Anda di halaman 1dari 49

1

Seri Informasi Aceh XXXXI Nomor 2, 2018

KEKAYAAN ACEH
(DE RIJKDOM VAN ATJEH)

Alih Bahasa : Aboe Bakar

PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ACEH


BANDA ACEH
2018
KEKAYAAN ACEH

Seri Informasi Aceh XXXXI Nomor 2, 2018

KEKAYAAN ACEH
(DE RIJKDOM VAN ATJEH)

Alih Bahasa: Aboe Bakar

Cetakan Pertama: 1987


Cetakan Kedua: 2018
ISBN: 978-602-61103-8-1
©2018 oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
Hak cipta yang dilindungi undang-undang ada pada penulis

Penanggung Jawab : Drs. Mawardi, M.Hum., M.A.


Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Penyunting : Drs. Mukhlis, M.Hum.

Penyunting : Muhammad Ikhwanuddin Uzair, B.H.Sc.


Pelaksana Saidul Abrar, S.Pd., dan Resfita Faura, S.E.

Dewan Penyunting : Zainal Abidin, S.E., Rafli, S.E., Mustika Sari, S.E.,
Fahmiana Nova, S.IP., Ainil Fitri, A.Md., Azhari

Proofreader : Drs. Mawardi, M.Hum., M.A.

Layouter : Anata Juma Muhaddhi, S.T

Gambar Depan : Sawah te Lampanah bij Seulimeum, KITLV 82252

Penerbit : Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh


Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah,
Kompleks Museum Aceh, Banda Aceh, Indonesia,
Kode Pos 23241

Laman : www.pdiaaceh.org; www.seriinformasi.pdiaaceh.org

ii
Seri Informasi Aceh

PENGANTAR

Seri Informasi Aceh yang Anda baca ini merupakan


penerbitan ulang Seri Informasi Aceh Tahun X Nomor 2 yang
pertama sekali diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan
Informasi Aceh tahun 1987 dengan judul Kekayaan Aceh.
Penerbitan ulang Seri Informasi Aceh ini bertepatan dengan
Peringatan 145 Tahun Deklarasi Perang Belanda Melawan
Aceh, 26 Maret 1873—26 Maret 2018 dan ulang tahun ke-41
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (26 Maret 1977—26
Maret 2018).

Seri Informasi Aceh edisi ini secara khusus


menguraikan bagaimana konsep kekayaan dalam masyarakat
Aceh pada zaman dahulu, “meugoe, pangulèe hareukat, kaya
meuih h’ana meusampé kaya padé meusampureuna”
(=pertanian adalah usaha yang paling utama; kaya emas tidak
mencukupi, kaya padi yang lebih sempurna). Pandangan
tersebut menyebabkan penguasa dan masyarakat Aceh masa
dahulu lebih mengandalkan sektor pertanian, khususnya
penanaman padi, sebagai salah satu mata pencaharian utama

iii
KEKAYAAN ACEH

dibandingkan dengan komoditas lain, seperti lada dan pinang,


yang juga sudah diusahakan saat itu.

Kami yakin dan percaya bahwa penerbitan ulang Seri


Informasi Aceh ini dalam format buku akan membantu
pembaca dalam memahami bagaimana sektor pertanian
memainkan peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan penghasilan dan kekayaan masyarakat Aceh
masa lalu. Semoga penerbitan ulang Seri Informasi Aceh ini
dapat membantu meningkatkan literasi sejarah dan budaya
lokal, khususnya sejarah Aceh, bagi para pembaca. Saran dan
kritikan untuk menyempurnakan karya ini akan kami terima
dengan segala senang hati.

Banda Aceh, 26 Maret 2018


Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
Direktur,

Drs. Mawardi, M.Hum., M.A.


NIP 196803281993031001

iv
Seri Informasi Aceh

DAFTAR ISI

halaman
PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
A. PENDAHULUAN 1
B. KEKAYAAN ACEH 3
C. BERAS SEBAGAI KOMODITAS UTAMA 14
D. PENUTUP 37
LAMPIRAN: CUPLIKAN TEKS HIKAYAT 39

v
Seri Informasi Aceh

A. PENDAHULUAN

Tahun 1914 di Amsterdam, negeri Belanda, didirikan


sebuah yayasan yang dinamakan “Atjeh-Instituut” (=Institut Aceh)
dan bertujuan mengumpulkan bahan-bahan menegenai daerah
Aceh serta rakyatnya. Tugas utama lembaga ini hampir
menyerupai tugas yang dewasa ini diemban oleh Pusat
Dokumentasi Dan Informasi Aceh (PDIA). Sekretaris Atjeh
Instituut saat itu, J.Kreemer, merupakan seorang ahli Belanda
yang sangat banyak menaruh perhatian terhadap masalah-
masalah Aceh. Institut tersebut merupakan yang ketiga dalam
deretan institut-institut yang didirikan selama itu1
Selama berdirinya, institut tersebut telah menerbitkan
berbagai tulisan tentang Aceh, di antaranya dan yang paling
terkenal, yaitu Atjeh, terdiri atas 2 jilid, masing-masing setebal
602 dan 705 halaman, diterbitkan oleh E.J. Brill di Leiden tahun
1922 dan 1923. Buku itu disebut-sebut sebagai ‘pelengkap’ buku
De Atjèhers, karya Dr.C. Snouck Hurgronje, terdiri dari 2 jilid,

1
Menurut keterangan-keterangan yang dimiliki Pusat Dokumentasi Dan Informasi
Aceh, institut yang mula-mula didirikan di Belanda ialah Batak-atau Bataks Instituut
(1908), kedua Koloniaal Instituut (1910), ketiga Atjeh Instituut (1914), keempat Bali
Instituut (1915), kelima Oostkust van Sumatra’s Instituut (1916), keenam Zuid Sumatera
Instituut (1916), dan terakhir Minang Kabau-Instituut (1917).

1
KEKAYAAN ACEH

masing-masing setebal lebih kurang 512 dan 438 halaman,


diterbitkan oleh percetakan Negara di Betawi tahun 1893 dan
1894.
Buku dengan judul De Rijkdom van Atjèh (=Kekayaan
Aceh), diterbitkan oleh Institut Aceh di Amsterdam tahun 1923.
Dengan itu penulisnya yang tidak disebut namanya, mencoba
membuktikan sejauh mana arti pribahasa Aceh “meugoe,
pangulèe hareukat, kaya meuih h’ana meusampé kaya padé
meusampureuna” (= pertanian adalah usaha yang paling utama;
kaya emas tidak mencukupi, kaya padi yang lebih sempurna)
mempunyai arti ekonomis bagi rakyat di daerah itu dan dapat
dipraktikkan setelah peperangan yang berkepanjangan dianggap
mereda.
Ketika buku kecil ini ditulis memang belum lagi diketahui
tentang kemungkinan-kemungkinan baru yang dimiliki bumi Aceh
seperti pada satu dasawarsa belakangan ini (LNG dan sebagainya)
kecuali minyak bumi yang terdapat di Peureulak, Aceh Timur,
yang justru menjadi penyebab bagi Belanda untuk melancarkan
serangan besar-besaran ke Aceh Utara dan Aceh Timur melalui
ekspedisi yang dikenal dengan “Pasè-expeditie” (ekspedisi ke

2
Seri Informasi Aceh

Pasè) tahun 1898/1899 di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van


Heutsz2.
Semua orang sependapat bahwa masalah pangan
menduduki tempat teratas sekali dalam keperluan manusia di
manapun ia berada, baik dahulu maupun sekarang. Karenanya
uraian berikut tetap merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh, khususnya bagi daerah Aceh.
Semoga ada manfaatnya.

2
Lihat Paul Van ‘t Veer De Atjeh-Oorlog, De Arbeiderspers, Amsterdam, 1969, hal. 215 -
225; Paul van ‘t Veer /Aboe Bakar, Perang Belanda di Aceh, Dinas P.dan K. Daerah
Istimewa Aceh, 1977, hal. 260-274. A.B.

3
KEKAYAAN ACEH

B. KEKAYAAN ACEH

Kaya meuih h’ana meusampé


Kaya padé meusampureuna3
(=kaya emas tidak mencukupi, kaya padi yang lebih sempurna).

Nama “Aceh” berarti suatu keanehan bagi orang-orang di


Negeri Belanda. Mendengarnya saja sudah mengingatkan setiap
orang akan tahun-tahun peperangan panjang yang menakutkan
ditambah pula dengan sikap politik pemerintah Belanda terhadap
daerah dan rakyat Aceh selama itu. Dari seberang sana terdapat
desakan, agar Belanda melihat daerah itu secara lebih sadar
seperti terhadap bagian-bagian lain di Hindia Belanda daripada
dengan pandangan kolonial-ekonomis, namun untuk itu
tampaknya orang belum memiliki kepercayaan dan keberanian.
Jika Direktorat “Atjeh-Istituut” (=Instituut Aceh) mencoba
berbicara mengenai kekayaan Aceh, hal itu diharapkan bahwa
masalah tersebut mendapat sambutan pula di daerah Aceh

3Dalam buku asli ditulis “meusampurna”, bandingkan kata “sampeuna”, “seumpeuna”


dalam Atjéhsch-Nederlandsch Woordenboek, oleh R.A.Dr. Hoesein Djajadiningrat, II,
1934, hal.658b, 739a.

4
Seri Informasi Aceh

sendiri. Tujuan pendirian institut itu dan semangat kerjanya


selama ini sudah cukup diketahui orang dan dengan itu
diharapkan bahwa usaha tersebut pasti mendapat perhatian dan
pertimbangan masayarakat ramai.
Ketika tahun 1595 Kompeni Hindia Timur berkenalan
dengan raja dagang Aceh yang dulu4, kejayaan Aceh tampaknya
amat menonjol. Pengganti Sultan, pada tahun 1615 memiliki
sebuah armada, terdiri dari 300 buah kapal, di antaranya sekian
ratus buah kapal perang dengan kekuatan 4000 orang. Tahun
1639, Crook, komisaris kompeni di Aceh menerangkan bahwa ia
terpesona melihat kehebatan istana Sultan. “Tampaknya seolah-
olah orang melihat cahaya matahari demikian tampak kilau-
kemilau cahaya intan dan batu-batu permata. Nilai singgasana
sultan ditaksir kira-kira seberat 40 bhara 5 mas murni yang
bertatahkan intan serta batu-batu permata yang sangat jarang
ditemukan dan menurut keterangan sultan berharga 90 kali
seratus ribu rupiah.”
Selama empat hari pertama berada di istana Sultan Aceh
jarang sekali duta itu menjumpai Sultan. Dan jika ia
menjumpainya, Sultan pasti “memperlihatkan kepadanya benda-

4 Sultan yang dimaksud di sini ialah ‘Ala ad-din Riayat Syah (1588-1604).
5 1 Bhara = 3 pikul = 375 pon Amsterdam.

5
KEKAYAAN ACEH

benda yang tak terkatakan nilainya itu.” Pada tempat lain Crook
menyebut: “pada kesempatan ini Sultan memperlihatkan
kepadaku sekian banyak benda berharga permata dan intan -
sehingga memalukan orang menyebut nilainya dan mendorong
saya dua hari duduk di belakang orang untuk tidak selalu
memperhatikan penggantian benda-benda berharga itu karena
keadaannya selalu sama.”
Kekayaan itu bersumber terutama sekali dari hasil
tanaman lada yang dimonopoli oleh Sultan dan merupakan alat
tukar terpenting untuk memperoleh mata barang perdagangan
berharga lain, yaitu timah, yang digali di seberang Selat Malaka.
Adalah baik sekali jika di tempat ini dicantumkan beberapa
kenang-kenangan sejarah.
Tanaman lada yang ditanam di lereng-lereng gunung
Nilgiri di India (jajahan Inggris), dibawa ke Sumatera oleh
penyebar-penyebar Islam pertama di utara Sumatera antara
tahun 1350 dan 1400 M. Ibnu Batutah, seorang penyelidik Islam
terkenal yang sebelum tahun 1350 M. telah mengunjungi
Sumatera bagian utara tidak (belum?) menyebut tentang lada
Samudra, sedangkan seorang musafir Cina Islam, Ma Huan, yang
bertindak selaku juru bahasa merangkap sekretaris dalam
perjalanan muhibah pada tahun 1412-1415 bersama kasim

6
Seri Informasi Aceh

Cheng-Ho alias Sam Po baru menjelaskannya pada tahun 1416.


Begitu juga dinukilkan oleh Fei Hsin pada tahun 1436 dalam buku
perjalanannya, berjudul Hseng-Ch’a Shing, yaitu hasil
perjalanannya ke luar negeri selama empat kali bersama duta
Cheng-Ho tersebut. Besar kemungkinan bahwa tanaman lada
baru dibawa ke Pidie dari Samudra antara tahun 1435 dan 1500
oleh karena Fei Hsin memang menyebut tentang lada Samudra
tetapi tidak tentang lada Pidie, sedang sewaktu orang-orang
Portugis mula-mula datang ke Aceh mereka telah menemukan
Pidie sebagai sebuah pelabuhan lada yang besar seperti Pase.
Bulan September 1509 orang-orang Portugis untuk
pertama kali muncul di “Selat” (Selat Malaka). Pada salah satu
perjalanannya ke Melaka, Sequeira singgah pada pengunjung
1509 ke pelabuhan lada Pidie dan Pase. Di sana mula-mula ia
diterima dengan baik dan berhasil mengadakan perjanjian
dagang. Pada waktu itu nama Aceh belum disebut-sebut. Dalam
laporan kepada rajanya bertanggal 6 Januari 1514 kapten Melaka,
Ruy de Brito, menyebut di antara negeri-negeri Islam di pesisir
Sumatera adalah Pidie, tetapi tidak menyebut tentang Aceh.
Jika orang-orang Portugis pada mulanya diterima baik di
Sumatera bagian utara, maka kebaikan itu segera pula dirusak
oleh orang-orang Portugis sendiri karena tindakan mereka yang

7
KEKAYAAN ACEH

membajak kapal-kapal yang singgah ke pelabuhan-pelabuhan


Sumatera bahagian utara dan timur.
Bekat ramainya perdagangan, terutama lada, negeri-
negeri Islam yang baru muncul di pesisir Sumatera bagian utara
berkembang dengan pesat dan membawa kemakmuran bagi
rakyat, sedemikian rupa, sehingga menimbulkan keinginan pada
sebagian orang untuk melakukan pertualangan. Bulan Mei 1521
Yorge de Brito melakukan serangan dengan sebuah armada
Portugis terhadap kerajaan Aceh yang baru berkembang itu.
Armada itu dipukul habis dan Yorge de Brito bersama 70 orang
Portugis tewas. Alat-alat persenjataan Portugis yang disita oleh
armada Aceh kelak menjadi kekuatan bagi Sultan Aceh dalam
rangka memperluas dan memperkuat kerajaannya.
Sejak itulah dimulai masa kebesaran dan kekuatan
kerajaan Aceh. Nafsu Sultan Ali Mughayat Syah menjadi lebih
terangsang oleh tindakan-tindakan perluasan kekuasaan dan
pada setiap kesempatan yang terbuka ia tidak akan melupakan
untuk bertindak ke arah itu bersama saudaranya Raja Ibrahim.
Mula-mula ia merebut Pidie dan mengharuskannya membayar
upeti kepada Aceh, kemudian Pasé-Samudra memperoleh giliran
pada tahun 1524 sementara orang-orang Portugis yang berada di
sekitarnya dihalaunya keluar.

8
Seri Informasi Aceh

Sultan-sultan yang berkuasa setelah itu melanjutkan


usaha Sultan Ali Mughayat Syah yang energik itu. Kerajaan Aceh
mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan
Iskandar Muda, “Roi Soleil”nya Aceh (1607-1636). Nafsu
berkuasanya yang tak terbada-bada, tak terhingga, itu
melemparkan pandangannya jauh melewati batas-batas
kerajaannya dan sejak tahun 1612 sampai 1625 tak henti-
hentinya ia terlibat dalam peperangan.
Tidak mengherankan jika selama masa pemerintahan “Roi
Soleil” tidak sedikit telah terkumpul benda-benda indah dan
berharga sehingga mempesonakan para pengunjung asing ke
Dalam (istana) Sultan6. Tetapi, seperti ditulis oleh Dr. Snouck
Hurgronje, “jika kemasyhuran itu diteliti dengan sungguh-
sungguh, maka hal-hal yang tampak ke luar, adanya perluasan
kekuasaan terhadap pelabuhan-pelabuhan (yang relatif menjadi
pusat peradaban dan kekayaan di hampir setiap negeri Melayu!)
dan karenanya merupakan penambahan kekayaan yang
memungkinkan orang berpesta pora di istana kesultanan.
Kekayaan itu tidak digunakan secara sungguh-sungguh untuk
memantapkan berlakunya adat-istiadat yang dapat
menggoncangkan sendi-sendi kerajaan.”

6
Dalam sama dengan Istana Sultan.

9
KEKAYAAN ACEH

Sudah jelas diketahui bagaimana kesultanan Aceh yang


memiliki kekayaan itu, lambat laun menjadi mundur disebabkan
banyaknya kekuasaan yang dimiliki para kepala rakyat dan
karenanya melepaskan diri dari pusat pemerintahan. Akan tetapi
yang mula-mula dirasakan oleh sultan ialah hilangnya
perdagangan timah di Perak yang jatuh ke tangan Belanda tahun
1645.
Aceh berpikir bahwa dengan mengusahakan
pertambangan emas di dalam negeri dapat menggantikan
penghasilan timah. Daya tarik emas di udik Pidie dan Meulaboh
telah menyebabkan banyak, terutama, orang Pidie diboyong ke
sana pada abad ke-17 dan mendirikan federasi Kawai XII yang
terkenal itu. Namun usaha pencarian emas di udik-udik Pidie dan
Meulaboh tidak selalu pula memberi keuntungan sehingga tak
berapa lama kemudian sebagian besar penduduknya
meninggalkan daerah itu menuju ke arah barat untuk mencari
mata pencarian lain di dataran-dataran rendah sepanjang pantai
Meulaboh dan Tapak Tuan yang sangat baik untuk tanaman lada.
Orang-orang itu kembali lagi ke mata pencarian mereka yang
lama dan alih-alih menjadi pencari emas kini justru mereka
menjadi penanam lada kembali. Demikianlah kawasan Pantai
Barat Aceh dihuni oleh orang-orang Pidie.

10
Seri Informasi Aceh

Tak lama antaranya kolonis-kolonis Pidie terlibat dalam


peperangan dengan orang-orang Melayu yang berdatangan ke
Meulaboh dari arah laut. Peperangan itu dikenal dengan nama
“Prang Rawa” terjadi sejak permulaan abad ke-18 dan berakhir
dengan kenangan gemilang di pihak orang-orang Pidie.
Dalam pada itu kerajaan Aceh yang pernah jaya dahulu
berangsur-angsur menjadi mundur di bawah pemerintahan
keempat orang ratu. Ratu-ratu itu tidak dapat berkutik di bawah
pengaruh orang kaya dan Ulèebalang yang saling
memperebutkan kekuasaan. Walaupun di bawah dinasti Bugis
yang jauh lebih kuat itu, namun kerajaan Aceh tidak dapat juga
bangkit ke tingkat kejayaannya yang dahulu walaupun
penghasilan lada berkembang dengan amat pesat.
Ketika pecah peperangan dengan Belanda tahun 1873
tampak sekali kelemahan Sultan. Kerajaan yang pernah jaya
dahulu ketika itu berada dalam keadaan porak-poranda. Namun
demikian di kalangan rakyat tidak juga dapat disebut adanya
kemiskinan. Sebaliknya, hampir setiap rakyat Aceh memiliki
perhiasan-perhiasan emas, senjata-senjata tajam yang
bertatahkan emas murni serta kain-kain bersulam emas. Mereka
juga tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah yang
banyak untuk membeli alat-alat persenjataan. Dibandingkan

11
KEKAYAAN ACEH

dengan bangsa-bangsa lain di kepulauan Nusantara dapat disebut


bahwa rakyat Aceh masih dapat digolongkan berada dan semua
itu, terutama sekali adalah berkat perdagangan lada yang banyak
menghasilkan keuntungan.
Saat peperangan Belanda di Aceh berakhir, masa depan
baru terbuka luas bagi bangsa Aceh yang rajin itu. Dalam hal ini
pandangan pertama yang diarahkan orang tentulah kepada
tanaman lada yang sangat disenangi pada masa dahulu. Tetapi
apakah yang terlihat kini? Tanaman lada tampaknya sudah
melewati masa jayanya. Pada beberapa tempat bahkan ia tidak
mau tumbuh lagi. Para penanam lada kembali lagi ke kampung-
kampung mereka dan lebih menumpahkan perhatian mereka
pada persawahan. Tanaman lada setiap tahun berkurang, baik
luas maupun artinya. Di bawah pemerintahan Belanda memang
ada penambahan mata barang perdagangan baru, yaitu kopra,
dan penanaman pinang semakin bertambah luasnya, sementara
di Pantai Barat orang mengenal tanaman nilam dan kapok, tetapi
untuk memakmurkan negeri diperlukan sebuah mata barang
perdagangan baru yang dapat menggantikan tanaman lada.

12
Seri Informasi Aceh

C. BERAS SEBAGAI KOMODITAS UTAMA

Sudah beberapa kali masalah itu menjadi perhatian.


Daerah perkebunan Sumatera Timur yang berbatas dengan Aceh
dan setiap tahun memerlukan 140 sampai 150.000 ton beras
untuk keperluan perkebunan dan perlu memasukkannya dari
luar. Lagi-lagi sudah menyampaikan pertanyaan: apakah daerah
Aceh tidak dapat memenuhi sebagian keperluan beras mereka?
Dan atas pertanyaan itu para ahli sudah menjawabnya secara
positif.
Luas tanah persawahan di Aceh yang telah ada atau yang
dapat dijadikan persawahan lagi ditaksir terlalu rendah seperti
ternyata di bawah ini:
No Daerah Luas
1 Aceh Besar 15.000 HA
2 Pidie : Padang Tiji, Pidie, 25.000 HA
Meureudu
3 Aceh Utara: Samalanga, 70.000 HA
Peusangan, Lhok Sukon,
4 Aceh Timur (Peureulak) 10.000 HA
Jumlah 120.000 HA

13
KEKAYAAN ACEH

Luas itu dapat dijadikan tanah persawahan yang baik


setelah bertahun-tahun diolah dengan cara yang sebaik-baiknya.
Untuk sementara tampaknya belum dapat dipikirkan ke arah itu.
Bila telah sampai masanya, maka dalam waktu yang tidak lama
lagi Aceh akan memiliki surplus beras yang dapat dikirim keluar.
Terlebih dahulu perlu diselidiki apakah cara bertanam padi,
seperti yang dilakukan sekarang, sesuai untuk menuju ke arah
ekspor.
Serta-merta perlu dicatat bahwa padi Aceh yang berbutir
kecil-kecil tetapi sangat mudah dilepaskan dari bulirnya secara
tradisional, walaupun dalam keadaannya sekarang, bukanlah
produk yang cocok untuk dijadikan barang konsumsi di luar
daerah. Hal yang disebut terakhir ini sebagian besar dapat diatasi
jika padi dibiarkan masak sekali di sawah dan diikuti cara
melepaskan padi dari bulir-bulirnya yang lebih baik. Namun butir-
butir besar tidak dapat diperoleh dengan jalan pengolahan tanah
yang lebih intensif. Itu tergantung dari jenis padinya. Oleh karena
dalam usaha perbaikannya masalah tersebut perlu diperhatikan
secara sungguh-sungguh. Dalam hubungan ini perlu diingatkan
bahwa balasan tahun yang lalu di Pantai Barat Aceh pernah
dilakukan percobaan dengan jenis padi Carolina yang berhasil
baik.

14
Seri Informasi Aceh

Hasil gilang-gemilang yang dicapai dengan percobaan


jenis padi Carolina di Bogor telah menyebabkan terpilihnya
wilayah Tapak Tuan sebagai tempat melakukan percobaan
dengan jenis padi tersebut yang dilakukan di sepetak sawah yang
baik keadaannya dengan menggunakan bajak Hindustan. Dari
pihak petani Aceh tampaknya kurang memperlihatkan minat di
bidang pegolahan sawah secara intensif. Karena ketidaktahuan
tentang alat pengolahan tersebut, mereka tidak dapat
menggunakannya dengan baik. Beberapa orang hukuman Jawa
yang pandai dalam bidang pertanian ditunjuk untuk memberi
penyuluhan kepada petani-petani Aceh. Hanya saja orang-orang
Jawa itu terpaksa melakukannya sendiri sampai dengan
pekerjaan merumput, demikian mendalam kecurigaan petani-
petani Aceh terhadap demontrasi itu. Tetapi begitu tanaman padi
menjadi masak, serta-merta pula kecurigaan mereka hilang.
Mereka merasa senang sekali melihat hasilnya! Tak pernah
mereka melihat bulir-bulir padi yang demikian penuh dan besar,
sementara daun-daun pelindung jenis padi tersebut dapat
melindungi butir-butirnya terhadap burung-burung pemakan
padi.
Hasil panennya dua kali lebih banyak daripada pengolahan
secara biasa dengan jenis padi lokal, tetapi setelah waktu

15
KEKAYAAN ACEH

memotong padi timbul pula keluhan-keluhan baru. Kesulitan


besar dialami ketika menginjaknya; berbeda dengan jenis-jenis
padi Aceh, jenis baru sulit sekali menginjaknya, sementara daun-
daun tajam dapat melaukai kaki. Selain itu dialami pula kesulitan
dalam hal menumbuknya yang banyak memerlukan waktu dan
tenaga sehingga akhirnya simpati mereka kepada jenis padi
Carolina menjadi dingin kembali dan alih-alih mengharapkan luas
tanaman yang lebih besar pada tahun depan ternyata persediaan
bibitnya habis dimakan tikus.
Dari kenangan-kenangan itu ternyata bahwa tidak
mungkin untuk menggunakan jenis padi baru di Aceh jika tidak
ditemukan cara lain untuk melepaskan butir padi dari bulirnya
atau ketika menumbuknya.
Kesulitan-kesulitan yang disebut itu merupakan
penghalang. Yang terpenting ialah rakyat Aceh memang sangat
menaruh perhatian di bidang pertanian. Dalam hikayat-hikayat
Aceh tidak jemu-jemu orang memuji-muji pahlawan tani. Sebuah
contoh misalnya dapat dilihat dalam hikayat yang sangat populer,
yaitu Hikayat Pocut Muhammad. Pocut Muhammad mengatakan
bahwa dia bersama pasukannya beristirahat beberapa saat di
Kuala Batee (Aceh Barat Daya sekarang). Di sini Pocut
Muhammad membuat banyak perbaikan untuk membawa

16
Seri Informasi Aceh

kemakmuran bagi negeri yang masih sangat menderita di bawah


tekanan kerusuhan sebelumnya dan dalam kemunduran. Dia
mengajak rakyat memperbaiki "lueng" atau saluran air di mana-
mana untuk mengairi sawah, membuat panen padi lebih dari dua
kali lipat. Dalam satu kata, dia melakukan segalanya untuk
mempromosikan kemakmuran penduduk, yang sejak tahun-
tahun terakhir melambat dan kemiskinan yang tidak diketahui
penyebabnya. Dengan kebijakannya itu, dia melihat pasukannya
bertambah ratusan orang setiap hari. Di Pidie pun dia
melakukan hal yang sama. (Beberapa bait teks Hikayat Pocut
Muhammad yang menceritakan tentang hal tersebut dapat
dibaca pada bagian akhir tulisan ini, AB).
Keturunan Habib Seunagan, seorang mistikus terkenal
yang bertempat tinggal di Seunagan, tidak jauh dari Meulaboh,
kendatipun mengajarkan ilmu tasawuf yang menyimpang tetapi
mempunyai banyak pengikutnya dan dikenal masyarakat berkat
upayanya dalam memajukan pertanian di Seunagan.
Di bidang pengusahaan sawah, orang Aceh tampaknya
menduduki tempat sedikit lebih rendah dari orang Jawa yang
berguru pada orang Hindu. Ini dapat dilihat dari penggunaan alat-
alat pertanian dan hewan penarik bajak mereka. Alat-alat
pertanian yang lebih primitif seperti dijumpai di Aceh, tidak

17
KEKAYAAN ACEH

ditemukan di bagian-bagian lain di Nusantara. Namun orang tidak


dapat mengharapkan bahwa bajak yang dimiliki oleh orang Aceh
yang serba sederhana itu serta-merta dapat diganti dengan bajak
Hindustan yang pada awalnya di Jawa diperoleh hasil yang baik
sekali. Dalam memilih alat-alat pertanian itu keadaan tubuh
tanah, jenis hewan penarik bajak, dan watak rakyat yang
menggusahakannya memainkan peranan yang besar sekali.
Kegagalan percobaan di Aceh dengan menggunakan bajak-bajak
impor, pertama-tama disebabkan karena keadaan hewan-hewan
penarik bajak sangat lemah: sapi-sapi serta kerbau-kerbau lokal
yang lebih kecil bentuk tubuhnya ternyata sangat tidak setara
dengan bentuk bajak impor.
Di samping itu, keadaan tubuh tanah di Aceh yang pada
tempat-tempat tertentu adalah sedemikian rupa dan, kendatipun
diolah secara lebih intensif, terutama pada tanah-tanah liat yang
berat, namun tidak memberikan hasil yang berimbang dengan
kerja lebih dan biaya-biaya banyak. Jika pengolahannya secara
biasa sudah memberi hasil dari 50 sampai 60 pikul padi untuk
satu hektar, maka orang akan merasa bijaksana untuk tidak
mengggunakan tenaga hewan bajak yang berlebih-lebihan.
Di beberapa daerah di Pantai Barat Aceh yang banyak
terdapat kerbau, kadang-kadang orang mengerjakan sawahnya

18
Seri Informasi Aceh

dengan melepaskan hewan-hewan itu ke sawah dengan dipimpin


oleh seorang di depan dan seorang di belakang dalam satu
barisan yang teratur seperti dilakukan oleh seorang pawang gajah
yang membariskan gajah-gajah di dalam sirkus dan dengan
demikian terolahlah tanah untuk memperoleh panen yang baik.
Satu cara yang lebih aneh lagi terlihat di Pulau Simeulu. Sepetak
sawah dipagar secara acak-acakan; pada malam hari beberapa
ekor induk kerbau yang dipisahkan dari anak-anaknya dilepaskan
ke dalamnnya. Induk-induk kerbau yang mencari anaknya berlari
ke sana dan kemari sehinggga tanah sawah terolah seraya
mendapat pupuk yang diperlukan untuk tanaman padi.
Jika cara yang sederhana itu sudah menjamin hasil padi
yang memuaskan, maka kini timbul pertanyaan, apakah
kelebihan hasil itu berimbang dengan cara pengolahan yang lebih
intensif dan memerlukan lebih banyak tenaga dan biaya? Di
samping itu perlu pula dperhatikan bahwa penggunaan berbagai
jenis bibit padi biasanya diperlukan juga syarat-syarat pengolahan
yang khusus, sehinggga sulitlah utuk menentukan cara
pengolahannya.
Namun demikian perlu dicatat di sini bahwa beberapa
tahun terakhir sudah mulai dipasarkan berbagai alat pengolahan
tanah yang satu masa kelak akan sampai juga ke Aceh untuk

19
KEKAYAAN ACEH

mengolah tanah yang luas dalam rangka menaikkan hasil


tanaman padi. Ulèebalang Peureulak (=Teuku Chik Muhammad
Thayeb, A.B.) umpamanya, sudah mulai memberi contoh ke arah
itu dengan menggunakan traktor Fordson yang memakai bajak
piring pada tanah kering dengan percobaan yang dikatakan
berhasil baik.
Sebuah kekurangan lain yang terdapat dalam pendidikan
di bidang persawahan basah ialah mengenai penggunaan air
irigasi. Dalam hubungan ini dicatat, bahwa petani Aceh biasanya
mempunyai pandangan yang tajam di bidang itu. Pada
penyelidikan setempat selalu ternyata, bahwa saluran-saluran air
yang direncanakan dan dipetakan oleh Dinas Pengairan, baik yang
berada dalam keadaan terbengkalai, sebagian besar sudah ada di
sawah-sawah, sebuah bukti nyata, bahwa orang Aceh bukan tidak
mengetahui syarat-syarat yang diperlukan dalam perbuatan
pengairan. Yang kurang pada mereka hanyalah pengertian
tentang pembagian air, terutama mereka tidak atau sedikit sekali
menaruh perhatian mengenai nilai pembuangan air. Hal ini bukan
saja ada kaitannya degan usaha utuk mensukseskan panennya,
tetapi juga karena tanaman padi tidak dapat dikeringkan
sepenuhnya untuk menghasilkan jenis padi yang sesuai untuk
disimpan lama. Berbeda dengan daerah-daerah pusat pertanian

20
Seri Informasi Aceh

di Jawa, di Aceh tidak padat penduduknya sehingga terdapat


tanah sawah dalam jumlah yang cukup banyak untuk usaha
pertanian. Alih-alih menggunakan sistem intensif seperti di Jawa,
di Aceh biasanya orang mengggunakan sistem ekstensif, yaitu
menanami lebih banyak dari luas kesatuan yang diperlukan,
bahkan selalu juga sampai-sampai mereka tidak sanggup
menyiangi dan merawat, namun semua itu masih memberi
penghasilan yang cukup bagi petani.
Masalah pengairan perlu mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh di Aceh. Dekat pantai biasanya air terlalu
banyak di sawah-sawah sehingga keadaannya selalu becek;
akibatnya, tanaman padi tidak mungkin masak dengan sempurna.
Atau orang membiarkan saluran air terputus sampai di rawa-rawa
pantai yang semakin melebar sehinggga merusakkan lahan-lahan
pertanian yang berharga.
Pada banyak daerah, setiap tahun dapat diketahui, bahwa
tempat-tempat yang tinggi letaknya sudah berkembang lebih
jauh sedang yang terletak dekat pantai baru di mulai. Sebab-
sebabnya -kebanyakannya! -karena air yang tergenang pada
tempat-tempat yang lebih tinggi menjadi tertahan dan
menimbulkan kesewenang-wenangan di antaranya para petani.

21
KEKAYAAN ACEH

Hal itu terjadi sejak berabad-abad yang lalu; orang-orang Aceh


hampir tidak mengenal penggunaan air hidup.
Keadaan yang digambarkan di atas menyebabkan rakyat
begitu sedikit dapat mengambil manfaat dari bendungan-
bendungan yang diperbuat pemerintah dengan biaya-biaya besar
karena mereka tidak membuat saluran-saluran tambahan yang
diperlukan untuk mengalirkan air. Pada waktu saluran-saluran itu
dibangun, pemerintah harus membuatnya sampai kepada
pekerjaan yang sekecil-kecilnya, sedangkan di Jawa pekerjaan-
pekerjaan itu dilakukan dan dirawat oleh rakyat sendiri.
Dari sisi lain ternyata, bahwa masalah peningkatan hasil
tanaman padi mendapat sambutan baik di pihak rakyat.
Sehubungan dengan ini perlu dijelaskan dijelaskan mengenai
pembuatan saluran-saluran air pada masa-masa dahulu.
Sebelum Belanda berkuasa di Aceh, saluran-saluran air
dikerjakan oleh penduduk dengan membayar sejumlah uang atau
secara paksa menurut kehendak seseorang ulèebalang dalam hal
yang disebut terakhir - dalam rangka memperoleh sumber
penghasilan. Jika dipergunakan air saluran, para pemakainya-
berdasarkan banyak bibit yang dipergunakan dalam setiap petak
sawah - setiap tahun harus membayar sejumlah padi kepada

22
Seri Informasi Aceh

pihak yang menyuruh membuat saluran. Pengairan merupakan


sumber penghasilan penting bagi ulèebalang.
Untuk memperoleh sistem pemabagian air yang baik perlu
diingatkan disini akan jabatan yang sudah ada jauh sebelum
Belanda berkuasa di Aceh, yaitu yang disebut keujreuen lueng.
Untuk menghidupkan kembali jabatan tersebut, di Pidie telah
diadakan percobaan-percobaan dengan memilih adik-adik atau
keluarga-keluarga terdekat para kepala kenegerian untuk
dijadikan petugas-petugasnya. Percobaan-percobaan itu hanya
sebagian saja berhasil, terutama karena sukarnya mendapatkan
tenaga yang berpendidikan. Setelah mereka bekerja beberapa
tahun pada Dinas Pengairan, barulah pengangkatan mereka
sebagai keujreuen lueng dapat diharapkan bermanfaat, di Pidie,
daerah pertanian yang paling utama, dapat diangkat umpama
tiga orang keujreuen lueng, masing-masing untuk daerah
pengairan Krueng Pidie, Krueng Tiro, dan Krueng Teupin Raya.

Akhirnya, baik sekali dijelaskan di sini tentang keperluan


dijalankannya peraturan air oleh pihak penguasa. Di tempat-
tempat yang sudah ada atau segera akan selesai dibangun
pengairan sangat diharapkan agar Pemerintah mulai menjalankan

23
KEKAYAAN ACEH

peraturan tersebut sehingga lambat-laun para petani merasakan


manfaat dari pengguanaan air hidup.
Yang dinyatakan di atas dibenarkan oleh mereka yang
bergelut dengan masalah tersebut di Aceh, terutama oleh
“Atjehsche Landbouw Vereeniging” (=Perkumpulan Petani Aceh)
yang banyak memainkan peranan dalam bidang itu. Berapa besar
saham pihak Pemerintah dalam usaha kemakmuran ini pihak
“Atjeh Instituut” tidak dapat memberikan penilainnya.
Di sini juga perlu ditambahkan beberapa petunjuk dan
penjelasan yang tentu saja diperlakukan untuk sampai kepada
keputusan-keputusan akhir yang praktis. Jika didalami secara
sungguh-sungguh apa yang masih kekurangan di Aceh dalam
usaha menjadikan beras sebagai mata barang ekspor, maka
haruslah diperhatikan hal yang berikut ini :
1) Di Aceh perlu segera ditetapkan jenis padi yang sesuai
untuk maksud tersebut.
2) Perlu diciptakan kesempatan menumbuk padi
3) Perlu adanya suatu organisasi yang setiap waktu dapat
menjual beras menurut harga pasaran.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah apakah di Aceh


terdapat keinginan atau kecenderungan utuk mengikuti cara baru

24
Seri Informasi Aceh

itu. Ini merupakan dasar yang sangat diperlukan. Jika telah


diperoleh kepastiaanya, maka yang mendapat giliran utama ialah
menempatkan usaha pertanian pada suatu dasar yang kokoh,
mula-mula dengan mengadakan perbaikan di bidang pengairan
yang sudah ada dan diakhiri dengan kelancaran pembagian air ke
daerah persawahan yang dituju. Mengenai bagunan-bangunan
pengairan tersebut dan kegunaannya yang besar akan dijelaskan
pada bagian selanjutnya.
Terlebih dahulu kita menyorot ketiga tuntutan yang disebut
di atas. Mengenai jenis padi yang akan dipergunakan itu tidak
dapat diberi petunjuk dari negeri Belanda. Yang mungkin
menjadi catatan hanyalah hal-hal yang berikut ini.
Dalam menggunakan jenis padi yang baik haruslah diikuti
cara-cara mereka menggunakan air yang berasal dari bangunan-
bangunan pengairan seperti dilakukan pada masa dahulu yang
telah disebut sebelum ini, yakni dengan memisahkan sejumlah
bibit padi yang baik setelah memungut hasilnya. Dengan
demikian, orang terbiasa menggunakan jenis yang lebih baik dan
dengan itu pula akan mendesak penggunaan jenis yang kurang
baik.
Mengenai penggunaan kilang-kilang padi di Aceh sudah
banyak dibicarakan orang. Agar pengangkutan beras dari dan ke

25
KEKAYAAN ACEH

kilang-kilang padi dapat berjalan dengan lancar, sangatlah


diharapkan jika lebih diutamakan pendirian kilang-kilang padi
kecil daripada yang besar-besar. Sebagai percobaan di daerah-
daerah pusat pertanian sebaiknya didirikan dulu sebuah kilang
padi dan kelak akan diikuti oleh yang lain-lain.
Dalam hal penggunaan tenaga pembangkit perlu diingatkan
bahwa di daerah-daerah pusat pertanian yang tidak memiliki
kekuatan air sebaiknya dipergunakan kekuatan motor supaya
lebih praktis. Percobaan-percobaan yang dilakukan dengan
kilang-kilang padi kecil yang sebagian menggunakan mesin uap
dan sebagiannya lagi sekam tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
Selain itu, beras hasil gilingan yang dikehendaki hendaklah
dibatasi pada beras biasa saja. Untuk sementara tidak perlu
sampai kepada usaha penyosohannya supaya bukan saja karena
usaha ini berguna bagi kesehatan tetapi juga karena lebih besar
akan diperoleh rendemennya serta tidak banyak mengeluarkan
biayanya.
Beberapa luas daerah jangkauan bagi sebuah kilang padi,
untuk ini tidak ada ketentuan yang umum. Ukuran tengah seluas
3-4 ribu hektare boleh ditetapkan bagi sebuah kilang padi, dan
berdasarkan percobaan, 300 hektare bagi kilang padi pertama

26
Seri Informasi Aceh

dianggap memadai. Hal ini dapat diatur lagi menurut keinginan.


Selanjutnya harus diperhitungkan bahwa tentu saja ada padi yang
ditumbuk secara tradisional. Berdasarkan ini maka sebuah kilang
padi dianggap mampu menggiling dalam 1 tahun 3.000 x 25 =
75.000 pikul atau 4.500 ton.
Untuk memperoleh gambaran mengenai permodalan dan
biaya eksploitasi, termasuk biaya giling 1 karung dengan berat
100 kg sepikul dapat diperhatikan angka-angka berikut ini yang
mendekati keadaan yang sebenarnya sebagai dasar sementara.
Kapasitas giling ialah 1,5 ton beras per jam (seperti diperoleh
dengan “small mills” (mesin yang lebih kecil) di India; kilang padi
tersebut dengan 300 hari giling dan masa kerja 10 jam per hari
menghasilkan 4.500 ton beras setahun.
Dewasa ini harga kilang padi bersama mesinnya apabila
biaya angkutan dan asuransi ditanggung oleh pengirim sampai ke
pelabuhan Aceh adalah £25.000,00; biaya angkut, pasang,
pendirian bangunan untuk mesin gilingan, gudang-gudang, dan
lantai jemur ditaksir £10.000,00; Jumlah pengeluaran modal
£35.000,00. Untuk itu harus diperoleh keuntungan kotor seiap
tahun sebanyak 25% bagi jasa bank, penghapusan,
pemeliharaan, dan sebagainya yang ditaksir sebanyak £9.000,00
ditambah biaya eksploitasi sejumlah £6.000,00 dan ditambah

27
KEKAYAAN ACEH

biaya bahan bakar, upah buruh, dan sebagainya sehingga jumlah


penghasilan setahun £15.000,00.
Untuk menghasilkan 4.500 ton beras (yaitu 45.000 karung
atau 75.000 pikul), jumlah biayanya setiap karung £0,30 atau
£0,20 sepikul, sedemikian kecil tetapi mampu menghidupkan
perusahaan. Bahkan jika dihasilkan lebih kurang lagi, umpama
sepertiga dari kemungkiann hasilnya, jumlah biayanya sekarung
hanya £0,70 dan sepikul £0,50 karena biaya eksploitasi menjadi
lebih rendah. Andaikata rendemen padi berjumlah 60%, maka
harga penjualan sepikul beras dari padi yang dibeli ialah 10/6 x
harga sepikul padi ditambah umpama £0,50 supaya perusahaan
menjadi rendabel.
Apakah mereka yang mempergunakan jasa-jasa kilang padi
mengangap lebih baik membayar sejumlah uang dari padi yang
mereka giling? Hal ini perlu dipertimbangkan dengan keadaan
setempat; ini pun menjadi jaminan bagi keberlangsungan hidup
perusahaan tersebut. Dasar harga £6,00 untuk sepikul beras tidak
akan terasa tinggi sekali dan untuk menutup biayanya perlu
dipotong 3 sampai 7,5 kati, tergantung dari kapasitas yang
dipergunakan. Jadi upah giling sebanyak 7,5% dianggap memadai,
sesuai dengan 12,5% untuk harga padi.

28
Seri Informasi Aceh

` Bagaimanakah cara memperoleh jumlah tersebut untuk


keperluan kilang-kilang padi dan bagaimana pula harus diatur
pemasaran hasilnya? Dalam hubungan ini kiranya perlu
diingatkan bahwa tahun 1916 di Pidie sudah dipersiapkan
rencana pendirian sebuah kilang padi yang sayang sekali tidak
dapat dijalankan disebakan kepindahan kepala pemerintahannya.
Pada waktu itu diperhitungkan bahwa dengan bantuan tenaga-
tenaga yang dihasilkan oleh pabrik gas, es, dan bioskop di Sigli
dapat digerakkan sebuah kilang padi. Kilang itu dibeli sendiri oleh
Letnan Cina di Kutaraja dengan mendapat bantuan beberapa
orang pedagang beras yang setiap hari akan menyerahkan 100
pikul padi untuk digiling sedangkan urusan penjualannya
diserahkan kepada mereka sendiri dan dengan demikian semua
risiko tidak dipikul oleh kilang padi. Pada waktu itu sudah
diperhitungkan juga kebiasaan petani untuk menyimpan padi
yang telah dipanen. Mereka akan menggilingnya untuk keperluan
beberapa hari, suatu kebiasaan yang tak dapat dihilangkan dalam
waktu cepat.
Dalam melaksanakan rencana baru itu berdasarkan
ekspor beras yang berasal dari suatu jenis padi harus juga ditinjau
dari segi-segi lain yang diusahakan tanpa perantaraan para
pedagang. Modal pendirian kilang-kilang padi sebaiknya

29
KEKAYAAN ACEH

dikumpulkan dari orang-orang Aceh yang mampu. Mereka yang


pada masa dahulu pernah memodali penanam-penanam lada,
kini mendapat kesempatan untuk menanam modalnya dalam
perusahaan kilang-kilang padi. Jika para petani membawa
padinya untuk digiling ke kilang-kilang padi, keuntungan bagi
modal mereka sudah dapat dipastikan terjamin. Penjualan beras
tidak perlu dikhawatirkan. Sebuah saja kontrak penjualan dengan
Sumatera Timur akan menjamin setiap produk yang dipasarkan di
Medan. Pembuatan kontrak itu tentu saja hanya dapat dilakukan
di Sumatera Timur jika organisasi kilang-kilang padi Aceh sudah
diatur sedemikian rupa sehingga semua yang diinginkan berjalan
lancar. Bahwa di samping itu perlu ada pengawasan dari pihak
pemerintah, adalah hal yang sewajarnya.
Harus diadakan segala daya upaya sehingga uang tunai
yang diperoleh akibat pembuatan kontrak pengeluaran beras ke
Sumatera Timur benar-benar masuk ke kantong para petani Aceh
yang menjadi tujuan ekspor itu. Dengan demikian para petani
akan berusaha mencari jalan-jalan untuk memperoleh pembagian
air dan akan menerima nasihat-nasihat para ahli yang pernah
berjasa dalam usaha tersebut di bagian-bagian lain di Indonesia,
sehingga dengan melakukan perbaikan dan pembuatan

30
Seri Informasi Aceh

bangunan-bangunan pengairan akan diperoleh kelebihan


produksi.
Para ahli sudah bertahun-tahun lamanya bertugas di
Aceh. Tahun 1911 ketika Insinyur Van Tubergen mengadakan
penyelidikan di bidang pengairan di Sumatera, ia telah
mengunjungi daerah Aceh dan membuat laporan lengkap yang
memberi kemungkinan besar dalam pembuatan bangunan-
bangunan pengairan di Aceh. Berdasarkan laporan itu, sejak
tahun 1912 telah dipekerjakan di Aceh seseorang insinyur
pekerjaan umum untuk urusan-urusan pengairan.
Selama sepuluh tahun yang lalu, Dinas Perairan Aceh
mempunyai dua tugas, bukan saja untuk mengalirkan air di
sawah-sawah dan mengatur pembagiannya, tetapi juga
mengadakan usaha untuk melindungi daerah-daerah banjir dan
menolak bahaya banjir yang melanda lahan-lahan pertanian dan
tanaman-tanaman lain. Tugas terakhir ini biasanya merupakan
hal yang paling pokok sebelum bangunan-bangunan pengairan
dimulai. Usaha pembebasan lahan-lahan pertanian dari banjir di
Aceh telah mencapai hasil yang baik sekali dan ini dirasakan di
daerah-daerah pengaliran sungai-sungai Peusangan dan
Arakundo. Untuk areal ini telah dikeluarkan lebih dari setengah
juta rupiah, mencakup beberapa puluh ribu hektare tanah sawah

31
KEKAYAAN ACEH

yang setiap tahun dilanda banjir sehingga berkat perbaikan itu


diharapkan lebih banyak dapat diperoleh hasilnya.
Usaha-usaha yang talah dijalankan ke arah itu yang
semata-mata masih ditunjukkan untuk mengalirkan air irigasi ke
sawah-sawah penduduk sebenarnya belum mencapai tujuan
seperti diharapkan dalam laporan Insinyur Van Tubergen. Hal ini
terletak semata-mata pada watak penduduk dan cara mereka
bertanam padi selama ini.
Masa tugas Ir. Van Tubergen di Aceh relatif sangat singkat
sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh gambaran
yang cukup menegenai cara bertanam padi itu yang ternyata
sangat menyimpang dari cara yang dipergunakan di Jawa. Setelah
sebagian dari bangunan-bangunan saluran selesai dipergunakan,
barulah diketahui bahwa cara bertanam padi tersebut
menimbulkan kesulitan bagi pengairan teknis yang berlaku di
Jawa.
Akan tetapi, sebelum dapat disebut tentang adanya
pengairan, pada beberapa tempat sudah dibangun bangunan-
bangunan pengairan tambahan dengan anggapan bahwa rakyat
tentu akan lebih paham di bidang pemasukan dan pembagian
air. Ternyata perbaikan-perbaikan itu tidak mencapai sasaran

32
Seri Informasi Aceh

yang diinginkan kendatipun bangunan-bangunan itu sudah siap


untuk dipergunakan.
Di beberapa daerah di Aceh yang keadaan pengairannya
baik, terutama di Pidie, Mereudu, dan Samalanga, kebutuhan
akan pengairan teknis kurang dirasakan. Oleh karena itu Dinas
Pengairan hanya membatasi diri dengan membangun sebuah
bendungan saja.
Perlu ditambahkan di sini bahwa sebelum dibuat
bangunan pengairan, terlebih dulu harus diadakan penelitian-
penelitian mendalam - dan khusus untuk bangunan-bangunan
besar - diperlukan waktu yang banyak karena dalam waktu yang
relatif pendek tidak dapat dirasakan hasilnya, lebih-lebih jika
tidak dimiliki tenaga-tenaga ahli dalam jumlah yang cukup dan
penyediaan biaya yang memadai.
Biaya pembuatan bangunan-bangunan pengairan hampir
seluruhnya dibebankan pada anggaran Hindia Belanda. Jelaslah
walaupun tidak meliputi seluruh pengairan dan hanya terbatas
pada pekerjaan-pekerjaan sekunder dan tertier dalam daerah
yang langsung diperintah bahwa tugas pembuatannya
dibebankan pada Dinas Pekerjaan Umum Kenegerian. Tugas-
tugas itu sudah dilaksanakan tetapi belum seluruhnya terarah

33
KEKAYAAN ACEH

dan ini terutama disebabkan karena kurang cukupnya tersedia


biaya.
Saya percaya bahwa dengan berubahnya usaha
persawahan menjadi sumber kekayaan, pemerintah kenegerian
tentulah akan mencari dana-dana yang diperlukan untuk dinas-
dinas tersebut untuk membiayai bangunan pengairan yang besar-
besar sehingga pembuatannya tidak akan dihalangi oleh
kurangnya biaya yang tersedia dalam anggaran Hindia Belanda.
Kendatipun luas daerah pengairan sampai kini dapat
dikatakan belum lagi mencapai tingkat yang semaksimal mungkin,
namun tidak diragukan lagi bahwa dasarnya sudah diletakkan.
Hal ini dapat dilanjutkan pada masa-masa mendatang dengan
memperoleh manfaat besar jika diadakan perbaikan-baikan di
bidang pengairan yang dikerjakan oleh rakyat di daerah-daerah
yang masih tergantung dari hujan.

34
Seri Informasi Aceh

D. PENUTUP

Kelebihan produksi padi mempunyai arti yang sangat


penting bagi Aceh. Usaha ke arah ini mungkin saja dapat dicapai
sehingga daerah Aceh menjadi daerah pengekspor beras yang
dapat memenuhi lebih dari setengah kebutuhan Sumatera Timur,
baik sekarang maupun pada masa-masa mendatang. Kebutuhan
beras itu - seperti telah dijelaskan sebelumnya - dapat ditetapkan
antara 140 sampai 150.000 ton setahun atau kira-kira 2,5 juta
pikul. Kebutuhan beras untuk buruh-buruh di perkebunan
tanaman budidaya di Aceh berjumlah hanya 5.000 ton atau lebih
kurang 100.000 pikul atau sedikit lebih banyak, sementara untuk
penduduk Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur yang
ditaksir berjumlah 500.000 jiwa paling tinggi diperlukan 1,5 juta
pikul atau seluruhnya lebih kurang 4 juta pikul beras.
Hasil padi dalam setiap hektare sawah yang diairi boleh
ditetapkan sebanyak 25 pikul, bahkan 30 pikul tidak terlalu tinggi
karena diketahui bahwa pada tahun-tahun normal sawah-sawah
di Pidie dan Samalanga pernah menghasilkan sampai 60 pikul
padi setiap hektare. Berdasarkan keterangan di atas, untuk
memenuhi seluruh kebutuhan Sumatra Timur diperlukan luas
sawah 140 sampai 150.000 hektare. Lahan seluas itu tidak

35
KEKAYAAN ACEH

tersedia di sana, ditambah pula dengan jumlah penduduknya


yang tidak banyak untuk mengerjakan sawah sebanyak itu.
Seperti telah dijelaskan terlebih dahulu, luas areal yang
dapat dijadikan tanah sawah ditaksir rendah dan ditetapkan
sebanyak 120.000 hektare, tidak termasuk tanah-tanah
persawahan yang tergantung dari hujan. Akan tetapi, sebelum
tanah-tanah itu diubah menjadi tanah-tanah persawahan, Aceh
sudah dapat dijadikan daerah pengekspor beras dengan luas
80.000 hektare atau dua pertiga luas sawah yang tersedia di Pidie
dan Aceh Utara dengan hasil sebanyak setengah juta pikul, suatu
usaha yang dapat menghasilkan beberapa juta rupiah bagi
kantong rakyat Aceh.
Jelasnya, kekayaan Aceh pada masa-masa mendatang
terletak pada produksi padi. Semakin besar produksi itu, semakin
“sempurnalah” kekayaan rakyatnya.

36
Seri Informasi Aceh

Lampiran

Cuplikan Teks Hikayat Pocut Muhammad Yang Memuji Para


Petani

503. “Neubungka” hinan u Kuala Batèe, neupeuteuntèe peugèt banda,


522. Yôhnyan neumarit Pocut Muhamad, jileungo samat rakyat dum na:
“Pakon tuan h’an tatém meugoe, taboih asoe blang kuala,
Blang takeubah dum habéh roh, gata leupaih meudiwana,
525. Pakon nyang h’an tatém mupayah, blang takeubah jeut keu rimba,
Timoh juruju ngon bak bugéng, timoh lapéng ngon bak bangka,
Eumpung gatheuek ngon keurungkông, taboih blang Calông jeut keu
rimba,
Pakon tatinggai panghulèe hareukat, bit ceudaih that akai gata,
Takeubah blang dum habéh roh, hana saboh na bicara,
530. Adat na padé bak tameugoe, aneuk nanggroe jiduek suka,
Meung h’an jeut padé bak tameugoe, aneuk nagggroe habéh jibungka ,
Meungnyo cit tan rakyat lam nanggroe, pat geutayoue lom taraja,
Meungnyo cit le rakyat lam nanggroe, wasé meukatoe dum keu raja.
Adat malaih bak tameugoe, aneuk deuek troe dum cut raya.
535. Meung tan padé dalam nanggroe, meuhat taseudoe sagèe meureuya,
Takoh meureuya tapeuhabéh, rumoh tiréh bubông h’ana,
Tuan-tuan ureueng pok tupeuen, seuluweue beuneung ija plang rusa,
Nyoe na haba ureueng jameun, ureueng chik kheun h’an meutuka,
Rumoh tiréh aneuk purèe, utang geutunggèe breueh bu hana.
540. Hana leubèh laén nibak nyan, dum peureubuatan dalam dônya,

37
KEKAYAAN ACEH

Meunankeu tuan lônbri ingat, lôn amanat dum na gata,


Meung h’an tatém sidum nan lagèe, takeumeung tirèe ureueng Lam
Teuba,
Jikeubah blang dum habéh roh, jikeumeung poh tulô Beungga,
Tulô makén le pajôh boh naleueng, habéh deuek ureueng Gampông
Lam Teuba,
545. Hana éleumèe akai kureueng, nyankeu ureueng tan bicara,
Jitém pubeut nyang h’an meulaku, jitôt gapu pusaka papa,
Pat na tango si meukat gapu, pat na taeu nyang na kaya?
Teudôh jijak teudôh jipajôh, sereupa tubôh seu-uem peungaba,
‘oh neupeugèt nanggroe dusôn, taeu meurôn- rôn jak u kuala,
550. Kulét kamèng jibôh bak ulèe, jiboih meunalèe tuha muda,
565 “Ho ka gata dum na rakyat, nyoe amanat lôn bak gata,
Tajak koh kayèe nyang payang-panyang, tasuson keunan tabôh keu
leula,
Unja tapèh tanoh tabôh, beugèt kukôh bèk meuriba,
Tuan tabôh ngon rampagoe , reuban tapeudoe dum beurata
Tuan tabôh rubéng bak bulôh, tanoh tabôh dalam raga,
570. Dua lhèe uroe beu-ék keumaih, tepeucukôp bagaih dum beuleungka”.
Teuma jimubuet dum sinaroe, galak h’an soe ban sineuna,
Deungon sunggôh dum jilhob Lueng Pupôt, h’an lé jitakôt raya beurala,
Dua lhèe uroe geupeusunggôh, seunambak pupôh ban glé dara,
Saré leungka geupeugèt lueng, bandum ureueng até suka,
575. Lueng ka peunoh ie meudah-dah, saré limpah dum ka rata,
Geupeu-ék ie u Blang Calông, dum geusinthông u Blang Kuala,
Habeh ban dum jeut gemeugoe, blang nyang usoe jeut geupula.

38
Seri Informasi Aceh

………………….

503. Dari situ ia berangkat ke Kuala Batée lalu mendirikan sebuah bandar,
522. Ketika itu Pocut Muhammad berkata yang mendapat sambutan hangat
rakyat semua :
“Mengapakah Anda tidak mau bertani dan menyia-nyiakan persawahan
Blang Kuala?
Anda membiarkan sawah-sawah tidak dikerjakan dan Anda
melanglangbuana,
525. Mengapakah Anda tidak mau berusaha dan membiarkan sawah-sawah
menjadi rimba raya.
Membiarkan tumbuh tanaman jeruju, nibung pantai, buta-buta, dan
bakau,
Tempat bersarang udang dan kepiting darat dan mengabaikan sawah
Blang Calông menjadi rimba, mengapakah Anda meninggalkan usaha
utama,
Anda sungguh pandir sekali, membiarkan sawah-sawah terbengkalai,
tak seorangpun yang mengingatnya,
530. Sekiranya Anda menanam padi, rakyat pasti senang merasa,
Sekiranya padi tidak berhasil, banyaklah rakyat meninggalkan
negerinya,
Sekiranya tiada rakyat di dalam negeri, siapakah lagi yang Anda pimpin?
Sekiranya banyak rakyatnya, berkati-kati penghasilan untuk raja,
Sekiranya Anda malas bertani, kecil dan besar akan menderita,
535. Sekiranya tiada padi di dalam negeri, Anda pasti malahap
sagu,

39
KEKAYAAN ACEH

Tanaman sagu habis ditebang, rumah bocor tiada atapnya,


Wahai Anda, para penenun, pembuat celana, kain bergaris,
Sebuah nasihat orang dahulu, tepat selalu kebenarannya,
Rumah bocor anak berpuru, hutang ditagih, melarat pula,

540. Tiada aib separah itu, dalam hidup didunia ini,


Demikianlah nasihat saya, untuk diingat oleh Anda semua,
Jika Anda tidak mau berusaha, ingin meniru penduduk Lamteuba,
Membiarkan sawah terbengkalai, memusnahkan burung pemakan padi,
Burung-burung semakin banyak, penduduk Lamteuba kelaparan semua,
545. Semua mereka orang yang dungu, akal pun kurang sia-sia
Suka berbuat yang tak berguana, membakar kapur warisan papa,
Pernahkah Anda mendengar berita, penjual kapur yang menjadi kaya?
Sambil berjalan mereka makan, panasnya tubuh api membara,
Setelah terbina negeri dan dusun, berduyun-duyun orang ke kuala,

550. Kulit kambing mereka jadikan penutup kepala, tiada malu tua dan
muda,

565. “Di manakah Anda semua, dengarlah ini amanat beta,


Tebanglah kayu yang panjag-panjang, jadikan dasar untuk bendungan,
Pasakkan tiang, susunlah tanah, kuat dan megah bangunannya,
Kayu bersilang kokoh semua, jadikan pasak sehingga rata,
Pasakkan bambu tinggi-tinggi, tanah diisi di sekelilingnya,
570. Dua tiga hari sudah sedia, cukuplah semua dengan segera,
Semua rakyat giat bekerja, hati gembira tiada terkira,

40
Seri Informasi Aceh

Ramai-ramai membendung Lueng Pupôt, tak ada yang takut kepada


berhala
Dua tiga hari mereka bekerja, bendungan rampung semua,
Bendungan selesai kokoh dan megah, semua rakyat berhati lega,
Saluran penuh air berbuncah, melimpah ruah kemana-mana,
Ke sawah Blang Calông air dialirkan, semua tertuang ke Blang Kuala,
Di mana-mana orang bersawah, yang tadi tak subur berubah semua,

41
1

Anda mungkin juga menyukai