Anda di halaman 1dari 14

7 Latar Belakang Dalam Masa Perlawanan Rakyat

Terhadap Perang Aceh


Bangsa Eropa pertama kali datang ke Indonesia sekitar abad ke 16. Di mulai dari
Bangsa Portugis, Spanyol, baru terakhir Belanda, termasuk juga Inggris ketika
berhasil menguasai Belanda. Tujuan kedatangan Bangsa Spanyol ke
Indonesia, tujuan bangsa Portugis ke Indonesia, sampai tujuan Bangsa Belanda
datang ke Indonesia sama: gold, glory, dan gospel, kemudian dengan cepat berubah
menjadi penguasaan atas tanah harapan di segala bidang. Mereka menjajah bangsa
tempat tujuan.

Dari semua negara Eropa, Bangsa Belanda yang terlama berada di Indonesia.
Mereka mulai masuk dari wilayah Banten dan sedikit demi sedikit menguasai tanah
Indonesia dari Barat sampai ke Timur. Namun, penguasaan tersebut bukan hal yang
mudah. Penjajahan Belanda harus dibayar mahal. Tidak sedikit pengorbanan harta
dan nyawa yang mereka keluarkan. Itu karena rakyat Indonesia tidak mau menyerah
begitu saja terhadap Belanda.

Selama sekitar 3,5 abad menguasai Indonesia, selama itu pula perlawanan terjadi.Di
Banten tempat Belanda pertama kali datang, di Batavia (Jakarta tempo dulu), di
seluruh bagian Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Sumatera.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda termasuk yang terlama. Perlawanan
yang berlangsung beberapa generasi dan membuat Belanda kehabisan semua yang
dimilikinya, sampai akhirnya Aceh benar-benar dikuasai. Untuk mengetahui lebih
dalam tentang perang Aceh, maka artikel kali ini akan membahas tentang latar
belakang Perang Aceh, mengapa sampai terjadi perlawanan di Aceh.

Perlawanan Rakyat Aceh


Banyak perang sebelum kemerdekaan Indonesia, di antaranya Perang Aceh atau
perlawanan rakyat Aceh termasuk ke dalam perlawanan terlama yang harus
dihadapi Belanda. Perang ini berlangsung kurang lebih selama 30 tahun. Waktu
yang sangat panjang, karena melibatkan 2 generasi. Belanda sendiri hampir
kehilangan akal, hingga mengutus Snouck Hurgonye yang terkenal sebagai sosiolog
untuk menyusup di kalangan rakyat Aceh. Snouck ini bertugas mempelajari budaya
Aceh dan menpelajari Islam, sekaligus mengetahui kelemahannya sehingga
Belanda dapat mengalahkan rakyat Aceh dan pimpinannya. Perlawanan rakyat Aceh
ini dibagi menjadi 4 periode. Empat periode tersebut dijelaskan di bawah ini.

1. Periode Pertama (1873 – 1874)


Perode pertama Perang Aceh dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud Sah sebagai
penguasa Kesultanan Aceh saat itu. Sultan Mahmud Sah bahu membahu memimpin
perlawanan rakyat Aceh bersama dengan Panglima Polim. Belanda pada saat itu
dipimpin oleh Jendral Kohler. Awal pecahnya Perang adalah adanya Traktat
Sumatera, yang akan kita bahas dalam latar belakang Perang Aceh.

Setahun Perang Aceh dimulai, Jendral Kohler tewas. Tepatnya 14 April 1873.
Tewasnya Jendral Kohler membuat Belanda semakin marah dan melipatgandakan
penyerangan. Serangan terutama ditujukan kepada Kesultanan Aceh yang dianggap
menolak kedatangan Belanda sekaligus menjadi penyebab tewasnya Jendral
Kohler.

2. Periode Kedua (1874-1880)


Jendral Kohler digantikan oleh Jendral Jan Van Switen di Aceh. Dengan tewasnya
Kohler Belanda semakin gelap mata. Serangan demi serangan dilancarkan langsung
pada Kesultanan Aceh. Hingga pada akhirnya pada tanggal 26 Januari 1874, sekitar
10 bulan setelah tewasnya Kohler, Kesultanan dikuasai Belanda. Aceh dijadikan
bagian dari wilayah Belanda. Sampai akhir tahun 1880 perlawanan terus berkobar.
Orang-orang di sekitar Sultan yang tidak setuju dengan dikuasainya Aceh terus
melakukan perlawanan. Belanda belum benar- benar menguasai Aceh. Mereka
hanya dapat berkuasa di dalam istana.

3. Periode Ketiga (1881 – 1896)


Perang Aceh periode tiga berlangsung lebih lama. Di sini dikenal banyak pemimpin
perlawanan Aceh yang kemudian disebut sebagai pahlawan Nasional dari Aceh.
Selain Panglima Polim dan Sultan Mahmud Sah, di antaranya ada Teuku Cik Di Tiro,
Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien. Banyak lagi pahlawan Aceh yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.

Pemimpin Aceh yang disebutkan namanya di atas, tidak memimpin perlawanan


terhadap Belanda dalam satu periode. Teuku Cik Di Tiro memimpin perjuangan.
Ketika beliau tidak ada, Teuku Umar maju menggantikannya. Dan ketika Teuku
Umar meninggal dalam perang di Meulabaoh, isterinya Cut Nyak Dien
menggantikannya. Perjuangan Cut Nyak Dien sendiri berlangsung dalam waktu
cukup lama. Sampai akhir Belanda tidak berhasil menundukkan pejuang wanita ini.
Atas bantuan seorang penghianat, Belanda dapat membunuh Cut Nyak Dien.

4. Periode Keempat (1896 – 1910)


Setelah Cut Nyak Dien tewas di tangan Belanda, perjuangan meredup namun tidak
benar-benar selesai. Berbagai perlawanan kecil dari rakyat Aceh masih terus
berlangsung. Hanya saja kali ini tidak ada komando dari Kesultanan Aceh.

Pada tanggal 26 November 1902, Belanda berhasil menemukan persembunyian


Sultan Muhammad Daud Syah yang menggantikan Sultan MAhmud Syah. Tahun
berikutnya Panglima Polim dan Raja Keumala meyerah. Rakyat masih melawan
sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing. Sekitar tahun 1910, Belanda berhasil
menguasai seluruh Aceh.

Latar Belakang Perang Aceh


Tidak seperti wilayah jajahan lain di Indonesia, Aceh awalnya bukan dan tidak boleh
dimasuki oleh Belanda. Dunia internasional zaman itu sudah mengakui Kesultanan
Aceh sebagai negara merdeka. Namun ada beberapa latar belakang yang
menyebabkan Belanda menginginkan Aceh menjadi wilayahnya dan menjadi latar
belakang Perang Aceh. Alasan tersebut diuraikan secara singkat antara lain di
bawah ini.

1. Aceh Merupakan Wilayah Strategis


Pada awal abad 19, Pulau Sumatera memang menjadi wilayah yang sangat
strategis. Wilayah ini merupakan tempat singgah pelayaran dan perdagangan
internasional. Berabad sebelumnya Kerajaan Sriwijaya tumbuh dan berkembang
menjadi kerajaan nusantara dari wilayah ini. Maka, ketika Kesultanan Aceh Berjaya,
kerajaan ini menjadi penguasa wilayah di Sumatera dan sekitarnya.

Dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan didapat dari wilayah yang menjadi
pusat pelayaran dan perdagangan. Tidak hanya keuntungan secara meteri.
Dengan menguasai wilayah pelayaran berarti juga berbagai kemudahan. Ini yang
dipikirkan oleh Bangsa Belanda. Oleh karena itu, timbul niat Bangsa Belanda untuk
meluaskan kekuasaannya sampai Kesultanan Aceh. Pengakuan bangsa-bangsa
dunia atas keberadaannya menjadi sangat penting. Semua rempah dan
perdagangan lain yang dikuasai dapat mudah terangkut jika Kesultanan Aceh
dikuasai.

Namun sayangnya semua rakyat dan pihak Kesultanan Aceh tidak mau
menerimanya. Ini menjadi salah satu latar belakang Perang Aceh secara tidak
langsung.

2. Wilayah Sumatera lain yang Menjadi Wilayah Belanda


Selain Aceh merupakan wilayah yang sangat strategis, pada masa itu hampir
seluruh Sumatera telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Perang Padri berakhir, pada
tahun 1830an, Belanda berhasil menguasai daerah Sibolga dan Tapanuli. Terakhir,
Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada
Belanda.

Padahal wilayah tersebut sejak Sultan Iskandar Muda berkuasa di Aceh menjadi
wilayah kekuasaan Aceh. Dengan demikian kesultanan Aceh menganggap Belanda
telah melanggar Traktat London yang mengatur batas wilayah kedua negara di Asia
Tenggara tersebut dengan garis lintang Singapura. Setiap kapal Belanda yang
melewati perairan Aceh ditenggelamkan kesultanan. Diserahkannya wilayah
terdekat Aceh kepada Belanda oleh Sultan Ismail menjadikan Belanda terus
menyerang Aceh yang wilayahnya sudah terdesak.

3. Dibukanya Terusan Suez


Pada tahun 1869, Terusan Suez yang mengubungkan dua benua, Asia dan Afrika
resmi dibuka oleh negara Mesir. Pembukaan jembatan penghubung tersebut
membuat dunia perdagangan dan pelayaran menjadi semakin ramai. Pulau
Sumatera, khususnya Aceh menjadi gerbang pembuka menuju Selat Malaka dan
terusan Suez. Aceh menjadi satu-satunya wilayah di Sumatera yang belum dikuasai
secara penuh oleh Belanda. Tentu saja dengan pembukaan Terusan Suez, posisi
Aceh menjadi semakin strategis. Keinginan Belanda bertambah besar untuk
mneyerang Aceh dan menjadikan wilayahnya sebagai tanah jajahan. Masa
imperialisme dan ciri-ciri ideologi kapitalisme, dimana negara-negara Barat bergerak
mencari tanah baru sebagai wilayah jajahan sedang mencapai puncaknya.

4. Belanda Ingin Membentuk Pax Nederlandica


Setelah mendaratkan pertama kali armadanya di Banten tahun 1596, Belanda
segera menguasai banyak bagian Indonesia sedikit demi sedikit. VOC dibentuk
untuk melaksanakan seluruh kekuasaan Belanda. Namun, tahun 1799 VOC
dibubarkan dengan berbagai alasan. Salah satunya kebangkrutan karena biaya
perang yang mahal dengan rakyat Indonesia dan banyak oknum di VOC yang
melakukan korupsi. Selanjutnya pemerintahan Belanda langsung turun tangan di
Indonesia. Pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Hindia Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda mulai membereskan satu demi satu masalah yang
dibuat oleh VOC. Mereka memerintah dengan lebih tegas dan kejam. Belanda
melaksanakan dan ingin membentuk Pax Nederkandica, sebuah wadah yang
mewujudkan seluruh wilayah Indonesia menjadi satu kesatuan di bawah Belanda
dan ratunya.

Pembentukan Pax inilah yang mendorong Belanda ingin juga menguasai Kesultanan
Aceh dengan seluruh wilayah kerajaannya. Keinginan dan dorongan yang tentu saja
bertentangan dengan keinginan rakyat Aceh yang ingin tetap merdeka. Mereka
pastinya sudah mengetahui kondisi wilayah lain yang berada di bawah jajahan
Belanda. Itu sebabnya ketika Belanda masuk dan datang ke Aceh mereka
menolaknya. Perang Aceh tidak dapat dihindari.

5. Aceh Menolak Campur Tangan Belanda


Seperti yang sudah dilakukan di berbagai wilayah Indonesia lain, Belanda
menggunakan cara adu domba untuk menguasai Indonesia. Adu domba atau
politik devide et impera biasanya dimulai dengan campur tangan atau masuknya
Belanda ke wilayah yang bukan wewenangnya. Dan yang paling awal dicampuri
adalah wilayah kerajaan atau kesultanan. Ketika mereka masuk ke dalam wilayah
kesultanan, sedikit demi sedikit mereka memasukkan pengaruhnya. Sedikit saja ada
ketidakharmonisan di kalangan bangsawan atau bangsawan dengan rakyat, maka
Belanda akan memanfaatkannya.

Masuk dan campur tangan Belanda ke dalam wilayah kesultanan juga membawa
budaya mereka yang tidak sesuai dengan adat kebudayaan Timur dan Islam, agama
yang dianut masyarakat Aceh. Ini juga membawa banyak pertentangan. Misalnya
saja Bangsa Belanda berpakaian tidak menutup aurat sempurna, minum arak, dan
berjudi. Ketiga hal yang sangat tidak sesuai dengan masyarakat. Jika seseorang
sudah melakukan ketiganya, maka orang tersebut akan hilang akal. Tidak bisa lagi
berpikir dengan jernih dan mudah terpancing emosinya.

Berdasarkan berbagai hal di atas, Aceh menolak campur tangan Belanda dalam
kesultanan dan masyarakatnya. Campur tangan Belanda tidak akan membantu
menyelesaikan masalah apapun, mungkin akan memperkeruh karena berbeda
pandangan dan adat. Campur tangan Belanda juga akan merusak tatanan
kehidupan masyarakat dan Islam. Selanjutnya, Belanda akan menguasai seluruh
aspek kehidupan. Masyarakat Aceh sangat keras. Penolakan kedatangan Belanda
sangat tegas. Hubungan dengan Belanda diharapkan hanya sebatas perdagangan
dan muamalah saja

6. Adanya Traktat Sumatera


Telah disebutkan di atas, bahwa keberadaan kesultanan Aceh diakui dunia. Dunia
megakui Aceh sebagai negara berdaulat penuh. Sebuah negara mandiri yang
merdeka. Siapa saja dan negara mana saja berhak melakukan hubungan dengan
Aceh. Pelayaran dan perdagangan yang terjadi di bawah kekuasaannya sangat
ramai. Sebuah kegiatan yang sangat menguntungkan bagi masyarakat Aceh pada
waktu itu. Traktat London, 17 Maret 1824 menegaskan posisi Aceh sebagai negara
merdeka, di mana Belanda tidak berhak mengganggu kemerdekaan tersebut.

Namun, pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris mengumumkan Traktat Sumatera.


Traktat yang ditandatangani Inggris dan Belanda ini berisi sebuah pengumuman
yang menyatakan bahwa Inggris yang saat itu menguasai Belanda tidak akan
menghalangi jika Belanda menginginkan perluasan wilayahnya sampai ke Sumatera
bagian paling Barat atau Aceh. Belanda pada masa itu memang sudah menguasai
hampir seluruh bagian Indonesia sekarang setelah berkuasa sekitar 200 tahun.
Aceh menjadi wilayah yang masih merdeka dan menggiurkan dengan segala yang
dimilikinya. Inggris sendiri akan memperoleh keuntungan jika Belanda menguasai
Aceh.

Dengan adanya Traktat Sumatera, Bangsa Belanda beranggapan mereka bebas


bergerak. Sudah lama mereka mengincar kesultanan. Namun, kedatangan dan
campur tangan Belanda di Aceh ditolak menta-mentah. Maysrakat Aceh tidak
mudah diadu domba seperti wilayah lain. Masyarakat sudah belajar banyak dari
masuknya Belanda ke wilayah lain. Secara tegas golongan bangsawan yang
berkuasa di kesultanan dengan dukungan rakyat Aceh dan ulama menolak
kedatangan Belanda.

Akibatnya perang Aceh pecah. Selama puluhan tahun perang silih berganti dengan
para tokoh yang memimpinnnya. Regenarasi kepemimpinan di Aceh berjalan
sangat efektif, patah tumbuh hilang berganti atau mati satu tumbuh seribu. Tentara
Belanda mengalami kelelahan dalam perang ini.

7. Hubungan Diplomatik Negara Aceh dengan Amerika, Turki, dan Italia


Ketika Traktat Sumatera diumumkan, Aceh langsung mengadakan persiapan.
Awalnya Sultan meminta bantuan pada negara Turki, Italia, dan Amerika Serikat.
Namun gerakan tersebut diketahui oleh Belanda. Mendengar berita tersebut,
Belanda mempertanyakan hubungan tersebut kepada Sultan Mahmud Syah, namun
Sultan menolak memberi keterangan.

Belanda langsung mengambil tindakan. Di bawah pimpinan Jenderal Kohler


langsung mengultimatum Kesultanan Aceh untuk segera tunduk pada pemerintahan
Hindia Belanda. Belanda mengumumkan perang terhadap Kesultanan Aceh, 26
Maret 1873. Ekspansi tersebut menuju jantung Aceh yaitu Kota dan membakar
Masjid Raya Aceh.

Rakyat Aceh tidak tinggal diam. Dipimpin Sultan dan beberapa tokoh, seperti
Panglima Polim, mereka menyiapkan ribuan pasukan di Aceh dan wilayah Pidie.
Pos-pos pertahanan juga dibangun. Persiapan yang matang membuat Belanda
tidak mudah menaklukan Aceh.

Tokoh Perang Aceh


Di dalam Perang Aceh tidak ada kisah bangsawan di adu domba oleh Belanda.
Aceh telah mempersiapkan diri dengan matang menghadapi Belanda. Hanya
dengan tipu muslihat dan penghianatan saja Belanda berhasil menguasai Aceh.
Tipu muslihat dengan menyelundupkan seorang bernama Snouch Hurgonye ke
tengah-tengah masyarakat. Memang Belanda terkenal sebagai bangsa yang
melakukan berbagai cara untuk menguasai wilayah yang diincarnya.

Berkat bantuan dari dari Dr. Christian Snouck Hurgonye Belanda menjalankan
berbagai taktik perang yang menjadi cikal bakal kekalahan Aceh. Taktik yang
dilakukan antara lain :
 Terus menyerang dan menghantam kaum ulama
 Tidak berunding dengan pimpinan-pimpinan perang gerilya
 Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya yang sudah dikuasai
 Mengambil hati rakyat Aceh dengan mendirikan masjid, memperbaiki jalan-jalan
irigasi, dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Banyak tokoh perang Aceh. Beberapa di antaranya mungkin tidak dikenal oleh
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tetap saja perjuangan semua rakyat akan
dikenang sepanjang masa. Mereka semua tetap pahlawan bagi Bangsa Indonesia.

Di antara tokoh pejuang dan pahlawan Aceh dapat dikenali di bawah ini.

1. Sultan Mahmud Syah


Sultan Mahmud Syah adalah penguasa Aceh ketika pertama kali Belanda
menyerang Aceh. Sultan bersama Panglima Polim memimpin perang sengit
melawan pasukan Belanda yang mendarat pertama kali di Aceh dengan kekuatan
8.000 pasukan. Namun, di perang ini Sultan dan pasukan mengalami kekalahan
dan menyingkir ke Leungbata untuk membentuk pertahanan baru. Di sini Sultan
menderita sakit dan wafat 28 Januari 1874. Sultan digantikan oleh anaknya yang
masih kecil Muhamad Daud Syah didampingi Mangkubumi pimpinan Tuanku
Hasyim.

Wafatnya Sultan MAhmud Syah tidak membuat perang berakhir. Perlawanan


terhadap Belanda masih terus berlangsung di berbagai wilayah. Belanda hanya
mampu menguasai istana dan daerah Sukaraja.

2.Tengku Cik Ditiro


Tengku Cik Ditiro merupakan seorang ulama yang lahir sekitar tahun 1836 dengan
nama Muhammad Saman. Di bawah pimpinan beliau, rakyat Aceh pernah
menyerang Belanda di Pulau Breuh dengan harapan mengusirnya dari Bumi Aceh
tetapi gagal. Tengku Cik Ditiro terus berjuang setelah kegagalannya. Belanda yang
kewalahan dengan perlawanannya berhasil membujuk seorang wanita Aceh untuk
meracuni makanan beliau. Tengku Cik Ditiro akhirnya wafat 8 januari 1891 di
Benteng Apeuk, Aceh.

3. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien


Teuku Umar dan Cit Nyak Dien adalah ulama suami isteri yang memimpin
perlawanan terhadap belanda di wilayah Aceh Barat. Mereka pernah menguasai
wilayah Meulaboh dan sekitar pada tahun 1882.

Karena banyaknya perlawanan dan tewasnya dua jendral, Belanda menerapkan


sistem Culurr Stelsel atau bertahan dalam benteng dalam Perang Aceh. Snock
Hurgonye didatangkan pada masa ini. Ia menyamar dengan nama Abdul Gafar dan
meneliti kebudayaan Aceh dan Islam.

Berkat Snorck Hurgonye, perlawanan rakyat Aceh sedikit demi sedikit dipadamkan.
Teuku Umar gugur lebih dahulu pada tahun 1899. Isterinya menyusul beberapa
tahun kemudian karena penghianatan seorang prajurit.

4. Cut Mutia
Aceh tidak hanya dikenal dengan perlawanan rakyatnya yang paling lama dalam
melawan Belanda. Aceh juga melahirkan banyak pejuang wanita. Yang paling
terkenal Cut Nyak Dien dan Cut Mutia.

Cut Mutia dan suaminya, Teuku Muhammad, melakukan perlawanan di Aceh Utara
dan menjadi bagian perlwanan pada periode terakhir Perang Aceh. Teuku
Muhammad kemudian ditangkap Belanda tahun 1905 dan dihukum mati di Pantai
Lhoksemawe. Setelah itu, Cut Mutia menikah lagi dan ikut meneruskan perjuagan di
bawah komando Tengku Muda Gantang.

Di hari-hari terakhir perlawanan rakyat Aceh, di mana Sultan sudah tertangkap dan
Panglima Polim menyerah, Cut Mutia masih bergerilya dari hutan ke hutan. Ketika
bentrok dengan tentara Belanda di Alue Kurieng yang dipimpin MArechausee, 24
Oktober 1904, Cut Mutia guur.

5. Panglima Polim
Panglima Polim bernama asli Sri Muda Perkasa Muhammad Daud. Gelar Panglima
Polim IX disandang ketika menjadi panglima tentara perang Aceh menggantikan
ayahnya.

Panglima Polim memimpin pasukan melawan Belanda sejak pertama kali Belanda
menyerang. Ketika Sultan mahmud Syah wafat, beliau terus bergerilya. Tokoh adat
dan ulama banyak mendukung perjuangannya. Beliau pernah bertempur bersama
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Puluhan tahun Perang Aceh dijalaninya tanpa
kenal lelah. Baru setelah mendengar kabar tertangkapnya Sultan terakhir dan
perlawanan Aceh berakhir, beliau menyerah.

Demikian artikel tentang latar belakang Perang Aceh. Dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia menjadi sebuah perang perlawanan rakyat Indonesia yang berlangsung
paling lama. Wilayah yang termasuk dikuasai paling akhir oleh Belanda. Oleh
karena itu, banyak hikmah yang dapat diambil dari sini. Sebagai generasi
selanjutnya atau generasi now, hendaknya dapat meneladani sikap rakyat dan
pahlawan Aceh yang berjuang sampai penghabisan dalam mempertahankan haknya
dan membela yang benar. Untuk menghormatinya, kita dapat ikut terus
mengikuti upaya menjaga keutuhan NKRI dalam rangka menyegerakan
terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Tujuan yang hanya dicapai
dengan integrasi nasional, menghindari faktor pendorong disintegrasi bangsa, dan
melaksanakancontoh Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan
sehari-hari.
Perang Aceh
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan
Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah
pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus
berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah
pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya
Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya
para perwira

Latar belakang
Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek.

Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan


wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-
daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda
melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi
perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang
batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang
Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak
menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh
ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan
perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya,
Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di
Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda
mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya
di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan
Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura.
Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya
diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang
Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud
Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.
Periode

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda,
Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan
perawatan pada matanya yang tertembak

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000
serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14
April1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling
besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa
kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada,
sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan
dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van
Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan
dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van
Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku
Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang
pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih
berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala
Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan
perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun
1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama
Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari
pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri
Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan
dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando
dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Siasat Snouck Hurgronje

Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman
Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu
dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan
strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes
Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang
berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap
menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding
dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara
mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan
sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi
Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje
diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang
Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta
komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di


mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan
pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-
pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-
gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan
dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku
Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan
berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam
menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai
gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya
dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata
dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim
menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak
Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang
dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang
menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di
mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149
perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan
diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah


Berkas:Atjeh Overgave Januari 1903.jpg

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring,
Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin
Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek
penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari
daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan
kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang
ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian
terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya,
dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun
dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda
enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

Tanggapan

 Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad,


Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh
menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch
Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895,
pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang
fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-
orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang
begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar
menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima
nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-
olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu
perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan
kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau
terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya
peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[1]

 Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di


setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu
bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali
bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan
berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.

Perang Aceh, Perlawanan Rakyat Mempertahankan Masjid Raya


Baiturrahman Aceh dari Belanda

Perang Aceh adalah perang Kesultanan Acehmelawan Belanda yang


berlangsung selama 31 tahun dari 1873 hingga 1904.
Beberapa alasan yang menjadi latar belakang Perang Aceh meliputi beberapa
hal, yaitu:
 Belanda menduduki Siak berdasarkan pada perjanjian Siak 1858 dimana
Belanda berhak menduduki area Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang.
 Perjanjian London, dimana Belanda dan Inggris membuat ketentuan
mengenai batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara.
 Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, kemudian kapal-kapal
Belanda dihanyutkan saat melewati perairan Aceh.
 Terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep dibuka
menjadikan Aceh menjadi pusat lalu lintas perdagangan.
 Perjanjian Sumatera 1871 dibuat antara Inggris dan Belanda, di mana
terjadi perpindahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda.
 Belanda mengizinkan Inggris untuk berdagang secara bebas di Siak,
dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat pada Inggris. Pasukan
Marmose, Tentara.

Kronologi

Belanda yang ingin menguasai Aceh mengeluarkan ultimatum


agar Acehtunduk terhadap Belanda.
Sultan Mahmud Syah menolak mentah-mentah.
Karena penolakan itu, Belanda mendeklarasikan perang pada 26 Maret 1873.
Kurang lebih 3000 serdadu Belanda datang ke Aceh beserta kapal-kapal
perang Belanda dengan menargetkan Masjid Raya Baiturrahman Aceh.
Aceh memberikan perlawanan sengit, membuat Kohler tertembak pada 14
April 1873.
Kemudian, dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Swiyten, Belanda menyerbu dan
berhasil menduduki istana.
Keluarga dan kerabat kerajaan kemudian melarikan diri ke daerah
Lheungbata.
Pasukan ulama dan bangsawan Aceh menghimpun kekuatan untuk bertempur
melawan Belanda dipimpin oleh Teungku Cik Di Tiro dinamakan Pasukan
Jihad.
Selain itu Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien juga mengumpulkan
pasukan besar.
Serangan pada 1882 ke pos-pos Belanda berhasil merebut kekuasaan
Belanda, dipimpin oleh Teuku Umar.
Bahkan pasukan Aceh berhasil menyerang kapal Hock Canton pada 14 Juni
1886.
Kemudian, Belanda mengirim sosok penting dalam perang Aceh, seorang
sosiolog bernama Dr Snouck Hurgronje untuk untuk memata-matai &
menyelidiki kehidupan serta struktur masyarakat Aceh dengan menggunakan
nama Abdul Ghofar.
Berkat Snouck Hurgronje, siasat devide at impera Belanda berhasil
mengelabui Teuku Umar.
Teuku Umar menyerahkan diri kepada Belanda.
Namun rupanya itu hanya taktik belaka.
Setelah diberi kekuasaan & pasukan bersenjata lengkap, Teuku Umar berbalik
menyerang Belanda.
Jenderal Deyckerhoff dipecat & pada tahun 1899 diganti oleh Van Heutz.
Pada Februari 1899, Belanda menyerang dengan membabi buta membuat
pasukan Aceh terdesak sampai daerah Meulaboh.
Dalam peperangan itu Teuku Umar gugur tertembak.
Perjuangan rakyat Aceh diteruskan oleh Cut Nyak Dien dan Cut Meutia.
Perang berlanjut dengan tertangkapnya Cut Nyak Dien, yang kemudian
diasingkan ke Sumedang hingga meninggal di sana.
Sementara itu Cut Meutia gugur dalam pertempuran pada 24 Oktober 1913.
Perang berakhir setelah Sultan Muhammad Daud Syah menandatangani Surat
Perjanjian Plakat Peudele (Koret Valklaring).
Kesultanan Aceh resmi tunduk pada kekuasaan Belanda.
Dampak

Akibat peperangan melawan rakyat Aceh, Jendral Kohler tewas dalam


pertempuran di Masjid Raya Baiturrahman Aceh.
Pada tahun 1904, Kesultanan Aceh menyerah secara de facto, mengakibatkan
Belanda akhirnya berhasil menguasai Aceh.
Nama Van Heutsz makin menanjak setelah memenangkan perang Aceh, dan
diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda.
Selain itu, Van Daalen diangkat sebagai gubernur Aceh.
Meskipun perlawanan rakyat Aceh masih ada sampai penjajahan Jepang,
namun perlawanan ini bersifat kelompok atau bahkan individual.

Anda mungkin juga menyukai