Anda di halaman 1dari 12

NAMA: M. ACHSIN ZULFA K.

M
NURUL ZAHROTUL J
THORIQ ZAINUL ALAM

PERANG ACEH
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh
melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari
1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan
Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat
itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira

LATAR BELAKANG PERANG ACEH

Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar
Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka
berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan
Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh
menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat
perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan


Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian
London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan
kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan
lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan
menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan


Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga
mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh
tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden
Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh
dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di
Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

PENYEBAB TERJADINYA PERANG ACEH

Perlawanan Aceh melawan penjajah belanda terjadi selama kurang lebih 30 tahun
lamanya. Adanya perang Aceh sendiri meliputi beberapa sebab yaitu sebab-sebab umum
dan sebab-sebab khusus.

Sebab - sebab umumnya antara lain adalah:

 Keinginan Belanda untuk Menguasai Aceh.


 Adanya Traktat Sumatera (Inggris dan Belanda).
 Memberi peluang Belanda untuk menyerang Aceh dengan Turki, Italia, dan Amerika
Serikat.
Sebab khususnya ialah:

 Belanda menuntut agar Aceh tunduk kepada belanda

Menanggapi tuntutan belanda tersebut, Sultan Aceh menolak untuk tunduk terhadap
pemerintahan Belanda. Akibat dari penolakan tersebut akhirnya Belanda menyatakan
perang terhadap Rakyat Aceh pada tanggal 26 Maret tahun 1873.

PERIODE PERANG ACEH

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda,
Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan
perawatan pada matanya yang tertembak.

 Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud
Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari
kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali
Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di
Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa
wilayah lain.
 Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van
Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan
sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten
mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan
Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood
yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini
adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun
ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat
lain.
 Perang Aceh ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan
perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim
dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der
Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar
kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
 Perang Aceh keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan
dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando
dari pusat pemerintahan Kesultanan.

SIASAT SNOUCK HURGRONJE PADA PERANG ACEH


Snouck Hurgronje pada tahun 1930. Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan
Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama
2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil
kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan
strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes


Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan
di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan
menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat
Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan
membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi
Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat
sebagai penasihatnya.

TAKTIK PERANG ACEH

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan
maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang
telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku
Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan
menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-
diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai
gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan
beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan
menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah,
banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang


dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van
Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya,
yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan
ke Sumedang.

SURAT PERJANJIAN TANDA MENYERAH

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring,
Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh
yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu
berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda,
Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji
akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini
menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para
pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya,
dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun
dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari
Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
TOKOH-TOKOH PAHLAWAN PADA PERANG ACEH

Salah satu contoh keberaniannya yaitu dengan adanya Perang Aceh. Perang ini
terjadi karena aceh menolak untuk menyerahkan wilayahnya kepada penjajah dan akhirnya
terjadilah perlawanan rakyat aceh kepada penjajah.

Berikut tokoh para pahlawan pada perang Aceh:

1. Teuku Umar
Teuku Umar adalah pahlawan Aceh yang mencetuskan perlawanan terhadap
perluasan wilayah kolonial Belanda ke tanah Aceh. Pada saat peperangan
berlangsung beliau berada dibawah kepemimpinan panglima Teuku Cik Ditiro. Suami
Cut Nyak Dien ini lahir di Meulaboh pada tahun 1854, dan meninggal tanggal 11
Februari 1899 karena tertembak pada pertempuran yang terjadi dini hari.

2. Teuku Cik Ditiro

Teuku Cik Ditiro adalah pahlawan Aceh yang sangat tangguh. Bukti
ketangguhannya terlihat ketika angkatan perang Sabilya yang dipimpinnya telah
berhasil merebut beberapa wilayah dari tangan musuh.

Pahlawan yang lahir pada tahun 1836 ini memiliki nama kecil Muhammad
Saman. Pada tahun 1891 pahlawan yang kerap dipanggil dengan nama Teuku Cik
Ditiro ini meninggal karena memakan makanan yang yang telah diberi racun oleh
seorang wanita.

3. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien adalah salah satu sosok pahlawan wanita yang memberikan
inspirasi bagi kaum wanita hingga sekarang ini. Meski seorang wanita, beliau juga
ikut berjuang untuk membela tanah airnya dari penjajahan Belanda.

Wanita yang lahir di Aceh tahun 1848 ini meneruskan perjuangan suaminya
Teuku Ibrahim Lam Nga yang meninggal dalam pertempuran. Setelah suaminya
meninggal Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan melawan belanda
bersama-sama. Setelah berhasil merebut salah satu wilayah dari tangan belanda,
Teuku Umar pun juga meninggal dalam pertempuran saat perang pada dini hari.

Lalu setelah Teuku Umar meninggal, Cut Nyak Dien melanjutkan pertempuran
melawan Belanda bersama dengan pasukan yang tersisa. Namun pada akhirnya Cut
Nyak Dien tertangkap oleh Belanda lalu diasingkan ke tanah Sumedang dan di tahan
di situ hingga akhir hayatnya.

4. Cut Nyak Meutia

Lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh utara tahun 1870, Cut Nyak Meutia juga
merupakan salah satu tokoh pahlawan pada perang aceh. Sama seperti Cut Nyak
Dien, beliau juga sangat aktif dalam gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Cut Meutia wafat pada tanggal 24 Oktober 1910 di Aceh.

5. Teuku Nyak Arief

Lahir pada tanggal 17 Juli 1899 di Banda Aceh, Teuku Nyak Arief merupakan
orator ulung yang sering melakukan gerakan bawah tanah dalam melawan Belanda
sejak usia muda. Teuku Nyak Arief juga rela mengorbankan harta bendanya demi
membiayai kebutuhan perang. Semangat juangnya yang tinggi membuatnya banyak
melakukan gerakan di bidang politik dan pendidikan. Ia juga membantu anak tidak
mampu yang cerdas untuk mengenyam pendidikan.

Sebelum wafat, ia sempat diangkat sebagai residen Aceh (sekarang setara


dengan Gubernur) oleh pemerintah Pada 3 Oktober 1945. Teuku Nyak Arief ini
wafat pada tanggal 4 Mei 1946.

6. Teuku Muhammad Hasan

Teuku Muhammad Hasan juga termasuk salah satu Tokoh Aceh lainnya yang
juga memberikan kontribusi saat perang Aceh terjadi. Lahir di Pidie, Aceh pada 4
April 1906, Teuku Muhammad Hasan juga merupakan pejuang kemerdekaan
indonesia dan gubernur Sumatera utara pertama setelah Indonesia memperoleh
kemerdekaannya.

Setelah menempuh pendidikan di Belanda, Teuku Muhammad Hasan pulang ke


tanah air lalu beliau aktif bergerak di berbagai bidang terutama bidang pendidikan.
Teuku Muhammad Hasan ini wafat di Jakarta pada tanggal 21 September 1997.

7. Sultan Iskandar Muda

Walaupun tidak ada hubungan dengan konflik atau perang Aceh yang pecah
setelah Traktat Sumatera ditandatangani, Sultan Iskandar Muda juga termasuk
tokoh Aceh yang mempunyai cukup banyak jasa untuk tanah kelahirannya tersebut.

Sultan Iskandar Muda Lahir tahun 1593 di Banda Aceh, beliau merupakan sultan
yang paling besar dalam masa kesultanan Aceh. Masa kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda berlangsung sejak 1607 hingga 1636, dimana pada masa itu Aceh
mencapai puncak kejayaannya.
Analisis pernyataan dari perang aceh
1. Waktu dan tempat kejadian perang Aceh
Waktu nya pada tahun 1873 hingga 1904, sedangkan tempatnya berada di Aceh,
Sumatra Utara.
2. Tokoh daerah dan tokoh Hindia Belanda
Tokoh daerah: Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Teuku
Nyak Arief, Teuku Muhammad Hasan, dan Sultan Iskandar Muda.
Tokoh Hindia Belanda: Mayor Jenderal J.H. Kohler, Jenderal Van Swieten, Mayor
Jenderal J.L.J.H. Pel, Mayor Jenderal Karel Van der Heijden, Dr Snouck Hurgronje,
Mayor Jenderal Henry Demmeni (DOW), Mayor Jenderal Jan Jacob Karel de Moulin,
dan Van Heutsz.
3. Latar belakang perang Aceh
Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian
Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah
Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan
kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya
mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya,
sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh
pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania. Dengan dibukanya Terusan
Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting
untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara
Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda
untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan
menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania. Akibat perjanjian Sumatra
1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat,
Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan
utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut,
Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden
Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang
ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang
sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk
memberikan keterangan.
4. Akibat perlawanan perang Aceh
Perlawanan Aceh melawan penjajah belanda terjadi selama kurang lebih 30 tahun
lamanya. Adanya perang Aceh sendiri meliputi beberapa sebab yaitu sebab-sebab
umum dan sebab-sebab khusus. Sebab - sebab umumnya antara lain adalah:
keinginan Belanda untuk menguasai Aceh, adanya traktat Sumatera (Inggris dan
Belanda), dan memberi peluang Belanda untuk menyerang Aceh dengan Turki, Italia,
dan Amerika Serikat. Sedangkan sebab khususnya ialah: Belanda menuntut agar
Aceh tunduk kepada belanda

Menanggapi tuntutan belanda tersebut, Sultan Aceh menolak untuk tunduk


terhadap pemerintahan Belanda. Akibat dari penolakan tersebut akhirnya Belanda
menyatakan perang terhadap Rakyat Aceh pada tanggal 26 Maret tahun 1873.

5. Akhir perlawanan perang Aceh


Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring,
Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin
Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek
penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari
daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan
kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang
ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian
terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya,
dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun
dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda
enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
6. Biografi pahlawan pada perang Aceh
 Teuku Umar
Teuku Umar adalah pahlawan Aceh yang mencetuskan perlawanan terhadap
perluasan wilayah kolonial Belanda ke tanah Aceh. Pada saat peperangan
berlangsung beliau berada dibawah kepemimpinan panglima Teuku Cik Ditiro.
Suami Cut Nyak Dien ini lahir di Meulaboh pada tahun 1854, dan meninggal
tanggal 11 Februari 1899 karena tertembak pada pertempuran yang terjadi dini
hari.

 Teuku Cik Ditiro

Pahlawan yang lahir pada tahun 1836 ini memiliki nama kecil Muhammad
Saman. Pada tahun 1891 pahlawan yang kerap dipanggil dengan nama Teuku Cik
Ditiro ini meninggal karena memakan makanan yang yang telah diberi racun oleh
seorang wanita.

 Cut Nyak Dien

Wanita yang lahir di Aceh tahun 1848 ini meneruskan perjuangan suaminya
Teuku Ibrahim Lam Nga yang meninggal dalam pertempuran. Setelah suaminya
meninggal Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan melawan belanda
bersama-sama. Setelah berhasil merebut salah satu wilayah dari tangan belanda,
Teuku Umar pun juga meninggal dalam pertempuran saat perang pada dini hari.

Lalu setelah Teuku Umar meninggal, Cut Nyak Dien melanjutkan


pertempuran melawan Belanda bersama dengan pasukan yang tersisa. Namun
pada akhirnya Cut Nyak Dien tertangkap oleh Belanda lalu diasingkan ke tanah
Sumedang dan di tahan di situ hingga akhir hayatnya.

 Cut Nyak Meutia

Lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh utara tahun 1870, Cut Nyak Meutia juga
merupakan salah satu tokoh pahlawan pada perang aceh. Sama seperti Cut Nyak
Dien, beliau juga sangat aktif dalam gerakan perlawanan terhadap kolonial
Belanda. Cut Meutia wafat pada tanggal 24 Oktober 1910 di Aceh.

 Teuku Nyak Arief


Lahir pada tanggal 17 Juli 1899 di Banda Aceh, Teuku Nyak Arief merupakan
orator ulung yang sering melakukan gerakan bawah tanah dalam melawan
Belanda sejak usia muda. Teuku Nyak Arief juga rela mengorbankan harta
bendanya demi membiayai kebutuhan perang. Semangat juangnya yang tinggi
membuatnya banyak melakukan gerakan di bidang politik dan pendidikan. Ia juga
membantu anak tidak mampu yang cerdas untuk mengenyam pendidikan.

Sebelum wafat, ia sempat diangkat sebagai residen Aceh (sekarang setara


dengan Gubernur) oleh pemerintah Pada 3 Oktober 1945. Teuku Nyak Arief ini
wafat pada tanggal 4 Mei 1946.

 Teuku Muhammad Hasan

Teuku Muhammad Hasan juga termasuk salah satu Tokoh Aceh lainnya yang
juga memberikan kontribusi saat perang Aceh terjadi. Lahir di Pidie, Aceh pada 4
April 1906, Teuku Muhammad Hasan juga merupakan pejuang kemerdekaan
indonesia dan gubernur Sumatera utara pertama setelah Indonesia memperoleh
kemerdekaannya.

Setelah menempuh pendidikan di Belanda, Teuku Muhammad Hasan pulang


ke tanah air lalu beliau aktif bergerak di berbagai bidang terutama bidang
pendidikan. Teuku Muhammad Hasan ini wafat di Jakarta pada tanggal 21
September 1997.

 Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda Lahir tahun 1593 di Banda Aceh, beliau merupakan
sultan yang paling besar dalam masa kesultanan Aceh. Masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda berlangsung sejak 1607 hingga 1636, dimana pada masa
itu Aceh mencapai puncak kejayaannya.

Anda mungkin juga menyukai