DISUSUN OLEH:
Muhammad Rizqullah
Lutfi Kurnia Tohopi
Fathir Muhammad Alrazan
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda
dimulai pada 1873 hingga 1904. Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah pada Januari 1904, akan
tetapi perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin oleh raja-raja feodal atau Uleebalang dan para ulama
dengan perang gerilya masih berlangsung hingga 1914 dan perlawanan sporadis rakyat Aceh terus
berlanjut hingga 1942.
Perang Aceh adalah salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Perang Aceh
sendiri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda pada
1873-1912.
Pada 24 Januari 1874, pasukan Belanda Kembali menduduki istana. Sultan Mahmud Syah II bersama
para pejuang lain telah terlebih dahulu meninggalkan istana hingga pada akhirnya 4 hari setelahnya
Sultan wafat akibat wabah kolera. Setelah berhasil menguasai Masjid dan istana, Belanda akhirnya
mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh.
Namun karena beliau masih di bawah umur, Tuanku Hasyim Banta Muda pun diangkat sebagai walia atau
pemangku sultan sampai tahun 1884. Tidak berhenti sampai di sini, Belanda pun terus melanjutkan
perang sampai ke daerah hulu. Posisi Letnan Jenderal Van Swieten pun sudah digantikan dengan Jenderal
Pel.
Setelah itu mereka pun mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa
dengan kekuatan sekitar 2.759 pasukan. Melihat pertambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak
gentar dan tetap semangat.
Di Aceh Barat peperangan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien hingga meluas sampai
ke Meulaboh. Dengan semangat jihad, mereka pun menerapkan strategi baru yang disebut Konsentrasi
Stelsel.
Berbagai kegagalan dalam pertempuran melawan rakyat Aceh akhirnya membuat Belanda mulai geram
dan menugaskan Dr. Snouck Hurgronje (Abdul Gaffar) untuk menganalisis kelemahan dari pasukan Aceh.
Akhirnya, ia pun mengusulkan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh, yaitu:
1. Memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh karena dalam lingkungan masyarakat
Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama dan rakyat.
2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan,
yaitu dengan kekuatan senjata
3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dengan memberikan kesempatan
kepada mereka untuk masuk ke dalam korps pamong praja di pemerintah kolonial.
“Berkat usulan Abdul Gaffar, Belanda pun mulai memegang kendali perang Aceh”
Untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut, pada 1898 Kolonel J.B van Heutsz diangkat sebagai
Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Dengan berbagai macam persiapan akhirnya mereka pun melancarkan
beberapa serangan untuk menggempur Aceh.
Di bagian Aceh Barat, Teuku Umar juga merencanakan penyerangan besar-besaran ke Meulaboh. Namun
ternyata rencana ini berhasil diketahui Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada 1899.
Dalam pertempuran tersebut akhirnya Teuku Umar pun gugur, sedangkan pasukan Cut Nyak Dien terus
melakukan perlawanan.
Tokoh dan Pemimpin Perang Aceh
Pada pertempuran Aceh yang terjadi selama kurang lebih tiga dekade, memunculkan beberapa tokoh
diantranya :
J.H.R. Kohler
Jan van Swieten
Johannes Pel
Karel van der Heijden
Henry Demmeni
Jan Jacob Karel de Moulin
Gotfried van Daalen
Johan Cornelis van der Wijck
Johannes Benedictus van Heutsz
Dr. Snouck Hurgronje
Dr. Snouck Hurgronje merupakan juru kunci kemenangan Belanda dalam perang Aceh, kami akan
membahasnya lebih lanjut setelah pembahasan perang Aceh berakhir.
Akhir Perang Aceh
Belajar dari gugurnya Teuku Umar, Panglima Polim memutuskan untuk berpindah – pindah agar tidak
bernasib sama dengan Teuku Umar. Pada tahun 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan
Panglima Polem akhirnya menyerah karena tekanan bertubi – tubi dari Belanda. Peristiwa ini yang
kemudian membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Meski Kesultanan Aceh runtuh, namun
semangat perlawanan terhadap Belanda tetap sulit dipadamkan bahkan hingga masa pendudukan Jepang.
Perang mulai mereda setelah Cut Nyak Dien berhasil ditangkap lalu diasingkan oleh Belanda sampai
akhirnya wafat pada 8 November 1908. Perang selanjutnya dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang
Nanggroe. Sampai pada akhirnya Oktober 1910, keduanya gugur dan perang resmi berakhir secara massal
pada tahun tersebut.
Christiaan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857 – 26 Juni 1936) adalah seorang sarjana Belanda bidang
budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia
Belanda (sekarang Indonesia).
Lahir di Oosterhout pada 1857, ia menjadi mahasiswa teologi kristen di Universitas Leiden pada tahun
1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest'
("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.
Snouck, yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani
pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk. Setelah berhasil
menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885. Di
Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dia
adalah salah satu sarjana budaya Oriental Barat pertama yang melakukannya & ia mengajarkan Islam
Sekuler. / Islam dan sekularisme
Pada 1889, ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah
Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan
posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.
Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang
Aceh (1873-1913). Ia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi
yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan
kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar
50.000 dan 100.000 penduduk tewas dan sekitar satu juta terluka.
Kesuksesannya dalam Perang Aceh memberinya kekuasaan dalam membentuk kebijakan pemerintahan
kolonial sepanjang sisa keberadannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang
diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 dan melanjutkan karier akademis yang
sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Tirto.ID
Wikipedia
Google
CnnIndonesia
Regional.Kompas.Com
Sma13smg