Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

PERANG ACEH

Di susun oleh :
1. Asni Fathul Jannah
2. Khairunnisa
3. Muhammad Firdaus
4. Rayhanaddinoor Rahmah

Kelas : XI MIA 2
Guru Pembimbing : Saupiah, M.Pd.

Tahun Pelajaran 2017/2018


SMA NEGERI 1 BARABAI
Jl. Merdeka No. 01
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayahNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah
Sejarah Indonesia yang berjudul PERANG ACEH.
Kami berterima kasih kepada Ibu selaku guru pengajar Sejarah Indonesia
yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan hingga
penulisan makalah ini mengalami berbagai hambatan, sehingga makalah ini masih
memiliki kekurangan dan kelemahan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran,
serta masukan yang bersifat membangun sangat kami perlukan. Semoga hasil
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Barabai, 20 Oktober 2017

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI . ii

BAB I PENDAHULUAN . 1

A. Latar Belakang....... 1

B. Rumusan Masalah.. 1

C. Tujuan Penulisan. .. 1

D. Manfaat. 1

BAB II PEMBAHASAN...... 2

A. Latar Belakang Terjadinya Perang Aceh .. 2

B. Proses Terjadinya Perang Aceh..... 3

C. Pemimpin Pemimpin Dalam Perang Aceh. 6

D. Akhir dari Perang Aceh. 7

BAB III PENUTUP.. 8

5.1 Kesimpulan. 8

5.2 Saran. 8

DAFTAR PUSTAKA 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesian terhadap
kolonialisme yang ada di Indonesia. Selama ini telah kita ketahui bahwa, banyak
sekali terjadi kecaman terhadap Belanda baik itu terjadi dikalangan rakyat biasa
hingga kepada wilayah kerajaan di wilayah Indonesia, namun tak sedikit juga
kerajaan di Indonesia, yang menjadi kaki tangan Belanda keegoisan untuk
kepentingan tahta semata, tanpa memperdulikan nasib rakyatnya. Salah satunya
yang terjadi di Aceh. Belanda sangat ingin menguasai Aceh karena merupakan
daerah yang cukup strategis dan mempunyai sumber ekonomi yang sangat
menjanjikan. Belanda melakukan berbagai cara untuk menguasai Aceh.
Untuk lebih lengkapnya, kita akan membahas tentang perang melawan
Belanda yang terjadi di wilayah Aceh pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang terjadinya Perang Aceh?
2. Bagaimana proses terjadinya Perang Aceh?
3. Siapa pemimpin perlawanan dalam Perang Aceh?
4. Bagaimana akhir dari Perang Aceh?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memperluas wawasan
kita tentang hal-hal yang dikaji dalam makalah ini. Di mana dalam makalah
ini telah dikaji tentang Perang Aceh.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Dapat dijadikan sebagai sumber informasi terkait pemahaman mengenai
Perang Aceh.
2. Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran didalam penulisan makalah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Terjadinya Perang Aceh


Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh,
dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang
Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai
Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Khler, dan langsung bisa
menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Khler saat itu membawa 3.198 tentara.
Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Perang Aceh disebabkan karena Belanda melanggar Perjanjian Siak
(1858). Setelah Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah juga Traktat
London atau Treaty Of London (1824). Isi Traktat London adalah Belanda dan
Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan
Aceh. Karena Belanda melanggar perjanjian, Aceh pun menuduh Belanda tidak
menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh
ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Inggris.
Ditambah lagi, dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps
menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas
perdagangan, menjadikan Belanda sangat ingin menguasai Aceh.
Ditandatanganinya Perjanjian London (Perjanjian Sumatera) pada tahun
1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan
kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga
keamanan lalu lintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas
berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik
dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di
Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai
alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas
Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta

2
keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
B. Proses Terjadinya Perang Aceh
Perang Aceh dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Perang Aceh Fase Pertama (1873-1884)
Perang Aceh pertama dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Khler. Khler dengan 3000 serdadunya
dapat dipatahkan, di mana Khler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873.
Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling
besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh
beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan
Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari
Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun
1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat
dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan
Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di
situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas
Nieuwenhuijzen yang mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan
Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan
perang pada Aceh atas saran Gubernur Jendral James Loudon. Blokade pesisir tak
berjalan sesuai yg diharapkan.
Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah
pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Khler dan sesudah kematiannya
tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi
tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi
tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat
disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua
kalinya tewaslah Khler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16
April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavalj namun tak dapat menduduki lebih
lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka.
Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di

3
samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali
musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris
F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] &
kembali ke Pulau Jawa.
Dan dapat dikatakan bahwa siasat Belanda pada fase pertama ini
mengalami kegagalan.
2. Perang Aceh Fase Kedua (1884-1896)
Pada fase kedua, perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang
fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima
Polim dan Sultan Mahmud Syah. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan
mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi
Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang
gerilya.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah
gagal merebut Aceh. Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin
Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka
diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr
Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk
meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan
dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia
bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang
bertugas di Aceh adalah:
a. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di
Keumala) beserta pengikutnya.
b. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
c. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
d. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
e. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara

4
f. Mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan
membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh
3. Perang Aceh Fase Ketiga (1896-1904)
Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada
1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan
bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda),
merebut sebagian besar Aceh.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk
pasukan marsoose yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone
Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-
hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan
anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri
Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan
Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke
Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse
kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya
ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan
beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata
dan menyerah ke Lohkseumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah,
banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima
Polem.

Gambar 1
Van Heutz memimpin perang
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh
yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz.

5
Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya,
yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien, istri Teuku Umar yang masih
melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat
ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
C. Pemimpin Pemimpin dalam Perang Aceh
Pada fase pertama Perang Aceh pertama dipimpin oleh Panglima Polim
yang bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad
Daud dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Khler.

Gambar 2
Panglima Polim dan Johan Harmen Rudolf Khler
Pada fase kedua ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama
Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Namun setelah Teuku Umar gugur,
Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang
gerilya.

Gambar 3
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien

6
Pada fase ketiga pihak Belanda dipimpin oleh J.B. van Heutsz dinyatakan
sebagai gubernur Aceh, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai
penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn.

Gambar 4
(Joannes Benedictus van Heutsz, Christiaan Snouck Hurgronje, Hendrikus
"Hendrik" Colijn)
D. Akhir dari Perang Aceh
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte
verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh
para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat
pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai
bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan
hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan
perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin
setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda
seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap
Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini
berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah
baru yakni Jepang (Nippon).

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini, yaitu :
1. Belanda sangat ingin menguasai Aceh karena merupakan daerah yang cukup
strategis dan mempunyai sumber ekonomi yang sangat menjanjikan. Belanda
melakukan berbagai cara untuk menguasai Aceh.
2. Perang Aceh dibagi menjadi 3 periode, yaitu periode pertama (1873-1884),
periode kedua (1884-1896), dan periode ketiga (1896-1904).
3. Berakhirnya Perang Aceh ditandai dengan penandatangan Plakat Pendek oleh
Sultan Sigli dan Panglima Polim pada tahun 1904.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak
kekurangan dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat lah kami harapkan terutama dari Ibu dan
siswa/i kelas XI MIA 2 sekalian demi kesempurnaan makalah ini dimasa
mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan menambah
wawasan kita.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ringo, R., Melkisedek, B.F, Muhammad, M., 2017 . Sejarah Indonesia: Untuk
SMA/MA Kelas XII. Intan Pariwara: Klaten
www.wikipedia.com/, diakses tanggal 20 Oktober 2017
http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/perang-aceh.html, diakses tanggal 20
Oktober 2017
http://aceh.net/news/detail/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda-1873-1904,
diakses tanggal 20 Oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai