Anda di halaman 1dari 4

Perlawanan rakyat aceh

pengertian
Perlawanan rakyat Aceh dalam mengusir penjajah Belanda atau yang disebut Perang Aceh
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Dalam sejarahnya, Perang Aceh terjadi pada tahun 1873
dan berakhir pada 8 Februari 1904. Artinya, perang ini berlangsung selama 31 tahun. Pada akhirnya,
Belanda berhasil menguasai Aceh sepenuhnya pada 1904 dengan pembubaran Kesultanan Aceh.
Belanda juga membentuk Karesidenan Aceh sebagai wujud kontrol kolonial terhadap Tanah Rencong
itu.

Latar belakang perang aceh


Perang Aceh terjadi karena keinginan Belanda menguasai wilayah Kesultanan Aceh yang menjadi
sangat penting setelah Terusan Suez dibuka. Sebelum Perang Aceh terjadi, Belanda berhasil
menguasai wilayah Kesultanan Deli, mulai dari Langkat, Asahan, hingga Serdang melalui Perjanjian
Siak tahun 1858. Padahal, wilayah-wilayah tersebut sebenarnya masuk ke dalam kekuasaan
Kesultanan Aceh. Sebelumnya, merujuk pada Perjanjian London 1824, Belanda harusnya mengakui
kedaulatan Kesultanan Aceh atas wilayah-wilayahnya. Namun, dengan adanya Perjanjian Siak dan
masuknya Belanda ke beberapa wilayah Aceh, membuat Kesultanan Aceh geram dan menuding
Belanda melanggar Perjanjian London 1824

Sejak saat itu ketegangan pun meningkat. Kesultanan Aceh menenggelamkan setiap kapal milik
Belanda yang melintas di perairannya. Berikutnya pada tahun 1871, Belanda dan Inggris terlibat
perjanjian yang isinya antara lain Inggris menyerahkan urusan di Aceh kepada Belanda. Akibat
perjanjian itu, Kesultanan Aceh lantas mengadakan konta diplomatik dengan beberapa pihak seperti
Konsul Amerika Serikat, Italia, hingga Turki Utsmani yang ada di Singapura. Langkah diplomatik
Kesultanan Aceh itu dijadikan alasan Belanda untuk melakukan penyerangan terhadap Aceh.

Periode perang aceh


perang Aceh terjadi dalam empat periode, sepanjang tahun 1873 hingga 1904 itu. Periode pertama
Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga 1874. Saat itu pasukan Aceh dipimpin Panglima Polim
dan Sultan Mahmud Syah. Sementara serdadu Belanda bergerak dipimpin oleh Kohler dengan
kekuatan 3000 pasukan. Perang periode pertama ini dimenangkan rakyat Aceh, dengan tewasnya
Kohler pada 14 April 1872.

Periode kedua Perang Aceh terjadi pada tahun 1874 sampai 1880. Rakyat Belanda dalam periode
kedua ini dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood. Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Jan van
Swieten berhasil menguasai Istana Sultan Aceh pada 26 Januari 1874. Perang Aceh periode pertama
dan kedua ini tergolong perang total, dengan kekuasaan politik Aceh masih utuh meski pusat
pemerintahannya berpindah-pindah.

Sementara Perang Aceh periode ketiga terjadi pada 1881-1896. Dalam periode ini, rakyat Aceh
melancarkan strategi perang gerilya di bawah pimpinan Teuku Umar. Pada periode ketiga ini muncul
sejumlah tokoh Perang Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Cik di Tiro, Cut Meutia,
dan seterusnya. Adapun periode Perang Aceh keempat terjadi pada 1896 sampai 1910. Periode
keempat ini berlangsung secara sporadis, tanpa adanya komando dari pusat pemerintahan Aceh.

Akhir perang aceh


Untuk memenangkan Perang Aceh, Belanda menggunakan siasat berupa penyamaran Snouck
Hurgronje ke pedalaman Aceh. Tujuan penyamaran ini adalah untuk mengetahui titik lemah
perjuangan rakyat Aceh. Selama dua tahun menyamar, Snouck Hurgronje akhirnya bisa memberikan
sejumlah usul kepada Kerajaan Belanda untuk dapat mengalahkan Aceh. Usulan itu salah satunya
dengan merebut hati rakyat Aceh. Menurut Hurgronje, Belanda harus menunjukkan niat baik kepada
rakyat Aceh dengan pembangunan sarana prasarana seperti masjid, surau, jalan, dan sebagainya.
Siasat Snouck Hurgronje itu diterima dan dijalankan oleh Belanda. Alhasil lambat laun Belanda dapat
melemahkan kekuatan perlawanan Aceh.

Perang Aceh diakhiri dengan surat perjanjian tanda menyerah atau Traktat Pendek. Pada tahun 1903,
Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem menyerah setelah mengalami tekanan
luar biasa. Dalam perjanjian penyerahan diri itu, seluruh wilayah Aceh dikuasai Hindia Belanda dan
Kesultanan Aceh dibubarkan. Meski demikian, pada kenyataannya Belanda tidak sepenuhnya
menguasai Aceh. Selain itu, perlawanan demi perlawanan terus dilakukan oleh rakyat Aceh.

Versi singkap
Perang Aceh merupakan perang terlama dengan menghabiskan biaya paling besar selama abad 19
hingga 20. Kesultanan Aceh Darussalam tidak mau menyerah meski Belanda menggempur dan
menyerang kota Serambi Mekkah.

Dalam perjalanannya, Kesultanan Aceh Darussalam menjalin diplomasi untuk mencari dukungan
melawan kolonialisme Belanda hingga ke benua Amerika dan Eropa .

Dalam episode ini, Singkap menggali faktor apa saja yang membuat kawasan Aceh sangat sulit
ditaklukkan oleh Belanda dan taktik strategi perang apa yang diterapkan rakyat Aceh demi
mempertahankan Bumi Rencong dari serangan asing.

Sejarah mengungkap, banyak hal tak terduga bagaimana Aceh dengan ilmu pengetahuan dan
kekuatan diplomasinya menjadi kawasan penting di Asia Tenggara.

Perang Aceh adalah perang rakyat Aceh melawan Belanda tahun 1873 hingga 1904 diawali dengan
pendaratanyang dipimpin oleh Jenderal J.H.R Kohler di pantai Cermin.

Perang semakin memanas saat Kohler ditembak oleh pasukan Kesultanan Aceh Darussalam di depan
masjid Baiturrahman pada 14 April 1873. Kesultanan bersama rakyat Aceh melawan tanpa ampun
dengan menjalankan perang Sabil, perang sampai akhir hayat demi membela tanah air dan agama.

Strategi perang Sabil dan semangat rakyat ternyata mampu mengalahkan pasukan Belanda, namun
tahun 1904 Kesultanan tunduk pada politik adu domba Belanda. Meski kesultanan dibubarkan,
nyatanya perang melawan kolonialisme di Aceh masih berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia
tahun 1945..
Perlawanan Aceh Terhadap Portugis dan VOC
Kedatangan bangsa barat di Indonesia memengaruhi adanya berbagai penaklukan yang dilancarkan
satu sama lain. Perlawanan tersebut, salah satunya datang dari Aceh yang berperang melawan
Portugis dan VOC. Seperti apa jalannya peperangan antaran Aceh versus Portugis dan VOC? Berikut
pembahasannya: Dilansir dari Sejarah Indonesia Modern (2005) MC Ricklefs, pada masa tahun 1500-
1600 terjadi persaingan bandar perdagangan antara Aceh, Johor dan Malaka yang dikuasai oleh
Portugis. Aceh dipimpin oleh seorang pemimpin yang tangguh bernama Sultan Iskandar Muda. Di
masa pemerintahannya ia berhasil menakhlukan berbagai wilayah seperti di Aru dan di Johon hingga
menyebabkan Aceh menjadi negara yang terkuat di Nusantara bagian barat.

Penyerangan di malaka
Dalam Sejarah Indonesia: Masuknya Islam Hingga Kolonialisme (2020) oleh Ahmad Fakhri Hutauruk,
dikatakan Aceh ingin menyerang Malaka. Penyerangan Aceh di Malaka mengalami kekalahan yang
besar hingga kehilangan seluruh kapalnya dengan 19.000 prajuritnya. Dari peristiwa tersebut, Aceh
tidak ingin menyerang Malaka. Di samping itu Aceh tidak bisa menjadi kerajaan besar karena
adanya intrik-intrik yang dijalankan di dalam istananya sendiri. Baik yang berada di dalam kekuasaan
elit maupun di daerah, hingga sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Johor akhirnya berhasil menegakan
pengaruhnya kembali di Semenanjung Malaya dan kawasan bagian Selatan.

johor bekerjasama dengan VOC untuk menguasai Malaka. Pada tahun 1551. Johor dengan berani
menguasai Malaka dan munculah persekutuan Johor-VOC yang melawan kedudukan Portugis di
Nusantara, hingga pada tahun 1641, VOC berhasil menduduki Malaka.

Perlawanan aceh terhadap portugis


Sejak Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 , Kerajaan Aceh merupakan saingannya yang
terberat dalam perdagangannya. Sebab banyak pedagang Asia yang memindahkan kegiatan
dagangnya ke Aceh.

Penyebab perselisihan aceh dan portugis


Pelabuhan Aceh semakin ramai. Kecuali itu, Aceh merupakan ancaman bagi kedudukan Portugis di
Malaka. Setiap saat Aceh dapat menguasai Malaka.

Persaingan dagang antara Portugis dan Kerajaan Islam Aceh makin lama makin meruncing. Kemudian
meningkat menjadi perlawanan. Saat armada Portugis bertemu dengan patroli-patroli angkatan laut
Aceh, terjadilah pertempuran di laut.

Pertempuran semacam itu tidak hanya terjadi di Selat Malaka, tetapi juga di lautan internasional,
antara lain Laut Merah.

Langkah-langkah aceh melawan portugis


Untuk menghadapi Portugis, Sultan Aceh mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kapal-kapal dagangnya yang berlayar disertai prajurit dengan perlengkapan meriam.


2. dukungan bantuan meriam serta tenaga ahlinya dari Turki. Bantuan dari Turki diperoleh pada
tahun 1567.
3. meminta bantuan dari Jepara (Demak) dan Calicut (India).

Rencana portugis terhadap aceh


Sementara itu, Portugis mempunyai rencana terhadap Aceh sebagai berikut:

1. Hancurkan Aceh dengan jalan mengepungnya selama 3 tahun.


2. Setiap kapal yang berlayar di selat Malaka akan hancur dan hancur

Namun ternyata rencana Portugis tersebut tidak dapat terlaksana. Sebab Portugis tidak memiliki
armada yang cukup untuk mengawasi Selat Malaka. Ternyata bukan Portugis yang berhasil
menghancurkan kapal-kapal Aceh, tetapi sebaliknya kapal-kapal Acehlah yang sering mengganggu
kapal-kapal Portugis di selat Malaka.

Bahkan seringkali armada Aceh menyerang langsung ke markas Portugis di Malaka. Hal itu terjadi
antara lain pada tahun 1629, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Namun demikian
serangan-serangan Aceh itu belum berhasil.

Aceh dan portugis sama kuat


Permusuhan antara Aceh dengan Portugis berlangsung terus menerus. Kedua pihak saling berusaha
untuk menghancurkan, tetapi sama-sama tidak berhasil. Sampai akhirnya Malaka jatuh ke tangan
VOC (Belanda) pada tahun 1641.

Demikian sekilas tentang Perlawanan Aceh terhadap Portugis, semoga menambah semangat kita,
bahwa sejak dulu bangsa Indonesia adalah bangsa yang pembuatnya.

Anda mungkin juga menyukai