KELAS 9C
MTS DAR’UL HIKAM CIREBON
2022 M/1444 H
1. Sejarah Kerajaan Aceh
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh
dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika
Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat
kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya,
termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M,
kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera
seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya)
dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial
Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu,
untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak
saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam
dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di
sekitarnya.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu,
Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah
sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah
dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan
dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat
itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki
Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam
Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh
saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga
terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani
yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai
Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over
the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary
to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala’ al-Din Mughayat Syah
(1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil
mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu
Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri
Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin
oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki
era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik
internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah
terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu
berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang
perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi
antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para
ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat
itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan
Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-
18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah
dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai
mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang
tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan
1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut
Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut
Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas
Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus
serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan
rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan
kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan
madrasah yang dibakar Belanda.
2. Sultan Salahuddin