Kesultanan Aceh dibuat oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan
Aceh ini berdiri diatas wilayah dari Kerajaan Lamuri, kemudian Kerajaan Aceh berhasil
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah disekitar kerajaannya mencakup
daerah Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Kesultanan Samudra Pasai sudah menjadi bagian dari
Kesultanan Aceh diikuti dengan wilayah Aru. Pada tahun 1528, Sultan Ali Mughayat Syah
digantikan oleh anaknya yang bernama Salahuddin, yang kemudian memerintah hingga
tahun 1537. Kemudian Sultan Salahuddin digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar melalui sebuah kudeta, sultan ini memerintah hingga tahun 1571.
Setelah wafatnya Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar terus melanjutkan perjuangan. Beberapa
kali melakukan serangan kejohor dan terus menjalin persahabatan dengan sejarah kerajaan islam
di indonesia lainnya terutama yang berada di pulau jawa.
Raja-raja dan para orangkaya menawarkan mahkota kerajaan kepada Alaiddin Riayat Syah
Sayyid al-Mukamil dari anggota Dinasti Darul Kamal pada tahun 1589. Ia mengakhiri periode
ketidak-stabilan terhadap kerajaannya dengan membrantas para orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat kedudukannya sebagai penguasa absolut di Kesultanan Aceh
yang dampaknya dapat dirasakan pada sultan sesudah dia. Kesultanan Aceh melakukan ekspansi
dan pengaruh perluasan wilayah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (tahun 1607 –
1636) atau dikenal juga sebagai Sultan Meukuta Alam.
Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh menaklukkan wilayah Pahang yang merupakan
penghasil sumber utama dari timah. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melaksanakan
penyerangan terhadap tentara Portugis yang berada di Melaka dengan armada yang mencapai
500 buah kapal perang dan 60.000 tentara angkatan laut. Serangan ini dilakukan dalam upaya
memperluas dominasi Kesultanan Aceh atas daerah Selat Malaka dan semenanjung Melayu.
Sayangnya ekspedisi yang dilakukan Kesutanan Aceh mengalami kegagalan, meskipun pada
tahun yang sama Kesultanan Aceh berhasil menduduki daerah Kedah dan banyak membawa
penduduk Kedah ke Aceh.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek dari Sultan
Iskandar Muda) mengirim utusan diplomatik ke negara Belanda pada tahun 1602 dengan
pimpinan diplomatik yaitu bernama Tuanku Abdul Hamid. Sultan ini juga banyak mengirim
surat ke berbagai pemimpin negara di dunia seperti ke Sultan Turki yang bernama Selim II,
Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I pemimpin Kerajaan Inggris. Semua ini
dilakukan bertujuan untuk memperkuat posisi dari Kesultanan Aceh.
Sejak itu masa damai terjadi di wilayah Kesultanan Aceh, para Uleebalang bebas melakukan
perdagangan dengan para pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota
Kesultanan. Lada yang merupakan tanaman utama yang dibudidayakan oleh warga Aceh
diseantero pesisir Aceh sehingga menjadikan lada sebagai pemasok utama di dunia hingga pada
akhir abad 19. Namun beberapa masyarakat Aceh terutama dari kaum para wujudiyah
menginginkan pemiminnya nanti seorang laki-laki yang bergelar Sultan.
Mereka mengatakan bahwa pewaris sah dari Kesultanan Aceh masih hidup dan tinggal bersama
kaum ini di pedalaman Aceh. Terjadi perang saudara, sehingga menyebabkan masjid raya
terbaka dan ibu kota Kesultanan yaitu Bandar Aceh mengalami kegaduhan dan ketidaktentraman
dimana-mana. Menindaklanjuti dari perang saudara ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) yang bernama Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melaksanan berbagai reformasi terutama
dalam hal pembagian kekuasaan sehingga terbentuknya tiga sagoe. Oleh karena ini
mengakibatkan kekuasaan dari sultanah atau sultan menjadi sangat lemah dengan hanya
berkuasa penuh pada beberapa daerah saja yaitu daerah Bibeueh (kekuasaan langsung).
3. Perang Saudara
Perang saudara terjadi dalam hal perebutan terhadap kekuasaan turut andil dalam melemahnya
dari Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah (tahun 1795-1824), seorang keturunan dari Sultan yang dibuang bernama Sayyid
Hussain mengklaim mahkota kesultanan Aceh dengan mengangkat putranya menjadi Sultan
tandingan yang bernama Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali terjadi namun berkat
bantuan dari Thomas Raffles dan Koh Lay Huan yaitu seorang pedagang dari Penang kedudukan
dari Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan kembali. Tak sampai disitu, terjadi perang saudara lagi yang kembali merebutan
mahkota Kesultanan Aceh antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak akan
bergelar Sultan Mansur Syah (tahun 1857-1870).
Para UleeBalang dari Kesultanan Aceh dan utusan khusus dari Sultan diberi tugas untuk mencari
bantuan ke sekutu lama mereka yaitu Kesultanan Turki. Namun kondisiini tidak dimungkinkan
karena saat itu Kesultanan Turki baru saja berperang dengan negara Rusia di Krimea. Usaha
meminta bantuan juga dikirim ke negara Italia, Perancis hingga Amerika namun tidak
membuahkan hasil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang bertujuan untuk meraih simpati
dari negara Inggris tidak juga menghasilkan apa-apa. Dengan alasan inilah, negara Belanda
memantapkan diri untuk menyerah ibukota Banda Aceh. Maret 1873, pasukan negara Belanda
mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal dilakukannya invasi Belanda ke Kesultanan
Aceh.