Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH TENTANG PERANG PERLAWANAN RAKYAT

ACEH

NAMA KELOMPOK

MOHAMMAD FARHAN WARDITO (15)


MOHAMMAD FIRMAN TAJUL ARIFIN
MEIDY TRIASAVIRA

(13)

NUR ISLAMI ALIFAH

(22)

NURI AMALIYATUN NISA

(24)

(16)

PERANG RAKYAT ACEH

Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai
1904.Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya
terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh,& mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Khler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman
latar belakang terjadinya perang Aceh
Perang Aceh dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya yaitu :
a)

Belanda meduduki daerah Siak


Sultan Ismail dari Siak (1827-1867) merupakan penguasa yang tidak pernah berhasil
menjadi penguasa di negerinya yang penuh gejolak. Setelah lepas dari kendali ayahnya
pada tahun 1840, ia berhadapan berhadapan dengan pemberontakan yang dilancarkan
oleh iparnya sendiri. Kemudian pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh
Tengku Putra, yang sejak itu juga memerintah Siak sebagai Raja muda.Sultan Ismail
berselisih dengan saudaranya sendiri yakni Tengku Putra untuk memperoleh
kekuasaan di Siak.Sultan Ismail meminta bantuan dari pihak Belanda untuk
mengalahkan saudaranya.Tetapi sebelum memberi bantuan kepada Sultan Ismail,
Belanda lebih dahulu mengikat Ismail dengan sebuah perjanjian.Nieuwenhuyzen,
Residen Riau dikirim ke Siak untuk mengatasi masalah Sultan Ismail dan Tengku
Putra.Nieuwenhuyzen membuat perjanjian persahabatan dengan Sultan Ismail jika
nantinya bantuan yang diberika Belanda berhasil mengalahkan musuh Sultan Ismail
maka Siak harus tunduk dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.Sultan Ismail
menyetujui isi perjanjian yang diajukan oleh Residen Riau teresbut. Belanda pun
mulai melancarkan serangannya terhadap Tengku Putra, akhirnya Tengku Putra pun
melarikan diri dari Siak karena tidak mampu melawan serangan dari pihak Belanda
(Reid,2005:26-29).Sesudah Tengku Putra melarikan diri dari Siak, Sultan Ismail naik
tahta menjadi pemimpin di Siak. Tetapi berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati
antara Sultan Ismail dan Pemerintah Hindia Belanda maka Siak harus tunduk kepada
Pemerintah kolonial, padahal daerah Siak sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda
berada dibawah kekuasaan Aceh. terjadinya perang Aceh. Karena hal tersebut
bertentangan dengan hegemoni Aceh maka untuk mencegah penetrasi lebih lanjut
banyak kapal perang Aceh yang dikerahkan di pantai timur Sumatera, tetapi akhirnya
wilayah Deli, Serdang, dan Asahan tetap jatuh ke tangan Belanda
(Kartodirjo,1987:386). Hal tersebut juga menjadi salah satu faktor tejadinya perang
Aceh.

b)

Dibukanya Terusa Suez oleh Ferdinand de Lesseps, menyebabkan perairan Aceh


menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Dibukanya Terusan Suez pada awal abad 19 membuat Aceh mempunyai kedudukan
strategis karena terletak dalam urat nadi perkapalan internasional. Belanda memandang
situasi tersebut sangat gawat karena memasuki masa dimana imperialisme dan
kapitalisme mulai memuncak dan negara-negara barat mulai berlomba mencari daerah
jajahan baru (Kartodirjo,1987:386). Lalu lintas Selat Malaka juga semakin ramai
sesudah dibukanya Terusan Suez dan Aceh merupakan pintu gerbang utama untuk
menuju Selat Malaka (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242). Hal tersebut juga
melatarbelakangi ekspansi Belanda terhadap Aceh.

c)

Ditandatanganinya perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda pada 1871 yang
melanggar isi Traktat London 1824.
Kebijakan Inggris terhadap Aceh mengalami perubahan pada tahun 1860-an dan tidak
lagi memberi kedaulatan penuh bagi Aceh. Ketika persaingan diantara kekuatankekuatan Eropa untuk mendapatkan daerah jajahan meningkat, maka London
memutuskan lebih baik Belanda yang menguasai Aceh dari pada negara yang lebih kuat

seperti Perancis dan Amerika yang akan menguasainya. Hasilnya adalah


ditandatanganinya perjanjian Sumatera pada 1871 yang memberikan kebebasan bagi
Belanda untuk melakukan ekspansi diseluruh wilayah Sumatera termasuk Aceh atas
persetujuan Inggris dan sebagai gantinya Belanda menyerahkan pantai emas Afrika
kepada Inggris. Perjanjian tersebut juga mengumumkan bahwa Belanda ingin menguasai
Aceh (Ricklefs,1991:219). Hal tersebut juga memicu terjadinya perlawanan dari Aceh
pada pihak Belanda
.d)

Akibat perjanjian Sumatera, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul


Amerika, kerajaan Italia, kesultanan Usmaniah Singapura dan Turki Ustmani.
Melihat negaranya yang terancam oleh penetrasi Belanda, Aceh mulai
mengadakan hubungan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Italia,
Singapura, dan Dinasti Turki Ustmani untuk meminta bantuan. Pada bulan januari 1873
Sultan Aceh mengirimkan seorang utusan ke Turki untuk meminta bantuan apabila
Belanda menyerang Aceh dengan kekerasan. Kemudian sebuah utusan yang dipimpin
oleh Teuku Panglima Muhammad Tibang dikirim kepada Residen Hindia Belanda di
Riau untuk menyampaikan pesan Sultan bahwa Belanda sebaiknya menangguhkan
kunjungan untuk menghadap Sultan Aceh sampai Sultan mengadakan hubungan dengan
Turki.Utusan Aceh tersebut dalam perjalanan pulang diantar oleh kapal perang Murnix
milik Hindia Belanda dan singgah di Singapura. Kesempatan tersebut digunakan oleh
utusan-utusan Aceh untuk menemui Konsul Italia, dan konsul Amerika Serikat yang
pada saat itu berada di Singapura. Melalui konsulnya yang ada di Singapura, pemerintah
Hindia Belanda mengetahui bahwa konsul-konsul Amerika dan Italia akan berusaha
supaya pemerintahannya masing-masing bersedia membantu Aceh. Hal tersebut
membuat khawatir pihak Belanda, apalagi muncul desas-desus bahwa bantuan Amerika
Serikat pada Aceh akan datang pada awal maret 1873 (Poesponegoro dan
Notosusanto,1993:242-243). Walaupun kenyataanya pihak Amerika dan Italia tidak
memberi bantuan apapun bagi Aceh, tetapi Belanda sudah bersiap diri untuk menyerang
Aceh. Hubungan diplomatik yang terjalin antara Aceh dengan beberapa negara yang
tersebut diatas juga dijadikan alasan oleh Belanda untukmenyerang Aceh, sebab
menurut pihak Belanda Aceh mempunyai maksud untuk meminta bantuan dari Amerika
Serikat, Turki, Italia maupun Singapura sehubungan dengan serangan yang akan
dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Aceh.

e) Potensi aceh sebagai daerah penghasil lada utama di dunia

Kronologi Perang Aceh Pertama


Perang AcehPertama
[1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg
dipimpin Khler. Khler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Khler sendiri
tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di manamana.Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh
beberapa kelompok pasukan.Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampuuk, Peukan Bada,
sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie,
Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap
Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti
traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian
Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi
perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh
mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg
diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon.
Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.
Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal
Johan Harmen Rudolf Khler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel
Eeldert Christiaan van Daalen.Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont
untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan
Belanda ke Jawa.Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan
di saat yg kedua kalinya tewaslah Khler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal

16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavalj namun tak dapat menduduki lebih lanjut
karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas& terluka. Serdadu Belanda
tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut.Di samping itu, jumlah artileri
[berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh.Mereka sendiri harus menarik diri
dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi
dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.
Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir
bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak
dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat
itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit.
Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan
ekspedisi itu.Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para
bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka.Penyelidikan tersebut kemudian
juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan perang kertas sesudah Perang Aceh I
[dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].
Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade
II GCE.van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama
itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg
merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi
sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah
kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian
meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui
bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan
senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan
Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang
tunjangan pensiun.Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada
tanggal 12 Mei 1874.Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper
bertulisan ATJEH 1873-1874 pada pita Ereteken voor Belangrijke
Krijgsbedrijven.Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en
Trouw.
Perang Aceh Kedua
Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil
menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan
Belanda.31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi
bagian dari Kerajaan Belanda.Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid
Indragiri.
Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873
sesudah kegagalan serangan pertama.Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai
seluruh Nusantara.Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8.500 prajurit,
4.500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1.500 pasukan.Pasukan Belanda & Aceh
sama-sama menderita kolera.Sekitar 1.400 prajurit kolonial meninggal antara bulan
November 1873 sampai April 1874.
Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir
mereka telah menang perang.Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan &
dianeksasi.Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg
dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, &
sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku
Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah
[berkuasa 1874-1903].
Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan
mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, &
tempat-tempat lain.
Perang Aceh Ketiga,

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang
fisabilillah.Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.Perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan.Pada
tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku
Umar gugur.Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan
perang gerilya.
Perang Aceh Keempat
Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.
Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marchausse yg
dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu &
menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari &
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan
cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik
permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim.Akibatnya, Sultan menyerah pada
tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai.Van der Maaten dengan diam-diam menyergap
Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap
putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga
terdekatnya.Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe
pada Desember 1903.Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat
yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2.922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari
1.773 laki-laki& 1. 149 perempuan.Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku
Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat
ditangkap & diasingkan ke Sumedang.
Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat
Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah
tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja
[Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak
akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi
seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.
Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang
dengan para pemimpin setempat.Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai
Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda
meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat].Hal ini berlanjut sampai Belanda
enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].

Dampak Perang Aceh bagi Pemerintah Hindia Belanda dan Aceh


Perang aceh merupakan perang berat dan paling lama yang dihadapi oleh pemerintah
Hindia Belanda maupun pihak Aceh sendiri. Walaupun kekuatan Aceh pada abad ke 19 tidak
sehebat Aceh pada abad sebelum-sebelumnya, tetapi semangat juang rakyat Aceh tidak pernah
menyurut dan persatuan antar seluruh lapisan masyarakat baik dari golongan ulama, ulebalang
maupun rakyat biasa terjalin dengan baik demi kelancaran perlawanan kepada pihak Belanda.
Oleh karena itu perang Aceh membawa dampak bagi Belanda maupun Kerajaan Aceh.

Dampak perang Aceh bagi Belanda

a) Waktu perang Aceh yang sangat lama yakni sekitar tahun 1873-1904 sangat menguras
kas keuangan Belanda dan juga menimbulkan jatuhnya banyak korban dari pihak
Belanda. Bahkan panglima perang Belanda untuk perang Aceh yang pertama yakni
Kohler juga gugur dalam penyerangan.
b) Belanda dapat mengetahui kelemahan dari pertahanan rakyat Aceh. Yakni lewat
penyelidikan yang dilakukan oleh Dr. Snouck Hurgronje. Akhirnya dapat diketahui
bahwa peran ulama dan bangsawan sangat penting bagi persatuan rakyat Aceh
c) .Walaupun Belanda harus berjuang bertahun-tahun dalam melakukan penyerangan guna
menakhlukkan Aceh, namun pada akhirnya Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda.

Dampak perang Aceh bagi kerajaan Aceh

a) . Menguatnya rasa persatuan dan kesatuan diseluruh lapisan masyarakat Aceh.


Pertempuran yang berlangsung terus-menerus membuat rasa persatuan laskar Aceh
semakin terjalin kuat. Apalagi para ulama yang mengobarkan semangat perang sabil
diantara laskar Aceh membuat rakyat stidak gentar dalam menghadapi Belanda.
b) Jatuh banyak korban dipihak AcehPerang yang berlangsung selama kurang lebih 33
tahun, membuat jatuhnya banyak korban dari pihak Aceh juga gugurnya beberapa
panglima Perang Aceh. Hal tersebut juga didorong oleh semangat perang sabil yang
berkobar di hati para pejuang Aceh. Pada tanggal 14 juni 1904 terjadi pembunuhan masal
di Kuta Reh yang merupakan siasat dari Van daalen. Korban dari rakyat Aceh sekitar
2922 orang yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan. Peristiwa tersebut
semakin menabah besarnya jumlah korban perang Aceh
c) Jatuhnya seluruh Aceh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda Perang Aceh diakhiri

dengan kemenangan dipihak Belanda. Setelah berhasil menguasai seluruh Aceh, jenderal
Hindia Belanda untuk Aceh, yakni Van Heutz memaksa Sultan Aceh untuk
menandatangani perjanjian yang berisi tentang pengakuan kedaulatan Hindia Belanda
oleh Aceh dan sultan aceh harus tunduk dengan perintah Belanda. hal tersebut sudah
menghilangkan hak Aceh untuk merdeka.

Tokoh-tokoh dalam perang aceh


gagasan invasi aceh oleh Isaac Dignus Fransen van de Putte(1822-1902),

Invasi Aceh pada tahun 1873 merupakan gagasan Ishak Dignus Fransen van de Putte (18221902), Menteri Koloni Belanda, untuk mencegah perambahan oleh Inggris ke Sumatera dari
koloni Inggris di Semenanjung Melayu
2.governor-general in Batavia (now Jakarta), James Loudon(1824-1900)

,
Ide Van de Puttes idea didukung secara kuat oleh teman baiknya Gubernur Jendral Hindia
Belanda di Batavia(Jakarta), James Loudon(1824-1900)
3.Peta Invasi Pertama Ke Aceh tahun 1873 dan keberhasilan invasi kedua tahun 1874

4.DokumenSurat Kabar Java Bode 10 April !873 ,berisi laporan keberhasilan invasi pertama ke
Aceh

PESAN DARI ATJEH


Batavia, 10 April, jam 9 malam
Kami segera menurunkan militer kita dipangung peperangan , yang kami laksanakan pada
malam ini setengah sepuluh , diterima liwat telegram.
Redektie Surat Kabar Java-bode
TELEGRAM PESAN DARI JAWA MESSENGERPenang, 10 April10 5 jam malamTelah tiba
kapal api dagang ( handelsstomer) , yang membawa berita dari Aceh .Sinds arahan bevige
schermutselling perkebunan telah ditemukan. Kuncinya jatuh pada hari Selasa 8 dezer.Ant sisi
pasukan musuh menyerang 200 dooden.pihak kita sebanyak 10 tewas dan 60 luka-luka, 4 opsir
bangsa Aceh daolam keadaan luka-luka (Atjehneezen officieren).Di balik benteng mereka
diserang . Rincian lain menyusul .
5.MAYOR JENDRAL JHR KOHLER

Generaal-Majoor JHR Kohler,


Jendral Kohler pemimpin ekspedisi Belanda pertama ke Aceh.dengan 2000 tentaranya berhasil
untuk menembus ke Pasar Koetaradja dan Masjid Baiturrahman. Belanda berhenti untuk
membakar masjid, halaman di mana mereka mendirikan sebuah kamp.Pada malam tanggal 14
April 1873, warga Aceh melakukan serangan bunuh diri menyelinap Ke kamp dan menembak
dada Kohlersehingga segera Kohler tewas . Hari-hari berikutnya, Belanda menghadapi serangan
bunuh diri Aceh dari semua sisi.Pada tanggal 24 April 1873, Mereka dipaksa untuk mundur
kembali ke kapalnya. korban Belanda meninggal 50 (Termasuk Kohler) dan 500 Terluka
6.MAJALAH BELANDA 1936 DENGAN ILUSTRASI POHON DIMANA JENDRAL
KOHLER DIBUNUH

7.Generaal Jan van Swieten (1807-1888

Generaal Jan van Swieten (1807-1888),


Jenderal Jan van Swieten , pemimpin invasi Belanda yang kedua
pada tahun 1873. Swieten adalah tentara yang berpengalaman,
pertempuran di Perang Jawa (1825-1830), Perang Kemerdekaan
Belgia (1830), Perang Padri (1830-1837), Ekspedisi Bali 1848 dan
1849, Perang Bone 1859.

Ekspedisi kedua berlayar dengan kekuatan 18 kapal perang, kapal


pasokan 7, 12 kapal pembantu, 2 kapal patroli, dan kapal
transportasi 22 membawa lebih dari 13.000 prajurit. Mendarat di 9 Desember 1873 agak jauh
dari Koetaradja, dengan 24 Januari 1874 telah berhasil menduduki ibukota. Sultan Aceh tiga
tahun, Mohammad Daud, dibawa ke hutan oleh para pengikutnya untuk melanjutkan perang
gerilya

8.GAMBAR ENGRAVED PERTEMPURAN ACEH KEDUA YANG BANYAK


MENIMBULKAN KORBAN MATI.

9.DEKLARASI KEMENANGAN BELANDA DI ACEH.

Setelah berhasil menduduki istana kerajaan, van Swieten menyatakan kemenangan dan
membuka peti sampanye untuk merayakan.Gubernur Jenderal Loudon Menteri telegramed van
de Putte kembali di Belanda, memberitahukan bahwa Aceh adalah ons, Aceh milik kita.
Menurut pengalaman masa lalu, perang penaklukan Belanda lainnya di Indonesia biasanya
dimenangkan oleh menduduki ibukota wilayah tertentu yang akan ditaklukkan. Hal ini tidak
terjadi di Aceh.Setelah usaha yang gagal untuk merebut kembali Koetaradja, oleh April 1874
Aceh telah melunasi untuk meletakkan pengepungan di kota, memotong semua pasokan dari
datang dari interior. Jalan antara Koetaradja dan port Oelee-Lhee, di mana pasokan Belanda
datang dari, ini tidak aman karena serangan Aceh sering. Dengan 1875, 25% dari pasukan
Belanda di Koetaradja telah mengeluarkan tindakan oleh penyakit, kelaparan, dan luka perang.
10.JENDRAL SWEITEN DIANUGERAHKAN MEDALI MILLITAIRE WILLIAMORDE

Bertepatan dengan PERINGAT 25 TAHUN JUBILUEM penobatan Raja Willem III pada tahun
1874, Generaal van Swieten menerima medali Militaire Willemsorde di atas untuk
kemenangan di atas rakyat Aceh. Namun, pada 1875, hanya sekitar 0,1% dari Aceh berada di
bawah kekuasaan Belanda, yang Koetaradja dan pelabuhan Oelee-Lhee.
11.MAKAM JENDRAL VAN PEL YANG MENGANTIKAN JENDRAL SWEIFT

Pada bulan Mei 1875, Generaal van Swieten, 68 tahun dan usia pensiun baik di atas, diserahkan
perintah untuk Generaal-Majoor Pieter Cornelius van Pel (foto dan kuburan Jakarta atas) masa
Van Pel melihat. meningkatnya serangan Aceh pada daerah Belanda-diadakan di sekitar
Koetaradja. Belanda kehilangan kendali atas Peukan Bada, Blang Kala Pass, Pagar Ajer, dan
pinggiran Koetaradja dari Moekim IX dan VI.Kerugian ini disebabkan bencana Generaal-Majoor
van Pel kembali dapat diingat. Dia berlayar ke Batavia pada tanggal 1877, diganti dengan
bermata satu Generaal van der Heyden Karel
12. Generaal Karel van der Heyden (1824-1901),

Generaal Karel van der Heyden (1824-1901),


Karel Generaal van der Heyden (1824-1901), setengah Belanda dan setengah-umum Bugis yang
mengambil alih komando pasukan Aceh tahun 1877. Dia dikenal sebagai (umum bermata satu)
Generaal een-Oog oleh pasukannya dan seblah mata setan (iblis bermata satu) dengan
opponents.He Aceh nya memperkuat pertahanan Koetaradja dan dijamin jalan antara Koetaradja
dan Oelee-Lhee. Pada tanggal 29 Juni 1878, ia diluncurkan serangan dari Koetaradja, berhasil
menangkap Glitaroenpass strategis, yang mengarah ke penangkapan dataran Montasik, benteng
pemimpin gerilya Aceh Panglima Polim. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1880, van der
Heyden telah tenuos dijamin kontrol Belanda atas sebagian besar Groot-Atjeh, daerah sekitarnya
Koetaradja (sekarang Aceh Besar kabupaten).
13. TENGKU CIK DI TIRO

Di antara tokoh-tokoh penting perlawanan Aceh di bagian awal perang adalah Tengku Chik di
Tiro, seorang ulama Islam yang memimpin kontingen Aceh dari Pidie dalam pertempuran di
sekitar Koetaradja.Dia menyatakan jihad, perang suci melawan penjajah Belanda kafir yang telah
membakar masjid Baiturrahman, pusat Aceh Islam.Ia memutuskan perang suatu sabil Perang, di
mana Aceh dibunuh oleh Belanda akan dipastikan tempat di surga. Pada tahun 1876, dia
memimpin penobatan kembali anak Sultan Muhammad Daud di Indrapoeri Masjid sebagai
lambang kelanjutan dari Aceh sultanate.Militarily, ia meluncurkan serangan seaborne gagal di
pulau-pulau Breueh dan Nasi off Koetaradja pada tahun 1880, mencoba untuk mengganggu laut
Belanda pasokan rute. Pada bulan Mei 1881, ia berhasil menyerang benteng Belanda di
Lambaro, Groot Atjeh. Pada tahun 1891, sebuah Aceh di bawah gaji Belanda tewas Chik di Tiro
oleh keracunan makanan nya.
14.Habib Abdoerrachman Al-Zahir,

Habib Abdoerrachman Al-Zahir,


Abdoerrachman Habib Al-Zahir, seorang ulama Turki, melakukan perjalanan ke Turki untuk
mengumpulkan dukungan untuk Aceh dari Kekaisaran Ottoman, negara muslim kepala pada saat
itu; ke Singapura di mana ia bertemu dengan konsul Amerika Serikat, dan Penang di mana ia
berjanji Inggris pulau Sabang jika mereka akan membantu Aceh melawan Belanda.
Gagal dalam usahanya, Habib Abdoerrachman menyerah kepada Belanda di Koetaradja pada
bulan Juli 1878, dijamin subsidi tahunan sebesar $ 500 dari pemerintah Belanda, kemudian
berlayar kembali ke Istanbul di mana ia meninggal pada tahun 1902.
15.Tjoet Nja Dhien (1850-1908),

Tjoet Nja Dhien (1850-1908),


Tjoet Nja Dhien (1850-1908), seorang pemimpin gerilya terkenal WANITA dari Lampisang, di
barat Koetaradja. Dia memimpin unit pertama di bawah ayahnya, Nanta Setia dan suami, Teuku
Ibrahim dalam pertempuran berhasil dalam 1870-an. Pada tahun 1881 suaminya tewas dalam

pertempuran, dimana dia menikah dengan sepupunya Teuku Umar, pemimpin gerilya yang lain.
Teuku Umar (1854-1899), pemimpin kontingen dari Aceh Barat dalam memerangi sekitar
Koetaradja. Ayahnya Mahmoed adalah saudara Nanta Setia, Tjoet Nja ayah dari Dhien yang
dinikahinya pada tahun 1884.Setelah sepuluh tahun sebagai pemimpin gerilya yang efektif
melawan Belanda, Teuku Umar menyerah kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893,
menerima gelar Teuku Djohan Pahlawan, Tuhan Hero-Pemenang dan sejumlah besar senjata
dan amunisi untuk membantu pemberontak melawan Belanda lainnya.
Teuku Umar (duduk kiri), sebagian mengenakan seragam Belanda.
16.Teuku Umar (1854-1899),

.
Teuku Umar (1854-1899),
Teuku Umar (1854-1899), pemimpin kontingen dari Aceh Barat dalam memerangi sekitar
Koetaradja. Ayahnya Mahmoed adalah saudara Nanta Setia, Tjoet Nja ayah dari Dhien yang
dinikahinya pada tahun 1884.Setelah sepuluh tahun sebagai pemimpin gerilya yang efektif
melawan Belanda, Teuku Umar menyerah kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893,
menerima gelar Teuku Djohan Pahlawan, Tuhan Hero-Pemenang dan sejumlah besar senjata
dan amunisi untuk membantu pemberontak melawan Belanda lainnya.
Teuku Umar (duduk kiri), sebagian mengenakan seragam Belanda.
Pada tahun 1896, Teuku Umar meninggalkan Belanda, tercatat dari 880 senapan, 25.000 peluru,
500 kg bahan peledak, 5000 kg bola memimpin, dan $ 18.000 senilai uang kembali ke hutan.
Ini luar biasa mengeksploitasi mengirim gelombang listrik sampai ke Belanda. Sebuah puisi
yang populer dinyanyikan oleh Belanda:
Teuku Umar mati hangen Moet
Aan en touw, aan en touw
Teuku Umar en zijn vrouw
arti
Teuku Umar harus digantung
Pada tali, pada tali
Teuku Umar dan istrinya! Setelah mendengar akta Teuku Umar, Ratu Wilhelmina dan Janda
Emma mengirim telegram kepada komandan Belanda di Koetaradja meminta mereka
memulihkan kehormatan hilang dijatuhkan atas nama Belanda.
Tiga tahun kemudian, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan 800 anak buahnya disergap oleh
20 orang tentara Marechausse khusus dekat Meulaboh, Aceh Barat. Umar ditembak di dada dan
meninggal hari kemudian di depan istrinya, Tjoet Nja Dhien.
17.Teuku Djohan Pahlawan
pemimpin kontingen dari Aceh Barat dalam memerangi sekitar Koetaradja. Ayahnya Mahmoed
adalah saudara Nanta Setia, Tjoet Nja ayah dari Dhien yang dinikahinya pada tahun 1884.Setelah
sepuluh tahun sebagai pemimpin gerilya yang efektif melawan Belanda, Teuku Umar menyerah
kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893, menerima gelar Teuku Djohan Pahlawan,
Tuhan Hero-Pemenang dan sejumlah besar senjata dan amunisi untuk membantu pemberontak

melawan Belanda lainnya.


Teuku Umar (duduk kiri), sebagian mengenakan seragam Belanda.Pada tahun 1896, Teuku Umar
meninggalkan Belanda, tercatat dari 880 senapan, 25.000 peluru, 500 kg bahan peledak, 5000 kg
bola memimpin, dan $ 18.000 senilai uang kembali ke hutan.Ini luar biasa mengeksploitasi
mengirim gelombang listrik sampai ke Belanda. Sebuah puisi yang populer dinyanyikan oleh
Belanda:
Teuku Umar mati hangen Moet
Aan en touw, aan en touw
Teuku Umar en zijn vrouw
arti
Teuku Umar harus digantung
Pada tali, pada tali
Teuku Umar dan istrinya! Setelah mendengar akta Teuku Umar, Ratu Wilhelmina dan Janda
Emma mengirim telegram kepada komandan Belanda di Koetaradja meminta mereka
memulihkan kehormatan hilang dijatuhkan atas nama Belanda.
Tiga tahun kemudian, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan 800 anak buahnya disergap oleh
20 orang tentara Marechausse khusus dekat Meulaboh, Aceh Barat. Umar ditembak di dada dan
meninggal hari kemudian di depan istrinya, Tjoet Nja Dhien.
Belanda peringatan di situs jatuhnya Teuku Umar pada Februari 1899
Tjoet Nja Dhien dan Pang Laot setelah penangkapan itu.
Tjoet Nja Dhien lanjutan perang gerilya di daerah Aceh Barat, assited oleh Pang Laot. Tahun
tinggal di hutan menyebabkan dia buta dan dia juga menderita rematik, namun ia menolak untuk
menyerah. Pada 16 Oktober 1905, Pang Laot, tidak dapat membiarkan Tjoet Nja Dhien
menderita lagi, memimpin skuad Belanda di bawah Marechausse Luitenant Van Vuuren ke
tempat persembunyian-nya.Dia ditangkap dan diasingkan ke Jawa Barat, di mana dia meninggal
pada tahun 1908.
Perang Aceh!! Setelah 30 tahun perang tak berujung tanpa prospek untuk menang, pemimpin
gerilya Aceh mulai menyerah. Pada tanggal 5 Januari 1903, Sultan Mohammad Daoed, sekarang
33 tahun, menyerah di Sigli setelah tinggal di hutan selama 30 tahun!

leader of contingent from West Aceh in fighting around Koetaradja. His father Mahmoed is the
brother of Nanta Setia, father of Tjoet Nja Dhien whom he married in 1884. After ten years as
effective guerilla leader against the Dutch, Teuku Umar surrendered to the Dutch on 30
September 1893, receiving the title Teuku Djohan Pahlawan, Lord Hero-Winner and
substantial amount of guns and ammunition to help the Dutch fight other insurgents.

Teuku Umar (sitting left), partially wearing Dutch uniform.


Pada tahun 1896, Teuku Umar meninggalkan Belanda, tercatat dari 880 senapan, 25.000 peluru,
500 kg bahan peledak, 5000 kg bola memimpin, dan $ 18.000 senilai uang kembali ke hutan.

Ini luar biasa mengeksploitasi mengirim gelombang listrik sampai ke Belanda. Sebuah puisi
yang populer dinyanyikan oleh Belanda:
Teuku Umar mati hangen Moet
Aan en touw, aan en touw
Teuku Umar en zijn vrouw
arti
Teuku Umar harus digantung
Pada tali, pada tali
Teuku Umar dan istrinya! Setelah mendengar akta Teuku Umar, Ratu Wilhelmina dan Janda
Emma mengirim telegram kepada komandan Belanda di Koetaradja meminta mereka
memulihkan kehormatan hilang dijatuhkan atas nama Belanda.
Tiga tahun kemudian, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan 800 anak buahnya disergap oleh
20 orang tentara Marechausse khusus dekat Meulaboh, Aceh Barat. Umar ditembak di dada dan
meninggal hari kemudian di depan istrinya, Tjoet Nja Dhien.

Belanda peringatan di situs jatuhnya Teuku Umar pada Februari 1899

Tjoet Nja Dhien dan Pang Laot setelah penangkapan itu.


Tjoet Nja Dhien lanjutan perang gerilya di daerah Aceh Barat, assited oleh Pang Laot. Tahun
tinggal di hutan menyebabkan dia buta dan dia juga menderita rematik, namun ia menolak untuk
menyerah. Pada 16 Oktober 1905, Pang Laot, tidak dapat membiarkan Tjoet Nja Dhien
menderita lagi, memimpin skuad Belanda di bawah Marechausse Luitenant Van Vuuren ke
tempat persembunyian-nya.Dia ditangkap dan diasingkan ke Jawa Barat, di mana dia meninggal
pada tahun 1908.
Perang Aceh!! Setelah 30 tahun perang tak berujung tanpa prospek untuk menang, pemimpin
gerilya Aceh mulai menyerah. Pada tanggal 5 Januari 1903, Sultan Mohammad Daoed, sekarang
33 tahun, menyerah di Sigli setelah tinggal di hutan selama 30 tahun!

Sultan Mohammad Daoed BERSUMPAH SETIA kepada photo Ratu Wilhelmina di atjeh
n February 1903.

Sultan Mohammad Daoed on January 1903 after his surrender in Sigli, Pidie. He abdicate from
the throne, and acknowledged the suzerainity of Queen Wilhelmina over his former
sultanate of Atjeh. He spend his days under Dutch house-arrest in Koetaradja and died there in

1928.
Panglima Polim Sri Moeda Perkasa Shah (centre), who had fought the Dutch in Koetaradja
since 1873 and was a guerilla leader in Lhokseumawe area, surrendered to the Dutch Kapitein
Hendricus Colijn (third from right) in Lhokseumawe in 6 September 1903, together with 150 of
his men. He was given the post raja of Sigli by the Dutch. In 1928, Panglima Polim received the

cross of Nassau-Oranje Orde


Old Panglima Polim, raja of Sigli, wearing medal of The House of Orange in 1938, one year
before his death.The Dutch Point of View
Throughout the 1880s, Dutch control over Aceh is limited in Koetaradja and its surrounds, while
cooperative local rulers allowed the Dutch footholds in Idi, Langsa, Lhokseumawe, Meulaboh,
Tapaktuan, and Trumon. The Dutch were unable to contol the rural areas due to its unfamiliarity

to guerilla warfare.
To protect Koetaradja from constant Acehnese raids, Generaal van der Heyden decided to
establish a line of 16 forts linked with barbed wire, telephone and telegraph lines, and a tramline.
This fortification system is called the concentration line (geconcentreerde linie) and was

finished in 1884.
Dutch family on the concentration line tramline, 1880s

Damaged tramcar line after Acehnese attack, 1890s

Unable to defeat the Acehnese militarily, the Dutch tried a cultural approach. They asked the
advice of Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1933), an expert on Islam who had visited
Mecca in 1884 posing as an Arab. His advice was basically to woo the Acehnese nobility
(uleebalang) and crush the remaining resistance mercilessly.
Koloneel, later Generaal Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924)

In accordance the advice of Snouck Hurgronje, a Dutch officer named Koloneel, later Generaal
Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924) came up with the idea of highly mobile and
independent units capable of fighting the Acehnese insurgents deep in the jungles, at the home of

the guerillas themselves.


The idea was realised in 1896 with the establishment of Korps Marechausse. Each of its units
consisted of 20 native soldiers (due to their natural ability to live in the jungle) led by a Dutch
officer and an Ambonese corporal. Each soldier was armed with the new M95 self-loading rifle
and a klewang, a native sword. Their motto was Berani soempah! (Dare to swear)
First commander of the Korps Marechausse, Kapitein Jonkheer GJWCH )

First commander of the Korps Marechausse, Kapitein Jonkheer GJWCH Graafland

Ceremonial uniform of the Korps Marechausse, worn by a Luitenant Geldorp

The regimental banner of the Korps Marechausse

Generaal van Heutsz(centre) watching the assault on Acehnese fortress Batee Iliek in Tiro,
Pidie on 3 February 1901. To his right were Kolonel van Dussen, Majoor Doorman, Kapitein
Spruijt, Luitenant Schutstal van Woudenberg, and controleur Frijling. The defeated Acehnese lost
71 men, the Dutch lost 5 killed and 37 wounded.

Van Heutsz was military governor of Aceh fron 1898-1904. He became governor-general of the
Netherlands East Indies from 1904-1909. He later returned to Europe and died in Montreux in
1924. Above picture was the Van Heutsz Memorial in Koetaradja in 1932.

Van Heutsz Monument in Batavia (Jakarta), demolished in 1945

Van Heutsz Monument in Vijzelstraat 32 Amsterdam. His son, Johannes Benedictus van
Heutsz Jr joined the German army during World War II, reaching the rank SS-Sturmbahnfuhrer
der Waffen-SS, and was killed in Russia in 1943.Van Heutsz is credited as the first person in
history to unite the Indonesian Archipelago under one political unit. In his Amsterdam
Monument, the epitaph was written:JB VAN HEUTSZ
GOUVERNEUR-GENERAAL VAN NEDERLANDS-INDIE
1904 TOT 1909
HIJ SCHIEP ORDE, RUST, EN WELVAART
EN HEEFT DE VOLKEN VAN NEDERLANDS-INDIE
TOT EEN EENHEID GESMEED
meaning
JB VAN HEUTSZ
GOVERNOR-GENERAL OF NETHERLANDS INDIES
1904 TO 1909
HE SHAPED ORDER, PEACE, AND WELFARE
AND GUIDE THE PEOPLE OF NETHERLANDS INDIES

TOWARDS THE GATE OF UNITY


Koos Speenhoff and Caesarina Speenhoff-Prinz (1907), anti-war folk singers who specialised
in slamming the bloody Dutch war in Aceh.
purnomor
Aug 31 2004, 06:15 PM

Aceh War !!Other Dutch generals:


Luitenant-Kolonel HNA Swart (1857-1922), ruthlessly eliminated Acehnese guerillas in
Lhokseumawe-Bireuen area, govenor of Atjeh 1908-1912, vice-president of Raad van Indie
(Indies Council advising the governor-general) in Batavia till his death in 1922. His governorship
on Aceh saw the last guerilla bands destroyed by Marechaussetroops, hence he was known as

pacifier of Aceh.

Luitenant Hendrikus Colijn(1869-1944), adjudant to van Heutsz, the person receiving


surrender of Panglima Polim, later Prime Minister of The Netherlands (1925-1926; 1933-1939).

Colijn died under German custody in 1944.


Kapitein Heinz Christoffel, organised Tijger Colonne that devastate the Panton Laboe and Pidie
areas, destroying the guerillas base there. He received the Militaire Willemsordeand later led the
Dutch pacification of Flores, Buton, and East Borneo in 1907-1912.

Christoffel leading a Tijger Colonnein Aceh


Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (1863-1930),

Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (1863-1930), Dutch colonel who devastate the
Gayo-Alas area from February-July 1904, subjugating the highland tribes under Dutch rule. His
method was known as van-daal-isme(van-daal-ism).

Van Daalen resting on the hanging cot while leading a patrol into Gayo Highlands in 1904

Men of Korps Marechausse posing after a sucessful operation.

Korps Marechausse men in their egelstellingporcupine formation in Aceh.

Captured Acehnese guerillas.


Medals given to veterans of Aceh War in 1870s, bearing the likeness of Dutch king Willem III,
father of future Queen Wilhelmina

A Surabaya restaurant 1902 menu celebrated recent Dutch victories over Indonesians in Aceh
and elsewhere in the archipelago by naming its dishes after vanquished Indonesian cities

Aceh War veterans reunion in 1938.


Toekoe Oemar Spel, a popular childrens game in 1890s Netherlands involving 25 white
figurines (Dutch soldiers) chasing one black figure (Teuku Umar)!

Dutch anti-war cartoon from 1900 ridiculing the awarding of Militaire Willemsordeto

bloodhounds.
Another cartoon depicting Dutch missionaries spreading the Bible to pacified natives.Aug 31
2004, 10:26 PM
That fu-king dutch troop did genocide to Achehnese Gayo civillian.
The way they won the war by killing all civillian related to Achehnese warrior.
the barbaric act done by fanatic Cristian Ambonese soldier and some of
them also Javanse soldier which Indonesian who fought against dutch called
them at that time black dutch since Ambonese is black/dark skin typical
melanesian. They are more cruel than dutch itself.

Remnants of Koeta Reh village in Gayo Highlands after a vist by van


Daalen

SUMBER-SUMBER

Buku sejarah Indonesia. Penerbit erlangga

http://www.sejarahnusantara.com/sejarah-aceh/sejarah-perang-acehmelawan-belanda-1873-1904-10038.htm

http://sefrian92.blogspot.co.id/2011/02/perang-aceh-perlawananterhadap.html

https://driwancybermuseum.wordpress.com/2011/05/07/koleksi-langkadokumen-dan-gambar-perang-aceh-akhir-abad-xix-sampai-awal-abad-xx/

Anda mungkin juga menyukai