ACEH
NAMA KELOMPOK
(13)
(22)
(24)
(16)
Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai
1904.Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya
terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh,& mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Khler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman
latar belakang terjadinya perang Aceh
Perang Aceh dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya yaitu :
a)
b)
c)
Ditandatanganinya perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda pada 1871 yang
melanggar isi Traktat London 1824.
Kebijakan Inggris terhadap Aceh mengalami perubahan pada tahun 1860-an dan tidak
lagi memberi kedaulatan penuh bagi Aceh. Ketika persaingan diantara kekuatankekuatan Eropa untuk mendapatkan daerah jajahan meningkat, maka London
memutuskan lebih baik Belanda yang menguasai Aceh dari pada negara yang lebih kuat
16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavalj namun tak dapat menduduki lebih lanjut
karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas& terluka. Serdadu Belanda
tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut.Di samping itu, jumlah artileri
[berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh.Mereka sendiri harus menarik diri
dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi
dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.
Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir
bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak
dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat
itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit.
Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan
ekspedisi itu.Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para
bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka.Penyelidikan tersebut kemudian
juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan perang kertas sesudah Perang Aceh I
[dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].
Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade
II GCE.van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama
itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg
merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi
sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah
kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian
meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui
bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan
senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan
Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang
tunjangan pensiun.Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada
tanggal 12 Mei 1874.Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper
bertulisan ATJEH 1873-1874 pada pita Ereteken voor Belangrijke
Krijgsbedrijven.Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en
Trouw.
Perang Aceh Kedua
Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil
menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan
Belanda.31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi
bagian dari Kerajaan Belanda.Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid
Indragiri.
Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873
sesudah kegagalan serangan pertama.Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai
seluruh Nusantara.Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8.500 prajurit,
4.500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1.500 pasukan.Pasukan Belanda & Aceh
sama-sama menderita kolera.Sekitar 1.400 prajurit kolonial meninggal antara bulan
November 1873 sampai April 1874.
Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir
mereka telah menang perang.Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan &
dianeksasi.Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg
dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, &
sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku
Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah
[berkuasa 1874-1903].
Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan
mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, &
tempat-tempat lain.
Perang Aceh Ketiga,
Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang
fisabilillah.Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.Perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan.Pada
tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku
Umar gugur.Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan
perang gerilya.
Perang Aceh Keempat
Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.
Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marchausse yg
dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu &
menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari &
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan
cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik
permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].
Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim.Akibatnya, Sultan menyerah pada
tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai.Van der Maaten dengan diam-diam menyergap
Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap
putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga
terdekatnya.Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe
pada Desember 1903.Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat
yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2.922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari
1.773 laki-laki& 1. 149 perempuan.Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku
Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat
ditangkap & diasingkan ke Sumedang.
Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat
Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah
tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja
[Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak
akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi
seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.
Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang
dengan para pemimpin setempat.Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai
Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda
meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat].Hal ini berlanjut sampai Belanda
enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].
a) Waktu perang Aceh yang sangat lama yakni sekitar tahun 1873-1904 sangat menguras
kas keuangan Belanda dan juga menimbulkan jatuhnya banyak korban dari pihak
Belanda. Bahkan panglima perang Belanda untuk perang Aceh yang pertama yakni
Kohler juga gugur dalam penyerangan.
b) Belanda dapat mengetahui kelemahan dari pertahanan rakyat Aceh. Yakni lewat
penyelidikan yang dilakukan oleh Dr. Snouck Hurgronje. Akhirnya dapat diketahui
bahwa peran ulama dan bangsawan sangat penting bagi persatuan rakyat Aceh
c) .Walaupun Belanda harus berjuang bertahun-tahun dalam melakukan penyerangan guna
menakhlukkan Aceh, namun pada akhirnya Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda.
dengan kemenangan dipihak Belanda. Setelah berhasil menguasai seluruh Aceh, jenderal
Hindia Belanda untuk Aceh, yakni Van Heutz memaksa Sultan Aceh untuk
menandatangani perjanjian yang berisi tentang pengakuan kedaulatan Hindia Belanda
oleh Aceh dan sultan aceh harus tunduk dengan perintah Belanda. hal tersebut sudah
menghilangkan hak Aceh untuk merdeka.
Invasi Aceh pada tahun 1873 merupakan gagasan Ishak Dignus Fransen van de Putte (18221902), Menteri Koloni Belanda, untuk mencegah perambahan oleh Inggris ke Sumatera dari
koloni Inggris di Semenanjung Melayu
2.governor-general in Batavia (now Jakarta), James Loudon(1824-1900)
,
Ide Van de Puttes idea didukung secara kuat oleh teman baiknya Gubernur Jendral Hindia
Belanda di Batavia(Jakarta), James Loudon(1824-1900)
3.Peta Invasi Pertama Ke Aceh tahun 1873 dan keberhasilan invasi kedua tahun 1874
4.DokumenSurat Kabar Java Bode 10 April !873 ,berisi laporan keberhasilan invasi pertama ke
Aceh
Setelah berhasil menduduki istana kerajaan, van Swieten menyatakan kemenangan dan
membuka peti sampanye untuk merayakan.Gubernur Jenderal Loudon Menteri telegramed van
de Putte kembali di Belanda, memberitahukan bahwa Aceh adalah ons, Aceh milik kita.
Menurut pengalaman masa lalu, perang penaklukan Belanda lainnya di Indonesia biasanya
dimenangkan oleh menduduki ibukota wilayah tertentu yang akan ditaklukkan. Hal ini tidak
terjadi di Aceh.Setelah usaha yang gagal untuk merebut kembali Koetaradja, oleh April 1874
Aceh telah melunasi untuk meletakkan pengepungan di kota, memotong semua pasokan dari
datang dari interior. Jalan antara Koetaradja dan port Oelee-Lhee, di mana pasokan Belanda
datang dari, ini tidak aman karena serangan Aceh sering. Dengan 1875, 25% dari pasukan
Belanda di Koetaradja telah mengeluarkan tindakan oleh penyakit, kelaparan, dan luka perang.
10.JENDRAL SWEITEN DIANUGERAHKAN MEDALI MILLITAIRE WILLIAMORDE
Bertepatan dengan PERINGAT 25 TAHUN JUBILUEM penobatan Raja Willem III pada tahun
1874, Generaal van Swieten menerima medali Militaire Willemsorde di atas untuk
kemenangan di atas rakyat Aceh. Namun, pada 1875, hanya sekitar 0,1% dari Aceh berada di
bawah kekuasaan Belanda, yang Koetaradja dan pelabuhan Oelee-Lhee.
11.MAKAM JENDRAL VAN PEL YANG MENGANTIKAN JENDRAL SWEIFT
Pada bulan Mei 1875, Generaal van Swieten, 68 tahun dan usia pensiun baik di atas, diserahkan
perintah untuk Generaal-Majoor Pieter Cornelius van Pel (foto dan kuburan Jakarta atas) masa
Van Pel melihat. meningkatnya serangan Aceh pada daerah Belanda-diadakan di sekitar
Koetaradja. Belanda kehilangan kendali atas Peukan Bada, Blang Kala Pass, Pagar Ajer, dan
pinggiran Koetaradja dari Moekim IX dan VI.Kerugian ini disebabkan bencana Generaal-Majoor
van Pel kembali dapat diingat. Dia berlayar ke Batavia pada tanggal 1877, diganti dengan
bermata satu Generaal van der Heyden Karel
12. Generaal Karel van der Heyden (1824-1901),
Di antara tokoh-tokoh penting perlawanan Aceh di bagian awal perang adalah Tengku Chik di
Tiro, seorang ulama Islam yang memimpin kontingen Aceh dari Pidie dalam pertempuran di
sekitar Koetaradja.Dia menyatakan jihad, perang suci melawan penjajah Belanda kafir yang telah
membakar masjid Baiturrahman, pusat Aceh Islam.Ia memutuskan perang suatu sabil Perang, di
mana Aceh dibunuh oleh Belanda akan dipastikan tempat di surga. Pada tahun 1876, dia
memimpin penobatan kembali anak Sultan Muhammad Daud di Indrapoeri Masjid sebagai
lambang kelanjutan dari Aceh sultanate.Militarily, ia meluncurkan serangan seaborne gagal di
pulau-pulau Breueh dan Nasi off Koetaradja pada tahun 1880, mencoba untuk mengganggu laut
Belanda pasokan rute. Pada bulan Mei 1881, ia berhasil menyerang benteng Belanda di
Lambaro, Groot Atjeh. Pada tahun 1891, sebuah Aceh di bawah gaji Belanda tewas Chik di Tiro
oleh keracunan makanan nya.
14.Habib Abdoerrachman Al-Zahir,
pertempuran, dimana dia menikah dengan sepupunya Teuku Umar, pemimpin gerilya yang lain.
Teuku Umar (1854-1899), pemimpin kontingen dari Aceh Barat dalam memerangi sekitar
Koetaradja. Ayahnya Mahmoed adalah saudara Nanta Setia, Tjoet Nja ayah dari Dhien yang
dinikahinya pada tahun 1884.Setelah sepuluh tahun sebagai pemimpin gerilya yang efektif
melawan Belanda, Teuku Umar menyerah kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893,
menerima gelar Teuku Djohan Pahlawan, Tuhan Hero-Pemenang dan sejumlah besar senjata
dan amunisi untuk membantu pemberontak melawan Belanda lainnya.
Teuku Umar (duduk kiri), sebagian mengenakan seragam Belanda.
16.Teuku Umar (1854-1899),
.
Teuku Umar (1854-1899),
Teuku Umar (1854-1899), pemimpin kontingen dari Aceh Barat dalam memerangi sekitar
Koetaradja. Ayahnya Mahmoed adalah saudara Nanta Setia, Tjoet Nja ayah dari Dhien yang
dinikahinya pada tahun 1884.Setelah sepuluh tahun sebagai pemimpin gerilya yang efektif
melawan Belanda, Teuku Umar menyerah kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893,
menerima gelar Teuku Djohan Pahlawan, Tuhan Hero-Pemenang dan sejumlah besar senjata
dan amunisi untuk membantu pemberontak melawan Belanda lainnya.
Teuku Umar (duduk kiri), sebagian mengenakan seragam Belanda.
Pada tahun 1896, Teuku Umar meninggalkan Belanda, tercatat dari 880 senapan, 25.000 peluru,
500 kg bahan peledak, 5000 kg bola memimpin, dan $ 18.000 senilai uang kembali ke hutan.
Ini luar biasa mengeksploitasi mengirim gelombang listrik sampai ke Belanda. Sebuah puisi
yang populer dinyanyikan oleh Belanda:
Teuku Umar mati hangen Moet
Aan en touw, aan en touw
Teuku Umar en zijn vrouw
arti
Teuku Umar harus digantung
Pada tali, pada tali
Teuku Umar dan istrinya! Setelah mendengar akta Teuku Umar, Ratu Wilhelmina dan Janda
Emma mengirim telegram kepada komandan Belanda di Koetaradja meminta mereka
memulihkan kehormatan hilang dijatuhkan atas nama Belanda.
Tiga tahun kemudian, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan 800 anak buahnya disergap oleh
20 orang tentara Marechausse khusus dekat Meulaboh, Aceh Barat. Umar ditembak di dada dan
meninggal hari kemudian di depan istrinya, Tjoet Nja Dhien.
17.Teuku Djohan Pahlawan
pemimpin kontingen dari Aceh Barat dalam memerangi sekitar Koetaradja. Ayahnya Mahmoed
adalah saudara Nanta Setia, Tjoet Nja ayah dari Dhien yang dinikahinya pada tahun 1884.Setelah
sepuluh tahun sebagai pemimpin gerilya yang efektif melawan Belanda, Teuku Umar menyerah
kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893, menerima gelar Teuku Djohan Pahlawan,
Tuhan Hero-Pemenang dan sejumlah besar senjata dan amunisi untuk membantu pemberontak
leader of contingent from West Aceh in fighting around Koetaradja. His father Mahmoed is the
brother of Nanta Setia, father of Tjoet Nja Dhien whom he married in 1884. After ten years as
effective guerilla leader against the Dutch, Teuku Umar surrendered to the Dutch on 30
September 1893, receiving the title Teuku Djohan Pahlawan, Lord Hero-Winner and
substantial amount of guns and ammunition to help the Dutch fight other insurgents.
Ini luar biasa mengeksploitasi mengirim gelombang listrik sampai ke Belanda. Sebuah puisi
yang populer dinyanyikan oleh Belanda:
Teuku Umar mati hangen Moet
Aan en touw, aan en touw
Teuku Umar en zijn vrouw
arti
Teuku Umar harus digantung
Pada tali, pada tali
Teuku Umar dan istrinya! Setelah mendengar akta Teuku Umar, Ratu Wilhelmina dan Janda
Emma mengirim telegram kepada komandan Belanda di Koetaradja meminta mereka
memulihkan kehormatan hilang dijatuhkan atas nama Belanda.
Tiga tahun kemudian, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan 800 anak buahnya disergap oleh
20 orang tentara Marechausse khusus dekat Meulaboh, Aceh Barat. Umar ditembak di dada dan
meninggal hari kemudian di depan istrinya, Tjoet Nja Dhien.
Sultan Mohammad Daoed BERSUMPAH SETIA kepada photo Ratu Wilhelmina di atjeh
n February 1903.
Sultan Mohammad Daoed on January 1903 after his surrender in Sigli, Pidie. He abdicate from
the throne, and acknowledged the suzerainity of Queen Wilhelmina over his former
sultanate of Atjeh. He spend his days under Dutch house-arrest in Koetaradja and died there in
1928.
Panglima Polim Sri Moeda Perkasa Shah (centre), who had fought the Dutch in Koetaradja
since 1873 and was a guerilla leader in Lhokseumawe area, surrendered to the Dutch Kapitein
Hendricus Colijn (third from right) in Lhokseumawe in 6 September 1903, together with 150 of
his men. He was given the post raja of Sigli by the Dutch. In 1928, Panglima Polim received the
to guerilla warfare.
To protect Koetaradja from constant Acehnese raids, Generaal van der Heyden decided to
establish a line of 16 forts linked with barbed wire, telephone and telegraph lines, and a tramline.
This fortification system is called the concentration line (geconcentreerde linie) and was
finished in 1884.
Dutch family on the concentration line tramline, 1880s
Unable to defeat the Acehnese militarily, the Dutch tried a cultural approach. They asked the
advice of Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1933), an expert on Islam who had visited
Mecca in 1884 posing as an Arab. His advice was basically to woo the Acehnese nobility
(uleebalang) and crush the remaining resistance mercilessly.
Koloneel, later Generaal Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924)
In accordance the advice of Snouck Hurgronje, a Dutch officer named Koloneel, later Generaal
Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924) came up with the idea of highly mobile and
independent units capable of fighting the Acehnese insurgents deep in the jungles, at the home of
Generaal van Heutsz(centre) watching the assault on Acehnese fortress Batee Iliek in Tiro,
Pidie on 3 February 1901. To his right were Kolonel van Dussen, Majoor Doorman, Kapitein
Spruijt, Luitenant Schutstal van Woudenberg, and controleur Frijling. The defeated Acehnese lost
71 men, the Dutch lost 5 killed and 37 wounded.
Van Heutsz was military governor of Aceh fron 1898-1904. He became governor-general of the
Netherlands East Indies from 1904-1909. He later returned to Europe and died in Montreux in
1924. Above picture was the Van Heutsz Memorial in Koetaradja in 1932.
Van Heutsz Monument in Vijzelstraat 32 Amsterdam. His son, Johannes Benedictus van
Heutsz Jr joined the German army during World War II, reaching the rank SS-Sturmbahnfuhrer
der Waffen-SS, and was killed in Russia in 1943.Van Heutsz is credited as the first person in
history to unite the Indonesian Archipelago under one political unit. In his Amsterdam
Monument, the epitaph was written:JB VAN HEUTSZ
GOUVERNEUR-GENERAAL VAN NEDERLANDS-INDIE
1904 TOT 1909
HIJ SCHIEP ORDE, RUST, EN WELVAART
EN HEEFT DE VOLKEN VAN NEDERLANDS-INDIE
TOT EEN EENHEID GESMEED
meaning
JB VAN HEUTSZ
GOVERNOR-GENERAL OF NETHERLANDS INDIES
1904 TO 1909
HE SHAPED ORDER, PEACE, AND WELFARE
AND GUIDE THE PEOPLE OF NETHERLANDS INDIES
pacifier of Aceh.
Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (1863-1930), Dutch colonel who devastate the
Gayo-Alas area from February-July 1904, subjugating the highland tribes under Dutch rule. His
method was known as van-daal-isme(van-daal-ism).
Van Daalen resting on the hanging cot while leading a patrol into Gayo Highlands in 1904
A Surabaya restaurant 1902 menu celebrated recent Dutch victories over Indonesians in Aceh
and elsewhere in the archipelago by naming its dishes after vanquished Indonesian cities
Dutch anti-war cartoon from 1900 ridiculing the awarding of Militaire Willemsordeto
bloodhounds.
Another cartoon depicting Dutch missionaries spreading the Bible to pacified natives.Aug 31
2004, 10:26 PM
That fu-king dutch troop did genocide to Achehnese Gayo civillian.
The way they won the war by killing all civillian related to Achehnese warrior.
the barbaric act done by fanatic Cristian Ambonese soldier and some of
them also Javanse soldier which Indonesian who fought against dutch called
them at that time black dutch since Ambonese is black/dark skin typical
melanesian. They are more cruel than dutch itself.
SUMBER-SUMBER
http://www.sejarahnusantara.com/sejarah-aceh/sejarah-perang-acehmelawan-belanda-1873-1904-10038.htm
http://sefrian92.blogspot.co.id/2011/02/perang-aceh-perlawananterhadap.html
https://driwancybermuseum.wordpress.com/2011/05/07/koleksi-langkadokumen-dan-gambar-perang-aceh-akhir-abad-xix-sampai-awal-abad-xx/