Anda di halaman 1dari 5

Awal mula

Kerajaan Aceh Darussalam / Keurajeuën Acèh


Kesultanan Aceh Darussalam (bahasa Aceh: Keurajeuën Acèh Darussalam; Jawoë: ‫كاورجاون اچيه‬
‫ )دارالسالم‬merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam
dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1
Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Pada awalnya kerajaan ini berdiri
atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah
kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah
Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Masa Kejayaan

Makam Iskandar Muda (1607-1636)

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya,
Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629,
kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang
terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya
memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi
ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa
penduduknya ke Aceh.
Masa Kemunduran

Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana


Kerajaan Aceh Darussalam mulai mengalami kemunduran setelah wafatnya Sultan Iskandar
Muda pada tahun 1636. Kemunduran ini disebabkan oleh konflik internal dan krisis
kepemimpinan. Konflik internal ini melibatkan banyak pihak dan baru berakhir pada tahun 1870
ketika Sultan Mahmudsyah naik takhta. Faktor lain yang menyebabkan kemunduran Kerajaan
Aceh adalah : Perang saudara, Trakat Sumatera, Invasi Belanda, Kekalahan perang Aceh
melawan Portugis di Malaka pada 1629, Tokoh pengganti Sultan Iskandar Muda yang kurang
cakap, Belanda ingin menguasai pulau Sumatera
Perang/Keruntuhan Aceh

Perang Aceh adalah perang antara Belanda dan Kesultanan Aceh yang berlangsung dari tahun
1873 hingga 1904. Perang ini dipicu oleh upaya Belanda untuk menguasai wilayah Kesultanan
Aceh. Salah satu faktor utama perang ini adalah pentingnya Kesultanan Aceh dalam
perdagangan internasional setelah Terusan Suez dibuka. Perang Aceh berakhir pada 8
Februari 1904, ketika Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah. Pada akhirnya, Belanda
berhasil menguasai Aceh sepenuhnya pada 1904 dengan pembubaran Kesultanan Aceh.
Kebudayaan
A. Bahasa
Bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni
sekitar 70% dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai
Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami
kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa,
kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang.

B. Sistem Religi
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu
propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling
dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian
kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan
setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam.

C. Arsitektur
Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara
lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman
Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh.
Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.

D. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan
prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di
rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab
ayah sepenuhnya.

E. Karya Agama
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam
bahasa jawi.

F. Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata
ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi
meriam sendiri dari kuningan.

G. Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh.

Anda mungkin juga menyukai