1496–1903
Lambang
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-
1637)
Status Wilayah protektorat Kesultanan
Utsmaniyah (1569–1903)
Agama Islam
Pemerintahan Monarki
Sultan
Sejarah
Singapura
Thailand
1Sejarah
o 1.1Awal mula
o 1.2Masa Kejayaan
o 1.3Masa Kemunduran
o 1.4Perang Aceh
o 1.5Restorasi
2Pemerintahan
o 2.1Sultan Aceh
o 2.2Perangkat Pemerintahan
o 2.3Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
3Perekonomian
4Kebudayaan
o 4.1Arsitektur
o 4.2Kesusateraan
o 4.3Karya Agama
o 4.4Militer
o 4.5Foto Bersejarah
5Lihat pula
6Referensi
7Pranala luar
Sejarah
Artikel utama: Sejarah Aceh
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan
dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya
mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian
Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa
hingga tahun 1571. [2]
Masa Kejayaan
Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.
digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena
kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan
orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil
dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat
posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan
pada sultan berikutnya. [3]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam.
Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan
sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang
dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh
atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal,
meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa
penduduknya ke Aceh. [4]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602
dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke
berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van
Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi
kekuasaan Aceh.
Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah
makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai
dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus
(1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting
lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun
1870-an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol
ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi
Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja
tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan
pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi
tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi
pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen
masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih
hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid
raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman.
Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech
Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian
kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada
daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah
(1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim
mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-
Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay
Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa
Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang
saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman
dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali
kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk
menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200
perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki
dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai. [5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha
untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali
ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan
Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan
Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim
surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II
(1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius. [3]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra,
dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu
tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di
Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil.
Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak
bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu
kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai
awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Artikel utama: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26
Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil
merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-
lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka
telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan
dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul
para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru
terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz.
Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan
pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta
Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan
membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia. [6]
Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia)
pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah
dibina berabad-abad lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk
menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke
Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki
namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali.
Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan
Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di
administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar
di masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka
pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala
daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang
adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di
kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak
ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki
tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim
dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski
cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung
ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan
hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan
Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak
mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak
kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan,
setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh. [8]
Pemerintahan
Sultan Aceh
Artikel utama: Sultan Aceh
Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara
yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas
melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai
kekuatan hukum. [10]
Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya.
Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang
aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas
membuat rencana dan penelitian.
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul
Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan
Perwakilan Rakyat sekarang.
Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya
Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau
sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin
oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen
Perdagangan.
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-
kira Departemen Pertahanan.
Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri
Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang
Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen
Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya
Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M
Artikel utama: Ulèëbalang
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée,
Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini
terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan
Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan
diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut
Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian
wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi
dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga
segi (Lhée Sagoe):
Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa
Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli
Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi
Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda
Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga
diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki
sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat
satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari
[12]
3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas. [13]
Perekonomian
Kebudayaan
Arsitektur
Gunongan
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun
dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem
Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan
Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa,
Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut
Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah
Hadat dan Hikayat Prang Sabi. [14]
Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan
pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan
ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan. [17]
Foto Bersejarah
Sultan Muhammad Daud Syah, sultan Aceh terakhir bersama pengawalnya.
Lihat pula
Sejarah Aceh
Sultan Aceh
Kesultanan Peureulak
Kesultanan Samudera Pasai
Kerajaan Linge
Kerajaan Pedir
Kerajaan Daya
Kenegerian Trumon
Kesultanan Asahan
Kanun Syarak Kerajaan Aceh
Referensi
1. ^ "Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses
tanggal 2007-06-01.
2. ^ "Sumatra and the Malay peninsula, 16th century". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-05.
Diakses tanggal 2011-07-01.
3. ^ Lompat ke:a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97–99.
4. ^ Lompat ke:a b Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
5. ^ Lompat ke:a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra
hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor. Kesalahan pengutipan:
Tanda <ref> tidak sah; nama "asal mula" didefinisikan berulang dengan isi
berbeda
6. ^ Egorov, Boris (Mei 04, 2017). "Dari Aceh hingga Alaska: Daerah-daerah yang Hampir Jadi Kekuasaan
Rusia". Diakses tanggal 2018-04-09.
7. ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie.
8. ^ Sjamsuddin, Nazaruddin. (1999). Revolusi di serambi Mekah : perjuangan kemerdekaan dan
pertarungan politik di Aceh, 1945-1949 (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
hlm. 33–35. ISBN 979-456-187-8. OCLC 43403789.
9. ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980.
hlm. 376–377.
10. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104.
11. ^ Lompat ke:a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan
Bintang. hlm. 130 – 133. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Hasjmi"
didefinisikan berulang dengan isi berbeda
12. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
13. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42.
14. ^ Lompat ke:a b Hurgronje, Snouck (1906). The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J.
Brill. hlm. 434. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Snouck"
didefinisikan berulang dengan isi berbeda
15. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik
Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51.
16. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 87.
17. ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]
Pranala luar
Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini: Surat Sultan Aceh
Ibrahim Mansur Syah
Kepada Presiden Prancis
l
b
s
Kerajaan di Sumatra
Aceh
Daya
Jeumpa
Lamuri
Aceh Linge
Pedir
Peureulak
Samudera Pasai
Tamiang
Pat Petulai
Bengkulu
Selebar
Jambi
Jambi
Kantoli
Bintan
Kepulauan
Johor
Riau
Riau-Lingga
Indragiri
Kampar Kiri
Kandis
Koto Alang
Melaka
Pelalawan
Rokan IV Koto
Siak
Sumatra Dharmasraya
Barat Inderapura
Pagaruyung
Samaskuta
Siguntur
Sontang
Sungai Pagu
Minanga
Sumatra
Palembang
Selatan
Sriwijaya
Aru
Asahan
Barus
Sumatra Deli
Langkat
Pannai
Serdang
Kategori:
Kesultanan Aceh
Kerajaan di Nusantara
Kerajaan di Aceh