Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah
bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke
Aceh. Dengan demikian perdagangan di Aceh semakin ramai.
Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai
ancaman, oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada
tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues,
dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza.
Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat
perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di
manapun berada. Tindakan kapal-kapal Potugis telah mendorong munculnya
perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah
antara lain :
Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, Meriam dan
prajurit.
Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli
dari Turki pada tahun 1567.
Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639). berusaha untuk
melipat gandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapalkapal besar. Pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka.
Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk.
Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil
mengusir Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah
VOC pada tahun 1641. Tujuan VOC mengusir Portugis dari Malaka adalah :
Belanda ingin menguasai Malaka dari aspek politik dan ekonomi
Belanda ingin memperluas akses seluas-luasnya bagi pengusaha-pengusaha
asing untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia
Belanda ingin membebaskan pulau-pulau yang potensial SDA dari negaranegara lain termasuk Portugis
Perang Aceh
Perang Aceh merupakan perang yang berlangsung antara kerajaan Aceh dan
Belanda. Perang tersebut berlangsung kurang lebih sekitar tahun 1873 -1904.
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Khler. Khler dengan 3000
serdadunya dapat dipatahkan, di mana Khler sendiri tewas pada tanggal 14
April 1873.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan
van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874,
dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874
Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari
Kerajaan Belanda.