Pada sekitar tahun 1 Hijriyah atau sekitar abad ke 7 M, Islam sudah datang ke Indonesia
melalui Aceh. Masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh saudagar Arab yang singgah di
Sumatera dalam perjalanannya menuju Tiongkok yang kemudian disusul oleh saudagar dari
Gujarat. Dan kerajaan Islam yang pertama adalah kerajaan Peureula’(Perlak) Kerajaan Pasai
(Samudra Pasai) dan Kerajaan Lamuri.
F. Masa Kejayaan
1. Angkatan Bersenjata
Aceh dengan kepemimpinan Sultan Iskandar Muda –yang sebelumnya telah menjadi
tumpuan kemenangan dalam perang- memerlukan kekuatan militer yang mumpuni untuk
meneruskan kejayaan yang ditorehkan –setidaknya oleh Sultan Ali Mughayat Syah- pada
masa lampau. Selain itu, Aceh juga memerlukan kekuatan yang kuat untuk melancarkan
misi-misi kerajaan yaitu membebaskan wilayah Aceh dan sekitarnya dari kolonialisme
dan penjajahan –khususnya kepada Portugis dan Belanda.
Aceh memiliki armada kapal perang yang kuat. Dengan ukurang yang sederhana,
namun isi dari kapal tersebut memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh.
Panjangnya 120 kaki atau sekitar 36 meter, dan terdapat galias yang baik yang tiap galias
dilengkapi dengan tiga meriam yang ampuh dengan empat puluh pon peluru. Dalam kapal
itu terdapat 600-800 awak kapal tiap kapal. Dengan demikian, kapal-kapal itu menjadi
kekuatan Aceh di lautan. Orang-orang kaya menjadi penopang biaya perawatan kapal-
kapal tersebut, sehingga kesultanan tidak terbebani oleh biaya perawatan kapal tersebut
dan dapat mengembangkan kekuatan Aceh di lautan.
Jika di lautan Aceh memiliki kapal yang sederhana namun kuat, lain halnya di daratan
yang ditopang oleh kekuatan gajah-gajah yang berani dan kuat. Gajah-gajah itu tidak
takut akan tembakan dan api. Gajah-gajah itu terbiasa dilatih dengan cara ditembakan
suatu senjata tajam dari telinganya sehingga tidak takut akan suara tembakan. Selain itu
jerami-jerami kering dibakar di dekat gajah tersebut untuk melatih gajah terbiasa melihat
api.
Selain gajah, kuda juga menjadi salah satu kendaraan perang di darat. Kuda-kuda
tersebut digunakan oleh pasukan berkuda sebagai pelengkap pasukan di darat. Pasukan
angkatan darat berasal dari rakyat yang berjihad. Mereka berbondong-bondong ikut
perang dengan tekanan dari kesultanan hingga membuat kemalasan mereka berubah
menjadi kekuatan pasukan perang. Bekal para pasukan disediakan oleh kesultanan,
namun tidak sedikit yang membawa bekal sendiri.
Alat perang yang menjadi andalan pasukan Aceh adalah meriam. Meriam-meriam
yang digunakan berasal dari kerajaan Turki Utsmani. Pada sebuah sumber disebutkan
terdapat 5000 pucuk meriam yang ada di kesultanan. Orang-orang Aceh sangat pandai
dalam pembuatan dan penggalian parit. Ini menjadi keuntungan dan strategi andalan dari
pasukan Aceh yang berperang.
2. Ekspedisi Militer
Pada awal-awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh berada dalam kondisi
yang belum stabil. Aceh memerlukan waktu untuk memulihkan keadaan ekonomi,
pemerintahan, dan masyarakat pasca pertempuran yang dipimpin Sultan Iskandar Muda
sebelum naik tahta. Awal ekspansi dilakukan pada 1612 dengan menyerang kota-kota di
pantai timur Sumatera. Aceh dapat menguasai Deli dan Aru hingga awal tahun 1613.
Setelah itu, Aceh bergerak melintasi selat mengalahkan Sultan Johor yang terdapat kantor
dagang Belanda. Usaha tersebut dapat dilalui dengan baik, dan Sultan Iskandar Muda
mulai membenahi kota tersebut dan menempatkan seorang raja yang patuh terhadap
kesultanan pusat agar tidak dapat dicampuri oleh pihak asing, terutama Portugis.
3. Perkembangan pendidikan
Sultan Iskandar Muda yang memperhatikan pendidikan di Aceh membuat beberapa
lembaga pendidikan yang diawali dengan madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dengan
sistem pendidikan yang diatur oleh ulama-ulama Aceh. Setelah madrasah ibtidaiyah,
dilanjutkan dengan madrasah tsanawiyah, lalu madrasah aliyah.
Sistem pendidikan yang diberlakukan pada sekolah-sekolah di Aceh adalah sistem
pendidikan agama yang memprioritaskan ilmu agama dalam setiap pengajarannya. Pada
tingkat awal para murid diajarkan dengan palajaran membaca dan menulis huruf Arab,
pelajaran agama, bahasa melayu, akhlak, dan sejarah Islam, serta yang terpenting adalah
pelajaran pengkajian Al-Qur’an. Tingkat pendidikan tsanawiyah diajarkan pelajaran
tentang bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung dan akhlak.
Selain sebagai tempat menimba ilmu, lembaga pendidikan yang ada juga mengurusi
hal-hal tentang pelaksanaan sholat lima waktu, puasa, shalat tarawih, penyelenggaraan
zakat fitrah, tempat mengadakan musyawarah, juga mengadakan acara-acara maulud.
Layaknya seperti pesantren yang dikenal pada masa kini, madrasah-madrasah itu juga
menjadi pusat keilmuan Aceh, baik untuk warga Aceh sendiri, maupun yang datang dari
berbagai tempat, bahkan luar negeri.
Begitu kuatnya pendidikan agama di Aceh yang menyebabkan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam berada pada puncak kejayaan dengan masyarakat yang
madani dan dekat dengan para ulama. Peran ulama sangat kuat hubungannya dengan
pemerintah Aceh pada masa itu dan sangat dihormati. Kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah akan dikonsultasikan kepada para ulama sebelum
diberlakukan.
Para ulama yang menjadi tempat konsultasi pemerintahan di Aceh merupakan ulama
yang telah menimba ilmu dari berbagai tempat. Banyak dari ulama tersebut yang telah
belajar dari timur tengah dan Persia lalu kembali ke Aceh untuk mengembangkan
pendidikan di Aceh.
4. Kehidupan Aceh
Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam
berada dalam puncak kejayaannya. Dengan tangan kepemimpinannya, ia dapat membawa
kesultanan memperluas daerah kekuasaan, seperti menguasai seluruh wilayah pantai barat
pulau sumatera sampai Bengkulu. Selain memperluas wilayah kekuasaan, ia juga berhasil
membuat Aceh sejahtera dengan aktifitas ekonomi yang maju. Pelabuhan-pelabuhan
dagang yang dibawah komando kesultanan maju pesat dengan berbagai transaksi baik
dari luar maupun dalam negeri. Kegiatan ekspor-impor lebih aktif dibandingkan dengan
masa-masa sebelum kepemimpinannya.
Berhasil dengan berbagai ekspansi wilayah dan memajukan kesejahteraan rakyat
Aceh, Sultan Iskandar Muda terus memikirkan cara untuk mengusir penjajah Portugis
yang menunggangi kesultanan Malaka. Posisi Portugis yang bisa dikatakan menguasai
Malaka dianggap sebagai sebuah ancaman besar yang nanti kelak akan membahayakan
Kesultanan Aceh Darussalam. Untuk itu, sultan mencoba untuk membumihanguskan
Portugis serta menguasai Malaka agar tidak lagi dikuasai oleh Portugis. Selain itu, Aceh
juga pernah menyerang Kedah yang didomplengi oleh pihak asing dalam perdagangan
lada di Sumatera. Sultan Iskandar Muda wafat pada tanggal 28 Rajab 1046 yang
bertepatan dengan tanggal 27 Desember 1636.
G. Masa Kemunduran
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada tahun 1636, ia digantikan oleh
menantunya yaitu Sultan Iskandar Tsani yang memerintah selam kurang lebih 5 tahun 1636-
1641. Semenjak Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, tanda-tanda kemunduran
mulai tampak. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan orang asing yag mendapat
kesempatan dari sultan secara longgar. Kemunduran Aceh semakin terasa ketika Sultan
Iskandar Tsaniwafat dan digantikan isterinya, Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah yang
memerintah pada tahn 1641-1675. Banyak daerah-daerah yang melepaskan diri dari
kekuasaan Aceh. Begitu pula dalam masalah ekonomi kian terasa tidak stabil akibat ulah
pedagang-pedagang asing yang mulai menerapkan politik adu domba. Situasi dalam negeri
pun nampak tidak sehat karena para kapitalis meraja lela dalam penguasaan di bidang materi
tanpa peduli yang sedang terjadi di kerajaan.
Terpaksa Sultanah mengambil tindakan mengambil kerja sama dengan Belanda.
Langkah ini dilakukan untuk mempertahankan Aceh dari gilasan dan serbuan kaum
Kolonialis sebagaimana yang terjadi di Malaka. Belanda pun memanfaatkan momentum ini
untuk lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialismenya. Hal ini terbukti dengan
Belanda mendirikan kantor dagang mereka di Padang dan Salida. Walaupun telah
diperingatkan oleh Sultanah namun mereka tidak menghiraukannya. Sultanah Tajul Alam
Syafiatuddin Syah wafat pada tahun 1675 dan digantikan oleh Sultan wanita Nurul Alam
Nakiatuddin yang memerintah pada tahun 1675-1678. Kehadirannya tidak juga bisa
mengentaskan kerajaan dari berbagai kemelut yang ada. Begitu pula setelah digantikan oleh
Raja Sertia Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan.
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan
jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya
perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan. Hal ini bisa ditelusuri lebih awal
setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa lainnya, dimana
para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan
kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan
pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman
utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada
dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum
wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka
mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman.
Perang saudara pecah, mesjid raya Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan
ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal
pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan
langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824),
seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan
dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah
namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan
Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis
sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku
Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal
yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan
wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana
Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah
itu dengan ditaklukannya benteng Pulau Kampai.
H. Daftar Sultan Aceh
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam
tercatat telah berganti sultan hingga tiga puluh kali lebih. Berikut ini silsilah para
sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
Sulthan Muda (1575)
Sulthan Sri Alam (1575-1576)
Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )
I. Peninggalan
Peninggalan yang bisa dijumpai adalah prasasti yang merupakan singgasana Sultan,
uang logam emas Kesultanan Aceh Darussalam, dan juga makam Sultan Iskandar Muda.
Makam tersebut terletak dekat dengan Krueng Daroy, yang bersebelahan dengan Meuligoe
Banda Aceh, kediaman resmi Gubernur Nangro Aceh Darussalam. Makam tersebut –yang
berdampingan dengan museum Aceh—pernah dihilangkan jejaknya oleh Belanda ketika
terjadi perang melawan Aceh. Pada 19 Desember 1952 makam tersebut dapat ditemukan
kembali.
Suatu peninggalan yang sangat terkenal di Indonesia, bahkan di dunia adalah Masjid
Agung Baiturrahman di Aceh. Masjid yang terletak di pusat kota Aceh ini terlihat dengan
menara setinggi 35 meter dengan 7 kubah besar dan 7 menara masjid menjadi contoh untuk
masjid-masjid lain. Masjid ini dibangun pada tahun 1621 hanya dengan bahan kayu. Pada
peperangan, masjid ini pernah dihancurkan oleh Belanda, namun kemudian dibangun
kembali.
Pintu Khop
Masjid Indrapuri
Harun, Yahya.1995.Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII.Yogyakarta: PT. Kurnia
Kalam Sejahtera
Lombard, Denys.1991.Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636).Jakarta:
Balai Pustaka
Said, Mohammad.1981.Aceh Sepanjang Abad.Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan
Waspada
https://www.academia.edu/28012792/The_Empire_of_Aceh_Darussalam_Kesultanan_Aceh_
Darussalam
https://www.academia.edu/34068722/Sejarah_Kerajaan_Islam_Kesultanan_Aceh_Darussala
m
http://digilib.uinsby.ac.id/65/4/Bab%203.pdf