Anda di halaman 1dari 72

i

ii
iii
Drs. Umar Ali Azis, MA.
FITRAH: KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM
(Kajian Alternatif Tafsir Tarbawy)
iv
Fitrah: Konsep Pendidikan Islam (Kajian Alternatif Tafsir
Tarbawi)
Copyright 2012 Umar Ali Aziz.
All right reserved.
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mem-
perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari Penerbit.
Layout: Tim Citra Kreasi Utama
Desain Cover: Alwahidi Ilyas
Diterbitkan oleh Penerbit INS YIRA
Jalan Wonosari Km. 21 Karangsari Nglanggeran Patuk
Gunungkidul Yogyakarta 55862
Telp. (0274) 6949198
E-mail: insyira@live.com
http://insyira.com
Cetakan I, November 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Umar Ali Aziz.
Fitrah: Konsep Pendidikan Islam (Kajian Alternatif
Tafsir Tarbawi) --- Yogyakarta: Penerbit Insyira, 2012.
x + 62 hlm.; 14.8 x 21 cm.
ISBN: 978-602-8830-28-7
v
KATA PENGANTAR
Hamdan wa syukran lillah wa salaman ala Rasulullah.
Atas izin Allah, penulis telah dapat merampungkan satu
buku kecil yang sederhana ini, buku ini merupakan
sumbangan pemikiran bidang tafsir tarbawy, karena di
dalamnya berisi kajian tentang konsep pendidikan yang di
derivat dari Al-Quran dan Hadits, Konsep pendidikan yang
dimaksud di sini adalah ftrah. Penulis berharap ftrah ini
bisa dijadikan alternatif konsep pendidikan Islam untuk
masa sekarang dan akan datang.
Atas rampungnya kajian alternatif tentang ftrah
sebagai konsep pendidikan ini yang sekarang telah penulis
tuangkan dalam satu buku, kiranya banyak teman yang
terlibat disini dan telah banyak memberikan bantuan
berupa ide, pokok-pokok pikiran di mana penulis tidak
mungkin menyebutkan satu satu per satu, untuk itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih.
Meskipun kajian ini telah selesai penulis bukuan,
penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam hal
kedalaman isi tentang pokok bahasan dasar mengenai
ftrah, dan ini masih terbuka peluang lebar bagi semua
pembaca untuk melakukan kajian lagi dengan lebih
mendalam, tujuannya adalah supaya kajian tentang ftrah
ini benar-benar menjadi satu kajian sempurna di kemudian
hari.
Kritikan yang sifatnya konstruktif dari semua pembaca
sangat penulis hargai untuk menjadi catatan bagi penulis
vi
sendiri sehingga penulis dapat melakukan perbaikan
atau revisi tentang tema yang penulis kaji di masa akan
datang. Kepada Allah jualah penulis berserah diri atas
segala kekurangan, dengan satu harapan semoga buku ini
bermanfaat bagi praktisi pendidikan secara menyeluruh.
Banda Aceh, Oktober 2012
vii
ABSTRAK
Fitrah menyiratkan adanya proses pencarian makna
dan sekaligus hasil pencarian makna itu sendiri. Fitrah
berarti tumbuh, terbit, menciptakan, menumbuhkan, sifat
asal, bakat, pembawaan, sifat awal penciptaan, perasaan
keagamaan. Fitrah sebagai potensi dalam transaksi
primordia1 setiap individu kepada Tuhan merupakan
disposisi natural yang dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh faktor kemudian, naluri religiusitas,
potensi ganda, yang dengannya faktor ajar berpengaruh
dalam perkembangan selanjutnya.
Ujung harapan untuk dapat memasyarakatkan
ftrah sebagai alternatif konsep pendidikan Islam. Oleh
karenanya. sebagai catatan akhir dapat diberikan secama
norma tentang konsep ftrah ini, yaitu:
Pertama, konsep ftrah ini berangkat dan mendasarkan
dari pada/diri flsafat pendidikan Islam yang berketuhanan
Allah SWT, berpedoman pada norma dalam al-Quran
dan al-hadits. Oleh karenanya berdimensi ganda untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kedua, konsep ftrah mengakui kebebasan absolut di
samping kebenaran relatif.
Ketiga, konsep ftrah ini sangat menghargai faktor
internal (harkat, minat, kecenderungan, afeksi dan lain-
lain) dan faktor eksternal (pengajaran, pendidikan,
lingkungan, pergaulan, dan lain-lain).
Keempat, konsep ftrah menilai bahwa segala sesuatu
ml ciptaan Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya serta
berjalan sesuai dengan hukum-hukum ketetapan-Nya.
Kelima, konsep ftrah mengakui bahwa manusia
viii
dilahirkan dalam keftrahannya dan dalam perkembangan
selanjutnya sengat bergantung kepada pendidikan yang
diperolehnya, lingkungan tempat ia bersosialisasi dan
pengalaman yang ia jalani.
Keenam, konsep ftrah memberikan keleluasaan
kepada peserta didik untuk mengembangkan diri
sedangkan pendidik lebih ditekankan sebagai fasilitator,
bukan mesin pencetak semaunya. Dengan demikian
peserta didik diharapkan lebih aktif sementara pendidik
Tut Wuri Handayani.
Di samping itu, da1m konsep ftrah yang ditawarkan,
terutama berdasarkan surat al-Alaq 1-5, terdapat beberapa
hal penting yang layak kita perhatikan, yaitu:
Pertama, pemerintah membaca itu sendiri yang diakui
sebagai representasi dan upaya melaksanakan kegiatan
ilmiah seoptimal mungkin. Kedua, aktivitas membaca
yang dicontohkan dalam teks ayat itu harus disandarkan
dengan nama Allah. Artinya segala aktivitas haruslah
dipertimbangkan benar-benar bahwa hal itu diridhai oleh
Allah. Dan inilah yang membedakan konsep ftrah dengan
konsep-konsep lainnya. Ketiga, insan yang disebut dalam
teks itu juga memberikan petunjuk bahwa manusia lah z
menjadi subyek pendidikan, bukan binatang atau alam.
Keempat, allama yaitu proses pembelajaran itu sendiri dan
Kelima lafadz Qalam yang diyakini sebagai representasi
dan seluruh sarana dan prasarana pendidikan.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ---------| v
ABSTRAK ---------| vii
DAFTAR ISI ---------| ix
BAB I
PENDAHULUAN ---------| 1
A. Latar Belakang Masalah ---------| 1
B. Rumusan Masalah ---------| 4
C. Ruang Lingkup Penulisan ---------| 5
D. Tujuan Manfaat Penulisan ---------| 5
E. Metode Dan Sistematika Penulisan ---------| 6
BAB II
MANUSIA DAN PENDIDIKAN ---------| 9
A. Manusia Dalam Perspektif Islam ---------| 9
B. Personality Manusia Dalam Pendidikan ---------| 16
C. Aliran Dalam Pendidikan Sebuah
Tinjauan ---------| 18
D. Signifkansi Pendidikan ---------| 20
BAB III
FITRAH DALAM PRESPREKTIF AL-QURAN
HADITS ---------| 23
A. Identifkasi Fitrasi Fitrah : Makna Dan
Pemakaiannya ---------| 23
B. Fitrah Menurut Ulama ---------| 30
x
BAB IV
FITRAH : KONSEP ALTERNATIF PENDIDIKAN
ISLAM ---------| 39
A. Reformulasi Konsep Pendidikan ---------| 39
Kebenaran Indrawi ---------| 41 1.
Kebenaran Rasional dan Filosof ---------| 42 2.
Kebenaran Intuisi (Kebenaran Hakiki) ------| 43 3.
B. Konsekuensi Aplikasi Konsep Fitrah ---------| 46
1. Tujuan Pendidikan ---------| 48
2. Subjek Pendidikan ---------| 49
3. Nilai / Materi Pendidikan ---------| 50
4. Metode ---------| 51
BAB V
PENUTUP ---------| 55
DAFTAR PUSTAKA ---------| 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah A.
Rumusan inti untuk term pendidikan barangkali
tercukupi dalam pernyataan transfer of values, suatu
proses dan upaya sadar alih-nilai.
1
Dalam Islam, nilai yang
dimaksud adalah ajaran Islam itu sendiri, yang norma dan
kaedah intinya yang terakumulasi dalam Al-Quran dan
Sunnah.
2
Dengan demikian, tentunya , di dalam kedua
otoritas norma Islam ini harus dapat digali dan mencakupi
tentang segala hal yang berkaitan dengan pendidikan,
baik itu konsep, teori, materi, sistem maupun metode
pendidikan Islam.
Di dunia pendidikan, pada umumnya terdapat
kecenderungan untuk mengikuti kelaziman konsep atau
teori yang ada, di mana kebanyakan mengikuti konsep
pendidikan Barat. Di dalamnya terdapat paling tidak tiga
teori tentang perkembangan manusia dan dalam hubungan
dengan pendidikan.
Teori pertama dimajukan oleh John Locke (1632
1704) dengan teori meja lilinnya atau tabula rasanya, di
mana ia menyatakan bahwa (anak) manusia laksana kertas
putih bersih yang kemudian perkembangannya ditentukan
oleh lingkungan, pengalaman atau faktor eksternal
1
Baca Ahmad Tafsir, Metode Khusus Pendidikan Agama Islam, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hal. 5 dan seterusnya.
2
Lihat Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. Pustaka Al-
Husna, Jakarta, 1992, hal. 359 dan seterusnya.
2
lainnya.
3
Jadi baik tidaknya manusia itu sangat dipengaruhi
oleh pengalaman hidup yang ia dijalani. Oleh karena itu
sangat di pengaruhi oleh pengalaman hidup yang ia jalani.
Oleh karenanya paham ini di kenal juga sebagai aliran
empirisme.
4
Di samping itu ada juga yang menyebutkan
sebagai paham Optimisme karena mereka yakin dan
percaya terhadap upaya pendidikan dan pembelajaran.
Teori pertama ini sebagai tesis awal dalam pendidikan.
Teori kedua sebagai antitesa terhadap teori pertama
dimajukan oleh Arthur Schopenhaour (1788-1860)
dengan teori bakatnya, di mana ia menyatakan bahwa
perkembangan manusia sangat di tentukan oleh faktor
bakat, minat atau pembawaan dalam yang telah ada
semenjak ia dilahirkan dari ibunya. Jadi peran pendidikan
dan pengalaman hanya sebatas meneruskan (legitimasi)
faktor internal yang telah dimiliki. Oleh karenanya paham
ini dikenal juga sebagai aliran nativisme. Karena tidak
begitu respon dan optimis terhadap pendidikan, maka
aliran ini terkadang disebut berpaham fesimisme.
Teori ketiga berusaha mengambil jalan sintesa
dari kedua ekstrimitas di atas dimajukan oleh William
Stern (1871-1938), dengan teori konvergensinya, yang
menyatakan bahwa perkembangan manusia ditentukan
oleh kedua faktor di atas, yaitu faktor internal sebagai
bakat dan pembawaan dan kemudian juga di pengaruhi
oleh faktor eksternal sebagai faktor ajar dan pendidikan
3
Lihat selengkapnya misalnya M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan
dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1998, hal. 41.
4
Empirisme merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata empiri
(pengalaman) dan isme (paham, gagasan, ide). Jadi empirisme adalah pa-
ham yang mempercayai pengalaman sebagai faktor penentu.
3
atau pengalaman hidup yang di terima.
5

Baik teori pertama, kedua maupun ketiga tidak
luput dari kritik tajam dari lawan bicaranya, karena
masing-masing dirasa masih terdapat celah-celah yang
menimbulkan pertanyaan. Untuk teori yang pertama,
misalnya, meskipun seorang anak mendapat pendidikan
dan pelajaran maksimal bila yang bersangkutan tidak
memiliki berat atau potensi maka hasilnya tokoh nihil juga
atau paling tidak, tidak sebagaimana yang diharapkan.
Sementara catatan untuk teori kedua, meskipun bakat dan
potensi telah dibawa sejak ia dilahirkan, namun bila tidak
ditindaklanjuti, akhirnya potensi tadi menjadi tidak ada
arti. Sedangkan teori ketiga, meski faktor internal (bakat)
dan eksternal (pendidikan) telah dipadukan, tokoh masih
ada dimensi lain yang belum tersentuh, yaitu faktor X ,
faktor yang keberadaannya sangat menentukan dan layak
di cermati. Diasumsikan jawaban ini sedikit banyak akan
dijumpai dalam konsep yang di tawarkan Islam.
Di dunia Islam, akankah norma dan kaedah yang
termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah memiliki konsep
atau teori pendidikan tersendiri yang lebih komprehensif
dan melegakan semua pihak.
Dalam tataran praktis terkadang terdapat
ketidakjelasan konsep yang di tawarkan atau dipersepsikan
secara salah oleh sebagian orang. Di satu segi dinyatakan
bahwa seolah-olah Islam menawarkan teori konvergensi
(perpaduan) adanya faktor bakat dan faktor ajar. Namun
dalam penjelasan lebih lanjut, dengan bertitik tolak dari
Hadits Rasul Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
5
Tentang ketiga aliran pendidikan ini baca misalnya Mastuhu, Di-
namika Pesantren, Disertai Doktor, Penerbit INIS, Jakarta, 1994, hal. 14 dan
seterusnya.
4
ftrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia
Nashrani, Yahudi atau Majusi
6
dinyatakan bahwa
anak laksana kertas yang bersih, kosong, kemudian akan
di tulis dan diwarnai dengan apa dan bagaimana sangat
bergantung pada kedua orang tuanya. Bila pemahaman ini
di kembalikan kepada teori pendidikan tadi, agaknya lebih
dekat kepada teori empirisme atau teori meja lilinnya John
Locke. Persepsi yang kurang tepat ini terkadang diperparah
oleh situasi dan kondisi yang tidak kondusif bagi pelaksana
pendidikan Islam.
Berdasarkan permasalahan di atas, agaknya yang
layak dikaji lebih intensif adalah term ftrah seperti dalam
nash di atas atau di tempat-tempat lain. Sebagai kajian
pendahuluan dapat dinyatakan bahwa ftrah dalam nash
di atas mencakup banyak makna. Di antaranya ftrah
bermakna sifat asal, bakat dan pembawaan, suci, bersih,
Islam, tauhid, potensi,
7
minat, kecenderungan, dan lain-
lain.
8
Rumusan Masalah B.
Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di
atas, maka masalah penelitian ini dapat di rumuskan
sebagai berikut:
Bagaimana konsep pendidikan dan kandungan makna 1.
ftrah yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits?
6
Hadits Riwayat Bukhari Muslim.
7
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1982, hal. 282. Lihat juga Ahmad Warson Al-Munawir, Unit
Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan, Yogyakarta, 1984, hal 1142. Luis
MaLuf, Al-Munjid f al-Lughah wa Al-alam, Dar al-Masyriq, Beirut, Leba-
non 1987, hal. 588.
8
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasar-
kan Al-Quran, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal 159-189.
5
Bagaimanakah pemahaman para pakar tentang konsep 2.
pendidikan yang Islami dan bagaimana persepsi
mufasir tentang makna ftrah yang terdapat dalam al-
Quran dan Hadits?
Ruang Lingkup Penelitian C.
Permasalahan di atas akan di selesaikan dan
dikemas di bawah judul penelitian, FITRAH : KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM (Kajian Alternatif Tafsir
Tarbawy). Anak judul yang berada dalam tanda dua
kurung ini sebagai pembatasan dan penjelasan skope
kajian tentang pendidikan Islam. Dalam hal ini yang
menjadi tema sentral kajian dalam penelitian ini adalah
term ftrah. Sebagai penjelasan singkat dapat dikatakan
bahwa dalam ftrah menyiratkan adanya banyak makna,
di antaranya suci, bersih, Islam, akidah, potensi, bakat
dan lain-lain. Barangkali juga menyiratkan adanya proses
pencarian makna dan sekaligus hasil pencarian makna itu
sendiri.
Skope penelitian semakin termotivasi untuk
mengangkat permasalahan ftrah ini, karena sepanjang
pengetahuan peneliti hingga kini belum didapati kajian
yang intens tentang permasalahan dimaksud, apalagi dalam
kaitannya dengan konsep pendidikan M. Dawam Raharjo
dalam Insiklopedi Al-Quran memang telah membahas
ftrah, namun uraian sangat umum.
Tujuan Manfaat Penelitian D.
Berdasarkan permasalahan yang telah di rumuskan dan
skope bahasannya, maka kajian ini secara umum bertujuan
untuk mengetahui konsep pendidikan Islam yang digali
6
dari sumbernya yang asli, yaitu dari Al-Quran dan Hadits.
Mengingat ftrah merupakan term yang dinilai signifkan
dalam hal ini, maka kajian hermeneutic terhadap term
tersebut dalam ajaran asli menempati posisi kunci. Bahkan
menurut asumsi awal ftrahnya menawarkan sebuah konsep
pendidikan Islam yang komprehensif sebagaimana sifat
agamanya. Namun demikian kajian ini tidak bermaksud
untuk menjustifkasi atau mengadili dengan semena-mena
suatu pendapat atau konsep pendidikan yang dimajukan
oleh para teoritisi lain, meskipun memberi catatan koreksi
dan memberikan alternatif yang dimajukan.
Dengan demikian, di samping diharapkan dapat
menyikapi lebih Arif dan bijaksana tentang keberagaman
makna ftrah itu sendiri sehingga kita dapat memahami
secara proporsional dan sesuai dengan konteksnya masing-
masing, juga dapat diketahui relevansinya dengan berbagai
konsep pendidikan Islam yang telah berkembang.
Melalui kajian ini di harapkan dapat memberikan
manfaat kepada mereka yang berkepentingan, terutama
mereka yang ingin mengetahui konsep tentang pendidikan
Islam, khususnya bagi para peminat studi Al-Quran atau
lebih khusus lagi bagi mereka yang menekuni disiplin ilmu
Tafsir Tarbawy di tanah air.

Metode Dan Sistematika Penulisan E.
Secara praktis pengumpulan data dalam kajian ini
dilakukan sepenuhnya melalui studi kepustakaan (library
research) dengan memanfaatkan berbagai literatur yang
relevan dan terjangkau menurut kemampuan peneliti.
Oleh karena itu data akan diolah dan diselesaikan secara
7
tekstual analisis komperatif. Barangkali pendapatan
yang akan di tempuh lebih mengarah kepada pendekatan
hermeneutic.
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan,
penelitian ini diprogramkan melalui beberapa tahapan,
yaitu: Pertama-tama diadakan studi kepustakaan mengenai
teori pendidikan secara umum, kemudian melakukan studi
thematic tentang makna ftrah. Dalam tahapan ini peneliti
berusaha menghimpun data dan mengilustrasikannya,
baik pemahaman para pakar klasik maupun kontemporer.
Dalam tahapan ini literatur ilmu pendidikan dan literatur
tafsir menjadi sangat penting karena merupakan sumber
primer.
Data kepustakaan yang telah teridentifkasi dengan
baik akan dianalisis seraya mengkonsumsinya satu sama
lain. Oleh karenanya berbagai pendapat atau konsep
terkadang saling uji untuk memprifkasi. Dari tahapan ini
kemudian peneliti menawarkan konsep alternatif.
Sebagai hasil penelitian akan dilaporkan dua hal yang
utama, yaitu konsep pendidikan umum dan Islam serta
perbandingannya, kedua makna ftrah yang terkandung
dalam al-Quran dan Sunnah serta persepsi para mufasir
tentang makna ftrah tersebut.
Adapun laporan hasil penelitian ini akan disistematisasi
menjadi empat bab pembahasan, yaitu: bab pertama
pendahuluan, berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metodologi dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua Landasan teori tentang konsep pendidikan,
mazhab-mazhab dalam pendidikan. Bab ketiga kajian
inti tentang ftrah, berisi identifkasi makna ftrah dan
8
analisisnya, ragam ftrah menurut ulama. Bab keempat
berisi gagasan kontemplasif peneliti tentang konsep ftrah
sebagai konsep alternatif dalam pendidikan Islam. Dalam
bab ini peneliti akan memberi catatan pada beberapa
konsep terdahulu kemudian pengajuan konsep alternatif
dan melihat prospeknya ke masa datang. Laporan penelitian
ini di akhiri pada bab kelima berupa penutup.
9
BAB II
MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Manusia Dalam Perspektif Islam A.
Bahasan tentang manusia dan dirinya sebagai
mikrokosmos (alam kecil) tidak semaju sebagaimana
bahasan tentang makrokosmos (alam besar, jagad raya).
Hal ini barang kali disebabkan keterlambatan kesadaran
manusia akan pentingnya mengetahui dirinya sendiri
sebagai manusia. Dalam hal ini diperkuat oleh Quraish
Shihab, di samping karena ciri-ciri khas manusia yang
cenderung hanya memikirkan hal-hal yang tidak pelik dan
kompleks seperti dirinya sendiri.
9
Dan manusia lazimnya
antusias bahkan memiliki sifat ingin tahu (curiosity)
terhadap alam sekitarnya, sehingga terbuai dan lupa akan
dirinya sendiri.
Kesadaran akan pentingnya mengetahui dirinya
sendiri pada mulanya kemudian melahirkan teori
misalnya yang menyatakan bahwa manusia adalah hewan
yang berpikir, manusia adalah makhluk sosial, manusia
adalah makhluk bermasyarakat, manusia adalah serigala
sesamanya, manusia adalah makhluk membaca teori-teori
lain yang senada. Mungkin akan sangat banyak teori yang
muncul dikaitkan dengan manusia tersebut.
Dalam al-Quran, manusia disebut dengan berbagai
lafadz, seperti insan, ins, nas, unas, basyar, bani Adam, dan
lain sebagainya. Bila basyar adalah lafadz yang di derivat
9
Lihat selengkapnya M. Quraish Shihab, wawasan Al-Quran Tafsir
MadhuI atas Palpagi Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1996, hal.
277-278.
10
daripadanya mengacu pada makna manusia secara biologis
dan fsik., sedangkan insan menunjuk kepada totalitas
manusia yang terdiri dari aspek fsik dan psikis.
Al-Quran menginformasikan secara umum,
menyangkut dengan periodisasi produksi dan reproduksi
manusia dalam surat al-Mukminun 67, di mana Allah SWT
telah menciptakan manusia mulanya dari tanah, kemudian
air mani, lalu menjadi segumpal darah dan kemudian
dilahirkan sebagai seorang anak untuk kemudian hidup
sampai dengan dewasa, tua dan akhirnya meninggal dunia.
Sebagai catatan utama menyangkut tentang atensi al-Quran
terhadap perkembangan manusia ini adalah adanya hikmah
yang dipetik oleh manusia, bahwa semua itu memerlukan
pelayanan dan penanganan secara proporsional. Di
antaranya adalah mengikuti dan menyesuaikannya dengan
perkembangan jiwa raganya masing-masing individu yang
bersangkutan.
Di samping itu dalam literatur pendidikan umum,
kita mengenal beragam periodisasi secara paedagogis,
menurut Comenius
10
perkembangan anak terbagi pada
empat periode, yaitu:
Periode sekolah 0-6 tahun. Masa ini lazimnya seorang 1.
anak sangat dengan orang tuanya, terutama ibunya,
baik secara biologis maupun psikologis. Hal inilah
yang menyebabkan masa ini dikenal sebagai masa ini
dikenal sebagai masa sekolah ibu, di samping memang
ibu dan orang tuanya merupakan guru pertama dan
keluarga merupakan sekolah pertama yang lazim
dialami oleh manusia.
10
Lihat Muh. Djamil Hamid, K.H., Manusia dan Fitrahnya, CV. Bina
Daya Cipta. Ujungpandang, Sulawesi Selatan, 1989, hal.7 dan seterusnya.
11
Periode sekolah bahasa ibu umur 6-12 tahun. Masa ini 2.
sebagai kelanjutan sekolah ibu, di mana seorang anak
telah mampu belajar beragam bahasa, meski dalam
skala sederhana. Dalam tataran praktis, biasanya anak
usia ini tengah duduk di bangku Sekolah Dasar atau
pendidikan dasar tahap pertama.
Periode sekolah bahasa latin umur 13-18 tahun. Pada 3.
masa ini anak telah tumbuh menuju masa remaja. Oleh
karenanya penguasaan beragam bahasa pun sudah
mulai intens dan mahir. Secara praktis, biasanya anak
usia ini tengah duduk di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) atau menempuh pendidikan dasar tahap kedua
Sekolah Menengah Umum (SMU).
Periode sekolah tinggi dan pengembaraan umur 18 4.
ke atas tahun. Masa ini sebagai masa pengembangan
dan aktualisasi dari pada lingkungan sekitarnya. Masa
ini menghantarkan kepada jenjang kedewasaan yang
sempurna, kemudian berangsur surut seiring dengan
tambahannya usia dan kondisi fsik serta psikis.
Sementara CH. Buhler
11
melihat dari tinjauan
Psikologis membagi perkembangan anak kepada enam
periodisasi, yaitu:
Umur 0-1 tahun merupakan masa kegiatan anak 1.
melatih diri untuk mengenal dunia sekitar. Masa ini
anak masih merupakan dunianya sendiri dan ditandai
dengan belajar berdiri dan berjalan.
Umur 2-4 tahun merupakan masa mengenal 2.
permainan dan mengenal bahasa. Pada masa ini dunia
di sekitarnya di ukur dengan dirinya sendiri.
Umur 3-5 tahun, anak mengalami masa krisis 3.
11
Muh. Djamil, Manusia hal. 8.
12
pertama karena ia mulai sadar akan akunya serta
kemauannya dan dunia sekitarnya harus tunduk pada
kemauannya.
Umur 5-8 tahun merupakan peralihan dari masa 4.
bermain kepada masa bekerja. Masa ini tumbuh
rasa tanggung jawab, minimal terhadap alat-alat
permainannya, dan tumbuh perasaan sosial serta
mulai realistik terhadap dunia sekitar.
Umur 9-13 tahun, anak mulai menginginkan kemajuan 5.
dan mengetahui dunia realitas. Oleh karenanya masa
ini berbagai faktor mudah mempengaruhinya.
Umur 13-dst tahun. Secara lahiriah badan anak 6.
mulai tumbuh subur secara psikologis jiwa anak
mulai merasakan ketenangan. Masa ini kemudian
menghantarkannya kepada masa pubertas.
Bila kedua tinjauan itu dipadukan,
12
maka periodisasi
perkembangan anak terbagi kepada:
Periode dalam kandungan selama sembilan bulan. 1.
Masa ini janin (anak) memperoleh pendidikan
terutama secara psikologis dari orangtuanya.
Periode bayi (0-1 tahun) merupakan masa vital yang 2.
sangat membutuhkan sentuhan orang tuanya dengan
edukatif.
Periode merebut dunia (1-3 tahun). Masa ini akan 3.
mulai apresiasi terhadap dunia sekitar.
Periode ahli syair (3-7 tahun) yaitu anak telah memiliki 4.
dunia dan dunia sekitar diukur dengan dirinya
sendiri.
Periode masa sekolah (7-14 tahun). Masa ini anak 5.
mulai mengembangkan daya intelijensinya (cognitive)
12
Muh. Djamil, Manusia hal. 9
13
psikomotorik dan efektif.
Periode Pubertas (14-18 tahun) masa ini anak 6.
mengalami krisis kejiwaan, alut, bingung dan lain
sebagainya.
19 tahun ke atas merupakan awal masa persekutuan 7.
baru menjadi anggota masyarakat.
Di samping periodisasi di atas, terhadap banyak
lagi ragam yang dibuat oleh para ahli. Seperti periodisasi
biologis, misalnya, menggambarkan bahwa manusia itu
mengalami beberapa fase,
13
yaitu:
Fase embrio mulai di saat bertemunya sperma seorang 1.
laki-laki dengan ovum seorang wanita (suami istri) di
rahim.
Fase kanak-kanak mulai sejak ia melahirkan ke dunia 2.
ini oleh ibunya.
Fase orang kuat dan dewasa, baik dari segi jasmani, 3.
rohani maupun intelektualnya.
Fase manula ketika usia senja dan tidak produktif 4.
lagi.
Fase akhir dunia ketika ia di panggil kembali oleh 5.
Allah.Sementara periodisasi lain seperti usia 0-7
tahun sebagai masa kanak-kanak,7-14 tahun sebagai
masa anak sekolah, 14-21 sebagai masa pubertas.
Adapun periodisasi yang dimajukan, Islam
menawarkan norma dasar yang dapat di jadikan
acuan. Dalam hal ini hendaknya pelaksana pendidikan
mempertimbangkan tingkat usia dan perkembangan
peserta didiknya.
Dalam diskursus tentang manusia layak
13
Lihat M. Arifn, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Ling-
kungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal. 26
14
dipertimbangkan paling tidak lafadz ftrah,
14
nafs, qalb, ruh,
aqal, di mana semua lafadz ini menunjuk kepada totalitas
manusia.
Lafadz nafs dipergunakan dalam konteksnya sebagai
totalitas manusia,
15
kondisi dalam yang terhadap dalam diri
manusia,
16
dan bermakna diri Tuhan sendiri.
17
Hanya saja
dalam konteksnya dengan manusia, nafs merujuk pada
aspek dalam yang terdapat pada manusia di mana bisa
menghantarkan ke perbuatan yang baik dan bisa juga yang
jahat. Oleh karenanya dalam nafs ini terhadap qalb (hati).
Hati (qalb) manusia berpotensi ganda, terkadang baik
tapi bisa juga jahat, terkadang senang di saat lain susah. Hal
ini sesuai dengan maknanya yang mebalik-balik. Dan di
sinilah letak baik tidaknya manusia. Di sini pula penilaian
mulia tidaknya seseorang dalam pandangan Allah.
Adapun ruh yang dikaitkan dengan manusia bermakna
nyawa, sedangkan yang dikaitkan kepada penyampai
wahyu bermakna malaikat Jibril. Sedangkan aqal berarti
daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu,
18

dorongan moral,
19
dan daya untuk mengambil pelajaran
atau hikmah yang baik.
20
Di samping itu, al-Quran sendiri memiliki pandangan
tentang kehidupan dunia ini. Di samping kehidupan di
alam supranatural di akhirat kelak. Tentang pendidikan,
14
Tentang ftrah ini akan dibahas secara khusus dalam bab-bab beri-
kutnya.
15
QS. Al-Maidah 32. Lihat selengkapnya misalnya penafsiran M.
Quraish Shihab, Wawasan, hal 285-295.
16
QS. Al-Radu 11.
17
Lihat Shihab, Wawasan, hal 285 dan seterusnya.
18
QS. Al-Ankabut 43
19
QS. Al-Anam 151
20
QS. Al-Mulk 10
15
misalnya, al-Quran banyak sekali menggunakan lafadz
rabb, tarbiyah (pendidik, pendidikan). Menurut Abul
Ala al-Maududi, rabb yang sering dipergunakan dalam
al-Quran berarti mendidik dan memberikan perhatian.
21

Allah sendiri menyatakan bahwa diri-Nya sebagai rabb al-
alamin (pendidik seluruh alam).
Di samping itu Nabi Muhammad juga
mengidentifkasikan dirinya sebagai mualim (pendidik,
pengajar). Oleh karenanya Nabi selalu memberikan
pengajaran kepada manusia, sehingga manusia mengenal
Tuhan yang telah menciptakan dirinya dan alam
semuanya.
Berdasarkan informasi nash dan pengakuan para
Nabi sebagaimana telah disetir di atas, agaknya kita dapat
berkesimpulan bahwa Islam memiliki konsep pendidikan
tersendiri, yang unik lain daripada konsep pendidikan
lainnya. Inilah yang menjadi tema sentral penelitian
literatur ini. Sebagai postulat tentang konsep pendidikan
Islam adalah didasarkannya pada al-Quran dan Al-Hadits,
berdimensi ganda duniawi-ukhrawi.
Namun dikarenakan sebuah konsep atau teori itu
merupakan hasil pemahaman dan penafsiran manusia
atas norma yang tertera dalam al-Quran dan Al-Hadits,
tentunya konsep temuannya bukanlah bersifat absolut
(mutlak benar). Artinya selama konsep itu menawarkan
gagasan yang ilmiah, rasional dan aplikable maka bisa
saja diikuti dan di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun ketika ditemukan penafsiran baru tentang konsep
pendidikan yang sama agaknya dapat dijadikan sebagai
21
Lihat Abdurrahman Shalih Abdullah,Landasan dan Tujuan Pen-
didikan menurut al-Quran serta Implementasinya, Penerbit CV. Diponegoro,
Bandung, 1991, hal. 42.
16
penyeleksi konsep yang telah ada untuk kemudian ditinjau
ulang, direformasi dan diuji kembali serta dipilih konsep
nama yang lebih menjanjikan mendekati kebenaran
wahyu. Jadi sekali lagi kebenaran konsep yang ditawarkan
dalam penelitian ini sifatnya relatif, dan yang absolut
adalah kebenaran wahyu yang hanya Tuhan sendiri yang
mengetahuinya. Sebelum membahas tentang konsep
pendidikan Islam yang ditawarkan, terlebih dahulu kita
akan mengklarifkasi tentang konsep atau aliran pendidikan
yang lazim dikenal dalam dunia pendidikan.
Personality Manusia Dalam Pendidikan B.
Manusia merupakan pelaku pendidikan, baik itu
sebagai subjek maupun objek. Kategori pertama memiliki
nuansa tersendiri yaitu berkebudayaan, memiliki nilai
sedangkan yang kedua tengah dalam proses pencarian
budaya dan nilai dimaksud. Oleh karenanya yang pertama
diakui sebagai orang dewasa dan yang kedua sebagai anak
atau orang yang belum dewasa. Artinya, anak tersebut
masih dalam proses pembudayaan atau mencari integritas
personalitasnya.
Antara kedua subjek/pelaku pendidikan tersebut tidak
bisa dipisahkan satu sana lain. Namun dalam tataran praktisnya
hubungan antara keduanya dalam proses pendidikan/
pembelajaran melibatkan interaksi yang pluralistic, seperti
lingkungan sosial budaya, lingkungan alamiah, bahan metode
dan lainnya sebagainya.
Perwujudan kepribadian seseorang agaknya terdeteksi
dalam penelusuran interaksi antar hubungan dimaksud. Semakin
intensif dan cerdas memanfaatkan segala moment yang ada dan
17
kemampuan mengembangkan kepribadiannya sendiri, maka
akan semakin kokoh pula tingkat integritas kematangan dan
kepribadian dirinya.
Dalam literatur umum, agaknya kepribadian seseorang
dikaji lebih intensif dalam disiplin ilmu jiwa perkembangan.
Seperti misalnya pendapat tokoh yang sering di kutip. Sigmund
Frued menyatakan bahwa integritas jiwa seseorang, secara
teoritis terdapat tiga bagian penting, yaitu:
22

Pertama, bagian yang dinamakan das es atau bagian
dasar (das Id). Sesuai dengan nama dan letaknya di bagian
paling dasar, bagian ini merupakan bagian a-sadar (bawah
sadar) yang amat berperan dalam tingkat laku manusia. Di
samping sebagai libido seksual, sebagian ini diyakini oleh
Frued juga sebagai sumbernya nafsu kehidupan.
Kedua, bagian das ich atau ego yang berada antara das
es bagian das uber ich bagian yang ketiga nantinya. Bagian
ini juga sesuai dengan letaknya, maka berperan sebagai
penengah dan penyeleksi atau penyetor antara kemauan
das es dengan das uber ich.
Ketiga, bagian yang disebut das uber ich (super ego), yaitu
seekor jiwa yang paling tinggi, paling sadar norma dan
aturan, atau hampir sama dengan kesadaran hati nurani.
Bagian ini yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial
yang sadar akan jati dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Kepribadian dalam Islam agaknya tercakupi dalam term
insan kamil, yaitu manusia yang sempurna dan paripurna.
Integritas personalitasnya dapat dipertanggungjawabkan,
baik di hadapan Allah sebagai Tuhan yang telah
menciptakannya maupun di hadapan manusia dan alam
22
M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1988, hal. 158-160
18
sekitarnya.
Integritas insan paripurna terdeteksi dalam prilaku
kesehariannya. Manusia yang paripurna ini hanya bisa
tercapai manakala ketiga aspek perangkat potensi dasar
yang ada pada dirinya (aspek physic-had ability, aspek
intelektualitas-head ability dan aspek psikis-heart ability)
23

diperdayakan secara simultan.
Aliran Dalam Pendidikan Sebuah Tinjauan C.
Selama ini telah dikenal luas adanya tiga teori paling
tidak tentang perkembangan manusia dan hubungan
dengan pendidikan. Teori pertama dimajukan oleh
John Locke (1632-1704) dengan teori meja lilinnya
menyatakan bahwa (anak) manusia laksana kertas putih
bersih yang kemudian perkembangannya ditentukan oleh
lingkungan, pengalaman atau faktor eksternal lainnya.
24

Jadi perkembangan manusia atau baik tidaknya manusia
itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang ia
jalani. Oleh karenanya paham ini dikenal juga sebagai
aliran empirisme. Di samping itu juga yang menyebutkan
sebagai paham optimisme karena mereka yakin dan
percaya diri terhadap upaya pendidikan di pandang sebagai
upaya membentuk atau mencetak apa saja kemauan di
pencetak, bagaikan mesin pencetak uang, logo kertas atau
barang lainnya. Apapun hasil cetakan mesin ini, sangat
bergantung kepada mesin pencetak itu sendiri, tidak pada
yang lainnya.
23
Lihat dalam bahasan pada bab selanjutnya.
24
Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
1992, hal.197.
19
Teori kedua sebagai antitesa terhadap teori yang
pertama dimajukan oleh Arthur Schopenhaour (1778-1860)
dengan teori bakatnya menyatakan bahwa perkembangan
manusia sangat di tentukan oleh faktor bakat, minat, atau
bawaab dalam yang telah ada.
25
Teori ini didukung juga
oleh tokoh kontemporer, J.J Rousseau (1712-1778) di mana ia
menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu baik,
hanya saja dalam perkembangannya lebih lanjut menjadi
terkontaminasi oleh manusia dan lingkungannya. Jadi peran
pendidikan dan pengalaman yang sebatas meneruskan
faktor internal yang telah dimiliki. Oleh karenanya paham
ini dikenal juga sebagai aliran nativisme. Karena tidak
begitu respon dan optimis terhadap pendidikan, maka
aliran ini terkadang disebut berpaham fesimisme.
Bila teori tabula rasa, pendidikan merupakan
upaya pembentukan atau pencetakan, maka dalam teori
nativisme, pendidikan lebih cenderung di pandang sebagai
upaya merealisasikan cetakan yang sudah dibawa semenjak
manusia dilahirkan.
Teori ketiga berusaha mengambil jalan sintesa dari
kedua ekstrimitas itu dimajukan oleh sarjana Jerman,
William Stern (1871-1939), dengan teori konvergensinya
menyatakan bahwa perkembangan manusia ditentukan
oleh kedua faktor di atas, yaitu faktor internal sebagai faktor
bakat dab pembawaan dan kemudian juga dipengaruhi
oleh faktor eksternal sebagai faktor ajar dan pendidikan
atau pengalaman hidup yang diterima.
26
25
Lihat Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Ores,
Jakarta, 1991, hal. 185.
26
Lihat Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Rineka
Cipta, Jakarta, 1991, hal. 294. Cf. Mastuhu, Dinamika Pesantren, Disertasi
Doktor, Penerbit INIS, Jakarta, 1992, hal. 5 dan seterusnya.
20
Baik teori pertama, kedua, maupun ketiga tidak luput
dari kritik tajam lawan bicaranya, karena masing-masing
dirasa masih terdapat celah-celah yang menimbulkan
pertanyaan. Untuk teori yang pertama, misalnya, meski
mendapat didikan maksimal bila yang bersangkutan tidak
memiliki bakat atau potensi maka hasilnya tokh nihil juga
atau paling tidak, tidak sebagaimana yang diharapkan.
Sementara catatan untuk teori kedua, meski bakat dan
potensi memadai bila tidak ditindaklanjuti, akhirnya
potensi tadi menjadi tidak ada arti sama sekali. Sedangkan
teori ketiga, meski faktor internal (bakat) dan eksternal
(pendidikan) telah dipadukan, tokh masih ada dimensi
lain yang belum tersentuh, yaitu faktor X. disinilah kita
sangat menghajatkan sebuah teori yang komprehensif dan
komplit.
Namun demikian, dengan mendasarkan diri analisis
pada ketiga teori tentang perkembangan manusia di atas,
agaknya dapat kita simpulkan bahwa masing-masing
individu memiliki karakteristik tersendiri (individual
deferences) yang memerlukan muncul disebabkan adanya
perbedaan faktor internal (pembawaan, bakat dan lain-
lain), milieu di mana ia bersosialisasi dan pengalaman yang
ia alami.

Signifkansi Pendidikan D.
Manusia menurut informasi al-Quran menempati
posisi ganda. Di satu pihak di sanjung dan menempati posisi
termulia di antara semua ciptaan Allah yang ada, namun di
pihak lain diinformasikan sebagai makhluk yang berkeluh
kesah, hina bahkan ada yang lebih rendah derajatnya
21
daripada binatang ternak. Agaknya predikat mulia atau
nista yang menyertai manusia itu sangat bergantung
kepada dirinya sendiri dalam menyikapi misinya di dunia
ini, yaitu sebagai Khalifah Allah f Al-ardhi dan Abd Allah.
Bila manusia bersungguh-sungguh dalam mengemban
misi ini,
27
niscaya predikat termulia akan menyertai.
28
Akan
tetapi bila sebaliknya, yaitu mengabaikan misi kekhalifahan
dan misi pengabdian,
29
maka manusia dinilai lebih rendah
kualitasnya daripada binatang ternak.
Dalam rangka mengemban misi kekhalifahan dan
misi pengabdian tersebut, manusia sangat memerlukan
bimbingan, didikan, arahan dan pencerahan. Kesemua
bentuk pertolongan ini tersimpul dalam kata pendidikan. Jadi
pada hakikatnya pendidikan merupakan proses penyadaran
terhadap misi kekhalifahan dan misi pengabdian manusia.
Bahkan menurut Quraish Shihab, mufasir Indonesia abad
modern ini menyatakan bahwa tujuan pendidikan qurani
adalah membina manusia secara pribadi dan komunal
sehingga mampu menunaikan fungsinya sebagai hamba
Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini.
30
Sebagai seorang hamba Allah memiliki tugas hanya
semata-mata mengabdi kepada-Nya, sebagaimana
dinyatakan secara tegas dalam Surat Al-Dzariyat ayat 56.
Sedangkan sebagai khalifah f Al-ardhi menghendaki
empat elemen yang saling berkaitan, yaitu pertama pemberi
27
Baca misalnya QS. Al-Ahzab, 72, Bani Izrail 71 dan lain sebagain-
ya.
28
Lihat Abdurrahman al-Nadwi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pen-
didikan Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1992, hal. 58.
29
Baca misalnya, QS. Al-Araf 179
30
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992 hal.
172
22
tugas, dalam hal ini adalah Allah SWT, kedua penerima
tugas yaitu manusia, baik sebagai pribadi maupun
kelompok, ketiga tempat di mana manusia mendiami dan
keempat materi-materi penugasan yang harus manusia
lakukan. Lebih lanjut Quraish Shihab
31
menyatakan
bahwa tugas kekhalifahan ini tidak dinilai berhasil bila
materi penugasan ini tidak terlaksana atau tidak adanya
hubungan harmonis antara pemberi dan penerima tugas.
Berkaitan dengan hubungan antara penerima dan pemberi
tugas, antara manusia dan Allah tentunya memiliki
corak beragam sesuai dengan situasi kondisi pribadi atau
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya penjabaran
tugas kekhalifahan juga hendaknya disesuaikan dengan
individual atau komunal deference yang bersangkutan.
Dalam tataran praktis, manusia di samping sebagai
subjek pendidikan dan juga sebagai objek pendidikan.
32
Jadi
secara individual setiap pribadi berhak menjadi pendidik
dan mendapatkan pendidikan. Hanya saja lazimnya yang
bertanggungjawab mengemban amanah sebagai pendidik
adalah orang dewasa dan yang belum dewasa menjadi
subjek pendidikan.
31
Quraish Shihab, Wawasan, hal. 173
32
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 1996, hal. 16.
23
BAB III
FITRAH DALAM PRESPREKTIF AL-QURAN HADITS
Idenrtifkasi Fitrasi Fitrah : Makna Dan A.
Pemakaiannya
Secara lughawinya kata ftrah yang berarti tumbuh atau
terbit,
1
atau menciptakan dan menumbuhkan.
2
Sedangkan
secara istilahiyah ftrah terkadang dipahami sebagai sifat
asal, bakat, dan pembawaan atau sebagai sifat di mana setia
dan wujud yang pasti memiliki sifat awal penciptanya, atau
sebagai perasaan keagamaan seseorang.
3
Dalam Arabic English Dictionary, Steingass
menyatakan bahwa ftrah yang dinilai sebagai potensi
dalam transaksi primordial setiap individu kepada Tuhan
merupakan disposisi natural yang dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh faktor kudian.
4
Lebih lanjut dinyatakan
juga bahwa ftrah dapat dipahami sebagai potensi
keberagaman (naluri religiusitas). Oleh karenanya dapat
dikatakan bahwa dalam ftrah menyiratkan adanya banyak
makna, di antaranya suci, bersih, Islam, akidah, potensi,
bakat, dan lain-lain. Juga sebagai potensi ganda, yang
1
Munawir A. Warson, Kamus al-Munawir, unit Pengadaan Buku-
Buku Ilmiah Keagamaan, Yogyakarta, 1984 hal 1142.
2
Muhammad Farid Wajdi, Diaratu MaArif al-Quran, al-Maktabah,
al-Ilmiah, al-Haditsah, Beirut, t.t., hal. 311.
3
W.J.S. Poerwadarminta Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pus-
taka, Jakarta, 1982, hal.282. Munawir, Kamus Munawir, hal. 1142, Juga Luis al-
Maluf, Munjid f al-lung-hah wa al-Alam, Daru al-Masryik, Beirut, Lebanon,
1987, hal.588
4
FF. Steingass Arabic English Dictionary, cosmo publication, New
Delhi, India, 1978, hal. 796
24
dengannya faktor ajar berpengaruh dalam perkembangan
selanjutnya. Barangkali juga menyiratkan adanya potensi
pencarian makna dan sekaligus hasil pencarian makna itu
sendiri.
Kata ftrah itu sendiri dalam teks al-Quran hanya
terdapat pada surat Al-Rum 30 saja, namun kata dasarnya,
fatarah dan padanannya terdapat dalam tujuh belas tempat
beragam konteksnya masing-masing. Secara rinci dapat
dicermati pada konteks berikut:
Makna hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah): (tetaplah) atas ftrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut ftrah itu. Tidak ada
perubahan pada ftrah Allah. (itulah) agama yang lurus,
tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. QS. Al-Rum:
30.
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. QS.
Al-Anam: 79.
Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepada Kamu
atas seruanku ini, upahku tidak lain adalah dari Allah yang
telah menciptakan. Maka tidakkah Kamu memikirkannya.
QS. Hud: 51.
Mengapa Aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakan dan hanya kepada-Nyalah Kamu (semua)
akan di kembalikan. QS. Yaasiin: 22
Tetapi (Aku menyembah) Tuhan yang telah
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan
memberikan Taufq kepadaku, QS. Al-Zuhruf:27.
Mereka berkata: kami sekali-kali tidak akan
25
mengutamakan Kamu daripada bukti-bukti yang nyata
(mujizat) yang telah datang kepada kami dari Tuhan yang
telah menciptakan kami; maka putuskan apa yang hendak
Kamu putuskan. Sesungguhnya Kamu hanya akan dapat
memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. QS. Taha:
72.
Atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin
(hidup) menurut pikiranmu. Maka mereka akan bertanya
Siapa yang menghidupkan kami kembali? Katakanlah yang
telah menciptakan Kamu pada kali yang pertama. Lalu
mereka akan menggeleng-gelengkan kepala kepadamu
lalu berkata: kapan itu akan terjadi? Katakanlah: mudah-
mudahan waktu berbangkit itu dekat. QS. Al-Isra: 51.
Ibrahim berkata: sebenarnya Tuhan Kamu adalah
Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakan dan Aku
adalah termasuk orang-orang yang dapat memberikan
bukti yang atas demikian itu. QS. Maryam: 91.
Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan
bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh. QS. Al-Syura:
91.
Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya
(karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih
dan memuji Tuhannya serta memohon ampun bagi orang-
orang yang ada di bumi. Ingatlah sesungguhnya Allah
Dialah yang Maha Pengampun lagi Penyayang. QS. Al-
Syura: 5.
Apabila langit pecah. QS. Al-Infthar: 1.
Dia pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan
bagi Kamu dari jenis Kamu sendiri pasang-pasangan dan
dari jenis binatang pasang-pasangan (pula), dijadikan-
Nya Kamu berkembang biak d3ngan jalan itu. Tidak ada
26
sesuatu apapun yang serupa dengan Dia, Dia lah yang Maha
Mendengar lagi Melihat. QS. Al-Syra: 11
Katakan: Apakah Aku jadikan perlindungan selain
dari pada Allah yang telah menjadikan langit dan bumi.
Padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?.
Katakanlah: sesungguhnya Aku di perintahkan supaya
Aku menjadi orang yang pertama berserah diri kepada
Allah, dan jangan sekali-kali Kamu termasuk orang-orang
musyrik. QS. Al-Anam: 14
Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah
menganugrahkan kepadaku sebagian pekerjaan dan telah
mengajarkan kepadaku takbir mimpi. Ya Tuhanku Pencipta
langit dan bumi, Engkau perlindungan dunia dan akhirat,
wafatkan Aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah Aku
bersama orang-orang yang shaleh. QS. Yusuf: 101
Katakanlah: wahai Allah, pencipta langit dan bumi
yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata, engkaulah
yang memutuskan antara hamba-hamba Mu tentang apa
yang selalu mereka perselisihkan. QS. Al-Zumar: 46
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang adakah sesuatu yang tidak seimbang. QS.
Al-Mulk: 3.
Langit pun menjadi pecah belah pada hari itu, adalah
janji Allah itu pasti terlaksana. QS. Al-Muzammil: 18
Term ftrah dalam konteksnya dalam surat al-Rum
30 bermakna Islam. Pemilihan makna ini didasarkan
pada alasan bahwa manusia diciptakan oleh Allah hanya
semata-mata untuk tetap konsisten pada keftrahannya,
yaitu beragama Islam. Dan sebagaimana diimani
Islam merupakan satu-satunya agama yang menjamin
27
keftrahan bertuhan. Berdasarkan ayat 30 dari surat al-
Rum itu pula sebenarnya Allah menghendaki hamba-
hambanya mengikuti agama yang lurus, mempertahankan
keftrahannya.
5
Penafsiran term ftrah kepada Islam juga
dipegangi oleh Ibn Abd al-Barry, Fuad Abd al-Baqi.
6
Hal
ini menurut al-Turmudzi diperkuat lagi bahwa manusia
semenjak di alam arwah (alam ruh, dzuriad) sebenarnya
memiliki kesadaran spiritual yang mengakui eksistensi
Allah sebagai Tuhansatu-satunya.
7
Dijelaskan pada ayat 172
dari surat al-Araf:172:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfrman): Bukankah Aku (Allah) adalah Tuhanmu?
mereka menjawab: Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini
(keesaan Tuhan),
Berdasarkan korelasi ayat di atas, maka sebagian
ulama menafsirkan ftrah dengan tauhid.
8
Penafsiran
ini didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Abbas yang
menyebutkan bahwa dia tadinya tidak memahami makna
5 Imam Burhanuddin Abu Hasan Bin Umar al-BiqaI Nadm al-
Dauran (tanasub ayat wa al-suwar,) juz V, Daru al-Kutub al-Ilmiyat, Beirut
t.t., hal. 621.
6 Fuad Abd al-BAQI, al-Lulu wa al-Marjan f ma Ittifaqa Alaihi al-
Shaikhan, Juz III Daru al-Fikri Beirut t.t., hal. 212.
7 Abu Abdillah al-Hakim al-Turmudzi, Nawadir al-Ushul f Ma rifah
al-Haditsah al-Ahadits al-Rasul Juz I Daru al-Kutub al-Ilmiyat, 1992, hal.
196
8
Lihat Abdurrahman Shalih Abdullah,Landasan dan Tujuan Pen-
didikan menurut al-Quran serta Implementasinya, Penerbit CV. Diponegoro,
Bandung, 1991, hal. 80.
28
fathir yang sebenarnya. Hingga kemudian datang orang
kepadanya dua orang Badui mengadu perkaranya tentang
sebuah sumur. Masing-masing mereka berhak memiliki
sumur ini, tetapi yang satu menyatakan bahwa ia yang
fathara sumur ini, tetapi yang satu menyatakan yang
pertama kali yang menggali sumur itu. Dari keterangan
inilah, maka ftrah diartikan tauhid, karena tauhid lah yang
pertama kali dalam agama.
Kembali ke makna ftrah, di samping semua itu ada
penafsiran lain yang menyatakan bahwa anak ketika lahir
membawa kesadaran spiritual (kesadaran beragama Islam),
tapi ftrah dalam pengertian suci, bersih tidak membawa
dosa warisan orangtuanya, sebagaimana keyakinan dalam
agama Kristen. Mengenai hal ini terdapat hadits Nabi
yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam
keadaan ftrah, maka dalam perkembangan selanjutnya
terserah kepada lingkungan, baik lingkungan material
maupun lingkungan masyarakat di mana ia tinggal. Di sini
terutama sekali dalam lingkungan keluarganya yang akan
membentuk kepribadiannya, apakah menjadi anak yang
baik atau buruk, tetap Islam atau menjadi Yahudi, Kristen
atau Majusi dan lain-lain.
Fitrah dalam hadits itu juga dapat di pahami sebagai
seperangkat potensi dasar yang diberikan Tuhan pada
manusia. Oleh karenanya aspek pembinaan dan pemberian
pendidikan kepada anak-anak hendaknya menjadi
perhatian serius bagi kita. Merujuk pada hadits yang sama
Ibn Qutaibah memaknai ftrah dengan karakter asli alami,
yang dengan perangai ini dijadikan media bagi Allah untuk
cenderung mengikuti agama lain.
9
9
Abu Muhammad Abdullah Bin Muslim bin Qutaibah, Tawil
Mukhalif al-haditsah, Daru al-Kutub al-Ilmiyat, Beirut t.t., hal. 121
29
Sebagian lainnya lafadz ftrah dimaknai dengan asal
penciptaan sebagai sunnatullah. Pemaknaan seperti ini
dapat di cermati misalnya dalam surat al-Anam 14 dan 79,
al-Fathir 1, Ibrahim 10, al-Syura 11, al-Zumar 46, al-Anbiya
56. Selebihnya lafadz ftrah yang bertebaran di berbagai ayat
dalam al-Quran biasanya dimaknai dengan terpecah belah,
seperti dalam al-Syura 5, al-Infthar 1, al-Muzammil 18 dan
Maryam 90, serta dimaknai seimbang di surat Muluk 3.
Dengan demikian setidaknya ada beberapa arti
penting dari ftrah. Di antaranya:
Agama (Islam). Pengambilan makna ini didasarkan
antara lain pada surat al-Rum ayat 30 di atas dan di lengkapi
oleh surat Ali Imran 19 dan lain-lain.
Tauhid. Pemilihan makna ini didasarkan antara lain 1.
pada surat al-Araf 172 yang sebelumnya dikorelasikan
dengan surat al-Rum 30 di atas.
Suci, bersih, tidak membawa dosa warisan. 2.
Pengambilan makna ini didasarkan pada hadits Kullu
Mauluddin.
Seperangkat potensi dasar. Pengambilan makna 3.
ini di dasarkan pada pemahaman tematis tentang
penafsiran surat al-Rum 30 al-Araf 192 dan hadits
Kullu Mauluddin, dan surat al-Nahlu 78.
Karakter asli alami. Pengambilan makna ini juga di 4.
dasarkan surat al-Rum 30 dan hadits Nabi tadi.
Penciptaan sebagai sunnatullah. Makna ini juga 5.
di dasarkan dari kontekstualisasi tentang ayat
yang menggunakan lafadz fathara (menjadikan ,
menciptakan).
30
Fitrah Menurut Ulama B.
Sebagaimana dipaparkan dalam identifkasi,
pemaknaan kata yang berakar pada lafadz fathara, ftrah
sangat beragam, demikian juga penafsiran ulama berkaitan
dengan lafadz dan makna ftrah tersebut.
Abu al-Suud berpendapat bahwa ftrah merupakan
potensi dasar yang mau menerima suatu kebenaran atau
berislam beserta konsekuensinya, di samping juga
kemungkinan pengingkaran akan kebenaran dimaksud
serta konsekuensi logisnya. Bila berpegang pada maksud
pertama berarti manusia berada dalam kehendak dan ridha
Allah, namun bila memilih lingkar seperti yang tergambar
dalam maksud kedua berarti manusia mengikuti jejak setan
dan masih dalam kehendak tapi bukan atas ridha-Nya.
10
Al-Suyuthi dan Al-Tabari ketika menafsirkan surat
Al-Rum 30 berpendapat bahwa ftrah sama dengan Islam.
11

Ibnu Madkur dalam Lisan Al-Arab menyatakan bahwa
Allah sebagai Maha Kreatif telah menciptakan makhluknya
dengan mempersiapkan dasar-dasar kehidupannya secara
komprehensif. Ia menganut pendapat Ibnu Haitsam
yang menyatakan bahwa manusia memiliki ftrah yang
disiptakanNya sejak dalam alam arwah arham danmendapat
aktualisasinya dalam kehidupan alam dunia ini (QS. Al-
Araf 172).
12

10
Qadhi al-Qudhat al-Imam al-Suud Muhammad bin Muhammad
Imadi, Tafsir Abu Suud, Beirut t.t., hal 60.
11
Abdu al-Rahman Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Durr al-Mansyur f
Tafsir al-Matsur. Jilid 21 Daru Fikri, Beirut 1982 hal. 492-493. Abu Jafar Mu-
hammad Ibnu Jarir al-Tabari, Tafsir Jamiu al-Bayan an Tawil al-Qiran, Jilid
19 Daru al-Fikri, Beirut 1984 hal 40-41.
12
Abu Fadal Jamal al-Din Muhammad Ibnu Madkur, Lisan Al-Arab,
Jilid V, Daru al-Shadir , Beirut t.t., hal.55-57
31
Hubungan antara surat al-Rum 30 dan al-Araf 172
pernah disinyalir oleh murtadha muthahhari di mana
ftrah yang dimaksudkan dalam surat al-Rum tersebut
adalah perjanjian primordial yang telah manusia ikrarkan
ketika di alam dzuriat sebagaimana di informasikan pada
surat al-Araf 172.
13
Lebih lanjut muthahhari menyatakan
bahwa para Rasul dan kemudian di teruskan oleh para
ulama bertugas mengingatkan manusia pada perjanjian
primordial itu, karena perjanjian itu telah di ikat dengan
ftrah mereka sendiri. Meski perjanjian primordial ini tidak
terbukukan di atas kertas atau tidak terucapkan dalam
lisannya seperti ketika di dunia ini, namun telah terukir
dengan pena ciptaan Allah di hati nuraninya manusia. Jadi
ftrah yang dimaksudkan di ini adalah Islam karena Islamlah
agama yang pertama kali dan sampai kini menekan dan
menandaskan sebagai agama ftrah.
14
Berdasarkan pemahaman Murthada Muthahhari
tersebut maka dalam perspektif al-Quran, agama atau
keyakinan yang diikuti oleh manusia hendaknya agama
yang mendukung kebutuhan ftrahnya, yaitu Islam.
Sementara bila merujuk pada pengalaman historis
sosiologis, sebenarnya agama atau keyakinan itu sendiri
mengalami semacam evolusi. Muthahhari memaparkan
hipotesis tentang evolusi beragama ini sebagai berikut.
15

Pertama agama merupakan kristalisasi dari masa
takutnya manusia terhadap alam sekitarnya, seperti
gelagar guntur, geledek, luasnya lautan dengan ombaknya
yang ganas menerjang, binatang buas yang menakutkan
13
Lihat Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang Manu-
sia dan Agama. Penerbit Mizan, Bandung 1992, hal. 45.
14
Murthada, Perspektif, hal. 45
15
Muthahhari, Perspektif al-Quran , hal. 45-49
32
dan berbagai kondisi alam serta gejala alam lainnya. Untuk
mendukung ide ini sampai-sampai Lucretius, seorang
faisolof Yunani, bahwa nenek moyang pertama para tahun
adalah dewa ketakutan. Walaupun dalam skala kecil,
namun masih kita dapati penganut teori ini.
Kedua, agama merupakan produk kebodohan
dan kesalahan manusia dalam menisbahkan ketidak
berdayaan kepada sesuatu yang ia yakini mendatangkan
kemaslahatan.
Ketiga, agama merupakan kontemplasi dari
sekelompok manusia untuk mencari keadilan dan
keteraturan. Teori ini agaknya dialami oleh mereka yang
mengalami kedzaliman di aturan hidup yang menawarkan
keadilan dan keteraturan bermasyarakat.
Keempat, agama merupakan sarana untuk
mempertahankan kelompok penindas agar tetap ada dan
kaum proletar tetap bersabar menerima nasibnya sebagai
abdi kaum kapital serta kaum proletar ini melancarkan
protes dan pemberontakan.
Kelima, agama merupakan manifestasi dalam naluri
seksual. Teori ini dimajukan oleh Sigmund Frued, di
mana ia berpendapat bila kondisi sosial telah mengekang
naluri seksual ini, maka ia akan mengalami stres dan
terkekang. Meski demikian sebenarnya naluri itu tetap
tersimpan di bawah sadarnya dan pada saat-saat tertentu
akan termanifestasikan dalam bentuk lahiriah, di antara
keyakinan atau agama.
Ketiga hipotesis yang pertama dalam skala global
agaknya tertelan oleh badai ilmu pengetahuan dan
teknologi, namun hipotesis keempat tetap bertahan meski
ilmu pengetahuan manusia telah maju. Sedangkan menurut
33
Murthada Muthahhari, teori kelima yaitu agama timbul
karena dorongan seks disesali sendiri oleh pencetusnya,
Sigmund Frued.
Mencermati ketidakakuratan teori yang dimajukan
di atas, agaknya Islamlah sebagai satu-satunya agama yang
menawarkan way of life-nya manusia, sehingga ftrahnya
dapat dipertahankan. Tentang keftrahan agama ini
Carl Gustav Jung menyatakan bahwa agama merupakan
hal-hal yang telah berada di dalam bawa sadar manusia
secara ftri dan alami. William James menyatakan bahwa
bila naluri materi yang menghubungkan manusia
dengan dunia materi, maka naluri spirituallah yang
menghubungkan manusia dengan alam spiritual. Alexi
Carrel menyatakan bahwa doa merupakan gejala agama
yang paling agung pada bathin manusia terdapat seberkas
cahaya yang menunjukinya ke jalan yang di ridhai oleh
Tuhan. Sementara Einstein menyatakan bahwa agama atau
Tuhan sebagaimana dipersepsikan oleh masing-masing
manusia, oleh karenanya boleh jadi agama dan keyakinan
beragam sesuai dengan individu yang bersangkutan dan
sosialisasinya dengan Islam sekitarnya. Namun Einstein
sendiri yakin bahwa Tuhan adalah totalitas, serba maha,
agung dan bijaksana, patut disembah dan di puji.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas
agaknya terdapat titik temu tentang agama atau keyakinan
yang hakiki adalah agama atau keyakinan yang mendukung
keftrahan yang dimiliki manusia, yaitu beragam dan
bertuhan Yang Esa.
Nah, sekarang bagaimana kita dalam menyikapi
potensi dasar itu. Manusia dalam kehidupan mengalami
proses interaksi dengan dunia luar. Sebagai penopang
34
pentingnya faktor didikan dan ini dijelaskan oleh Allah
dalam QS. Al-Nahl 78.
Berdasarkan surat Al-Nahl 78, Allah menyatakan
manusia ketika lahir masih dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu apapun. Dari pemahaman ini mengingatkan kita
tentang teori dalam pendidikan yang dimajukan oleh John
Locke dengan tabula rasanya (teori meja lilin) di mana
ia berpendapat bahwa seorang anak yang dilahirkan masih
dalam keadaan bersih ibarat kertas kosong dan untuk
perkembangan selanjutnya cenderung dipengaruhi oleh
faktor luar, dapat pengalaman dan pendidikan. Dalam term
pendidikan pemahaman seperti ini dikenal dengan aliran
empirisme.
Akan tetapi dilanjutkan ke teks berikutnya, wa jala
lakum al-sama wa al-abshara al-afidah (dan Allah telah
menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati)
niscaya tidak akan berkesimpulan bahwa Islam menganut
paham tabula rasa atau teori empirisme. Penggalan ayat
ini justru sebagai ftrah yang telah dianugrahkan oleh
Allah kepada manusia. Pemikiran seperti ini dalam ilmu
pendidikan dikenal dengan aliran nativisme (teori
bawaan). Teori ini dikembang-subur kan oleh Arthur
Schopenhour.
Dengan demikian di samping faktor eksternal yaitu
menekankan optimisme terhadap usaha manusia di dalam
mempengaruhi perkembangan anak, seperti melalui
pengajaran dan pendidikan sebagai internalisasi nilai-
nilai ajaran Ilahi, Islam juga mengakui adanya faktor
internal sebagai potensi anugrah Tuhan yang meyakinkan
untuk dikembangkan melalui bantuan latihan dan
pendidikan. Bila pemahaman ini diterima agaknya Islam
juga mempunyai konsep tersendiri tentang perkembangan
35
anak, yang cenderung menekankan pada kedua faktor
(internal dan eksternal atau bawaan dapatan, bakat ajar)
tersebut. Apakah dengan ini kita akan berkesimpulan
bahwa Islam me3nganut paham Konvergensi? Meskipun
jawabannya Ya, namun jelas konvergensi dalam Islam tidak
sama seluruhnya dengan teori konvergensi-nya William
Stern. Hal ini disebabkan antara lain, Islam memiliki
keunikan tertentu seperti mengakui dimensi duniawi dan
ukhrawi di samping harus memberdayakan aspek cognitive
efective dan psikomotorik. Ajarannya bersifat universal,
komprehensif dan applicable.
Potensi yang dimaksud dalam ayat ini secara kronologis
telah di sebutkan oleh Allah yaitu:
Potensi pertama adalah aspek fsik (al-Sama).
Lafadz al-Sama yang pada umumnya diterjemahkan
sebagai pendengaran sebenarnya secara implisit yang
dimaksud Allah dalam pemakaian lafadz itu-itu bisa saja
dipahami sebagai perangkat indrawi (potensi badan, indra
hand ability). Jadi penyebut al-Sama hanyalah sample
yang memiliki perangkat indrawi seperti pendengaran,
penglihatan, rasa dan kemampuan indrawi lainnya.
Indra yang sehat mengacu kepada persepsi,
pengamatan, yang mencukupi lima indra lahiriah yaitu,
perasaan tubuh, penciuman, perasa lidah, penglihatan
dan pendengaran. Kesemua indra ini hanyalah untuk
mempersepsi dunia lahir dan hal-hal yang bersifat
partikular.
16
Pemberdayaan potensi ini dikenal dengan olah raga,
olah ketrampilan, sehingga akan melahirkan generasi sehat
dan terampil secara psikomotorik.
16
CF. Syed Muhammad Naquid al-Atas, Islam dan Filsafat Sains,
Penerbit Mizan, Bnadung, 1995, hal. 34.
36
Potensi kedua adalah aspek pikir (al-Abshara) lafadz
al-Abshara (penglihatan) dapat dipahami sebagai potensi
berpikir (hand ability). Penglihatan merupakan aktivitas
terendah dari pemikiran. Bila dikembangkan secara intensif
potensi ini bukan saja berhenti pada penglihatan semata,
tapi lebih jauh lagi bisa melakukan research, penelitian dan
pemikiran berulang-ulang sampai menghasilkan sebuah
teori ilmu pengetahuan.
Pemberdayaan potensi ini memang tidak bisa
dilepaskan dengan potensi indrawi, karena kelima indra
yang memiliki tugas mempersepsi dunia lahir dan hal-
hal yang partikular terkait langsung dengan indra bathin
yang secara alamiah juga ikut mempersepsi citra-citra
indrawi dan maknanya, seperti menyatukan atau memilah-
milah, menyerap mengkonsumsi gagasan-gagasannya,
menyimpan hasil penyerapannya dan melakukan inteleksi
tantangannya. Kelima indra bathin merupakan indra
umum yang memiliki fungsi seperti representasi, estimasi,
ingatan, reintepretasi dan imajinasi
17
.
Pemberdayaan potensi ini dikenal dengan olah pikir,
yang di panggung kesejarahannya telah memproduksi
sejumlah pemikir atau flosof ternama.
Potensi ketiga adalah aspek Psikis (al-Afidah).
Kemampuan al-Afidah (hati, perasaan, hand ability)
sebagai potensi ketiga yang di anugrahkan Allah kepada
manusia. Dengan potensi inilah manusia dapat mengetahui
dan mengenal atau bersatu dengan Tuhannya. Dalam
potensi inilah hikmah mengambil peran sebagaimana
yang telah diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang di
kehendaki-Nya. Karena melalui intuisi seorang hamba bisa
17
C. Al-Atas, Islam, hal. 34-35
37
memperoleh kebijakan yang tiada tara.
Lafadz laallakum taskurun, menunjukkan bahwa
potensi yang telah diberikan Allah tersebut (indra, akal,
dan hati) harus diberdayakan sebagai realisasi rasa
syukur kepada Allah. Namun yang perlu diingat bahwa
pemberdayaannya mesti simultan kesemuanya. Bila
manusia mereduksi pemberdayaan potensi ini, berarti
belum menunjukkan rasa syukur yang sebenarnya kepada
Tuhan.
Pemberdayaan potensi ini dikenal dengan olah raga,
yang apabila diikuti prosedurnya akan tampil banyak ahli
suf, sebagaimana telah dicontohkan dan dilahirkan oleh
generasi terdahulu.
38
39
BAB IV
FITRAH : KONSEP ALTERNATIF
PENDIDIKAN ISLAM
Reformulasi Konsep Pendidikan A.
Pada bab sebelumnya kita telah melihat secara
singkat tentang tiga teori umum tentang pendidikan. Oleh
karenanya di bahasan ini, penulis berusaha memberikan
catatan dan koreksi serta pengajuan konsep alternatif yang
ditawarkan dalam pendidikan Islam. Oleh karenanya pada
bahasan ini sifatnya refektif individual, atau semacam
imajinasi intelektual penulis dengan mendasarkan diri
pada bahasan-bahasan sebelumnya. Karena sifatnya yang
demikian, maka relatif sedikit menggunakan literatur
yang dikutip atau yang diikuti. Kalaupun ada literatur
yang dipergunakan hanyalah bersifat pendukung ide dan
gagasan penulis dimaksud.
Islam mengajarkan bahwa manusia terlahir ke
dunia ini sesuai dengan ftrahnya, namun perlu diingat
bahwa ftrahnya yang di maksudkan di sini tidak sama
dengan pengertian tabularasa sebagaimana konsepnya
John Locke. Dalam berbagai keterangan akurat, ftrah
mempunyai beragam makna, di antaranya adalah agama
(Islam), tauhid, suci, bersih tidak membawa dosa warisan,
seperangkat potensi dasar, karakter asli alami, penciptaan
sebagai sunnatullah. Dengan demikian makna ini sekaligus
sebagai antitesa atau catatan untuk konsep tabularas atau
empirisme, artinya manusia itu di lahirkan bukan dalam
keadaan kosong, putih bersih tetapi di lahirkan dengan
40
keftrahannya.
Berdasarkan koreksi di atas berarti Islam sangat
menghargai faktor bawaan(internal). Hal ini lebih kuat
lagi dengan adanya konsep pendidikan pra-kelahiran,
yaitu pendidikan tidak langsung ketika anak masih dalam
kandungan. Misalnya orangtua membiasakan makan-
makanan yang halal, berlaku akhlaqul Karimah, dan
menghindari semua larangan Allah. Agaknya dapat kita
simpulkan bahwa konsep ftrah dengan konsep empirisme
(tabularasa) terdapat perbedaan yang prinsipil sebagaimana
yang telah diuraikan dan terdapat persamaannya.
Di antara persamaannya, baik konsep ftrah maupun
empirisme sama-sama memandang perlu dan optimis
terhadap faktor eksternal, pendidikan, pengajaran, dan
lingkungan sekitar. Dengan demikian, pengajaran dan
lingkungan segenap kefrtahannya, maka tugas pendidik
tidak mutlak sebagai pembentuk atau pencetak sebagaimana
dalam konsep empirisme, akan tetapi cenderung sebagai
fasilitator yang harus bisa menggunakan keftrahannya.
Sedangkan catatan untuk konsep nativisme yang
dimajukan oleh Schopenhauer sebagaimana telah tersirat
dalam statemen di atas, di mana dalam konsep ftrah sangat
menghargai faktor eksternal (didikan) di samping faktor
internal (bakat).
Adapun catatan untuk konvergensi yang dimajukan
oleh William Stern dapat dinyatakan dalam persamaan
dan perbedaan sebagai berikut.
Pertama, baik konsep konvergensi maupun ftrah sama-
sama mengakui pentingnya faktor internal dan eksternal,
namun karena konsep konvergensi berangkat dari flsafat
pendidikan sekular, flsafat anthropocentrism (kreasi
41
manusia) yang hanya berorientasi pada masalah duniawi,
sedangkan konsep ftrah berangkat dari flsafat pendidikan
Islam yang berkebutuhan yang berorientasi ganda duniawi
dan ukhrawi, maka sangat jelas perbedaannya.
Kedua, meski sama-sama berusaha mengembangkan
potensi manusia, namun arah dan sasaran konsep ftrah
sangat jelas dan komplit yaitu menghantarkan manusia
menjadi makhluk yang paripurna, ketiga potensi dasar
(hand-head dan heart ability)nya secara simultan menuju
kebahagiaan di dunia dan akhirat. sementara arah dan
sasaran konsep empirisme hanya berhenti pada tarbiyahnya
manusia yang dewasa demi kebahagiaan di dunia.
Ketiga, bila dalam ketiga konsep pendidikan hanya
mengenal kebenaran relatif [hasil capaian manusia,
maka dalam konsep ftrahnya terdapat kebenaran absolut
(mutlak benar)] di samping kebenaran relatif. Untuk lebih
jelasnya uraian berikut agaknya dapat membantu untuk
memahaminya.
Bersesuaian dengan tahapan kronologis tentang
pemberdayaan potensi manusia tersebut, maka kebenaran
juga memiliki peringatan. Kebenaran terkadang relatif
sifatnya, namun tidak menafsirkan terhadap kebenaran
yang bersifat absolut. Bila diperhatikan potensi manusia
secara kronologis, maka sebenarnya telah tersirat adanya
skala kebenaran yang di capai oleh manusia.
Kebenaran Indrawi
Secara kronologis, tahapan berpikir dan pencapaian
skala yang di capai oleh manusia berawal dari tahapan
praktis melalui pengamatan dan pengalaman terhadap
42
segala yang dapat langsung ditangkap dengan panca indra.
hal ini serta praktis dapat dipahami dari aktivitas manusia
itu sendiri.
Bila manusia merasakan gula, misalnya, kemudian
berkesimpulan gula rasanya manis, atau menyicipi
masakan lalu berkesimpulan asin, hambar, atau berjemur
di bawah terik matahari lalu merasakan panas, maka ini
merupakan kebenaran indrawi. Kebenaran ini merupakan
capaian terendah yang kebanyakan manusia mempunyai
kecenderungan sama.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa kemampuan indra
manusia sangat terbatas, maka terkadang dengan capaian
indrawinya manusia terjebak dalam kepalsuan atau
bahkan menyesatkan bila hanya indra semata-mata yang
percayainya. Di saat berada di tengah Padang pasir nan
luas, orang akan terpana melihat air yang nampak dari
kejauhan, padahal bila didekati hanyalah fatamorgana
belaka. Sebilah tongkat lurus apabila dimasukkan ke
kolam terlihat tongkat itu bengkok dari permukaan air
kolam. Bayangan benda akibat sinar matahari seolah tidak
bergerak dalam pandangan mata kita, padahal ia mengalami
pergerakan meski perlahan.
Keterbatasan kemampuan indra ini-ini menghajatkan
pada pemberdayaan potensi lain, yaitu kemampuan akal.
Kebenaran Rasional dan Filosof
Semua keterbatasan indrawi barangkali bisa dijelaskan
oleh akal. Hal ini dimungkinkan karena melalui berbagai
pengamatan dan penelitian manusia dapat menghasilkan
teori ilmu pengetahuan.
43
Bila pemberdayaan akaliyah ini terus diupayakan
untuk diperdayakan sampai di tingkat tertentu dengan
pelatihan yang intensif seperti merenung, kontemplasi
mendalam, maka ia akan sampai pada tataran flosofs.
Dan produk perenungan dan pemikiran akan bercorak
flosofs. Dari pemberdayaan ini mungkin saja manusia bisa
melahirkan etika atau norma atau aturan tertentu. Namun
kebenaran norma atau etika bercorak flosofs ini pun masih
bersifat relatif, karena kecenderungan hasil produk flsafat
antar person, satu orang dengan lainnya atau flsafat satu
bangsa dengan bangsa lainnya tidak selalu sama bahkan
terkadang bertolak belakang dan tidak bisa digeneralisasi.
Oleh karenanya manusia sangat menghajatkan kebenaran
yang dapat menentramkan dirinya. Di sinilah manusia di
tuntut untuk memberdayakan potensi diri.
Kebenaran Intuisi (Kebenaran Hakiki)
Ilmu tidak terbatas dan kebenaran rasional pun
demikian adanya. Hal ini dikarenakan objek ilmu juga
tidak ada batasnya. Tapi, sebenarnya ada batas kebenaran
dalam setiap dalam objek ilmu sehingga pencarian ilmu
yang benar bukan suatu upaya yang tanpa akhir, (endless).
Bila pencarian kebenaran tanpa akhir, maka mencari ilmu
yang memiliki masa star dan fnish menjadi mustahil serta
membuat ilmu atau kebenaran itu tidak bermakna.
Ilmu yang menghasilkan kebenaran indrawi-lahiriah
dan akaliyah-rasional memang dapat diperoleh dan terus
meningkat melalui penelitian yang dilakukan oleh manusia
dari generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan kini
maka berkembanglah ilmu pengetahuan dan teknologi.
44
Hal ini berbeda dengan kebenaran hakiki yang diperoleh
melalui intuisi yang bersifat absolut. Ketika manusia sudah
sampai pada tahapan ini maka ia akan merasa bahwa tak
ada lagi kebenaran selain kebenaran Absolut, kebenaran
Ilahiyah. Karena intuisi yang berperan, maka hikmah dari
Allah meliputinya.
Filsafat dan sains modern tidak mampu menyelesaikan
semua misteri eksistensi (Allah, mikrokosmos, dan
makrokosmos). Filsafat dan sains hanya mencoba
menjelaskan berbagai perspektif kebenaran visi dirinya
sendiri yaitu kebenaran flosofs.
Namun tentang objektivitas kebenaran dapat
teruji manakala tidak ada tempat lagi untuk mengubah,
menambah atau mengurangi. Kebenaran adalah dirinya
semata-mata, tidak kurang tidak lebih. Bagi setiap
kebenaran terdapat batas yang sepadan dengannya. Ilmu
tentang batas kearifan dan kebenaran ini adalah hikmah.
Dengan hikmah setiap kebenaran mendapatkan maknanya
yang tepat dengan tidak mengurangi atau melampaui.
Bila kita membaca al-Quran al-Karim di dalamnya
terdapat banyak contoh yang mengidentifkasikan bahwa
manusia berpikir tahap demi tahap, dari yang kecil kepada
yang besar, dari yang sederhana kepada yang kompleks,
dari skala elementer kepada yang abstrak dan seterusnya.
Kisah Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan yang
digambarkan dalam al-Quran membuktikan secara
jelas tahapan-tahapan dimaksud. Di mana dalam upaya
menemukan kebenaran adanya Allah sebagai kebenaran
hakiki, Nabi Ibrahim mula-mula mengamati hal-hal praktis
dan yang bisa di tangkap oleh panca indra, seperti bintang,
bulan, matahari, dan alam sekelilingnya. Kemudian
45
pencarian berakhir ketika Ibrahim menemukan kebenaran
hakiki dan eksistensi Ilahi di dalam dirinya sendiri, yakni
kebenaran yang diperolehnya melalui intuisi atau dengan
hati dan iman.
Perjalanan spiritual Nabi Ibrahim, Imam al-Ghazali,
al-Adawiyah jelas menggambarkan perkembangan manusia
yang berada dalam kerangka ftrahnya.
Berdasarkan bahasan tersebut, agaknya kita telah
sampai pada ujung harapan untuk dapat memasyarakatkan
ftrah sebagai alternatif konsep pendidikan Islam. Oleh
karenanya sebagai catatan akhir diberikan semacam
norma tentang konsep ftrah ini, yaitu:
Pertama, konsep ftrah ini berangkat dan mendasarkan
diri pada/dari flsafat pendidikan Islam yang berpengetahuan
Allah SWT, berpedoman pada norma dalam al-Quran
dan Al-Hadits. Oleh karenanya berdimensi ganda untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kedua, konsep ftrah mengakui kebenaran absolut di
samping kebenaran relatif.
Ketiga, konsep ftrah ini sangat menghargai faktor
internal (bakat, minat, kecenderungan, afeksi dan lain-
lain) dan faktor eksternal (pengajaran, didikan, lingkungan,
pergaulan dan lain-lain).
Keempat, konsep ftrah menilai bahwa segala sesuatu
ini ciptaan Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya serta
berjalan sesuai dengan hukum-hukum ketetapan-Nya.
Kelima, konsep ftrah mengakui bahwa manusia
dilahirkan dalam keftrhannya dean dalam perkembangan
selanjutnya sangat bergantung kepada pendidikan yang
diperolehnya, lingkungan tempat ia bersosialisasi dan
pengalaman yang ia jalani.
46
Keenam, konsep ftrah memberikan keleluasaan
kepada peserta didik untuk mengembangkan diri
sedangkan pendidik lebih di tekankan sebagai fasilitator,
bukan mesin pencetak semaunya. Dengan demikian
peserta didik diharapkan lebih aktif sementara pendidik
Tut Wuri Handayani.
Oleh karenanya mengingat kepentingannya di masa-
masa yang akan datang, maka konsep ftrah bisa lebih
dimasyarakatkan dalam dunia akademisi. Hal ini diperkuat
lagi adanya kenyataan bahwa konsep alternatif ftrah ini
dapat dijadikan acuan normatif, ideal, konseptual ini dalam
pendidikan Islam.
Bila konsep alternatif ini bisa diterima, maka beberapa
catatan sebagai konsekuensi logis akan tercipta, terutama
dalam hubungan dengan komponen pokok pendidikan, di
antaranya dapat dicermati pada sub bab berikutnya.
Konsekuensi Aplikasi Konsep Fitrah B.
Sebelum sampai pada konsekuensi logis dari penerapan
konsep ftrah terhadap komponen pendidikan, agaknya
perlu dikemukakan bahwa konsep ftrah sangat menghargai
ilmu pengetahuan. Oleh karenanya penguasaan dan
pendalaman ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi
setiap individu. Al-Quran banyak sekali mempergunakan
lafadz ilmu, alima, alim, ulama, talamun, taqilun
dan lafadz lain yang senada semakna. Yang kesemua
itu di memberikan porsi tinggi akan pentingnya ilmu
pengetahuan. Bahkan perintah yang mula-mula sekali
diterima oleh Nabi Muhammad saw adalah membaca.
Sebagaimana telah diketahui bahwa membaca merupakan
47
aktivitas ilmiah yang apabila intensitasnya dipertahankan
dan ditingkatkan maka akan banyak lahir beragam teori
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kedudukan iqra dalam
konsep ftrah ini sangat signifkan, sama dengan aktivitas
ibadah lainnya seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Dari kewajiban menegakkan pendidikan yang tertera
dalam surat al-Alaq 1-5 di atas, terdapat beberapa hal
penting yang layak kita perhatikan, yaitu:
Pertama, perintah membaca itu sendiri, kedua,
aktivitas membaca yang dicontohkan dalam teks ayat
itu harus disandarkan dengan nama Allah. Inilah yang
membedakan konsep ftrah dengan konsep-konsep
lainnya. Ketiga, insan yang disebut dalam teks itu juga
memberikan petunjuk bahwa manusialah yang menjadi
subjek pendidikan, bukan binatang, atau alam. Keempat
allama yaitu proses pembelajaran itu sendiri dan kelima
lafadz qalam yang diyakini sebagai representasi dari seluruh
sarana dan prasarana pendidikan.
Di samping itu dalam surat al-Taubah 122, Allah
menyatakan:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya
(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-
tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.
Barang kali tidak ada seorangpun di antara kita yang
meragukan adanya kewajiban untuk menguasai ilmu
pengetahuan, karena memang banyak sekali nash, baik
al-Quran maupun hadits Nabi yang mengidentifkasikan
48
kewajiban ini. Di samping itu banyak teoritis pendidikan
yang menyatakan bahwa menuntut ilmu atau kewajiban
melakukan proses belajar mengajar tidak mengenal
batas waktu. Kalaupun ada yang berpendapat bahwa
pendidikan itu sepanjang hayat atau long life of education,
namun dalam praktiknya proses pendidikan memang
telah diterapkan jauh sebelum seseorang memilih
hidupnya. Oleh karenanya dalam memilih jodoh, Islam
juga mengaturnya secara gamblang. Inti pemilihan jodoh
hendaklah dipertimbangkan faktor internal (bakat, minat,
intelijensi, skill, akhlaq, al-din) dan faktor eksternal (wajah,
keturunan dan lain-lain) sehingga setelah memasuki
jenjang pernikahan pasangan-pasangan ini benar-benar
qualifed dan nantinya dapat melahirkan generasi Qurani.
Secara generasi, ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan dalam konsep pendidikan ftrah ini. Di
antaranya faktor input atau masukan, faktor instrumental
input seperti guru, materi, nilai, situasi pendidikan, dan
faktor environmental input, seperti lingkungan keluarga,
masyarakat, dan faktor proses belajar serta output.
Adapun konsekuensi logis penerapan konsep ftrah
terhadap beberapa komponen pendidikan tersebut di atas
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tujuan pendidikan 1.
Konsep ftrah menawarkan tujuan pendidikan yang
hendak dituju adalah terbinanya pribadi dan masyarakat
raabani yang mampu dan mau melaksanakan fungsinya
sebagai Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah
f al-ardhi (khalifah Allah di muka bumi). Hal ini
hanya tercapai bila manusia dapat memberdayakan
49
seperangkat potensi (hand, head, and heart abilities)
yang ia miliki. Jadi tujuan pendidikan dalam konsep
ftrah sama dengan tujuan hidup itu sendiri-sendiri.

Sejalan dengan tujuan di atas, maka kita selalu
diingatkan akan misi dan tanggungjawab kita selaku
manusia, sebagaimana selalu di baca dalam shalat
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.

Minimal lima kali sehari semalam ini manusia
mendeklarasikan, mereformasi niat seperti ini, maka
sangat wajar bila seluruh aktivitas hidupnya selalu dalam
bingkai ridha Allah SWT.
Pencapaian target tentang tujuan hidup atau
tujuan pendidikan Islam tidak akan terlepas dari upaya
pemberdayaan ftrah yang dibawa oleh setiap manusia
ke dunia ini. Di samping pemenuhan kebutuhan fsik
biologis dengan segenap kebutuhannya dan pemenuhan
intelek dengan ilmu pengetahuan dan flsafatnya, konsep
ftrah juga mendambakan dikomplementasikan dengan
pemenuhan akan kebutuhan hati dengan iman dan
keyakinan. Jadi ilmu tentang wahyu-kategori pertama dan
ilmu kemanusiaan dalam kategori ketiga harus ada dalam
kurikulum versi konsep ftrah.

Subjek Pendidikan 2.
Subjek didik yang di maksudkan di sini ada dua
kelompok yaitu, peserta didik dan pendidik. Dalam konsep
ftrah keduanya memang peran penting dan sifatnya harus
komplementer, simultan, tidak bisa dinafkan salah satu
dari keduanya. Hanya saja dalam praktiknya keduanya
50
memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda.
Pendidik diasumsikan sebagai orang yang telah
dewasa dalam berbagai hal. dalam dirinya syarat dengan
nilai yang dibutuhkan oleh peserta didik. Sedangkan
peserta didik diasumsikan sebagai orang yang dalam proses
pendewasaan pencari dan pewaris nilai dari pendidik.
Dalam konsep ftrah, pendidik diharapkan berperan
sebagai fasilitator, dinamisator, motivator, bukan mesin
cetak. Sedangkan peseta didik di tuntut aktif sehingga
seperangkat potensi pemberian Ilahi yang ada pada dirinya
bisa teraktualisasi kan dalam kenyataan.
Nilai / Materi Pendidikan 3.
Dalam konsep ftrah tidak disangsikan lagi nilai yang
ingin diwariskan adalah ajaran Islam, yang tersimpul dalam
norma-norma dasar tertera pada al-Quran dan Al-Hadits.
Agaknya tipologi ilmu pengetahuan umum dan ilmu
pengetahuan agama direduksi jurang pemisahnya, dengan
asumsi kedua-duanya merupakan Islam yang bersumber
dari atau direstui oleh Islam. Barangkali sekarang
yang agaknya di perhatikan tentang skala prioritas dan
pembagian konsentrasi.
Nilai atau materi yang ingin diwariskan kepada
peserta didik dikemas dalam sebuah paket yang lazim
disebut kurikulum. Dalam konsep ftrah, karena tujuan
pendidikannya telah jelas maka kurikulumnya pun harus
disesuaikan. Secara garis besar terdapat beberapa kategori
ilmu yang harus diwariskan secara proporsional kepada
peserta didik. Oleh karenanya kurikulum pendidikan
ftrah ini dapat dirumuskan ke dalam tiga kategori ilmu,

yaitu:
51
Materi-materi yang berkaitan dengan al-Quran dan 1.
Al-Hadits. Termasuk dalam kategori ini ilmu bahasa
Arab dan seluk beluknya, tafsir, fqh, ushul, tarikh dan
sebagainya.
Subjek ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang 2.
manusia, baik sebagai makhluk individual maupun
komunal. Termasuk dalam disiplin ini adalah
ilmu psikologi, fsiologi, sosiologi, historiograf,
anthropologi, dan sebagainya.
Subjek ilmu yang berkaitan dengan materi atau 3.
kebendaan atau kealaman (nature), seperti biologi,
ekologi, astronomi, botani, fsika, kimia dan
sebagainya.
Dalam tataran praktis boleh jadi kategori dan
pembagian ketat seperti yang disebutkan di atas tidak
ditemukan. Jadi boleh uraian di atas hanya sebagai upaya
untuk mempermudah bahasan agar skala prioritas dapat
dipertimbangkan secara proporsional. Oleh karenanya
dalam konsep ftrah tidak mengakui adanya dualisme
kaku yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini (ilmu
pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama).
Metode 4.
Dalam al-Quran telah diisyaratkan tentang metode
pewarisan nilai Islami, yaitu dalam surat al-Nahl 124, di
mana Allah mensinyalir bahwa metode penyampaian materi
atau sosialisasi nilai pada manusia yang bersangkutan
harus beragam, disesuaikan dengan situasi kondisi yang
bersangkutan. Dalam ayat ini Allah mencontohkan adanya
beberapa cara menyampaikan materi/nilai, di antaranya di
52
tempuh dengan hikmah, jadal (diskusi, debat ilmiah) dan
mauidhah (pemberian pelajaran yang baik). Bila cara yang
pertama diperuntukkan bagai orang-orang yang berpikiran
brilian, para flosof, dan yang kedua bagi para cendekiawan
biasa, maka yang ketiga di peruntukkan pada golongan
awam.
Dalam tataran praktis ketiga cara pendekatan
sebaiknya diterapkan secara proporsional meskipun di
sana sini terkadang sifatnya harus komplementer.
Di samping itu metode uswah atau ketauladanan dari
pendidik juga disinyalir oleh Allah dalam ayat yang lain,

di mana perannya sengat benar dalam proses belajar
mengajar.
Al-Quran memperlakukan manusia sejalan dengan
unsur penciptaannya yang terdiri dari jasmani, rohani,
dan akal. Ketiga aspek ini mendapat perhatian yang serius
dalam konsep ftrah. Oleh karenanya penyajian materi
dalam pelaksanaan pewaris nilai, hendaknya menyentuh
ketiga aspek ini dan diupayakan secara terprogram
komprehensif.
Adapun dalam realisasinya proses pewarisan nilai atau
proses belajar mengajar, dapat dikembangkan multi method
untuk integritas tujuan pendidikan secara komplementer
dan proporsional. Metode dapat diterapkan antara lain
ceramah, cerita, demonstrasi, tanya jawab, diskusi,
wisata, drill, pemberian motivasi, ganjaran, hukuman
dan sebagainya. Penggunaan metode ini hendaknya
dipertimbangkan berdasarkan proporsional dan kesesuaian
dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, materi yang di
ajarkan, peserta didik yang menerima, sarana dan prasarana
yang tersedia dan komponen pendidikan lainnya.
53
Secara contemplative proses pendidikan menurut
konsep ftrah ini, dapat digambarkan sebagai berikut:

54
55
BAB V
PENUTUP
Fitrah menyiratkan adanya proses pencarian makna dan
sekaligus hasil pencarian makna itu sendiri. Fitrah berarti
tumbuh, terbit, menciptakan, menumbuhkan, sifat asal,
bakat, bawaan, sifat awal penciptaan, perasaan keagamaan.
Fitrah sebagai potensi dalam transaksi primordial setiap
individu kepada Tuhan merupakan disposisi natural yang
dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor kudian,
naluri religiusitas, potensi ganda, yang dengannya faktor
ajar berpengaruh dalam perkembangan selanjutnya.
Ujung harapan untuk dapat memasyarakatkan ftrah
sebagai alternatif konsep pendidikan Islam. Oleh karenanya
sebagai catatan akhir dapat diberikan semacam norma
tentang konsep ftrah ini, yaitu
Pertama, konsep ftrah ini berangkat dan
mendasarkan diri pada/dari flsafat pendidikan Islam yang
berpengetahuan Allah SWT, berpedoman pada norma
dalam al-Quran dan Al-Hadits. Oleh karenanya berdimensi
ganda untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kedua, konsep ftrah mengakui kebenaran absolut di
samping kebenaran relatif.
Ketiga, konsep ftrah ini sangat menghargai faktor
internal (bakat, minat, kecenderungan, afeksi dan lain-
lain) dan faktor eksternal (pengajaran, didikan, lingkungan,
pergaulan dan lain-lain).
Keempat, konsep ftrah menilai bahwa segala sesuatu
ini ciptaan Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya serta
berjalan sesuai dengan hukum-hukum ketetapan-Nya.
56
Kelima, konsep ftrah mengakui bahwa manusia
dilahirkan dalam keftrhannya dean dalam perkembangan
selanjutnya sangat bergantung kepada pendidikan yang
diperolehnya, lingkungan tempat ia bersosialisasi dan
pengalaman yang ia jalani.
Keenam, konsep ftrah memberikan keleluasaan
kepada peserta didik untuk mengembangkan diri
sedangkan pendidik lebih di tekankan sebagai fasilitator,
bukan mesin pencetak semaunya. Dengan demikian
peserta didik diharapkan lebih aktif sementara pendidik
Tut Wuri Handayani.
57
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdu al-Rahman Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Durr al-
Mansyur f Tafsri al-Matsur, Jilid
21, Daru al-Fikri, Beirut, 1982.
Abdurrahman Shalih Abdullah, Teori-Teori
Pendidikan Berdasarkan A1-Quran, Rineka Cipta, Jakarta,
1990.
Abdurrahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan
Pendidikan menurut al-Quran serta Implementasinya,
Penerbit CV. Diponegoro, Bandung. 1991.
Abu Abdillah al-Hakim al-Turmudzi, Nawadir al-Ushul
f Marifah al-Haditsah al-hadits al-Rasul Juz 1, Daru al-Kutub
al-Ilrniyab, 1992.
Abu Ahmadi P5ikologi Umum, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta, 1992.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Abu Fadhal Jamal al-Din Muhammad lbn Madkur,
Lisan al-Arab, Jilid V, Daru al-Shadir, Beiurut, t.t.
Abu Jafar Muhammad lbnu Jarir al-Tabari, Tafsir Jamiu
al-Bayan an Tawil al-Qiran, Jilid 19, Daru el-Fkri, Beirut,
1984.
Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah,
58
Tawil Mukhtalif al-Ahadits, Daru al-Kutub al-Ilimiyat,
Beirut, t.t.
Abu Saud, Muhammad Ibn Muhammad al-Imadi,
Tafair Ibn Masud, Dar al-Akhyar, Beirut, Lebanon, t.t.
Abdurrahman al-Nadwi, Prinsip-Prinsip dan Metode
Pendidikan Islam, CV, Diponegoro, Bandung, 1992.
Ahmad Tafsir, Metode Khusus Pendidikan Agama
Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992.
Ahmad Tafsir, Metode Khusus Pendidikan Agama
Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992.
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir, Unit
Pengadaan Buku-Buku llmiah Keagamaan, Yogyakarta,
1984.
Al-Abrasy, M. Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan
Islam, PT.. Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafr al-Maraghi, Oar
al-Fikri, Kairo, Mesir, 1972.
Al-Maluf, Luis, A1-Munjid f A1-Lughah wa al- Alam,
Oar A1-Maeyriq, Beirut, 1987.
Al-Suyuthi, Abd al-Rahman Jalal al-Din, Dar al-
Mansyur f Tafsiri al-Matsur, Dar al-Fikri, Beirut, 1984.
Al-Thabari Abu Jafar Muhammad Ibn Jarir, Jami al-
Bayan An Tawili al-Quran, Dar al-Fikri, Beirut, 1984.
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (saduran
59
bebas oleh Pihak Penerbit) Rake Sarasin, Yogyakarta, 1990.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Karya,
Jakarta, 1982.
Fakhruddin lbn Dliya al-Din Umar, Muhammad, al-
Razi, Tafsir ai-Razi al-Musytahar bi aJ-Tafsiri Kubr wa
Mafatihi al-Ghaib, Dar al-Fikr, Beirut, 1985.
Farij Wajdi, Muhammad, Dairatu
Maarif a1-Quran, Al-Maktabah al-
Ilmiah a1-Hadiah. Beirut, t.t.
FF. Steingass, Arabic English Dictionary, Cosmo
Publication, New Delhi, India, 1978.
Fuad Abd al-Baqi, aAi-Lulu wa al-Marjan f ma Ittifaqa
Alaihi al-Shaikhan, Juz III, Daru al-Fikri. Beirut, t.t
Haji KarIm Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar.
Pustaka Panjimas, Jakarta.
Hassan, Chadjijah, Kajian Perbandingan Pendidikan,
Penerbit Al-Ikhlas, Surabaya, Indonesia, 1965.
Henry, B. Nelson, Philosophies Of Education,
University Of Chicago Press, Chicago, USA, 1962.
Ibn Mudhar, Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn
Mukr, Lisan al-Arab, Dar al-Shadir, Beirut, t.t.
Imam Burhanuddin Abu Hasan bin Umar a1-Biqai,
Nadm al-Dauran Tanasub ayat wa al-suwar, Juz. V, Daru al-
Kutub al-Ilmiyat, Beirut, t.t.
60
Imam Fakhru Razi, Al-Tafsir Al-Kabir Al-Kasayaf,
Daru Fikri, Beirut Lebanon, t.t.
Ismail Ibn Katsir, Abu Fida, Tafsir al-Quran al-Adhim,
Oar al-Akhyar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, tt.
Langgulung, Hassan, Asas-Asas Pendidikan Islam,
Pustaka Al-Husna. Jakarta, 1992.
Langgulung, Hassan, Manusia dan Pendidikan:
Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Radar Jaya
Ofset, Jakarta, 1986.
Langgulung, Hassan, Pendidikan Islam menghadapi
Abad ke 21, Pustaka A1-Husna, Jakarta, 1986.
Luis al-Maluf, Munjid f ai-Lunghah wa a1-A1am, Daru
al-Masyriq, Beirut, Lebanon, 1987.
Makdisi, Geoge, The Rise Of Colleges: Institutions
of Learning in slam and The West, Edinburgh University
Pre, 1981.
Mastuhu, Dinamika Pesantren, Disertasi Doktor,
Penerbit INIS, Jakarta, 1994.
Muhammad Farid Wajdi, Dairatu Maarif a1-Quran, al-
Maktabah al-Ilmiah a1-Haditah, Beirut, tt.
Muh. Djamil Hamid, K.H., Manusia dan Fitrahnya, CV.
Bina Daya Cipta, Ujungpandang, Su1awei Selatan, 1989.
Munir Musa, Muhammad, Al-Tarbiyah al-Islamiyah:
Ushuluha wa Tathawuruha f al-Biladi al-Gharbiyah,
Dar a1-MeThrif, Qathar, 1969.
61
Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang
Manusia dan Agama, Penerbit Mizan, Bandung, 1992.
H. Arifn, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama
di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta,
1977.
H. Moor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1988.
H. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit
Mizan, Bandung, 1992.
H. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir
Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan,
Bandung, 1996.
Qadhi aI-Qudhat al-Imam Abu al-Suud Muhammad
bin Muhammad Imadi, Tafsir Abu Suud, Beirut. tt.
Sayed Quthtuh, al-Dhilali Al-Quran, Maktabah Al-
Qahirah, Mesir, tt.
Steinguss, Arabic English Dictionary, Cosmos
Publication, New Delhi, 1978.
Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawa1i
Ores, Jakarta, 1991.
Syed Muhammad Naquib al-Atas, Islam dan Filsafat
Sains, Penerbit, Mizan, Bandung, 1995.
Syeh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsir A1-Quran Al-Manar, Maktabah Al-Qahirah,
62
Mesir, t.t.
Tibawi, A.L., Islamic Uducation: Its Tradistions
and Modernization into Arab Sistems, Crane Russak end
Company. Inc, New York, 1972.
Tim Penyusun, Al-Quran dan Tafsirnya, Penerbit
Universitas Islam Indonesia, Departemen Agama, Jakarta,
1991.
Tim Penyusun Tafsir UII, Mukaddimah Al-Quran
dan Tafsirnya, Penerbit Universitas Is1am Indonesia,
Jakarta, 1991.
Ulwan, Abdullah Nashih, Pedoman Pendidikan Anak
Dalam Islam, Penerbit Asy-Syifa, Bandung, 1990.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamu Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1982.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 1996.

Anda mungkin juga menyukai