Anda di halaman 1dari 23

PERLAWANAN BANGSA

INDONESIA TERHADAP
KOLONIALISME DAN
IMPERIALISME

Nama Anggota Kelompok 2 :


1. Callysta Monica
2. Lovely Azwa Eko Putri
3. Weni Thalita Zahra
4. Amira Rahmalia
5. Alfathania Queensha A.
6. Deajeng Kintan Rivandi
7. Clara Friska Fortuna
8. Shesilia Marsya
9. Thalita Syakira R.
10. M. Rasya Al Zikra
11. Fakhri Mirza A.
12. Mackenzy Dzaky A.

1
Daftar Isi

1.

2
A. Perlawanan terhadap Bangsa Portugis

Bangsa Portugis merupakan bangsa pertama yang singgah


di Indonesia di daerah Malaka pada tahun 1509. Setelah menguasai
Malaka pada 1511, wilayah lainnya juga menjadi incaran hingga
memicu perlawanan rakyat Indonesia terhadap Portugis. Latar belakang
terjadinya perlawanan orang Indonesia kepada Portugis adalah adanya
usaha untuk memonopoli perdagangan dan penaklukkan wilayah untuk
memperluas daerah kekuasaan. Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap
Portugis pun terjadi di banyak wilayah.

Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis dilakukan sejak 3


dekade awal abad ke-16, dan berhasil mengusirnya dari Daya (1520),
Pidie (1521), dan Pasai (1524). Sejak kedatangannya di Malaka,
Portugis dianggap sebagai saingan Aceh dalam bidang politik, ekonomi,
dan penyebaran agama. Meski sempat unggul di awal peperangan, untuk
kesekian kalinya Aceh harus mengakui kekalahannya dan Portugis
masih mampu bertahan di Malaka. Pada akhirnya, perlawanan Aceh
terhadap Portugis di Malaka berlangsung selama kurang lebih satu abad.

Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, aktivitas perdagangan,


khususnya pedagang Muslim menjadi terganggu. Oleh karena itu,
Kerajaan Demak juga mengirim pasukannya untuk mengusir Bangsa
Portugis. Perlawanan terhadap Portugis dilakukan oleh Demak lebih dari
satu kali, yakni di bawah Pati Unus dan Fatahillah. Namun, perlawanan
yang dilakukan Pati Unus belum berhasil menggempur kedudukan
Portugis di Malaka.

3
Setelah sempat menemui kegagalan, perjuangan Demak akhirnya
membawa hasil yang menggembirakan. Pada tahun 1527, pasukan
gabungan Demak, Cirebon, dan Banten diberangkatkan untuk
membendung pengaruh Portugis yang akan merambah Sunda Kelapa.
Akhirnya pada 22 Juni 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut oleh
Fatahillah, yang kemudian mengubah namanya jadi Jayakarta. Selain
Kerajaan Demak dan rakyat Aceh, beberapa perlawanan juga dilakukan
oleh Kesultanan Ternate.

B. Perlawanan terhadap Bangsa Belanda

VOC atau Vereenidge Oostindische Compagnie adalah kongsi


dagang Belanda dalam upayanya menguasai dan memonopoli rempah-
rempah di Nusantara. VOC dipimpin oleh Heeren XVII. Karena
tujuannya tersebut VOC diberikan hak-hak istimewa, antara lain :
1. Hak monopoli dagang.
2. Hak membuat dan mencetak uang.
3. Hak membentuk tentara.
4. Hak menyatakan perang ataupun membuat perjanjian.
5. Hak mendirikan benteng pertahanan.
Pada tahun 1605, VOC berhasil merebut Ambon dan Tidore dari
Portugis. VOC berhasil menguasai Banda 1608. Selanjutnya, dibawah
gubernur jenderal Jan Pieterszoon Coen (1619-1623), VOC menetapkan
Jayakarta sebagai markas besar dan pusat perniagaan VOC.

Beberapa perlawanan terjadi di Indonesia di berbagai daerah dalam


mengusir VOC. Perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC dipimpin oleh
Kakiali dan Talukabesi pada 1635-1646. Meski perlawanan tersebut
dapat dipadamkan oleh VOC dengan cepat, hal itu tetap menunjukkan
4
bahwa Bangsa Indonesia tidak tinggal diam dijajah. Kemudian pada
1650, Saidi memimpin perlawanan rakyat Maluku. Selanjutnya
perlawanan terhadap VOC juga terjadi di Tidore, dengan dipimpin oleh
Sultan Nuku.

Perlawanan rakyat Makassar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan


Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, VOC langsung memanfaatkan
kesempatan itu. VOC memanfaatkan Arung Palaka untuk menyerang
Gowa pada 1666. Pada akhirnya, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan
Gowa dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya pada 18 November
1667. Isi perjanjiannya hanya untuk merugikan dan memonopoli
Makassar.

Setelah sekitar satu abad bertahan, VOC dibubarkan pada 31


Desember 1799. Berikut beberapa alasan kemunduran VOC :
1. Korupsi dan pencurian yang dilakukan pegawai VOC.
2. Maraknya perdagangan gelap di jalur monopoli.
3. Besarnya anggaran belanja VOC yang tidak sebanding
pemasukkannya.
4. Gencarnya persaingan dengan Negara Prancis dan Inggris.

5
C. Perlawanan Rakyat Aceh terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda

Sejak abad ke-17, Belanda sudah berusaha menanamkan


kekuasannya di Aceh. Hal itu karena Aceh merupakan pusat perdagangan
yang ramai, maka Aceh adalah tempat yang strategis. Selain itu, Aceh
juga memiliki banyak kekayaan alam, seperti lada, hasil tambang, serta
hasil hutan yang melimpah sehingga Belanda sangat ingin menguasainya
untuk mewujudkan Pax Neerlandica. Namun, hal tersebut tidak semudah
yang dibayangkan Belanda.

Sebab rakyat Aceh menunjukkan segala upaya untuk


mempertahankan kedaulatannya. Pada masa itu, Belanda juga memiliki
kendala yaitu Traktat London yang disetujui pada 17 Maret 1824. Traktat
London adalah kesepakatan antara Inggris dan Belanda mengenai
pembagian wilayah jajahan Nusantara dan Semenanjung Malaya.
Berdasarkan Traktat, Belanda tidak bisa mengganggu Aceh, Karena
wilayah tersebut telah masuk ke bagian jajahan Inggris.

Namun meskipun begitu, Traktat London rupanya tidak


menghentikan Belanda, mereka mulai menguasai daerah Sibolga,
pedalaman Tapanuli, Tanah Batak, Singkit, Barus, Serdang, dan Asahan.
Di tahun 1858, Belanda juga mengadakan perjanjian dengan Sultan Siak
dan sampai pernah mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra Timur.
Tidak berhenti sampai di situ, Belanda akhirnya mengumumkan
peperangan terhadap rakyat Aceh, ternyata Aceh memiliki semangat
tinggi untuk mendapatkan kembali tanah Aceh. Dengan adanya barisan
pemuda dan para pemimpin Aceh, perang ini menjadi salah satu perang
terberat bagi Belanda dan dalam sejarah perang Aceh.

6
Perang dimulai pada 5 April 1857, di mana pasukan Belanda
dibawah kepemimpinan Mayor Jenderal J. H. R Kohler mulai menyerang
Aceh. Dengan kekuatan yang ada, para pejuang Aceh pun tidak tinggal
diam dan mampu memberikan perlawanan sengit. Belanda sempat
melakukan penyerangan ke Masjid Raya Baiturrahman, dan sempat
menginstruksikan anak buahnya untuk menembakkan peluru ke arah
masjid. Akibatnya, masjid mulai terbakar dan pasukan Aceh mulai
berbondong-bondong meninggalkan masjid.

Belanda akhirnya berhasil menguasai masjid pada 14 April 1873.


Namun Mayor Jenderal Kohrel diketahui tewas dalam sengitnya
pertempuran di masjid ini. Setelah berhasil menguasai masjid, 9
Desember 1873 pasukan Belanda pun mendarat di Pantai Aceh. Pasukan
ini dipimpin oleh Letnan Jenderal J. Van Swieten, seorang pemimpin
baru yang akan mengepalai pergerakkan Belanda.

Melihat kedatangan Belanda, pasukan Aceh pun tidak tinggal diam


hingga akhirnya meluncurkan berbagai serangan. Namun sayangnya,
pasukan Aceh harus mengalah dan mundur. Pada 24 Januari 1874,
pasukan Belanda kembali menduduki Istana. Sultan Mahmud Syah II
bersama para pejuang lain dahulu meninggalkan Istana, hingga pada
akhirnya 4 hari setelahnya Sultan wafat akibat wabah kolera.

Setelah berhasil menguasai Masjid dan Istana, Belanda akhirnya


mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh.
Namun karena beliau masih dibawah umur, Tuanku Hasyim Banta Muda
pun diangkat sebagai walia atau pemangku sultan sampai tahun 1884.
Tidak berhenti sampai di sini, Belanda pun terus melanjutkan perang
sampai ke daerah hulu. Posisi Letnan Jenderal Van Swieten pun sudah
digantikan dengan Jenderal Pel.

7
Setelah itu mereka pun mulai membangun pos-pos pertahanan di
Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa dengan kekuatan sekitar 2.759
pasukan. Melihat pertambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak
gentar dan tetap semangat. Di Aceh Barat peperangan dipimpin oleh
Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien hingga meluas sampai ke
Meulaboh. Dengan semangat jihad, mereka pun menerapkan strategi baru
yang disebut Konsentrasi Stelsel.

Berbagai kegagalan dalam pertempuran melawan rakyat Aceh


akhirnya membuat Belanda mulai geram dan menugaskan Dr. Snouck
Hurgronje untuk menganalisis kelemahan dari pasukan Aceh. Akhirnya,
ia pun mengusulkan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh, yaitu :
1. Memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh karena
dalam lingkungan masyarakat Aceh terdapat rasa persatuan
antara kaum bangsawan, ulama dan rakyat.
2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin
perlawanan harus dengan kekerasan, yaitu dengan kekuatan
senjata.
3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya
dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk masuk ke
dalam korps pamong praja di pemerintah kolonial.
Untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut, pada 1898 Kolonel J.B van
Heutsz diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Dengan
berbagai macam persiapan akhirnya mereka pun melancarkan beberapa
serangan untuk menggempur Aceh.

Di bagian Aceh Barat, Teuku Umar juga merencanakan penyerangan


besar-besaran ke Meulaboh. Namun ternyata rencana ini berhasil
diketahui Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada
1899. Dalam pertempuran tersebut akhirnya Teuku Umar pun gugur,
sedangkan pasukan Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan. Di

8
bawah kepemimpinan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem
perang gerilya terus dilakukan, sampai akhirnya Muhammad Daud
menyerah. Sementara Panglima Polem ditangkap bersama istri dan
keluarganya.

Perang mulai mereka setelah Cut Nyak Dien berhasil ditangkap lalu
diasingkan oleh Belanda sampai akhirnya wafat pada 8 November 1908.
Perang selanjutnya dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang
Nanggroe. Sampai pada akhirnya Oktober 1910, keduanya gugur dan
perang resmi berakhir secara massal pada tahun tersebut.

9
D. Perlawanan Rakyat Sumatra Selatan terhadap
Pemerintahan Hindia Belanda

Di Sumatra Selatan, penduduk Belanda juga mendapatkan


perlawanan dari rakyat setempat. Salah satunya perlawanan dari
kesultanan Palembang. Palembang memiliki arti penting bagi
pemerintah hindia Belanda karena posisinya menghubungkan wilayah
Belanda di Jawa dan Sumatra. Perlawanan rakyat Palembang dipimpin
oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.

Mereka melakukan perlawanan saat Hindia Belanda mengirimkan


ekspedisi ke Palembang ada tahun 1818, Ekspedisi pasukan Belanda
tersebut berhasil dipukul mundur oleh rakyat rakyat Palembang. Belanda
melakukan serangan ke Palembang pada juli 1819 (dikenal sebagai
perang menteng) Kedua serangan tersebut berhasil dipatahkan oleh
pasukan kesultanan Palembang dan pasukan belanda. Sultan Mahmud
Badaruddin II berhasil ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ternate
hingga akhir hayatnya pada 26 November 1852. Setelah penangkapan
sultan Mahmud Badaruddin II, kesultanan Palembang dipimpin oleh
keponakannya prabu Anom (Sultan Najamuddin IV) dan ayahnya Husin
Dhiauddin (Susuhan Ahmad Najamuddin II).

Masa pemerintahan keduanya terbilang amat singkat karena akibat


pemberontakannya, ia ditangkap dan diasingkan ke Banda, kemudian ke
Manado. Kesultanan Palembang dihapus keberadaannya pada tahun
1824 Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

10
E. Perlawanan Rakyat Jawa terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda

Perlawanan rakyat jawa salah satunya terjadi ketika Pangeran


Diponegoro memimpin perlawanan terhadap Belanda (1825-1830).
Perlawanan ini dibantu oleh Sentot Alibiasyah Prawirodirdjo, Kiai
Mojo, dan Pangeran Mangkubumi. Perlawanan ini dilatarbelakangi
campur tangan pemerintah Hindia Belanda terhadap pemerintahan
Kesultanan Yogyakarta. Pemerintah Hindia Belanda memasang patok
batas pembangunan jalan melewati tanahmilik Pangeran Diponegoro
tanpa seizinnya.

Pada pertempuran awal, Pangeran Diponegoro memperoleh


kemenangan. Hal ini disebabkan pasukan Pangeran Diponegoro
memiliki semangat yang tinggi untuk mengusir Belanda. Pemerintah
kolonial Belanda meminta bantuan pasukan dari Sumatra Barat. Selain
itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan strategi benteng stelsel
untuk mempersempit ruang gerak perlawanan Pangeran Diponegoro.

Perlawanan Pangeran Diponegoro berakhir setelah pemerintah


kolonial Belanda menggunakan tupi muslihat. Pada tahun 1830,
Pangeran Diponegoro diajak berunding oleh Jenderal De Kock di
Magelang. Jenderal De Kock berjanji bahwa jika perundingan gagal,
Pangeran Diponegoro bebas kembali ke markasnya. Namun, De Kock
berkhianat Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado dan
dipindahkan ke Makasar hingga akhir hayatnya.

11
F. Perlawanan Rakyat Bali terhadap Pemerintahan Hindia
Belanda

Pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda dan raja-raja di Bali


sudah memiliki satu perjanjian. Perjanjian tersebut berisi tentang
pembebasan setiap kapal Belanda yang karam di perairan Bali apabila
telah dibayar. Perjanjian in diadakan sehubungan dengan adanya hak
tawan karang yang dimiliki raja-raja Bail tersebut. Hak tawan karang
adalah hak para raja Bali untuk merampas kapal kapal yang karam di
perairan Bali.

Pada tahun 1844, Raja Buleleng merampas kapal Belanda yang


karam di wilayah perairannya. Tindakan Raja Buleleng ini tidak
diterima oleh pemerintah Belanda. Hal tersebut menyebabkan
ketegangan antara kerajaan Buleleng dan pemerintah Belanda. Setelah
dua tahun berada pada masa ketegangan, perang pun meletus.

Belanda menyerang Buleleng dan berhasil merebut istana Buleleng.


Raja Buleleng yang didampingi Patih I Gusti Ketut Jelantik kemudian
menyingkir ke Jagaraga. Kemudian, diadakanlah perjanjian antara
Belanda dan Buleleng, tetapi gagal. Belanda kemudian menyerang
Jagaraga, tetapi serangan ini dapat dipukul mundur oleh pasukan
Buleleng.

Pada tahun 1849, Belanda melancarkan serangan besar - besaran


terhadap kerajaan-kerajaan di Bali. Selanjutnya, Jagaraga pun dapat
direbut. Setelah berhasil merebut Jagaraga, Belanda juga merebut
Klungkung, Karangasem, dan Gianyar.

12
G. Perlawanan Rakyat Sumatra Utara terhadap
Pemerintahan Hindia Belanda

Perlawanan rakyat di Sumatra Utara terhadap pemerintahan Hindia


Belanda terjadi selama periode kolonia. Salah satu episode yang
signifikan dalam sejarah perlawanan tersebut adalah Pemberontakan
Peti-darat pada awal abad ke-20. Di mana berbagai kelompok etnis di
wilayah tersebut, termasuk Batak, Aceh, dan Minangkabau, melakukan
perlawanan bersenjata. Salah satu contoh perlawanan terkenal adalah
Pemberontakan Batak di Tapanuli pada tahun 1907.

Lalu terdapat contoh lainnya yaitu Pemberontakan Peti-darat, yang


terjadi pada tahun 1907 hingga 1908, dipimpin oleh Sisingamangaraja
XII, seorang pemimpin Batak. Pemberontakan ini merupakan respons
terhadap eksploitasi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda, termasuk dalam hal pajak dan tenaga kerja paksa.
Sisingamangaraja XII dan pasukannya berhasil mengorganisir
perlawanan bersenjata melawan pasukan Belanda. Namun,
pemberontakan ini akhirnya berhasil dipadamkan oleh pasukan kolonial
dengan kekuatan militernya.

Perlawanan rakyat di Sumatra Utara mencerminkan aspirasi untuk


kemerdekaan dan otonomi lokal, serta ketidakpuasan terhadap kebijakan
kolonial Hindia Belanda. Meskipun Pemberontakan Peti-darat tidak
mencapai kemerdekaan yang diinginkan, peristiwa tersebut memberikan
dorongan bagi semangat perlawanan nasionalis di Indonesia pada
umumnya. Penting untuk diingat bahwa sejarah perlawanan ini
merupakan bagian dari konteks yang lebih luas dari perjuangan bangsa
Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan kolonial. Perlu

13
diketahui Perlawanan rakyat Sumatra Utara terhadap pemerintahan
Hindia Belanda merupakan bagian dari perlawanan yang lebih luas
terhadap kolonialisme di Nusantara.

H. Perlawanan Rakyat Sumatra Barat terhadap


Pemerintahan Hindia Belanda.

Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Hindia


Belanda di Sumatera berkobar di Minangkabau. Perlawanan ini berawal
memanfaatkan konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat pada tahun
1821. Perang Padri merupakan salah satu pertempuran yang
dilatarbelakangi oleh perpecahan di kalangan rakyat Minangkabau,
tepatnya antara kaum Padri dan kaum Adat. Pertempuran ini terjadi di
daerah Sumatera Barat dan terbagi ke dalam dua periode yang terpisah,
yaitu pada tahun 1821-1825 dan 1830-1837.

Kaum Padri menilai bahwa kaum Adat telah melakukan praktik-


praktik yang menyimpang dari ajaran Islam. Sehingga, kaum Padri ingin
melakukan pemurnian praktik ajaran Islam dengan memberantas
kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang itu. Kaum Padri terdiri atas
ulama-ulama yang memiliki tujuan untuk memurnikan ajaran Islam di
Minangkabau. Sedangkan kaum Adat merupakan kelompok masyarakat
di Minangkabau yang masih memegang teguh adat istiadat dari leluhur
mereka.

Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat Dimanfaatkan oleh


Belanda. Perang saudara yang terjadi antara kaum Padri dan kaum Adat
memberikan Belanda celah untuk mempengaruhi masyarakat

14
Minangkabau. Maka, pada tahun 1821, Pemerintah Kolonial Belanda
yang bernama James Du Puy melakukan perjanjian dengan kaum Adat.
Dari perjanjian tersebut, Belanda berhasil menduduki sejumlah daerah.

Akibat dari tindakan kaum Adat dan Belanda, akhirnya terjadilah


Perang Padri. Periode Pertama Perang Padri (1821-1825), Gencarnya
Kekuatan Kaum Padri. Di periode yang pertama, kaum Padri menyerang
pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap patroli-patroli
mereka. Pada September 1821, pos-pos Belanda di Simawang, Soli Air
dan Sipinang jadi sasaran penyerangan kaum Padri.

Kala itu, dengan jumlah 20.000-25.000 pasukan, kaum Padri yang


dipimpin oleh Tuanku Pasaman menyerang Belanda di hutan sebelah
timur Gurun. Pasukan Belanda yang hanya berjumlah 200 orang serdadu
Eropa ditambah 10.000 pasukan kaum Adat melakukan perlawanan.
Pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman cukup sulit dikalahkan,
hingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengirimkan surat ajakan
berdamai. Mengetahui taktik Belanda, Tuanku Pasaman tidak
menanggapi ajakan Belanda dan terus menggencarkan perlawanan di
berbagai tempat.

Perlawanan Pasukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol.


Pada tahun 1822, pasukan dari Tuanku Nan Renceh menyerang Belanda
di bawah pimpinan Kapten Goffinet dan meraih kemenangan. Belanda
mulai menduduki daerah IV Koto pada Februari tahun 1824, tindakan ini
menyulut kemarahan kaum Padri di Bonjol. Di bawah komando Peto
Syarif atau yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol, kaum Padri
melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda di Saruaso.

15
Memasuki tahun 1825, Belanda kembali mengajukan perjanjian
damai. Perjanjian itu berisi bahwa Belanda mengakui kekuasaan tuanku-
tuanku di Lintau, IV Koto, Telawas, dan Agam. Sayangnya, perjanjian
tersebut mengecewakan kaum Adat. Mereka menganggap Belanda tidak
menepati janji dan lebih mengutamakan kepentingan sendiri.

Periode Kedua Perang Padri (1830-1837), Kaum Adat Mulai


Melakukan Perlawanan. Kaum Adat yang kecewa dengan perjanjian
damai mulai menentang dan melawan balik Belanda. Pada periode
kedua ini, kaum Padri dan kaum Adat mulai bersatu. Mereka menyadari
bahwa musuh yang sebenarnya adalah Belanda.

Dengan kekuatan yang meningkat, kedudukan Belanda di Sumatera


Barat semakin terdesak. Bahkan, Gubernur Jenderal Johannes van den
Bosch mengangkat kolonel G.P. Jacob Elout untuk mencegah meluasnya
perlawanan dan kekuasaan kaum Padri. Pada tahun 1832, serangan
Belanda kepada kaum Padri semakin gencar. Bahkan, mereka
menyerang pos-pos pertahanan kaum Padri yang berada di Banuhampu,
Kamang, Guguak Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung, dan
beberapa lainnya di Agam.

Kekalahan Pasukan Padri terjadi pada tahun 1834, kekuatan Belanda


berfokus untuk menguasai wilayah Bonjol. Hingga akhirnya pada tahun
1835, pasukan Padri mengalami kesulitan dan dipukul mundur. Pada 10
Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaan berunding
dengan Belanda. Sayangnya, usaha perundingan itu justru mengalami
kegagalan dan memicu terjadinya peperangan lagi.

16
Benteng Bonjol dikepung dan berhasil dikuasai oleh pasukan
Belanda pada Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol dan sejumlah
pejuang lainnya menyerahkan diri untuk menjamin keselamatan kaum
Padri. Setelah menyerahkan diri, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke
Cianjur, Ambon, dan akhirnya wafat di Manado pada 6 November 1864.

17
I. Perlawanan Rakyat Kalimantan terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda

Perlawanan rakyat Kalimantan terhadap pemerintahan Hindia


Belanda merupakan bagian penting dari sejarah perlawanan antikolonial
di wilayah tersebut. Suku-suku Dayak dan kelompok masyarakat lainnya
secara aktif melibatkan diri dalam perlawanan terhadap kebijakan
eksploitasi kolonial Belanda, yang sering kali mencakup penindasan
ekonomi dan budaya. Suku Dayak, misalnya, dikenal melakukan
perlawanan melalui strategi gerilya dan taktik-taktik tradisional mereka.
Pada beberapa titik, terjadi konfrontasi antara suku-suku Dayak dan
pasukan kolonial Belanda yang berusaha menguasai sumber daya alam,
terutama kayu dan hasil hutan lainnya.

Perlawanan rakyat Kalimantan juga dapat terkait dengan keberanian


mereka dalam mempertahankan nilai-nilai lokal dan tradisi mereka
terhadap dominasi budaya Belanda. Pada akhirnya, sejarah ini
mencerminkan semangat perlawanan dan keinginan untuk
mempertahankan kedaulatan lokal di tengah tekanan kolonial. Beberapa
bentuk perlawanan meliputi pemberontakan lokal, penolakan terhadap
pajak, dan perlawanan bersenjata terhadap kebijakan kolonial.
Menunjukkan ketegangan antara pemerintah kolonial Belanda dan
masyarakat pribumi di Kalimantan. Berikut beberapa contoh dar
perlawanan rakyat Kalimantan:
1. Pemberontakan Banjar (1859-1906): Pemberontakan
ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan
pajak yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Pemberontakan ini dipimpin oleh Pangeran

18
Antasari dan berlangsung cukup lama sebelum
berhasil dipadamkan oleh pemerintah kolonial.
2. Perang Tumbang Anoi (1875-1905): Perlawanan
suku Dayak di wilayah pedalaman Kalimantan Barat
terhadap penetrasi dan eksploitasi Belanda. Suku
Dayak, terutama di daerah pedalaman, menentang
kehadiran dan kontrol Belanda atas wilayah mereka.
3. Perang Lawit (1883-1884): Konflik bersenjata antara
suku Dayak dan pasukan kolonial Belanda di
wilayah Hulu Kapuas, Kalimantan Tengah. Perang
ini dipicu oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang
merugikan suku Dayak.
4. Perang Banjar (1825-1906): Selain Pemberontakan
Banjar yang disebutkan sebelumnya, terjadi pula
serangkaian konflik antara pemerintah kolonial dan
masyarakat Banjar yang memberontak di Kalimantan
Selatan.
5. Perang Kutai (1850-1924): Konflik antara suku
Dayak dan pemerintah kolonial Belanda di wilayah
Kutai, Kalimantan Timur. Perlawanan ini juga dipicu
oleh kebijakan kolonial yang merugikan masyarakat
pribumi.

Perlawanan-perlawanan ini menunjukkan bahwa masyarakat


Kalimantan tidak selalu pasif terhadap kebijakan kolonial Belanda,
melainkan sering kali melancarkan perlawanan untuk mempertahankan
hak-hak dan kepentingan mereka.

19
J. Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan terhadap
Pemerintahan Hindia Belanda

Perang Bone ini terjadi bermula dari Gubernur Jenderal van der
Capellen datang ke Makassar untuk melakukan pembaharuan Perjanjian
Bongaya. Perjanjian Bongaya merupakan perjanjian damai yang
dilakukan Kesultanan Gowa di Makassar dengan pihak VOC yang
menjajah Indonesia sebelum Belanda datang. Setelah Indonesia diambil
alih Belanda, Perjanian Bongaya itu dianggap kurang sesuai. Dari semua
kerajaan di Makassar, Kerajaan Bone lah yang dengan tegas melakukan
penolakan untuk mengubah Perjanjian Bongaya.

Selain menolak, Kerajaan Bone juga mencoba membujuk kerajaan


lain yang ada di Makassar untuk menolak kekuasaan Belanda di
Sulawesi Selatan. Usaha Bone dalam mengajak kerajaan lain untuk
menentang Belanda membuat bangsa penjajah ini menjadi marah. Hal
inilah yang membuat munculnya Perang Bone di Sulawesi Selatan saat
itu. Dengan penolakan tersebut, van der Capellen kembali ke Batavia
untuk menyiapkan hukuman bagi Kerajaan Bone.

Belanda pun mengirim Letnan Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert


de Stuers untuk datang ke Sulawesi Selatan pada 15 Juli 1824. Untuk
menaklukan Kerajaan Bone, Belanda mengirim ratusan pasukan dengan
meriam. Namun, usaha pertama Belanda ini dianggap gagal karena
pasukan Bone berhasil menghancurkan beberapa pos pertahanan yang
ada di Pangkajene, Maros, dan Tanete. Perlawanan dari Kerajaan Bone
ini sempat membuat pemerintahan Belanda yang ada di Makassar
merasa khawatir, hingga meminta bantuan dari Batavia.

20
Usaha Belanda untuk kembali merebut Kerjaan Bone pun tidak
berhenti sampai di situ. Pada tahun 1825, Perang Bone kembali terjadi
dengan Jendral Jizef van Geen yang datang bersama 4.000 pasukan
menggunakan tujuh kapal perang dan tiga perahu meriam. Serangan
Belanda ini mampu membawanya masuk ke wilayah ibu kota Bone,
namun ternyata cara itu masih gagal karena raja dan para pembesar
kerajaan sudah pergi mengungsi ke wilayah pedalaman. Perang yang
berlangsung selama 10 tahun dari tahun 1825 hingga 1835 ini pun
berakhir dengan adanya perjanjian damai yang dilakukan oleh Raja
Bone.

Tapi ternyata usaha rakyat Sulawesi Selatan khususnya rakyat Bone


tidak berhenti begitu saja. Walau raja sudah menandatangani perjanjian
damai, rakyat Bone kembali melakukan serangan pada Belanda. Pada
tahun 1859 pun Belanda kembali mengirim pasukan ke Bone yang
dipimpin oleh Letnan Jenderal Jan van Swieten. Serangan ini menjadi
serangan yang paling dahsyat karena banyak pasukan Belanda yang
gugur dan terpaksa mundur.

Lalu, pada serangan kedua Belanda berhasil membuat Bone kembali


dalam kekuasaanya pada tahun 1860. Namun, secara resmi Bone jatuh
kekuasaan Belanda adalah pada tahun 1905. Karena pada tahun 1895
hingga 1905 Raja La Pawawoi Karaeng Sigeri kembali melakukan
perlawanan terhadap Belanda hingga akhirnya menyerah.

21
K. Perlawanan Rakyat Maluku terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda

Latar belakang perlawanan rakyat Maluku mengusir bangsa Belanda


karena adanya praktik monopoli dan sistem pelayaran Hongi yang
membuat rakyat sengsara. Belanda melaksanakan sistem penyerahan
wajib sebagian hasil bumi terutama rempah- rempah kepada VOC.
Kompeni juga melangsungkan sistem pelayaran Hongi (hongitochten).
Dengan cara itu, para birokrat Kompeni dapat menginspeksi satu per
satu pulau-pulau di Maluku yang bertujuan menjaga keberlangsungan
monopoli rempah-rempah.

Kompeni juga punya hak ekstirpasi, yaitu hak memusnahkan pohon


pala dan cengkeh jika harganya turun. Perlawanan rakyat Maluku
muncul pada tahun 1635 di bawah pimpinan Kakiali, Kapitan Hitu. Saat
Kakiali tewas terbunuh, perjuangannya dilanjutkan Kapitan
Tulukabessy. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646.

Sampai akhir abad ke-18 tak terdengar lagi perlawanan pada VOC.
Baru kemudian muncul nama Sultan Jamaluddin, dan Sultan Nuku dari
Tidore. Namun VOC dengan cepat bisa memadamkan perlawanan itu.
Perlawanan rakyat Maluku kembali berkobar di Pulau Saparua yang
dipimpin oleh Thomas Matulessy ( Pattimura ) pada tahun 1817. Saat
itu, Benteng Duurstede berhasil dihancurkan oleh pasukan rakyat
Maluku.

Residen Belanda yang bernama Van den Berg terbunuh dalam


peristiwa itu Belanda pun mendatangkan pasukan tambahan dari

22
Ambon. Namun, pasukan ini juga berhasil dikalahkan Perlawanan rakyat
Saparua menjalar ke Ambon, Seram, dan pulau-pulau lainnya. Untuk
memadamkan perlawanan rakyat Maluku ini, Belanda mendatangkan
pasukan dari Jawa. Maluku diblokade oleh Belanda.

Mereka mengerahkan pasukannya yang demikian besar. Satu per


satu wilayah di pulau itu jatuh ke tangan Belanda setelah perlawanan
yang dahsyat. Ratusan orang gugur dalam pertempuran dan Pattimura
pun akhirnya berhasil ditangkap Belanda. Pemimpin perlawanan
kemudian digantikan oleh Martha Christina Tiahahu, seorang pejuang
perempuan.

Sayangnya, ia juga ditangkap. Ketika dalam perjalanan menuju


tempat pengasingan di Pulau Jawa, ia pun meninggal dunia. Akibat
pemberontakan ini, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan ketat.
Rakyat Maluku, terutama rakyat Saparua, dihukum berat. Monopoli
rempah-rempah pun diberlakukan kembali oleh pemerintah Hindia
Belanda.

23

Anda mungkin juga menyukai