Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Sejarah Perang Aceh, Perang Banjar, Perang Batak

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Ariel Sitompul
Artha Grace Tambunan
Austin Andika Sitompul
Nanni Sitompul
Sarah Sinaga
Yulan Tambunan

SEJARAH INDONESIA

SMA NEGERI 1 PAHAE JULU


Kata Pengantar
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan limpahan RahmatNya maka kami bisa menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang
“Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda yang meliputi perang Banjar, perang
Aceh dan perang Batak”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kita untuk mempelajari berbagai sejarah tentang Bangsa Indonesia dan
bisa mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasat
erima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkahi makalah ini sehingga
dapat memberikan manfaat untuk semua pihak.
DAFTAR ISI

Pendahuluan
Pembahasan
Perang Aceh
Latar Belakang…………………………………………………….
Tokoh………………………………………………………………
Periode…………………………………………………………….
Akhir………………………………………………………………
Perang Banjar
Latar Belakang…………………………………………………….
Tokoh………………………………………………………………
Jalannya Perang……………………………………………………
Akhir………………………………………………………………
Perang Batak
Latar Belakang……………………………………………………
Tokoh
Jalannya Perang……………………………………………………
Akhir……………………………………………………………….
SIMPULAN
SARAN

Pendahuluan
Perang-perang yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada masa lalu
tidak hanya mencerminkan pertarungan fisik, namun juga mengandung nilai-nilai
budaya, politik, dan sosial yang memengaruhi perkembangan masyarakat setempat.
Perang Aceh, Perang Banjar, dan Perang Batak merupakan tiga konflik besar yang
mempengaruhi wilayah-wilayah tersebut pada masa lalu. Setiap perang memiliki
latar belakang, penyebab, dan akibat yang berbeda, namun semuanya memiliki
dampak penting dalam pembentukan karakter dan sejarah Indonesia.

Perang Aceh
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh
melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari
1904, tetapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5
April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf
Köhler, dan langsung bisa menduduki Masjid Raya Baiturrahman. Köhler masa itu membawa
3.198 tentara. Sebanyak 168 di selangnya para perwira.

• Latar Belakang

Kesudahan suatu peristiwa dari Kontrak Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah
Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar kontrak Siak, maka
berakhirlah kontrak London tahun 1824. Inti kontrak London adalah Belanda dan Britania Raya
membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan
garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak
menepati akadnya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh
pasukan Aceh. Budi pekerti Aceh ini didukung Britania.

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh
menjadi sangat penting bagi lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Kontrak London 1871
selang Inggris dan Belanda, yang intinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda bagi
mengambil sikap yang dibuat di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat
Malaka. Belanda mengizinkan Britania lepas sama sekali berdagang di Siak dan menyerahkan
daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Kesudahan suatu peristiwa kontrak Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan


diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di
Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Kesudahan suatu
peristiwa upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai gagasan bagi
menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan menanti keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa
yang telah dikatakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak bagi memberikan
keterangan.

• Tokoh dan pemimpin Perang Aceh


Dalam pertempuran yang berlangsung lebih dari tiga dekade itu, muncul tokoh-tokoh
perjuangan dan pemimpin Perang Aceh.

Tokoh perang dari Aceh :


Sultan Mahmud Syah
Sultan Muhammad Daud Syah
Panglima Polem
Teungku Cik di Tiro
Teuku Umar
Cut Nyak Dhien
Cut Meutia

Tokoh perang dari Belanda:


J.H.R. Kohler
Jan van Swieten
Johannes Pel Karel
van der Heijden
Henry Demmeni
Jan Jacob Karel de Moulin
Gotfried van Daalen
Johan Cornelis van der Wijck
Johannes Benedictus van Heutsz

• Periode
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari belakang,
perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling akbar masa menduduki kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kumpulan pasukan. Mempunyai di Peukan Aceh,
Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga
berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van
Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan menjadi sebagai
pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa
semua Aceh berlaku bidang dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26
Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di
masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana
pemerintah sedang berlanjut mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala
Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun
1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar
gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar belakang tampil menjadi komandan perang
gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kumpulan dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.

• Akhir dari Perang Aceh


Setelah kematian Teuku Umar, Sultan dan Panglima Polem memutuskan untuk
berpindah-pindah supaya tidak bernasib sama. Akan tetapi, mereka terpaksa menyingkir setelah
terdesak oleh besarnya pasukan musuh. Pada 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan
Panglima Polem juga menyerah setelah tekanan yang bertubi-tubi. Peristiwa ini membuka jalan
bagi pemerintah Belanda untuk menanamkan kekuasaannya di seluruh wilayah Kesultanan Aceh.
Meski Kesultanan Aceh telah runtuh, semangat juang rakyatnya masih sulit untuk dipadamkan
hingga masa pendudukan Jepang.

Perang Banjar
•Latar Belakang
Perang Banjar adalah peperangan yang terjadi di Banjarmasin pada masa kerajaan Islam
dan penjajahan Belanda. Pada masa itu, tengah terjadi pemilihan pewaris tahta Kerajaan Banjar
perang Banjar terjadi karena keikutandilan Belanda dalam proses pemilihan pewaris tahta itu
menjadikan suasana keruh. Belanda mendukung Pangeran Tamjidillah II untuk menjadi raja
Kerajaan Banjar berikutnya, sedangkan Pangeran Anom didukung untuk menjadi seorang
Mangkubumi atau Perdana Menteri. Tamjidillah II adalah seorang anak selir tertua Sultan Adam
dan sangat dekat dengan Belanda. Itulah salah satu alasan Belanda mendukungnya untuk
menjadi sultan, karena bisa dimanfaatkan demi melancarkan izin daerah penghasil batu bara.

• Tokoh Yang Berperan dalam Perang Banjar

1. Pangeran Hidayatullah

Sultan Hidayatullah II, terlahir dengan nama Gusti Andarun, dengan gelar mangkubumi
Pangeran Hidayatullah kemudian bergelar Sultan Hidayatullah Halil Illah (lahir di Martapura,
1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun), adalah
pemimpin Kesultanan Banjar yang memerintah antara tahun 1859 sampai 1862. Ia dikenal
sebagai salah seorang tokoh pemimpin Perang Banjar melawan pemerintahan Hindia Belanda

2. Pangeran Antasari

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797– meninggal di Bayan Begok,
Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) ia adalah seorang pemimpin dan tokoh
penting dalam Perang Banjar. Sebagai Sultan Banjar, pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan
sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan
menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku
Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

3. Demang Lehman

Demang Lehman nama asli beliau Idris, kemudian bergelar Adhipattie Mangko Nagara (Adipati
Mangku Negara) (lahir di Martapura tahun 1832- meninggal di Martapura tanggal 27 Februari
1864 pada umur 32 tahun) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.Dia
terlahir dengan nama Idris Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang
sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula merupakan seorang
panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena kesetiaan dan
kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah II, dia diangkat
menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah
II). Demang Lehman memegang pusaka kasultanan Banjar yaitu Keris Singkir dan sebuah
tombak bernama Kaliblah yang berasal dari Sumbawa
• Jalannya Perang Banjar

Dengan dipimpin oleh Panembahan Aling dan Sultan Kuning, pada 28 April 1859 rakyat
Muning menyerang daerah tambang batu bara di Pengaron. Walaupun tidak berhasil menguasai
benteng belanda disana namun mereka berhasil membakar daerah tambang batu bara dan
pemukiman orang Belanda sehingga banyak orang Belanda yang tewas. Selain itu pasukan
Muning juga menyerbu perkebunan milik Belanda yang berada di Gunung Jabok, Kalangan dan
Bangkal. Kemudian, meletuslah Perang Banjar. Akibat hal tersebut, pemerintahan Banjar makin
berantakan.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Sultan Tamjidillah untuk meredam kekacauan yang
terjadi akibat ia tak disukai rakyat maka Belanda meminta ia untuk turun tahta. Kemudian Sultan
Tamjidillah secara resmi mengundurkan diri pada pada 25 Juni 1859 dan mengembalikan
kekuasaan Banjar pada Belanda lalu ia dibuang ke Bogor.

Pangeran Hidayatullah sempat dibujuk Belanda untuk bergabung dengan mereka dan ia kan
dijadikan Sultan Banjar namun ia menolak karena ia menilai hal tersebut hanyalah tipu daya dari
pihak Belanda. Pangeran Hidayatullah lebih memilih bergabung dengan rakyat untuk melawan
Belanda. Pasukan Antasari mulai menyerang pos-pos milik Belanda yang berada di Martapura.
Perlawanan tersebut didukung oleh para ulama dan tokoh kerajaan yang sudah tidak kuat melihat
perlakuan Belanda.

Pada Agustus 1859, bersama dengan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang
Lehman, pasukan pangeran Antasari berhasil menyerbu benteng Belanda di Tabanio. Selain itu,
Pasukan Surapati berhasil menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda yang berada di Hulu
Sungai Barito, Lontotuor dan merebut senjata disana.

Pada Agustus-September tahun 1859, perang Banjar meluas ke tiga wilayah di Banua
Lima, Martapura dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Perang di Banua Lima
dipimpin Tumenggung Jalil. Perang di Martapura dan Tanah Laut dipimpin Demang Lehman.
Sedangkan, Pangeran Antasari memimpin perang di sepanjang Sungai Barito .

Pasukan Kiai Demang Lehman yang berupaya mempertahankan benteng Tabanio yang
telah mereka kuasasi dari serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut banyak korban
berjatuhan termasuk 9 serdadu Belanda. Setelah itu, Belanda menambah pasukan lalu berhasil
mengambil alih benteng Tabanio namun pasukan Demang Lehman berhasil lolos.Selanjutnya
kekuatan pasukan Demang Lehman dipusatkan di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah
Laut. Namun benteng tersebut kembali diserang Belanda dan akhirnya Demang Lehman tewas.
Pada bulan September, para tokoh pejuang melakukan pertemuan di Kandangan yang
menghasilkan kesepakatan menolak tawaran berunding dengan pihak Belanda. Selain itu,
mereka menyusun strategi perawanan, diantaranya seperti:
1.Amuntai dijadikan sebagai pusat kekuatan.

2.Membangun dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.

3.Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di dusun Atas dan menyupayakan senjata tambahan

Tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut bersumpah untuk mengusir Belanda dari Banjar
tanpa negosiasi hingga titik darah penghabisan “Haram Manyarah Waja sampai Kaputing”.

Sebagai upaya mencegah berbagai serangan, pasukan belanda terus diperkuat dan
benteng-benteng pertahanan dibagun seperti Benteng Munggu Thayor di Tapin dan Benteng
Amawang di Kandangan. Pasukan Demang Lehman berusaha menguasai Benteng Amawang
namun tidak berhasil. Kemudian, mereka mundur ke daerah Barabai untuk membantu pertahanan
pasukan Pangeran Hidayatullah. Pangeran Hidayatullah dan juga pasukannya pergi dari
Martapura dan bergabung dengan keluarga di Amuntai. Meski tanpa perangkat kebesaran, Sultan
Hidayatulloh diangkat menjadi Sultan oleh para ulama dan pasukannya. Sultan Hidayatullah
mengumandangkan perang jihad fi sabilillah pada Belanda. Pasukan Pangeran Hidayatullaoh
dalam perjalanan menuju Amuntaimenyerang pos-pos miliki Belanda.

Pangeran Hidayatullah memusatkan perlawanan di Barabaidan diperkuat dengan pasukan


Demang Lehman. Oleh sebab itu, G.M. Verspyck memerintahkan semua pasukan Belanda untuk
menghadapi mereka. Selain itu, kapal perang dan kapal kecil juga dikerahkan. Maka terjadilah
pertempuran, dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan Hidayatullah dan Demang Lehman maju
melawan Belanda. Mereka yakin apabila mereka tewas dalam perang ini mereka mati syahid.

Ketidak seimbangan jumlah dan juga senjata dari Belanda, Pasukan Hidayatullah dan
Demang Lehman mundur dan medirikan pertahanan di Gunung Madang. Belanda mengerahkan
seluruh pasukan untuk menangkap Pangeran Hidayatullah. Pertahanan di Gunung Madang
berhasil dijebol oleh Belanda, kemudian Pasukan Hidayatullah bergerilya berpindah-pindah.
Namun, ruang gerak mereka semakin dipersempit oleh Belanda.

Akhirnya, Pangeran Hidayatullah dan keluarganya berhasil tertangkap pada 28 Februari


1862 kemudian diasingkan ke Cianjur. Pangeran Antasari meneruskan perlawanan, ia diangkat
menjadi pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam bergelar Panembahan Amiruddin
Kalifatullah Mukminin oleh para pengikutnya.

• Akhir Dari Perang Banjar


Semakin melemahnya kekuatan pasukan banjar, tidak seimbangnya persenjataan dan
banyaknya pemimpin perlawanan yang wafat seperti Pangeran Antasari, Tumenggung Jalil,
Pangeran Hidayatullah dan juga Sultan Kuning.

Perlawanan yang masih bertahan ada di daerah Tabalong dengan pimpinan Penghulu
Rasyid dan Haji Bador, mereka mendirikan benteng-benteng pertahanan di Sungai Hanyar dan
Pasar Arba. Penghulu Rasyid dianggap cukup membahayakan bagi Belanda lalu mereka
membuat pengumuman yang intinya barang siapa yang dapat membawa kepala Penghulu Rasyid
akan diberi uang sebanyak f.1.000. Akhirnya, Penghulu Rasyid tewas pada tahun 1865 karena
penghianatan kawan.

Setelah Penghulu Rasyid wafat, tak ada lagi perang di daerah Banjar dan hulu sungai,
namun masih berlangsung secara sporadis di daerah Barito di bawah pimpinan Pangeran
Perbatasari, Haji Bitahir, Pangeran Mohammad Seman, Tumenggung Gamar, Panglima
Wangkang dan lainnya.

Pada tahun 1905, Pangeran Mohammad Seman yang merupakan putra Pangeran Antasari
tewas tertembak marsose Belanda dan hanya ada perlawanan kecil dari rakyat banjar, Belanda
menganggap bahwa peperangan ini telah berakhir.

Perang Batak
Perang Batak adalah salah satu peristiwa bersejarah yang telah memberikan dampak yang
signifikan dalam sejarah Indonesia. Perang ini merupakan salah satu konflik terbesar yang
pernah terjadi di wilayah Sumatera Utara, melibatkan suku Batak yang memiliki budaya dan
tradisi yang kaya. Dalam makalah ini, kami akan menjelaskan sejarah Perang Batak, latar
belakangnya, penyebab, dan dampaknya terhadap masyarakat Batak dan Indonesia secara
keseluruhan.

• Latar Belakang
Setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya. Belanda
mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan
sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak,
Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan
penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Sisingamangaraja XII
karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional
dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun.

Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII
berkampanye keliling ke daerahdaerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para
zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda ini
juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak.

Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para
zending. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung.
Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para zending, Pada
tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang
Batak.

• Tokoh yang terlibat


1. Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu
(18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) ia adalah seorang raja di Negeri Toba dan pejuang yang
berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.

2. Hans Christoffel
Kapten Hans Christoffel atau di kenal Kapten Ketjil (13 September 1865 – 3 April 1962) adalah
Tentara KNIL di Unit Marsose pada Masa Kemiliteran William di Hindia Belanda.

3. Van Daalen
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen adalah tokoh militer Belanda. Van Daalen sangat dikenal
atas tindakannya di Aceh, ketika penduduk Tanah Gayo dan Alas banyak dibantai saat menjabat
sebagai gubernur militer di sana.
ia lahir pada tanggal 23 Maret 1863 di Makassar dan Meninggal pada tanggal 22 Februari 1930
di Den Haag, Belanda

4. Pendeta Nomensen
Dr. (H.C.) Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer Ludwig
Nommensen, disingkat sebagai I.L. Nommensen; 6 Februari 1834 – 23 Mei 1918) adalah
seorang misionaris Lutheran asal Jerman yang diutus oleh Rheinische Missionsgesellschaft
(RMG) ke Tapanuli. Nommensen menghabiskan 56 tahun hidupnya sebagai penginjil di
Tapanuli. Dalam masa penginjilannya itu, terbentuk sebuah gereja Protestan, yaitu Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP). Oleh HKBP, Nommensen dihitung sebagai Ephorus HKBP pertama.

• Jalannya Perang Batak

Menanggapi tindakan pengusiran oleh Sisingamangaraja, para misionaris meminta


perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di
Pearaja (pedalaman Sumatra Utara) dan bergabung dengan kaum misionaris Belanda.
Kedatangan tentara Belanda di wilayah Batak telah memprovokasi Sisingamangara sehingga ia
mengumumkan perang pada 16 Februari 1878 dengan melakukan penyerangan ke pos-pos
Belanda di Bahal Batu. Dalam buku Sejarah Nasional Jilid IV (1984) karya Marwati Djoened
Poesponegoro dkk, pasukan Sisingamangaraja bergabung dengan pejuang Aceh pada Desember
1878 untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Aliansi Sisingamangaraja dan Aceh
mampu menduduki wilayah pedalaman Sumatera Utara, namun saat masuk wilayah kota
pasukan ini dapat dipukul mundur oleh Belanda. Perang Batak antara pasukan Sisingamangaraja
dan Belanda berjalan seimbang selama tahun-tahun 1880-an. Serangan Sisingamaraja pada
Agustus 1889 mampu meduduki daerah Lobu Talu dan membunuh beberapa tentara Belanda.
Namun pendudukan Lobu Talu tidak berlangsung lama karena Belanda kembali mendatangkan
bantuan dari Padang untuk merebut kembali Lobu Talu dari tangan Sisingamangaraja.

• Akhir Dari Perang Batak


Perlawanan Sisingamagaraja dalam Perang Batak mulai meredup semenjak wilayah Huta
Paong diduduki oleh Belanda pada September 1889. Pasca pendudukan Huta Paong, Belanda
terus memburu Sisingamangaraja dan pasukannya hingga terjadi pertempuran di daerah Tamba.
Dalam pertempuran tersebut pasukan Batak mengalami kekalahan dan melarikan diri menuju
daerah Horion. Belanda terus melacak arah pelarian Sisingamangaraja dan pasukannya. Bahkan,
pihak Belanda menggunakan orang-orang dari Senegal, Afrika untuk membantu pelacakan.
Tahun 1907, Belanda mampu mengepung Sisingamangaraja XII di daerah Dairi, namun ia tak
mau menyerahkan diri. Sisingamangaraja beserta pasukannya bertarung hingga titik darah
penghabisan dan meninggal pada pengepungan tersebut.

KESIMPULAN
Ketiga perang ini, yaitu Perang Aceh, Perang Banjar, dan Perang Batak, memiliki
perbedaan dan kesamaan dalam latar belakang, penyebab, kronologi, dan dampaknya.
Meskipun berakhir dengan kemenangan Belanda, perjuangan rakyat setempat dalam
konflik ini memiliki makna penting dalam perkembangan nasionalisme Indonesia dan
perjuangan untuk meraih kemerdekaan

SARAN
Mengingat pentingnya memahami sejarah perang-perang ini, ada beberapa saran
yang dapat diberikan:

1. Studi lanjutan tentang masing-masing perang untuk pemahaman yang lebih mendalam.

2. Menyebarkan pengetahuan tentang sejarah ini untuk meningkatkan kesadaran


nasionalisme.

3. Memperingati perjuangan dan korban-korban yang telah terjadi dalam perang ini
sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia.

Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang

Anda mungkin juga menyukai