Anda di halaman 1dari 6

Kelompok ( I ) Kerajaan Aceh

Nama kelompok : -Ilham Fathur Rahman

-Zulia Nuraini

-Solihuddin Hamdani

-M. Davit Syaifuddin

-Nurul Mahmudhatul Ulya

kerajaan Aceh

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh


Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi
Aceh, Indonesia. dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada
Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu
(1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.

B. Letak Kerajaan Aceh


Kerajaan Aceh atau Kesultanan Aceh Darussalam terletak di Pulau Sumatera bagian Utara (sekarang
provinsi NAD) dengan ibu kotanya Bandar Aceh Darussalam.
C. Pendiri Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan
ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah
kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai
sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang
kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.

D. Pemerintah Kerajaan Aceh


1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)

Sultan Ali Mughayat Syah adalah raja Kerajaan Aceh yang pertama. Di bawah kekuasaannya, Kesultanan
Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah di wilayah Sumatera Utara, seperti Daya dan
Pasai.Sultan Ali Mughayat Syah juga melakukan serangan terhadap kedudukan Bangsa Portugis di
Malaka dan menyerang Kerajaan Aru.

2. Sultan Salahudin (1528-1537 M)

Setelah Sultan Ali Mughayat wafat, pemerintahan beralih kepada putranya yang bergelar Sultan
Salahuddin. Selama menduduki takhta, Sultan Salahudin tidak memedulikan pemerintahaan
kerajaannya. Hal ini membuat keadaan kerajaan goyah dan mengalami kemerosotan tajam. Karenanya,
Sultan Salahuddin mundur dan digantikan saudaranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah al-
Kahar.

3. Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M)

Setelah resmi menjabat sebagai raja, Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar melaksanakan berbagai bentuk
perubahan dan perbaikan untuk kerajaannya.

Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar merupakan Sultan Aceh pertama yang melakukan penyerangan
terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Semenanjung Melayu.

Kesultanan Aceh juga melakukan perluasaan ke wilayah pantai timur Sumatera hingga berhasil
menduduki daerah Kerajaan Aru kemudian mengerahkan pasukannya ke daerah pedalaman Batak, yang
saat itu didominasi oleh pemeluk Agama Hindu.
Meskipun Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar sebenarnya tidak berhasil secara militer melawan
Portugis di Melaka, pemerintahannya berhasil membuat nama Aceh menjadi sangat disegani.

Namanya bahkan dikenal sebagai Sultan Aceh yang berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan
Kesultanan Turki Ottoman.

4. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)

Setelah pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar, Kerajaan Aceh mengalami masa suram dalam
waktu yang lama. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi. Barulah setelah Sultan
Iskandar Muda naik takhta, Kesultanan Aceh mengalami perkembangan pesat hingga mencapai puncak
kejayaannya. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan
besar dan berkuasa atas perdagangan Islam, bahkan menjadi bandar transit yang menghubungkan
dengan pedagang Islam di Barat. Sultan Iskandar Muda juga meneruskan perjuangan Aceh dengan
menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya supaya bisa menguasai jalur
perdagangan di Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Di samping itu, Kerajaan
Aceh memiliki kekuasaan yang sangat luas, meliputi daerah Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri.

5. Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M)

Dalam menjalankan kekuasaan Sultan Iskandar Thani meneruskan tradisi Sultan Iskandar Muda. Pada
masa pemerintahannya, muncul seorang ulama besar bernama Nuruddin ar-Raniri yang menulis buku
sejarah Aceh berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin ar-Raniri sangat dihormati oleh
Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh.

6. Sultan Sri Alam (1575-1576 M)

Sultan Sri Alam atau Sultan Mughal adalah Sultan Aceh ke-6, Sri Alam merupakan putera dari Sultan
Alauddin al-Qahhar, Sultan Aceh ke-3, selain itu ia juga menjabat sebagai Raja Priaman atau Pariaman.

7. Sultan Zainal Abidin

Dia memiliki gelar Ra-Ubabdar yang berarti penakluk gelombang. Diperkirakan pada masa itu, Zainal
‘Abidin telah melakukan perluasan wilayah kekuasaannya sampai semenanjung Melayu. Dia membuka
kota Mulaqat (Malaka) dan mendudukkan putranya, Manshur untuk memerintah di sana. Mulaqat
berarti tempat perjumpaan kapal-kapal dari timur dan barat

Ra-Ubabdar adalah sultan Samudera Pasai yang ke-5. Ia memerintah sampai dengan wafatnya pada
tahun 841 H/1438 M. Nama lengkapnya adalah Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin
Al-Malik Ash-Shalih. Secara garis keturunan, Zainal ‘Abidin merupakan putra dari paman Ratu
Nahrasyiyah yang bernama Ahmad. Pada masa dialah Kerajaan Samudra Pasai diperkirakan mencapai
masa kejayaannya.

Dia juga bergelar Al-Malik Azh-Zhahir, sebagaimana terdapat pada inskripsi nisan salah seorang
keturunannya. Para sultan Samudra Pasai sampai dengan tahun berakhirnya kerajaan ini adalah anak
dan cucu keturunannya. Itu sebabnya pada setiap dirham yang dicetak oleh para sultan disebutkan
Malik Azh-Zhahir setelah nama mereka untuk memaksudkan bahwa mereka adalah anak-cucu
keturunan Zainal ‘Abidin.

8. Sultan Alauddin Mansur Syah

merupakan sultan kedelapan Kesultanan Aceh. Dia memerintah Aceh pada tahun 1579-1585 atau 1586.
Dia dikenal sebagai salah seorang penguasa Muslim yang saleh dan sangat tertarik dengan masalah
budaya. Selama masa pemerintahannya Kesultanan Aceh melakukan beberapa kali ekspansi militer di
Semenanjung Melayu. Meninggal pada tahun 1585 atau 1586. Kematiannya mengakhiri periode panjang
65 tahun perang antara Kesultanan Aceh dan Portugis. Sultan Alauddin Mansur dipuji oleh sejarah
karena sikapnya yang saleh. Pada masanya ia memerintahkan para uleebalang untuk menumbuhkan
jenggot dan menetapkan pakaian Jubah dan serban (pakaian Muslim) sebagai pakaian resmi
kenegaraan.Selama itu pula banyak ulama dari bagian lain dari dunia Islam mengunjungi Aceh. Beberapa
sumber menyebutkan Syekh AbdulKhair dari Mekah yang mengajarkan tentang tasauf dan mistisisme,
Syaikh Muhammad Yamani yang mengajarkan tentang fiqih, dan Syekh Muhammad Jailani dari Ranir di
Gujarat, yang merupakan paman dari ulama terkenal Nuruddin ar-Raniri yang mengajar logika, retorika,
dan lain lain. Pada tahun 1582 sultan mengirim armada melawan Johor di Semenanjung Melayu.
Meskipun ekspedisi militer itu gagal mengalahkan kedudukan Portugis di Melaka namun Johor, sekutu
utama Portugis di negeri-negeri Melayu berhasil ditaklukan. Kesultanan muslim Johor dipandang sebagai
saingan berbahaya diwilayah selat Malaka. Namun perseteruan antara Aceh dan Johor malah berakibat
fatal dengan semakin memberi kesempatan bagi Portugis mengambil keuntungan politik di wilayah
tersebut.

9. Sultan Buyung atau dikenal juga sebagai Ali Ri'ayat Syah II adalah sultan kesembilan Kesultanan Aceh.
Ia berkuasa dalam waktu yang singkat dan terbunuh dalam kisruh perebutan kekuasaan sultan di Aceh
antara tahun 1585-1589. Sultan Buyung aslinya bukan merupakan bagian dari keluarga sultan Aceh
tetapi berasal dari Kerajaan Inderapura di pantai barat Sumatra. Data epigrafi menunjukkan bahwa
Sultan Buyung adalah putra dari Munawwar Syah, putra Muhammad Syah, putra Almalik Zainuddin. Hal
ini menandakan bahwa Indrapura telah diperintah oleh dinasti Muslim setidaknya sejak tahun 1500.
Adik Sultan Buyung, Raja Dewi, menikah dengan Sultan Mughal alias Sultan Sri Alam yang menjadi sultan
Aceh untuk masa yang singkat pada tahun 1579. Kehadirannya di Aceh bersama seorang adiknya yang
janda hanya dua bulan menjelang terbunuhnya Alauddin Mansur Syah. Hal ini terjadi pada awal tahun
1585 menurut kronik namun pada tahun 1586 menurut sebuah catatan Portugis.
E. Ekonomi Kerajaan Aceh
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh

Kehidupan ekonomi di kerajaan Aceh bertumpu di bidang pelayaran dan perdagangan. Perekonomian
Aceh tumbuh pesat, sebab letaknya strategis di Selat Malaka. Selain itu, semakin meluasnya pengaruh
kerajaan Aceh dan hubungan-hubungan dengan pihak asing juga menjadi faktor perkembangan ekonomi
yang semakin maju.

Perdagangan Kerajaan Aceh, meliputi :

• Lada

• Emas

• Minyak Tanah

• Kapur

• Sutera

• Kapas

• Kapur barus

• Menyan

• Belerang

Selain itu, perekonomian di Ibukota kerajaan juga tumbuh pesat, dibuktikan dengan sudah adanya
pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Di bidang pertanian, daerah Sedang Pidie adalah
lumbung bagi komoditas padi. Namun komoditas utama atau bisa dikatakan unggulan di kesultanan
Aceh yang diekspor ke luar adalah lada.

Dengan kemakmuran dan kemajuan dibidang perekonomian, kesultanan Aceh kemudian tumbuh
menjadi kerajaan Islam besar yang diperkuat oleh armada bersenjata yang besar dan kuat, terutama
armada lautnya.

F. Kehidupan Sosial Budaya


Selain di bidang perekonomian, pengaruh letak yang strategis membuat kehidupan sosial budaya di
kerajaan Aceh tumbuh pesat. Hal ini disebabkan karena interaksi dengan orang-orang luar seperti
pedagang-pedagang dari Timur Tengah dan Eropa. Kehidupan sosial budaya dapat dilihat landasan
hukum yang berlaku yang didasari dari ajaran Islam. Hukum adat ini disebut hukum adat Makuta Alam.
Berdasarkan hukum ini, pengangkatan seorang sultan diatur dengan sedemikian rupa dengan
melibatkan ulama dan perdana menteri.

G. Kemunduran Kerajaan Aceh


Kerajaan Aceh mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Iskandar Thani. Sultan Iskandar
Thani dinilai kurang memiliki kepribadian dan kecakapan yang kuat dalam pengelolaan kerajaan Aceh.
Pengawasan kepada para panglima yang mengurusi perdagangan mengendur, daerah yang jauh dari
pemerintah pusat kurang setia terhadap sultan, kehadiran ahli tawasuf aliran ortodoks bernama Nur ar
Din al Raniri (Nuruddin ar Raniri). Akhirnya pada awal abad ke-20 (1935) Kerajaan Aceh dapat dikuasai
oleh Belanda.

Faktor penyebab kemunduran Kerajaan Aceh antara lain:

1.)Kekalahan perang Aceh melawan Portugis di Malaka pada 1629 yang menimbulkan korban jiwa dan
harta benda (kapal-kapal) yang cukup besar.

2.)Tokoh pengganti Sultan Iskandar Muda kurang cakap.

3.)Permusuhan antara kaum ulama penganut ajaran Syamsudin as Sumatrani dan penganut ajaran
Nuruddin ar Raniri.

4.)Daerah-daerah yang jauh dari pemerintah pusat melepaskan diri dari Aceh seperti Johor,Perlak,
Pahang, Minangkabau dan Siak.

5.)Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lain berhasil mendesak dan menggeser
daerah perdagangan Aceh yang berakibat perekonomian Aceh makin lemah.

Anda mungkin juga menyukai