Anda di halaman 1dari 7

KERAJAAN ISLAM DI ACEH

Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama
Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan karena letak Pulau Sumatra yang strategis dan
berhadapan langsung dengan Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan internasional pada
masa itu. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa di
Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam diantaranya adalah Aceh, Biar dan Lambri, Pedir,
Pirada, Pase, Aru, Arcat, Rupat, Siak, Kampar, Tongkal, Indragiri, Jambi, Palembang, Andalas,
Pariaman, Minangkabau, Tiku, Panchur, dan Barus. Berikut ini beberapa kerajaan islam yang
ada di Pulau Sumatera.
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana
berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya,
dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang
saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan
Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1.

Kerajaan Islam Jeumpa


Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh,
Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir
sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja
Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut “Cot
Cibrek Pintoe Ubeuet”.
Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yang
bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang
Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi,
Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam
Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat
menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar
lainnya. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang
berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Pangeran Salman telah mengangkat anak-
anaknya menjadi Meurah-Meurah baru dan menjadi pemimpin di berbagai wilayah.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota
pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. namun demikian,
kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi
kader-kader ulama dan pendakwah Islam, karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi
ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.
Kerajaan Islam Peureulak
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah
Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau
Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus
untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah, yang
beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan
Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari
Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum
Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abbas Syah, aliran
Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang
saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan,
kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Ali Mughat Syah dari aliran Syiah naik tahta.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin
Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun
antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua
bagian:
 Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
 Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah
Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang
Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Syah Johan yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan
Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua
orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
1. Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah
(Parameswara).
2. Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz
Johan (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan
Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al
Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
Kerajaan Islam Lamuri
Kerajaan ini terletak di daerah kabupaten Aceh Besar. Nama "Lamuri" masih terbaca
dalam nama gampong (desa) Lamreh. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul
sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan
tersebut. Di Lamreh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa
pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "Sultan". Penemuan arkeologis pada
tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398
H/1071 M.
Baik naskah dan cerita setempat maupun sumber asing menyebut nama kerajaan yang
mendahului Aceh : "Lamuri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao
Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-
chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri" di antara daerah yang oleh
Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires
mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.

Samudra Pasai
Aceh adalah daerah yang pertama kali menerima ajaran agama Islam, bahkan di Aceh
kerjaan Islam pertama di Indonesia berdiri yakni Kerajaan Samudra Pasai. Kerajaan Samudra
Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275. Kerajaan ini sultan
pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Sultan Malik as-
Shaleh sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu yang berganti
nama dengan Malik as-Shaleh setelah memeluk agama Islam.
Nama-nama sultan yang disebut dalam Hikayat Raja-Raja Pasai terdapat dalam mata
uang emas yang disebut dengan dirham, kecuali Malika-al-Saleh. Berikut ini merupakan urutan
para raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3. Sultan Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5. Sultanah Nahrisyah (1405-1412);
6. Abu Zain Malik Zahir (1412);
7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai mempunyai hubungan
dengan negara Cina seperti yang disebutkan dalam sumber sejarah Dinasti Yuan. Pada tahun
1282 duta Cina bertemu dengan Menteri Kerajaan Sumudra di Quilan yang meminta agar raja
Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan bahwa kerajaan Sumatra
mengirimkan dutanya yang bernama Sulaiman dan Syamsuddin.
Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai puncaknya pada awal abad
ke-16. Para pedagang yang pernah berkunjung ke Samudera Pasai berasal dari Rumi, Turki,
Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah, dan Pegu. Barang
komoditas yang diperdagangkan Samudera Pasai adalah lada, sutera, dan kapur barus.
Kesultanan Samudera Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut
dengan ceitis. Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat dari dramas.
Agama dan Budaya Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Samudera
Pasai. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat
Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan
dan kematian. Selain itu, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudera Pasai juga
dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta
disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama Islam yang bermazhab
Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli teologi Islam.
Sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai juga mempunyai peran
yang besar dalam pengembangan dan penyebaran agama Islam di tanah air. Malaka menjadi
kerajaan yang bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai.
Hubungan dipererat dengan pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga
pada awal abad- 15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kerajaan Islam Malaka, yang dimulai
dengan pemerintahan Parameswara.
Sejak Portugis menguasai Malaka pada 1511, Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521.
Kemudian Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah lebih
berhasil menguasai Samudera Pasai.

Kesultanan Aceh Darussalam


Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang beribu kota Bandar
Aceh dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Pada 1520 Aceh
memasukkan Kerajaan Daya dan menakhlukan Pedir dan Samudera Pasai tahun 1524.
Kesultanan Aceh Darussalam menyerang kapal Portugis di Bandar Aceh. Pada 1529 . Sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar
(1538-1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan,
dan mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki,
Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Sultan Alauddin Riayat Syah at-Qahhar menyerang dan
menaklukkan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru, dan Barus.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah
menundukkan
daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di Semenanjung
Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu
kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Kerajaan Islam Trumon


Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan Batak yang diakuisisi oleh Kesultanan
Aceh setelah rajanya masuk Islam. Bendera Kerajaan Trumon merupakan cikal-bakal bendera
yang dipakai oleh Sisingamangaraja XII. kerajaan Batak Sisingamangaraja XII disinyalir masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan di Singkil khususnya Kerajaan Trumon ini.
Karena sebelum diakuisisi oleh Aceh, Kerajaan Trumon merupakan provinsi dari Kesultanan
Barus.
Kesultanan Barus di Kawasan Fansur, bukan yang Hulu, didirikan oleh Keturunan Raja
Uti dimana Raja Uti diyakini masih merupakan "paman adat" Dinasti Sisingamangaraja di
Bakkara. Sekarang ini masih terdapat bangunan benteng di Trumon sebagai bukti sejarah
kerajaan ini.
Bangunan benteng Kuta Batee dibangun ketika Kerajaan Trumon dipimpin atau di bawah
pemerintahan Teuku Raja Fansuri Alamsyah yang juga dikenal dengan sebutan Teuku Raja
Batak. Dalam masa ini pula, Trumon meraih kejayaannya hingga berhasil mencetak mata uang
sendiri sebagai alat tukar yang sah. Teuku Raja Batak ini merupakan raja ketiga, menggantikan
ayahnya bernama Teuku Raja Bujang yang sebelumnya menerima tahta dari kakeknya (ayah
Raja Bujang) yaitu Teuku Djakfar selaku pendiri Kerajaan Trumon dan Kerajaan Singkil.
Kerajaan Trumon didirikan oleh seorang saudagar sekaligus pemuka agama (labai)
berasal dari XXV Mukim Aceh Besar dalam abad ke-18. Ia tidak lain adalah Labai Daffa (Labai
Dafna-sebutan Belanda) yang nama aslinya adalah Teuku Djakfar. Raja ini sebelum mendirikan
Kerajaan Trumon dan Singkil, sempat belajar agama Islam di Ujung Serangga, Kecamatan
Susoh, Aceh Barat Daya sehingga meraih gelar labai atau teungku, panggilan ulama dalam
masyarakat Aceh.

a. Kehidupan Politik
Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh
Darussalam adalah Sultan Ibrahim atau Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Aceh
Darussalam berusaha memperluas pengaruh dengan merebut daerah-daerah sekitarnya. Pada
tahun 1524, Pedir dan Samudra Pasai ditaklukkan. Setelah Sultan Ali Mughayat Syah wafat,
takhta Kerajaan Aceh Darussalam berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaudin Ri’ayat Syah al
Kahar (1537-1571), Sultan Alaudin Mansur Syah (1571-1585), Sultan Alaudin Ri’ayat Syah ibn
Sultan Munawar Syah (memerintah hingga tahun 1588), dan Sultan Alaudin Riayat Syah ibn
Firman Syah. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah ibn Firman Syah, orang-
orang Belanda dan Inggris diterima baik sebagai mitra perdagangan lada. Setelah Sultan Alaudin
Riayat Syah ibn Firman Syah wafat, sultan yang memerintah selanjutnYa adalah Sultan Muda
yang memerintah Aceh Darussalam sampai tahun 1607. Berikutnya adalah Sultan Iskandar
Muda yang memerintah selama 29 tahun (1607-1636). Sejak Sultan Au Mughayat Syah, Aceh
Darussalam berusaha merebut Malaka. dan tangan Portugis. Serangan Aceh Darussalam
terhadap Malaka dilakukan beberapa kali.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar, secara perlahan
Aceh Darussalam berkembang menjadi kerajaan yang kuat Ia mengembangkan dan memperkuat
angkatan peräng. Hubungan diplomatik dengan luar negeri mulai dijalankan, misalnya dengan
negara Islam di Timur Tengah (Turki dan India). Hubungan ini dilakukan untuk mempererat
hubungan politik dan memajukan hubungan perdagangan. Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar
juga mengirim utusan ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan
kekuasaan Portugis. Dengan kekuatan militer yang semakin besar, Sultan Alaudin Riayat Syah al
Kahar mulai meluaskan kekuasaannya. Beberapa kerajaan di lingkungan Aceh satu persatu
ditaklukkan, seperti Kerajaan Babat, Aru, dan Barat.
Dengan bantuan tentara dan peralatan perang dan Turki (1537-1568) tentara Aceh
Darussalam menyerang Johar dan Malaka. Setelah Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahar wafat,
para penggantinya meneruskan usaha-usaha untuk memperkuat pengaruhnya dengan menyerang
Johar dan mengadakan hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam di Jawa. Pada masa
pemerintah Sultan Iskandar Muda, perlawanan terhadap Portugis dimulai kembali. Aceh
Darussalam berusaha rnenguasai kembali daerah-daerahnya yang telah direbut Portugis. Pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalarn mengalami puncak
Kejayaan. Pada tahun 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal. Takhta Kerajaan Aceh
Darussalam selanjutnya digantikan Iskandar Thani yangberkuasa pada tahun 1636-1641. Pada
masa Sultan Iskandar Thani, daerah-daerah kekuasaan yang jauh dari pemerintah pusat banyak
yang berusaha lepas dari kekuasaanya Kerajaan Aceh Darussalam.

b. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang
perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat
menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur.
Dengan kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata
yang kuat. Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata
pencaharian utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama
perdagangan lada dan emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan
diri pada sektor kelautan dan pertanian.

c. Kehidupan Sosial dan Budaya


Kebudayaan masyarakat di Kerajaan Aceh Darussalam juga makin bertambah maju
karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Kemajuan tersebut terbukti dengan adanya
hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam. Menurut
Hukum Adat Makuta Alam, pengangkatan sultan haruslah Semufakat hukum dengan adat.
Dalam menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dan alim ulama, kadi, dan dewan
kehakiman. Mereka bertugas memberi peringatan kepada sultan terhadap pelanggaran adat dan
hukum yang dilakukan. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda muncul ahli tasawuf
yang terkenal, yaitu Hamzah Fansyuri dan muridnya Syamsudin as Sumatrani. Mereka banyak
sekali menulis buku berbentuk prosa ataupun syair.
Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani, muncul ahli tasawuf terkenal dari
Gujarat yang bernama Nurruddin ar Raniri. Hasil kàryanya yang terkenal adalah Bustanus
Salatin yang berisi sejarah Aceh Darussalam. Ajaran Nurrudin ar Raniri bertentangan dengan
ajaran Hamzah Fansyuri dan Syamsudin as Samatrani. Hal itu menyebabkan. perpecahan di
Kerajaan Aceh Darussaiam. Pada tähun 1641, Sultan Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan
Iskandar Thani meninggal, Aceh Darussalam mengalami kemunduran di berbagai bidang.

Anda mungkin juga menyukai