Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana


penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga
terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah,
khususnya para penjajah Belanda.

Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan


meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke
bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang
semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan
terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan
penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang
dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan
kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia
memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada
kekuasaan Portugis dan VOC.

Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua


periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800.
Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai
sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut.
Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan
Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati.
Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore),
Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali,
Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup
tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami
maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih
banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
1.2 Rumusan Masalah

1. Aceh Versus Portugis dan VOC


2. Maluku Angkat Senjata
3. Sultan Agung Versus J.P Coen

1.3 Tujuan Pembahasan

Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan
keadaan Bangsa Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan.


Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu,
Belanda berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin
mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai
kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka.

Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang


ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari
Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk
memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat
Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh.

Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan


hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di
Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda
tidak ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun
Aceh tidak menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
memaklumkan perang kepada Aceh.

Tokoh / Pemimpin Perang

Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan
Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya
dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh
hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut
kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada
di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa
wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun
1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat
dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian
Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak
terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg
mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak
mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran
GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.
Perang Aceh Kedua

Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda
berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa
seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26
Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai
Sultan di masjid Indragiri.

Perang Aceh Ketiga

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang
fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim &
Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen
di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian
tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang Aceh Keempat

Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan


dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari
pusat pemerintahan Kesultanan.

Proses Perlawanan

Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan.


Sekitar 3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan
disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya
Baiturrahman Aceh. Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki
oleh pihak Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor
Jenderal Kohler.Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka
kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh
Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang
para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda.

Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut
Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu
Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah
pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad,
para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-
besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000
orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya
Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang
yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota. Pada
tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan oleh
putranya yakni Muhammad Daud Syah.

Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib
Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-
pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam
Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-
pos Belanda.

Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak


Belanda berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut
kehidupan sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr.
Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya
masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul
Gafar, ia berhasil masuk Aceh.

Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari


hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa
persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat
besar di kalangan rakyat.

Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik
"de vide et impera ( memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama
yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan
keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan
pemerintahan kolonial.

Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada
Belanda. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada
pemerintah Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku
Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian
bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda.

Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul


perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat
dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.

Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih
melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan.
Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya
menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang
sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan
Aceh dipaksa untuk menandatangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.

1) Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.

2) Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.

3) Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.

Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah
Belanda.
Akhir Perlawanan

Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda


mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar,
Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata
dari pasukan Marchausse (arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-
orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar
telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam serangan itu banyak
putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh
mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke
pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen.
Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi
kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya.
Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda
membuat Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian
ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik
diatur oleh Belanda, sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:

1. Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda


2. Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing
3. Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah
Belanda

Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat
kepala-kepala daerah. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar
kekuasaannya, diantaranya Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya
dengan suatu perjanjian.

Demikianlah perang yang terjadi di Aceh yang mengorbankan putra-putra


tanah Aceh seperti Teungku Umar, Panglima Polim, eungki Cik di Tiro, Tjut Nyak Dien,
Tjut Mutiah, Tuanku Muhammad Dawodsyah dan rakyat Aceh yang dapat kita anggap
sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa
hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju
ke Aceh. Dengan demikian perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah
mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan
Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh karena itu,
Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis
melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada
tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami
kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat
perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di
manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh sedang berlayar di Laut
Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal-kapal Portugis untuk ditangkap. Sudah
barang tentu tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan
berdaulat berdagang dengan siapa saja, mengadakan hubungan dengan bangsa
manapun atas dasar persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal Potugis telah
mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan Aceh melakukan
langkah-langkah antara lain:

1. Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit

2. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari


Turki pada tahun 1567.

3. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.

Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan


terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Formosa/Benteng.
Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat
digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh,
tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.

Sultan Iskandar Muda (1607-1639)


Rakyat Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi kekuatan dan
dominasi asing, oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari
Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-
1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing
semakin meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-cita
untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka.
Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan
lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit.
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga
menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan
wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat,
ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan. Para pengawas itu ditempatkan
di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu umumnya
terdiri para panglima perang.

Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda


melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat
kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan
untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak
berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin
memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi
Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil
mengusir Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah
VOC pada tahun 1641.

Maluku Angkat Senjata

Portugis berhasil memasuki kepulauan Maluku pada tahun 1521.Dengan pusat


aktivitasnya di Ternate tidak lama Spanyol juga masuk kepulauan Maluku dengan
pusatnya di Tidore.

Mereka bersaing dan dan setelah Portugis menjalin persekutuan dengan Ternate
dan Spanyol bersahabat dengan Tidore ingin menguasai kepulauan Maluku
Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore dan Portugis. Penyebab Perang ini
karena kapal Portugis menembaki jung-jung dari banda yang akan membeli cengkih Ke
Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis.Dalam
perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan bacan.Akhirnya Portugis
mendapat kemenangan Portugis menjadi sombong dan berlaku kasar terhadap
penduduk Maluku.Upaya monopoli terus dilakukan maka wajar jika sering terjadi
letupan letupan perlawanan rakyat.

Karena perjanjian Saragosa pada tahun 1529 Berdasarkan kesepakatan Portugis


tetap berkuasa di Maluku sementara Spanyol berkuasa di Filipina maka berakhirlah
kedudukan Spanyol di Maluku. Portugis semakin berkuasa untuk mengadakan
monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku akibatnya ini mengancam
kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.

Melihat kesewenangan Portugis Sultan Hairun pahlawan rakyat Ternate tahun


1565 Sultan Hairun menyerukan rakyat Irian sampai jawa untuk angkat senjata
melawan Portugis dan Portugis menawarkan perundingan kepada Sultan Hairun di
benteng Sao paolo dan ini hanya tipu muslihat protugis. Sultan Hairun pun ditangkap
dan dibunuh.

Sultan Babullah melanjutkan perlawanan ayahnya untuk melancarkan serangan


terhadap protugis. Pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate kemudian Portugis
melarikan diri ke Ambon. Pada tahun 1605 dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan
menetap di Timor Timur .

Periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang
dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan ini meluas ke Ambon .Tahun 1650
perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate dipimpin oleh kecilin Said.Sementara
perlawanan gerilya terjadi di Jailolo.

Namun sebagian serangan itu selalu dapat dibatalkan oleh kekuatan VOC yang memiliki
organisasi serta peralatan lebih lengkap rakyat terus mengalami penderitaan akibat
monopoli rempah-rempah disertai dengan pelayaran Hongi

Pada tahun 1680 VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa
Tidore kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu menjadi vassal VOC.
Sebagai penguasa baru diangkatlah Putra alam sebagai Sultan Tidore (menurut
tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sebagai sudah semestinya adalah Pangeran
Nuku).Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC menimbulkan
protes keras dari Pangeran Nuku.Pangeran Nuku memimpin perlawanan rakyat.

Timbulnya perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran


Nuku melawan tentara VOC. Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat Papua dibawah
pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang gamrange dari Halmahera.

Oleh para pengikut Pangeran Nuku diangkat sebagai Sultan dengan gelar Tuan
Sultan Amir Muhammad syafiuddin Syah dengan posisinya sebagai Sultan perlawanan
terhadap VOC semakin diperkuat.

Bahkan Sultan Nuku berhasil meyakinkan Sultan aharal dan Pangeran Ibrahim
Dari Ternate untuk bersama-sama melalui Pangeran Nuku mendapat dukungan dari
pedagang seram Timur.Kapitan laut Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari
pemuka pedagang Serang Timur

Para Pedagang seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang tinggi.
Dalam perang ini Sultan Nuku mendapat dukungan dari Inggris. Belanda kewalahan dan
tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk melepas dari
dominasi Belanda.

Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat


membebaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore Sampai Akhir hayatnya.

Sultan Agung Versus J.P. Coen

Sultan Agung adalah raja dari Kerajaan Mataram saat Mataram mencapai zaman
keemasan. Sultan Agung bercita-cita ingin mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan
mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Sultan Agung sangat menentang
keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.
Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia yaitu
tindakan monopoli yang dilakukan VOC, VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal
dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka, VOC menolak untuk mengakui
kedaulatan Mataram, dan keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius
bagi masa depan Pulau Jawa.
Serangan Pertama

Pada tanggal 22 Agustus 1628 Pasukan Mataram, dibawah pimpinan


Tumenggung Bahureksa yang diutus oleh Sultan Agung, menyerang Batavia. Pasukan
Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC menghalangi,
sehingga terjadi pertempuran.

Bahkan pasukan lain membantu, seperti pasukan Sura Agul-Agul yang dibantu
oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa, serta laskar orang-orang Sunda pimpinan
Dipati Ukur. Dalam serangan pertama ini, Tumenggung Bahureksa gugur.

Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di


berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul,
sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram. Dengan
demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.

Serangan Kedua

Pada serangan kedua 1629, pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung


Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Tetapi informasi ini diketahui VOC,
sehingga VOC berhasil menghancurkan kapal-kapal, rumah penduduk dan lumbung
pasukan Mataram.

Pasukan Mataram pantang menyerah, terus berusaha mengepung Batavia, dan


akhirnya berhasil menghancurkan Benteng Hollandia, dan mengepung Benteng
Bommel. Pada saat itu pula, tepatnya 21 September 1629, J.P. Coen meninggal karena
penyakit kolera. Tetapi hal ini malah semakin membakar semangat Belanda, sehingga
serangan pasukan Mataram kedua juga gagal.

Dengan kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin


berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-
daerah lain. Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami
kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara
terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya.

Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah
sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC. Sebagai pengganti Sultan Agung
adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja
Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC.

Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan
kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu
timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya.

Trunojoyo adalah seorang Pangeran Madura keturunan Adipati Cakraningrat. Ia


melawan Susuhunan Amangkurat I. Amangkurat I adalah pengganti Sultan Agung yang
bersahabat dengan VOC. Pada tahun 1674 dimulailah pemberontakan Trunojoyo. Dalam
pemberontakan ini, Sunan Amangkurat I melarikan diri untuk meminta bantuan VOC di
Batavia. Akan tetapi dalam perjalanannya, ia meninggal di daerah Tegal dan
dimakamkan di Tegalarum.

Pengganti Sunan Amangkurat I adalah putranya yang bernama Sunan


Amangkurat II. Pada tahun 1670 Sunan Amangkurat II mengadakan perjanjian dengan
VOC yang isinya seperti dibawah ini:

1. Mataram akan menanggung biaya perang

2. Daerah pantai utara Pulau Jawa digadaikan kepada VOC

3. VOC akan melakukan monopoli perniagaan di Mataram

4. Beberapa daerah kekuasaan Mataram harus diserahkan kepada VOC.

Setelah penandatanganan perjanjian itu, Pasukan Amangkurat II dan Pasukan


VOC menyerang Trunojoyo. Trunojoyo tidak dapat mempertahankan Kota Mataram.
Pasukan Trunojoyo bertahan di Kediri. Pada tahun 1679 Trunojoyo tertangkap dan
dibun*h oleh Amangkurat II. Sejak itu Mataram berada di bawah kekuasaan VOC.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perang yang terjadi pada abad ke- 18 dan 19 dan awal 20 merupakan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. pemerintah kolonial
Belanda tetap menjalankan taktik perang yang licik dan kejam. Tipu daya pura-
puramengajak damai, mengadu domba dan menagkapi anggota keluarga pinpinan
perang Indonesia terus dilakukan. Perang melawan penjajahan pemerintah kolonial
Hindia Belanda memang belum berasil, tetapi semangat juang rakyat dan para peminpin
perang kita tidak pernah padam. Kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Indonesia harus
terus di perjuangkan agar bebas dari penjajahan. Penjajahan pada hakikatnya selalu
kejam, menangnya sendiri, seraka, tidak memperhatikan penderitaan orang lain.
Penjajahan senantiasa bertentangan dengan harkat dan hak asasi manusia.walaupun
bangsa Indonesia kalah dalam perlengkapan persenjataan masih sangat kurang, tetapi
semangat juang Bangsa Indonesia sangat tinggi. Perjuangan ini patut kita contoh.

B. Saran

Setelah kita mempelajari mengenai pentingnya sejarah, kita harus bisa tetap
memperjuangkan negara kita dan juga dengan tetap menghargai para pejuang bangsa.
Sehingga sebagai siswa kita harus belajar dengan sebaik-baiknya agar penerus bangsa
kita bisa lebih memajukan negara ini. Dan sebagai penyusun kami merasa masih ada
kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan
saran dari pembaca.

Anda mungkin juga menyukai