Anda di halaman 1dari 20

AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN ACEH

Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh


Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra,
terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri,
yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa
Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula
melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung
Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia,
khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam
kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya
yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang
tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa
Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi
mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520.
Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam
kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan
untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali
Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah
pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang
dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-
siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal.
Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru
berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar,
sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang
Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim
disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis
(William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia.
Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana
kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari
perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh
salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-
lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden,
2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan
Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba
menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru
pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau
Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan
kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti
kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys
Lombard: 2006, 65-66).
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha
mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan
hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki,
Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke
Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan
terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai
Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah
tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara
Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di
Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali
Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur
dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar
negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan
digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah
hingga tahun 1588. Sejak tahun 1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat
Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31).

Masa Kejayaan Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni
dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada
perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan
kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang
sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro:
2010, 31).
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan
perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi
kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah
tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah
penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor
dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar
Agung dari Timur.

Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya
yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah
mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada
sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang
dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin
Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22).
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan
beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U
Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-
Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam
bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil(http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-
aceh-pada-masa-kejayaan-dan-keruntuhannya/).
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan
Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara
lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil
dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-
lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri
antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan
(Poesponegoro: 2010, 31).
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar.
Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh,
dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah
selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera,
dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008:
24).

KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI ACEH


 

Kerajaan Jeumpa
Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan
mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di
sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa
yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.

Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan
permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar,
yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur
yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala
Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto
Rayek (pintu besar).

Sejarah

Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu kerajaan Hindu
yang dipimpin turun temurun oleh seorang meurah. Datang pemuda tampan bernama
Abdullah yang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga
yang datang dari India belakang (Parsi) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang
Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad ke VIII Masehi dan negeri ini
sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India,
Arab dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama
Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat
dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja bernama
Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya,
yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai
dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang artinya
harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan,
sama dengan Jayakarta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.

Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh


Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada
154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia  yang bernama
Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong
dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito
dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak.
Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama
yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan
gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri
Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir.

Mengenai keberadaan Syahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri.


Syekh ini adalah ulama sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam
pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-
Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar
Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh
Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan
asal-muasalnya dan hubungannya dengan Syahri Nawi. Diantaranya syair:
Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ’ali
Daripada ’Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu


Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Syahrnawi
(Syahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan
tempat yang terkenal kapur barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Syahr Nawi adalah anak
Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh, Bireuen saat ini.
Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan
Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 M yang
dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.
Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pasai dan mendapat
kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak mengherankan jika
Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah
seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan
Islam Jeumpa. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan
teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Syahrnawi adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusi dari pembentukan Kerajaan
Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805
Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin
seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang
Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan
aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya
masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama
sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-
wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran
darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya
kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama
kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar
Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang
Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.

Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan
Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin
Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Abdullah bin Mu'awiyah telah
menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana
di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja 
Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian
dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam
pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur
Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di
semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.

Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul
Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang
dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik
di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada
masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali
bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal
Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang
berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang
berkedudukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin
Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan.
Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan
dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas
dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah
yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi (termasuk Muhammad bin Ja'far
Shadiq) segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi
Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin
Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir
seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada tanggal 12 November 839 dilantik
menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul
Azis Syah.

Data Arkeologi

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak
Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku
Keujruen, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan
seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung
rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah
ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan
kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang
di sekitarnya.
Kerajaan Samudera Pasai
Sejarah

Sejarah Kerajaan Samudra Pasai, tidak terlepas dari Islamisasi Nusantara, khususnya
di Sumatera. Karakteristik agam Islam yang fleksibel dan dapat merakyat dikalangan
masyarakat Indonesia menjadi salah satu faktor pendukung masuknya Islam di Nusantara.
Bahkan sampai sekarang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, Islamisasi itu sendiri berawal kira-kira dari abed ke 7M sampai sekarang.
Berita awal abad ke 16M dari Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) mengatakan
bahwa di Sumatera, telah banyak kerajaan Islam baik yang besar maupun yang kecil
(Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:21). Tetapi munculnya kerajaan Samudra Pasai itu sendiri
pada abad ke 13, antara tahun 1270-1275.

Samudera Pasai sendiri didirikan oleh Sultan Malik Saleh yang sebelumnya
ketika belum masuk Islam namanya Merah Silau. Kerajaan ini didirikan pada abad ke 13, dan
yang menjadi raja pertama adalah Sultan Malik Saleh sendiri. Beliau wafat pada tahun 696 H
atau 1297 M, pada oemerintahannya setidaknya masih belum terlihat tanda-tanda kejayaan,
namun pada pemerintahan setidaknya kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan yang
besar dari wilayah Aceh. Letak kerajaan Saamudra Pasau kurang lebih 15 km disebelah timur
Lhoksumawe, Aceh. Diapit oleh sunagi besar yaitu Peusangan dan Jambo Aye membuat
kerajaan ini memiliki letak yang sangat strategis dan menjadikan kerajaan tersebut menjadi
besar dan berkembang pesat pada zaman itu.
Kerajaan ini Samudra Pasai terbentuk dari dua kerajaan yaitu Samudra dan Pasai.
Kerajaan samudra adalah kerajaan yang dipimpin oleh Malik Saleh, lalu kerajaan Pasai
adalah kerajaan yang dibuka oleh Malik Saleh ntuk putranya Maluk Az-Zahir (Gade
I,M.1997:3). Tumbuhnya kerajaan Islam Samudra Pasai sendiri tidak dapat dipisahkan dari
letak geografisnya yang menjadi jalur pelayaran perdagangan internasional, yang
membuatnya menjadi lalu lalang pra pedagang asing. Juga menjadi tempat transmigrasi oleh
para pedagang asing, seperti Cina, Arab, India dan lain lain. Sebagai tempat jalur
perdagangan Samudra Pasai juga menjadi persinggahan budaya yang dihasilkan dari
pencampuran dua Budaya.

Sejak abad ke-9 sampai ke-11 M berita-berita pelayaran dan geografi Arab juga telah
menambah sumber-sumber sejarah. Berita-berita itu, antara lain dari Ibn Khurdazbih
(850),Ya’qubi (875-880), Ibnu Faqih (902), Ibnu Rusteh (903), Ishaq Ibn Iman (lk.907),
Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Abu Zaid dari sirat (lk. 916), Abu Dulaf (lk.940),
Mas’udi (943), dan Buzurg Ibn Syahriyar (awal abad ke-
10). (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:22). Hal ini membuktikan bahwa islamisasi telah ada
sebelum kerajaan Samudra Pasai didirikan. Oleh karena itu, sejak abad ke-7 dan ke-8 sampai
abad ke-11 M di daerah pesisir selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas
muslim akibat Islamisasi.

Dalam hijayat raja-raja Pasai pada permulaannya :

“.......Al-kesah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agam Islam ini Pasai; maka
ada diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini, Negeri yang di bawah angin ini Pasailah
yang pertama membawa iman akan Allah dan akan rasul Allah.....”

Masa Awal dan Masa Kejayaan Kerajaan Samudra Pasai

Telah diketahui bahwa masa awal kerajaan Samudra Pasai ditandai dengan
kepemimpinan sultan Malik as-Saleh yang merupakan raja pertama kerajaan Samudra Pasai.
Pasai sendiri merupakan kerajaan yang besar pada saat itu, terbukti dengan reruntuhan-
reruntuhan kerajaan Pasai yang diperkirakan merupakan kerajaan yang besar pada masa itu.

Selain itu Pasai juga merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara, bahkan pertama
di Asia Tenggara, yang merupakan pusat penyebaran pertama kali di Indonesia dan Asia
Tenggara. Selain sebagai kerajaan muslim yang pertama Pasai juga merupakan kerajaan yang
menjadi jalur perdagangan dan mempunyai Bandar-bandar perdagangan yang mampu
menyokong ekonomi dan pemerintahan.

Berikut nama-nama raja yang pernah memimpin Kerajaan Samudra Pasai :

1. Sultan Malik as-Saleh atau Meurah Silu (1270-1297 M)


2. Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik az-Zahir (lk1346-1383 M)
4. Sultan Zain al- Abidin Malik az-Zahir (1383-1405 M)
5. Sultanah Narisyah (1405-1412 M)
6. Abu Zaid Malik az- Zahir (1412-? M)
7. Mahmud Malik az-Zahir( 1513-1524 M)

(Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23)

Dan ini adalah nama raja-raja Samudra Pasai :

No. Nama Raja Tahun Pemerintahan


1. Sultan Malik Al-Saleh Sampai tahun 1297 M
2. Muhammad Malik Al-Zahir 1297-1326 M
3. Mahmud Malik Al-Zahir 1326-1345 M
4. Manshur Malik Al-Zahir 1345-1346 M
5. Ahmad Malik Al-Zahir 1346-1383 M
6. Zain Al-Abidin Malik AL-Zahir 1383-1405 M
7. Nahrasiyah 1402-? M
8. Abu Zaid Malik Al-Zahir ?-1455 M
9. Mahmud Malik Al-Zahir 1455-1477 M
10. Zain Al-Abidin 1477-1500 M
11. Abdullah Malik Al-Zahir 1501-1513 M
12. Zain Al-Abidin 1513-1524 M

Kembali kepada masa awal, masa awal kerjaan Samudra Pasai ini tergolong tidak
begitu terlihat. Selain itu perkembangan kerajaan ini bersifat perlahan-lahan. Walaupun
begitu mata uang telah dikenal di kerajaan ini, sejak pemerintahan sultan Malik as-Saleh,
yang dinami mata uang Dirham, yang juga dikenal sebagai mata uang Arab saat itu.
Pada awal abad ke-16 mungkin masa memuncaknya kerajaan Samudra Pasai
sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires (1512-1515) tengah mengalami berbagai kemajuan
dibidang politik pemerintahan, di bidang keagamaan, terutama di bidang pertanian dan
perdagangan. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23), adapun Pasai yang selalu menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan lain, seperti Malaka yang saat itu Malaka menjadi
pusat perdagangan Dunia, yang diikuti pula pernikahan antara raja-raja malaka dengan para
putri Pasai (Gade Ismail, M.1997:28).
Pada awal abad ke-16 mungkin masa memuncaknya kerajaan Samudra Pasai
sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires (1512-1515) tengah mengalami berbagai kemajuan
dibidang politik pemerintahan, di bidang keagamaan, terutama di bidang pertanian dan
perdagangan. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23), adapun Pasai yang selalu menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan lain, seperti Malaka yang saat itu Malaka menjadi
pusat perdagangan Dunia, yang diikuti pula pernikahan antara raja-raja malaka dengan para
putri Pasai.
Kemajuan kemajuan tersebut antara lain:
1. Perdagangan
Yang merupakan perdagangan internasional, Pasai mempunyai Bandar-bandar yang dapat
menjadi persinggahan para pedagang asing dan mereka juga membayar uang pajak untuk
Pasai.
2. Pelayaran
Sebagai kerajaan maritime, pastinya Pasai mempunya keunggulan dalam bidang
pelayaran dan nelayan. Maka dari itu masyarakat Pasai, mayoritas ialah nelayan
3. Perekonomian
Merupakan salah satu kemajuan Pasai dalm meraih kejayaannya, dan perekonomian Pasai
telah terbantu dengan adanya perdagangan dan pelayaran, serta pajak dagang yang dikenakan
bagi pedagang.
4. Hubungan Internasional dan Politik
Merupakan keterkaitan, yakni terjadi pula politik pernikahan, yang dilakukan oleh
sultannya.
Tome Pires menceritakan tentang hubungan antara Pasai dan Malaka,terutama pada masa
pemerintahan Saquem Darxa yang dapat disamakan dengan nama sultan Iskandar Syah raja
kedua Malaka. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23).
Keadaan Masyarakat
Keadaan masyarakat Pasai jelas sekali, menggantungkan kehidupan lewat pelyaran
dan perdagangan. Karena sebagai kerajaan maritim memungkinkan masyarakat pasai menjadi
salah satu pelaku dalam perdagangan dan pelayaran. Terlebih lagi Samudra Pasai mempunyai
Bandar-bandar yang bisa menjadi tempat singgah untuk ppara pedagang asing. Dan pajak
yang dikenakan oleh pemerintah Samudra Pasai kepada para pedagang sesuai dengan apa
yang dijuanya. Memungkinkan masyarakat mampu untuk bertahan.
Perkembangan Yang Dicapai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan pertama yang ada di Indonesia, sebagai
kerajaan yang besar pada saat itu,  kerajaan Samudra Pasai berkembang dalam beberapa
bidang, yaitu:
1. Samudra Pasai sebagai pelopor keagamaan bagi Asia Tenggara khususnya
Indonesia
Masuknya Islam ke Pasai, belum diketahui secara pasti itu kapan, apa lagi bila
masuknya Islam didasarkan pada mulainya terdapat penduduk muslim atau masyarakat
muslim di sana. Namun bila didasarkan kepada lembaga politik, serta terbentuknya
politik bercorakkan Islam, maka dapat dikatakan bahwa Islam masuk pada sekitar abad
ke-13.
Peranan penting yang dimainkan Pasai dalam persebaran Islam ke seluruh Nusantara
dan bahkan ke kawasan Asia Tenggara dimungkinkan karena hubungan ini berkaitan
dengan kegiatan perdagangan yang di dalamnya juga terdapat kegiatan para pedagang
yang sekaligus bertindak sebagai pendakwah.( Gade Ismail, M.1997:26)
Munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan internasional tidak terlepas dari
pengaruh Pasai sendiri, karena kedua kerajaan ini mengadakan hubungan persahabatan
terlebih lagi setelah raja Paramisora yang menikahi putrid Pasai dan mengganti namanya
menjadi sultan Muhammad Iskandar, sebelumnya Samudra Pasai juga menjadi jaringan
perdagangan internasional. Penyebab Samudra Pasai menjadi salah satu jaringan
perdagangan ialah letaknya yang berdampingan atau dekat dengan pantai. Dan
memungkinkan mudahnya pedagang-pedagang asing untuk singgah.
Hubungan Samudra Pasai dengan daerah daerah lain di Indonesia seperti pulau Jawa,
Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan, Lombok, dan Sumbawa. Dibuktikan dengan
kesamaan bentuk makam di Pasai dan daerah itu sendiri. Seperti di Jawa makam Maulana
Malik Ibrahim dengan makam sultanah Nahrasyiah. Hal ii membuktikan adanya
persebaran Islam yang ada di Indonesia yang juga dipengaruhi oleh Samudra Pasai.
Selain itu pengaruh Pasai dengan Malaka, merupakan bukti persebaran Islam di
kawasan Asia Tenggara. Pengaruh Pasai juga berlangsung atas kedah, meskipun kedah
juga berada dalam kekuasaan Siam, melalui Kedah para Muballigh Islam dari Pasai
menyebarkan agama Islam di wilayah-wilayah Semenanjung Melayu, yang terletak lebih
ke pedalaman sampai ke Trengganu (Gade Ismail, M.1997:29).
2. Pasai Dalam Jaringan Perdagangan Internasional
Keterlibatan Pasai dengan jaringan perdagangan internasional, tidak terlepas dari letak
kerajaan Samudra Pasai yang strategis untuk menjadi salah satu peserta dalam jaringan
perdagangan internasional. Malaka sebagai pusat perdagangan internasional, sudah
dimulai sejak awal abad Masehi. Sejak masa prasejarah Semenanjung Melayu telah
mempunyai kedudukan penting dalam adanya jaringan perdagangan dengan menjadi jalur
lalu lintas perdagangan internasional. Itu semua tidak terlepas dari letak geografis yang
dimiliki oleh Semenanjung Melayu.
Pelayaran orang-orang Arab dan India sudah berlangsung sebelum berkembangnya
agama Islam. Pada tahun 114 pelayaran pelayaran Arab berhasil ke India, meskipun
dalam perjalanan pulangnya mereka dihantam badai besar di pantai Afrika. 2( Gade Ismail,
M.1997:16).
Setelah terjadi pelayaran di India, maka terjadilah Islamisasi di India, kemudia India
juga mengenalkan Islam ke Indonesia.

Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun


( 1496 – 1903 M )
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh
Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan,
menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan
penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal
913 H (1511 M) . Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak
saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut.
Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera
Pasai untuk membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang
pernah dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh
Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta
menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh
dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M,
kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di
Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah
berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada
Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan
Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari
penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh
bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah
Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur
dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur
Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan
gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama
dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak
meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur
pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk
menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun,
Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian
juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut
oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh
kemudian melanjutkan serangan untuk mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil
direbut. Portugis melarikan diri ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan
ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan
ini, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir separuh wilayah pulau Sumatera,
sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.

Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat, hanya


sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh.
Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri kerajaan Aceh
Darussalam, yaitu: (1) mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak
luar; (2) menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara;
(3) bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat; (4) menerima bantuan tenaga ahli dari
pihak luar; (5) menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal
Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh penggantinya.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan


Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh
merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh
pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris
dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani
dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia
mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu
memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis pernah
mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang sangat berharga.
Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh. Hadiah cermin ini
tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda pada benda-benda berharga.
Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah, Istana Dalam Darud Dunya. Konon,
menurut utusan Perancis tersebut, luas istana Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di
dalam istana tersebut, juga terdapat ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan
Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang
telah dipindahkan dari lokasi asal alirannya.

Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan baik
dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James dari Inggris. Bahkan, Ratu Elizabeth
pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa seperangkat perhiasan
bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris diperbolehkan berlabuh dan
berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif permintaan itu dan membalasnya dengan
mengirim seperangkat hadiah, disertai surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James
Lancaster sebagai pembawa pesan juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai
penghormatan. Berikut ini cuplikan surat Sulta Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:

“I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh
and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset”.

(Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas
tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang
dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Ketika Raja James berkuasa di Inggris, ia pernah mengirim sebuah meriam sebagai
hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini memburuk pada abad ke 18, karena nafsu
imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Aceh juga pernah
mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke Belanda, di masa kekuasaan
Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam kunjungan tersebut, Abdul Hamid
meninggal dunia dan dimakamkan di pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan,
dihadiri oleh para pembesar Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti
yang diresmikan oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.

Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di
masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya.
Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar
Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut
dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era
kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang
disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama
Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang
perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para
hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil
memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.

Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan
Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan
Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada
tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret
1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut,
Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali
meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya
telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana
dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan,
dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para
ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka
serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah
Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah
yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan


Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh.
Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud
kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda.
Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda.
Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan,
selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor
Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan
masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat
di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang
Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika
Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat
untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di
antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan
para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Silsilah

Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam/Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Shah
Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota
Alam Shah(1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam/Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah/Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah(1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din/Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode
yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).

Periode Pemerintahan

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M.
Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.

Wilayah Kekuasaan

Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau


Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.

Struktur Pemerintahan

Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh
sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh.
Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan
bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh,
termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan
bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk
menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.

Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang


membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang
yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang
memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan
mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi
pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus
masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan
adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.

Kehidupan Sosial Budaya

a. Agama

Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi
Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau
Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama
Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab
itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam
keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang
(sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan
teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru
sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh
seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.

Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh.
Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang
berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin
ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran
Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya
Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat
berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya,
seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja
Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan
masyarakat Aceh.
b. Struktur Sosial

Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan
dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan
menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para
penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk
pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam
lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad.
Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar
Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang
peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu
komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.

c. Kehidupan Sehari-hari

Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering
disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok
tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota
pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang
paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat
menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang
dan Peudeung oon Teubee.

DAFTAR PUSTAKA
Kawilarang, Harry. 2008. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinski. Palembang: Bandar
Publishing

Poesponegoro, Marwati. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka


Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatra. Depok: Komunitas Bambu
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda. Jakarta: Balai Pustaka
Ridwan. Sejarah Kerajaan Aceh pada Masa Kejayaan dan
Keruntuhannya.(http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-
kejayaan-dan-keruntuhannya//): diakses tanggal 10Februari 2013

Almascaty, Hilmy Bakar. 2009. Kerajaan Jeumpa Aceh, Khilafah Islam Pertama di Dunia
Melayu

Sumber :Aceh Blogging – Melayu Online

Anda mungkin juga menyukai