Anda di halaman 1dari 11

Drs. KH.

Ahmad Rifai Arief Annisa Utami Ramadhini, Tiedy Rinintasari, Zaidatul Farihah, Restie Maya Puspita Jurusan Teknik Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Jakarta Ciputat, Tangerang, Banten E-mail : restiemaya@gmail.com

Biografi seorang entrepreneur dan kyai, Drs. KH. Ahmad Rifai Arief ini, ditulis berdasarkan buku yang berjudul Kiprah Kyai Entreupreneur Sebuah Pembaharuan Dunia Pesantren di Banten yang disusun oleh Drs. H. Soleh Rosyad, M.M. pada tahun 2005. Di dalam buku tersebut dijelaskan secara rinci sejarah bagaimana beliau hidup, pendapat-pendapat para tokoh dan kerabat tentang kepribadian beliau, apa saja visi-misi yang dilakukannya untuk mencapai

keberhasilannya, dan karya apa yang telah dia buat untuk masyarakat, khususnya di daerah Banten. Berikut ini adalah beberapa kutipan yang kami ambil dari buku tersebut, dan kami sesuaikan dengan tujuan penulisan karya tulis ini. I. Pendahuluan Kata kyai entrepreneur mengesankan bahwa kyai sebagai pedagang (saudagar, pengusaha, bussinessman, usahawan, wirausahawan) selaras kata arti entrepreneur diadopsi dari bahasa inggris. Istilah inipun berkesan negatif bahkan pejoratif bahwa Kyai Rifai jualan agama melalu ilmu dan ponpes-ponpesnya. Atau bisa juga kyai entrepreneur dimaksudkan Kyai Rifai adalah seorang kyai dan pedagang, atau seorang pedagang tapi kyai. Bila pandangan dan makna-makna seperti ini dituju oleh kata kyai entrepreneur dalam buku tersebut, penulis dan segenap penyusunnya menganggap pandangan tersebut keliru, dan jauh sekali dari niat penulis. Apalagi bila julukan itu disematkan untuk sebuah pesantren Daar El-Qolam atau seorang Kyai Rifai; sebab pedagang ya pedagang bukan ulama. Terlebih Kyai Rifai bukan pedagang dalam makna apapun. Beliau juga tidak punya track record pernah pedagang sejak usia muda hingga dewasa. Bahkan dapat dikatakan sejatinya beliau tidak berbakat dagang. Riwayat lebih membuktikan beliau adalah penuntut ilmu gigih. Sejarh hidupnya lebih menunjukkan keterlibatannya dalam ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar, pengajar, pendiri lembaga pendidikan, pemikir visi misi pendidikan, maupun peletak dasar falsafah pendidikan. Pendek kata beliau lebih tepat disebut Orang Pendidik dalam makna apapaun. Di tingkat ini beliau dapat dikatakan telah mencapai maqam (level) a philosopher, faylasuf. Namun sebenarnya posisi Kyai Rifai teramat sulit dikatakan hanya dalam satu sisi saja, sebagai filosof saja. Kehidupannya sungguh multi-dimensional dan multi-facet. Beliau bisa dikatakan pembaharu/pembaru, sejak melakukan ide pencampuran santriwati-santriwan di dalam kelas. Ide ini memperbaharui sistem belajar yang sempat ia nikmati di Gontor, karena almamaternya hanya untuk pesantren putra saja. Sekalipun ada putri Gontor ternyata pesantren tersebut terpisah, bukan seperti di Daar El-Qolam sejak 1991. Pembaharuan dilakukan Kyai Rifai ini amat signifikan dan monumental. Terbukti cara tersebut diikuti dan ditiru abis oleh alumni

Gontor lain, kini menjadi kyai juga di ponpes-ponpes tersebar, semisal kyai Anang Azhari, Sulaeman Efendi, Ikhwan Hadiyyin, dan lain-lain. Fakta ini kemudian membuat Kyai Rifai kadang dijuluki Kyai Kontroversial. Sebutan lain yang pas untuk beliau Pelopor (atau sinonimnya pionir), karena menjadi orang yang mendirikan pesantren modern ala Gontor di Banten; kyai pertama mendirikan pesantren dengan basis kurikulum SMP atau SMA di La Tansa; pendidik pertama yang mendirikan pesantren rekreatif di La Lahwa. Pada sisi lain sebagai failasuf (pemikir) dapat dilihat dari gagasan yang ditawarkan dalam mengelola pendidikan responsif terhadap tuntutan zaman atau kemodernan, tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, serta cocok dan dapat dilakukan siapapun. Ciri-ciri falsafah disana ialah pikirannya orisinal, memiliki bentuk dan karakter khas, berbeda dari para kyai sebelumnya. Dengan kata lain, struktur dan muatan-muatan pikirannya sesuai kriteria seorang filosof. Kyai Rifai juga dapat dijuluki intelektual karena sanggup merealisasikan gagasangagasannya. Ide besar dan berat beliau miliki (seperti membangun tiga visi dan proyeksi ponpes dan satu perguruan tinggi) secara mudah saja beliau wujudkan hanya dengan rentang waktu satu generasi. Dalam hal ini tidak memadai apabila beliau hanya dinamai praktisi, sejauh istilah terakhir ini hanya cocok untuk pekerjaan artisan (tukang). Dari penggambaran tadi tentu saja selain penamaan-penamaan tersebut masih ada kemungkinan julukan dan sebutan lain bagi Kyai Rifai, mengingat keahlian dan kemampuannya banyak sisi, demikian beragam; katakanlah, serba bisa. Kemungkinan ini amat terbuka lua dan dibenarkan sejauh diiringi landasan serta alasan. Lalu argumen apakah yang patut dikemukakan tatkala Kyai Rifai disebut seorang entrepreneur, tapi bukan dalam makna saudagar? Penulis buku tersebut menangkap istilah tersebut dari kesan serta komentar keluarga, sahabat dan muridnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Pak Tihami, kyai Manarul Hidayat dan Nanang Tahqiq mengungkapkan istilah secara terang-terangan dan variasi alasan mendukungnya. Pak Tihami melihat Kyai Rifai entrepreneur dari upayanya mendirikan La Lahwa. Dititik ini Kyai Rifai melakukan penggabungan antara semangat belajar, tamasya, dan usaha. Sisi usaha dapat dilihat dari penyewaan vila-vila La Lahwa selama week end, namun

diiringi pengisian muatan-muatan rohani melalui belajar keislaman. Sementara kyai Manarul memandang ponpes La Tansa merupakan wujud dari pemikiran seorang entrepreneur. Ponpes La Tansa dapat menyedot secara tak langsung kapital masyarakat; dengan menjual pemadangan indah di area La Tansa dan sekitarnya. Dalam hal ini beliau sebagai seorang entrepreneur mampu mengeksplorasi keindahan pemandangan alam sekitar La Tansa menjadi nilai jual dan daya tarik tersendiri. Adapun Nanan Tahqiq meyakini Kyai Rifai dapat dikatakan entrepreneur karena karakteristik perilakunya menyamai seorang entrepreneur; seperti kemampuannya mengubah desa terpencil Gintung menjadi area yang maju, membangun gedung lux tanpa biaya besar, bahkan hanya berdasarkan iuran dan sumbangan kecil-kecil saja dari orang tua wali santri, bukan pemerintah, konglomerat, atau dermawan besar.

II. Riwayat Hidup Lilip adalah nama kesayangan untuk Kyai Rifai Arif. Beliau dilahirkan di Kampung Gintung, Balaraja, Tangerang. Ia merupakan anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan H.Qashad Mansur dan Hj.Hindud Mastufah. Kyai Rifai dan adik-adiknya dibesarkan dalam suasana sederhana dan bersahaja, dididik secara perihatin dalam rangka menumbuhkan jiwa juang, kemandirian,dan keistiqomahan. Kyai Rifai tidak dilahirkan dari keluarga kaya atau priyai. Ayahnya seorang ustadz yang hidup dari hasil pertanian dan persawahan. Akan tetapi keluarganya memiliki cita-cita besar untuk menciptakan masyarakat berpendidikan dan berperadabaan dikampungannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Saat Kyai Rifai lahir, perbedaan antara masyarakat desa dan kota sangat diametral. Kehidupan perkotaan terus mengalami kemajuan yang pesat, sementara kehidupan pedesaan semakin terpuruk dan tertinggal. Desa idetik dengan ketertinggalan, kebodohan, kekumuhan, kemiskinan dan kemelaratan. Akibatnya gelombang urbanisasi, terus meningkat karena kehidupan kota begitu menjanjikan, sementara kehidupan desa amat menyedihkan.

Meskipun berada di desa yang terbelakang akibat kebodohan dan kemiskinan, Qashad Mansur tidak kecil hati. Ada semangat hidup dalam jiwanya. Dia memiliki kepedulian berupaya membabat hutan rimba kebodohan yang gelap gulita dengan cahaya ilmu. Qashad Mansur berusaha dengan susah payah, banting tulang untuk mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, terutama Kyai Rifai putra pertamanya. Tahun 1949-1952 Kyai Rifai belajar di Sekolah Rakyat, Sumur Bandung sampai kelas tiga. Karena satu alasan, pentingnya pendidikan pesantren, kemudian ia dipindahkan ayahnya ke Pesantren Caringin, sehingga menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat Labuan Pandeglang. Pada tahun 1958 ayahnya memberangkatkan Kyai Rifai ke Gontor, Jawa Timur, karena ketertarikannya pada sistem pengajaran Pondok Modern Gontor dari Jafar Hadi, seorang santri Pondok Gontor. Dipondok Gontor Kyai Rifai dikenal sebagai santri yang cerdas, Khattat (kaligrafer) dan pandai berpidato, serta mampu membaca kitab kuning dengan baik. Beliau juga memiliki keterampilan memimpin sejak di MMA Caringin. Kemampuan leadership nya mengantarkan beliau menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia cabang Gontor di tahun 19631964. Setamat dari KMI Gontor tahun 1965, beliau diberi kesempatan oleh K.H. Imam Zakarsyi, pemimpin Pondok Gontor saat itu, untuk mengabdi di almamaternya dan bahkan menjadi sekretaris pribadi sang Kyai. Beliau lulus dari Pondok Gontor pada tahun 1965 dan mengabdi di almamaternya selama dua tahun atas restu Kyainya. Sementara sang ayah menunggu dengan penuh kerinduan kapan Kyai Rifai bisa berkumpul kembali bersamanya untuk melanjutkan cita-citanya. Rifai melanjutkan studinya ke IAIN Serang fakultas syariah, saat itu cabang Yogyakarta. Beliau mendapat gelar akademik secara bertahap, Bachelor of Arch (BA) pada tahun 1974 dan mendapat gelar Doktorandus (Drs.) pada tahun 1985. Kesibukan Kyai Rifai kuliah dan berbagai kegiatan pesantrennya, membuatnya semakin dinamis. Kyai Rifai tetap sering bersilaturahmi dan menyempatan diri berkunjung ke almamaternya MMA Caringin. Sambil silaturrahmi, Kyai Rifai sesuai dengan prinsipnya bahwa

hidup itu harus memberi. Memberi dalam pengertian mengerahkan seluruh potensi diri untuk kemanfaatan masyarakat, sebesar kemanfaatanmu sebesar itu pula keberuntunganmu. Kyai Rifai menjadi tumpuan masa depan orang tuanya, ia menjadi ujung tombak cita-cita yang mulia, diharapkan menjadi cikal bakal untuk emmbangun desanya kelak. Sebuah cita-cita yang jarang dimiliki orang desa pada saat itu. Karena pada umumnya orang desa suka pergi ke kota untuk mengadu nasib dan nantinya setelah berhasil enggan kembali ke desanya. Penyakit tersebut telah menjadi kecenderungan umum bagi masyarakat desa, sejak dulu sampai sekarang. berhasil berarti dapat meraih cita-citanya di kota menjadi penjabat, konglomerat, pengusaha, profesional, sementar kampung halamannya dilupakan. Cita-cita tersebut tertancap dalam lubuk hati keluarga Qashad, tak tergoyahkan oleh kesulitan hidup yang di hadapinya, tak berubah karena cercaan dan makian dan tak usang oleh lamanya waktu menunggu. Beruntung keluarga ini memiliki dukungan penuh sang Uwa yakni Hj. Pengki, (kakak dari Hj. Sujinah, ibunya Qashad) danbeliau sangat mendukung gerak langkah Qashad. Tidak sedikit tanah Hj. Pengki yang dipakai Qashad Mansur untuk pengembangan dakwah dan syiar islam. Sebagian berbentuk wakaf dan sebagian lainnya berbentuk hibah. Semua dipergunakan untuk membangun pondok pesantren di kampung Gintung yang kini dikenal sebagai Pondok Pesantren Daar El-Qolam. Selain Daar El-Qolam yang diakui sebagai pondok alumni Gontor, sejak tanggal 20 Januari 1968, beliau juga mendirikan pondok pesantren La Tansa pada tahun 1989, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi La Tansa Mashiro pada tahun 1993, dan terakhir mendirikan wisata sakinah La Lahwa pada tahun 1996. La Lahwa inilah bentuk nyata yang menunjukkan bahwa Kyai Ahmad Rifai Arief juga seorang entrepreneur. Beliau menikah dengan Hj. Nenah Hasanah dan dikaruniai 6 orang putra dan putri. 2 orang putra dan 2 orang putrinya meneruskan langkahnya untuk memimpin pesantren La Tansa. Sedangkan 2 orang putra dan putrinya yang lainnya, meneruskan langkahnya untuk mengelola pesantren Daar El-Qolam.

Beliau tutup usia dalam usia 55 tahun, pada Hari Ahad 10 Shafar 1418 H bertepatan dengan 15 Juni 1997 M.

III. Wisata Sakinah La Lahwa KH. Rifai Arief telah jauh berpikir maju ke depan, tentang bagaimana umat islam Indonesia bisa maju, tidak terus tertinggal. Jauh ketika orang-orang masih berkiblat pada pemikiran barat bahwa kecerdasan intelektual (IQ) adalah satu-satunya alat ukur kesuksesan hidup seseorang, beliau sudah berpikir bagaimana meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual. Tesis pemikiran dunia barat yang sangat mengagungkan logika, menurut kyai Rifai tidak tepat, karena terbukti hanya membawa arah kehidupan manusia menjadi sekuler dan hedonis. Seiring dengan perjalanan waktu ide terus mengalir, maka beliau melakukan pengembangan baru lagi yaitu mendirikan pesantren wisata Sakinah di Pantai Kemuning, Pandeglang. Pada tahun 1996 pembangunan fisiknya dimulai di atas sekitar 8.000 M persegi tanah darat di pinggir Pantai Citeureup, pintu masuk daerah wisata Mega Cemara dan lokasi wisata Tanjung Lesung. Banyak kawan-kawannya yang mengungkapkan rasa kagum kyai Rifai, karena ia begitu inovatif, kreatif, dan dinamis. Profesor Tihami menyebutnya sebagai seorang yang gagasannya melampaui kemampuan fisiknya dan Prof. Suparman Usman menyatakan sebagai orang yang gigih dan berpandangan jauh ke depan. Beliau mendirikan vila dengan kontruksi dan desain yang apik di bilangan Pantai Panimbang, Pandeglang. Vila itu didirikan untuk pesantren wisata yang dinamakan La Lahwa. Kyai RifaiI memang cerdas dan kreatif dalam memilih nama, Daar El-Qolam, La Tansa, dan La Lahwa. Semuanya tidak hanya enak didengar tapi mengandung filosofi yang dalam. La artinya tidak atau bukan, Lahwa dari kata lahwun artinya permainan yang dapat membuat orang terpedaya sehingga menjadi lalai dalam hidupnya. Beliau tidak mengambil kata Labun artinya permainan tapi cenderung berkonotasi positif seperti seorang anak sedang bermain bola. Jadi, maka filosofi penggunaan kata La Lahwa adalah bahwa di tempat tersebut seseorang

tidak boleh melakukan permainan yang melalaikan atau memperdayakan diri, tapi boleh bermain yang mendatangkan manfaat. Sehingga La Lahwa artinya bukan sekedar bermain. Maksudnya, di pesantren wisata Sakinah La Lahwa bukan sekedar bermain, berekreasi, tetapi ada sesuatu yang amat penting yang disediakan dan dirasakan disini, tidak di tempat lain, yaitu rihlah spritual melalui kajian ilmu-ilmu keislaman dan bimbingan pengalaman-pengalamannya. Untuk merealisasikan program-program pesantren wisata ini, pada saat proses pembangunan fisik, pemagaran, dan pembangunan beberapa unit vila berlangsung Pak Kyai Rifai mengundang kawan-kawannya untuk sosialisasi ide dan gagasannya serta bermusyawarah di vila yang sedang dibangunnya. Pak Kyai Rifai memaparkan program-programnya ke depan lagi-lagi teman-temannya ditugasi menyusun kurikulum kajian keislaman dengan para pembimbing mulai dari Prof. Quraysh Shihab, Dr. Nurkholis Majid, KH. Ali Yafi, KH. Miftah Farid, Dr. Imaduddin, Prof. KH. Abdul Wahab Afif, M.A, dan Prof. Dr. H. MA Tihami, M.A Demikian pula disusun menu kegiatan malam, mulai dari qiyamul lail, munajat, dan membaca al-quran, sampai dengan tafakkur dan tadabbur alam. Program-pragram tersebut disusun sedemikian rupa termasuk penjadwalan untuk hari-hari biasa, libur dan weekend. Program-program dan menu kegiatan itu seluruhnya hendak dituangkan dalam brosur untuk ditawarkan pada masyarakat dalam bentuk kegiatan promosi. Adapun kegiatan dan menu fisik berupa makanan dan kegiatannya disusun oleh ahli tata boga yang disesuaikan dengan programprogram kegiataqn sepiritual tersebut. Menu fisik ini juga menyediakan tempat bagi tamu yang ingin masak sendiri, bakar ikan, dan sebagainya. Program yang demikian baik, realistik, dan tidak muluk-muluk itu bahkan terhitung baru dan inovatif, dengan sasaran pasar untuk konsumen kelas menengah ke atas, suatu gagasan cerdas dan dinamis menjemput bola. Pelayanan terpadu bagi pelanggan yang menginginkan ketenteraman (sakinah) terpadu, antara jasmani dan rahani, fisik dan spirit, lahir dan batin, membutuhkan manajemen yang amat modern. Apalagi dalam aktifitasnya nampak terintegrasi antara pendidikan, dakwah, dan wisata. Itulah sebabnya kiyai Rifai bersikap dan bertindak terbuka untuk para ahli bergabung adan berperan di dalamnya. Bekerja dengan prinsip

musyawarah, kebersamaan, dan silaturrahim, adalah perangai sang kiyai. Prof. Tihami mengatakan, Selamat buat Kyai Rifai yang kreatif dalam bertindak, cerdas dalam ide, dan gagasan-gagasannya, serta luhur dalam cita-citanya.

Wisata Sakinah La Lahwa

IV. Kehidupan Spiritual Konsep ibadah membuat seseorang memiliki etos kerja yang dinamis, ikhlas, tanpa pamrih, hanya mengharapkan ridho dan barokahnya, istiqomah dan itqon dalam berbuat serta senantiasa menuju satu tujuan, yaitu Allah SWT. Dalam hubungan vertikal dengan yang Maha Khaliq, ibadah menciptakan suasana ithaah, taat kepadanya secara total. Dan dalam hubungan horizontal sesama manusia dan alam, ibadah menumbuhkan dan menimbulkan berbagai manfaat dan maslahat bagi kehidupan. Manfaat akan berbuah manfaat. Semakin besar dan banyak manfaat yang kita berikan semakin besar pula manfaat yang akan kita terima, sebagai konsekuensi logis, dari amal kita. Kyai Rifai merupakan sosok santri yang meyakini kebenaran aksiomatis tersebut dan ia menjadikannya sebagai jalan hidupnya menuju Allah. Sehingga dia bekerja, berbuat tiada henti, tidak mengenal lelah, tidak mengenal waktu, tidak pernah membiarkan waktunya berlalu dengan

kosong, istiqomah dalam mencapai cita-citanya, dan terus berdoa mengharap pertolongan ridhoNya. Beliau mengelola empat lembaga sekaligus (Daar El-Qolam, La Tansa, La Lahwa, dan STIE La Tansa Mashiro) yang tentu saja menguras tenaga, karena beliau mengendalikan keempatnya selalu menggunakan radio panggil setiap hari. Atau mengunjungi keempatnya dalam waktu satu bulan atau perdua minggu. Suatu upaya yang sangat melelahkan tentunya, nasehat dokter untuk banyak istirahat diabaikannya, beliau memberi alasan saat itu mumpung saya masih diberi waktu oleh Allah. Jawaban dan perilaku tersebut adalah gambaran hatinya dan gaya berfikirnya. Rifai telah dapat menyerap nilai-nilai almamaternya yang secara sistematik mengakar pada lingkungan Pondok Gontor dan figur Kyainya. Dan diperkuat oleh nasehat dan doa gurunya ketika beliau berkunjung ke Gintung.

Referensi
Rosyad, Soleh.2005. Kiprah Kyai Entreupreneur Sebuah Pembaharuan Dunia Pesantren di Banten.Rangkas Bitung: LPPM La Tansa Mashiro

Anda mungkin juga menyukai