkawinan
di Bangka sebagaimana telah dijelaskan pada bab ketiga.
Pengajian al-Qur'an biasanya diselenggarakan di masjid, surau
atau rumah guru ngaji pada sore atau malam hari. Guru ngaji ini
pada umumnya tidak termasuk ke dalam kategori ulama yang .
memiliki pengetahuan agama Islam yang luas. Yang diperlukan untuk
menjadi guru ngaji adalah kefasihan dalam membaca al-Qur'an dan
pengetahuan ilmu tajwid, di samping pengetahuan dasar mengenai
tat cara ibadah seperti wudhu dan shalat. Selain al-Qur'an, materi
ten tang tata cara dan latihan wudhu dan sembahyang juga diajarkan
pada pengajian al-Qur'an.
Ada dua macam pengajian al-Qur'an. Pada tingkat permulaan,
pengajian al-Qur'an biasanya menggunakan metode baghdadiyah
yang disebut dengan pengajian muqaddam (disingkat dengan ngqji

78
--
kadam) yang berisi nama-nama huruf hijaiyah (huruf al-Qur'an)
dan variasi bentuknya, tata cara membaca, dan surat-surat dalam
juz 'Amma (juz ketiga puluh dari al-Qur'an). Tetapi penting dicatat
bahwa jumlah pengajian dengan metode baghdadiyah ini semakin
berkurang seiring dengan semakin populernya metode iqra' dan
perkembangan TPA/TKA (Taman PendidikanAl-Qur'an/Taman
Kanak- Kanak Al-Qur' an). Setelah anak -anak dapat mengenal huruf-
huruf dan tata cara membaca, baru kemudian dilanjutkan dengan
membaca kitab al-Qur'an. Kemudian anak-anak belajar membaca
ayat-ayat al-Qur'an mulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah hingga
tamat (surat al-Nas) atau khatam. Setiap orang harus dapat
menamatkan al-Qur'an sebanyak tiga puluh juz tersebut. Setelah
tamat, biasanya diulang lagi dari surat pertama hingga tamat untuk
kedua kalinya, dan begitulah seterus.nya. Kedua, ada jenis pengajian
al-Qur'an khusus yang memberikan pengetahuan dan latihan kepada
. peserta dalam hal berbagai. jenis lagu dalam membaca al-Qur'an.
Tujuannya adalah agar peserta dapat mengaji al-Qur' an dengan fasih
dan suara merdu. Biasanya, dari kelompok pengajian ini muncul
qari' dan qari'ah yang ikut serta dalam Musabaqah Tilawatil Qur'an
(MTQ) dalam berbagai tingkatan.
Adapun pengajian umum diberikan kepada orang dewasa, baik
laki-laki maupun perempuan. K.itab yang dipakai adalah kitab-kitab
Melayu yang rnengkaji dasar-dasar fiqh, teologi, akhlak atau tasawuf
Dari segi peserta, pengajian jenis ini adalah pengajian terbesar di
Bangka. Peserta kadang-kadang tidak terbatas dari penduduk suatu
desa saja tetapi dari desa-desa sekitar. Kadang-kadang, khususnya
di kota, pengajian umum dilembagakan dalam bentuk majlis taklim.
Pengajian kitab adalah tingkat tertinggi. Pengajian kitab diikuti
oleh beberapa peserta saja dan jumlah pengajian ini sangat terbatas.
Khususnya pengajian kitab Arab yang jumlah pesertanya sedikit
biasanya dilakukan di rumah kediaman sang guru. Guru yang
mengajar kelompok ini tentu saja adalah guru yang sudah mencapai

79
tingkat ulama yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Pesertanya
adalah juga mereka yang telah bertahun-tahun mengikuti kegiatan
pengajian umum sehingga tidak heran kalau kebanyakan peserta
pangajian kitab Arab ini kemudian menjadi guru. Kitab-kitab yang
umum dipelajari mencakup bidang tauhid, fiqh, nahwu, sharaf, tafsir
dan lain-lain. Pengajian kitab Arab ini pun diberikan mulai dari
kitab-kitab yang paling mudah sampai kitab-kitab yang paling sulit
dalam bidang ilmu tersebut. Dalam bidang Nahwu, misalnya, kitab .
pertama yang dibacakan adalah Matan Ajrumfyah yang dilanjutkan
dengan Muhktashar Jiddan dan kemudian Kawakib AI-Dariyah. Bagi
masyarakat Bangka pada umumnya, penguasaan kitab Kawakib ini
merupakan prestasi yang tinggi dalam ilmu nahwu. Kitab-kitab fiqh,
tauhid, dan tafsir yang dipelajari di pengajian sama dengan kitab-
kitab yang dipelajari di pengajian kitab pesantren. Tampaknya, dari
segi jenis dan tingkat kesulitannya, kitab-kitab yang dipelajari pada
pengajian ini menyerupai kitab-kitab yang dipelajari di pengajian
kitab di pesantren, khususnya Pesantren Al-Islarn Kemuja.
Masih terdapat satu jenis pengajian lagi yang dikenal dengan
sebutan netar batu (dalam Bahasa Indonesia berarti 'menyusun batu'),
yakni pengajian bidang teologi atau ilmu Sifat Dua Puluh yang
menggunakan batu sebagai medianya yang mana batu disusun satu
persatu dan ketika menyusunnya seseorang melafalkan butir-butir
sifat-sifat Allah dan rasul-Nya dan kesemuanya membentuk satu
kesatuan sistem teologi Islam yang telah digariskan oleh Abu al-
Hasan al-Asy'ari dan Abu al-Mansur al-Maturidi. Konon metode
pengajian yang unik ini pertama kali diperkenalkan oleh Syaikh
Abdurrahman Siddik. Dalam jenis pengajian ini, tidak ada kitab
yang dipakai tetapi berdasarkan hapalan seorang guru, yang juga
telah menguasai kitab. Dengan demikian, pengajian ini tampaknya
sangat berguna bagi murid-rnurid yang tidak dapat membaca huruf-
huruf Arab. Ukuran keberhasilan mood dalam pengajian ini adalah
kemampuannya menjelaskan sifat-sifat Tuhan dan dalil-dalilnya

80
••••

sambil menyusun batu-batu tersebut sesuai dengan penjelasan guru.


Aspek evaluasinya lebih tampak karena pengajian ini bersifat indi-
vidual, sebagaimana pengajian al-Qur'an, Jumlah guru yang dapat
mengajar dalam pengajian ini sangat terbatas.
Secara kelembagaan, penyelenggaraan pengajian umum dan
pengajian kitab di Bangka melibatkan, paling tidak, empat elemen
dasar, yakni guru, murid, materi pengajaran (kitab kuning), dan
temp at pengajaran. Keempat elemen tersebut merupakan satu
kesatuan sehingga membentuk suatu sistem yang utuh yang dapat
disebut sistem pengajian. Guru sebagai elemen pertama menyerupai
kedudukan kyai di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam masyarakat
Bangka, guru yang mengajar di pengajian dipanggil dengan sebutan
Guru atau Tuan Guru. Dulu, sebutan "syekh" masih sering dipakai
khususnya untuk menyebut guru-guru yang pernah mengenyam

pendidikan di tanah suci. Sebutan kyai jarang digunakan sehingga
.terasa asing bagi masyarakat umum meskipun dalam bahasa yang
lebih formal sebutan kyai mulai digunakan, terutama di kalangan
masyarakat berpendidikan.
Sejak akhir abad XIX dan awal abad XX kebanyakan guru
yang mengajar di pengajian di Bangka adalah mereka yang telah
menyelesaikan pendidikannya di tanah- suci. Dalam bahasa
masyarakat Bangka, kegiatan menetap selama beberapa tahun untuk
menuntut Ilmu Agama Islam, selain menunaikan ibadah haji disebut
naon yang berasal dari kata menabun, yakni menetap selama bertahun-
tahun di tanah suci. Kadang-kadang disebut juga dengan istilah
muqim dan orangnya disebut muqimin. Kebanyakan yang menabun
itu kembali ke daerahnya masing-masing dan menjadi guru di
pengajian-pengajian sehingga kemudian di panggil guru. Tampaknya
semakin lama seorang guru menabun di tanah suci semakin tinggi
dan luas ilmu-ilmu Agama Islam yang dimilikinya dan oleh sebab
itu semakin dihormati oleh masyarakat. Dalam realitas-historis
memang kebanyakan ulama terkenal di Bangka menuntut ilmu di

81
tanah suci lebih dari sepuluh tahun. Di Bangka daerah-daerah di
mana terdapat banyak ulama yang menahun di tanah suci adalah
daerah Bangka bagian Tengah. Yang terpenting adalah Desa Kemuja.
Selain itu, Desa Payabenua yang tidak jauh letaknya dari Kemuja
dan Desa Baturusa juga terdapat beberapa ulama terkenal yang
menahun di Mekkah. Ularna-ulama tersebut adalah murid dari atau
genera si sesudah Syaikh Abdurrahman Siddik Al-Banjari dan
melanjutkan tradisi Islam yang telah dibangun dan dikembangkan
Tuan Guru. Popularitas mereka tentu saja tidak menyamai Tuan
Guru tersebut. Terdapat kecenderungan bahwa desa-desa yang
terkenal memiliki banyak ulama tersebut terkenal juga sebagai
tempat rumbuh suburnya lembaga-lembaga pengajian.
Pada masa sekarang, yang menjadi guru di pengajian tidak lagi
didominasi oleh para muqimin. Jurnlah mereka yang aktif mengajar
di pengajian hampir tidak dijumpai lagi. Kebanyakan mereka telah
wafat atau sudah berusia lanjut sehingga tidak mampu lagi
melaksanakan tugas-tugas tersebut. Tetapi terdapat kecenderungan
bahwa kebanyakan guru yang mengajar di pengajian Bangka
sekarang ini adalah murid-murid pengajian yang diselenggarakan
oleh para muqimin sebelumnya. Yang menarik untuk dicatat di sini
adalah kebanyakan guru tersebut tidak memiliki latar belakang
pendidikan formal yang memadai. Tampaknya pendidikan formal
tersebut tidak dibutuhkan untuk menjadi guru di pengajian tetapi,
yang penting, mereka memiliki pengetahuan agama yang cukup.
Beberapa dari mereka bahkan tidak menamatkan Sekolah Dasar.
Guru Munzal dari Desa Payabenua adalah guru yang paling
aktif mengajar di pengajian-pengajian sekarang ini. Pengajian yang
diselenggarakannya tidak hanya terdapat di desanya sendiri tetapi
juga di beberapa desa dan bahkan di kota di Bangka. Guru Munzal
tidak memiliki latar belakang pendidikan formal yang cukup baik
untuk pengetahuan umum maupun agama. Pengetahuan agama
diperolehnya melalui pengajian baik kepada orang tuannya sendiri

82
maupun kepada guru-guru yang lain. Tetapi yang lebih penting, dia
diyakini masyarakat sebagai seorang yang memperoleh ilmu laduni
dan ilmu yang diturunkan dari ayah clan kakeknya. Ayahnya adalah
Guru Huri dan kakeknya adalah Haji Usman, murid Syaikh
Abdurrahman Siddik, sebagai sudah dijelaskan pada bab kedua.
Dalam pandangan masyarakat Bangka, sebagai keturunan ulama
terkenal Guru Munzal dipandang tidak hanya memiliki pengetahuan
agama yang tinggi tetapi juga memahami ilmu-ilmu umum seperti
bahasa Inggris dan sejarah.
Di Desa Kemuja terdapat beberapa guru agama yang semuanya
tidak menyelesaikan sekolah dasar dan sekolah rakyat seperti Guru
Kase (Haji Muhammad Zen), Guru Umar dan Guru Yun (Badrun).
Mereka dikenal memiliki pengetahuan agama Islam yang tinggi
terutama dalam ilmu-ilmu alat seperti Nahwu dan. Sharaf.

Pengetahuan agama tersebut diperoleh melalui pengajian-pengajian
.yang diselenggarakan oleh ulama muqimin di desa tersebut. Di antara
guru mereka yang terkenal adalah Haji Abdussamad yang wafat
sekitar 1980-an. Dieeritakan bahwa Haji Abdussamad
menyelenggarakan pengajian tidak hanya di rumahnya tetapi juga
di pondoknya di kebun. Apabila sang guru sedang tinggal di
pondoknya di kebun para murid mendatanginya di kebun tersebut
dengan berjalan kaki sekitar 5 km. Berkat keuletan dan kegigihan
tersebut tidak sedikit dari murid-muridnya kemudian menjadi guru
agama yang berpengaruh. Bahkan ketika menjadi P3N Desa
Kemuja, Guru Umar masih aktif mengajar di pengajian dan di
Pesantren Al-Islam. Dari generasi yang lebih muda juga muneul
guru-guru agama yang lahir dari produk lembaga-lembaga pengajian
yang diselenggarakan oleh guru-guru tadi. Hal ini menggambarkan
kuatnya mata rantai tradisi pengajian di desa tersebut,
Akan tetapi, terdapat sebagian keeil guru pengajian yang tidak
berlatar belakang pengajian, tetapi pendidikan pesantren salafiah.
Ahmad Hijazi, kyai di Pesantren AI-Islam, dan Ibnu Abbas, salah

83
seorang guru agama di pesantren terse but, juga menjadi guru di
pengajian. Keduanya adalah alumni Pesantren Nurul Islam
Seribandung, Oleh karena itu, mereka memiliki pengetahuan umum
dan pengetahuan agama yang cukup memadai, di samping wawasan
dan kemampuan yang tinggi dalam mengajar. Masuknya guru yang
bukan dari kelompok pengajian tersebut terjadi karena eratnya kaitan
antara kultur pengajian dan kultur pesantren salafiah terutama
kesamaan dalam berpegang teguh kepada tradisi abl a/-sunnah wa al-
jama 'ab. Guru-guru tersebut tentu saja memiliki pengetahuan Agama·
Islam jauh lebih komphensif dari sekedar ilmu tauhid, fiqh, akhlak
dan ilmu-ilmu alat yang diajarkan di lembaga-lembaga pengajian.
Desa Baturusa sebetulnya juga memiliki tradisi pengajian yang
kuat seperti Desa Kemuja. Para ulama seperti Haji Usman, Haji
Saleh, dan Haji Muhammad Umar adalah sebagian dari guru-guru
yang pernah mengajar di pengajian di des a tersebut. Diceritakan
bahwa selama masa hidupnya para ulama tersebut banyak didatangi
oleh murid yang tidak hanya berasal dari Desa Baturusa tetapi juga
dari desa-des a di Bangka. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya,
Haji Muhammad Umar semasa hidupnya tidak hanya aktif mengajar
di pengajian tetapi juga menjadi kyai di Pesantren Nurul Ihsan.
Hanya saja dewasa ini, menurut penuturan Haji Safri (P3N
Baturusa), pengajian-pengajian semakin jarang diselenggarakan
meskipun tidak punah sama sekali. Guru agama di pengajian yang
me ne tap di Desa Baturusa adalah Effendi sebagaimana sudah
dijelaskan pada bab ketiga. Dia memberikan beberapa dari pesantren
salafiah, sama seperti Ahmad Hijazi dan Ibnu Abbas. Yang menarik
dicatat di sini adalah bahwa tidak terdapat guru yang memiliki latar
belakang pendidikan selain dari pendidikan di tanah suci, pengajian
dan pesantren salafiah mengajar di pengajian-pengajian, terutama
di Kemuja dan Baturusa dan desa-desa sekitarnya.
Menjadi guru di pengajian merupakan suatu pengakuan dari
masyarakat. Untuk menjadi guru di pengajian biasanya tidak diawali

84
dengan kemauan guru yang bersangkutan. Adalah suatu hal yang .
naif dan bertentangan dengan nilai yang ada dalam Islam tradisional
di Bangka kalau seorang guru agama atau ulama menawarkan diri
untuk mengajarkan atau menyelenggarakan pengajian meskipun
dia telah memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Hal ini dianggap
termasuk kategori riya' sebagai salah satu sifat tercela. Guru tersebut
harus terlebih dahulu diminta oleh masyarakat sebagai bukti
pengakuan masyarakat baik atas ilmu yang dimiliki maupun sebagai
bukti keinginan masyarakat untuk belajar kepadanya. Seorang guru
dituntut kesediaannya untuk mengajar dan kesepakatan tentang kitab
yang akan dipelajari, waktu, dan tempat pelaksanaannya. Pengurusan
clan pengaturan seluruh kegiatan pengajian dilaksanakan oleh
peserta. Biasanya oleh seseorang atau beberapa orang yang bertindak
selaku koordinator (tidak secara formal). Guru tidak mendapat gaji,

.bahkan masalah gaji itu senatiasa absen dalam pembicaraan karena
guru yang berharap untuk mendapat gaji dianggap bertentangan
dengan prinsip ikhlas dalam Islam. Akan tetapi, dalam tradisinya
sebagai imbalan atas jasa guru dan sekaligus sebagai penghormatan
kepadanya, para peserta pengajian bekerja di ladang atau kebun
sang guru atau secara bergotong-royong menyiapkan kebun
tersendiri untuk guru tersebut. Seluruh pengerjaan kebun mulai
dari penebangan hutan, pengolahan tanah, penanaman, perawatan,
sampai pengumpulan hasil dilaksanakan oleh para peserta pengajian
secara bergotong-royong. Sedang hasilnya diserahkan seluruhnya
kepada guru. Sekarang ini, sudah ada juga guru pengajian yang
mendapat imbalan dari hasil celengan yang diedarkan kepada seluruh
peserta. Namun, pada prinsipnya seorang guru tidak boleh
mengharapkan, apalagi bergantung pada, imbalan atas kegiatan
pengajian yang dilaksanakannya.
Daya tahan suatu pengajian tidak hanya bergantung pada guru
yang mengajar tetapi juga pada peserta yang mengikuti pengajian.
Tidak terdapat aturan dan persyaratan formal untuk menjadi peserta

85
pengajian. Tetapi ada kesepakatan antara para peserta melalui
musyawarah informal untuk menentukan tempat, waktu dan materi
atau kitab yang akan dipelajari. Kesepakatan itu kemudian
dikomunikasikan dari mulut ke mulut kepada anggota yang lebih
luas. Pada waktu yang telah ditentukan peserta datang ke temp at
pengajian dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Kitab-kitab
tersebut mereka beli di toko buku di Pangkalpinang atau
memesannya ke kota-kota lain. Biasanya toko-toko buku tersebut
menyediakan kitab-kitab yang biasa dipakai di beberapa pengajian
di Bangka atau yang dibaca di kalangan orang Bangka. Selain
pengajian di mana setiap pesertanya memiliki kitab yang sedang
dipelajari tersebut, terdapat pengajian di msna pesertanya hanya
mendengar penjelasan sang guru saja.
Partisipasi dalam kegiatan pengajian ini semata-semata
didorong oleh keinginan untuk memperoleh pengetahuan ten tang
dasar-dasar Ilmu Agama Islam terutama yang bermanfaat dalam
meningkatkan amal ibadah dan ketakwaan kepada Allah. Terdapat
kecenderungan bahwa yang menjadi peserta tersebut adalah mereka
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan secara formal yang
memadai, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Hal
ini dapat dipahami karena materi yang dipelajari di pengajian
tersebut, pada dasarnya, dipelajari di madrasah atau pesantren.
Peserta pengajian terdiri atas laki-laki dan perempuan tetapi
ditempatkan secara berpisah. Tetapi ada juga pengajian khusus untuk
laki-laki atau pengajian khusus ibu-ibu. Dalam konteks ini, dapat
dikatakan bahwa pengajian merupakan lembaga pendidikan Islam
alternatif bagi orang dewasa yang pada masa usia sekolah, karena
satu dan lain sebab, tidak sempat mengenyam pendidikan, terutama
pendidikan agama Islam. Hal ini jelas membedakan peserta
pengajian dengan santri yang menuntut ilmu di pesantren.
Pada pengajian umum tidak pernah digunakan pengajian kitab
berbahasa Arab. Hal ini sesuai dengan latar belakang peserta yang

86
tidak dapat memahami kitab-kitab berbahasa Arab. Berbeda dengan
pengajian kitab, kitab yang umum dipakai adalah kitab berbahasa
Melayu yang menggunakan tulisan Arab sedang jenis kitab atau
materi yang dipelajari biasanya ditentukan oleh peserta sendiri yang
disepakati dengan guru. Dalam tradisi pengajian di Bangka,
penggunaan kitab beraksara Arab meskipun tidak berbahasa Arab
merupakan suatu keharusan. Diceritakan bah~a salah seorang
peserta pengajian mengajukan kepada para peserta yang lain untuk
menggunakan kitab 5 abi/ a/-Muhtadin yang berbahasa Indonesia
supaya lebih mudah difahami kandungan isinya. Tetapi usul tersebut
ditolak secara keras dengan nada sinis karena dianggap sebagai hal
yang tidak lazim. Tampaknya, agama identik dengan Arab dalam
kasus ini dapat dibenarkan. Kitab-kitab yang dipelajari dalam
pengajian mancakup dasar-dasar ilmu tauhid, fiqh, akhlak atau
tasawuf dan semuanya adalah karya'-karya ulama ulama Nusantara.
Kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab yang berpegang teguh pada
tradisi abl al-sunnab wa aljamaah. Kitab fiqh yang umum dipelajari di
pengajian umum ini adalah kitab 5 abil al-Muhtadin, karya Syaikh
Muhammad Arsyad al-Banjari. Sedang kitab tauhidnya adalah kitab
Sifat Dua Pu/uh dalam beberapa versi dan pengarang. Adapun kitab
akhlak dan tasawufnya adalah Periasan Bagus-nya Sayyid Utsrnandan
al-Durr al-Nafis-nya Syaikh Muhammad Nafis· al-Banjari.
Kegiatan pengajian biasanya diselenggarakan di masjid,
langgar, rumah guru, atau rumah penduduk yang menjadi anggota
pengajian. Ini dikarenakan di suatu desa terdapat beberapa
kelompok pengajian. Ada juga kegiatan pengajian itu berpindah-
pindah dari satu rumah ke rumah yang lain secara bergiliran. Di
Desa Kemuja terdapat kelompok-kelompok pengajian di pondok
kebun bagi anggota masyarakat yang menginap di kebun-kebun
yang lokasinya berdekatan. Kadang-kadang bila seorang guru
menginap di kebun, murid-muridnya yang tinggal di desa
mendatangi pondoknya untuk menuntut ilmu. Pengalaman seperti

87
ini sering diungkapkan oleh para guru di desa tersebut. Kegiatan
pengajian pada wnwnnya diselenggarakan pada malam hari setelah
shalat Isya atau setiap Jumat sore, kecuali pengajian al-Qur'an yang
umumnya dilaksanakan selesai shalat Maghrib atau sore hari.
Masalah waktu dan tempat penyelenggaraan pengajian bergantung
pada kesepakatan antara guru dan peserta setelah dimusyawarahkan.
Dalam proses belajar dan mengajar di pengajian umum,
seorang guru biasanya membaca kalimat demi kalimat dengan suara
yang cukup kuat, sementara peserta mendengar bacaan sang guru
sambil memperhatikan kitabnya masing-masing. Kadang-kadang
kalimat derni kalimat tersebut diulang kembali sampai dua atau tiga
kali terutama jika kalimat tersebut mengandung makna yang sulit
dipahami. Kemudian guru menjelaskan maksud kalimat tersebut
dengan bahasa yang mudah dipahami peserta. Seringkali bahasa
yang dipakai untuk memberi penjelasan tersebut adalah bahasa
daerah setempat. Hal ini dapat dimengerti karena kitab-kitab yang
berbahasa Melayu kadang-kadang sulit dipahami maknanya.
Kadang-kadang guru juga bertanya kepada peserta apakah mereka
sudah memahami penjelasan tersebut. Sementara penggunaan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar terse but relatif jarang
digunakan di pesantren karena hal ini tidak dapat diterima di
lingkungan pesantren.
Proses pembelajaran di pengajian kitab cenderung melibatkan
keaktivan peserta (murid). Pada suatu pembelajaran, guru membaca
teks dan menjelaskan maknanya sementara murid mendengar
bacaan dan penjelasan guru. Tetapi pada pembelajaran yang lain,
guru menyuruh peserta membaca teks, mengi'rabkan, dan
menjelaskan maknanya. Kalau ada bacaan, i'rab dan terjemahan
yang salah, guru biasanya menanyakan peserta yang lain atau
membetulkannya. Di sinilah letak pentingnya kemampuan dasar
peserta dalam bidang nahwu dan sharaf dan, dengan demikian,
pengajian kitab menjadi terbatas jurnlahnya.

88
B. Pengajian dan Pemeliharaan Islam Tradisional
Meskipun tidak terdapat rumu:;an tujuan pengajian secara
tertulis, penyelenggaraan kegiatan pengajian tetap memiliki tujuan,
yakni untuk memahami dan mendalami dasar-dasar ilmu Agama
Islam sehingga dengan ilmu tersebut dapat meningkatkan amal
ibadah kepada Allah. Bagi guru, penyelenggaraan pengajian
merupakan sarana untuk menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya
sebagai amanah yang dititipkan Allah. Sedang bagi peserta pengajian,
kegiatan tersebut merupakan sarana untuk memperoleh
pengetahuan dasar mengenai Agama Islam yang tidak sempat
diperolehnya pada usia sekolah. Secara umum, pengajian
diselenggarakan sebagai upaya untuk mengajarkan dan
menyebarluaskan ajaran-ajaran yang terkandung dalam tradisi ahl
al-sunnab wa al-jama'ab. Dengan tujuan tersebut, sama seperti
kelompok pesantren, para guru ctan peserta pengajian menolak
dengan keras segala bentuk pemikiran dan praktik keagaam yang
bertentangan dengan ajaran ahl al-sunnab wa al-jama'ah tersebut,
terutama Islam modern. Segala pemahaman dan praktik keagamaan
modern sering disebut dengan kaum barn atau wahabi.
Pada dasarnya, Islam tradisional yang dianut dan
dikembangkan lembaga pengajian tidak berbeda dengan Islam
tradisional yang dianut dan dikembangkan lembaga pesantren. Akan
tetapi, tradisionalitas Islam di lembaga pengajian tampaknya
melebihi tradisionalitas Islam tradisional di pesantren. Bagi
kelompok pengajian, tampaknya tidak ada sama sekali ruang untuk
mengubah pemahaman dan praktik keagamaan yang telah
diterimanya dari guru-gurunya. Mereka juga tidak dapat menerima
perbaikan kalau terdapat kekeliruan dan kesalahan bacaan doa atau
shalawat meskipun sudah ditunjukkan alasan-alasannya. Merubah
itu berarti menentang ajaran guru padahal guru-guru tersebut,
menurut mereka, adalah ulama yang memiliki pengetahuan Agama
Islam yang tinggi dan luas, selain terkenal akan keistimewaan dan

89
kemuliaan akhlaknya. Sebagian guru mereka itu bahkan memperoleh
keramatdi sisi Tuhan terutama setelah wafat. Seringkali alasan-alasan
yang dikemukakan sama sekali tidak berdasarkan dalil-dalil al-Qur'an
atau hadits Nabi tetapi hanya semata-mata karena kepatuhan kepada
guru dan ajaran-ajaran yang telah diajarkannya. Sedang kelompok
pesantren sedikit lebih terbuka kepada perubahan dan terutama
perbaikan terhadap kekeliruan yang mungkin ditemukan. Bahkan
kyai dan guru-guru berusaha mencari dalil hukum yang sudah
ditetapkan dalam kitab-kitab atau menetapkan hukumnya dengan
prosedur yang berlaku dalam tradisi abl al-sunnab wa aljama'ah. Oleh
karena itu, tidak heran kalau pernah terjadi konflik antara kelompok
pesantren dan kelompok pengajian.
Di Desa Kemuja pernah muncul konflik antara kelompok
pesantren dan pengajian karena perbedaan dalam persoalan shalat
Id bagi perempuan, jawaban muhC!Jyan, shalawat, dan shalat mayit.
Kelompok pengajian yang mendominasi otoritas keagamaan di desa
tersebut berpendapat bahwa Shalat Id (Shalat Hari Raya) itu tidak
disunnatkan bagi kaum perempuan bahkan hukumnya makruh
karena dapat menyebabkan riya'. Ini dilatarbelakangi oleh
penyelenggaraan Shalat Id oleh kaum perempuan secara terpisah
di mushallah pesantren karena memang sebelumnya perempuan
tidak pernah mengikuti Shalat Id yang diselenggarakan di masjid.
Sedang mengenai masalah jawab muhayyan dan shalawat hanya
terdapat kesalahan kata dan tanda bacanya yang biasanya dibacakan
oleh kelompok pengajian. Masalah lainnya adalah pelaksanaan shalat
mayit, yakni dua mayit dishalatkan satu persatu, tidak dilaksanakan
serentak. Permasalahan tersebut mendapat bantahan dan perbaikan
dari kelompok pesantren tetapi kelompok pengajian menolak.
Bahkan, kelompok pesantren telah menyelenggarakan forum bahts
al-masa'il di mana seluruh pemuka agama diundang dalam rangka
mencari kebenaran dalam agama. Tetapi sebagian besar guru dari
pengajian tidak hadir dan yang hadir juga tidak bicara banyak dan

90
tidak berargumentasi dengan alasan-alas an yang logis. Kelompok
pesantren menyebut guru-gu~u pengajian sebagai orang yang
cenderung fanatik buta. Permasalahan-pemasalahan terse but belum
terselesaikan hingga sekarang meskipun tidak lagi ramai dibicarakan.
Akan tetapi, berhadapan dengan kelompok pesantren yang
mungkin saja dapat mengancam otoritas mereka dalam bidang
keagamaan, kelompok pengajian tetap memperkuat konsolidasi ke
dalam sehingga dapat menciptakan komunitas atau kelompok yang
solid dalam mempertahankan pemahaman dan praktik keagamaan
yang telah turun-ternurun. Untuk itu, kegiatan-kegiatan pengajian
dan pertemuan informal antara guru-guru pengajian semakin
intensif dalam rangka membicarakan dan membahas strategi untuk
mempertahankan tradisi para guru mereka. Pihak Pesantren Al-
Islam bahkan menceritafan bagaimana pihak pengajian
mengirimkan utusan yang bukan ahlinya tidak untuk membahas '
persoalan-persoalan keagamaan yang digelar tetapi untuk tujuan
intimidasi dan mengancam kelompok pesantren. Tetapi itu hanya
pandangan sepihak meskipun mungkin saja ada di antara kelompok
pengajian yang hadir dalam kegiatan bahts al-masa'il tersebut
cenderung emosional. Secara tegas, kelompok pengajian.akan tetap
mempertahankan pemahaman dan praktik keagamaan mereka
terlepas dari apapun alasan yang digunakan untuk membantahnya.
Sebenarnya kebutuhan dan kepercayaan masyarakat akan guru-
guru pengajian melebihi kepercayaan mereka kepada guru-guru
pesantren terutama dalam persoalan ibadah kemasyarakatan,
meskipun pesantren juga menyelenggarakan kegiatan ekstra-kurikuler
yang juga mencakup praktik ibadah kemasyarakatan. Hingga sekarang,
di Desa Kemuja otoritas keagamaan tetap dipegang oleh pengajian
sehingga yang bertugas sebagai imam dan khatib shalat Jumat dan
dua hari raya tetap dari kelompok pengajian. Bahkan guru-guru
pesanten tidak pernah dipilih atau ditunjuk untuk memimpin kegiatan
ibadah serupa kecuali untuk imam shalat lima waktu atau shalat tarawih

91
pada bulan suci Ramadhan. Tampaknya, masyarakat telah berpijak
pada sejarah yang panjang di mana lembaga pengajian telah mampu
melahirkan ulama dan guru agama yang handal baik dalam hal
kedalaman pengetahuan agama Islam, maupun dalam hal akhlaknya.
Keeeramatan yang diperoleh para ulama dan guru tersebut setelah
meninggal tempaknya menjadi alasan penting bagi masyarakat desa
untuk tetap berpegang teguh pada pendapat clan tradisi yang diajarkan.
Apalagi, setiap orang berharap agar dapat memperoleh keistimewaan
dan kekeramoton tersebut. Ini tampaknya merupakan ikatan spiritual
yang membentuk jaringan pengajian.
Para guru pengajian memang cenderung untuk menyekolahkan
anaknya di sekolah-sekolah umum atau di madrasah-rnadrasah
negeri meskipun tetap ada yang menyerahkan anaknya di pesantren.
Akan tetapi, putra guru-guru pengajian tetap mengikuti kegiatan-
kegiatan pengajian, mereka tampaknya lebih mempercayai lembaga
pengajian untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Hal ini lebih
memperkuat jaringan kelompok pengajian sehingga diharapkan
betul-betul dapat eksis di tengah ancaman dari berbagai pihak dan
di tengah perubahan masyarakat. Untuk tetap eksis tersebut,
konsolidasi internal merupakan strategi utama kelompok pengajian
di Bangka.
Selain itu, para guru dari kelompok pengajian senantiasa
memberi kesempatan yang luas kepada siapa saja yang ingin datang
ke rumah kediamannya untuk menanyakan persoalan-persoalan
keagamaan baik yang berkembang di tengah masyarakat ataupun
yang terdapat dalam kitab-kitab. Mereka tampaknya memiliki
keikhlasan yang tinggi untuk mengabdikan ilmunya untuk
masyarakat, apalagi ilmu-ilmu agama Islam tersebut sangat penting
bagi kesinambungan Islam tradisional di Bangka. Keikhlasan
tersebut ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mereka sama sekali tidak
pernah membicarakan imbalan dari kegiatan pengajaran yang
diberikan. Bahkan, menurut mereka, kalau mengajar agama disertai

92
dengan niat untuk memperoleh imbalan atau gaji, maka itu berarti
sama dengan menjual ilmu dengan ~arga yang tidak sebanding, yang
merupakan hal yang dilarang dalam agama Islam.
Dengan demikian, tingginya kebutuhan dan harapan
masyarakat akan pe.t'anan lembaga pengajian, tingginya minat para
guru dan peserta pengajian untuk senantiasa menjaga agar ajaran
ahl al-sunnab wa al-jama'ah tetap terpelihara dalam masyarakat, dan
terciptanya jaringan spiritual antara mereka merupakan potensi yang
kokoh untuk memelihara ajaran Islam tradisional di tengah
masyarakat. Tidak heran kalau pemahaman dan praktik Islam
tradisional memiliki kesinambungan yang tinggi dengan tradisi yang
diajarkan dan dikembangkan oleh guru-guru dan hingga sekarang
tetap dominan pada masyarakat Bangka.
Melalui peserta pengajian .yang terpusat di beberapa des a di
Bangka, Islam tradisional disebarkan ke desa-desa lain yang tidak
memiliki leinbaga serupa. Kebanyakan peserta atau produk
pengajian tersebut dianggap sebagai guru yang memiliki
pengetahuan agama yang cukup oleh masayarakat desa yang tidak
mengikuti kegiatan pengajian atau tidak memiliki lembaga serupa
meskipun yang dipandang guru tersebut sama sekali tidak dipandang
mampu di desa pengajian. Mereka dipercayakan untuk memimpin
berbagai ibadah seperti imam dan khatib dan mengurus masalah
keluarga di desa-desa yang mungkin memiliki kategori yang sama
dengan tradisi abangan-nya Geertz itu. Tidak sedikit juga di antara
mereka yang menyelenggarakan kegiatan pengajian di des a-des a
tersebut walaupun materi dan kitab-kitab tetap harus dikonsultasikan
ke guru-gurunya. Dalam menghadapi persoalan-persoalan
keagaamaan yang tidak dapat dipecahkannya, guru baru ini kembali
ke des a asal pengajiannya untuk berkonsultasi dan meminta jawaban
yang tepat tentang persoalan-persoalan dimaksud. Demikianlah,
akumulasi dari berbagai faktor tersebut menentukan kontinuitas
dan pemeliharaan Islam tradisional dalam masyarakat Bangka.

93
Salah satu persoalan terpenting bagi lembaga pengajian dalam
kaitannya dengan pemeliharaan Islam tradisional di Bangka adalah
persoalan adaptasi. Tidak seperti pesantren yang berusaha
mengadakan penyesuaian bila diperlukan, pengajian cenderung
menolak perubahan dan adaptasi. Keseluruhan pelaksanaan
pengajian dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan baik
pada materi maupun pada metode pengajaran. Mungkin saja ini
merupakan kelemahan atau mungkin kekuatan pengajian itu sendiri.
Guru-guru pengajian tampaknya cenderung untuk tidak
memperhatikan perkembangan dan perubahan yang terjadi di
tengah masyarakat. Apa yang dilakukan mereka lebih banyak
berkonsolidasi ke dalam yang Lertujuan untuk memperkokoh
barisan. Akan tetapi, gejala kemerosotan dan kemunduran telah
muncul dengan semakin berkurangnya jumlah kelompok pengajian
atau paling tidak akhir-akhir ini pengajian sudah mengalami gejala
pasang surut dari segi kuantitas. Hanya saja, hal ini tidak berarti
lembaga pengajian akan punah dalam waktu dekat karena pengajian
memang sudah berakar kokoh dalam kebudayaan masyarakat
Bangka. Generasi-generasi baru bermunculan dalam rangka
melanjutkan tradisi yang telah dibangun dan dipelihara oleh guru-
guru mereka.O

94

,
BabVI
KONFLIK DAN INTEGRASI

S ebagaimana sudah dijelaskan pada bab-bab yang lalu, mayoritas


penduduk Bangka adalah penganut Islam tradisional yang lebih
dikenal dengan sebutan kaum tuo. Dibanding Islam modern,
pengaruh ~slam tradisional jauh lebih kuat dalam kehidupan
masyarakat Bangka. Tetapi, Islam tradisional di Bangka tidak bersifat
monolitik sehingga telah terjadi konflik di kalangan penganut ajaran
kallm t1l0tersebut. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana
konilik terjadi di kalangan kaum tso dan faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya konilik serta mengapa integrasi terjadi di
kalangan kaum tuo tersebut. Dalam beberapa studi seperti Saifuddin
(1986) dan Peeters (1997), yang paling banyak difokuskan adalah
konilik antara kallm tuo (penganut Islam tradisional) dan kaum mudo
(penganut Islam modern), suatu konilik berkepanjangan yang
cenderung meningkat pada awal milineum yang lalu. Sementara
Geertz (1960) juga mengkaji konilik dan integrasi antara abangan,
santri, dan priyayi dalam masyarakat Muslim Jawa.

A. Konflik dan Faktor-faktornva


Konsep konilik dan integrasi dipakai secara bersama karena
yang satu merupakan kebalikan dari yang lain. Konilik dapat
diartikan sebagai "sebuah perjuangan antarindividu atau kelompok

95
untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka
capai" (Suparlan 1999: 7). Dalam konteks ini, tujuannya adalah untuk
mengalahkan paham keagamaan lawan yang berbeda antara
kelompok yang satu dengan yang lain dalam lingkup penganut Is-
lam tradisional. Sebelum dikaji faktor-faktor penyebab terjadinya,
adalah penting dikemukakan peristiwa-peristiwa berikut ini.
Telah terjadi ketegangan dan konflik antara kelompok
pesantren dan kelompok pengajian berkenaan dengan beberapa
masalah, yaitu Sembahyang Hari Raya bagi perempuan, bacaan
shalawat dan doa, dan kedudukan ilmu-ilmu umum. Hubungan
antarkelompok dalam Islam tradisional di desa tersebut semakin
kompleks setelah berdirinya Pesantren Nurul Muhibbin. Hingga
sekarang, di Desa Kemuja kaum perempuan tidak ikut melaksanakan
ibaclah Shalat Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Tetapi,
pada awal 1990-an sekelompok perempuan yang kebanyakan
merupakan alumni pesantren mengupayakan pelaksanaan Shalat
Hari Raya secara terpisah. Dilaksanakanlah shalat sunnat muakkad
tersebut yang berpusat di mushalla pesantren di mana imam, khatib,
dan jamaahnya adalah perempuan. Terhadap pelaksanaan Shalat
Hari Raya oleh kaum perempuan tersebut sejumlah orang dari
kelompok pengajian tidak menyetujuinya. Shalat Hari Raya bagi
perempuan sering dianggap sebagai ibadah yang tidak dianjurkan,
bahkan dinilai makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan), terutama
karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah. Yang terpenting
adalah bahwa pada zaman guru mereka, kaum perempuan juga tidak
ikut melaksanakan Shalat Hari Raya. Bagi kelompok Pesantren Al-
Islam, Shalat Hari Raya dianggap sebagai ibadah sunnat muakkad
(sangat dianjurkan). Akan tetapi, karena pelarangan dari pihak
pengajian yang memegang otoritas keagamaan di desa, Shalat Hari
Raya bagi perempuan tidak pernah lagi dilaksanakan.
Persoalan lain yang telah melahirkan ketegangan antara
kelompok Pesantren Al-Islam dan kelompok pengajian adalah

96
bacaan shalawat dan doa. Kelompok pengajian biasanya
memberikan pelayanan keagamaan kepada masyarakat seperti pada
acara pemberian nama anak atau kernatian. Atas pembacaan
tersebut, kelompok pesantren menilai bahwa terdapat beberapa
kesalahan kata dan tanda baca. Kelompok pesantren berusaha
mengkoreksi kesalahan tersebut dengan mengemukakan berbagai
argumentasi dari sudut kaidah-kaidah ilmu alat (tata bahasa Arab).
Demikian juga, masalah pelaksanaan Shalat Mayit di mana terdapat
dua orang yang wafat tetapi dishalatkan satu persatu. Padahal,
menurut kelompok pesantren, Shalat Mayit terse but harus
diselenggarakan secara serentak sebab berapapun jumlah mayit
dapat dishalatkan secara sekaligus. Kelompok pengajian yang
mendominasi kepemimpinan agama tingkat des a juga tidak mau
menerima koreksi terse but. Hal ini boleh jadi rnenunjukkan
kekhawatiran kelompok pengajian' terhadap kelompok pesantren
dalam otoritas agama di tingkat desa. Untuk menjadi khatib dan
imam pada ShalatJumat dan Hari Raya dulu.jidak pernah dipilih
dari kyai dan guru pesantren meskipun barangkali diakui bahwa
mereka memiliki penguasaan ilmu-ilmu agama yang tinggi. Sekarang,
kyai dan guru-guru pesantren sudah dapat menjadi khatib dan imam
shalat di masjid di Desa Kemuja.
Konflik yang terjadi antara kelompok pesantren dan kelompok
pengajian sebagairp.ana diungkapkan di atas terutama disebabkan
oleh apa yang ditulis Geertz (1960: 356) sebagai ''intrinsic ideological
conflicts resting on deepfelt dislike for the values of other groups. " Faktor
tersebut berupa perbedaan dalam penerapan kaidah ilmu Agama
Islam, pada satu pihak, dan perbedaan dalam menerapkan ajaran-
ajaran yang diajarkan guru, pada pihak lain. Bagi kelompok
pengajian, melaksanakan ajaran-ajaran guru mereka merupakan
suatu keharusan mutlak, yang tidak boleh dirubah. Siapapun yang
berusaha merubah tradisi Islam yang telah dijalankan oleh guru-
guru sebelumnya dianggap sebagai kaum baru atau wahabi.

97
Kelompok pengajian juga beralasan bahwa guru mereka termasuk
ulama yang sangat 'alim dan memiliki kekeramatan, yakni hal-hal
luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada para walinya meskipun
sudah wafat. Salah satu bentuk kekeramatan yang paling popular
ialah bahwa jasad di dalam kubur tidak mengalami kehancuran tetapi
tetap utuh. Menurut kelompok ini, kualitas yang demikian tidak
dicapai oleh para guru yang berusaha melakukan perubahan
tersebut. Sementara kelompok Pesantren AI-Islam beralasan bahwa
kaidah-kaidah ilmu alat dan kaidah-kaidah hukum Islam harus
diterapkan dan dimanfaatkan untuk mengkaji amal ibadah dan
aturan-aturannya sebagaimana diajarkan dalam Islam. Menurut
kelompok ini, bisa jadi para guru pengajian itu telah salah dalam
menyerap ajaran-ajaran yang disampaikan guru-guru mereka.
Dengan tetap menghormati kualitas para guru sebelumnya, mereka
beranggapan bahwa kekeliruan dan kesalahan dalam praktik agama
harus diperbaiki dan hal ini merupakan kewajiban setiap guru.
Mereka berusaha mencari dalil hukum yang sudah ditetapkan dalam
kitab-kitab atau mencoba menetapkan hukumnya dengan prosedur
yang berlaku dalam tradisi abl al-sunnah wa aljama'ah. Dengan
demikian, pertentangan antara kelompok-kelompok tersebut juga
dilatar belakangi oleh perbedaan sikap terhadap perubahan dalam
praktik keagamaan.
Dalam hal pelaksanaan ajaran agama, tampaknya tidak terdapat
pertentangan antara kelompok Pesantren AI-Islam dan kelompok
Pesantren Nurul Muhibbin. Tetapi, pertentangan yang menyolok
adalah dalam hal memahami kedudukan ilmu-ilmu umum dan ilmu-
ilmu agama. Dalam masalah ini, kelompok Pesantren Nurul
Muhibbin dan kelompok pengajian memiliki pandangan yang sama.
Mereka beranggapan bahwa yang paling penting bagi Muslim itu
adalah penguasaan ilmu-ilmu Agama Islam karena itulah yang akan
menjadi bekal hidup di alam akhirat. Bagi mereka, ilmu-ilmu umum
itu hanya bermanfaat bagi kehidupan dunia saja. Oleh sebab itu,

98
keberhasilan seseorang dalam pendidikan selalu ditentukan dari
aspek penguasaan ilmu-ilmu Agama Islam. Sejalan dengan itu, kitab-
kitab yang dipakai haruslah kitab-kitab yang berbahasa Arab atau
yang berbahasa Melayu tulisan Arab. Mereka tidak akan menerima
kitab-kitab Melayu yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku yang
menggunakan huruf Latin. Adapun kelompokPesantren AI-Islam
berpandangan bahwa mempelajari ilmu-ilmu umum tetap penting
meskipun mempelajari ilmu-ilmu agama lebih diutamakan.
Perbedaan pemahaman inilah yang menyebabkan beberapa orang
tua memberhentikan anaknya dari Pesantren Al-Islarn dan
mengirimkannya ke daerah Banjar. Sekarang, Pesantren Nurul
Muhibbin merupakan lembaga keagamaan yang cocok dengan
pemahaman ini. Pertentangan antara Pesantren Al-Islam dan
Pesantren Nurul Muhibbin tarnpaknya mengarah ·kepada
pertentangan yang bersifat kepentingan kelembagaan, terutama
.dalam rekrutrnen calon santri.
Terdapat perbedaan sikap di kalangan kelompok pengajian
terhadap pengajian netar batu. Sebagian guru pengajian tidak
menyetujui sistem pengajian tersebut karena beranggapan bahwa
seseorang lebih baik belajar langsung kepada guru-guru melalui
kitab-kitab kuning. Seinentara mereka yang menyetujui metode
tersebut beranggapan bahwa pengajian netar batu bermanfaat bagi
mereka yang tidak mampu membaca tulisan Arab sehingga tidak
mungkin membaca kitab kuning. Selain itu, sistem pengajian ini
dapat dengan mudah menilai kemampuan murid yang belajar. Guru
netar batu sendiri juga mengakui bahwa metode tersebut tidak
diperlukan bagi yang terdidik.

B. Integrasi clan Faktor-faktornva


Integrasi adalah "penyatuan kelompok-kelompok yang tadinya
terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaan-perbedaan
sosial dan kebudayaan yang ada sebelumnya" (Saifuddin 1986: 7).

99
Sejalan dengan pandangan teori struktural-fungsional, kelompok-
kelompok yang berbeda di kalangan kaum tuo di Desa Kemuja tetap
membentuk suatu sistem sosial yang terintegrasi. Kegiatan-kegiatan
pesantren dan pengajian terus berjalan sesuai dengan porsi masing-
masing. Interaksi antaranggota dari kelompok yang berbeda tetap
berlangsung sebagaimana biasa. Masing-masing tetap leluasa
melaksanakan fungsinya tanpa ada tekanan dari pihak lain.
Ketegangan-ketegangan yang pernah terjadi antara beberapa
kelompok tersebut tidak melahirkan perpecahan di antara mereka.
Penganut Islam tradisional tetap merupakan satu sistem sosial
yang integratif karena beberapa faktor. Pertama, kelompok-
kelompok yang berbeda tersebut memiliki kesamaan tujuan, yakni
untuk mempertahankan paham abl a!-sunnah wa a!jama 'ab, terutama
dalam berhadapan dengan kelompok kaum mudo yang disebut
dengan kaum baru atau wahabi, yang dianggap sebagai ancaman
bersama. Paham kaum baru itu biasanya datang dari luar desa melalui
para da'i atau pejabat agama. Segala bentuk penyebaran paham kaum
baru tersebut selalu ditentang keras oleh seluruh kelompok dalam
kaum tuo di desa. Paham ah! a!-sunnah wa a!jama'ah itu pada prinsipnya
berpegang teguh pada teologi Asy'ariyah, fiqh Syafi'iyah, dan
tasawuf Al-Ghazali. Secara lebih spesifik, paham ahlussunnah di
Desa Kemuja berbeda dengan paham kaum baru dalam beberapa
aspek, yaitu shalat dengan usha!!i, Shalat Shubuh dengan qunut,
dua kali adzan pada Shalat Jumat, dan Shalat Tarawih 20 rakaat, .
talqin mayat di atas kubur, tahlilan untuk orang meninggal, dan
lain-lain, yang biasanya menjadi sasaran serangan kaum mudo.
Selain itu, terdapat upaya pemecahan masalah yang disebut
bahts a!-masa'il. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk
mempertemukan dan mendiskusikan perbedaan-perbedaan yang
.terjadi antarkelompok di kalangan kaum tuo di Desa Kemuja.
Kegiatan ini dipelopori oleh pihak Pesantren AI-Islam dengan
mengundang berbagai pihak yang berbeda paham dan saling

lOO~-----------------------------------------
bertentangan untuk berkumpul bersama dalam satu majlis untuk
mengkaji persoalan-persoalan paham keagarnaan yang
dipertentangkan. Tujuan utamanya adalah. untuk mempelajari
pendapat dan alasan masing-masing serta rnencari kebenaran
berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Faktor integratif lainnya adalah partisipasi seluruh kelompok
dalam berbagai ritual dan upacara keagamaan desa. Meskipun yang
memimpin ritual dan upacara keagamaan desa lebih didominasi
oleh kelompok pengajian, anggota-anggota dari kelompok
pesantren biasanya juga berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
tersebut. Pada tingkat anggota masyarakat, upacara keagamaan
disebut sedehah (dari Bahasa Arab shadaqah) atau kenduri. Di Jawa
lebih dikenal dengan sebutan slametan yang oleh Geertz (1960)
dianggap sebagai pus at dari keseluruhan sistem keagamaan Java
tetapi dimasukkan ke dalam ritual • varian abangan atau penganut
.Islam nominal. Sedekah di-Bangka merupakan ritual keagamaan
penting kaum Islam tradisional. Berbagai kegiatan keagamaan
tingkat desa senantiasa melibatkan seluruh kelompok masyarakat.
Dalam konteks ini, kegiatan terpenting yang berfungsi
integratif di desa ini adalah nganggung, yaitu membawa makanan di
dalam talam yang ditutup dengan tudung.saji untuk disajikan di
masjid guna dimakan secara bersama setelah melaksanakan ritual
keagamaan. Upacara-upacara di seputar kematian, upacara Hari-
hari Besar Islam, dan jumatan selalu diadakan nganggung ke masjid.
Makanan yang disajikan, apakah makanan pokok atau makanan
ringan, bergantung dengan jenis upacara dan waktu upacara
diselenggarakan. Pada acara-acara tersebut, setiap rumah tangga
dianjurkan untuk melakukan nganggung ke masjid. Biasanya, yang
melakukannya adalah para remaja dan pemuda dengan pengecualian
tertentu. Acara makan bersama berlangsung setelah acara ritual
keagamaan selesai dilaksanakan. Pada acara tersebut, setiap peserta
secara bebas menyantap makanan yang telah disajikan. Di sini jelas

101
bahwa nganggung merniliki fungsi kebersamaan antaranggota
masyarakat desa.
Upaya lembaga sosial ekonomi dan pemerintahan desa juga
merupakan faktor yang menyebabkan integrasi terjadi di kalangan
penganut Islam tradisional. Di Desa Kemuja terdapat lembaga sosial
ekonomi yang disebut Lembaga Kesejahteraan Desa (LKD) yang
usaha utamanya adalah perkebunan karet ratusan hektar yang dapat
menarik sejumlah tenaga kerja dari berbagai kelompok masyarakat.
Lembaga ini juga diorganisasikan oleh tokoh-tokoh dari berbagai
kelompok masyarakat. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan di
kalangan kaum tuo tersebut dapat menjadi berkurang melalui
keanggotaan dan partisipasi dalam LKD tersebut. Selain bermanfaat
bagi lapangan kerja, LKD merupakan lembaga sosial ekonomi yang
telah menjadikan Desa Kemuja mandiri dalam pembangunan sosial
dan pendidikan. LKD memiliki peranan penting dalam membantu
pembiayaan penyelenggaraan pesantren, pemberian beasiswa bagi
anak-anak dari keluarga tak mampu, pemberian dana sosial bagi
anak yatim dan manula, dan pembangunan infrastruktur desa.
Adapun lembaga pemerintahan des a merupakan lembaga for-
mal tingkat desa yang dijunjung tinggi oleh anggota masyarakat.
Biasanya, lembaga ini menjadi mediator penting dalam upaya
menyelesaikan setiap perselisihan dan pertentangan antaranggota
dan kelompok masyarakat. Perselisihan yang terjadi antarkelompok
dalam Islam tradisional diupayakan penyelesaiannya oleh kepala .
desa. Kegiatan-kegiatan seperti babts al-masa'il juga senantiasa
melibatkan unsur-unsur pemerintahan desa.
Sebagai penutup bab ini, penting dikemukakan bahwa
hubungan antara kelompok pesantren dan pengajian dalam Islam
tradisional merupakan hal yang kompleks dalam bentuk konflik
dan integrasi. Telah terjadi konflik antara kelompok-kelompok
tersebut yang disebabkan oleh perbedaan dalam penerapan kaidah-
kaidah agama, perbedaan dalam memahami kedudukan ilmu-ilmu

102
urnurn, dan kecenderungan untuk mendominasi pelayanan agama
di masyarakat. Meskipun terdapat .perbedaan dan pertentangan
antarkelompok di kalangan kaum tuo, integrasirtetap terjadi terutama
karena disebabkan oleh beberapa faktor, yakni kesamaan tujuan
untuk mempertahankan paham abl al-sunnab wa aljama'ah, upaya
melalui babts al-masa'il, partisipasi dalam ritual dan upacara
keagamaan desa, lembaga sosial ekonomi, dan lembaga
pemerintahan desa. Seluruh faktor tersebut merupakan satu
kesatuan sistem yang utuh. Dengan demikian, perbedaan
pemahaman aspek-aspek keagamaan dalam paham kaum tuo yang
diikuti dengan kepentingan-kepentingan dan dalam situasi sosial
tertentu telah melahirkan ketegangan. Akan tetapi, dengan tujuan-
tujuan bersama yang didukung oleh struktur sosial masyarakat desa
secara keseluruhan, kelompok-kelompok tersebut dapat terintegrasi
dengan baik. 0 •

103
•••••

Bab VII
PENUTUP

ada dasarnya, Islam tradisional yang dipaharni dan dipraktikkan


P di Bangka memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik .
Islam tradisional pada umumnya, yakni berpegang teguh pada tradisi
. Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan para ulama. Penganut Islam
tradisional di Bangka juga menganggap mereka sebagai penganut
abl al-sunnah wa a!jama'ah yang berpegang teguh pada ajaran tauhid
Asy'ariyah dalam bidang teologi, ajaran fiqh Syafi'iyah dalam ibadah,
dan ajaran tasawuf Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. Ketiga aspek
tersebut menyatu dalam adat masyarakat Bat:lgka.Dengan demikian,
karakteristik Islam tradisional yang berkembang dalam masyarakat
Bangka telah mengalami penekanan dan pengembangan pada aspek
tertentu yang menyatu dengan struktur dan kultur masyarakat
Melayu Bangka.
Corak Islam tradisional yang demikian dibentuk melalui proses'
islarnisasi dari berbagai jalur di Nusantara dalam taraf yang berbeda
satu sama lain, yaitu Johor (Malaysia), Minangkabau, Banten, Banjar,
Palembang, dan Jawa, di samping melalui Timur Tengah itu sendiri.
Proses islamisasi di Bangka terjadi melalui saluran perdagangan,
perkawinan, politik, pendidikan, dan tasawu£ Dari sudut corak Is-
lam tradisional dan kitab-kitab yang digunakan, pengaruh yang pal-

105
ing dominan tampaknya terjadi melalui jalur Banjar sehinga pengaruh
tradisi Islam yang dikembangkan ulama Banjar cukup dominan dalam
mewarnai corak Islam tradisional di Bangka. Pengaruh berbagai tradisi
Islam tersebut terjadi sepanjang sejarah dan perkembangan
masyarakat Bangka. Di samping pengaruh dari berbagai tradisi Is-
lam terse but, corak Islam tradisional yang berkembang dalam
masyarakat Bangka dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisi internal
masyarakat dan kebudayaan Bangka itu sendiri.
Kesinambungan Islam tradisional itu terpelihara secara kuat
melalui lembaga pesantren dan pengajian. Lembaga pengajian adalah
lembaga keagamaan dan pendidikan tertua yang memiliki peranan
besar dalam pemeliharaan Islam tradisional di Bangka sepanjang
sejarah. Sedangkan dari kasus Desa Kemuja dan Desa Baturusa,
lembaga madrasah berubah nama dan fungsi menjadi lembaga
pesantren sehingga beberapa madrasah yang terdapat di desa-desa
tersebut bergabung dan berubah menjadi pesantren. Sebelumnya
lembaga pesantren tidak terdapat di Bangka dan istilah pesantren
tidak dikenal secara luas dalam masyarakat Bangka. Akibatnya,
madrasah merupakan unsur yang paling dominan dalam lembaga
pesantren. Madrasah-rnadrasah di dalam lembaga pesantren tersebut
baik pada tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, maupun Aliyah mengikuti
kurikulum yang ditetapkan Departemen Agama. Ciri khas pesantren
di Bangka terletak pada kurikulum pes!lntren yang berupa pengajian
kitab kuning berbahasaArab dan berbagai kegiatan ekstra kurikuler.
Adapun pola kepemimpinan pesantren di Bangka cenderung
bersifat demokratis, di mana kyai pesantren tidak memiliki kekuasaan
karisrnatik.
Lembaga pengajian terdiri atas pengajian al-Qur'an, pengajian
umum, dan pengajian kitab, dan netar batu. Pengajian al-Qur'an
adalah yang paling elementer sedang netar bat» adalah yang paling
unik. Pengajian umum adalah yang paling banyak sedang pengajian
kitab adalah yang paling tinggi tingkatannya.

106
Unsur utama dalam lembaga pengajian adalah guru, peserta/
murid, materi, dan tempat. Dalam sejarahnya, pengajian umum dan
kitab di Bangka diajarkan oleh guru-guru yang pernah bermukim
di Mekkah. Sekarang ini, pengajian tersebut diberikan oleh guru-
guru yang berlatarbelakang pengajian dan alumni pesantren Salafiah
yang sebelumnya telah mendapat pengakuan dari masyarakat.
Pesertanya adalah orang dewasa atau orang tua yang tidak memiliki
latar belakang pendidikan formal yang memadai. Berbeda dengan
pesantren, tidak terdapat struktur kepengurusan dan aturan-aturan
formal pada pengajian tetapi pengorganisasian kegiatan pengajian
tetap dijalankan secara musyawarah. Kegiatan pengajian dipusatkan
di masjid, langgar, rumah guru, dan rumah penduduk. Pengajian
umum biasanya menggunakan kitab-kitab Melayu berkenaan dengan
tauhid, fiqh, akhlak dan tasawu£ Pengajian kitab yangmenggunakan
kitab-kitab Arab hanya diikuti dleh beberapa orang peserta saja
. dan pengajiaq. kitab ini merupakan tingkatan tertinggi sehingga
keluarannya dapat dipastikan menjadi guru pada waktu mendatang.
Kitab-kitab yang dipakai pada umumnya adalah kitab-kitab yang
ditulis oleh ulama yang berpegang teguh pada ajaran abl al-sunnah
wa al-jama'ab.
Program kegiatan.baik kurikulum madrasah maupun kegiatan-
kegiatan ekstra kurikuler yang dikembangkan di pesantren pada
dasarnya bertujuan untuk memelihara dan menegakkan ajaran Is-
lam tradisional yang diakui sebagai ahl al-sunnab wa aljama'ah. Dengan
menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren
menyiapkan santri agar dapat mengamalkan dan menyebarluaskan
ajaran abl al-sunnab wa al-jama'ab. Selain itu, pesantren juga
melaksanakan fungsinya sebagai lembaga dakwah melalui kegiatan
ekstra kurikuler dan kegiatan guru agama di tengah masyarakat.
Sebagai lembaga sosial keagamaan pesantren berpartisipasi aktif
dalam berbagai kegiatan keagamaan, kemasyarakatan, dan bahkan
pemerintahan. Dengan usaha-usaha pencapaian tujuan dengan

107
potensinya yang kuat dan didukung oleh kebutuhan masyarakat
yang telah menjalin kerjasama sedemikian rupa serta dilengkapi
dengan usaha penyesuaian dengan perubahan dan kebutuhan
masyarakat, pesantren memiliki peranan besar dalam proses
pemeliharaan Islam tradisional dalam masyarakat Bangka.
Lembaga pengajian mengambil sasaran di luar sasaran kegiatan
pesantren. Lembaga pengajian itu sendiri merupakan lembaga
pendidikan keagamaan altematifbagi orang dewasa yang tidak sempat
mengenyam pendidikan formal, khususnya pendidikan keagamaan
yang memadai, kecuali pengajian al-Qur'an. Pengajian al-Qur'an dapat
membebaskan masyarakat dari ketidakmampuan membaca al-Qur'an
secara fasih sebagai modal dasar dalam melaksanakan ibadah dan
mempelajari agama. Aspek-aspek tujuan, mate ri, dan kitab-kitab yang
dipelajari dalam pengajian kitab di Bangka menunjukkan keterkaitan
langsung lembaga pengajian dengan Islam tradisional. Dalam realitas,
lembaga pengajian telah banyak melahirkan guru dan anggota
masyarakat yang terus memelihara Islam tradisional, baik melalui
pemahaman kitab-kitab yang telah dipelajari maupun ibadah sehari-
hari. Kebutuhan masyarakat yang tinggi akan pentingnya pemahaman
ajaran-ajaran Islam tradisional dan adanya ikatan emosional masyarakat
dengan tradisi pengajian merupakan dasar utama terselenggaranya
kegiatan pengajian dan pada gilirannya terpeliharanya Islam tradisional
dalam masyarakat Bangka. Dengan demikian, lembaga pesantren dan
lembaga pengajian menjalankan perannya masing-masing dalam
memelihara Islam tradisional.

Meskipun pernah terjadi konflik antara kedua kelompok


pesantren dan pengajian dalam beberapa kasus, integra si tetap
menjadi karakteristik utama dalam hubungan sosial. Beberapa faktor
penting dalam melahirkan integrasi tersebut adalah kesamaan tujuan
untuk mempertahankan paham abl al-sunnab wa al-jama'ab, upaya
diskusi melalui bahts al-masa'il, partisipasi dalam ritual dan upacara
keagamaan desa khususnya sedekah dan nganggung, peranan lembaga
sosial ekonomi, dan peranan lembaga pemerintahan desa. Seluruh

108
faktor tersebut merupakan satu kesatuan sistem utuh yang secara
bersama mempengaruhi integrasi ..Dengan demikian, perbedaan-
perbedaan antara kedua kelompok yang diikuti dengan kepentingan-
kepentingan dan dalam situasi sosial tertentu telah melahirkan
ketegangan. Akan ·tetapi, dengan kesamaan tujuan dan upaya
pemecahan masalah yang didukung oleh struktur sosial masyarakat
desa secara keseluruhan, kelompok-kelompok tersebut dapat
terintegrasi dengan baik. Integrasi tersebut sangat penting dalarn
pemeliharaan kontinuitas Islam tradisional di Bangka.O

109
·Daftar Pustaka

Abdullah, H.M. Syafi'i 1982 SyekhAbdurrahman Siddik: Mufti Kerqjaan


Indragiri. Jakarta: CV Serajaya
Abdullah, Ma'moen et al. 1991 Sf!jarah Daerab Sumatera Selatan.
Palembang: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai
Budaya Propinsi Sumatera Selatan
Abdullah, Taufik dan Sharon Shiddique 1988 "Bab I Pengantar"
dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (eds) Tradisi
clan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1-6
Al-Banjari, Muhammad Arsyad n.d Sabil al-Muhtadin littafaqquh ji
Amr ai-Din. 2 vol. Semarang: Karya Toha Putra
Alfian 1989 Muhammadryah: The Political Behaviors of a Muslim Mod-
ernist Qrganization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Andaya, B. Watson 1993 To Live as Brothers: Southeast Sumaterain The
Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of
Hawai
Anonim 1997 "Mengenal Lintasan Sejarah Bangka" Harian S umatera
Ekspress 14-17
Anonim n.d. Perukunan Melqyu Besar. Jakarta: M.A. Jaya
Arsyad Ash, Marzuki 1996 "Syeikh Abdurrahman Siddiq (1857-
1939): Mufti Kerajaan Indragiri" Laporan Penelitian. Jambi:
lAIN Sultan Thaha Saifuddin

111
Azra, Azyumardi 1994 Jaringan Ulama Timur Tengah clan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacae Akar-akar
Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Bakar, A. A. 1969 Bahrin, Amir, Tikal: Pahlawan-pahlawan Nasional
yang Tak Boleh Dilupakan. Pangkalpinang: Yayasan
Pendidikan Rakyat Bangka
Benda, H.]. 1958 The Crescentand The Rising Sun: Indonesian Islam Under
The Japanese Occupation 1942-1945. The Hague: Van Hove
Bruinessen, Martin van 1995 Kitab Kuning, Pesantren clan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Castles, Lance 1967 fuligion, Politics, and Economic Behavior in Java:
The Kudus Cigarette Industry. New Haven: Cultural Report
Series no. 15 Southeast Asian Studies, Yale University
Craib, Ian 1992 Modern Social Theory: From Parsons to Habermas. New
York: St. Martin's Press.
Dhofier, Zamakhsyari 1982 Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup JYai. Jakarta: LP3ES
Ellen, Roy F. 1983 "Social Theory, Ethnography dan the Under-
standing of Practical Islam in Southeast Asia" dalam M.B.
Hooker (ed) Islam in Southeast Asia. Leiden: E.J. Brill, 50-91
Gajahnata, K.H.o. dan Sri-Edi Swasono (eds) 1986 Masuk dan
Berkembang'!Ja Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI Press
Geertz, Clifford 1960 The fuligion of Java. Glancoe-Ill: The Free
Press
Harun, Amran 1967 "Pengaruh Agama Islam dalam Hukum Adat
di Bangka" Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta
Heidheus, Mary F. Somers 1992 Bangka Tin and Mentok Pepper: Chi-
nese Settlement on an Indonesia Island. Singapura: Institute of
Southeast Asia Press
Ishak, Hikmat 2002 Kepulauan Bangka Belitung: S emangat clan Pesona
Provinsi Timah dan Lada. Sungailiat: Kantor Pemerintah
Daerah Kabupaten Bangka

112
Johns, A.H. 1961 "Sufism as a Category in Indonesian Litera-
ture and History" dalamJournalof Southeast Asian History 2,2: io.
23
Kaptein, Nico 1994 Perayaan Hari Labir Nabi Muhammad SAW· .Asal
Usul dan Penyebaran Awalnya, S~jarah di Magrib dan Spanyol
Muslim sampai Abad Ke-1 0/ Ke-16. Jakarta: IN IS
Karim, Z ulkarnain et al. 1996 Kapita S eleleta Budaya Bangka 1.
Sungailiat: Badan Pembina Kesenian Daerah Bangka
Kartodirdjo, Sartono 1966 The Peasants' fuvolt of Banten in 1988, Its
Conditions, Course and SequeL'A Case S turfy of Social Movements
in Indonesia. 's-Graven Hage: Martinus Nijhoff
Mahmud, M. Arifin 1994 "Sejarah dan Budaya Bangka" Materi
Sarasehan Seni dan Budaya Daerah Kabupaten Bangka, di
Sungailiat
Moesa, Ali Maschan 2007 Nasibnalisme Kiai: Konstruksi S osial Berbasis
Agatna. Yogyakarta: LKiS
Muhaimin AG. 2001 Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari
Cirebon. Jakarta: Logos
Nazir, Muhammad 1992 Sisi Kalam dalam Pemikiran Islam Syeikh
Abdurrahman Shiddiq .Al-Banjari. Pekanbaru: Susqa Press
Noer, Deliar 1980 Gerakan Modern Isla17!di Indonesia 1900-1942.
Jakarta: LP3ES
Peeters, Jeroen 1997 Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubaban fuligius di
Palemb~ng 1821-1942. Jakarta: INIS
Pijper, G.F. 1987 Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah
Islam di Indonesia awal Abad XX. Terjemahan Tudjirnah.
Jakarta: DI Press
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto 1984
Stjarah Nasional Indonesia Ill. Jakarta: Balai Pustaka
Prasodjo, Sudjoko et al. 1970 Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian
PesantrenAI-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor.Jakarta:
LP3ES

113
Pulungan, J- Suyuthi et al. 1997 "Profil Pesantren di Sumatera
Selatan" Laporan Penelitian. Palembang: Pus at Penelitian
lAIN Raden Fatah
Rahim, Husni 1998 Sistem Otoritas danAdministrasi Islam: Studi tentang
Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang.
Jakarta: Logos
Saifuddin, Ahmad Fedyani 1986 Konflik dan Integrasi: Perbedaan Paham
dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press
Siddik, Syaikh Abdurrahman 1343 Syair Ibarat dan Khabar Kiamat.
Singapura: Mathba'ah al-Ahmadiyah
Snouck-Hurgronje, C. 1931 Mecca in the Latter Part of the 19'h Cen-
tury. Terjernahan J-H. Monahan. Leiden: E.J. Brill
Steenbrink, K.A. 1984 BeberapaAspek tentang Islam di Indonesia A bad
ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
1986 Pesantren, Madrasah, S ekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern. Jakarta: LP3ES
Suparlan, Parsudi 1999 "Konflik Sosial dan Alternatif
Pemecahannya" dalam Antropologi Indonesia 59: 7-19
Sujitno, Sutedjo 2007 Dampak Kehadiran Timah Indonesia S pa,!jang
Sejarah. Jakarta: Cempaka Publishing
Vredenbregt,Jacob 1962 "The Haji: Some of its Features and Func-
tions in Indonesia" dalam Bijdragen tot de Taal, Land en
Volkenkunde 118: 91-154
Wahid, Abdurrahman 1997 "Pengantar" dalam Greg Fealy dan
Greg Barton (eds) Tradisionalisme Radikal Persinggungan NU-
Negara. Yogyakarta: LKiS
Woodward, M. R. 1989 Islam in Java: Normative Piery and Mysticism in
the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona
Press
1998 "Pendahuluan: Indonesia, Islam, and Orientalism
Sebuah Wacana yang Melintas" dalam Mark R. Woodward.
Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indone-
sia. Terjemahan Ihsan Ali-Fauzi. Bandung: Mizan. 13-54

114

,
Yunus, Mahmud 1992 Sejarab Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya
Zulkifli 1997 "Pengaruh Ulama Banjar, dalam Tradisi Islam di
Bangka" dalam Intizar 9: 39-59
2002 Sufism in Java: The Rnle of the Pesantren in the Mainte-
nance of Sufism in Java. Jakarta: INIS
Zulkifli et al. 2006 Transliterasi clan Kandungan Path al-!Alim fi Tartib
al-Ta'lim Syaikh Abdurrahman Siddik. Sungailiat: Shiddiq Press

115
TENTANG PENULIS

Zulkifli lahir di Desa Kemuja, Mendobarat, Bangka, Kepulauan


Bangka Balitung, 13 Agustus 1966. Menamatkan SD (1980) dan
MTs (1983), di desa ke1ahirannya. Setelah lulus PGAN
Pangkalpinang (1986), ia menyelesaikan Sl pada Fakultas Tarbiyah
lAIN Raden Fatah Palembang (1990), dan memperoleh gelar S2
dari Jurusan Antropologi The Australian National University (ANU),
Canberra Australia (1994). Sejak November 2001 sampai sekarang,
merampungkan Program Ph. D, di Leiden University, N egeri Belanda.
Penulis sempat mengabch di almamaternya lAIN Raden Fatah
Palembang sebagai Dosen Tetap di Fakultas Tarbiyah dan Fakultas
Adab, sejak 1991. Sebelum ke Negeri Belanda, ia pernah menjabat
Dekan Faknltas Adab di lAIN yang sama. Di penghujung 2007
sampai sekarang, ia mengabdi di tanah kelahirannya sebagai
Pengganti Sementara (Pgs.) Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung. Publikasi
artikelnya tersebar di beberapa jurnal nasional dan internasional,
antara lain, "Taqiyah: Strategi Syi'ah di Tengah Mayoritas Sunni di
Indonesia", Dialog:Journalof Religious Research and Information, Jakarta,
No. 62, Vol. 29 (2006), "Seeking Knowledge unto Qum: The Edu-
cation of Shi'i Ustadhs" IIAS Newsletter, Leiden University, Belanda,
(2005), "Being a Shi'ite among the Sunni Majority in Indonesia: A

129
Preliminary Study of Ustadz HuseinAl-Habsyi (1921-1994) Studia
Islamika: Indonesian Journalfor Islamic Studies, 11 (2), (2004), "Menjadi
Syiah di Indonesia: Latar Belakang dan Faktor-faktor" Intizar:Jurnal
Ko/ian Agama Islam dan Masyarakat, lAIN Raden Fatah Palembang,
10 (1), (2003), dan "Kritik Sayyid Usman tentang Ratib Samman:
Kajian atas Naskah Tanbih al-Ghusyman" Dialog: Journal of Reli-
gious Research and Irformatio«, 53,Jakarta (2001). Sedangkan publikasi
berbentuk buku seperti keterlibatannya dalam Tim Penyusun
Transliterasi dan Kandungan Fath al-'Alim fi Tartib al-Ta'lim Syaikh
Abdurrahman Siddik, Sungailiat: Shiddiq Press, (2006), "K.H.M. Zen
Syukri: Penerus Tradisi Intelektual Ulama Palembang Abad ke 20"
dalam Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedawi (eds) Transformasi
Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, Jakarta: Gramedia,
(2003), Sufi Jawa: Relasi Pesantren dan Tasawtif, Yogyakarta: Pustaka
Sufi, (2003), Sufism in Java: the &le of the Pesantren in the Maintenance
of Stdism in Java, Jakarta-Leiden: Indonesia-Netherlands Coopera-
tion in Islamic Studies [INIS], (2002), editor sekaligus penulis dalam
Islam dalam Sdarah dan Bndoya Masyarakat Sumatera Selatan,
Palembang: Penerbit l?niversitas Sriwijaya, (2001), Ulama Sumatera
S elatan: Pemikiran dan Peranannya dalam Lintasan S darah, Palembang:
Penerbit Universitas Sriwijaya, (1999), dan Dasar-dasar Pe'!}usunan
Proposal Penelitian Bidang Ilmu Agama Islam, Palembang: Penerbit
Unsri, 2001.

130
Buku ini merupakan havil deskriptif-analitik penulis
terhadap <alah <atu c orak tradisionalitas Islam di
Bangka. Penulis mampu rncnyajikan aspek-aspek
penting schubungan dcngan pertumbuhan Islam
t radisional di Bangka dcngan bcrbagai jalur
kedatangan dan pro~es ivlarnisasinya. Selain itu, juga
dikemukakan pcrkcrnbangan Islam tradisional di
kcpulauan ini ditopang olch kcbcradaan lcmbaga-
lcrnbaga pcndidikan dan dakwah seperti pengajian dan
pesant rcn dengan bcrbagai variannya. Dengan
dcrnikian, sccara teoritis kontinuitas Islam tradisional
di Bangka bcnar-bcnar marnpu mcncapai
"kelcstarian't-nya (pattern maintenance), scbagai salah
satu dari crnpat prasyarat Iungsional seperti
dikr-rnukukan Parsons.
Kckhasun bahasa pcngungbpan yang digunakan
pc-nu lis, bcgitu tcrasa. Bisa jadi dengan mcmbaca
sc-k ilas dan pcrt ama kali buku ini, pcrnbaca akan
melihat sat u unit Icnorncna yanj; unik dan luas, tetapi
dl'ngan kcscdcrhanuan diksi dan kcsatuan frasa yang
digullakan, pcrnbaca akan mcncmukan kedalarnan
makna yang diungkapkan dari sct iap intcrprctasi
pc-nulis tenlang pcrnaharnan dan praktik Islam
t radisionul rnusyarakat Muslim di Bangka, sehingga
pcmbaca dapat mcncapai kcsirnpulan bahwa ternyata
sosial keagamaan Islam di Bangka cukup unik
sckaligus t idak scscdcrhana apa yang dibayangkan
se-lama ini.

ISBN 978-979-15710-1-2

111111111111111111111111111111
9789791571012>

Anda mungkin juga menyukai