Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH INDONESIA

PERANG
KESULTANAN ACEH
DAN
SISINGAMANGARAJ
A XII
Disampaikan oleh Deswita Amanda, M. Ragil dan Novan kurniawan
MATERI
Yang akan kami sampaikan pagi ini

01 02

Perang Kesultanan Perang Sisingamangaraja


Aceh XII
PERANG ACEH
Perang Aceh adalah pertempuran antara
Kesultanan Aceh melawan Belanda yang
berlangsung antara 1873-1904. Pertempuran ini
merupakan bagian dari serangkaian konflik yang
timbul karena ambisi Belanda untuk menguasai
nusantara. Di antara perlawanan-perlawanan
besar yang terjadi di Indonesia sepanjang abad
ke-19, Perang Aceh termasuk yang paling berat
dan terlama bagi Belanda. Meski Kesultanan
Aceh telah menyerah pada 1904 dan kekuatannya
banyak berkurang, perlawanan dari rakyat terus
berlanjut hingga 1914.
Penyebab terjadinya perang
Aceh
Aceh Perang Aceh terjadi karena keinginan Belanda untuk menguasai Aceh, yang kedudukannya
semakin penting baik dari segi strategi perang maupun jalur perdagangan sejak Terusan Suez dibuka
pada 1869. Pada 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda menyepakati tentang pembagian wilayah jajahan
di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Traktat Sumatera. Salah satu sebab
terjadinya Perang Aceh yaitu adanya politik ekspansi Belanda karena Traktat Sumatera yang isinya
menyebutkan bahwa Inggris memberikan izin kepada Belanda menguasai Sumatera. Dalam
kesepakatan disebutkan bahwa Belanda tidak dapat mengganggu kemerdekaan Aceh.
Penyebab terjadinya perang Aceh
Akan tetapi, pada praktiknya Belanda tetap berusaha melancarkan serangan terhadap daerah Aceh
yang jauh dari ibu kota. Sultan Aceh pun semakin waspada dan bersiap untuk menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi. Kekhawatiran Aceh semakin meningkat saat Inggris dan Belanda
menandatangani Traktat Sumatera pada 1871. Menurut perjanjian itu, Belanda diberi kebebasan untuk
mengadakan perluasan wilayah di seluruh Sumatera, termasuk Aceh yang selama ini tidak dapat
diganggu kedaulatannya. Alhasil, Aceh mulai memperkuat diri dengan mengadakan hubungan dengan
Turki, Italia, dan Amerika Serikat. Pemerintah Hindia Belanda yang tidak menginginkan adanya
campur tangan negara asing pun menjadikan hubungan diplomatik tersebut sebagai alasan untuk
menyerang Aceh.
FASE PERANG :
Pertama
1873 - 1874
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000
serdaduna dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang
berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman,
. yang dibantu oleh beberapa
kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu
orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Kedua
1874-1880
Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton
Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874
Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad
.
Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini
adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota
negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Ketiga
1881-1896

perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang
gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di
bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi
serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku. Umar gugur. Tetapi Cut
Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Keempat

1896-1910

perang keempat adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan


perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan . tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.
Latar Belakang
Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-
daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian
London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua
daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak
menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini
didukung Britania.

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas
perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan
kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan
Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan
Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut,
Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu,
tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Strategi Snouck
Hurgronje
Strategi Snouck Hurgronje Untuk mengalahkan pertahanan Aceh, Snouck Hurgronje
menyamar selama dua tahun guna melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan
semangat juang orang-orang Aceh. Dari penelitiannya, Hurgronje, yang memakai nama
samaran Abdul Gafar, menyimpulkan bahwa kekuatan Aceh terletak pada peran para ulama.
Penemuannya ini dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang baru, termasuk dalam
pembentukan Korps Marchausse, yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia
yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda. Dengan pasukan ini, Belanda berhasil
mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Pada 1899, Teuku Umar gugur dalam
pertempuran di Meulaboh.
Akhir dari Perang Aceh
Setelah kematian Teuku Umar, Sultan dan Panglima Polem memutuskan untuk
berpindah-pindah supaya tidak bernasib sama. Akan tetapi, mereka terpaksa
menyingkir setelah terdesak oleh besarnya pasukan musuh. Pada 1903, Sultan
Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem juga menyerah setelah
tekanan yang bertubi-tubi. Peristiwa ini membuka jalan bagi pemerintah Belanda
untuk menanamkan kekuasaannya di seluruh wilayah Kesultanan Aceh. Meski
Kesultanan Aceh telah runtuh, semangat juang rakyatnya masih sulit untuk
dipadamkan hingga masa pendudukan Jepang.
Sisingamangaraja XII
Patuan Besar Ompu Pulo Batu atau yang lebih dikenal
Sisingamangaradja XII adalah raja serta pendeta terakhir
masyarakat Batak di Sumatera Utara. Ia turut menjadi
pejuang melawan penjajahan Belanda di Sumatera sejak
1878. Pada 1907, ia terbunuh dalam pertempuran oleh
pasukan Belanda. Ia pun dinobatkan sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia pada 1962 berkat perlawanannya
terhadap kolonialisme Belanda.
KEHIDUPAN
Sisingamangaradja XII yang bernama asli Patuan Besar Ompu Pulo Batu lahir di Bakkara, Tapanuli, pada
1849. Ia adalah penerus ayahnya, Sisingamangaradja XI, yang meninggal pada 1876. Gelar Si
Sisingamangaradja sendiri digunakan oleh dinasti keluarga Marga Sinambela, yang berarti "Raja Singa
Agung". Kehormatan Si dari bahasa Sansekerta Sri. Raja Agung (dari bahasa Sansekerta, maharaja).
Singa, karena orang Batak melihat diri mereka dalam mitologi sebagai keturunan dari darah dewa.
Sisimangaradja XII adalah tokoh terakhir yang menjadi Parmalim (pemimpin agama). Ia dianggap sebagai
raja dewa dan titisan Batara Guru, Dewa Siwa versi Jawa. Sisingamangaradja sendiri diyakini memiliki
kekuatan seperti kemampuan mengusir roh jahat, mengeluarkan hujan, dan mengendalikan penanaman
padi. Mulanya, Sisingamangaradja XII tidak dilihat sebagai tokoh politik. Tetapi, saat penjajah Belanda
datang ke Sumatera Utara sejak 1850-an, ia bersama Sisingamangaradja XI mulai fokus melakukan
perlawanan.
PERLAWANA
N
Perlawanan Pada Februari 1878, Sisingamangaradja XII mengadakan upacara keagamaan untuk menggalang orang Batak
di balik perang perlawanan melawan Belanda. Pasukannya menyerang pos-pos Belanda di Bakal Batu, Tarutung, namun
mengalami kekalahan. Ia pun berkumpul kembali dan melancarkan serangan baru pada 1883-1884 dengan mendapat
bantuan dari Aceh. Mereka menyerang Belanda di Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta Tangga Batu pada 1884.
Belanda sendiri menyiksa dan membunuh orang Batak yang diduga menjadi pengikut dari Sisingamangaradja XII.
Pasukan Belanda juga membakar rumah serta mengenakan pajak hukuman. Pada 1904, pasukan Belanda di bawah Letnan
Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen menyerang Tanah Gayo dan beberapa daerah di sekitar Danau Toba untuk
mematahkan perlawanan Batak. Pasukan dari Sisingamangaradja XII sendiri melakukan perang gerilya serta menghindari
pasukan Belanda. Sebelum Belanda melancarkan serangan lagi pada 1907 terhadap sisa pasukan Sisingamangaradja XII di
wilayah Toba, mereka memperkuat pasukan dan senjata. Pertempuran selanjutnya antara Belanda dan pasukan
Sisingamangaradja XII pun terjadi di Pak-pak, pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel.
Perang Batak

Sisingamangaradja XII sebagai raja Batak menolak adanya upaya penyebaran


agama Kristem yang dilakukan oleh para misionaris Belanda di wilayah Batak.
Hal ini disebabkan karena Sisingamangaradja khawatir kepercyaan dan tradisi
animisme rakyat Batak akan terkikis oleh adanya perkembangan agama Kristen.
Upaya penolakan ini dilakukan dengan cara mengusir zending (organisasi
penyebar agama Kristen) yang memaksakan agama Kristen kepada rakyat Batak
pada 1877. Menanggapi tindakan pengusiran ini, para misionaris pun meminta
perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Sejak saat itu, perang antara
rakyat Batak dan Belanda pun terjadi yang disebut Perang Batak.
Akhir Hidup
Pada 17 Juni 1907, Sisingamangaradja XII tewas dalam peperangan di Dairi bersama putrinya Lopian,
dan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Ia disergap oleh sekelompok anggota dari pasukan
khusus Belanda, Korps Marsose. Ia menghadapi pasukan Korps Marsose sembari memegang senjata Piso
Gaja Dompak. Kopral Souhoka, pasukan Belanda, yang merupakan penembak jitu, mendaratkan
tembakannya ke kepala Sisingamangaradja XII tepat di bawah telinganya. Ia kemudian dikebumikan
Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam
Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige pada 14 Juni 1953 yang dibangun oleh pemerintah.
Berdasarkan Surat Keppres No. 590, pada 19 November 1961, Sisingamangaradja XII dikukuhkan
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, nama Sisingamangaradja juga diabadikan sebagai
nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.
Th a nk
yo u!

Anda mungkin juga menyukai