Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERANG ACEH
Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia

DISUSUN OLEH :

PUTRI ANGGUN M

XI IPS 6

MAN 2 TASIKMALAYA
TASIKMALAYA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat taufiq dan

hidayah-Nya lah maka penulisan makalah ini dapat disesuaikan. Kami selaku penulis

sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu,

penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari Anda demi perbaikan selanjutnya.

Terlepas dari semua kekurangan penulisan makalah ini, baik dalam susunan dan

penulisannya yang salah, penulis memohon maaf dan berharap semoga penulisan

makalah ini bermanfaat khususnya kepada kami selaku penulis dan umumnya kepada

pembaca.

Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada

semua pihak yang telah membantu terselesaikannya pembuatan makalah ini terutama

kepada Bapak / Ibu guru selaku pembimbing kami.

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada gerakan separatis Aceh


Merdeka tak terlepas dari pro kontra di kalangan tokoh-tokoh Aceh, apakah
daerah itu ikut bergabung ke dalam Republik Indonesia dan mendukung
proklamasi kemerdekaan atau tidak. Beberapa hari setelah Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI, pro kontra pun muncul di Aceh. Lima hari
setelah proklamasi yaitu pada tanggal 22 Agustus 1945 sejumlah tokoh dan
pejuang Aceh berkumpul di rumah Teuku Abdullah Jeunib di Banda Aceh.
Anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat buatan Belanda) di Jakarta yang
menjadi Residen Aceh, Teuku Nyak Arif hadir dalam pertemuan itu. la
menyampaikan informasi bahwa Soekarno-Hatta sudah memproklamasikan
negara merdeka Republik Indonesia, yang wilayahnya dari Sabang di Aceh
sampai ke Merauke di Irian Barat.
Pada tanggal 19 Desember 1948, ketika ibukota RI yang dipindahkan ke
Yogyakarta dan berhasil diduduki Belanda, keadaan pemerintah RI menjadi
sangat lemah. Sejumlah tokoh Aceh pun mulai goyah. Syafruddin Prawiranegara
ditugaskan mendirikan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatera
Barat. Tokoh Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh langsung ikut dan
memberikan bantuan. Ketika situasi di Bukit Tinggi tidak aman, Presiden PDRI
Syafruddin Prawiranegara diminta Daud Beureueh hijrah ke Aceh dan mendapat
sambutan hangat dari tokoh-tokoh Aceh. Kesempatan ini digunakan tokoh-tokoh
Aceh untuk mendirikan provinsi sendiri. Para tokoh Aceh melobi Presiden PDRI.

1.2 . Rumusan Masalah


1) Apa Latar Belakang Perang Aceh ?
2) Apa Penyebab Perang Aceh ?
3) Bagaimana Proses Perang Aceh ?
4) Bagaimana Akhir Perlawanan Perang Aceh ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Perang Aceh

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh
banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda
berambisi untuk mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin
mempertahankan kedaulatannya. Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai
kebebasan sebagai kerajaan yang merdeka.

Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang ditandatangani
Inggris dengan Belanda pada tanggal 2 November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871
itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan di
Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan
ancaman bagi Aceh.

Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni mengadakan hubungan
dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura.
Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin
adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak
menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan
perang kepada Aceh.

B. Penyebab Perang Aceh

Berikut dibawah ini terdapat beberapa penyebab perang aceh, antara lain:

1. Sebab Umum Terjadinya Perang Aceh

Berikut dibawah ini sebaga umum terjadinya perang aceh, antara lain:

1. Belanda menduduki Siak &  membuat perjanjian Siak (1858) dimana Sultan
Ismail harus menyerahkan Deli, Langkat, Asahan & Serdang.
2. Berakhirnya perjanjian London (1824) dimana perjanjian itu merupakan batas
antar kekuasaan dari Belanda & Inggris.

2
3. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand De Lessep yang berakibat menjadi
penting perairan di lautan Aceh.
4. Adanya perjanjian Sumatera (1871) dimana perjanjian itu berisi hak keleluasaan
& kedaulatan Belanda mengambil tindakan di Aceh yang membuat Belanda
menjadi semena-mena.

2. Sebab Khusus Terjadinya Perang Aceh

Begitu ambisinya Belanda ingin menguasai Aceh, Belanda langsung menuntut bahwa
Aceh harus tunduk terhadap Belanda. Tuntutan tersebut ditolak mentah-mentah oleh
Sultan Mahmud Syah . Sultan Aceh tersebut menolak semua tuntutan pemerintah
Belanda. Sampai akhirnya tanggal 26 Maret 1873, Belanda mendeklarasikan perang
terhadap Aceh akibat dari penolakan tersebut.

C. Proses Perang Aceh

Berikut dibawah ini proses perang aceh, antara lain:

1. Perang Aceh Pertama

Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar


3.000 orang dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan
disiapkan di lingkungan istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya
Baiturrahman Aceh.

Pada tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak
Belanda dengan disertai pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal
Kohler.Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan
pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan
dikuasainya Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh
dan rakyat untuk bergabung berjuang melawan Belanda.

Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut
Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu
Belanda kemudian bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah
pertempuran di istana kesultanan. Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad,
para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda gagal untuk menduduki istana.

3
2. Perang Aceh Kedua

Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara
besar-besaran di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan
8.000 orang tentara. Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang
akhirnya Belanda berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh
pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus melakukan perlawanan di luar kota.
Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah meninggal, kemudian digantikan
oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah.

Sementara itu, ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib
Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun 1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos
Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng
Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan memperlemah pos-pos
Belanda.

Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda


berusaha mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan
sosial-budayanya. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck
Hurgronye (seorang ahli tentang Islam) untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat
Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil
masuk Aceh.

Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil
penelitiannya dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa
persetujuan para kepala di bawahnya dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat
besar di kalangan rakyat.

Dengan demikian langkah yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik
“de vide et impera ( memecah belah dan menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama
yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan senjata; kaum bangsawan dan
keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di lingkungan
pemerintahan kolonial.

4
3. Perang Aceh Ketiga

Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada
Belanda. Pada bulan Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada
pemerintah Belanda dan kemudian diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku
Umar memimpin 250 orang pasukan dengan persenjataan lengkap, namun kemudian
bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda.

Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul


perlawanan Teuku Umar dan Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat
dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada
tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.

Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih
melakukan perlawanan di Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan.
Pada tanggal 6 September 1903 Panglima Polim beserta 150 orang parjuritnya
menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap keluarganya. Hal yang
sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1904, Sultan
Aceh dipaksa untuk menandatangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut:

1. Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.


2. Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan
belanda.
3. Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.

Dengan ini, berarti sejak 1904 Aceh telah berada di bawah kekuasaan pemerintah
Belanda.

4. Perang Aceh Keempat

Perjuangan rakyat Aceh diteruskan oleh Cut Nyak Dien & Cut Meutia.
Peperangan terus dilakukan hingga akhirnya Cut Nyak Dien tertangkap dan diasingkan
ke Sumedang. Cut Nyak Dien pun wafat tanggal 6 November 1908 di Sumedang.
Sedangkan Cut Meutia sendiri gugur dalam pertempuran di Hutan Pasai pada tanggal
24 Oktober 1913.

5
Sultan Muhammad Daud Syah pun menanda-tangani Surat Perjanjian Plakat
Peudele (Koret Valklaring) yang artinya Kesultanan Aceh tunduk terhadap
pemerintahan Belanda.

D. Taktik Perang Belanda Menghadapi Aceh

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan
maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg
telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh
untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang
dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh.
Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].

Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan
menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan
diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi
sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara
perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim
meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah
Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah
mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg


dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan
Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2.922 orang
dibunuhnya, yg terdiri dari 1.773 laki-laki & 1.149 perempuan. Taktik terakhir
menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan
secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke
Sumedang.

E. Surat Perjanjian Tanda Menyerah Pemimpin Aceh

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte
verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para
6
pemimpin Aceh yang telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek
penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari
daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan
kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang
ditetapkan Belanda.

Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit &


panjang dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa
dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan
terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini
berlanjut sampai Belanda pergi dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru
yakni Jepang [Nippon].

F. Akhir Perlawanan Perang Aceh

Para pejuang Aceh masih memiliki benteng yang tak terkalahkan yaitu Benteng
Batee Ilie. Ketika benteng ini diserang Belanda pejuang Aceh mempertahankan benteng
ini dengan semangat yang luar biasa. Disini terjadi pertempuran sengit, Akhirnya
Benteng ini dapat dikuasai Belanda pada tahun 1899. Dengan jatuhnya benteng ini
situasi perang semakin menurun.

Kedudukan Sultan sudah sangat terjepit akibat kepungan-kepungan Belanda, Pada


tahun 1903 maka menyerahlah Sultan Sigli dan Panglima Polim di Lho Seumawe. Para
pemimpin tinggi Aceh yang telah menyerah itu diharuskan menandatangani Pelakat
Aceh, yang kemudian pelakat ini dikenal dengan nama Pelakat Pendek (Korte
Verklaring). Yang isinya:

1. Kedaulatan Belanda Harus diakui.


2. Tak akan mengadakan hubungan dengan luar ngeri.
3. Patuh akan perintah-perintah Belanda.

Walaupun pkalat ini isinya pendek, tetapi mengandung makna yang dalam yaitu
penyerahan total kepada Belanda.

Menyerah secara de facto. Pada tahun 1904 secara umum dianggaplah perang
Aceh telah selesai. Nama Van Heutsz makin menanjak karena sukses ini, dan dia

7
diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda. Dan Van Daalen diangkat sebagai
gubernur Aceh (1904). (Nyoman Deker, 1974:146-147).

Sebenarnya perlawanan rakyat Aceh masih terus berjalan sampai Jepang tiba di
Indonesia. Kadang perlawanan ini bersifat kelompok kadang juga bersifat individual
sasarannya tetap penjajah kafir.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan

Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000

serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.

Sejarah Pada Perang Aceh Kedua (1874-1880), di bawah Jend. Jan van Swieten,

Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai

pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan

bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Sejarah Perang Aceh ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan

dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai

tahun 1904.

Secarah Perang Aceh keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan

perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa

komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://www.pustakasekolah.com/sejarah-perang-aceh-1873-1904. html#ixzz2gHiQMec4

http://www.oocities.org/injusticedpeople/MemandangAcehDenganNurani.htm

https://pendidikanmu.com/2019/10/perang-aceh.html

https://www.academia.edu/28991771/MAKALH_Perang_Aceh.docx

Anda mungkin juga menyukai