Anda di halaman 1dari 18

Sejarah mencatat, Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama

di Nusantara yang eksis sejak abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Berdiri tahun
1267 dan berakhir pada 1521, Samudera Pasai telah merasakan masa kejayaan
serta meninggalkan jejak melalui beberapa peninggalan.
Samudera Pasai terletak di pesisir utara Sumatera, dekat Lhokseumawe, Aceh, tak
jauh dari Selat Malaka. Menurut Hasan Muarif Ambary melalui tulisan “Peranan
Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 M dalam Jalur Sutera Melalui
Lautan" terhimpun dalam Kalpataru: Majalah Arkeologi, Selat Malaka adalah jalur
perdagangan ke Persia, Arab, India, dan Cina.
Dari kondisi lingkungan yang dekat dengan laut, maka Kerajaan Samudera Pasai
memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjadi pusat dagang. Banyak saudagar
dari berbagai negeri, baik di wilayah Nusantara maupun bangsa-bangsa asing, yang
singgah untuk berniaga
Pendiri Kerajaan Samudera Pasai
Beberapa referensi menyebut Nazimuddin al-Kamil sebagai penggagas awal
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M. Dikutip dari Sejarah 8:
Kerajaan Terbesar di Indonesia (2021) yang disusun Siti Nur Aidah, Nazimuddin Al
Kamil merupakan seorang laksamana laut dari Mesir.
Tahun 1238 M, Nazimuddin al-Kamil diperintahkan oleh Kesultanan Mamluk yang
berpusat di Kairo untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat (India) untuk
dijadikan sebagai tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur.
Konon, Nazimuddin al-Kamil inilah yang kemudian mengangkat Marah Silu (Meurah
Silu) sebagai pemimpin pertama Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang kemudian
bergelar Sultan Malik al-Saleh atau Sultan Malikussaleh (1267-1297 M).
Meski demikian, Marah Silu yang tetap diakui sebagai pendiri sekaligus penguasa
pertama Kerajaan Samudera Pasai.
Dikutip dari Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh (2006) karya Rusdi Sufi dan Agus Budi
Wibowo, kesultanan ini pernah menguasai perdagangan di Selat Malaka dan
menjadi sentrum penyebaran Islam di Nusantara.
Masa Kejayaan
Kesultanan Samudera Pasai mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Al-Malik az-Zahir II yang bertakhta hingga tahun 1349 Masehi. Dikutip
dari situs resmi Pemerintah Provinsi Aceh, Ibnu Bathutah pernah mengunjungi
Samudera Pasai pada era ini.
Samudera Pasai berdagang lada sebagai komoditas utamanya dan berperan
sebagai bandar dagang besar saat itu. Bahkan, kerajaan Islam ini mengeluarkan
bentuk alat tukar berupa koin emas (dirham) dengan komposisi emas murni 70
persen.
Selain jaya karena perdagangan, kerajaan maritim ini juga menjadi pusat
penyebaran agama Islam karena letaknya yang strategis dan mudah dikunjungi
orang-orang dari berbagai tempat.
Sempat mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit, Samudera Pasai kembali
merengkuh masa keemasan pada era pemerintahan sosok pemimpin perempuan
bergelar Sultanah Malikah Nahrasyiyah (1406-1428).
Sultan perempuan pertama di tanah Aceh ini mampu membangkitkan Samudera
Pasai dari trauma akibat serangan Majapahit pada pertengahan abad ke-14 atau
sebelum Mahapatih Gajah Mada tutup usia.
Dalam buku Wali Songo dengan Perkembangan Islam di Nusantara (1993) karya
Abdul Halim Bashah, disebutkan, SultanahNahrasyiyah berperan besar dalam
memajukan Samudera Pasai, termasuk menjadikannya sebagai pusat
perkembangan agama Islam yang besar dan kuat.
Baca juga:
 Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit
 Sejarah Kerajaan Majapahit: Kekuatan Militer dan Persenjataan
 Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
Jejak Peninggalan
Menurut R.S. Wick dalam Money, Markets, and Trade in Early Southeast
Asia (1992), Kerajaan Samudera Pasai meninggalkan jejak sejarah melalui
penemuan beberapa makam bertuliskan nama sultan, juga koin dengan bahan emas
serta perak sebagai alat transaksi pada zamannya.
Sejalan dengan pendapat itu, terdapat beberapa bukti arkeologis yang bisa
menjelaskan keberadaan Samudera Pasai, salah satunya makam raja-raja Pasai di
Desa Geudong, Aceh Utara.
Nama-nama raja yang tercantum di makam yang dekat dengan bekas runtuhan
kerajaan Islam ini adalah Sultan Malik al-Shaleh, Sultan Malik az-Zahir, Teungku
Sidi Abdullah Tajul Nillah, Teungku Peuet Ploh, dan Ratu Al-Aqla.
Masih ada peninggalan Kerajaan Samudera Pasai lainnya seperti lonceng Cakra
Donya, stempel khas kerajaan, serta karya tulis seperti Hikayat Raja Pasai dan buku
Tasawuf Durru al-Manzum.
Baca juga:
 Sejarah Majapahit: Struktur Pemerintahan & Area Kerajaan
 Sejarah Kerajaan Singasari: Kisah Ken Arok Hingga Raja Kertanegara
 Sejarah Perang Bubat Majapahit vs Sunda: Penyebab, Lokasi, Dampak
Daftar Penguasa Samudera Pasai
 Sultan Malik al-Saleh/Marah Silu (1267-1297)
 Sultan Malik az-Zahir I/Muhammad I (1297-1326)
 Sultan Ahmad I (Sejak 1326)
 Sultan Al-Malik az-Zahir II (Hingga 1349)
 Sultan Zainal Abidin I (1349-1406)
 Sultanah Malikah Nahrasiyah (1406-1428)
 Sultan Zainal Abidin II (1428-1438)
 Sultan Shalahuddin (1438-1462)
 Sultan Ahmad II (1462-1464)
 Sultan Abu Zaid Ahmad III (1464-1466)
 Sultan Ahmad IV (1466-1466)
 Sultan Mahmud (1466-1468)
 Sultan Zainal Abidin III (1468-1474)
 Sultan Muhammad Syah II (1474-1495)
 Sultan Al-Kamil (1495-1495)
 Sultan Adlullah (1495-1506)
 Sultan Muhammad Syah III (1506-1507)
 Sultan Abdullah (1507-1509)
 Sultan Ahmad V (1509-1514)
 Sultan Zainal Abidin IV (1514-1517)
Aceh

Aceh memiliki sejarah panjang sebagai salah satu lokasi kerajaan Islam awal di
Nusantara. Di tanah rencong, pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai (1272-1450
M) dan Kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) yang berlokasi strategis di
Semenanjung Malaya.
Kesultanan Samudera Pasai kerajaan Islam pertama di Indonesia pernah
mengalami masa kejayaan di Aceh. Namun pada paruh akhir abad 14 masehi,
Samudera Pasai mengalami kemunduran setelah mendapat serangan dari Kerajaan
Majapahit.
Ditambah dengan munculnya Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh Darussalam
pada abad ke-15 masehi sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka membuat
pengaruh Samudera Pasai semakin luruh.
Hingga akhirnya, Portugis datang dan merebut Malaka pada 1511. Saat itu, tahun
1496, muncul cikal-bakal Kesultanan Aceh Darussalam. Kehadiran kesultanan ini
menggantikan posisi kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai di Serambi Mekah.
Baca juga:
 Sejarah Samudera Pasai: Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan
 Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah
 Aceh Pernah Digdaya di Zaman Sultan Iskandar Muda
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
Raja pertama yang menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali
Mughayat Shah atau Raja Ibrahim. Selama 14 tahun (1514-1528 ), ia memerintah di
kerajaan yang merupakan gabungan Kerajaan Lamuri dan Kerajaan Aceh ini.
Kesultanan Aceh Darussalam memang terlahir dari fusi dua kerajaan tersebut.
Menurut Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar Raniri yang ditulis tahun 1636,
kala itu Raja Lamuri menikahkan Ali Mughayat Shah dengan putri raja Aceh.
Dari ikatan pernikahan ini, kedua kerajaan di tanah rencong tersebut meleburkan
kekuasaan dan melahirkan Kesultanan Aceh Darussalam. Sebagai pemimpinnya
adalah seorang sultan dan dimandatkan kepada Ali Mughayat Shah.
Kesultanan Aceh Darussalam sejak berdiri telah melandaskan asas negara dengan
ajaran Islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini menjadi sebuah kerajaan Islam alias
kesultanan yang berkembang seiring mulai meredupnya pamor kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu-Buddha di Nusantara.
Baca juga:
 Sejarah Kerajaan Kristen Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit
 Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja
 Sejarah Kerajaan Jenggala: Prasasti, Peninggalan, & Silsilah Raja
Era Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan
Iskandar Muda atau Sultan Meukuta Alam pada 1607-1636 M. Iskandar Muda
adalah seorang pemimpin yang tegas terhadap penjajah untuk melindungi wilayah
dan rakyatnya.
Suatu hari, Raja James I dari Inggris meminta kepada Sultan Iskandar Muda agar
diperbolehkan berdagang di wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Permohonan itu tertulis dalam surat berangka tahun 1615 masehi.
Namun, Sultan Sultan Iskandar Muda dengan tegas menolak. Ia paham betul
mengenai misi Inggris di Aceh, yakni ingin menguasai seluruh sumber daya yang
ada.
Penolakan serupa dialami pula oleh Portugis dan Belanda yang ingin menanamkan
pengaruh di bumi Serambi Mekah.
Berada di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Aceh memiliki kekuatan militer
yang kuat. Wilayah kekuasaannya sangat luas. Selain itu, kesejahteraan rakyatnya
terbilang makmur.
Menurut buku Aceh Sepanjang Abad (1981) tulisan Mohammad Said, di masa itu
Kesultanan Aceh Darussalam mencoba merangkul negeri-negeri dan pelabuhan
sekitar Selat Malaka agar jangan sampai tergoda dengan bujukan bangsa-bangsa
asing.
Dari sisi perdagangan, harga hasil bumi tidak dipatok rendah untuk menyokong
perekonomian kerajaan. Di samping itu, dibangun pula bandar dagang utama
didirikan dan dilakukan pengawasan untuk pergerakan orang-orang asing.
Luasnya wilayah kekuasaan di era Sultan Iskandar Muda meliputi negeri sekitar
Semenanjung Malaya, termasuk Johor, Malaka, Pahang, Kedah, Perak, sampai
Patani (Thailand bagian selatan). Sebagian besar Sumatera juga telah dikuasai. Itu
semua tidak lepas dari penaklukkan yang dilakukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Angkatan perangnya, terutama angkatan laut, telah dilengkapi kapal-kapal canggih
di masanya. Kapal-kapal perang ini memiliki meriam yang siap dimuntahkan ketika
bertemu musuh. Angkatan darat memiliki puluhan ribu prajurit, pasukan kuda, dan
pasukan gajah.
Kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam kala itu sangat diperhitungkan. Portugis
sudah menyerah lebih lebih dahulu. Belanda yang datang kemudian, akhirnya
memilih wilayah lain seperti Jawa dan Maluku.
Inggris pun demikian yang semakin sulit masuk ke Aceh. Padahal, sebelumnya
Kerajaan Inggris telah menjalin relasi baik dengan Kesultanan Aceh di masa
sebelumnya.
Baca juga:
 Sejarah Kerajaan Kristen di Indonesia: Larantuka, Siau, dan Manado
 Sejarah Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya & Silsilah Raja-Raja
 Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
Keruntuhan & Peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 27 Desember 1636, seperti
dikutip dari laman Pemprov Aceh, Kesultanan Aceh melemah di tangan penerus-
penerusnya.
Kesultanan Aceh perlahan merosot wibawanya dan mulai terpengaruh oleh bangsa
lain. Bangsa Barat mulai menguasai Aceh dengan penandatanganan Traktat London
dan Traktat Sumatera.
Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh dan
terjadilah Perang Sabi selama 30 tahun. Banyak jiwa yang menjadi korban.
Akhirnya Sultan Aceh terahir, Sultan Muhammad Daud Syah, mengakui kedaulatan
Belanda di Aceh.
Sejak saat itu, wilayah Aceh masuk secara administratif ke dalam Hindia Timur
Belanda (Nederlansch Oost-Indie) yang kemudian menjelma sebagai Hindia
Belanda, cikal-bakal Indonesia
Sisa-sisa peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam masih ada yang bertahan
hingga sekarang.
Beberapa di antaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Taman
Sari Gunongan, Benteng Indra Patra, dan meriam Kesultanan Aceh.
Di samping itu ada pula Masjid Tua Indrapuri, makam Sultan Iskandar Muda, uang
emas Kerajaan Aceh, stempel cap Sikureung, kerkhof, pedang Aman Nyerang, dan
berbagai naskah karya sastra.
Demak
Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Kerajaan ini berdiri
pada awal abad ke-16 Masehi seiring kemunduran Majapahit. Kesultanan Demak
pun mulai memperlihatkan eksistensinya dan tentunya meninggalkan peninggalan
sejarah.
Dalam buku Sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna diungkapkan, Kesultanan
Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari istri seorang
perempuan asal Cina, yang telah masuk Islam. Raden Patah memimpin Demak
pada 1500 hingga 1518 M.
Di bawah kepemimpinan Raden Patah, Kesultanan Demak menjadi pusat
penyebaran agama Islam dengan peran sentral Wali Songo. Periode ini adalah fase
awal semakin berkembangnya ajaran Islam di Jawa.
Setelah Raden Patah wafat pada 1518, takhta Demak dilanjutkan oleh putranya,
Adipati Unus (1488-1521). Sebelumnya menjadi sultan, Pati Unus terkenal dengan
keberaniannya sebagai panglima perang hingga diberi julukan Pangeran Sabrang
Lor.
Dikutip dari buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara
Islam di Nusantara (2005) karya Slamet Muljana, pada 1521 Pati Unus memimpin
penyerbuan kedua ke Malaka melawan Portugis.
Pati Unus gugur dalam pertempuran tersebut kemudian digantikan Trenggana
(1521-1546) sebagai pemimpin ke-3 Kesultanan Demak.
Baca juga:
 Jalan Setapak Syekh Siti Jenar
 Sejarah Lahirnya J.P. Coen Penakluk Jayakarta
 Tan Go Wat: Dari Cina, Lalu "Mengislamkan" Jawa
Sultan Trenggana membawa Kesultanan Demak mencapai periode kejayaannya.
Wilayah kekuasaan Demak meluas hingga ke Jawa bagian timur dan barat.
Pada 1527, pasukan Islam gabungan dari Demak dan Cirebon yang dipimpin
Fatahillah atas perintah Sultan Trenggana berhasil mengusir Portugis dari Sunda
Kelapa.
Nama Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi Jayakarta atau "kemenangan yang
sempurna". Kelak, Jayakarta berganti nama lagi menjadi Batavia lalu Jakarta, ibu
kota Republik Indonesia.
Saat menyerang Panarukan, Situbondo, yang saat itu dikuasai Kerajaan
Blambangan (Banyuwangi), pada 1546, terjadi insiden yang membuat Sultan
Trenggana terbunuh.
Meninggalnya Sultan Trenggana inilah yang menjadi awal keruntuhan Kesultanan
Demak karena terjadi perselisihan mengenai siapa yang berhak menduduki takhta
selanjutnya. Hingga akhirnya, pemerintahan Kesultanan Demak benar-benar usai
pada 1554.
Peninggalan Kesultanan Demak
Masjid Agung Demak
Salah satu masjid tertua di Indonesia ini merupakan peninggalan utama yang paling
terkenal dari Kesultanan Demak. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan Demak
pertama, Raden Patah (1475–1518), masjid ini menjadi pusat pengajaran dan
penyebaran ajaran Islam yang dirintis oleh Wali Songo.
Pintu Bledek
Pintu ini adalah jalan masuk Masjid Agung Demak yang mitosnya dikatakan terbuat
dari petir yang menyambar sehingga dinamakan “bledek". Saat ini, Pintu Bledek
sudah rapuh dan tua sehingga dipindahkan ke dalam Masjid Agung Demak.
Soko Guru
Masjid Agung Demak disokong oleh empat soko guru atau tiang penyangga setinggi
19,54 meter dan berdiameter 1,45 meter. Soko guru ini dipercaya merupakan
sumbangan dari 4 anggota Wali Songo, yakni Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati.
Bedug dan Kentongan
Bedug dan kentongan di Masjid Agung Demak digunakan untuk memanggil
masyarakat sekitar guna melaksanakan salat. Dua peninggalan era Kesultanan
Demak ini masih ada hingga kini.
Baca juga:
 Sejarah & Daftar Kerajaan-kerajaan Maritim Islam di Indonesia
 Candi Mendut: Sejarah & Arsitektur Peninggalan Bercorak Buddha
 Sejarah Kekhalifahan Umayyah, Kejayaan, Hingga Keruntuhannya
Situs Kolam Wudhu
Sekarang, situs ini tidak digunakan sebagaimana fungsinya dan hanya menjadi bukti
peninggalan sejarah. Pada masa Kesultanan Demak dulu, tempat ini selalu
digunakan untuk wudhu bagi mereka yang hendak melaksanakan salat di Masjid
Agung Demak.
Maksurah
Merupakan dinding berkaligrafi yang dibuat pada 1866 M, yakni ketika Aryo
Purbaningrat menjadi Adipati Demak atau setelah era Kesultanan Demak berakhir.
Dampar Kencana
Dahulu, benda peninggalan ini merupakan singgasana Sultan Demak yang berada
di dalam Masjid Agung Demak. Kini dijadikan sebagai mimbar untuk penceramah.
Piring Campa
Di dinding dan tempat imam Masjid Agung Demak, terdapat piring yang ditempelkan.
Hiasan ini merupakan hadiah dari ibunda Raden Patah yang konon berasal dari
Cina.
Kesultanan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam terbesar
dalam sejarah Nusantara yang pernah berdiri di Jawa. Lantas, siapa pendiri
Mataram Islam dan di daerah mana letak atau lokasi kerajaan ini?
Wilayah Mataram semula merupakan bagian dari Kesultanan Pajang yang
melanjutkan garis penerus Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa. Pusat pemerintahan Kesultanan Pajang berada di Surakarta atau Solo.
Sejak abad ke-16 Masehi, tepatnya tahun 1586, wangsa Mataram di bawah
pimpinan Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati berhasil menyatukan
beberapa wilayah untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Kesultanan
Pajang.
Hingga akhirnya, Kesultanan Pajang menyerahkan kekuasaan kepada Panembahan
Senapati yang sekaligus menjadi awal riwayat berdirinya kerajaan baru bernama
Kesultanan Mataram Islam.
Jauh sebelumnya pada abad ke-8 Masehi, di Jawa juga pernah berdiri Kerajaan
Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan berbeda zaman dengan
Kesultanan Mataram Islam. Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih rinci, dua
kerajaan ini masih terhubung dalam satu garis riwayat nan panjang.
Baca juga:
 Tahun Berapa Sejarah Kerajaan Majapahit Berdiri & Terletak di Mana?
 Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, Lokasi, & Nama Raja-Raja di Jawa
 Corak Agama Kerajaan Majapahit & Sejarah Peninggalan Situs Candi
Sejarah Awal Mataram Islam
Riwayat Kesultanan Mataram Islam bermula dari tanah perdikan berupa hutan yang
dikenal sebagai alas Mentaok yang diberikan pemimpin Kesultanan Pajang, Sultan
Hadiwijaya (1560-1582) atau Jaka Tingkir, kepada Ki Ageng Pemanahan.
Ki Ageng Pemanahan adalah pendiri Wangsa Mataram yang juga ayah dari
Panembahan Senapati atau Sutawijaya. Ki Ageng Pemanahan merupakan cucu Ki
Ageng Selo yang dipercaya masih memiliki keturunan dari garis raja-raja Majapahit
dan Kerajaan Mataram Kuno.
Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai balas
jasa karena telah membantu memadamkan perlawanan Arya Penangsang dari
Kerajaan Jipang.
Dikutip dari M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern1200-2004 (2005),
perlawanan terhadap Pajang dimotori oleh Danang Sutawijaya alias Panembahan
Senapati yang tidak lain adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Perlawanan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Sultan Pajang ke-3, yakni
Pangeran Benawa atau Sultan Prabuwijaya (1586-1587). Panembahan Senapati
melancarkan perlawanan terhadap Pajang sejak tahun 1578.
Baca juga:
 Sejarah Kerajaan Sunda Galuh, Keruntuhan, & Peninggalan Pajajaran
 Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja
 Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
Lokasi & Pendiri Mataram Islam
Pada 1584, Panembahan Senapati mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Mataram
Islam di alas Mentaok meskipun belum diakui oleh Pajang. Alas Mentaok adalah
wilayah yang kini dikenal sebagai Yogyakarta.
Hingga akhirnya, Kesultanan Pajang benar-benar runtuh pada 1587 dan mengakui
keberadaan Kesultanan Mataram Islam.
Panembahan Senapati sebagai pendiri pemerintahan Mataram Islam kemudian
menobatkan diri sebagai raja atau sultan pertama bergelar Senapati Ing Alaga
Sayidin Panatagama (1587-1601).
Adapun lokasi berdirinya Kesultanan Mataram Islam, seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, adalah di bekas alas Mentaok, dengan pusat pemerintahannya disebut
dengan nama Kutagede atau Kotagede di Yogyakarta.
Keberhasilan Panembahan Senapati memerdekakan Mataram dari cengkeraman
Pajang merupakan langkah penting bagi riwayat kesultanan ini di masa-masa
selanjutnya hingga mencapai puncak kejayaan.
Baca juga:
 Warisan Sejarah Toleransi Sultan Agung di Kotagede
 Kesultanan Aceh Darussalam: Sejarah Masa Kejayaan dan Peninggalan
 Sejarah Kotagede: Sinergi Muhammadiyah di Jantung Mataram
Kepemimpinan Panembahan Senapati
Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (1981) memaparkan,
Panembahan Senapati mulai memperluas wilayah kekuasaan Mataram Islam secara
masif, terutama di sepanjang Bengawan Solo hingga ke Jawa bagian timur, juga
sebagian Jawa bagian barat.
Sejak tahun 1590, berturut-turut Jipang (Solo), Madiun, Kediri, Ponorogo, Jagaraga
(Magetan), dan Pasuruan, dapat ditaklukkan. Di kawasan barat, Cirebon dan Galuh
(sekitar Ciamis) menjadi bagian dari Mataram Islam pada 1595.
Namun, upaya Panembahan Senapati untuk menguasai Banten pada 1597 gagal
lantaran kurangnya transportasi air.
Panembahan Senapati wafat pada 1601 dan dimakamkan di Kota Gede,
Yogyakarta. Penerusnya adalah Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar
sebagai Susuhunan Hanyakrawati, ayah dari Sultan Agung.
Kelak, Kesultanan Mataram Islam berhasil menancapkan hegemoni kekuasaan di
Jawa dengan wilayah kekuasaan yang amat luas, kekuatan militer yang besar, serta
kemajuan di berbagai bidang kehidupan.
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau
Jawa Barat. Sejarah kerajaan yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan
Tarumanegara lalu Pajajaran ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, tepatnya tahun
1430.
Awalnya, Cirebon merupakan daerah bernama Kebon Pesisir atau Tegal Alang-
Alang. Kerajaan Cirebon dirintis oleh Raden Walangsungsang (Pangeran
Cakrabuana), putra Raja Pajajaran dari Kerajaan Sunda Galuh, yakni Prabu
Siliwangi dengan permaisurinya, Nyai Subang Larang.
Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon (1978) menyebutkan bahwa pernikahan
Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang yang beragama Islam melahirkan tiga
orang anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, Nyai Lara
Santang, dan Raden Kian Santang atau Pangeran Sengara.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon
Setelah beranjak dewasa, ketiga anak Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyai Subang
Larang dipersilakan meninggalkan Kerajaan Pajajaran yang menganut ajaran Sunda
Wiwitan, Hindu, atau Buddha.
Putra sulung Prabu Siliwangi dari permaisuri, Raden Walangsungsang alias
Pangeran Cakrabuana, kehilangan haknya untuk bertakhta di Pajaran karena
memilih memeluk agama Islam seperti ibunya.
Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana memilih untuk memperdalam
agama Islam ke Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir, lalu diikuti oleh adiknya,
Lara Santang. Dalam perjalanan, Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai
Endang Geulis.
Baca juga:
 Sungai Citarum dan Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda
 Sejarah Kerajaan Sunda Galuh, Keruntuhan, & Prasasti Pajajaran
 Sejarah Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara & Peninggalannya
Sesampainya di Kebon Pesisir, mereka berguru kepada Syekh Nurul Jati. Di daerah
pesisir utara Jawa inilah Raden Walangsungsang mendirikan pedukuhan sebagai
cikal-bakal Kerajaan Cirebon.
Setelah mendirikan pedukuhan, Raden Walangsungsang dan Lara Santang
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Di perjalanan, Lara Santang menikah
dengan Syarif Abdillah bin Nurul Alim.
Dari pernikahan ini, Nyai Lara Santang melahirkan dua orang anak laki-laki bernama
Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Sepulang dari tanah suci, dikutip dari Susilaningrat dalam Dalem Agung Pakungwati
Kraton Kasepuhan Cirebon (2013), Raden Walangsungsang kembali ke pedukuhan
dan mendirikan pemerintahan yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan atau
Kesultanan Cirebon pada 1430 Masehi.
Pendirian Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Demak di
Jawa Tengah yang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa sekaligus
sebagai kerajaan yang memungkasi riwayat Kerajaan Majapahit.
Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" yang termaktub di
jurnal Patanjala (2012) menyebutkan Walangsungsang alias Cakrabuana wafat
pada 1479. Tampuk kekuasaan kemudian dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah.
Seperti diketahui, Syarif Hidayatullah adalah keponakan Raden Walangsungsang
atau putra pertama dari adiknya, Nyai Lara Santang. Syarif Hidayatullah pada
akhirnya dikenal sebagai Sunan Gunung Jati (1479-1568).
Baca juga:
 Sejarah Lahirnya J.P. Coen Penakluk Jayakarta
 Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
 Sejarah Kesultanan Banten dan Daftar Raja yang Pernah Berkuasa
Kejayaan Kesultanan Cirebon
Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Djati, Kesultanan Cirebon mencapai
kemajuan pesat, baik di bidang agama, politik, maupun perdagangan.
Dalam bidang agama sangat jelas terlihat bahwa Islamisasi berjalan sangat masif.
Dakwah agama Islam ke berbagai wilayah terus-menerus dilakukan.
Sedangkan di sektor politik, perluasan daerah menjadi salah satu fokus yang
dijalankan. Bersama Demak, misalnya, Cirebon mampu merebut pelabuhan Sunda
Kelapa pada 1527 untuk membendung pengaruh Portugis.
Selain itu, tulis Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" di
jurnal Patanjala (2012), Sunan Gunung Jati menerapkan sistem politik yang
didasarkan atas asas desentralisasi yang berpola kerajaan pesisir.
Strategi politik desentralisasi itu dilakukan dengan menerapkan program
pemerintahan yang bertumpu pada intensitas pengembangan dakwah Islam ke
seluruh wilayah bawahannya di tanah Sunda.
Usaha ini didukung oleh perekonomian yang kuat dengan menitikberatkan pada
perdagangan dengan berbagai bangsa seperti Campa, Malaka, India, Cina, hingga
Arab.
Baca juga:
 Sejarah Runtuhnya Kerajaan Ternate dan Silsilah Raja atau Sultan
 Sejarah Tarumanegara, Purnawarman & Prasasti Peninggalannya
 Sejarah Penyebab Keruntuhan Kerajaan Samudera Pasai
Keruntuhan Kesultanan Cirebon
Sepeninggal Sunan Gunung Jati yang wafat pada 1568, Kesultanan Cirebon mulai
diincar bangsa-bangsa asing, terutama Belanda alias VOC. Setelah terlibat polemik
selama bertahun-tahun, akhirnya Cirebon menyerah.
Dikutip dari buku Sejarah Daerah Jawa Barat (1982) terbitan Tim Direktorat Jenderal
Kebudayaan RI, pada 1681 ditandatangani perjanjian antara para pemegang otoritas
Cirebon dengan Belanda.
Perjanjian tersebut membuat VOC berhak memonopoli perdagangan di wilayah
Cirebon. Selain itu, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi protektorat yang berada
wilayah di bawah naungan Belanda.
Antara tahun 1906 hingga 1926, Belanda secara resmi menghapus kekuasaan
pemerintahan Kesultanan Cirebon. Cirebon terbebas dari cengkeraman Belanda
pada 1942 dan akhirnya menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 1945.
Kerajaan Banten atau lebih dikenal sebagai Kesultanan Banten adalah kerajaan
bercorak Islam. Kerajaan ini memiliki sejarah panjang semenjak didirikan pada 1552
oleh Syarif Hidayatullah.
Sebelum menjadi kesultanan Banten, di wilayah yang terdapat di paling barat pulau
Jawa telah memiliki kerajaan kuno yang pusat pemerintahannya terletak di daerah
Banten Girang.
Dalam buku Banten Sebelum Zaman Islam, Claude Guillot dan kawan-kawan,
menjelaskan bahwa terdapat banyak petunjuk mengenai ibukota kerajaan kuno yang
berdiri jauh sebelum kerajaan Pajajaran di Jawa Barat.
Salah satu bukti terdapat dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Rouffar dan
Ijzermann pada 1915. Mereka menemukan fakta, pada akhir abad ke-16 ternyata
terdapat sebuah desa yang bernama Sura dan letaknya di kaki Gunung Karang.
Di daerah yang masih dalam wilayah pajajaran dan akhirnya dalam lingkup
Kesultanan Banten, ternyata dulunya terdapat sekelompok orang beragama Hindu
yang tinggal atas izin dari Raja Banten Kuno.
Pendirian Kesultanan Banten
Dalam buku The Sultanate of Banten (1990), H.A. Ambary dan J.Dumarcay,
mengungkapkan, Sultan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menyebarkan
pengaruh Islam ke Banten yang awalnya dikuasai oleh Kerajaan Pasundan (Pakuan-
Pajajaran).
Aksi penyebaran Islam ini tidak dilakukannya seorang diri. Bersama dengan
putranya yang bernama Maulana Hasanuddin, ia menyiarkan agama Islam di Banten
untuk bisa menarik minat dan perhatian penduduk sekitar.
Pada 1552, Syarif Hidayatullah yang tengah memimpin wilayah kesultanan Cirebon
yang juga menguasai sebagian wilayah Banten, menetapkan Maulana Hasanuddin
untuk memimpin kerajaan Banten yang baru didirikan.
Dalam buku Menyegarkan Akidah Tauhid Insani: Mati di Era Klenik (2002), Prof. Dr.
Tarmizi Taher, menerangkan, tahun 1552, putra pertama Sunan Gunung Jati
menyatakan kenaikkan Pangeran Maulana Hasanuddin yang sebelumnya
menduduki posisi Depati Banten atau Gubernur Kesultanan Cirebon untuk wilayah
Banten menjadi Sultan Banten.
Menurut situs Kabupaten Serang, pernyataan yang disampaikan oleh Syarif
Hidayatullah ini telah berhasil memindahkan pusat pemerintahan yang awalnya di
Banten Girang ke Surosowan Banten Lama (Banten Lor). Pusat kepemimpinan ini
kurang lebih sekitar 10 Km di sebelah utara kota Serang.
Raja-raja Kesultanan Banten
 Sultan Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinking (1552-1570)
 Sultan Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan (1570-1585)
 Sultan Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana (1585-1596)
 Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu (1596-1647)
 Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad atau Pangeran Anom (1647-1651)
 Sultan Ageng Tirtayasa atau Abu al-Fath Abdul Fattah (1651-1683)
 Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji (1683-1687)
 Sultan Abu al-Fadhi Muhammad Yahya (1687-1690)
 Sultan Abu al-Mahasin Muhammad Zainulabidin atau Pangeran Adipadi (1690-1733)
 Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin (1733-1750)
 Sultan Syarifuddin Ratu Wakil atau Pangeran Syarifuddin (1750-1752)
 Sultan Abu al-Ma’ali Muhammad Wasi atau Pangeran Arya Adisantika (1752-1753)
 Sultan Abu al-Nasr Muhammad Arif Zainulsyiqin (1753-1773)
 Sultan Aliyuddin atau Abu al-Mafakhir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
 Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussalihin (1799-1801)
 Sultan Muhammad Ishaq Zainulmuttaqin (1801-1802)
 Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
 Sultan Aliyuddin II atau Abu al-Mafakhir Muhammad Aqiluddin (1803-1808)
 Sultan Wakil Pangeran Suramenggala (1808-1809)
 Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin atau Muhammad Bin Muhammad Muhyiddin
Zainussalihin (1809-1816).

dibaca normal 2 menit

1. Home   

2. Sosial Budaya

Sejarah Awal Kerajaan Gowa-Tallo Pra Islam & Daftar Raja-Raja


Penulis: Alhidayath Parinduri
26 Januari 2021
View non-AMP version at tirto.id
Sejarah awal Kerajaan Gowa dan Tallo serta daftar raja-raja sebelum memasuki masa Islam.
   

tirto.id - Kesultanan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan
berpusat di Makassar. Posisinya yang strategis menjadikan wilayah kerajaan ini sebagai salah
satu jalur pelayaran dan pusat perdagangan terpenting di Nusantara dalam sejarah.
Dikutip dari Soedjipto Abimanyu dalam Kitab Kerajaan Terlengkap Kearifan Raja-Raja
Nusantara (2014), Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo -yang sempat terpisah dan berseteru-
membentuk persatuan pada 1528 dan mengalami masa-masa kejayaan.
Sejak awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Gowa-Tallo resmi menjadi kerajaan Islam atau
kesultanan. I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-1639) menjadi penguasa Gowa-Tallo
pertama yang memeluk agama Islam dan lantas memakai gelar Sultan Alauddin I.
Sebelum menjadi kerajaan Islam atau kesultanan, masyarakat Gowa dan Tallo menganut
kepercayaan animisme atau kepercayaan terhadap leluhur yang disebut To Manurung.
Sejarah Awal Kerajaan Gowa-Tallo
Asal usul nama Gowa sudah dikenal sejak tahun 1320, yaitu sejak era pemerintahan penguasa
Gowa pertama yang bernama Tumanurung Bainea. Orang-orang Makassar dan Bugis dikenal
sebagai kaum pelaut yang tangguh.
Mattulada melalui buku Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (2011)
mengungkapkan bahwa terdapat 9 negeri kecil yang sudah ada di Gowa sebelum
Tumanurung hadir.
Mereka mengikat diri di bawah naungan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah). Adapun 9
negeri tersebut adalah Kasuwiang Tambolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang
Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero.
Awalnya, mereka sering terlibat pertikaian. Dengan adanya Paccalaya, konflik tersebut dapat
ditekan. Mereka sadar bahwa untuk dapat hidup lebih damai dibutuhkan seorang pemimpin
yang bisa mempersatukan dan mengakomodir seluruh kepentingan.
Ahmad M Sewang dalam buku Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad
XVII (2013) menyebutkan, mereka mencari orang dari luar kelompok. Kemudian, mereka
bertemu dengan Tumanurung di bukit Tamalate dan mengangkatnya menjadi raja dari ke-9
negeri di Gowa itu.
Baca juga:

 Teori Sejarah Masuknya Agama Hindu dan Buddha ke Indonesia


 Sejarah Proses Masuknya Agama Kristen Katolik ke Indonesia
 Penjelasan 4 Teori Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Selanjutnya, digelar perundingan antara Kasuwiang Salapa (perwakilan dari 9 negeri),
Tumanurung, dan Paccalaya.
Dikutip dari penelitian Apriani Kartini dengan judul "Lontara Bilang Sebagai Sumber
Kerajaan Gowa" (2014) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, berikut ini
isi perjanjian tersebut:
“Berkatalah Kasuwiang Salapangan kepada Tumanurung: Dikaulah yang akan menjemput
kami menjadi baginda raja kami. Berkatalah Tumanurung: Engkau berhamba dirilah
kepadaku, sementara aku masih menumbuk padi, masih mengambil air. Berkatalah
Kasuwiang Salapanga: Sedang istri kami tidak melakukan hal itu, apalagi baginda yang
kami pertuankan. Sesudah itu Tumanurunga menyanggupi diangkat karaeng di Gowa."
Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka Tumanurung dinobatkan sebagai raja pertama dari
silsilah penguasa Kerajaan Gowa. Kedatangannya bak juru selamat di tengah-tengah
masyarakat yang saat itu penuh dengan kekacauan dan ketidakteraturan.
Riwayat Kerajaan Gowa dan Tallo
Kerajaan Gowa pernah terbelah menjadi dua setelah masa pemerintahan Tonatangka Lopi
pada perjalanan abad ke-15. Dua putranya, yakni Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero
berebut takhta sehingga terjadilah perang saudara.
Dikutip dari tulisan William P. Cummings bertajuk "Islam, Empire and Makassarese
Historiography in the Reign of Sultan Alauddin (1593-1639)" dalam Journal of Southeast
Asian Studies  (2007), Batara Gowa mengalahkan sang adik. Karaeng Loe kemudian turun ke
muara Sungai Tallo dan mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.
Baca juga:

 Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa


 Sejarah Kerajaan Singasari: Kisah Ken Arok Hingga Raja Kertanegara
 Sejarah Kerajaan Kahuripan, Lokasi, & Peninggalan Raja Airlangga
Versi lainnya menyebutkan, Tonatangka Lopi memang membagi wilayah Kerajaan Gowa
menjadi dua untuk diberikan kepada kedua anaknya, Karaeng Gowa dan Karaeng Loe ri
Sero. Jadilah ada dua kerajaan yakni Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo.
Dua kerajaan kembar ini berpolemik selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, setelah tahun
1565, Gowa dan Tallo bersatu kembali dengan kesepakatan Rua Karaeng se’re ata atau dua
raja, seorang hamba.
Setelah bersatu kembali, kerajaan ini disebut Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar.
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), mengungkapkan, ada
sistem pembagian kekuasaan, yaitu raja berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan
perdana menterinya berasal dari garis Tallo.
Menjelang berakhirnya abad ke-16 atau menuju abad ke-17, Kerajaan Gowa-memasuki masa
Islam dan berubah menjadi kesultanan. Begitu pula dengan pemimpinnya yang kemudian
menyandang gelar sultan.
Daftar Penguasa Gowa Pra-Islam
 Tumanurung Bainea (awal abad ke-14)
 Tamasalangga Baraya (1320 -1345)
 I Puang Loe Lembang (1345-1370)
 I Tuniata Banri (1370-1395)
 Karampang Ri Gowa (1395-1420)
 Tunatangka Lopi (1420-1445)
 Batara Gowa Tuniawangngang Ri Paralakkenna (1445-1460)
 Pakere Tau Tunijallo Ri Passukki (1460)
 Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna (1460-1510)
 I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga (1510 -1546)
 I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta (1546-1565)
 I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565)
 I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Tunipasulu (1565-1590)
Kesultanan Tidore merupakan salah satu kerajaan yang pernah berjaya dalam
sejarah kawasan timur Indonesia, tepatnya di Maluku Utara. Riwayat Kerajaan
Tidore kerap dikaitkan dengan saudara kembarnya, yakni Kesultanan Ternate.
Kejayaan Kesultanan Tidore berlangsung dari abad ke-16 sampai abad ke-18
Masehi. Masa ini ditandai dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore yang luas,
dari sebagian besar pulau Halmahera Selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, hingga
pulau-pulau di sekitar Papua Barat.
Kesultanan Tidore menjalani peradaban yang cukup lama dan melalui berbagai
tahapan dalam riwayat sejarah Nusantara bahkan hingga Indonesia merdeka
tanggal 17 Agustus 1945.
Sejak tahun 1999 atau setelah Reformasi 1998 yang meruntuhkan rezim Orde Baru,
Kesultanan Tidore dihidupkan kembali dalam konteks melestarikan warisan budaya
serta sejarah dan masih eksis hingga saat ini.
Baca juga:
 Sejarah Kesultanan Ternate: Kerajaan Islam Tertua di Maluku Utara
 Sejarah Bubarnya VOC: Faktor Penyebab & Daftar Gubernur Jenderal
 Sejarah Kerajaan Panjalu Kediri: Letak, Pendiri, Raja, & Prasasti
Sejarah Awal Kerajaan Tidore
Pada awalnya, yang disebut dengan Maluku meliputi Ternate, Tidore, Makian, dan
Moti. Keempat wilayah ini bernama “Moloku Kie Raha" yang artinya “persatuan
empat Kolano (kerajaan)", demikian tulis Komaruddin Hidayat dan kawan-kawan
dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia (2006:335).
Dikutip dari buku Kesultanan Islam Nusantara (2010:116) karya Darmawijaya,
sesudah terjadi Perjanjian Moti pada abad ke-14 Masehi, Kerajaan Makian pindah
ke Bacan (Halmahera Selatan), sedangkan Kerajaan Moti pindah ke Jailolo
(Halmahera Barat).
Adapun Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate tetap hidup berdampingan kendati
kerap bersaing satu sama lain.
Baca juga:
 Sejarah Awal Kesultanan Mataram Islam, Letak, dan Pendiri Kerajaan
 Sejarah Kerajaan Larantuka: Lokasi, Pengaruh Kristen, & Peninggalan
 Kerajaan Kutai Kartanegara: Sejarah, Letak, & Daftar Raja-Sultan
Raja pertama Tidore adalah Sahajati yang merupakan saudara Mayshur Malamo,
raja pertama Kerajaan Ternate. Berdasarkan berbagai sumber, tidak ada keterangan
yang menyebutkan bahwa Sahajati telah memeluk agama Islam.
Hamka dalam Sejarah Umat Islam (1981:14) menguatkan pendapat tersebut dengan
menyebutkan bahwa saat itu di Maluku ada kepercayaan Symman yaitu memuja
roh-roh leluhur nenek moyang.
Penguasa Tidore yang pertama masuk Islam adalah Ciriliyati dengan gelar Sultan
Jamaluddin (1495-1512). Sejak saat itu, Kerajaan Tidore pun berubah menjadi
kesultanan atau kerajaan bercorak Islam.
Sepeninggal Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al Mansur
(1512-1526). Kala itu, pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara, termasuk
Tidore. Tidore kedatangan bangsa Spanyol yang diterima dengan baik.
Baca juga:
 Perjanjian Zaragoza: Ketika Dunia Hanya Milik Spanyol & Portugis
 Sejarah Proses Masuknya Agama Kristen Katolik ke Indonesia
 Sejarah Sultan Nuku dari Tidore: Lord of Fortune Tak Terkalahkan
Sebelumnya, kerajaan tetangga yakni Kesultanan Ternate telah terlebih dulu
menjalin relasi dengan bangsa Portugis. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis
sedang bersaing menanamkan pengaruh di kawasan timur Nusantara.
Suasana persaingan pun semakin panas. Portugis berambisi merebut Tidore dari
pengaruh Spanyol. Darmawijaya dalam Kesultanan Islam Nusantara (2010:135)
menyebutkan, terjadi beberapa kali peperangan dengan Portugis dan Tidore.
Pertikaian ini berakhir dengan perjanjian damai. Portugis bersedia menarik
armadanya dari Tidore namun dengan syarat.
Syaratnya adalah semua hasil rempah-rempah dari Tidore hanya boleh dijual
kepada Portugis dengan harga seperti yang dibayarkan Portugis kepada Ternate.
Baca juga:
 Sejarah Kesultanan Banten dan Daftar Raja yang Pernah Berkuasa
 Kesultanan Gowa-Tallo Masa Islam: Sejarah, Peninggalan, Raja
 Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa
Kejayaan dan Akhir Kesultanan Tidore
Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M)
yang berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan
lain di Kepulauan Maluku.
Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan di era kepemimpinan Sultan
Nuku pada awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah kekuasaan Tidore
sampai ke Papua bagian Barat, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai
Kepulauan Pasifik.
Tak hanya itu, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk
menghadapi penjajah Belanda yang dibantu Inggris. Kegemilangan mengusir
bangsa asing membuat Kesultanan Tidore mencapai kemajuan dengan pesat.
Baca juga:
 Kesultanan Aceh : Sejarah Masa Kejayaan dan Peninggalan
 Sejarah Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya & Silsilah Raja-Raja
 Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir
Di tengah suasana damai dan makmur, Sultan Nuku berpulang pada 14 November
1805 dalam usia 67 tahun. Pemimpin berjuluk The Lord of Fortune mewariskan
masa-masa emas Kesultanan Tidore sebagai negeri yang diberkati dan berdaulat.
Sepeninggal Sultan Nuku, Belanda berusaha kembali mengincar Tidore. Hal ini
diperparah dengan banyanya polemik internal yang membuat Kesultanan Tidore
akhirnya jatuh dalam penguasaan Belanda.
Seiring kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kesultanan Tidore bergabung dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidore, tepatnya Sofifi, ditetapkan
sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara.
Beberapa peninggalan sejarah Kesultanan Tidore yang masih tersisa adalah Istana
Kadato Kie serta Benteng Torre dan Tahula.
Baca juga:
 Sejarah Kerajaan Jenggala: Prasasti, Peninggalan, & Silsilah Raja
 Sejarah Kerajaan Kahuripan, Lokasi, & Peninggalan Raja Airlangga
 Sejarah Kerajaan Panjalu Kediri: Letak, Pendiri, Raja, & Prasasti
Daftar Raja/Sultan Tidore
 Kolano Syahjati
 Kolano Bosamawange
 Kolano Syuhud alias Subu
 Kolano Balibunga
 Kolano Duko adoya
 Kolano Kie Matiti
 Kolano Seli
 Kolano Matagena
 1334-1372: Kolano Nuruddin
 1372-1405: Kolano Hasan Syah
 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
 1512-1526: Sultan Al Mansur
 1526-1535: Sultan AmiruddinIskandarZulkarnain
 1535-1569: Sultan KiyaiMansur
 1569-1586: Sultan Iskandar Sani
 1586-1600: Sultan GapiBaguna
 1600-1626: Sultan Zainuddin
 1626-1631: Sultan Alauddin Syah
 1631-1642: Sultan Saiduddin
 1642-1653: Sultan Saidi
 1653-1657: Sultan Malikiddin
 1657-1674: Sultan Saifuddin
 1674-1705: Sultan Hamzah Fahruddin
 1705-1708: Sultan Abdul FadhlilMansur
 1708-1728: Sultan HasanuddinKaicilGarcia
 1728-1757: Sultan Amir Bifodlil Aziz MuhidinMalikulManan
 1757-1779: Sultan Muhammad MashudJamaluddin
 1780-1783: Sultan Patra Alam
 1784-1797: Sultan Hairul Alam KamaluddinAsgar
 1797-1805: Sultan Nuku
 1805-1810: Sultan ZainalAbidin
 1810-1821: Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
 1821-1856: Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah
 1856-1892: Sultan AchmadSyaifuddinAlting
 1892-1894: Sultan AchmadFatahuddinAlting
 1894-1906: Sultan AchmadKawiyuddinAlting
 1947-1967: Sultan Zainal Abidin Syah
 1999-2012: Sultan Djafar Syah
 Sejak 2012: Sultan Husain Syah

Anda mungkin juga menyukai