Anda di halaman 1dari 11

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM AWAL DI INDONESIA

A. Sejarah Kerajaan Islam Awal di Indonesia


Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, atau biasa disebut kesultanan, merupakan
episode penting dalam proses islamisasi di Indonesia. Dalam tahapan proses islamisasi,
pembentukan kesultanan menandai awal terintegrasinya nilai-nilai Islam secara lebih
intensif ke dalam sistem social dan politik di Nusantara, dan kesultanan pun menjadi basis
upaya penerapan ajaran Islam di kalangan masyarakat. Apabila sebelumnya kehadiran
Islam lebih terbatas pada pembentukan komunitas Islam di pusat perdagangan, maka
dengan berdirinya kesultanan, Islam mulai tampil sebagai kekuatan politik dan budaya
sebab pusat kekuasaan adalah basis pembentukan budaya dan politik. Dengan berdirinya
kesultanan, Islam memperoleh kekuatan politik yang memungkinkan perkembangannya
berlangsung semakin efektif dan pengaruhnya semakin mendalam serta membesar dalam
tata kehidupan masyarakat.
1. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di pesisir timur laut Aceh (sekitar kabupaten
Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang). Ibu kotanya terletak di muara sungai
Pasangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang
memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal masuk ke pedalaman. Terdapat dua kota
yang terletak berseberangan di muara sungai Pasangan, yaitu Samudera dan Pasai. Kota
samudera lebih berada di pedalaman, sedangkan kota Pasai lebih dekat dengan muara
sungai.
Sebelum berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai di daerah itu telah berdiri
kerajaan-kerajaan kecil, yang dipimpin oleh raja yang bergelar Meurah, seperti negeri
Jeumpa, Samudera, Tanoh Data, dan lain-lian.
Cikal bakal Kerajaan Samudera Pasai dibangun oleh Laksamana Laut dari Mesir
yang bernama Nazimuddin al-Kamil. Pada tahun 1128 ia mendapat tugas merebut
pelabuhan Kambayat di Gujarat yang dapat dijadikan tempat pasaran hasil dari timur dan
mendirikan sebuah kerajaan di Sumatera. Tujuan mendirikan kerajaan ini adalah untuk
dapat menguasai hasil rempah-rempah dan lada.
Pada waktu itu Mesir dikuasai Dinasti Fatimiyah (penganut aliran Syi'ah), namun
pada tahun 1268. Dinasti Fatimiyah dikalahkan oleh Dinasti Mamaluk (menganut aliran
Syafi'i). dinasti ini juga ingin merebut Pasai dan menguasai pasaran lada di dunia timur.
Seorang keturunan Merah Pasai bernama Merah Silu diajak bersekutu oleh Syekh
Ismail (seorang tokoh Islam utusan dari Syarif Mekah di bawah kekuasaan Dinasti
Mamaluk). Kedua tokoh ini bersepakat untuk merebut kerajaan Pasai (1285). Kerajaan
Samudera Pasai dapat direbut, maka diangkatlah Merah Silu sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Malikul Saleh (1285-1297).
Perkawinan Sultan Malikul Saleh dengan puteri Ganggang Sari dari Perlak dapat
memperkuat kedudukannya di daerah pantai timur Aceh, kemudian perlak disatukan
dengan Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai merupakan pusat perdagangan di selat
Malaka.
Adapun raja-raja penggantinya adalah sebagai berikut:
1. Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326 M)
2. Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345 M)
3. Mansur Malik az-Zahir (1345-1346 M)
4. Ahmad Malik az-Zahir (1346-1383 M)
5. Zainal Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M)

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


6. Nahrasiyah
7. Abu Zaid Malik az-Zahir (1455-1477)
8. Mahmud Malik az-Zahir (1455-1477)
9. Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Abdullah Malik az-Zahir (1500-1513 M)
11. Zainal Abidin (1513-1524 M)
Catatan Ibnu Batutah pada tahun 1345 menyebutkan, bahwa ketika ia
mengunjungi Pasai, pada saat itu raja yang berkuasa bernama Mahmud Malik al-Zahir.
Menurut Ibnu Batutah, raja ini benar-benar menampakkan citra sebagai seorang raja
Islam. Batas kerajaan kian meluas, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari untuk
menyusuri pantai wilayah kekuasaannya. Malik al-Zahir dikenal sebagai pemimpin yang
ortodoks, gemar bertukar pikiran dengan para ahli fikih dan ushul, sehingga istananya
ramai dikunjungi para cendekiawan dari berbagai negeri. Ia menjalin hubungan dengan
dunia Islam. Antara lain dengan Persia dan Delhi. Ia juga dikenal sebagai seorang raja
Islam yang tak segan-segan memerangi negeri-negeri penyembah berhala di sekitar
wilayah kekuasaannya. Banyak negeri yang kemudian takluk di bawah kekuasaan
Samudera Pasai.
Selain di bidang ekonomi perdagangan, kerajaan Samudera Pasai juga
berkembang sebagai pusat perkembangan Islam di Melayu Nusantara. Catatan perjalanan
Ibnu Batutah dari Afrika Utara pada pertengahan abad ke-14 (tahun 746 H/1345 H)
menggambarkan besarnya perhatian penguasa kerajaan Samudera Pasai terhadap Islam.
Menurutnya, Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345 M), putra Malikus Saleh, penguasa
ketiga kerajaan tersebut, adalah orang yang sangat taat menjalankan shalat di mesjid
istana, dan melakuka kajian terhadap Al-Qur'an. Ia juga dikenal sebagai seorang yang
sangat dekat dan menghargai para ulama ahli hukum Islam. Lebih dari itu, kondisi
tersebut selanjutnya menjadikan Samudera Pasai sebagai basis islamisasi di wilayah
sekitar, khususnya kesultanan Malaka yang berkembang kemudian. Para ulama dan juga
pedagang muslim, yang memberikan kontribusi penting dalam pembentukan Kesultanan
Malaka pada abad ke-14, pada awalnya berbasis di kerajaan Samudera Pasai.
Kerajaan Samudera Pasai berdiri hingga tahun 1524 M, pada tahun 1521 kerajaan
ini ditaklukkan oleh Portugis yang kemudian mendudukinya selama tiga tahun. Setelah
itu, sejak tahun 1524 dan seterusnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh
kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah pada permulaan abad ke-16 M, ia memerintah antara tahun
1507 hingga 1522, sebagai orang pertama memeluk agama Islam yang kemudian dīkuti
oleh rakyatnya.
Dari Pasai, Islam tersebar ke berbagai wilayah, yaitu sebagian besar Aceh,
Pariaman, Minangkabau, sepanjang pesisir utara dan selatan pulau Sumatera, Malaka, dan
pulau-pulau sekitarnya, termasuk Jawa. Bahkan, orang-orang muslim dari sumatera yang
suka merantau telah menyiarkan Islam hingga ke Kalimantan dan Sulawesi. Berdasarkan
catatan sejarah, pulau Sumatera merupakan titik tolak penyiaran Islam di Nusantara. Dari
Sumatera inilah Islam mengepakkan sayap dakwahnya ke berbagai penjuru tanah air.
2. Kerajaan Aceh
Salah satu kerajaan Islam terkemuka di belahan barat Nusantara, tepatnya di
Sumatera, adalah kesultanan Aceh, atau Aceh Darussalam, yang mencapai puncaknya
pada abad ke-16 dan 17. Aceh sebelumnya hanyalah sebuah pusat pardagangan kecil,
berkembang pesat setelah terlibat secara langsung dalam perdagangan maritim
internasional. Sejak penaklukkan Malaka, para pedagang muslim manca negara, yang
sebelumnya melakukan transaksi bisnis mereka di Malaka beralih ke Aceh. Sultan Ali

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


Mughayat Syah (w. 5 Agustus 1530) adalah orang yang selama ini dianggap sebagai
pendiri kerajaan Aceh. Ia dilantik sebagai Sultan Kerajaan Aceh pada tanggal 12
Zulkaidah 916 H dengan gelar Sultan Alauddin Ali Mughayat Syah. Selama masa
kekuasaannya (1514-1530), wilayah kekuasaan Aceh tidak terbatas hanya di lembah
sungai Aceh, yang kemudian dikenal dengan Aceh Besar, tetapi setelah menjangkau
beberapa wilayah lain di sekitarnya. Pada 1520, ia menaklukkan Daya di ujung barat dan
selanjutnya Pidie dan Pasai di belahan timur masing-masing 1521 dan 1524.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, didirikanlah
banyak pelabuhan. Penyerangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang
dilakukan oleh Sultan Ali Mughayat. Sultan juga mampu mengusir garnisum Portugis
dari daerah Deli, yang meliputi Pedir dan Pasai. Namun saat penyerangan terhadap Aru
(1824), tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh armada Portugis.
Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer laut di kawasan itu,
aksi militer Sultan Ali Mughayat Syah ternyata juga mengancam Kesultanan Johor. Pada
tahun 1521 wi layah Kesultanan Aceh diperluas sampai ke Pidie, dan pada tahun 1524
ke Pasai dan Aru, kemudian menyusul Perlak, Tamiang, dan Lumari. Kesultanan Aceh
Darussalam merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samadera Pasai yang hancur abad ke-
14.
Ada beberapa persi lain mengenai terbentuknya Aceh Darussalam. Menurut
Hikayat Aceh, Aceh Darussalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing
diperintah oleh Sultan Muzaffar Syah (Pidie) dan Raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua
orang bersaudara. Suatu saat pecah peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh
Muzaffar Syah. Dia menyatukan Pidie dan Aceh Besar, lantas memberinya nama dengan
Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam membawahi enam kerajaan kecil: Kerajaan Perlak,
Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura, dan
Kerajaan Indrajaya. Kitab Bustanus Salatin, kitab kronik raja-raja Aceh, menyebut Sultan
Ali Mughayat Syah sebagai Sultan Aceh yang pertama. Ia mendirikan kesultanan Aceh
dengan menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut. Pusat kesultanan adalah Banda
Aceh, yang juga disebut dengan Kuta Raja.
Kesultanan Aceh nampaknya mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dan kekhalifahan dalam Islam. Hal ini terlihat dari tindakan Sultan
Alauddin Ri'ayat Syah yang bergelar Al-Qahhar, dalam menghadapi bala tentara Portugis,
pada tahun 1545 M. mengirim utusan ke Turki untuk menjalin hubungan diplomatik, pada
kala itu Turki dipimpin oleh Sultan Sulaiman Khan. Turki memberikan kepada Aceh
sejumlah besar alat senjata dan kira-kira 300 orang tenaga ahli (teknik, militer, ekonomi
dan hukum/tata negara).
Puncak kekuasaan/kejayaan kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda. Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat. Dari
Aceh, tanah Gayo yang berbatasan dīislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang
Batak yang berusaha menangkis kekuatan Islam yang datang, bahkan mereka melangkah
begitu jauh sampai meminta bantuan Portugis.
Aceh juga memperluas wilayah ke arah selatan dan memperoleh kemajuan
ekonomi melalui sistem monopoli perdagangan di pesisir Sumatera Barat sampai
Indrapura. Sultan Iskandar Muda terus melakukan perlawanan terhadap Portugis dan
Johor dengan tujuan menguasai Selat Malaka dan daerah-daerah penghasil lada.
Penaklukkan pada masa itu meliputi Aru, Pahang pada tahun 1618, Kedah tahun 1619,
Perak tahun 1620, kemudian Indragiri dan Batur Sawar.
Sultan Iskandar Muda menjalin kekerabatan dengan Pahang, yaitu dengan
menikahkan putrinya (Safituddin) dengan putra Sultan Ahmad Syah (Sultan Pahang). Ia

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


juga memperhatikan pengembangan agama Islam dengan mendirikan masjid-masjid,
seperti masjid Baiturrahman, dan pusat pendidikan Islam (Daya). Membangun taman
Ghairah sebagai tempat hiburan bagi istri dan keluarga. Pada masanya juga disusun
perundang-undangan yang disebut Adat Mahkota Alam, yang dijadikan bahan acuan
dalam penyusunan sistem perundang-undangan beberapa kerajaan bertetangga.
Menerapkan hukim Islam dengan tegas (Islam menjadi dasar negara).
Selama masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh diperintah oleh banyak sultan,
mereka adalah:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530)
2. Sultan Salahuddin (1530-1538)
3. Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Qahhar (1538-1517)
4. Sultan Husain (1571-1579)
5. Sultan Muda (masih kanak-kanak) (1579, hana beberapa bulan)
6. Sultan Sri Alam (1579)
7. Sultan Zainul Abidin (1579)
8. Sultan Mansyur Syah Perak (1579-1586)
9. Sultan Butyung (1586-1588)
10. Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589-1604)
11. Sultan Ali Ri'ayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
13. Sultan Iskandar Tsani (1636-1641)
14. Sultanat Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675)
15. Sultanat Naqiyatuddin Nurul Alam (1675-1678)
16. Sultanat Inayat Syah (1678-1688)
17. Sultanan Kamalt Syah (1688-1699)
18. Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtuy (1702-1703)
20. Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar Alam Aminuddin (hanya beberapa hari)
22. Sultan Syamsul Alam (hanya beberapa hari)
23. Sultan Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Johan (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badruddin (1764-1765)
27. Sultan Sulaiman Syah (1773)
28. Sultan Alauddin Muhammad (1781-1795)
29. Sultan Alauddin Jauharul Alam (1795-1815)
30. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
31. Sultan Mansyur Syah (1838-1870)
32. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
33. Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1903)
3. Kerajaan Islam Demak
Sejalan dengan pertumbuhan kerajaan di Sumatera, juga berdiri Kesultanan
Demak pada awal abad ke-16 sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Seperti halnya di
Sumatera, berdirinya Kesultanan Demak merupakan babak penting dalam proses
islamisasi di Jawa, setelah sebelumnya lebih terkonsentrasi di pusat-pusat perdagangan di
pantai utara Jawa, seperti Tuban, Gresik, dan Giri. Mengingat tidak tersedianya data-data
sejarah yang memadai, terdapat kesulitan di kalangan ahli sejarah untuk menentukan
tahun berdirinya Kesultanan Demak. Tahun 1500 memang terlanjur dianggap sebagai
waktu berdirinya kerajaan tersebut, kendati pada dasarnya lebih merupakan masyarakat

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


Jawa yang tertarik menetapkan garis pemisah dalam perkembangan sejarah, sebagai batas
antara zaman kuno Hindu-Budha yang diwakili Kerajaan Majapahit dan zaman baru
setelah berdirinya kerajaan Islam Demak.
Penguasa pertama Kesultanaan Demak adalah Raden Fatah (1500-1518). Dia
seorang keturunan raja Majapahit (Kertabumi) dari istri seorang putri keturunan Campa
(Negara kuno di Vietnam Tengah), yang dihadiahkan kepada raja Palembang.
Berdirinya Kesultanan Demak mempunyai makna penting dalam sejarah Islam di
tanah Jawa, sebab Demak adalah kerajaan pertama Islam di Jawa. Kerajaan ini dianggap
menandai berakhirnya era Hindu-Budha Majapahit, karena Demak menaklukkan
Majapahit. Dalam perkembangannya, Demak memperlihatkan peran yang besar dalam
proses islamisasi masyarakat Jawa. Tidak lama setelah kukuh berdiri sebagai satu
kerajaan, para penguasa Demak segera melakukan penaklukkan beberapa wilayah di Jawa
sejalan dengan pengislaman masyarakat lokal. Hingga pertengahan abad ke-16, kerajaan
tersebut telah menguasai sebagian besar wilayah timur Jawa, seperti, Tuban (1527),
Wirosari (Purwodadi, 1528), Gagelang (kini Madiun, 1529), Mendakungan (kini Blora,
1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan, Blitar, dan Wirosobo (1541-1542),
Penanggungan (basis terakhir Hindu-Budha), Mamenang (nama kuno Kediri), dan daerah
hulu sungai Brantas, seperti Malang (1543) dan Sengguruh (1545), dan sasaran terakhir
adalah Blambangan serta Panarukan (1546).
Kesultanan Demak mencapai zaman kemajuannya pada masa kekuasaan Sultan
Trenggono yang berkuasa pada tahun 1524 hingga 1546. ia melakukan perluasan wilayah
kekuasaan kerajaan dan meninggal dalam pertempuran di Panarukan, dalam upaya
melakukan ekspansi wilayah. Pada masa kekuasan Trenggono, Demak berkembang
menjadi kerajaan terkemuka dan pusat islamisasi. Masjid Demak bagi masyarakat Jawa
dianggap sebagai tempat suci yang memperkukuh pengakuan mereka bahwa Demak
adalah pelindung agama Islam di Jawa. Selain itu, mesjid Demak terkenal sebagai tempat
berkumpulnya Wali Songo yang dianggap paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di
Jawa.
4. Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dianggap sebagai pewaris kerajaan Islam
Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura (sekarang) itu merupakan kerajaan
Islam pertama yang terletak di pedalaman pulau jawa. Sejarah berdirinya Pajang ini
berawal dari terjadi peperangan saudara di Demak. Setelah Sultan Trenggono terbunuh.
Lalu ia digantikan adiknya. Prawoto. Masa pemerintahan Prawoto ini tidak berlangsung
lama karena terjadi pemberontakkan oleh adipati-adipati sekitar Demak. Sunan Prawoto
kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549, yang menuntut
haknya atas tahta kerajaan Demak, karena ia putra Pengeran Seda Lepen pewaris kerajaan
sesudah Adipati Yunus yang dibunuh oleh Sunan Prawoto.
Putra Sunan Prawoto (Aryo Pangiri) sempat diselamatkan oleh Pangeran Hadiri
Adipati Kalinyamat (Jepara) untuk menuntut keadilan menghadap Sunan Kudus, namun
Pangeran Hadiri dibunuh pengikut Arya Penangsang saat perjalanan kembali dari
Kudus. Ratu Kalinyamat (istri Pangeran Hadiri) menuntut balas atas kematian suaminya
dengan bersumpah bahwa kepada siapa saja yang dapat membunuh Arya Penangsang
berhak mewarisi tahta kerajaannya. Selanjutnya Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir)
seorang penguasa Pajang, dibantu Ki Ageng pemanahan mengerahkan pasukan untuk
menghadapi Arya Penangsang (penguasa Jipang, Bojonegoro sekarang) dan berhasil
memenangkan hingga Arya Penangsang terbunuh. Itulah hasil dari perang saudara,
hingga runtuhnya kesultanan Demak.

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


Dengan demikian kerajaan Demak berakhir, dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang
di bawah Jaka Tingkir. Sebagai raja Pajang, Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya
(1568-1582). Gelar itu disahkan oleh Sunan Giri, dan segera mendapat pengakuan dari
para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai langkah pertama peneguhan
kekuasaan, Hadiwijaya memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke
Pajang. Setelah itu, ia menjadi salah satu raja yang paling berpengaruh di Jawa.
Sultan Hadiwijaya memeperluas kekuasaannya di Jawa pedalaman ke arah timur
sampai daerah Madiun, di aliran anak Bengawan Solo yang terbesar. Tahun 1554, Blora,
dekat Jipang, diduduki pula. Kediri ditundukkannya pada tahun 1577. tahun 1581,
sesudah usia Sultan Hadiwijaya melampaui setengah baya, ia berhasil mendapatkan
pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur. Meskipun Sultan
Hadiwijaya sangat berpengaruh dan kuat, akan tetapi Pajang tidak mampu memperluas
wilayah kekuasaannya ke daerah lautan. Bahkan Madura pun tidak termasuk dalam
wilayah kekuasaan Pajang. Mungkin, ini merupakan salah satu akibat posisi Pajang yang
berada terlalu masuk ke pedalaman Jawa. Meskipun perluasan wilayah tidak dapat
dijalankan secara maksimal, selama pemerintahan Hadiwijaya, bidang kesusastraan dan
kesenian yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa.
Pengaruh Islam yang kuat di daerah pesisir pun menjalar dan tersebar ke pedalaman.
Hadiwijaya meninggal dunia pada tahun 1587. jenazahnya dimakamkan di Butuh,
suatu daerah di sebelah barat taman keraton Pajang. Ia digantikan oleh menantunya, Arya
Pangiri, anak Sultan Prawoto. Sebelum diangkat ke tahta Pajang, Arya Pangiri adalah
penguasa Demak. Sementara itu, anak Sultan Hadiwijaya, pangeran Benawa, disingkirkan
oleh Arya Pangiri, dan dijadikan Adipati Jipang. Pangeran Benawa lantas meminta
bantuan Danang Sutawijaya penguasa Mataram, untuk menggulingkan Arya Pangiri.
Mereka berhasil, dan pangeran Benawa naik ke singgasana Pajang. Meski demikian,
Benawa mengakhiri kekuasaannya dengan mengundurkan diri dari takhta, lalu memilih
hidup mengabdi pada agama.
Selenjutnya kesultanan Pajang kalah pamor terhadap kekuasaan Mataram. Sebagai
pengganti Pangeran Benawa, Raja Mataram mengangkat Gagak Bening. Namum,
posisinya hanyalah sebagai Adipati Pajang. Sayang usianya tidak panjang. Ia meninggal
pada tahun 1591. akhirnya, raja Mataram mengangkat putra Pangeran Benawa sebagai
Adipati Pajang. Riwayat kerajaan Pajang berakhir di tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu
itu memberontak Mataram yang berada di Bawah kekuasaan Sultan Agung. Pajang
dihancurkan dan rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
5. Kerajaan Mataram (1575-1757)
Pada tahun 1577 M, Ki Ageng Pemanahan menempati istana barunya Mataram,
yang merupakan hadiah dari sultan Hadiwijaya karena membantunya dalam penumpasan
pemberontakkan Aria Penangsang. Ia digantikan oleh puterannya, Panembahan Senopati
tahun 1584 dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopati dipandang sebagai Sultan
Mataram pertama, setelah Pangeran Benawa menawarkan kekuasaan atas Pajang
kepada senopati. Meskipun Senopati menolaknya dan hanya meminta pusaka kerajaan,
diantaranya Gong Kiai Skar Dlima, Kendali Kiai Macan Guguh dan Pelana Kiai Jatayu,
namun dalam tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan
penyerahan kekuasaan. Pusat kerajaan inī terletak di sebelah tenggara kita Yogyakarta,
yakni di kota Gede. Para raja yang pernah memerintah di kerajaan Mataram yaitu
Panembahana Senopati (1584-1601), Panembahan Seda Krapyak (1601-1613), Sultan
Agung Hanyakrakusuma (1613-1646), dan Amangkurat I (1674-1677).
Setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram (sekitar 1586),
maka tampak beberapa macam perubahan, terutama pada masa Sultan Agung. Sultan

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


Agung (1613-1646) telah menjadi penguasa Mataram yang terbesar, dan merupakan raja
yang paling berpengaruh. Setelah menyatukan Jawa Timur dengan Mataram serta daerah-
daerah yang lain, maka Sultan Agung sejak tahun 1630 mencurahkan tanaganya untuk
membangun negara, seperti memajukan berladang, bersawah serta berdagang dengan luar
negeri. Pada bidang kebudayaan, kesenian dan kesusastraan telah maju pesat. Atas
kebijaksanaan Sultan Agung kebudayaan lama yang berdasarkan Indonesia asli dan
Hindu dapat disesuaikan dengan agama dan kebudayaan Islam, seperti:
a. Grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan Maulid Nabi. Sejak itu dikenal dengan
Grebeg Poso (puasa) dan Grebeg Mulud.
b. Gamelan sekaten yang hanya dibunyikan pada Grebeg Mulud, atas kehendak Sultan
Agung dipukul di halaman Masjid Agung.
c. Tahun Cakra yang berangka 1555 cakra, pada tahun 1633 atas perintah Sultan Agung,
tidak lagi ditambah dengan hitungan matahari, melainkan dengan perhitungan perjalanan
bulan, sesuai dengan tahun hijriah.
d. Didirikan Masjid Gede (Agung) pada setiap ibu kota Kabupaten sebagai induknya, yang
dikepalai seorang penghulu dan dibantu oleh 40 orang pegawainya. Penghulu adalah
kepala urusan penyelenggara agama Islam di seluruh daerah Kabupaten, baik berkiatan
dengan ibadah, muamalah ataupun munakahat (nikah, talak dan rujuk). Adapun dalam
urusan jinayat (pidana) penghulu bekerjaama dengan jaksa. Tugasnya, bukan pengacara,
tetapi sebagai hakim (memutuskan hukuman) atau disebut juga penghulu hakim.
e. Dirikan masjid Kawedanan pada setiap ibu kota distrik, yang dipimpin oleh Naib dan
dibantu oleh 11 orang pegawainya. Tugas naib adalah mewakili penghulu.
f. Didirikan masjid desa pada setiap desa, yang dikepalai oleh Modin (kayim, kaum) dengan
4 orang pembantunya. Tugas Modin ialah membantu Naib.
Sultan Agung juga berpredikat sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu
kitab Serat Sastra Gendhiung. Adapun kitab Serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641.
Serat Sastra Gending berisi tentang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat
Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi
harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk
menulis sejarah Babad Tanah Jawi.
Di antara semua karyanya, peran Sultan Agung yang lebih membawa pengaruh
luas adalah dalam hal penanggalan. Sultan Agung memadukan tradisi pesantren Islam
dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa
menggunakan tahun Hijriyah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau Saka.
Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya
sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh Mataram. Perhitungan tersebut hampir
seluruh disesuaikan dengan tahun Hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal
perhitungan tahun Jawa ini tetap sama dengan tahun Saka, yaitu tahun 78 M. kesatuan
perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu
merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman
tradisi dan kebudayaan Jawa, yang sudah terjadi sejak berdirinya Kerajaan Demak.
Hingga saat ini, sistem penanggalan ala Sultan Agung ini masih banyak digunakan.
Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak bukit
Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Selanjutnya Mataram diperintah oleh putranya, Sunan
Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I, kerajaan Mataram mulai mundur. Wilayah
kekuasaan Mataram berangsur-angsur menyempit karena direbut oleh Kompeni VOC.
Yang paling mengenaskan, pada tahun 1675, Raden Trunajaya dari Madura
memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya
berhasil menguasai Kraton Mataram yang waktu itu terletak di Plered. Amangkurat I
terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


Sepeninggal Amangkurat I, takhta Mataram di pegang oleh Amangkurat Ī yang
menurunkan dinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta.
Amangkurat Ī meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya.
Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan Mataram semakin
terpecah belah. Berdasarkan perjanjian Giyanti, Mataram dipecah menjadi dua, yakni
Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan
terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan Pakualaman. Di masa pemerintahan
Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan Mataram ini disebut sebagai vorstenlanden.
6. Kesultanan Banten
Berdirinya Kesultanan Banten diawali ketika Kesultanan Demak memperluas
pengaruhnya ke Jawa Barat. Kota Banten terletak di pesisir Selat Sunda, dan merupakan
pintu gerbang yang menghubungkan Sumatera dan Jawa. Posisi Banten yang sangat
strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525-1526 pasukan
Demak bersama Faletehan berhasil menguasai Banten, yang sebelumnya di bawah
kekuasaan Pajajaran.
Pada tahun 1552 Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya,
Hasanuddin. Faletehan pergi ke Cirebon untuk berdakwah dan mengajarkan agama Islam
sampai ia wafat (1570). Ia dimakamkan di desa Gunung Jati, karena itulah ia terkenal
dengan nama Sunan Gunung Jati. Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552-1570)
Banten cepat berkembang menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung,
Bengkulu dan Palembang.
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai, karena
Banten dan Lampung menghasilkan lada dan pala dalam jumlah besar. Banyak pedagang
dari Cina, India, Gujarat, Parsi, dan Arab setelah berlabuh di Aceh lalu meneruskan
pelayarannya lewat pantai barat Sumatra menuju Banten. Demikian pula pedagang-
pedagang dari kalimantan, Makasar, Nusa Tenggara, dan Maluku banyak yang datang di
Banten. Oleh karena itu, Banten menjadi saingan berat bagi Malaka. Pada saat situasi
politik dan pemerintahan di demak kacau, pada tahun 1568 Hasanuddin melepaskan diri
dari keuasaan Demak.
Hasanuddin wafat tahun 1570, kemudian digantikan oleh putranya Yusuf. Sultan
memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 kekuasaan kerajaan
Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya direbut, dan rajanya (Prabu Sedah) tewas dalam
pertempuran. Sejak itu tamatlah riwayat kerajaan Hindu di Jawa Barat.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1682). Politik Sultan Ageng Tirtayasa sangat keras terhadap
Belanda (Kompeni). Kehidupan sosial masyarakat kerajaan Banten di bawah
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa meningkat dengan pesat, karena ia sangat
memperhatikan kehidupan rakyat dan berusaha untuk memajukan kesejahteraan
rakyatnya. Usaha yang ditempuh oleh Sultan Ageng Tirtayasa adalah memperhatikan
sifat perdagangan bebas dan mengusir Belanda dari Batavia (walaupun gagal).
Setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, kehidupan sosial masyarakat
kerajaan Banten semakin bertambah merosot. Hal ini disebabkan karena campur
tangannya Belanda dalam tata pemerintahan kerajaan Banten.
7. Kerajaan Goa-Tallo
Kerajaan Goa-Tallo terletak di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi, letak
kerajaan Goa-Tallo di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi sangat strategis sebagai
tempat transit para pedagang dari barat Nusantara ke timur, khususnya Maluku yang
terkenal sebagai penghasil rempah-rempah di Nusantara. Hal ini terutama berlangsung
setalah Malaka jatuh ke tangan Portugis, sehingga para pedagang muslim kemudian

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


mengalihkan kegiataan dagang mereka ke kawasan timur. Goa-Tallo ramai dikunjungi
para pedagang, baik dari Nusantara maupun dari negara-negara asing sebagai tempat
singgah untuk mendapatkan perbekalan dalam pelayaran mereka.
Bersamaan dengan kemunculan Goa-Tallo, terjadi pergeseran dalam jaringan
perdagangan dan rute pelayaran di Nusantara. Bila sebelumnya jalur perdagangan adalah
dari Selat Malaka ke Jawa Timur, dan kemudian Maluku, kini beralih melalui Selat
Sunda, Makasar, dan selanjutnya Maluku.
Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan (melalui kerajaan Goa) melalui dua tahapan.
Pertama, secara tidak resmi, terjadi dengan cara pertemuan penduduk setempat yang
berniaga ke luar Sulawesi dengan saudagar muslim di luar Sulawesi, atau melalui
pertemuan penduduk setempat dengan saudagar muslim yang datang ke sana. Kedua,
penerimaan Islam secara resmi oleh Raja Goa-Tallo pada 22 September 1605 yang
ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk yang berasal dari Kota Tengah,
Minangkabau.
Raja Goa XIV yang bernama Manga'rangi Daeng Manra'bia menyatakan
keislamannya, hingga kemudian diberi gelar Sultan Alauddin (1593-1639). Ia diislamkan
oleh Datok ri Bandang, salah seorang dari tiga penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang
berasal dari Minangkabau. Setelah Sultan Alauddin dan Mangkubuminya masuk Islam
secara berangsur-angsur rakyat Goa dan Tallo juga dīslamkan. Pada tanggal 9 November
1607 Sultan Alauddin menyatakan bahwa kerajaan Goa dan Tallo menjadikan Islam
sebagai agama kerajaan, dan seluruh rakyat yang bernaung di bawah kerajaan harus
menerima Islam sebagai agamanya.
Sultan Alauddin kemudian berusaha menyebarkan Islam ke kerajaan-kerajaan
tetangga. Ajakan masuk Islam itu diterima baik oleh sebagian kerajaan kecil di Sulawesi
Selatan, namun ditolak oleh kerajaan-kerajaan Bugis, yaitu Bone, Soppeng dan Wajo.
Karena penolakan itu, Sultan Alauddin melancarkan perang Islam terhadap tiga kerajaan
tersebut pada tahun 1607. perang tersebut, dinamai perang Tamappalo, berhasil
mengislamkan kerajaan Soppeng pada 1607, kerajaan Wajo pada 1610, dan kerajaan
Bone pada 1611. dengan masuk Islamnya Raja Bone, sebagian besar wilayah Sulawesi
Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja.
Pada tahun 1616, Sultan Alauddin meluaskan kekuasaan dan melanjutkan
penyebaran Islam ke luar daerah Sulawesi, yaitu ke Bima dan Sumbawa. Tahun 1633, ia
menerima pernyataan tunduk dari utusan Kerajaan Bima (Sumbawa). Untuk memperkuat
diri, pada 9 Agustus 1634, Alauddin membangun Benteng Makassar yang kini disebut
sebagai Fort Rotterdam. Pada tahun 1634, sayap kekuasaan diperlebar hingga Manado,
Gorontalo, dan Tomini. Empat tahun kemudian, Goa menerima penyerahan daerah
Mandar dari orang-orang Gorontalo.
Sultan Alauddin wafat di tahun 1639, lalu digantikan oleh Sultan Malikussaid,
Raja Goa XV, yang kemudian wafat pada tahun 1653, putranya yang bernama Daeng
Mattawang menggantikannya sebagai raja Goa XVI. Setelah dinobatkan menjadi raja
bergelar Sultan Hasanuddin, dan memerintah pada tahun 1653-1669. pada masa
pemerintahannya Goa menghadapi serangan Kompeni VOC. Sesudah masa pemerintahan
Hasanuddin yang mengalami kekalahan pada tahun 1669, raja-raja Goa bukan lagi raja-
raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan.
8. Kerajaan Banjar
Kerajaan Islam yang terletak di bagian selatan pulau Kalimantan, yang disebut
dengan Kesultanan Banjarmasin. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan
Daha yang beragama Hindu. Sebelum menjadi kesultanan selama kurang lebih 157 tahun
(1438-1595), Banjar dipimpin oleh tujuh orang raja yaitu; Pangeran Surianata,

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


Suriagangga, Putri Kalungsu, Pangeran Sekar Sungsang, Pangeran Sukarama,
Mangkubumi, dan Pangeran Tumenggung.
Situasi politik mulai dari pemerintahan Surianata sampai Sukarama berjalan
dengan normal. Ketika raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat agar
yang menggantikannya nanti adalah cucunya Raden Samudera, ketika itu baru berumur 7
tahun. Hal ini tidak diterima oleh putra-putranya, terutama Pangeran Tumenggung yang
sangat berambisi, setelah raja Sukarama meninggal, jabatan raja diganti oleh Pangeran
Mangkubumi, yang hanya memerintah selama 3 tahun dan terjadi kekacauan politik,
disebabkan ia mati terbunuh oleh seorang pengawal istana, kemudian tahta kerajaan Daha
diambil alih oleh Pangeran Tumenggung.
Pada masa pemerintahan Pangeran Tumenggung, terjadi pertentangan di kalangan
istana antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha dengan Pangeran
Tumenggung (pamannya). Kemelut itu menimbulkan kekacauan di istana sehingga
Pangeran Samudera yang pada masa itu masih kecil diungsikan dan dilarikan ke luar
istana dan besembunyi di Kuin (suatu kota dekat Banjarmasin sekarang). Dalam pada itu
Pangeran Samudera berkelana ke wilayah Muara, yang diasuh oleh seorang patih
bernama Patih Masih.
Dalam kondisi politik di kerajaan Banjar berada dalam kerawanan dan roda
pemerintahan tidak berjalan dengan stabil, Pangeran Samudera diam-diam menyusun
kekuatan untuk menaklukkan Pangeran Tumenggung. Ketika itu Patih Masih
mengusulkan kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada kerajaan
Demak. Sultan Demak bersedia membantu asal Pengeran Samudera nanti masuk Islam.
Sultan Demak kemudian mengirim bantuan seribu tentara beserta seorang penghulu
bernama Khatib Dayan untuk mengislamkan orang Banjar. Pada tahun 1595 perang
saudara terjadi dan dimenangkan oleh Pangeran Samudera, dan setelah itu ia menyatakan
masuk Islam beserta kerabat kraton dan penduduk Banjar menyatakan masuk Islam.
Pangeran Samudera yang berganti nama menjadi Sultan Suriansyah atau
Suryanullah setelah ia memeluk agama Islam dan sebagai raja pertama dalam kerajaan
Islam Banjar, ketika itu ia memindahkan kerajaan Banjar ke suatu tempat dan diberi nama
Bandar masih. Ketika Sultan Suryanullah naik takhta beberapa daerah sekitarnya sudah
mengakui kekuasaannya, yaitu daerah Sambas, Batang lawai, Sukadana, Kotawaringin,
Sampit, Medawi, dan Sambangan.

B. Peranan Kerajaan terhadap Perkembangan Islam di Indonesia


Dalam perkembangannya, kerajaan Islam ini memiliki peran yang sangat besar
dalam proses penyebaran agama Islam di tanah air. Beberapa peran dari kerajaan Islam
yang dianggap penting tersebut di antaranya adalah:
1. Ketika agama Islam dianut oleh Raja atau Sultan dan juga para pejabat Istana serta
para bangsawan dan diikuti seluruh keluarganya maka diikuti pula lapisan masyarakat
secara umum.
2. Kegiatan politik dan ekonomi kerajaan Islam menjadi sarana dalam melaksanakan
dakwah.
3. Dakwah Islam menjadi motivasi dan spirit dalam mengusir penjajah dari bumi
nusantara.
4. Memudahkan transaksi perdagangan dengan para pedagang dari kawasan Timur
Tengah. Pada saat itu, para pedagang dari Gujarat kerap berkelana hingga ke daerah
yang jauh untuk berdagang. Dengan adanya kerajaan Islam, maka ada kesamaan
budaya dari kedua belah pihak sehingga lebih memudahkan dalam menjalin
hubungan.

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin


5. Mengubah budaya upeti yang banyak digunakan di zaman kerajaan sebelumnya. Hal
ini memberikan kemudahan pada rakyat karena tidak lagi mendapatkan beban
membayar upeti kepada penguasa secara berlebihan. Kalau pun kerajaan memerlukan
penggalangan dana lain, maka nilainya menjadi berbeda karena dalam Islam
menyumbang kepada pihak lain merupakan tindakan mulia dan hanya Allah yang
akan membalas dengan cara yang tidak pernah diketahui bahkan tak pernah
dibayangkan oleh orang yang memberi sumbangan tersebut. Upaya memakmurkan
rakyat menjadi tujuan kerajaan Islam yang lebih mudah diwujudkan. Tentu saja
berbeda dengan sistem kerajaan sebelumnya di mana rakyat menjadi pengabdi kepada
kerajaan dan kerajaan tidak secara otomatis mencari upaya untuk mensejahterakan
rakyatnya.
6. Setelah Agama Islam menjadi agama resmi kerajaan maka perubahan-perubahan
tampak dalam sendi-sendi kehidupan kerajaan, bisa di lihat dari aspek sosial politik
dan budaya.
7. Menciptakan tata kehidupan baru yang lebih sesuai dengan apa yang ada pada ajaran
Islam. Islam sebagai agama yang baru dengan mudah diterima karena tata nilai dan
sistem di dalamnya terasa lebih adil. Masing-masing individu memiliki kesempatan
yang sama untuk menempati derajat yang tinggi di mata Allah Swt. tanpa
membedakan latar belakang budaya, suku dan keturunan. Demikian pula dalam tata
pergaulan sehari-hari, hubungan antar individu menjadi lebih baik, sopan santun
dianggap sebagai akhlak yang mulia, sehingga setiap individu memiliki keinginan
untuk meraihnya.
8. Dalam bidang keamanan, kerajaan Islam memiliki kewajiban untuk menciptakan
kedamaian kepada seluruh rakyat, sehingga dalam melakukan kegiatan sehari-hari
tidak akan terganggu dengan ancaman keselamatan.

TUGAS
1. Jelaskan mengapa pendirian kerajaan Islam menjadi hal yang penting dalam
menyebarluaskan Islam di Nusantara?
2. Berikan contoh peranan kerajaan Islam Demak dalam menyebarkan Islam di Indonesia!
3. Sebutkan peranan penting kerajaan Islam terhadap perkembangan Islam di Indonesia!
4. jelaskan peran Samudera Pasai terhadap islamisasi di Indonesia!
5. jelaskan proses berdirinya kerajaan Islam Banjar!
6. Sebutkan kerajaan Islam di Sumatera, dan proses berdirinya!

Rakhmat Noor, M.S.I Guru MAN 3 Banjarmasin

Anda mungkin juga menyukai