Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERANG ACEH

“Diajukan untuk memenuhi salah satu penugasan mata pelajaran Sejarah Indonesia”

Guru Pembimbing : Renaldi Rafsanjani Yusuf, S.Pd

Disusun oleh:

1. Ayesha Nashwa Parlimuhra


2. Devinna Nur Arifiani
3. Silvanni Nur Septiawan Utami
4. Siti Nur Achsiaminingsih

SMAN 2 PURWAKARTA

JL. Raya Sadang-Subang No 17, Ciseureuh, Kec. Purwakarta, Kab. Purwakarta, Jawa
Barat 41118
Website: www.sman2pwk.sch.id Email: smandaistimewa@gmail.com

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,saya
panjatkan puji dan syukur kehadiratnya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada
kami,sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Berikut ini kami
persembahkan makalah yang membahas peristiwa “Perang Aceh”.
Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini,baik pada teknis
penulisan maupun materi. Untuk itu,kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini,kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,khususnya kepada bapak
Reynaldi Rafsanjani Yusuf, S.Pd sebagai guru mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Kami menyadari sepenuhnya dalam penyusunan dan penyajian dalam makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan,oleh karna itu kami akan menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan
pembaca sekalian. Terima kasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selasa, 7 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................iii

BAB I.............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................................2

C. Tujuan Makalah.....................................................................................................................2

D. Manfaat Makalah...................................................................................................................2

BAB II............................................................................................................................................3

ISI...................................................................................................................................................3

A. Latar Belakang Peristiwa Yang Dibahas...............................................................................3

B. Jalannya Peristiwa.................................................................................................................4

C. Akhir Peristiwa......................................................................................................................9

BAB III.........................................................................................................................................10

PENUTUP....................................................................................................................................10

A. Kesimpulan..........................................................................................................................10

B. Saran....................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................12

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Latar belakang peristiwa............................................................................................7


Gambar 2. 2 Jalannya peristiwa.....................................................................................................8
Gambar 2. 3 Akhir perang Aceh..................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh
banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi
untuk mengambil kedudukannya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan
kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai
kerajaan yang merdeka.
Perang Aceh adalah perang yang terjadi antara Belanda dan Kesultanan Aceh pada abad
ke-19, perang ini dimulai pada tanggal 26 Maret 1873 ketika Belanda menyatakan perang
kepada Sultan Aceh. Perang Aceh berlangsung selama hampir 30 tahun dan menjadi salah satu
perang kolonial terpanjang yang pernah terjadi di dunia. Perang ini juga di kenal sebagai perang
yang sangat sengit dan berdarah, dengan korban jiwa yang sangat banyak di kedua belah pihak.
Perang Aceh terjadi karena adanya konflik kepentingan antara Belanda dan Kesultanan
Aceh. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor jenderal J.H.R.
Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14
April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan
besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler. Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh
pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan Istana Sultan
Mahmud Syah. Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara
besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekuatan 8.000 orang
tentara.
Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil
menduduki istana kesultanan. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal,
kemudian digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah. Sementara itu, ketika utusan
Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka
kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda di perhebat. Menyadari betapa sulitnya mematahkan
perlawanan Rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama
yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya.

1
B. Rumusan Masalah

1. Latar belakang terjadinya perang Aceh


2. Apa saja dampak dari perang Aceh?
3. Bagaimana strategi Belanda untuk menguasai Aceh besar?
4. Bagaimana perjuangan masyarakat Aceh besar dalam menentang kolonialisme Belanda
(1873-1912)

C. Tujuan Makalah

Bertitiktolak dari permasalahan yang telah dirumuskan di atas,Makalah ini bertujuan


untuk mengetahui bagaimana perjuangan masyarakat Aceh dalam berperang melawan
masyarakat Belanda (1873-1912).

D. Manfaat Makalah

1. Memberikan pemahaman tentang perjuangan masyarakat Aceh besar dalam menentang


kolonialisme Belanda (1873-1912)
2. Sebagai sumber informasi mengenai perjuangan masyarakat Aceh besar menentang
kolonialisme Belanda

2
BAB II

ISI

A. Latar Belakang Peristiwa Yang Dibahas

Gambar 2. 1 Latar belakang peristiwa

Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh

Pada 1873, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan pernyataan perang terhadap


Kerajaan Aceh. Agresi Belanda ini dihadapi Aceh dengan manifestasi kolektif melalui bentuk
perlawanan bersenjata yang menjadi perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di
Indonesia.
Agresi ini pun ternyata juga menimbulkan ketegangan dalam masyarakat Aceh. Hal ini
tercermin dari surat-surat para pemimpin Aceh. Cara mengatasi konflik internal itu pun
ditempuh dengan melawan musuh yang merusak sendi-sendi agama Islam. Dengan alasan
tersebut, masyarakat Aceh menjadikan unsur “perang sabil” sebagai basis ideologi dan
dijadikan sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam perlawanan terhadap Belanda.
Sejarah perang, pertempuran, dan kebijakan militer dan politik di Aceh telah cukup
banyak ditulis. Latar belakang persaingan politik dan ekonomi yang menimbulkan perang ini
dan kelemahan struktur Kesultanan Aceh dalam menghadapi ujian dari luar bukanlah hal-hal
yang terlalu asing bagi mereka yang mempelajari sejarah.

3
Namun, pertanyaan yang selalu mendesak, yaitu “Di manakah sumber kekuatan Aceh
sehingga bisa bertahan demikian lama, bahkan hampir tanpa henti?” Inilah permasalah pokok
dalam perang ini. Apakah yang disebut dengan “perang sabil” itu adalah kesadaran Aceh?
Bagaimanakah para ulama membina semangat perang sabil dan menjadikannya sebagai bagian
dari kesadaran Aceh? Berbagai contoh dari karya sastra keagamaan yang diciptakan selama
perang dan tulisan-tulisan para ulama juga ikut andil dalam mengobarkan semangat rakyat
dalam peperangan ini.

B. Jalannya Peristiwa

Gambar 2. 2 Jalannya peristiwa

Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh

Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda di bawah
pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh.
Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari
pasukan Belanda. Dengan memperhatian hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan
bahwa Aceh dalam keadaan lemah secara politik dan ekonomi, membuat para pemimpin
Belanda termasuk Kohler optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan. Oleh karena itu,
serangan-serangan tentara Belanda terus diintensifkan. Namun, pada kenyataannya tidak mudah
menundukkan para pejuang Aceh. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu
memberikan perlawanan sengit. Pertempuran terjadi di kawasan pantai dan kota. Bahkan, pada
tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh di bawah pimpinan
Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk
memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya

4
Baiturrahman ini pasukan Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid
tersebut. Pohon ini kemudian dinamakan Kohler Boom. Banyak jatuh korban dari pihak
Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati syahid.
Terbunuhnya Kohler menyebabkan pasukan Belanda ditarik mundur ke pantai. Dengan
demikian, gagallah serangan tentara Belanda yang pertama. Ini membuktikan bahwa tidak
mudah untuk menundukkan Aceh.
Karena kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan
pasukannya, tetapi juga karena hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan
sosial budaya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. “Syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-
nilai agama senantiasa menjadi potensi yang sangat menentukan untuk menggerakkan
perlawanan terhadap penjajahan asing. Oleh karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama.
Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873 Belanda melakukan
agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit
terjadi istana dan juga terjadi di Masjid Raya Baiturrahman.
Para pejuang Aceh harus mempertahankan masjid dari serangan Belanda yang bertubi-
tubi. Masjid terus dihujani peluru dan kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar.
Para pejuang dan ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda kemudian menuju
istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah istana
dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang yang lain meninggalkan
istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat kota
Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.
Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan bahwa Aceh Besar
telah menjadi daerah kekuasaan Belanda.
Para ulebalang, ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda.
Mereka kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh.
Tetapi karena masih di bawah umur, maka diangkatlah Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai
wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25 km
arah tenggara dari pusat kota). Semangat untuk melanjutkan perang terus menggelora di
berbagai tempat. Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara itu,
tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal Pel. Sebelum Swieten
meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda akan segera membangun
kembali masjid raya yang telah dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat
Aceh.
Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan ulebalang,
ulama, dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang melawan Belanda. Semangat

5
juang semakin meningkat seiring pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877.
Tokoh ini kemudian menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro. Pasukannya terus
melakukan serangan-serangan ke pos-pos Belanda. Kemudian Belanda menambah kekuatannya
sehingga dapat mengalahkan serangan – serangan yang dilakukan pasukan Habib Abdurrahman
dan Cik Di Tiro. Di bawah pimpinan Van der Heijden, Belanda berhasil mendesak pasukan
Habib Abdurrahman, bahkan Habib Abdurrahman akhirnya menyerah kepada Belanda.
Sementara Cik Di Tiro mundur ke arah Sigli untuk melanjutkan perlawanan. Belanda berhasil
menguasai beberapa daerah seperti Seunaloh, Ansen Batee.
Perang Sabil. Tahun 1884 merupakan tahun yang sangat penting, karena Muhammad
Daud Syah telah dewasa maka secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan
Ala’uddin Muhammad Daud Syah bertempat di Masjid Indrapuri. Pada waktu upacara
penobatan ini para pemimpin Perang Aceh seperti Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Tengku
Cik Di Tiro memproklamirkan “Ikrar Prang Sabi” (Perang Sabil). Perang Sabil merupakan
perang melawan kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk membela agama, perang
untuk mempertahankan tanah air, perang jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi.
Setelah penobatan itu, mengingat keamanan, istana di Indrapuri dipindahkan ke Keumala di
daerah Pidie (sekitar 25 km sebelah selatan kota Pidie). Dari Istana Keumala inilah semangat
Perang Sabil digelorakan. Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin
meluas. Apalagi dengan seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang menyerukan gerakan amal
untuk membiayai perang, telah menambah semangat para pejuang Aceh.
Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di Sigli dan Pidie. Di Aceh bagian barat tampil
Teuku Umar beserta isterinya Cut Nyak Dien. Pertempuran sengit terjadi di Meulaboh.
Beberapa pos pertahanan Belanda berhasil direbut oleh pasukan Teuku Umar. Pasukan Aceh
dengan semangat jihadnya telah menambah kekuatan untuk melawan Belanda. Belanda mulai
kewalahan di berbagai medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan strategi baru yang
dikenal dengan Konsentrasi Stelsel atau Stelsel Konsentrasi. Perang gerilya juga mulai
dilancarkan oleh para pejuang Aceh. Gerakan pasukan Teuku Umar juga terus mengalami
kemajuan. Pertengahan tahun 1886 Teuku Umar berhasil menyerang dan menyita kapal Belanda
Hok Canton yang sedang berlabuh di Pantai Rigaih. Kapten Hansen (seorang berkebangsaan
Denmark) nakhoda kapal yang
diberi tugas Belanda untuk menangkap Teuku Umar justru tewas dibunuh oleh Teuku Umar. Di
tengah-tengah perjuangan itu pada tahun 1891 Tengku Cik Di Tiro meninggal. Perjuangannya
melawan Belanda dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Tengku Ma Amin Di Tiro.
Kemudian ada berita bahwa pada tahun 1893 Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Teuku
Umar kemudian dijadikan panglima tentara Belanda dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Ia

6
diizinkan untuk membentuk kesatuan tentara beranggotakan 250 orang. Peristiwa ini tentu
sangat berpengaruh pada semangat juang rakyat Aceh. Nampaknya Teuku Umar juga tidak
serius untuk melawan bangsanya sendiri. Setelah pasukannya sudah mendapatkan banyak
senjata dan dipercaya membawa dana 800.000 gulden, pada 29 Maret 1896 Teuku Umar dengan
pasukannya berbalik dan kembali melawan Belanda.
Peristiwa inilah yang dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (Pengkhianatan
Teuku Umar). Teuku Umar berhasil menyerang pos-pos Belanda yang ditemui. Peristiwa itu
membuat Belanda semakin marah dan geram. Sementara untuk menghadapi semangat Perang
Sabil Belanda juga semakin kesulitan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk
melaksanakan usulan Snouck Horgronye untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu
diketahui bahwa sebelum itu Belanda telah meminta Snouck Hurgronje agar melakukan kajian
tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh, sehingga dapat
ditemukan strategi untuk segera mengalahkan para pejuang Aceh. Snouck Hurgronje mulai
menyamar memasuki kehidupan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Ia memakai
nama samaran Abdul Gafar. Ia telah mempelajari agama Islam dan adat budaya Aceh. Snouck
Horgronye menyimpulkan bahwa para pejuang Aceh itu sulit dikalahkan karena disemangati
oleh semangat jihad dengan tali ukhuwah Islamiyahnya. Oleh karena itu, Snouck Hurgronje
mengusulkan beberapa cara untuk melawan perjuangan rakyat Aceh. Beberapa usulan itu adalah
sebagai berikut:
1. Perlu memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh, sebab di lingkungan
masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama, dan rakyat.
2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan
kekerasan, yaitu dengan kekuatan senjata.
3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dan diberi kesempatan
untuk masuk ke dalam korps pamong praja dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Belanda segera melaksanakan usulan-usulan Snouck Hurgronje tersebut. Belanda harus
menggempur Aceh dengan kekerasan dan senjata. Untuk memasuki fase ini dan memimpin
perang melawan rakyat Aceh, diangkatlahgubernur militer yang baru yakni van Heutsz (1898-
1904) menggantikan van Vliet. Genderang perang dengan kekerasan di mulai tahun 1899
Perang ini berlangsung 10 tahun. Oleh karena itu, pada periode tahun 1899–1909 di Aceh
disebut dengan masa sepuluh tahun berdarah (tien bloedige jaren). Semua pasukan disiagakan
dengan dibekali seluruh persenjataan. Van Heutsz segera melakukan serangan terhadap pos
pertahanan para pemimpin perlawanan di berbagai daerah. Dalam hal ini Belanda juga
mengerahkan pasukan anti gerilya yang disebut Korps Marchausse (Marsose) yakni pasukan
yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda.

7
Mereka pandai berbahasa Aceh. Dengan demikian, mereka dapat bergerak sebagai informan.
Dengan kekuatan penuh dan sasaran yang tepat karena adanya informan-informan bayaran,
serangan Belanda berhasil mencerai-beraikan para pemimpin perlawanan. Teuku Umar
bergerak menyingkir ke Aceh bagian barat dan Panglima Polem dapat digiring dan bergerak di
Aceh bagian timur.
Di Aceh bagian barat Teuku Umar mempersiapkan pasukannya untuk melakukan
penyerangan secara besar-besaran ke arah Meulaboh. Tetapi tampaknya persiapan Teuku Umar
ini tercium oleh Belanda. Maka Belanda segera menyerang benteng pertahanan Teuku Umar.
Terjadilah pertempuran sengit pada Februari 1899. Dalam pertempuran ini Teuku Umar gugur
sebagai syuhada. Perlawanan dilanjutkan oleh Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dengan
pasukannya memasuki hutan dan mengembangkan perang gerilya. Perlawanan rakyat Aceh
belum berakhir. Para pejuang Aceh di bawah komando Sultan Daud Syah dan Panglima Polem
terus berkobar. Setelah istana kerajaan di Keumala diduduki Belanda, sultan melakukan
perlawanan dengan berpindah-pindah bahkan juga melakukan perang gerilya. Sultan menuju
Kuta Sawang kemudian pindah ke Kuta Batee Iliek. Tetapi kuta-kuta ini berhasil diserbu
Belanda, Sultan kemudian menyingkir ke Tanah Gayo. Pada tahun berikutnya Belanda
menangkap istri sultan, Pocut Murong. Karena tekanan Belanda yang terus menerus, pada
Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Demikian siasat licik dari
Belanda. Cara licik ini kemudian digunakan untuk mematahkan perlawanan Panglima Polem
dan Tuanku Raha Keumala. Istri, ibu dan anak-anak Panglima Polem ditangkap oleh Belanda.
Dengan tekanan yang bertubi-tubi akhirnya Panglima Polem juga menyerah pada 6 September
1903. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kerajaan Aceh yang sudah berdiri sejak 1514
harus berakhir.Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan
dominasi asing sulit untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus mengobarkan perang
jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahanan pasukannya dikepung tentara Belanda
pada tahun 1906 Cut Nyak Dien berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat
sampai meninggal pada tanggal 8 November 1900 Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum
berakhir.
Di daerah Pidie sejumlah ulama masih terus melancarkan serangan ke pos-pos Belanda.
Tokoh-tokoh ulama itu misalnya Teungku Mahyidin Tiro bersama istrinya Teungku Di Bukiet
Tiro, Teungku Ma’at Tiro, Teungku Cot Plieng. Semua ulama ini gugur dalam Perang Sabil
melawan kezaliman Belanda. Ulama yang terakhir mengadakan perlawaan di Pidie ini adalah
Teungku Ma’at Tiro yang waktu itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah dikepung di
Pegunungan Tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911.
Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa. Sementara itu, di pesisir utara dan timur Aceh

8
juga masih banyak para ulama dan pemimpin adat yang terus melakukan perlawanan. Tokoh
perlawanan tersebut diantaranya Teuku Ben Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong
(suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan
perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak Mutia sesuai dengan pesan suaminya Teuku Cik
Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda disarankan untuk menikah dengan Pang Nanggru.
Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat bersama-sama melawan Belanda dengan Pang Nanggru.
Pada tanggal 26 September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang
Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil
(baru usia 11 tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia
akhirnya dapat didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. Ulama
yang lain seperti Teungku Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah masih melanjutkan
perlawanan, tetapi suami-istri itu akhirnya juga gugur tertembak oleh keganasan peluru Belanda
pada tahun 1912. Demikian Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru
berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal yang
berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan, dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung
sampai tahun 1942.

C. Akhir Peristiwa

Gambar 2. 3 Akhir perang Aceh

Sumber : https://amp.kompas.com/regional/read/2022/02/08/111500378/perang-aceh-latar-
belakang-periodisasi-strategi-dan-akhir-perlawanan

Belajar dari gugurnya Teuku Umar, Panglima Polim memutuskan untuk berpindah –
pindah agar tidak bernasib sama dengan Teuku Umar. Pada tahun 1903, Sultan Alauddin
Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem akhirnya menyerah karena tekanan bertubi – tubi
dari Belanda. Peristiwa ini yang kemudian membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai Aceh.

9
Meski Kesultanan Aceh runtuh, namun semangat perlawanan terhadap Belanda tetap sulit
dipadamkan bahkan hingga masa pendudukan Jepang.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perang Aceh adalah perang terpanjang antara Kesultanan Aceh dan Belanda. Perjuangan
selama 40 tahun yang terbagi dalam empat tahap, menunjukkan kegigihan dan keberanian
rakyat Aceh menghadapi upaya Belanda merebut Aceh yang kaya akan kekayaan alam yang
didambakan bangsa Eropa kala itu. Konflik yang terjadi kemudian dimulai dengan keinginan
Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera, namun hal ini disambut dengan perlawanan dari
Kesultanan Aceh.
Perang Aceh dipimpin oleh pemimpin yang berani dan tegas. Cut Nyak Dien salah satunya,
ia adalah seorang wanita. Cut Nyak Dien berasal dari Melayu. Putra Nanta Seutia ini lahir di
wilayah VI Mukim. Cut Nyak Dhien menikah dengan Ibrahim Lamnga saat berusia 14 tahun
dan menikah dengan Teuku Umar setelah Ibrahim Lamnga tewas dalam perang melawan
Belanda. Cut Nyak Dhien mengharapkan Teuku Umar, seorang ksatria laki-laki, untuk
melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Cut Nyak Dhien memimpin pasukan melawan
Belanda setelah Teuku Umar meninggal.
Bentuk perlawanan Cut Nyak Dien adalah perang gerilya. Cut Nyak Dien tidak melakukan
perang secara bersama. Pasukan Cut Nyak Dien akan mencari atau menunggu patroli Belanda,
datang karena wilayah penyelidikan mereka berada di kawasan hutan atau pedalaman. Pasukan
Cut Nyak Dien yang menggunakan senjata tajam akan mengincar patroli yang anggotanya lebih
sedikit. Caranya yaitu dengan menusuk pasukan yang sudah terpisah dari anggota unitnya.
Biasanya, anak buah Cut Nyak Dien akan mengandalkan pengetahuan geografis untuk
menentukan dari mana akan menyerang.
Dampak dari perjuangan Cut Nyak Dhien adalah Cut Nyak Dhien memberikan contoh yang
baik bagi perempuan Aceh saat itu tentang perlunya menjaga martabat bangsa. Dia adalah
simbol keberanian dan kepemimpinan yang kuat, serta simbol kebebasan perempuan. Cut Nyak
Dhien juga merupakan kekuatan bagi hati yang jujur. Belanda semakin sulit untuk menguasai
Aceh karena semangat juang Cut Nyak Dhien yang tak pernah pundar, padahal sudah berbagai
macam strategi yang dilakukan oleh Belanda untuk meredam perlawanan dan menangkap Cut
Nyak Dhien beserta para pasukannya namun hal itu tidak berhasil. Dengan lamanya peperangan
itu belanda mengalamai krisis moneter. Hal itu disebabkan karena kekosongan kas Negara
akibat untuk membiayai perang Aceh.

11
B. Saran

Dari berbagai permasalahan sampai dengan kesimpulan yang dibuat kami memberikan
beberapa saran setelah mempelajari permasalahan yang di teliti seperti di bawah ini:
Perang Aceh dapat menjadi suatu pembelajaran bagi bangsa Indonesia akan pentingnya
rasa persatuan dan persaudaraan antar seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya rasa
persatuan dan persaudaraan yang terjalin kokoh, maka suatu bangsa akan sulit dihancurkan.
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang
Indonesia zaman dahulu dari bertaruh harta maupun nyawa. Kami menyadari masih adanya
kekurangan dalam pembuatan makalah ini, maka dari itu kami berharap adanya kritik dan saran
bagi pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

 https://amp.kompas.com/stori/read/2021/08/23/090000479/perang-aceh-penyebab-
tokoh-jalannya-pertempuran-dan-akhir
 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh
 https://amp.kompas.com/regional/read/2022/02/08/111500378/perang-aceh-latar-
belakang-periodisasi-strategi-dan-akhir-perlawanan

Lestraningsih, A., & AM, S. (2017). Buku Sejarah Indonesia kelas 11. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan kebudayaan.

13

Anda mungkin juga menyukai