Disusun oleh:
NIM : 2016.38.0552
Dosen Akademik :
2017-2018
بسم هللا الرحمن الرحيم
A. Pendahuluan
Seperti yang telah diketahui bahwasanya Islam memiliki dua sumber hukum pokok,
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah telah menjanjikan akan senantiasa
menjaga Al-Qur’an, Allah juga menjaga sunnah-Nya dengan aneka ragam caranya.
Salah satu upaya penjagaan terhadap As-Sunnah atau Al-Hadits adalah dengan adanya
sarana mengkaji, menulis dan menyebarkannya.
Kajian Hadits di Indonesia dapat dikatakan masih terbilang sangat dini dibanding
dengan negara-negara Timur. Hal ini tercermin dari keadaan karya-karya ilmiah,
keberadaan literatur hadits, jumlah para sarjana dan pakar hadits yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Keterbatasan kajian hadits di Indonesia juga tercermin darin metode
dan hasil penetapan hukum yang dilkukan oleh organisasi-organisasi Islam dan lembaga-
lembaga yang berwenang memberikan fatwa.
Kajian Hadits di Indonesia baru dimulai sejak kedatangan Ahmad Surkati ke
Indonesia ada awal abad ke-20, kemudian muncullah tokoh-tokoh seperjuangannya
seperti KH Ahmad Dahlan yang khirnya mendirikan Muhammadiyah dan Haji Zam-zam
yang mendirikan Persis. Ahmad Surkati sendiri mendirikan Al-Irsyad. Yang mana awal
kemunculan mereka baru mengupayakan memperkenalkan ilmu hadits untuk
memberdayakan ummat mampu memahami ajaran dasar agama Islam.
Setelah mereka, muncullah tokoh-tokoh lain yang memiliki kontribusi dalam upaya
pengembangan kajian hadits di Indonesia. Seperti Ahmad Hassan, Hasbi As-Shiddiqy,
Ali Hasan Ahmad, Fathur Rachman, Muhammad Syuhudi Ismail dan KH Ali Mustafa
Ya’qub.1
Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan sedikit mengupas dan membahas tentang
salah satu tokoh yaitu KH Ali Mustafa Yaqub, salah satu karya tulisnya dan
kontribusinya di bidang hadits.
Pada tahun 1966 beliau mulai menuntut ilmu di Pesantren Seblak Jombang sampai
tingkat Tsanawiyah. Kemudian beliau melanjutkan belajarnya di Pesantren Tebu Ireng
Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak. Di Tebu
Ireng beliau menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sesepuh, antara lain
1
Abdul Wahid, Ramli, Sejarah Pengkajian Hadis Di Indonesia (Medan: IAIN Press, 2016) hlm.1
almarhum KH Idris Kamali, almarhum KH Shobari dan KH Syansuri Badawi. Di
pesantren ini beliau mengajar bahasa Arab sampai awal tahun 1976.
Kemudian beliau pulang ke Indonesia dan mengajar di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Jakarta, Institut Studi Ilmu Al-Qur’an (ISIQ/PTIQ) Jakarta, Pengajian Tinggi Islam
Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
(STIDA) Al-Hamidiyah, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1989
beliau bersama keluarganya mendirikan pesantren “Darus-Salam” di desa kelahirannya.
Sederet gelar dan keilmuannya menjadikan beliau termasuk tokoh dan pakar dalam
bidang hadis di Indonesia. Selain aktif mengajar dan berdakwah, beliau juga mendirikan
pondok pesantren luhur ilmu hadits Darus Sunnah di Ciputat, Banten. Dan juga aktif
menulis baik mengisi rubric di majalah atau dalam buku-buku nya. Beliau dipercaya
menjadi Imam Besar masjid Istiqlal, Jakarta. Beliau juga menjadi Sekjen Pimpinan Pusat
Ittihadul Muballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua STIDA al-HAmidiyah
Jakarta dan sejak Februari 1995 beliau diamanati untuk menjadi Pengasuh/Pelaksana
Harian Pesantren al-Hamidiyah, Depok, setelah pendirinya KH. Ahnmad Sjaichu wafat 4
Januari 1995. Terakhir, beliau didaulat kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga
Pengkajian Hadis Indonesia (LEPHI).2
Selain aktif di bidang dakwah, beliau juga aktif dalm tulis-menulis. Aktivitas
menulis beliau telah dimulai sejak beliau mengenyam pendidikan sarjana di Saudi
Arabia. Tulisannya telah mencakup berbagai pengetahuan Islam dimulai dari Al-
Qur’an,hadits, tafsir, fiqh dan sebagainya. Hampir sebagian besar artikel beliau dimuat
dalam majalah Amanah dan Harian Umum Ibukota. Artikel yang telah dimuat itulah
yang akhirnya dirangkum dan dijadikan satu dalam sebuah buku yang sebagian besar
diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta. Diantara karya beliau adalah Nasihat Nabi
2
Muhammad Ghifari, “Analisis Buku Hadis-Hadis Bermasalah Karya Ali Mustafa” dalam al-
ghifaritomaros.blogspot.co.id, diakses 28 Februari 2018
Kepada Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an, Imam Bukhori dan Metodologi Kritik
Dalam Ilmu Hadits, Kritik Hadits, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Peran Ilmu Hadits
Dalam Pembinaan Hukum Islam, Kerukunan Ummat Dalam Prespektif Al-Qur’an dan
Al-Hadits, Islam Masa Kini, Fatwa-Fatwa Kontemporer, M.M Azami Pembela
Eksistensi Hadits, Hadits-Hadits Bermasalah, dan Hadits-Hadits Palsu Seputar
Ramadhan.
Pada bagian ini pemakalah akan sedikit memaparkan beberapa hal yang berkaitan
dengan isi buku Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan.
Penulis memberi judul buku ini dengan Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan.
Sementara secara definisi terminologi tidak semua hadits yang menjadi bahasan buku ini
dinyatakan positif sebagai hadits palsu. Penulis mengatakan, persoalannya adalah kendati
dari segi definisi dan istilah beberapa hadits dalam buku ini tidak disebut hadits palsu,
namun dari segi status dan hujjiyah-nya hadits-hadits itu sama dengan hadits palsu yang
mana tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sebuah hukum dan tidak boleh
diriwayatkan kecuali untuk diterangkan kepalsuan atau kelemahannya. Beliau mengikuti
ulama zaman dahulu yang juga menulis kitab-kitab hadis palsu, namun tidak semua
hadits yang ada pada kitab tersebut dinilai palsu. Ada yang palsu dan ada pula yang semi
palsu.4
a. Apabila kita melihat pada buku penulis yang lebih dahulu terbit, yaitu buku Hadits-
Hadits Bermasalah, sebenarnya hampir semua pembahasan di buku ini sudah dibahas
disana. Hanya saja penulis memberikan beberapa tambahan dan perbaikan pada
tulisan sebelumnya, kemudian menambahkan tiga bab baru yaitu Shalat Tarawih 8
dan 20 Rakaat, Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Mengkritisi Pemikiran
Hadits Al-Albani.
b. Pada buku ini penulis menggunakan aneka ragam gaya bahasa. Penulis memadukan
antar metode penelitian ilmiah dengan metode cerita dan dialog. Berkaitan dengan hal
ini, penulis telah menyebutkan alasannya pada mukaddimah buku Hadits-Hadits
Bermasalah, yaitu untuk menghindari kebosanan dan kebingungan pembacanya.5
c. Seperti pada buku sebelumnya, penulis mengawali dengan menyebutkan hadits yang
popular sebagai inti pembahasan, kemudian menjelaskan kredibilitas perawi hadits
kemudian melanjutkan dengan menerangkan kualitas hadits dan terkadang
mendatangkan hadits yang serupa atau semakna yang diriwayatkan oleh jalur lain,
lalu mengakhiri dengan kesimpulan apakah hadits tersebut boleh dipakai untuk
berhujjah atau tidak.
d. Penulis terkadang memulai pembahasannya dengan cerita tentang beberapa kejadian
yang mana pada kejadian tersebut para tokohnya menggunakan hadits tersebut
3
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.9-12
4
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.11
5
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016) hlm.xxi
sebagai dalil atas pemikiran dan pembicaraan mereka, contohnya pada bab ke-empat
dengan judul Tidurnya Orang Berpuasa Itu Ibadah dan pada bab ke-enam dengan
judul Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat.
e. Penulis mencantumkan tanggapan Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang
shalat tarawih dan memberikan jawaban dengan jawaban yang panjang.
Hal ini bermula ketika penulis dalam artikelnya menyebutan sebuah teks hadits
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama melakukan shalat pada bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan witir” lemudian penulis menyebutkan beberapa ‘illah
dan menyatakan bahwasanya hadits ini adalah matruk karena dalam sanadnya adanya
perawi yang bernama Isa bin Jariyah. Penulis menyebutkan kredibilitas Isa bin Jariyah
dengan menukil pendapat Ibnu Main bahwa Isa adalah munkar al hadits (hadits-
haditsnya munkar) dan pendapat al Nasa’I bahwa Isa adalah matruk (pendusta).
Karena itulah –menurut penulis- hadits shalat tarawih delapan rakaat adalah hadits
matruk ( semi palsu ) karena rawinya pendusta.
Dan yang membuat heran Dewan Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah mengapa
KH. Mustafa Ya’qub tidak menampilkan hadits Aisyah yang derajatnya kuat itu.
Yaitu hadits
KH. Ali Mustafa Yaqub pun memberikan jawaban atas tanggapan Majelis Tarjih
Muhammadiyah dengan jawaban yang panjang6. Diantara jawaban yang dapat
pemakalah rangkum adalah:
6
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.76-103
1. Penulis tidak mencantumkan hadits Aisyah karena memang tujuan awal
penulis bukan untuk membahas shalat tarawih, shalat witir atau jumlah
rakaat keduanya, melainkan untuk menyebutkan hadits-hadits palsu seputar
Ramadhan, dan hadits Aisyah itu bukanlah hadits palsu.
Penulis sengaja tidak menyebutkan rujukannya, meskipun hal itu ada
padanya dan menunggu apa ada tanggapan dari masyarakat terhadap
tulisannya, dan ternyata tanggapan masyarakat beragam. Sekiranya
masyarakat diam saja tidak memberikan tanggapan apa-apa, penulis merasa
tidak perlu memberikan informasi tambahan. Tetapi apabila masyarakat
memerluka informasi lebih lanjut tentang hadits-hadits itu, maka penulis
sudah siap untuk memberikan informasi lebih lanjut.
2. Penulis memberikan tanggapan tentang hadits Aisyah dan mengatakan bahwa
penulis tidak lagi meragukan keshahihan hadits tersebut, akan tetapi penulis
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah berbeda pendapat pada konteks dan cara
istidlalnya saja.
Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa hadits tersebut
digunakan sebagai dalil untuk shalat tarawih, dan penulis berpendapat bahwa
hadits tersebut digunakan sebagai dalil shalat witir, dikarenakan penulis
mengikuti pendapat mayoritas ulama (versi penulis) tentang hal ini.
Pada hal ini, pemakalah sedikit menyanggah dengan fakta dimana Imam
Bukhari memasukkan hadits tersebut pada Kitab shalat tarawih dalam
kitabnya. Dan sudah diakui oleh ummat manusia bagaimana kefaqihan Imam
Bukhari dalam membuat tarajum kitab shahihnya.
Dan ketika penulis memberikan hujjahnya dengan menukil perkataan
Ibnu Hajar tentang syarh makhsud hadits Aisyah yang mana Ibnu Hajar
mengatakan “Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Nabi Shallallahu alaihi
wa sallama sepanjang tahun itu sama.” Padahal, disini Ibnu Hajar ingin
menjelaskan jumlah rakaat tarawih yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallama, mengingat Ibnu Hajar menyebutkan hal ini pada kitabnya
Fathul Bari yang mana itu adalah kitab yang beliau tulis untuk mensyarh
kitab Shahih al-Bukhari.
3. Penulis mengatakan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah taqlid kepada al-
Albani pada hadits Jabir
f. Pada buku ini, penulis mengkritik al-Albani secara personal dan intelektualnya,
bahkan menjadikannya pada pembahasan tersendiri.7
a. Pada bab Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat penulis menggunakan metode kisah pada
keseluruhan isinya. Dimana itu adalah kisah ketika penulis mengisi sebuah pengajian
ibu-ibu di suatu tempat di Kuningan Jakarta. Menurut pemakalah, metode ini kurang
tepat digunakan pada sebuah buku yang harusnya ilmiah. Terlebih, buku ini
membahas hadits yang seharusnya dimuliakan. Karena ada beberapa kata dan
pembahasan yang menurut pemakalah tidak layak apabila dicantumkan pada buku
seperti ini.
b. Pada mukaddimah buku Hadits-Hadits Bermasalah penulis memaparkan metode
yang dipakai – yang mana metode buku tersebut dan buku ini 93% sama- salah
satunya adalah menyebutkan kisah, sebagian fiktif dan sebagian yang lain fakta
dengan merubah nama tokoh dan tempat. Hal ini juga tidak selayaknya dilakukan.
Meski tujuannya baik tetapi mengikut sertakan sesuatu yang fiktif dalam pembahasan
seperti ini maka kurang tepat.
7
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.122
c. Pada buku ini penulis melakukan tadlis dan mengatakan bahwa al-Albani bodoh.
Yang mana hal ini tidak selayaknya dilakukan dan ditulis dengan bahasa yang terlalu
frontal.8
d. Pada mayoritas karyanya, penulis sangat suka menuliskan sesuatu tidak sampai
akarnya, tetapi hanya sebagian-sebagian. Dalam artian, penulis menulis sesuatu
kemudian menunggu orang lain memberikan tanggapan atau mengkritisi tulisannya
setelah itu penulis menjawab dan menyempurnakan makhsud tulisannya. Yang mana
hal ini akhirnya membuat pembaca bingung dan merasa rancu. Dan juga ditakutkan
akan membuat orang awam yang tidak memiliki ilmu yang memadai justru terjatuh
pada kesalahan.
D. Kesimpulan
Buku ini sebenarnya bagus jika dilihat dari tujuan awal penulis. Hanya saja karena
beberapa pemikiran, argumentasi juga cara istidlal penulis yang kurang baik, maka
ditakutkan akan membuat pusing dan bingung orang awam, lebih fatal lagi jika sampai
salah paham dan juga akhirnya menjadi PR tersendiri bagi ‘aalim – ‘aalim lain untuk
meluruskannya. Karena beliau adalah seseorang yang sangat berpengaruh pada
lingkungannya, khususnya murid-muridnya.
Bagaimanapun, beliau telah memberikan upaya kontribusinya dalam pengkajian ilmu
hadis di Indonesia dan dari beliau pula lahirlah pesantren yang mana pasti menelurkan
banyak murid dan alumninya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan
memberikan ganjaran atas usaha serta amalan beliau. Aamiin.
Wa Shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa wa Habiibinaa Muhammad....
8
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.93
Daftar Pustaka
1. al-ghifaritomaros.blogspot.co.id
2. Mustafa, Ali. 2013. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan . Jakarta: Pustaka
Firdaus.
3. Mustafa, Ali. 2016. Hadis-Hadis Bermasalah . Jakarta: Pustaka Firdaus.