Anda di halaman 1dari 16

Kesultanan Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Aceh Darussalam


Keurajeuën Acèh Darussalam
‫كاورجاون اچيه دارالسالم‬

1496–1903

Alam Peudeung Mirah

Lambang

Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-
1637)

Status Wilayah protektorat Kesultanan
Utsmaniyah (1569–1903)

Ibu kota Kutaraja, Bandar Aceh Darussalam


(sekarang Banda Aceh)
Bahasa yang umum Aceh, Melayu
digunakan Tinggi, Arab, Gayo, Alas, Kluet, Minang

Agama Islam

Pemerintahan Monarki

Sultan  

• 1496–1530 Ali Mughayat Syah

• 1875–1903 Muhammad Daud Syah

Sejarah  

• Pengukuhan sultan 1496


pertama

• Perang Aceh 1903

Mata uang deureuham dan dinar

Didahului oleh Digantikan


oleh
Kesultanan Hindia
Lamuri Belanda
Kesultanan
Samudera Pasai

Sekarang bagian  Indonesia


dari  Malaysia

 Singapura

 Thailand

Kesultanan Aceh Darussalam (bahasa Aceh: Keurajeuën Acèh


Darussalam; Jawoë: ‫ )كاورجاون اچيه دارالسالم‬merupakan sebuah kerajaan Islam yang
pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya
adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal
913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu
(1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. [1]
Daftar isi

 1Sejarah
o 1.1Awal mula
o 1.2Masa Kejayaan
o 1.3Masa Kemunduran
o 1.4Perang Aceh
o 1.5Restorasi
 2Pemerintahan
o 2.1Sultan Aceh
o 2.2Perangkat Pemerintahan
o 2.3Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
 3Perekonomian
 4Kebudayaan
o 4.1Arsitektur
o 4.2Kesusateraan
o 4.3Karya Agama
o 4.4Militer
o 4.5Foto Bersejarah
 5Lihat pula
 6Referensi
 7Pranala luar

Sejarah
Artikel utama: Sejarah Aceh
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan
dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya
mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian
Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa
hingga tahun 1571. [2]

Masa Kejayaan
Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.

Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu


dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh [diragukan – diskusikan][butuh

 menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam


rujukan]

digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan
orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil
dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat
posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan
pada sultan berikutnya. [3]

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam.
Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan
sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang
dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh
atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal,
meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa
penduduknya ke Aceh. [4]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602
dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke
berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van
Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi
kekuasaan Aceh.
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah
makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus
(1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting
lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun
1870-an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol
ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi
Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja
tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan
pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi
tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi
pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen
masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih
hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid
raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman.
Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech
Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian
kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada
daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah
(1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim
mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-
Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay
Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa
Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang
saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali
kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk
menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200
perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki
dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai. [5]

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha
untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali
ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan
Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan
Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim
surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II
(1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius. [3]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda


nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang
dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk
melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing
dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk
menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau. [5]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra,
dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu
tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di
Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil.
Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak
bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu
kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai
awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Artikel utama: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26
Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil
merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-
lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka
telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan
dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul
para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru
terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz.
Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan
pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta
Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan
membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia. [6]

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri


kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu
ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala,
dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September.
Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika
Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung
Halimun.[7]

Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia)
pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah
dibina berabad-abad lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk
menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke
Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki
namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali.
Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan
Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di
administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar
di masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka
pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala
daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang
adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di
kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak
ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki
tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim
dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski
cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung
ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan
hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan
Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak
mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak
kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan,
setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh. [8]

Pemerintahan
Sultan Aceh
Artikel utama: Sultan Aceh
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan


Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh
Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo
Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di
Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah
ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima
Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika
telah membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang
tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca
padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh)
sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid
Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa
dan Gampông Pande. [9]

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara
yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas
melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai
kekuatan hukum. [10]

Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya.
Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

 Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang
aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas
membuat rencana dan penelitian.
 Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul
Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan
Perwakilan Rakyat sekarang.
 Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya
Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau
sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
 Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin
oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen
Perdagangan.
 Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-
kira Departemen Pertahanan.
 Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri
Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
 Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang
Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen
Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya

 Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


 Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
 Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala
Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
 Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
 Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat
negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir
Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara. [11]

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah

Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M

Artikel utama: Ulèëbalang
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée,
Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini
terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan
Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan
diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut
Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian
wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi
dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga
segi (Lhée Sagoe):

 Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa
Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
 Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli
Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi
Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
 Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda
Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki
sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat
satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.  Kecuali dari
[12]

3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas. [13]

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara


teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap
Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan
Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di
pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun
tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai
berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-
saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau
menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada
Ulèëbalang langsung. [14]

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang


isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami
yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat,
tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan
Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat
Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan
mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri
Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan
kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah
harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami
yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah
kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk
Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit
kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari
oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

— Sumpah Ulee Balang


Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku
Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan
secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat
yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat
seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan,
sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-
hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.  Di akhir sarakata itu
[15]

dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan


sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat
ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Perekonomian

Salah satu kerajinan logam di Aceh.

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga,
dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi.
Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.  Namun di antara
[16]

semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.


Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai
ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa
ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di
pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada
terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh. [5]

Kebudayaan
Arsitektur
Gunongan

Kandang (komplek makam) Sultan Iskandar Tsani

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di


Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh -
Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan
tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh
dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan
bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang
sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh -
Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat
sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek
Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop,
Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut
Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.
[4]

Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun
dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem
Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan
Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa,
Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut
Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah
Hadat dan Hikayat Prang Sabi. [14]

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus


Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus
Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain
Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan
karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-
Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung
Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai
luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir
Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin
Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li
Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang.
Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu
dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama
terlengkap dalam bahasa melayu. [11]

Militer

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan
pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan
ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan. [17]

Foto Bersejarah
Sultan Muhammad Daud Syah, sultan Aceh terakhir bersama pengawalnya.

Lihat pula
 Sejarah Aceh
 Sultan Aceh
 Kesultanan Peureulak
 Kesultanan Samudera Pasai
 Kerajaan Linge
 Kerajaan Pedir
 Kerajaan Daya
 Kenegerian Trumon
 Kesultanan Asahan
 Kanun Syarak Kerajaan Aceh

Referensi
1. ^ "Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses
tanggal 2007-06-01.
2. ^ "Sumatra and the Malay peninsula, 16th century". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-05.
Diakses tanggal 2011-07-01.
3. ^ Lompat ke:a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97–99.
4. ^ Lompat ke:a b Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
5. ^ Lompat ke:a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra
hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor. Kesalahan pengutipan:
Tanda <ref> tidak sah; nama "asal mula" didefinisikan berulang dengan isi
berbeda
6. ^ Egorov, Boris (Mei 04, 2017). "Dari Aceh hingga Alaska: Daerah-daerah yang Hampir Jadi Kekuasaan
Rusia". Diakses tanggal 2018-04-09.
7. ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie.
8. ^ Sjamsuddin, Nazaruddin. (1999). Revolusi di serambi Mekah : perjuangan kemerdekaan dan
pertarungan politik di Aceh, 1945-1949 (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
hlm. 33–35. ISBN 979-456-187-8. OCLC 43403789.
9. ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980.
hlm. 376–377.
10. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104.
11. ^ Lompat ke:a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan
Bintang. hlm. 130 – 133. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Hasjmi"
didefinisikan berulang dengan isi berbeda
12. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
13. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42.
14. ^ Lompat ke:a b Hurgronje, Snouck (1906). The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J.
Brill. hlm. 434. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Snouck"
didefinisikan berulang dengan isi berbeda
15. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51.
16. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 87.
17. ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]

Pranala luar
Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini: Surat Sultan Aceh
Ibrahim Mansur Syah
Kepada Presiden Prancis

 (Indonesia) Sejarah bertinta emas pernah terukir di Bumi


Aceh Diarsipkan 2011-10-27 di Wayback Machine.
 (Indonesia) Sejarah Islam di Indonesia di swaramuslim.net Diarsipkan 2008-
05-02 di Wayback Machine.
 (Indonesia) Sedikit Bercerita tentang Atjeh
 (Indonesia) Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com Diarsipkan 2007-09-
27 di Wayback Machine.
 (Inggris) Bendera-bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh
 Johan Wahyudhi (2016) Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor
Abad XVI-XVII. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
sembunyi

 l
 b

 s

Kerajaan di Sumatra

Aceh

Daya

Jeumpa

Lamuri

Aceh Linge

Pedir

Peureulak

Samudera Pasai

Tamiang

Pat Petulai
Bengkulu
Selebar

Jambi
Jambi
Kantoli

Lampung Tulang Bawang

Bintan
Kepulauan
Johor
Riau
Riau-Lingga

Indragiri

Kampar Kiri

Kandis

Koto Alang

Riau Kuntu Kampar

Melaka

Pelalawan

Rokan IV Koto

Siak

Sumatra Dharmasraya

Barat Inderapura

Pagaruyung

Samaskuta

Siguntur

Sontang
Sungai Pagu

Minanga
Sumatra
Palembang
Selatan
Sriwijaya

Aru

Asahan

Barus

Sumatra Deli

Utara Kota Pinang

Langkat

Pannai

Serdang
Kategori: 
 Kesultanan Aceh
 Kerajaan di Nusantara
 Kerajaan di Aceh

Anda mungkin juga menyukai