Anda di halaman 1dari 8

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda

di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli,
Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana
para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda

Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan
Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui
pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi
pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah
menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup
dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam
kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech
Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga
sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh
(kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa
Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim
mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun
berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa
Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan
kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil
menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu.
Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana
Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan
Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda.
Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta
mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa
alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Prancis dengan
mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini
tidak ditanggapi dengan serius.[3]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan.
Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk
melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima
Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika
berunding di Riau.[5]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris
wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh
makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu
baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil.
Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini,
Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda
Aceh merupakan kota yang berada paling barat di Indonesia. Bahkan kota ini memiliki julukan “Serambi Mekkah”, kira-kira
kenapa ya?

Ternyata julukan tersebut tak lepas dari pengaruh Kerajaan atau Kesultanan Aceh. Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh
berada pada puncak kejayaan sehingga pengaruh agama Islam tersebar secara luas dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangannya begitu pesat, hingga akhirnya Aceh menjadi kiblat ilmu pengetahuan Islam. Yuks, kita simak lebih lanjut
pembahasan kerajaan yang berada pada daerah istimewa ini, Cikal bakal menjadi Kerajaan Aceh bermula dari adanya
Kerajaan Indra Purba yang terletak di Lamuri. Pada tahun 1059-1069 M, tentara China menyerang Kerajaan Indra Purba
yang waktu itu dipimpin oleh Maharaja Indra Sakti. Ketika peperangan terjadi, Kerajaan Perlak sebagai sekutu dari Kerajaan
Indra Purba mengirimkan 300 pasukan, diantaranya terdapat pemuda kuat yang bernama Meurah Johan yang memimpin
pertempuran.

Akhirnya tentara China dapat dikalahkan dan diunsir mundur. Untuk membalas jasa Meurah Johan, maka Maharaja Indra
Sakti menikahkan anaknya dengan pemuda tersebut. Setelah itu, Meurah Johan yang bergelar Sultan Alaidin Johan Shah
menggantikan mertuanya yang telah wafat sebagai raja di Kerajaan Indra Purba. Kemudian kerajaan tersebut berganti
nama menjadi Kerajaan Darussalam yang terletak di Bandar Darussalam.

Hingga akhirnya sampailah pada generasi ke 11, yaitu Sultan Ali Mughayat Shah. Dalam perkembangannya, Sultan Ali
Mughayat Shah lah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, dimana awalnya bernama Kerajaan Darussalam. Bukan hanya itu
saja, Sultan Ali Mughyat Shah juga menyatukan kerajaan-kerajaan kecil yang berhasil ditakhlukannya di bawah naungan
Kerajaaan Aceh. Sultan Ali Mughayat Shah berjasa dalam melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis yang tiba di
Malaka. Oleh sebab itu, Sultan Ali Mughayat Shah membentuk angkatan laut dan darat. Kemudian juga membuat dasar-
dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh.

Sultan Ali Mughayat Shah akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 12 Dzulhijah sekitar 17 agustus 1530 M.
Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultan Salahuddin pada tahun 1530-1539 M. Tak berlangsung lama
pemerintahannya, akhirnya Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Shah, anak dari Sultan Mughayat Shah.

Pada masa kepemimpinannya, Kerajaan Aceh mengalami penyerangan oleh Portugis yang dibantu oleh Kerajaan Johor,
Perak dan Pahang yang saat itu sedang memusuhi Aceh. Penyerangan terus dilakukan hingga wafatnya Sultan Alauddin
Riayat Shah. Kemudian kepemimpinan Kerajaan Aceh digantikan oleh Sultan Husein Ali Riayat Shah.

Sultan Husein Ali Riayat Shah melakukan penyerangan terhadap Malaka yang diduduki Portugis dengan 7000 tentara dan
90 armada kapal. Pasukan Aceh berhasil membakar Malaka bagian selatan, namun penyerangannya ini dikatakan sia-sia
saja. Sebab Malaka bertahan dan semakin memiliki tekad untuk membumi hanguskan Kerajaan Aceh. Kemudian Sultan
Husein Ali Riayat Shah digantikan oleh anaknya Sultan Moeda. Ia dinobatkan saat usianya masih belia yaitu, 4 bulan.
Setelah menjabat kurang lebih 7 tahun, Sultan Moeda dikabarkan wafat dan mengakhiri masa pemerintahannya. Oleh
sebab itu, ia hanya dianggap sebagai sultan bayangan, karena hanya memerintah dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, kepemimpinan Kerajaan Aceh dialihkan pada Sultan Sri Alam, anak dari Sultan Alauddin Riayat Shah.
Dikisahkan bahwa Sultan Sri Alam sangatlah kejam, hingga akhirnya wafat karena dibunuh dalam waktu pemerintahannya
yang sangat singkat. Selanjutnya Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Zain Al Abidin.

Namun, sayangnya tak berlangsung lama dalam memerintah, Sultan Zain Al Abidin turun dari tahtanya karena dinilai sangat
kejam. Pada masa inilah, Aceh mengalami krisis dinasti. Hingga akhirnya, Sultan Alauddin Mansur Shah dijadikan pemimpin.
Ia adalah anak dari Sultan Ahmad dari Kerajaan Perak.

Pada masa kepemimpinannya, Sultan Alauddin Mansur Shah harus dihadapkan oleh Kerajaan Johor yang ingin menyerang
Aceh. Waktu yang genting sekaligus krisis dinasti dalam masalah internal Aceh, membuat Sultan Alauddin Mansur Shah tak
bisa membendung serangan dari luar. Hal ini mengakibatkan, kekalahan yang dialami serta armada Aceh yang berhasil
dihancurkan Portugis di depan Kedah Kemudian Sultan Alauddin Mansur Shah wafat karena dibunuh oleh prajuritnya
sendiri yaitu Sri Pada. Masa kepemimpinannya diteruskan oleh Sultan Buyong pada tahun 1586 M. Pada masa
kepemimpinannya, Sultan Buyong melakukan perdamaian da mengajak Kerajaan Johor untuk bersekutu. Tak lama setelah
itu, Sultan Buyong pun wafat dan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Shah Al Mukhammil.

Saat Sultan Alauddin Riayat Shah Al Mukhammil menjabat, banyak buku-buku Islam yang diterbitkan. Yaitu karya sastra
melayu diantaranya seperti Mirat Al Muminin, karangan Syams ud-Din. Kemudian ada Mahkota para raja, karangan Bukhari
Al Johari.

Setelah Sultan Alauddin Riayat Shah Al Mukhammil wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya yaitu, Sultan Ali Riayat
Shah. Namun, pada masa pemerintahannya terjadi banyak masalah yang dialami oleh Kerajaan Aceh. Waktu itu Aceh
mengalami krisis pangan, hingga banyak menyebabkan rakyat kelaparan. Selain itu, portugis juga menyerang Aceh secara
tiba-tiba dengan armada Martin Affonse.

Akhirnya, masa kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda, yaitu sepupu dari Sultan Ali Riayat Shah. Masa
kepemimpinannya begitu gemilang, Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaannya. Sultan Iskandar Muda berhasil
menduduki wilayah timur seperti, Pasai, Pedir, Deli, Aru. Sedangkan wilayah barat, ia menguasai Dya, Labu, Singkel,
Priaman, Padang.

Tak hanya itu saja, Sultan Iskandar Muda juga berhasil menaklukan negara-negara luar di Semenanjung Melayu seperti,
Johor, Pahang, Perak, dan Kedah. Sultan Iskandar Muda juga berhasil meneruskan perjuangan melawan Portugis
sekaligus menguasai jalur perdagangan sebelah barat. Ia memimpin Kerajaan Aceh selama 29 tahun dengan
pencapaian-pencapaian yang luar biasa, hingga mendapat julukan “Marhom Mahkota Alam”.

Selanjutnya, usai kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh pun berakhir dimasa pemerintahan sultan
Muhammad daud syah.

Kemunduran kerajaan aceh


Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511 M), terbukalah kesempatan bagi Aceh untuk berkembang dan maju.
Pedagang-pedagang dan Gujarat dan lain-lain pindah berlabuh ke Aceh, hingga kerajaan yang kecil pada mulanya itu klan
lama klan besar dan kuat. Pada tahun 1517 M Aceh membantu Demak untuk merebut Malaka dan Portugis dan semenjak
itu Aceh sendirilah yang berusaha merebutnya dengan bantuan

Kerajaan Aceh mencapai puncak kebesarannya di masa Sultan Iskandar Muda(1607-1636 M). Daerah kekuasaannya tidak
hanya meliputi sebagian besar Sumatra saja, tetapi juga sampai ke semenanjung seperti Pahang, Kedah, dan Perak.
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Nama Aceh menanjak dengan
cepat pada abad ke-17. Sejak itu, seluruh Aceh berada di bawah naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja. Sultan
pertama yang memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M). All
Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai
pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan
kekuasaannya ke Sumatra Timur.

Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qabar. Berbeda dengan Sultan
Ali Mughayat Syah yang bekerja sama dengan Portugis, Sultan Alauddin Riayat Syah justru berusaha melawan Portugis.
Dalam menghadapi tentara Portugis, la

menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Turki Usmani Aceh dan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia.

Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kekuasaannya. Bandar Aceh dibuka menjadi
pelabuhan internasional dengan jaminan pengamanan gangguan laut dari kapal perang Portugis. Penaklukan demi
penaklukan tidak hanya dilakukan terhadap tanah Aceh dan sekitarnya, melainkan juga meluas jauh keluar Aceh. Ini
menjadikan kekuasaan Aceh membentang dari daerah Deli sampai dengan Semenanjung Malaka. Pada masanya, Aceh
menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatra. Namun, usaha Aceh untuk menguasai Malaka yang
diduduki oleh Portugis berulang kali mengalami kegagalan. Bahkan, untuk mengalahkan Portugis, Sultan bekerja sama
dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris. Pada masa Sultan Iskandar Muda itulah, disusun suatu undang-undang
tentang tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam. Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan
digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Masa pemerintahannya tidak lama karena ia tidak
memiliki kepribadian dan kecakapan yang kuat seperti Sultan Iskandar Muda. Penggantinya adalah permaisurinya sendiri,
yaitu putri Sultan Iskandar Muda yang bernama Syafiatu'ddin. Sejak Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh terus menerus
mengalami kemunduran.
Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaanya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Di bawah kekuasaannya, Aceh berhasil menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama dan melakukan
penyerangan terhadap Portugis di Melaka.

Selain itu, kejayaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang strategis, yaitu di dekat jalur pelayaran dan perdagangan
internasional.

Berdirinya Kerajaan Aceh bermula ketika kekuatan Barat telah tiba di Malaka.

Hal itu mendorong Sultan Ali Mughayat Syah untuk menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di
bawah payung Kerajaan Aceh.

Untuk membangun kerajaan yang besar dan kokoh, Sultan Ali Mughayat Syah membentuk angkatan darat dan laut yang
kuat.

Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh, yang isinya sebagai berikut.

• Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar

• Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara

• Bersikap waspada terhadap negara Barat

• Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar

• Menjalankan dakwah Islam ke seluruh nusantara

Raja-raja Kerajaan Aceh

Berikut ini 35 sultan dan sultanah yang berkuasa menjadi raja Kerajaan Aceh.

• Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)

• Sultan Salahudin (1528-1537 M)

• Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar (1537-1568 M)

• Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575 M)

• Sultan Muda (1575 M)

• Sultan Sri Alam (1575 - 1576 M)

• Sultan Zain al-Abidin (1576-1577 M)

• Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589 M)

• Sultan Buyong (1589-1596 M)

• Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604 M)

• Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M)

• Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)

• Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M)

• Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M)

• Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678 M)

• Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688 M)

• Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699 M)


• Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702 M)

• Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703 M)

• Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726 M)

• Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726 M)

• Sultan Syams al-Alam (1726-1727 M)

• Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735 M)

• Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760 M)

• Sultan Mahmud Syah (1760-1781 M)

• Sultan Badr al-Din (1781-1785 M)

• Sultan Sulaiman Syah (1785-…)

• Alauddin Muhammad Daud Syah Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815 M) dan (1818-1824 M)

• Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818 M)

• Sultan Muhammad Syah (1824-1838 M)

• Sultan Sulaiman Syah (1838-1857 M)

• Sultan Mansur Syah (1857-1870 M)

• Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M)

• Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903 M)

Anda mungkin juga menyukai