Pendahuluan
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada
awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan
Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang
bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian
Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga
tahun 1571.[2]
2. Masa Kejayaan
Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan
pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai
pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu
Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
3. Masa Kemunduran
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol
ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-
1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota
kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang
pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan
Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak
bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha
untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai
pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah
dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan
beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha
membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis
Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak
ditanggapi dengan serius.[3]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda
nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin
oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi
Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku
Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam
pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru
melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika
berunding di Riau.[5]
III. Pemerintahan
1. Sultan Aceh
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh.
Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian
pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari
awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang
selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di
pedalaman Pidie.
2. Perekonomian
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai
ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke
Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai
barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di
pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.[5]
TUGAS
KEELOMPOK 1 (PUTRA)