Anda di halaman 1dari 10

ACEH DARUSSALAM

TUGAS TERSTRUKTUR SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:


- AZKA MAULANA RAHMAN
- DEAN DAFFA
- BINTANG FAIRUZ
- CHELLO A
- ELLENA PUTRI DENYA
- HAIZA RAHMA KAMILA

KELAS 9C
MTS DAR’UL HIKAM CIREBON
2022 M/1444 H
1. Sejarah Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.


Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai
ditaklukkan oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus
mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-
14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama
Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913
H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan
Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki
pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya
kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk
membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang
pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh
dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika
Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat
kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya,
termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M,
kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera
seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya)
dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial
Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu,
untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak
saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam
dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di
sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir


Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan
kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara
berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia
kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur
Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian
melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar


biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan
menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena
memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan.
Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat
untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke


Peurelak. Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama
sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis
mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh
hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh
kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan
Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring
dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor,
Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah kerajaan
Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera,
sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif


singkat, hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun
kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan
dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam, yaitu: (1)
mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar;
(2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara; (3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4)
menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar; (5) menjalankan dakwah
Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal Mughayat Syah, dasar-
dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa


Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada
masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai
di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan
diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa
Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan
membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan
ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer
untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.

Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu,
Perancis pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah
sebuah cermin yang sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah
dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan
dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga. Saat
itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki
Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam
Darud Dunya. Konon, menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh
saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga
terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani
yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai
Krueng yang telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin


hubungan baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari
Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James
Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan
surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan
berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan
membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang
ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan juga
dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini
cuplikan surat Sultan Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over
the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary
to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang


terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang
tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga
matahari terbenam).

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala’ al-Din Mughayat Syah
(1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil
mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu
Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri
Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin
oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki
era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik
internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah
terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu
berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang
perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi
antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para
ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat
itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan
Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-
18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah
dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai
mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang
tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan
1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut
Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut
Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas
Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus
serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan
rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan
kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan
madrasah yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses


menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian
diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir
seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun
1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun
demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada
Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap
berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah
kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler,
Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.

Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir


seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu,
kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar.
Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan
masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama.
Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan
memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat
itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih
melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah
berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

- Silsilah Raja Kerajaan Aceh


Berikut ini terdapat beberapa silsilah raja kerajaan aceh, antara lain:

1. Sultan Ali Mughayat Syah


Adalah raja kerajaan Aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 –
1528 M. Di bawah kekuasaannya, Kerjaan Aceh melakukn perluasan ke
beberapa daerah yang berada di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan
serangan terhadap kedudukan bangsa Portugis di Malaka dan juga menyerang
Kerajaan Aru.

2. Sultan Salahuddin

Setelah Sultan Ali Mughayat Wafat, pemeintahan beralih kepada putranya


yg bergelar Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M, selama
menduduki tahta kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahaan kerajaannya.
Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosostan yg tajam. Oelh
karena itu, Sultan Salahuddin digantiakan saudaranya yg bernama Alauddin
Riayat Syah al-Kahar.

3. Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar


Ia memerintah Aceh dari tahun 1537 – 1568 M. Ia melakukan berbagai
bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemeintahan Kerajaan
Aceh.
Pada masa pemeintahannya, Kerajaan Aceh melakukan perluasaan wilayah
kekuasaannya seperti melakukan serangan terhadap Kerajaan Malaka ( tetapi
gagal ). Daerah Kerajaan Aru berhasil diduduki. Pada masa pemerintahaannya,
kerajaan Aceh mengalami masa suram. Pemberontakan dan perebutan
kekuasaan sering terjadi.

4. Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh tahun 1607 – 16 36 M. Di
bawah pemerintahannya, Kerjaan Aceh mengalami kejayaan. Kerajaan Aceh
tumbuh menjadi kerjaan besar adn berkuasa atas perdagangan Islam, bahakn
menjadi bandar transito yg dapat menghubungkan dgn pedagang Islam di dunia
barat.
Untuk mencapai kebesaran Kerajaan Ace, Sultan Iskandar Muda meneruskan
perjuangan Aceh dgn menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung
Malaya. Tujuannya adalah menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan
menguasai daerah – daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Muda juga menolak
permintaan Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian
barat. Selain itu, kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah –
daerah seperti Aru, pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah
pemerintahannya Kerajaan aceh memiliki wilayah yang sangat luas.
Pada masa kekeuasaannya, terdapat 2 orang ahli tasawwuf yg terkenal di Ace,
yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan Syech Ibrahim as-
Syamsi. Setelah Sultam iskandar Muda wafat tahta Kerajaan Aceh digantikan
oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani.

5. Sultan Iskandar Thani


Ia memerinatah Aceh tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahan,
ia melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa
pemerintahannya, muncul seorang ulama besar yg bernama Nuruddin ar-Raniri.
Ia menulis buku sejarah Aceh berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar,
Nuruddin ar-Raniri sangat di hormati oleh Sultan Iskandar Thani dan
keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, tahta
kerjaan di pegang oleh permaisurinya ( putri Sultan Iskandar Thani ) dgn gelar
Putri Sri Alam Permaisuri ( 1641-1675 M ).

6. Sultan Sri Alam (1575-1576).


7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)

27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)

28. Alauddin Muhammad Daud Syah.

29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)

30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)

31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)

32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)

33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)


34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)

35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Anda mungkin juga menyukai