PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan
tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan
dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau
Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu
lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat
diperhitungkan sejak awal abad ke 1.
Namun dengan sendirinya meningkat lalulintas perdagangan dan
kemampuan hidup masyarakat sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu
pemerintahan atau kerajaan-kerajaan terutama di Aceh seperti Kerajaan Jeumpa,
Lamuri, Samudra Pasai dan lain-lain yang menganut agama Islam.
Pada saat itu Sumatera sudah kaya akan hasil Bumi dan Alamnya jadi
tidak salah pada masa itu bangsa India menyebutnya dengan sebutan
Swarnadwipa (Pulau Emas).
Selain berdagang, para saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan
menyebarkan agama yang mereka pahami dan dibawa dari bangsa mereka, salah
satunya yaitu agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih
dahulu sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha
di Aceh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kerajaan yang ada di Aceh ?
2. Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Aceh ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kerajaan-kerajaan yang ada di aceh.
2. Untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan Aceh.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda
Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai
bagian keluarga.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa
berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan
Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman
Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju
dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana
lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa
menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di
sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas
hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya,
baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan
Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas
adalah Bireuen, yang artinya kemenangan,
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat
anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru dan menjadi pemimpin di berbagai
wilayah.
Kewilayah barat, berhampiran dengan Barus, Fansur, Lamuri yang sudah
berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi
Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi
Kerajaan Pidie.
Kesebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah
di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam
perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru
terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda
Khalifah berjumlah 100 orang.
Syahri Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah
seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik,
cicit dari Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama
3
Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik
menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abdul Azis Syah.
Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam
Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak.Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan
Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju
menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan
perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa
menjadi kurang menonjol. namun demikian, kerajaan ini tetap eksis, yang
mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama
dan pendakwah Islam, karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi
ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi
Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap
memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan
beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan
bahwa Raja terakhir Majapahit Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal
dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh
dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang
terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah
seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di
Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.
Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan,
dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah,
Pattani dan sekitarnya.
Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali
Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir
Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali,
4
yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang
ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam
Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang
telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan
mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri
sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah
Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari
Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah
yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan
strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan,
yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan
Aceh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh
dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke
wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau
pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun
peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah
keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan.
Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa
mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan
diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari
keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
5
karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan
posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga
yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal
dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di
daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan
campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian
utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh
Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan
Peureulak.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis
Syah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan
setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M).
Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah.
Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian
dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana
Abbas Syah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada
tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni
sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan, kaum Syiah memenangkan
perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Ali
Mughat Syah dari aliran Syiah naik tahta.
Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan
Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan
berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan
Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan
selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan
perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah
(986 – 988)
6
Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah meninggal sewaktu Kerajaan
Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah
pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan yang melanjutkan
perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin
Syah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik
persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri
tetangga Peureulak:
Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik
Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Abdul Aziz Johan (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan
Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
7
wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama
(1365) menyebut "Lamuri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai
bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis PortugisTomé Pires mencatat
bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.
8
Syafi'i. Selanjutnya pada masa pemerintahanSultan Ahmad Malik az-Zahir putra
Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun
1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari
ibukota kerajaan.
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antaraKrueng Jambo
Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara.
Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai,
menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu,
namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer
dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir,Kerajaan
Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga
menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun
pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu
kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai.
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi
beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus
Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk
meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya
runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah
menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah
menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
9
megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan
sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga
kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada
tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri,
kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya
mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera
sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga
tahun 1537. kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari
selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopediebahwa pada
tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu.
Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang
melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan
penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500
buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas
dominasi Aceh atas Selat Malakadan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah
berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal
dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah
melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan
utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam
bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam
10
bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi
Fashil.
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan
Selat Malaka.
11
lain adalah Labai Daffa (Labai Dafna-sebutan Belanda) yang nama aslinya adalah
Teuku Djakfar.
Raja ini sebelum mendirikan Kerajaan Trumon dan Singkil, sempat belajar
agama Islam di Ujung Serangga, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya sehingga
meraih gelar labai atau teungku, panggilan ulama dalam masyarakat Aceh.
Dengan demikian tidak heran, kalau Benteng Kuta Batee ini akhirnya
selamat dan terhindar dari bencana gelombang tsunami, berkat doa Raja-raja
Trumon yang terkenal alim heroik itu.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh
merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur
pelayaran dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan
yang sangat luas, sehingga Kerajaan-kerajaan ini sangan maju terutama di bidang
perekonomiannya. Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan
Sultan Iskandar Muda. Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh
menjadi kerajaan yang besar dan berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah
menjadi Bandar transito yang dapat menghubungkan seluruh pedagang dunia
barat.
Kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh yaitu Kerajaan Islam Jeumpa,
Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Lamuri, Kerajaan Samudra Pasai,
Kerajaan Aceh Darussalam Dan Kerajaan Islam Trumon.
B. Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah dan seluruh
pembaca. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan dan
kesempurnaan di masa mendatang.
13
DAFTAR PUSTAKA
Ari L, Dwi, dan Leo Agung. 2004. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Media
Tama
Amiruddin M, Hasbi. 2006. Aceh dan Serambi Mekkah. Banda Aceh : Yayasan
PeNA
Heru P, Eko dkk. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : CV Sindhunata
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Tim Edukatif HTS, Modul Sejarah IPS, Surakarta, CV Hayati Tumbuh Subur
14