Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL ILMIAH SEJARAH

Judul:
“ADA APA DENGAN ACEH ? – MENGAPA SULIT UNTUK MENAKLUKKAN ACEH”
Oleh :
Tatahira Annasira (1906101020064)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNINERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2022

-
ADA APA DENGAN ACEH ? – MENGAPA SULIT UNTUK MENAKLUKKAN ACEH

ABSTRAC
Aceh is known to be crazy by the Dutch because of the persistence and struggle of the
Acehnese people who do not want to appear defeated by their enemy, namely the
Netherlands. The Acehnese people have a hard and personal persistent nature that cannot be
challenged, therefore it makes the Dutch overwhelmed in dealing with the Acehnese people,
in this article will explain why it is difficult to conquer the people of Aceh and with the people
of Aceh and what makes the people of Aceh so persistent against the Dutch.
-
ABSTRAK
aceh di kenal gila oleh belanda karena kegigihan dan perjuangan rakyat aceh yang tidak mau
tampil kalah dari pada musuhnya yaitu belanda. Rakyat aceh memiliki sifat persisiten yang
keras juga pribadi yang tidak bisa ditantang, oleh karena itu membuat belanda kewalahan
dalam menghadapi rakyat aceh, dalam artikel ini akan dijelaskan tentang mengapa sulit untuk
menklukkan rakyat aceh dan ada dengan rakyat aceh serta hal apa yang membuat rakyat aceh
begitu persisten terhadap belanda.
Latar Belakang

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak
menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk
mendudukinya.Dapat dikatakan titik tolak keretakan itu mulai terlihat sejak ditanda
tanganinya Traktat Pidie (1819 M) antara Aceh dengan Inggris. Pasukan Aceh yang terdiri
atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan
Belanda. Pertempuran sengit di antara keduanya berlangsung dalam upaya memperebutkan
Masjid Raya Baiturrahman. Namun, pasukan Aceh terus melakukan perlawanan, hingga pada
akhirnya Jenderal JHR Kohler wafat di tangan pasukan Aceh.

Kematian Kohler ini membuat pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur ke pantai. Dari
kegagalan tersebut, Belanda kembali merapatkan barisannya pada serangan kedua, 9
Desember 1873 di bawah pimpinan Jan van Swieten. Dalam serangan kedua ini, Belanda
berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman dan menduduki Keraton Sultan. Kendati
demikian, rupanya persiapan Belanda masih tidak lebih matang dibandingkan rakyat
Aceh. Bagian pantai utara dan timur yang biasa dijadikan tempat masuk kapal-kapal dijaga
dengan sangat baik oleh rakyat Aceh.

Begitu juga dengan jalur darat di selatan dan pantai barat yang tidak kalah ketat dari
penjagaan pasukan Kerajaan Aceh. Untuk menghancurkan pertahanan, Belanda berusaha
menghancurkan perkampungan dan pelabuhan dengan melakukan tembakan meriam.
Kemudian, Belanda juga memanfaatkan orang-orang yang mudah diperalat untuk
menjalankan siasat pecah belah. Namun, cara ini tetap tidak membuat pasukan Aceh
mundur. Pasukan Aceh justru semakin mempersatukan kekuatan mereka dengan semaksimal
mungkin dalam melawan Belanda. Selain itu, rakyat Aceh juga tidak mudah terbuai dengan
adu domba yang dilakukan Belanda. Oleh sebab itu, Aceh menjadi wilayah yang sangat sulit
ditaklukkan oleh Belanda.

Pembahasan

Aceh adalah daerah yang memiliki banyak keistimewaan, perberlakuan syariat islam karena
itu aceh menjadi daerah satu satunya yang tidak bisa dikuasai oleh belanda. Buktinya sudah
dijelaskan dalam UU nomor 44 tahun 1999 yang disahkan sendiri noleh presiden Bachruddin
Jusuf Habibie pada tanggal 4 Oktober 1999. Beberapa pertimbangan pun muncul karena
keistimewaan Aceh di daerah Indonesia.

1. Sejarah mencatat perjuangan rakyat Aceh yang tinggi bersumber dari kehidupan yang
religius juga adat yang kental serta kuat nya budaya – budaya islam yang dianut
masyarakat Aceh.
2. Terbentuk nya karakter atau sifat pantang menyerah dan semangat juang yang tinggi
untuk memperjuangkan kemerdekaan, hal ini juga dipengaruhi oleh kehidupan yang
religius tersebut.
3. Menjunjung tinggi ulama dan menempatkan ulama sebagai tempat terhormat dalam
segala urusan.

Pasukan Aceh justru semakin mempersatukan kekuatan mereka dengan semaksimal mungkin
dalam melawan Belanda. Selain itu, rakyat Aceh juga tidak mudah terbuai dengan adu domba
yang dilakukan Belanda. Oleh sebab itu, Aceh menjadi wilayah yang sangat sulit ditaklukkan
oleh Belanda.
perlawanan rakyat Aceh sulit ditaklukkan Belanda karena Aceh memiliki pemimpin hebat
dan Aceh telah berhubungan dengan dunia luar sebagai usaha dukungan terhadap perjuangan
Aceh.

Pembahasan Aceh menjadi salah satu wilayah yang paling sulit ditaklukkan oleh Belanda di
Nusantara. Belanda juga menyebut Aceh sebagai bangsa maut? Karena, Aceh dahulunya
dikenal sebagai Kerajaan Islam terkuat dengan banyaknya bala tentara serta kekuatan
rakyatnya yang rela berkorban demi menjaga keutuhan kerajaanya. Sultan Aceh memang
menyerahkan diri kepada Belanda, untuk menjemput permaisuri dan anaknya yang ditawan
Belanda. Tapi yang tak disangka oleh Belanda adalah sebelum menyerah Sultan Aceh telah
mneyerahkan kekuasaannya kepada ulama, yakni Teungku Chik Di Tiro (negara
mengakuinya sebagai pahlawan nasional).

strategi Belanda melawan rakyat Aceh

Pada awalnya, Belanda menggunakan beberapa strategi untuk meredam perlawanan rakyat
Aceh. Strategi tersebut di antaranya adalah memblokade pelabuhan-pelabuhan Aceh,
menerapkan strategi penaklukan total dengan cara bergerak maju, menembak, membakar
desa-desa, dan mengangkat panglima perang dari masyarakat Aceh sendiri. Namun, semua
strategi tersebut gagal. Belanda kemudian berkonsultasi dengan orientalis Belanda, yaitu
Snouck Hurgronje untuk mengatasi perlawanan rakyat Aceh.

Snouck Hurgronje berpendapat bahwa kaum ulama merupakan kelompok yang sulit dibujuk,
sedangkan kaum bangsawan merupakan kelompok yang mudah dibujuk. Untuk menjalankan
pemikiran Snouck, J. B. van Heutz menawarkan kesepakatan kepada kaum bangsawan dalam
Perjanjian Singkat (Korte Verklaring). Kaum bangsawan dijanjikan akan diangkat menjadi
pejabat lokal di Aceh jika mau membantu Belanda. Perjanjian tersebut mengakibatkan
perpecahan antara kaum ulama dan kaum bangsawan. Aceh baru benar-benar ditaklukkan
setelah Belanda mampu mempengaruhi bangsawan Aceh dan menumpas perlawanan yang
dilakukan oleh Cut Nyak Dhien. Perlawanan pun usai pada tahun 1910 dan menjadi wilayah
di Sumatera yang terakhir dalam kekuasaan kolonial Belanda.

Agama dalam kehidupan bermasyarakat berperan sebagai sarana pemersatu dan menjadi
rujukan masyarakat dalam berbagai kondisi dan situasi yang terjadi di sekelilingnya. Agama
secara teoritis merupakan sistem yang mempunyai daya bentuk sangat kuat dalam
membangun ikatan sosial religius masyarakat. Bahkan agama mampu membentuk kategori
sosial yang teroganisir atas dasar ikatan psiko-religius, kredo, dogma atau tata nilai speritual
yang diyakini bersama. Pendapat yang menyatakan bahwa agama rakyat tergantung kepada
agama rajanya berlaku juga pada masyarakat Aceh. Mereka menganut ajaran yang dianut
oleh para sultan mereka, yaitu ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (sunni), yakni mazhab
Syâfi‟i dalam fiqh dan aliran Asy‟ârîyah dalam teologi. Ini berarti bahwa para sultan
bertanggung jawab untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran Sunni tersebut melalui pendidikan.
Untuk itu para sultan mendirikan muenasah pada setiap desa (gampong/huta) untuk
mengajarkan ajaran-ajaran Sunni tersebut di bawah pimpinan Imum meunasah.

Kondisi keagamaan di Aceh sebagaimana yang telah disebutkan di atas bertahan sampai
Belanda menyatakan perang dan menyerang Kerajaan Aceh Darussalam pada bulan April
1873. Setelah itu kondisi keagamaan di Aceh mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan
negara dalam kondisi perang. Banyak para sejarawan cendrung setuju bahwa paruh kedua
abad ke-19 adalah periode ekspansi wilayah dan persaingan kolonial, ketika sistem kapitalis
modern, di bawah perlindungan politik, dimulai untuk menguasai negara di dunia. Salah satu
contoh usuha kolonial di Asia Tenggara adalah agresi Belanda ke Aceh Untuk menghadang
kolonialisme terhadap Aceh yang dimulai pada tahun 1873 tersebut sentemen agama
memainkan peranan penting dalam menghadapi perang. Pada saat sultan tidak sanggup
memimpin perlawanan, dan para Uleebalang tidak mampu untuk menyatukan aksi
perlawanan rakyat lagi, muncullah ulama dari dayah untuk memimpin perang melawan
penjajah kafir (Aceh: kafee). Pada waktu itu, ulama mengumumkan: ”Ini merupakan tugas
kita untuk bersatu melaksanakan jihâd”.

Berdasarkan hal ini, para ulama menjadi salah satu instrumen yang membawa konflik
tersebut ke dalam perang suci. Melalui penyebaran ideologi prang sabi (perang suci), ulama
mempengaruhi rakyat untuk meningkatkan kekuatan mereka untuk berperang melawan
musuh. Agar status hukum menjadi jelas bagi rakyat Aceh, para ulama menggunakan jalan
dengan teori Islam tentang perang suci. Ulama menyebut penjajah Belanda sebagai kâfir al-
harb, wilayah yang diduduki oleh Belanda dikatakan dâr al-harb. Menurut ulama, perang
melawan Belanda merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Berperang melawan penjajah
disebut jihâd fî sabîlillâh. Siapa yang gugur dalam pertempuran adalah syâhid dan akan
masuk surga. Lebih dari itu, adalah dibolehkan untuk mengambil secara paksa harta yang
dimiliki oleh kâfir al-harb, harta tersebut akan menjadi ghanimah (rampasan perang). Strategi
ini telah menambah keinginan rakyat untuk berperang kerena didasarkan pada perintah Allah.
Perang Aceh melawan Belanda akhirnya dapat berakhir pada tahun 1912, setelah itu ulama
kembali ke fungsi dasarnya yaitu mengajar di meunasah, rangkang dan dayah yang sudah
lama ditinggalkan, yaitu sejak perang Aceh meletus tahun 1873 sampai tahun 1912.

Anda mungkin juga menyukai