Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Studi Analisis Kritis Buku Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan

Karya KH Ali Mustafa Yaqub, MA

(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Hadis di Indonesia)

Disusun oleh:

Iffa Nadiyatus Silmi Al-Ghoyamy

NIM : 2016.38.0552

Dosen Akademik :

Bisri Tujang, Lc., M.Hum

PROGRAM STUDI ILMU HADITS


SEKOLAH TINGGI DIRASAT ISLAMIYAH
IMAM SYAFI’I – JEMBER

2017-2018
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

A. Pendahuluan

Seperti yang telah diketahui bahwasanya Islam memiliki dua sumber hukum pokok,
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah telah menjanjikan akan senantiasa
menjaga Al-Qur’an, Allah juga menjaga sunnah-Nya dengan aneka ragam caranya.
Salah satu upaya penjagaan terhadap As-Sunnah atau Al-Hadits adalah dengan adanya
sarana mengkaji, menulis dan menyebarkannya.
Kajian Hadits di Indonesia dapat dikatakan masih terbilang sangat dini dibanding
dengan negara-negara Timur. Hal ini tercermin dari keadaan karya-karya ilmiah,
keberadaan literatur hadits, jumlah para sarjana dan pakar hadits yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Keterbatasan kajian hadits di Indonesia juga tercermin darin metode
dan hasil penetapan hukum yang dilkukan oleh organisasi-organisasi Islam dan lembaga-
lembaga yang berwenang memberikan fatwa.
Kajian Hadits di Indonesia baru dimulai sejak kedatangan Ahmad Surkati ke
Indonesia ada awal abad ke-20, kemudian muncullah tokoh-tokoh seperjuangannya
seperti KH Ahmad Dahlan yang khirnya mendirikan Muhammadiyah dan Haji Zam-zam
yang mendirikan Persis. Ahmad Surkati sendiri mendirikan Al-Irsyad. Yang mana awal
kemunculan mereka baru mengupayakan memperkenalkan ilmu hadits untuk
memberdayakan ummat mampu memahami ajaran dasar agama Islam.
Setelah mereka, muncullah tokoh-tokoh lain yang memiliki kontribusi dalam upaya
pengembangan kajian hadits di Indonesia. Seperti Ahmad Hassan, Hasbi As-Shiddiqy,
Ali Hasan Ahmad, Fathur Rachman, Muhammad Syuhudi Ismail dan KH Ali Mustafa
Ya’qub.1
Pada kesempatan kali ini, pemakalah akan sedikit mengupas dan membahas tentang
salah satu tokoh yaitu KH Ali Mustafa Yaqub, salah satu karya tulisnya dan
kontribusinya di bidang hadits.

B. Biografi Singkat Ali Mustafa Ya’qub

Beliau adalah Prof DR KH Mustafa Ya’qub, MA lahir di Batang, Jawa Tengah 2


Maret 1952. Beliau adalah imam besar Masjid Istiqlal Jakarta. Beliau juga guru besar
Hadis Institut Ilmu-ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

Pada tahun 1966 beliau mulai menuntut ilmu di Pesantren Seblak Jombang sampai
tingkat Tsanawiyah. Kemudian beliau melanjutkan belajarnya di Pesantren Tebu Ireng
Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak. Di Tebu
Ireng beliau menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sesepuh, antara lain

1
Abdul Wahid, Ramli, Sejarah Pengkajian Hadis Di Indonesia (Medan: IAIN Press, 2016) hlm.1
almarhum KH Idris Kamali, almarhum KH Shobari dan KH Syansuri Badawi. Di
pesantren ini beliau mengajar bahasa Arab sampai awal tahun 1976.

Beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam


Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Pada tahun 1976 M sampai tamat dan
mendapat ijazah license pada tahun 1980. Kemudian melanjutkan di Universitas King
Saud, jurusan Tafsir Hadits hingga selesai pada tahun 1985 dengan mendapat ijazah
master. Kemudian melanjutkan doctoral nya di Universitas Nizamia, Hyderabad India.
Kemudian lulus dengan disertasinya yang berjudul “Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan,
Obat, dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an dan al-Hadits”. Sidang
munaqoshahnya dilakukan oleh tim penguji internasional, dipimpin oleh Prof.Dr. M
Hassan Hitou, beliau adalah guru besar Fiqh Islam dan Ushul Fiqh Universitas Kuwait
yang juga direktur Ilmu-Ilmu Islam Frankfrut Jerman. Dengan para anggota penguji Prof.
Dr. Taufiq Ramadhan al-Buti (Guru besar dan ketua jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh
Universitas Damaskus, Suriah), Prof.Dr Mohammed Khaja Sharief M.Shahabuddin
(Guru besar dan ketua jurusan Hadits Universitas Nizamia, Hyderabad, India) dan
Prof.Dr M Saifullah Mohammed Afsafullah (Guru besar dan ketua jurusan Sastra Arab
Universitas Nizemia).

Kemudian beliau pulang ke Indonesia dan mengajar di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Jakarta, Institut Studi Ilmu Al-Qur’an (ISIQ/PTIQ) Jakarta, Pengajian Tinggi Islam
Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
(STIDA) Al-Hamidiyah, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan pada tahun 1989
beliau bersama keluarganya mendirikan pesantren “Darus-Salam” di desa kelahirannya.

Sederet gelar dan keilmuannya menjadikan beliau termasuk tokoh dan pakar dalam
bidang hadis di Indonesia. Selain aktif mengajar dan berdakwah, beliau juga mendirikan
pondok pesantren luhur ilmu hadits Darus Sunnah di Ciputat, Banten. Dan juga aktif
menulis baik mengisi rubric di majalah atau dalam buku-buku nya. Beliau dipercaya
menjadi Imam Besar masjid Istiqlal, Jakarta. Beliau juga menjadi Sekjen Pimpinan Pusat
Ittihadul Muballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua STIDA al-HAmidiyah
Jakarta dan sejak Februari 1995 beliau diamanati untuk menjadi Pengasuh/Pelaksana
Harian Pesantren al-Hamidiyah, Depok, setelah pendirinya KH. Ahnmad Sjaichu wafat 4
Januari 1995. Terakhir, beliau didaulat kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga
Pengkajian Hadis Indonesia (LEPHI).2

Selain aktif di bidang dakwah, beliau juga aktif dalm tulis-menulis. Aktivitas
menulis beliau telah dimulai sejak beliau mengenyam pendidikan sarjana di Saudi
Arabia. Tulisannya telah mencakup berbagai pengetahuan Islam dimulai dari Al-
Qur’an,hadits, tafsir, fiqh dan sebagainya. Hampir sebagian besar artikel beliau dimuat
dalam majalah Amanah dan Harian Umum Ibukota. Artikel yang telah dimuat itulah
yang akhirnya dirangkum dan dijadikan satu dalam sebuah buku yang sebagian besar
diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta. Diantara karya beliau adalah Nasihat Nabi

2
Muhammad Ghifari, “Analisis Buku Hadis-Hadis Bermasalah Karya Ali Mustafa” dalam al-
ghifaritomaros.blogspot.co.id, diakses 28 Februari 2018
Kepada Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an, Imam Bukhori dan Metodologi Kritik
Dalam Ilmu Hadits, Kritik Hadits, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Peran Ilmu Hadits
Dalam Pembinaan Hukum Islam, Kerukunan Ummat Dalam Prespektif Al-Qur’an dan
Al-Hadits, Islam Masa Kini, Fatwa-Fatwa Kontemporer, M.M Azami Pembela
Eksistensi Hadits, Hadits-Hadits Bermasalah, dan Hadits-Hadits Palsu Seputar
Ramadhan.

C. Analisis Buku Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan

Pada bagian ini pemakalah akan sedikit memaparkan beberapa hal yang berkaitan
dengan isi buku Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan.

1.1 Latar Belakang Penulisan

Penulis menyebutkan dalam mukaddimahnya bahwasanya latar belakang dituliskan


dan diterbitkannya buku ini adalah bermula ketika penulis menulis artikel bertajuk
Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan di Harian Umum Republika. Yang bertujuan
untuk memberikan informasi awal kepada masyarakat tentang hadits-hadits yang banyak
beredar diantara masyarakat, khususnya pada bulan Ramadhan, sementara hadits-hadits
tersebut sebagian besar sangat dhoif, bahkan tidak sedikit yang maudhu’ (palsu). Artikel
penulis pada waktu itu tidak disertai rujukan yang komplit, bahkan penulis menunggu
tanggapan pembacanya, apakah ada yang meminta keterangan atau informasi lebih lanjut
tentang rujukan-rujukan itu atau tidak.
Seperti yang diharapkan oleh penulis, banyak dari pembaca yang memberikan tanggapan
atas artikel penulis.Ada yang mendukung sepenuhnya dan ada pula yang mengkritik
penulis. Mereka menyampaikan tanggapannya secara beragam, ada yang menyampaikan
secara langsung dan juga tidak langsung.
Diantara tanggapan-tanggapan yang ada, ada dua tanggapan yang akhirnya
memberikan motivasi bagi penulis untuk menerbitkan buku ini. Dua tanggapan itu adalah:
Yang pertama,
Tanggapan yang datang dari seorang kiai pimpinan sebuah pesantren di kawasan
Bogor Jawa Barat. Kiai ini meminta kepada penulis agar memberikan informasi tentang
rujukan-rujukan penulis pada artikel yang telah terbit tersebut. Waktu itu, penulis
menjawab bahwasanya hadits-hadits palsu tersebut akan penulis gabungkan pada buku
yang sedang digarap oleh penulis dan akan segera terbit. Namun, Kiai tersebut
memberikan masukan untuk mengkhususkan hadits-hadist palsu seputar Ramadhan saja
agar lebih terperinci.
Yang kedua,
Tanggapan yang datang dari Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tanggapan ini tidak langsung kepada penulis, akan tetapi kepada seorang pembaca
majalah Suara Muhammadiyah yang bertanya dan menanyakan tentang kebenaran hadits
yang penulis sebutkan pada artikelnya, hanya saja Majelis Tarjih Muhammadiyah juga
menanggapi tulisan penulis yang ada di koran tersebut. Kendati tanggapan Majelis Tarjih
Muhammadiyah ini hanya pada bahasan tentang hadits shalat terawih delapan rakaat,
karena hal itulah cukup membuat penulis termotivasi untuk menerbitkan buku ini.
Dengan adanya dua tanggapan itulah penulis termotivasi untyk menerbitkan buku ini,
yang akhirnya beliau beri judul yang sama dengan artikel penulis yang menuai banyak
tanggapan, yaitu Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan.3

1.2 Hadits-Hadits Palsu Menurut KH Ali Mustafa Yaqub

Penulis memberi judul buku ini dengan Hadits-Hadits Palsu Seputar Ramadhan.
Sementara secara definisi terminologi tidak semua hadits yang menjadi bahasan buku ini
dinyatakan positif sebagai hadits palsu. Penulis mengatakan, persoalannya adalah kendati
dari segi definisi dan istilah beberapa hadits dalam buku ini tidak disebut hadits palsu,
namun dari segi status dan hujjiyah-nya hadits-hadits itu sama dengan hadits palsu yang
mana tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sebuah hukum dan tidak boleh
diriwayatkan kecuali untuk diterangkan kepalsuan atau kelemahannya. Beliau mengikuti
ulama zaman dahulu yang juga menulis kitab-kitab hadis palsu, namun tidak semua
hadits yang ada pada kitab tersebut dinilai palsu. Ada yang palsu dan ada pula yang semi
palsu.4

1.3 Sistematika dan Metodologi Penulisan Buku

a. Apabila kita melihat pada buku penulis yang lebih dahulu terbit, yaitu buku Hadits-
Hadits Bermasalah, sebenarnya hampir semua pembahasan di buku ini sudah dibahas
disana. Hanya saja penulis memberikan beberapa tambahan dan perbaikan pada
tulisan sebelumnya, kemudian menambahkan tiga bab baru yaitu Shalat Tarawih 8
dan 20 Rakaat, Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Mengkritisi Pemikiran
Hadits Al-Albani.
b. Pada buku ini penulis menggunakan aneka ragam gaya bahasa. Penulis memadukan
antar metode penelitian ilmiah dengan metode cerita dan dialog. Berkaitan dengan hal
ini, penulis telah menyebutkan alasannya pada mukaddimah buku Hadits-Hadits
Bermasalah, yaitu untuk menghindari kebosanan dan kebingungan pembacanya.5
c. Seperti pada buku sebelumnya, penulis mengawali dengan menyebutkan hadits yang
popular sebagai inti pembahasan, kemudian menjelaskan kredibilitas perawi hadits
kemudian melanjutkan dengan menerangkan kualitas hadits dan terkadang
mendatangkan hadits yang serupa atau semakna yang diriwayatkan oleh jalur lain,
lalu mengakhiri dengan kesimpulan apakah hadits tersebut boleh dipakai untuk
berhujjah atau tidak.
d. Penulis terkadang memulai pembahasannya dengan cerita tentang beberapa kejadian
yang mana pada kejadian tersebut para tokohnya menggunakan hadits tersebut

3
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.9-12
4
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.11
5
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016) hlm.xxi
sebagai dalil atas pemikiran dan pembicaraan mereka, contohnya pada bab ke-empat
dengan judul Tidurnya Orang Berpuasa Itu Ibadah dan pada bab ke-enam dengan
judul Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat.
e. Penulis mencantumkan tanggapan Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang
shalat tarawih dan memberikan jawaban dengan jawaban yang panjang.

Hal ini bermula ketika penulis dalam artikelnya menyebutan sebuah teks hadits
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallama melakukan shalat pada bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan witir” lemudian penulis menyebutkan beberapa ‘illah
dan menyatakan bahwasanya hadits ini adalah matruk karena dalam sanadnya adanya
perawi yang bernama Isa bin Jariyah. Penulis menyebutkan kredibilitas Isa bin Jariyah
dengan menukil pendapat Ibnu Main bahwa Isa adalah munkar al hadits (hadits-
haditsnya munkar) dan pendapat al Nasa’I bahwa Isa adalah matruk (pendusta).
Karena itulah –menurut penulis- hadits shalat tarawih delapan rakaat adalah hadits
matruk ( semi palsu ) karena rawinya pendusta.

Kemudian seorang pembaca mengirimkan surat ke majalah Suara


Muhammadiyah, no 088/Th ke-88, edisi 16-30 April 2003. Pembaca ini menanyakan
bagaimana sesungguhnya hokum asal shalat tarawih delapan rakaat.

Kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah memberikan tanggapan dan penjelasan


singkat tentang shalat terawih delapan rakaat dengan menyertakan beberapa hadits
sebagai dalil untuk penjelasan mereka. Salah satunya adalah hadits Aisyah yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud, At-Tirmidzi,
An-Nasa’I dan yang lainnya. Yang mana hadits tersebut adalah hadits yang kuat dan
tidak ada perawi yang lemah di dalamnya. Sedangkan hadits Jabir yang dikatakan
lemah oleh penulis –KH. Ali Mustafa Ya’qub- meskipun bukan menjadi pegangan
pokok Majelis Tarjih Muhammadiyah, hadits tersebut bukanlah matruk melainkan
hasan.

Dan yang membuat heran Dewan Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah mengapa
KH. Mustafa Ya’qub tidak menampilkan hadits Aisyah yang derajatnya kuat itu.
Yaitu hadits

...‫ما كان ال يزيد في رمضان وال في غيره على إحدى عشرة‬


Majelis Tarjih Muhammadiyah juga menyayangkan tulisan Prof. Ali Mustafa
Yaqub, MA yang tidak tuntas penjelasannya, sehingga menimbulkan keraguan bagi
orang yang tidak mendalam pengetahuannya dalam bidang hadits.

KH. Ali Mustafa Yaqub pun memberikan jawaban atas tanggapan Majelis Tarjih
Muhammadiyah dengan jawaban yang panjang6. Diantara jawaban yang dapat
pemakalah rangkum adalah:

6
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.76-103
1. Penulis tidak mencantumkan hadits Aisyah karena memang tujuan awal
penulis bukan untuk membahas shalat tarawih, shalat witir atau jumlah
rakaat keduanya, melainkan untuk menyebutkan hadits-hadits palsu seputar
Ramadhan, dan hadits Aisyah itu bukanlah hadits palsu.
Penulis sengaja tidak menyebutkan rujukannya, meskipun hal itu ada
padanya dan menunggu apa ada tanggapan dari masyarakat terhadap
tulisannya, dan ternyata tanggapan masyarakat beragam. Sekiranya
masyarakat diam saja tidak memberikan tanggapan apa-apa, penulis merasa
tidak perlu memberikan informasi tambahan. Tetapi apabila masyarakat
memerluka informasi lebih lanjut tentang hadits-hadits itu, maka penulis
sudah siap untuk memberikan informasi lebih lanjut.
2. Penulis memberikan tanggapan tentang hadits Aisyah dan mengatakan bahwa
penulis tidak lagi meragukan keshahihan hadits tersebut, akan tetapi penulis
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah berbeda pendapat pada konteks dan cara
istidlalnya saja.
Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa hadits tersebut
digunakan sebagai dalil untuk shalat tarawih, dan penulis berpendapat bahwa
hadits tersebut digunakan sebagai dalil shalat witir, dikarenakan penulis
mengikuti pendapat mayoritas ulama (versi penulis) tentang hal ini.
Pada hal ini, pemakalah sedikit menyanggah dengan fakta dimana Imam
Bukhari memasukkan hadits tersebut pada Kitab shalat tarawih dalam
kitabnya. Dan sudah diakui oleh ummat manusia bagaimana kefaqihan Imam
Bukhari dalam membuat tarajum kitab shahihnya.
Dan ketika penulis memberikan hujjahnya dengan menukil perkataan
Ibnu Hajar tentang syarh makhsud hadits Aisyah yang mana Ibnu Hajar
mengatakan “Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Nabi Shallallahu alaihi
wa sallama sepanjang tahun itu sama.” Padahal, disini Ibnu Hajar ingin
menjelaskan jumlah rakaat tarawih yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallama, mengingat Ibnu Hajar menyebutkan hal ini pada kitabnya
Fathul Bari yang mana itu adalah kitab yang beliau tulis untuk mensyarh
kitab Shahih al-Bukhari.
3. Penulis mengatakan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah taqlid kepada al-
Albani pada hadits Jabir

Majelis Tarjih menyebutkan bahwa hadits Jabir ( Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallama melakukan shalat pada bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan witir ) adalah hadits hasan menurut al-Albani.
Sedangkan penulis mengatakan bahwa hadits ini matruk menurut Syeikh
Ismail al-Anshari. Dikarenakan adanya perawi yang dhaif, yaitu Isa bin
Jariyah. Dan hadits dhaif tidak dapat meningkat kualitasnya apabila sebab
kedhaifannya karena rawinya pendusta atau fasik.

Dalam hal ini, pemakalah mencari kesimpulan kredibilitas perawi pada


kitab Taqrib al-Tahdzib milik Ibnu Hajar, beliau menyebutkan bahwa Isa bin
Jariyah kredibilitasnya tidak sama seperti yang dikatakan penulis. Ibnu Hajar
menyebutkan bahwa Isa bin Jariyah adalah Layyinul Hadits, yang artinya
haditsnya masih mungkin untuk diterima dan dijadikan hujjah.

4. Penulis juga menyanggah tentang pembatasan rakaat shalat tarawih dan


berpendapat bahwa shalat tarawih boleh berapa saja, karena tidak adanya
dalil yang shahih yang menegaskan jumlah rakaat tarawih yang dilakukan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallama.
Dalam hal ini, para ulama memang berbeda pendapat pada jumlah rakaat
shalat tarawih, namun ketika penulis mengatakan bahwa tidak ada dalil yang
shahih tentang shalat tarawih 11 rakaat, itu adalah salah. Karena jika saja
penulis mau meneliti lebih banyak lagi maka akan menemukan beberapa
hadits shahih dan hasan juga atsar sahabat yang bisa dijadikan hujjah akan
hal ini. Justru sebaliknya, menurut sebagian ulama bahwa hadits yang
menunjukkan sgakat tarawih 20 rakaat hadits-haditsnya tidak ada yang
shahih, apalagi yang tidak ada batasannya.
Oleh karena itulah, dalam hal ini mayoritas ulama menggunakan metode
al-jam’u bukan tarjih. Maka yang paling baik dan selamat adalah mengikuti
tatacara Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallama yaitu shalat 11 rakaat yang
mana sudah termasuk witir di dalamnya dan dilakukan dua rakaat-dua rakaat.
Dan yang terpenting adalah khusyu’, tuma’ninah dan ikhlas lillahi.

f. Pada buku ini, penulis mengkritik al-Albani secara personal dan intelektualnya,
bahkan menjadikannya pada pembahasan tersendiri.7

1.4 Studi Kritik Buku

a. Pada bab Shalat Tarawih 8 dan 20 Rakaat penulis menggunakan metode kisah pada
keseluruhan isinya. Dimana itu adalah kisah ketika penulis mengisi sebuah pengajian
ibu-ibu di suatu tempat di Kuningan Jakarta. Menurut pemakalah, metode ini kurang
tepat digunakan pada sebuah buku yang harusnya ilmiah. Terlebih, buku ini
membahas hadits yang seharusnya dimuliakan. Karena ada beberapa kata dan
pembahasan yang menurut pemakalah tidak layak apabila dicantumkan pada buku
seperti ini.
b. Pada mukaddimah buku Hadits-Hadits Bermasalah penulis memaparkan metode
yang dipakai – yang mana metode buku tersebut dan buku ini 93% sama- salah
satunya adalah menyebutkan kisah, sebagian fiktif dan sebagian yang lain fakta
dengan merubah nama tokoh dan tempat. Hal ini juga tidak selayaknya dilakukan.
Meski tujuannya baik tetapi mengikut sertakan sesuatu yang fiktif dalam pembahasan
seperti ini maka kurang tepat.

7
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.122
c. Pada buku ini penulis melakukan tadlis dan mengatakan bahwa al-Albani bodoh.
Yang mana hal ini tidak selayaknya dilakukan dan ditulis dengan bahasa yang terlalu
frontal.8
d. Pada mayoritas karyanya, penulis sangat suka menuliskan sesuatu tidak sampai
akarnya, tetapi hanya sebagian-sebagian. Dalam artian, penulis menulis sesuatu
kemudian menunggu orang lain memberikan tanggapan atau mengkritisi tulisannya
setelah itu penulis menjawab dan menyempurnakan makhsud tulisannya. Yang mana
hal ini akhirnya membuat pembaca bingung dan merasa rancu. Dan juga ditakutkan
akan membuat orang awam yang tidak memiliki ilmu yang memadai justru terjatuh
pada kesalahan.

D. Kesimpulan
Buku ini sebenarnya bagus jika dilihat dari tujuan awal penulis. Hanya saja karena
beberapa pemikiran, argumentasi juga cara istidlal penulis yang kurang baik, maka
ditakutkan akan membuat pusing dan bingung orang awam, lebih fatal lagi jika sampai
salah paham dan juga akhirnya menjadi PR tersendiri bagi ‘aalim – ‘aalim lain untuk
meluruskannya. Karena beliau adalah seseorang yang sangat berpengaruh pada
lingkungannya, khususnya murid-muridnya.
Bagaimanapun, beliau telah memberikan upaya kontribusinya dalam pengkajian ilmu
hadis di Indonesia dan dari beliau pula lahirlah pesantren yang mana pasti menelurkan
banyak murid dan alumninya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan
memberikan ganjaran atas usaha serta amalan beliau. Aamiin.
Wa Shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa wa Habiibinaa Muhammad....

8
Ali Mustafa, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013) hlm.93
Daftar Pustaka

1. al-ghifaritomaros.blogspot.co.id
2. Mustafa, Ali. 2013. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan . Jakarta: Pustaka
Firdaus.
3. Mustafa, Ali. 2016. Hadis-Hadis Bermasalah . Jakarta: Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai