Anda di halaman 1dari 21

A.

Sejarah Nanggroe Aceh Darussalam

1. Sejarah Aceh

Aceh yang sebelumnya pernah disebut


dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001)
dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009)
adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh
memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda
dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia,
karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan Masjid Raya Baiturrahman

dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat
Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng
Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan
yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di
pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar,
Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam.
Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan
sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane,
Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah
taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh
Tenggara.
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam,
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah
asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh
mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk
Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak
awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania
Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan
wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania
Raya.

1
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana
Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania
mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada
tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk
mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

2. Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang
hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu
kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh
telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama
karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan
yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

3. Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut
wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883,
namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang
Teuku Umar
berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah
berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian
memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para
ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes
Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya,
Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.

2
Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah
sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh
Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang
masuk dan menggantikan peran belanda. Perang Aceh adalah perang yang paling
banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.

4. Masa Penjajahan (Bangkitnya Nasionalisme)


Sementara pada masa kekuasaan
Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan
kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di
Indonesia dan terlibat dalam berbagai
gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian
hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis
Indonesia. Saat Volksraad (parlemen)
dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai Replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah
sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang,
wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu Banda Aceh

dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku
Muhammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari
Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk
membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940.
Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942
kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan
mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya
Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-
tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan
Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-
program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan
terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil
tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk
membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat
bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh

3
terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah
perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu,
dekat Lhokseumawe.

5. Masa Republik Indonesia


Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer.
Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani
persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah
berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami
yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan
menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya
di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan
membentuk provinsi-provinsi baru.

6. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (Gerakan Aceh Merdeka)


Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian
ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi
Finlandia, Martti Ahtisaari.

7. Kependudukan (Suku Bangsa)

Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee,
Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut:
Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%),
Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)[13]

4
8. Bahasa ( Kamus Bahasa ACEH-INDONESIA)
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu
bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang,
Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.

9. Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli
yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut
oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku
Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi
yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam.

10. Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa
selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan
kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh
dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang
berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi
pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada
ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti
 Universitas Syiah Kuala
 IAIN Ar-Raniry
 Universitas Malikussaleh
 Politeknik Negeri Lhokseumawe
 Politeknik Aceh
 STAIN Malikussaleh Lhokseumawe

5
Aceh juga memiliki beberapa Universitas/Akademi Swasta seperti;
 Universitas Abulyatama Aceh
 Universitas Muhammadiyah Aceh
 Universitas Iskandar Muda
 Universitas Serambi Mekkah
 Akademi Keperwatan

11. Perekonomian
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah
satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan
Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan
Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209
ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun
2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut
merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen
(87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor
perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata
pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan
perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya
7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala
besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan
Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan
alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin
(purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-
lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar
di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan
sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu
terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki
petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen
dan Aceh Timur.

6
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah
pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan
pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan
sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan.
Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.

Pasca-tsunami 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan
9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa
motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50
ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11
kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana
tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai
kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari
kerusakan tambak.

Kerusakan tambak budidaya tersebar


merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah
dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan),
tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah
diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian
mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh

total kerugian sektor perikanan. Kerugian


ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan
(tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya
sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan
tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.

Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen.


Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di
subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10
tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya
sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian
yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-
tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

7
12. Pariwisata
o Masjid Raya Baiturrahman
o Graveyard in Bitay Village
o Cut Nya Dien House
o Indonesian Airline Monument. Seulawah-Indonesian First Airplane
o Tsunami Monument & Garden
o Museum Aceh
o Taman Putroe Phang
o Kuburan Kerkhoff
o Danau Laut Tawar
o Danau Aneuk Laot

Museum Aceh pada masa sekarang Museum Aceh di tahun 1915-1930

13. Seni dan Budaya

Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya
wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti
tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
 Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
 Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
 Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)

Sastra:
 Bustanussalatin  Legenda Amat Rhah manyang
 Hikayat Prang Sabi  Legenda Putroe Neng
 Hikayat Malem Diwa  Legenda Magasang dan
Magaseueng
8
Tarian

Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-
tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di
tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari
Rateb Meuseukat dan Tari Saman.

Tarian Suku Aceh Tarian Suku Gayo


 Tari Laweut  Tari Saman
 Tari Likok Pulo  Tari Bines
 Tari Pho  Tari Didong
 Tari Ranup Lampuan  Tari Guel
 Tari Rapai Geleng  Tari Munalu
 Tari Rateb Meuseukat  Tari Turun Ku Aih Aunen
 Tari Ratoh Duek
Tarian Suku Lainnya
 Tari Seudati
 Tari Tarek Pukat  Tari Ula-ula Lembing
 Tari Mesekat

Tari Seudati di Sama Tari Saman dari Gayo Lues Tari Guel khas suku Gayo Tari Didong
Langa tahun 1907

9
14. Pahlawan

Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih


dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan
perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh
sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta
bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas
dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang
pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).

Pahlawan Perempuan : Pahlawan Pria :

 Cut Nyak Dhien  Sultan Iskandar Muda

 Cut Nyak Meutia  Teungku Chik Di Tiro

 Laksamana Malahayati  Teuku Umar

 Pocut Baren  Panglima Polem


 Teungku Fakinah
 Teuku Nyak Arif
 Mr. Teuku Muhammad Hasan

B. Adat dan Budaya Masyarakat Aceh

Budaya merupakan salah satu warisan masyarakat di suatu desa atau daerah yang
paling tinggi nilainya. Warisan ini tercipta dari hasil karya dan karsa masyarakat yang
diterima secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya adalah
milik rakyat, baik yang berdomisili di daerah terisolir maupun masyarakat diperkotaan.
Budaya akan selalu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan adanya dinamika sosial
atau terjadinya proses perubahan sosial seiring dengan berjalannya waktu (Nyakpha,
2004).

Dalam sebuah tradisi budaya, katakanlah dalam masalah saudara, bagi masyarakat
Aceh jika dikatakan, ”Saboh syehdara” atau “Saboh taloe darah,” artinya diantara mereka
mempunyai hubungan darah atau hubungan kekerabatan. Pada “syedara lingka” dan
“syedara gampoeng” didasarkan pada tempat tinggal atau tempat menetap. “Syehdara
kaweun” (kawin) merupakan kekeluargaan yang dibangun melalui hubungan darah dan
hubungan perkawinan (Kurdi, 2005).

10
Ketenteraman, keseimbangan, keamanan dan kedamaian merupakan hal- hal yang sangat
menentukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mereka selalu berupaya dan
menghormati nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah disepakati bersama atau aturan yang
telah ditetapkan agama. “Seubakhe-bakhe ureung Aceh, wate geusebut nan Allah dan
Nabi teuiem atawa seungap,” artinya sebodoh- bodohnya orang Aceh ketika disebut nama
Allah dan nabinya mereka akan terdiam, tak meneruskan pekerjaan yang sedang
dilakukan (Syahrizal, 2004). Budaya ini masih dirasakan dan terlihat dalam kehidupan
hari-hari. Dengan menghargai adat masyarakat Aceh masih dapat bertahan hidup dalam
kedamaian hati, ketenteraman jiwa, keseimbangan dan teguh dalam pendirian (Kurdi,
2005).

Bagi orang Aceh mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan bagian dari
kehidupan budaya, seakan-akan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam (Husein,
1970). Ajaran itu memberi pengaruh terhadap perilaku masyarakat Aceh dalam membina
hubungan dengan Allah SWT, hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya dan
hubungan dengan dirinya sendiri.

Struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari syedara saboh ma, syedara

saboh nek, syedara saboh aneuk, syedara lingka, syedara gampongdan kaoem.

Artinya, struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari saudara satu ibu, saudara satu nenek,
saudara sesama anak, tetangga, sekampung dan sesama kaum muslimin. Latar belakang
yang dibangun oleh masyarakat Aceh dalam memahami dan mengikat hubungan antara
saudara adalah berdasarkan norma-norma agama. Oleh karena itu, tatanan budaya dalam
kehidupan masyarakat Aceh, terutama di desa-desa, sering terdengar ungkapan “han
teupeh bak tajak han teupeh bak tawoe saboeh nangroe Tuhan peulara” yang artinya
kemanapun kita pergi dan pulang tidak ada yang menghalangi, karena semua dijaga oleh
Allah yang maha Kuasa. Kalimat itu memiliki nilai sastra yang tinggi yang menunjukkan
bahwa budaya orang Aceh tidak mengalpakan nilai-nilai keagamaan dalam setiap
kesempatan baik berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial budaya
(Sufi, 2002).

Orang Aceh pada umumnya berkarakter keras, tidak mau didikte, tidak cepat
menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah. Hal
ini mungkin ada hubungannya dengan makanan yang di konsumsi dalam keseharian.

11
Orang Aceh gemar makanan yang pedas-pedas, seperti gulai pliek ue, gulai kambing, ikan
lele dan sambal yang terdiri dari asam sunti dan rempah-rempah yang sebagian besar
bumbunya itu adalah cabe dan lada. Daging merupakan makanan yang mengandung
protein yang dibutuhkan oleh tubuh apalagi ditambah dengan bumbu cabe dan lada
membuat orang jadi “panas dan pedas”. Begitu juga dengan ikan lele dan ramuan-ramuan
lainnya, jika kita perhatikan hampir semua makanan dari masakan tradisional aceh itu
dapat dikatakan tidak ada yang tidak pedas (Sufi, 2002).

Menurut Hill (1960), sebelum tsunami, masyarakat Aceh memiliki banyak rujukan
budaya yang menjadi dasar pemikiran mereka seperti lembaga adat, Hadih Maja, adat
istiadat, seni budaya, hikayat, pantun, syair dan struktur- struktur adat lainnya. Dalam
karya seni tari, ditemukan gerak, likok, dan syair yang memuat pesan dengan kandungan
nilai yang bersifat implisit, seperti dalam Tari Laweuty, Tari Pho, Tari Seudati, Tari
Saman dan sebagainya. Pasca tsunami struktur lembaga dan seni-seni budaya yang ada
dalam masyarakat Aceh itu sudah tidak dapat dijadikan rujukan karena di samping
hancurnya lembaga adat, struktur budaya dari ketua-ketua adat meninggal dunia,
khususnya mereka yang berdomisili dekat pesisir Aceh Barat dan Kota Banda Aceh.

Dalam beberapa kesempatan, ungkapan yang sering dijadikan rujukan perilaku


terkesan memiliki bukti yang nyata. Sebelumnya orang Aceh mengetahui dan
mempraktekkan adat-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, namun sekarang sudah
ditinggalkan. Mereka suka mengutip beberapa sumber nilai dalam Hadih Maja, sehingga
ditemukan sifat-sifat yang terpuji dengan konsekuensi buruk, memperlihatkan bukti yang
amat nyata. Sifatgeumaseh (pemurah) danseut ia (loyal-setia) adalah sifat dan perilaku
yang amat terpuji dalam kurun waktu tertentu, namun pada kurun waktu lain sifat itu
menjadi buruk akibatnya.

Banyak orang yang terlibat ketika terjadi tsunami pada tanggal 26 Desember 2004
yang lalu. Masing-masing mereka lari menyelamatkan diri. Banyak orang yang tidak setia
kepada sanak keluarga apalagi kepada orang lain. Mayat bergelimpangan dimana-mana
dalam keadaan telanjang bulat hanya sedikit diantara mereka yang memiliki budaya
kesetiakawanan sosial. Di tempat lain ditemukan pula ungkapan serupa, “Ta weueh ie
mata gob saboh tima, rho ie mata droe teueh saboh blang,” (untuk mencegah agar air
mata orang lain jangan tumpah seember, akan boleh jadi tumpah air mata sendiri satu
hamparan sawah). Ungkapan ini memiliki arti bahwa jika membantu orang, ingat-ingat

12
nasib sendiri. Ini adalah suatu contoh bagaimana sifat suka menolong dan membantu
kesulitan orang lain, justru harus dibayar dengan kerugian lebih besar pada diri sendiri,
padahal sifat dan perilaku suka menolong orang lain merupakan sifat sangat terpuji dalam
tata kehidupan orang Aceh (Kurdi, 2005).

Masalah-Masalah Keluarga Pasca Gempa dan Tsunami :

Pengungsian, baik yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin topan
(tornado), gelombang pasang (tsunami), maupun yang disebabkan oleh bencana sosial
dan politik seperti tawuran antar warga, konflik antar ras, peperangan, dan lain-lain
menyisakan permasalahan yang perlu segera ditangani. Permasalahan tersebut berdampak
pada terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar, tercerai berainya anggota keluarga dan
timbulnya masalah psikososial yang pada akhirnya mempengaruhi keberfungsian sosial
korban apat saja diusahakan dengan segera untuk mengatasi masalah pemenuhan
kebutuhan dasar (fisiologis) korban bencana melalui bantuan pemerintah atau bantuan
dari organisasi-organisasi non pemerintah. Berbagai masalah dihadapi keluarga korban
bencana gempa dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam
penelitian ini permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga dikelompokkan
menjadi enam, yaitu masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian dan
pekerjaan/pendapatan.

C. Perubahan Sosial Kebudayaan

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan
pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum
yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai
dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari
perubahan.
Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

1. tekanan kerja dalam masyarakat

13
2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan


masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh,
berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian
memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

D. Pengaruh Budaya Terhadap Agama di Aceh

Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku budaya orang
Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa,
adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat
Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal
atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa.
Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu
disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah
bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi
yang tidak dapat dielakkan.

Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki,
perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana
pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari
perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri.
Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai
keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya
(Yusni Sabi, 2000: 16).

Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari


budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya
hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap
pembentukan suatu tipe sistem sosial. (Irwan Abdullah, 1999). Otoritas tradisi dalam hal
ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan
dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan

14
antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan
dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan
modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.

Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh.
Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan
dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang
berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi
golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar,
membatasi pergaulan dan sebagainya (Abidin Hasyim dkk, 1997).
Keserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan
saling menghormati.

Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan
seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu
mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan
dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga
dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para
orang tua dapat “menerima” apabila melihat putrinya tidak berpakaian muslimah secara
kaffah.

Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi
mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang
melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan konsep cantik
yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya
dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya luar (Widjayanto M.
Santoso, 2000).

Kedua aspek yang disebutkan itu akan menjadi referensi remaja dalam
berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan
generasi di atas mereka. Dengan demikian, gaya busana mereka lebih memilih baju-baju
kasual untuk kegiatan sehari-hari mereka. Agus Budi Wibowo (2001) mengidentifikasi
ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota
Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke
tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa

15
jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.

Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak


ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai
jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah
anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan
nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000),
yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan
perilaku agresif.

Dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak
dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam kaitannya dengan
remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang
pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik,
adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas.
Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata
anaknya sendiri.

Adapun upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya malu
dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara preventif dan refresif.
Usaha yang disebutkan pertama dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan
formal dan informal serta sikap menghindar, sedangkan usaha kedua dapat dilakukan
melalui penjatuhan sanksi adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang
melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.

Adat istiadat : berupa kebiasaan seremonial / upacara, prilaku ritualitas,


estetika / keindahan,   apresiasi seni tari, seni suara, seni lukis, relief/ motif bangunan
pisik, pakaian dan makanan ( bernilai ritual dan komersial ). Sedangkan nilai normatif/
prilaku tatanan ( hukum adat ), yaitu materi norma / aturan dan  bentuk sanksi-sanksi
terhadap pelanggar-pelanggaran yang berlaku untuk ketertiban masyarakat

“ Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat “, “ Ureung
majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom binasa “ Taduk ta muproe ta mupakat,
pat-pat nyang silap tawoe bak punca “Tanoh leumik keubeu meukubang, leumoh goe
parang goeb panglima”” Salah bak hukom raya akibat, salah bak adat malee.

16
E. Budaya Masyarakat Aceh Dalam Pencarian Keadilan
Perkembangan hukum biasanya sering tertinggal dengan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat. Karena itu, hakim di pengadilan dalam menjalankan fungsi
mengadili kadang kala berhadapan dengan kasus atau peristiwa yang belum diatasi
hukumnya secara tertulis atau sudah diatur tapi tidak jelas.
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau belum jelas.
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat [1] UU No. 4 Tahun 2004).
Berdasarkan ketentuan diatas, maka untuk menyelesaikan persoalan/kasus
kongkrit, diharapkan hakim harus menempuh jalan keluar yaitu melalui penemuan hukum
(Rachtsvinding).
Hakim bukan mulut undang-undang atau mulut hukum positif pada umumnya. Demikian
pula hakim tidak sekedar menerapkan bunyi suatu perjanjian yang merupakan undang-
undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Hakim adalah mulut kepatutan, keadilan,
kepentingan umum dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum akan
bertentangan, hakim wajib memilih kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan
ketertiban umum.
Dalam upaya memberi keadilan yang diinginkan oleh masyarakat, seyogyanyalah hakim
harus memahami dan mendalami budaya masyarakat dimana dia bertugas.

a) Budaya Masyarakat Aceh:


Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, memiliki budaya (adat) yang identik
dengan Islam. Hal ini sesuai dengan ungakapan yang sangat populer dalam
masyarakat Aceh: “Adat bak po Teumeureuhom Hukum bak Syiah Kuala, Antara
hukum ngon adat lage zat ngon sipheut.”
Semua orang, baik yang lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam.
Dapat dipastikan bahwa tidak ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipun tidak
semua menjalankan syariat dengan baik.
Islam yang datang ke Aceh telah kawin dengan adat Aceh dan telah
melahirkan identitas Aceh yang sangat khas “Aceh Serambi Mekah”. Dari

17
perkawinan ini terjadi proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan
melekatnya identitas baru di Aceh.
Kehidupan budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi
antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini. Dwi tunggal keuchik
dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan harmonisasi
tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat, diselesaikan dengan
sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam penyelesaian konflik di desa.

b) Keuchik dan Teungku:


Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka
melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan
termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di
desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga.
Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui
musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan.
Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian
sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungakapan populer yang
berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya : “Yang rayek tapeu ubit, nyak ubit
tapengadoh” artinya “Masalah kecil jangan diperbesar, kalau dapat dihilangkan.”
Juga ungakapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya
sangat mencintai perdamaian dalam penyelesaian sengketa seperti misalnya :
“Meunya Tatem Ta megot-got harta bansot syedara pihna”, artinya: “Bila mau
berbaik-baik harta/biaya tidak habis, atau persaudaran tetap terpelihara.”

c) Keterbukaan dan Taat Hukum


Budaya masyarakat Aceh yang dipengaruhi nilai-nilai Islam adalah sangat
terbuka dan mudah menerima perubahan, asal perubahan ini baik dan membawa
manfaat, serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam bidang hukum, misalnya, masyarakat Aceh dapat menerima perubahan
dan pembaruan hukum dalam UU Perkawinan dan KHI seperti pencatatan
perkawinan, keharusan perceraian di depan pengadilan, pembatasan poligami.
Demikian pula ketentuan hak anak angkat dalam kewarisan dan ahli waris pengganti.
Ketentuan pembagian Harta Bersama akibat perceraian atau meninggalnya salah satu
pihak dimana suami-istri mendapat bagian yang sama juga dapat diterima, meskipun

18
sebelum lahirnya KHI praktek yang berlaku di masyarakat Aceh. Dalam pembagian
Harta Bersama suami mendapat lebih banyak dari isteri, yaitu berbanding dua bagian.
Angka jumlah perkara yang tinggi di Mahkamah Syariah Aceh juga merupakan salah
satu wujud sikap budaya masyarakat Aceh yang taat dan sadar hukum, meskipun
kadang kala masyarakat harus menempuh perjalanan puluhan bahkan ratusan
kilometer ke pengadilan (Mahkamah Syariah). Nikah sirri atau perkawinan di luar
pengadilan (Mahkamah Syariah) tidak terlalu menonjol di Aceh.

d) Kritis Terhadap Keadilan


Masyarakat Aceh sangat menghormati penegakan keadilan, baik dalam
lingkungan keluarga, ketika orang tua memberikan hibah kepada anak-anaknya
maupun penegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Beberapa waktu di masa lalu sering kita mendengar ungkapan dalam masyarakat
“Pancuri manak lan tutupan, pancuri intan lan istana”. Artinya: ”pencuri ayam masuk
penjara, pencuri intan dibebaskan dari hukuman.” apakah ungkapan tersebut
merupakan kritikan/sindiran terhadap penegakan hukum yang berjalan pada waktu
itu, atau merupakan harapan kepada penegak hukum untuk berlaku adil atau
menegakkan hukum terhadap siapapun tanpa pandang bulu.
Dalam pelaksanaan syariat Islam pun masyarakat sangat kritis. Sebagian masyarakat
Aceh masih beranggapan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh hanya ditujukan
untuk orang-orang kecil/rakyat biasa, tidak untuk pejabat, karena mereka melihat
yang dicambuk hanya rakyat biasa.
Mengingat perjuangan panjang dan tidak mengenal lelah oleh rakyat Aceh dalam
memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam, Pemerintah pusat pun telah
mengeluarkan beberapa peraturan antara lain:
1. UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh;
2. UU No. 18 Tahun 2001 Tentang OTSUS Bagi NAD (telah dicabut);
3. UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

e) Pemerintah Daerah Aceh juga telah mengeluarkan beberapa Qanun yang


mengatur pelaksanan syariat Islam di Aceh, seperti:
1. Qanun tentang peradilan syariat Islam;
2. Qanun tentang Pelaksanaan Syariah Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam;
3. Qanun tentang Khamar (minuman keras);
4. Qanun tentang Maisir (perjudian);

19
5. Qanun tentang Khalwat (perbuatan mesum);
6. Qanun tentang Pengelolaan Zakat;
7. Qanun tentang Baitul Mall;
8. Pembentukan Dinas Syariat Islam;
9. Pembentukan Badan Dayah;
10. Pembentukan Satpol PP dan Wilayatul Hisbah;
11. Dan lain-lain.

f) Pelaksanaan syariah Islam di Aceh merupakan keinginan rakyat Aceh yang


dilakukan dengan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
Dilakukan secara bertahap;
Tidak dengan kekerasan;
Melalui peningkatan kesadaran/kecerdasan;
Dalam konteks hukum nasional;
Menghadirkan rahmat dan peningkatan peradaban;
Meningkatkan kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah;
Tanggung jawab bersama Pemerintah Daerah dan masyarakat;
Hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam;
Non muslim dapat menundukkan diri.

g) Fungsi dan Peran Mahkamah Syariah:


Bahagian dari alat kelengkapan daerah (OTSUS)
Kehadiran Mahkamah Syariah jangan menakutkan
Memberi pendidikan melalui putusan dan pelayanan
Melahirkan rahmat bagi masyarakat
Memelihara independensi.

20
21

Anda mungkin juga menyukai