Anda di halaman 1dari 8

RANGKUMAN PERANG ACEH

DISUSUN OLEH:
Muhammad Rizqullah
Lutfi Kurnia Tohopi
Fathir Muhammad Alrazan

Guru Mata Pelajaran :


Rusli S.Pd.

Mata Pelajaran Sejarah Indonesia


MAN INSAN CENDEKIA KOTA PALU
Palu
Tahun 2023
Perang Aceh

Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda
dimulai pada 1873 hingga 1904. Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah pada Januari 1904, akan
tetapi perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin oleh raja-raja feodal atau Uleebalang dan para ulama
dengan perang gerilya masih berlangsung hingga 1914 dan perlawanan sporadis rakyat Aceh terus
berlanjut hingga 1942.
Perang Aceh adalah salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Perang Aceh
sendiri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda pada
1873-1912.

Penyebab Terjadinya Perang Aceh


Sejak abad ke-17, Belanda sudah berusaha menanamkan kekuasaannya di Aceh. Hal itu karena Aceh
merupakan pusat perdagangan yang ramai, maka Aceh adalah tempat yang strategis, Selain itu, Aceh juga
memiliki banyak kekayaan alam, seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan yang melimpah sehingga
Belanda sangat ingin menguasainya untuk mewujudkan Pax Neerlandica.
Pax Nederlandica adalah politik kolonial Belanda di Nusantara dengan upaya menyatukan wilayah-
wilayahnya melalui perjanjian dan pendekatan militer.
Namun hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan Belanda. Sebab rakyat Aceh menunjukkan segala
upaya untuk mempertahankan kedaulatannya. Pada masa itu, Belanda juga memiliki kendala yaitu Traktat
London yang disetujui pada 17 Maret 1824.
Traktat London adalah kesepakatan antara Inggris dan Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan
Nusantara dan Semenanjung Malaya. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda tidak bisa mengganggu Aceh,
karena wilayah tersebut telah masuk ke bagian jajahan Inggris. Namun meskipun begitu, Traktat London
rupanya tidak menghentikan Belanda, mereka mulai menguasai daerah Sibolga, pedalaman Tapanuli,
Tanah Batak, Singkit, Barus, Serdang, dan Asahan.
Di tahun 1858, Belanda juga mengadakan perjanjian dengan Sultan Siak dan sampai pernah mengakui
kedaulatan Belanda di Sumatra Timur. Tidak berhenti sampai di situ, Belanda akhirnya mengumumkan
peperangan terhadap rakyat Aceh. Dinilai mudah dikalahkan, ternyata Aceh memiliki semangat tinggi
untuk mendapatkan Kembali tanah Aceh. Dengan adanya barisan pemuda dan para pemimpin Aceh,
perang ini menjadi salah satu perang terberat bagi Belanda dan dalam sejarah perang Aceh.
Kronologi Perang Aceh
Perang dimulai pada 5 April 1857, di mana pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal
J.H.R Kohler mulai menyerang Aceh. Dengan kekuatan yang ada, para pejuang Aceh pun tidak tinggal
diam dan mampu memberikan perlawanan sengit.
Belanda sempat melakukan penyerangan ke Masjid raya Baiturrahman, dan sempat menginstruksikan
anak buahnya untuk menembakkan peluru ke arah Masjid. Akibatnya, masjid mulai terbakar dan pasukan
Aceh mulai berbondong-bondong meninggalkan masjid.
Belanda akhirnya berhasil menguasai masjid pada 14 April 1873. Namun Mayor Jenderal Kohler
diketahui tewas dalam sengitnya pertempuran di masjid ini.
Setelah berhasil menguasai masjid, 9 Desember 1873 pasukan Belanda pun Kembali mendarat di Pantai
Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal J.van Swieten, seorang pemimpin baru yang akan
mengepalai pergerakan Belanda.
Melihat kedatangan Belanda, pasukan Aceh pun tidak tinggal diam hingga akhirnya meluncurkan
berbagai serangan. Namun sayangnya pasukan Aceh harus mengalah dan mundur karena persenjataan
Belanda jauh lebih lengkap.

Pada 24 Januari 1874, pasukan Belanda Kembali menduduki istana. Sultan Mahmud Syah II bersama
para pejuang lain telah terlebih dahulu meninggalkan istana hingga pada akhirnya 4 hari setelahnya
Sultan wafat akibat wabah kolera. Setelah berhasil menguasai Masjid dan istana, Belanda akhirnya
mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh.
Namun karena beliau masih di bawah umur, Tuanku Hasyim Banta Muda pun diangkat sebagai walia atau
pemangku sultan sampai tahun 1884. Tidak berhenti sampai di sini, Belanda pun terus melanjutkan
perang sampai ke daerah hulu. Posisi Letnan Jenderal Van Swieten pun sudah digantikan dengan Jenderal
Pel.
Setelah itu mereka pun mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa
dengan kekuatan sekitar 2.759 pasukan. Melihat pertambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak
gentar dan tetap semangat.
Di Aceh Barat peperangan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien hingga meluas sampai
ke Meulaboh. Dengan semangat jihad, mereka pun menerapkan strategi baru yang disebut Konsentrasi
Stelsel.
Berbagai kegagalan dalam pertempuran melawan rakyat Aceh akhirnya membuat Belanda mulai geram
dan menugaskan Dr. Snouck Hurgronje (Abdul Gaffar) untuk menganalisis kelemahan dari pasukan Aceh.
Akhirnya, ia pun mengusulkan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh, yaitu:
1. Memecah belah persatuan dan kekuatan masyarakat Aceh karena dalam lingkungan masyarakat
Aceh terdapat rasa persatuan antara kaum bangsawan, ulama dan rakyat.
2. Menghadapi kaum ulama yang fanatik dalam memimpin perlawanan harus dengan kekerasan,
yaitu dengan kekuatan senjata
3. Bersikap lunak terhadap kaum bangsawan dan keluarganya dengan memberikan kesempatan
kepada mereka untuk masuk ke dalam korps pamong praja di pemerintah kolonial.

“Berkat usulan Abdul Gaffar, Belanda pun mulai memegang kendali perang Aceh”
Untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut, pada 1898 Kolonel J.B van Heutsz diangkat sebagai
Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Dengan berbagai macam persiapan akhirnya mereka pun melancarkan
beberapa serangan untuk menggempur Aceh.
Di bagian Aceh Barat, Teuku Umar juga merencanakan penyerangan besar-besaran ke Meulaboh. Namun
ternyata rencana ini berhasil diketahui Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada 1899.
Dalam pertempuran tersebut akhirnya Teuku Umar pun gugur, sedangkan pasukan Cut Nyak Dien terus
melakukan perlawanan.
Tokoh dan Pemimpin Perang Aceh
Pada pertempuran Aceh yang terjadi selama kurang lebih tiga dekade, memunculkan beberapa tokoh
diantranya :

Tokoh perang dari Aceh

 Sultan Mahmud Syah


 Sultan Muhammad Daud Syah
 Panglima Polem
 Teungku Cik di Tiro
 Teuku Umar
 Cut Nyak Dhien
 Cut Meutia
Tokoh perang dari Belanda

 J.H.R. Kohler
 Jan van Swieten
 Johannes Pel
 Karel van der Heijden
 Henry Demmeni
 Jan Jacob Karel de Moulin
 Gotfried van Daalen
 Johan Cornelis van der Wijck
 Johannes Benedictus van Heutsz
 Dr. Snouck Hurgronje

Dr. Snouck Hurgronje merupakan juru kunci kemenangan Belanda dalam perang Aceh, kami akan
membahasnya lebih lanjut setelah pembahasan perang Aceh berakhir.
Akhir Perang Aceh
Belajar dari gugurnya Teuku Umar, Panglima Polim memutuskan untuk berpindah – pindah agar tidak
bernasib sama dengan Teuku Umar. Pada tahun 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan
Panglima Polem akhirnya menyerah karena tekanan bertubi – tubi dari Belanda. Peristiwa ini yang
kemudian membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Meski Kesultanan Aceh runtuh, namun
semangat perlawanan terhadap Belanda tetap sulit dipadamkan bahkan hingga masa pendudukan Jepang.
Perang mulai mereda setelah Cut Nyak Dien berhasil ditangkap lalu diasingkan oleh Belanda sampai
akhirnya wafat pada 8 November 1908. Perang selanjutnya dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang
Nanggroe. Sampai pada akhirnya Oktober 1910, keduanya gugur dan perang resmi berakhir secara massal
pada tahun tersebut.

“Potret Tentara Belanda yang Berhasil Menaklukan Kerajaan Aceh”


Christian Snouck Hurgronje (Abdul Gaffar)

Christiaan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857 – 26 Juni 1936) adalah seorang sarjana Belanda bidang
budaya Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia
Belanda (sekarang Indonesia).
Lahir di Oosterhout pada 1857, ia menjadi mahasiswa teologi kristen di Universitas Leiden pada tahun
1874. Ia menerima gelar doktor di Leiden pada tahun 1880 dengan disertasinya 'Het Mekkaansche feest'
("Perayaan Mekah"). Ia menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial Sipil Leiden pada 1881.
Snouck, yang fasih berbahasa Arab, melalui mediasi dengan gubernur Ottoman di Jeddah, menjalani
pemeriksaan oleh delegasi ulama dari Mekkah pada tahun 1884 sebelum masuk. Setelah berhasil
menyelesaikan pemeriksaan diizinkan untuk memulai ziarah ke kota suci muslim Mekkah pada 1885. Di
Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dia
adalah salah satu sarjana budaya Oriental Barat pertama yang melakukannya & ia mengajarkan Islam
Sekuler. / Islam dan sekularisme
Pada 1889, ia menjadi profesor Melayu di Universitas Leiden dan penasehat resmi kepada pemerintah
Belanda untuk urusan kolonial. Dia menulis lebih dari 1.400 makalah tentang situasi di Aceh dan
posisi Islam di Hindia Belanda, serta pada layanan sipil kolonial dan nasionalisme.
Sebagai penasehat J.B. van Heutsz, ia mengambil peran aktif dalam bagian akhir (1898-1905) Perang
Aceh (1873-1913). Ia menggunakan pengetahuannya tentang budaya Islam untuk merancang strategi
yang secara signifikan membantu menghancurkan perlawanan dari penduduk Aceh dan memberlakukan
kekuasaan kolonial Belanda pada mereka, mengakhiri perang 40 tahun dengan perkiraan korban sekitar
50.000 dan 100.000 penduduk tewas dan sekitar satu juta terluka.
Kesuksesannya dalam Perang Aceh memberinya kekuasaan dalam membentuk kebijakan pemerintahan
kolonial sepanjang sisa keberadannya di Hindia Belanda, namun seiring dengan sarannya yang kurang
diimplementasikan, ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1906 dan melanjutkan karier akademis yang
sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Tirto.ID
Wikipedia
Google
CnnIndonesia
Regional.Kompas.Com
Sma13smg

Anda mungkin juga menyukai