Anda di halaman 1dari 3

PERLAWANAN ACEH

Perlawanan Aceh adalah pertempuran antara Kesultanan Aceh melawan Belanda yang
berlangsung antara 1873-1904. Pertempuran ini merupakan bagian dari serangkaian
konflik yang timbul karena ambisi Belanda untuk menguasai nusantara

Latar Belakang
Perang Aceh terjadi karena keinginan Belanda menguasai wilayah Kesultanan Aceh yang
menjadi sangat penting setelah Terusan Suez dibuka. Sebelum Perang Aceh terjadi,
Belanda berhasil menguasai wilayah Kesultanan Deli, mulai dari Langkat, Asahan, hingga
Serdang melalui Perjanjian Siak tahun 1858.

Namun, dengan adanya Perjanjian Siak dan masuknya Belanda ke beberapa wilayah Aceh,
membuat Kesultanan Aceh geram dan menuding Belanda melanggar Perjanjian London
1824. Perang Aceh terjadi dalam empat periode, sepanjang tahun 1873 hingga 1904 itu.

Periode pertama Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga 1874. Saat itu pasukan Aceh
dipimpin Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Sementara serdadu Belanda bergerak
dipimpin oleh Kohler dengan kekuatan 3000 pasukan. Perang periode pertama ini
dimenangkan rakyat Aceh, dengan tewasnya Kohler pada 14 April 1872.

Periode kedua Perang Aceh terjadi pada tahun 1874 sampai 1880. Rakyat Belanda dalam
periode kedua ini dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood. Belanda yang dipimpin oleh
Jenderal Jan van Swieten berhasil menguasai Istana Sultan Aceh pada 26 Januari 1874

Perang Aceh periode ketiga terjadi pada 1881-1896. Dalam periode ini, rakyat Aceh
melancarkan strategi perang gerilya di bawah pimpinan Teuku Umar. Pada periode ketiga
ini muncul sejumlah tokoh Perang Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku
Cik di Tiro, Cut Meutia, dan seterusnya.

Adapun periode Perang Aceh keempat terjadi pada 1896 sampai 1910. Periode keempat ini
berlangsung secara sporadis, tanpa adanya komando dari pusat pemerintahan Aceh.

Jalannya Perang
Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat
gempuran dari pasukan Belanda. Pertempuran sengit pun terjadi di kawasan pantai dan
kota. Dalam upaya memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman, Jenderal J.H.R Kohler
meninggal dan pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur ke pantai.

Setelah gagal dalam serangan pertama, Belanda melipatgandakan kekuatannya dan


melakukan agresi kedua pada 9 Desember 1873 di bawah pimpinan Jan van Swieten.
Dalam serangan ini, Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman dan
menduduki Keraton Sultan.
Dalam serangan ini, Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman dan
menduduki Keraton Sultan. Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan
membuat Belanda berani menyatakan bahwa Aceh telah menjadi daerah kekuasaannya.

Perang Sabil
Penobatan Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah pada 1884 menjadi babak baru dalam
Perang Aceh, yakni perang suci untuk membela agama dan tanah air melawan kezaliman
di bumi. Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh semakin meluas. Di
bagian barat misalnya, tampil Teuku Umar dan istrinya, Cut Nyak Dien, yang gigih
melawan Belanda.

Belanda yang mulai kewalahan dengan perang gerilya pun menyiasatinya dengan
menerapkan strategi yang dikenal dengan konsentrasi stelsel. Strategi konsentrasi stelsel
dilakukan dengan memusatkan pasukan supaya dapat lebih terkumpul. Ketika cara ini
dirasa belum efektif, Belanda kembali mencoba strategi baru dengan mendatangkan
Snouck Hurgronje untuk memelajari sistem kemasyarakatan penduduk Aceh

Strategi Snouck Hurgronje

Untuk mengalahkan pertahanan Aceh, Snouck Hurgronje menyamar selama dua tahun
guna melakukan kajian tentang seluk beluk kehidupan dan semangat juang orang-orang
Aceh.

Penemuannya ini dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang baru, termasuk
dalam pembentukan Korps Marchausse, yakni pasukan yang terdiri dari orang-orang
Indonesia yang berada di bawah pimpinan opsir-opsir Belanda.

Dengan pasukan ini, Belanda berhasil mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Pada
1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh.

Akhir Pertempuran

Perang Aceh diakhiri dengan surat perjanjian tanda menyerah atau Traktat Pendek.
Setelah kematian Teuku Umar, Sultan dan Panglima Polem memutuskan untuk berpindah-
pindah supaya tidak bernasib sama

Pada tahun 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem menyerah
setelah mengalami tekanan luar biasa. Dalam perjanjian penyerahan diri itu, seluruh
wilayah Aceh dikuasai Hindia Belanda dan Kesultanan Aceh dibubarkan. Peristiwa ini
membuka jalan bagi pemerintah Belanda untuk menanamkan kekuasaannya di seluruh
wilayah Kesultanan Aceh.

Meski Kesultanan Aceh telah runtuh, semangat juang rakyatnya masih sulit untuk
dipadamkan. pada kenyataannya Belanda tidak sepenuhnya menguasai Aceh. Selain itu,
perlawanan demi perlawanan terus dilakukan oleh rakyat Aceh, hingga masa pendudukan
Jepang

Anda mungkin juga menyukai