Pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan letak Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdagangan dunia, yakni Selat Malaka. Berdasarkan catatan Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) dikatakan bahwa Sumatra, terutama sepanjang pesisir Selat Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam dan menurut Tome Pires, kerajaan-kerajaannya ada yang sedang mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan ada pula yang mengalami keruntuhan, antara lain : a. Samudra Pasai Kerajaan ini diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. Sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh, yang sebelumnya bernama Marah Silu (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Kesultanan Pasai runtuh setelah mendapat serangan Portugis pada tahun 1521. 1) Pembentukan awal Kerajaan Berdasarkan hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu sebelumnya berada di satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga. Setelah naik tahta, ia bergelar Sultan Malik as-Saleh. Pada tahun 696 H atau 1297 M, ia wafat dan digantikan oleh anaknya bernama Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai. Kerajaan semakin berkembang, menjadi salah satu kawasan perdagangan dan tempat pengembangan dakwah agama Islam. Sekitar tahun 1326 Sultan Muhammad Malik meninggal dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Az-Zahir (memerintah sampai tahun 1345). 2) Pemerintahan Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletak antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Dalam struktur pemerintahan, terdapat istilah menteri, syahbandar, dan kadi. Anak-anak sultan dan petinggi kerajaan digelari dengan Tun. Urutan raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai : 1. Sultan Malik as-Shaleh (696 H/1297 M) 2. Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326) 3. Sultan Mahmud Malik Zahir (1346-1383) 4. Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405) 5. Sultan Nahrisyah (1405-1412) 6. Abu Zain Malik Zahir (1412) 7. Mahmud Malik Zahir (1513-1524) Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudra Pasai mencapai puncaknya pada awal abad ke-16. 3) Perekonomian Kesultanan Samudra Pasai mengalami kemajuan diberbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan, keagamaan, dan terutama perdagangan. Keslutanan Samudra Pasai sering melakukan hubungan persahabatan dengan Malaka, hubungan itu diperkuat dengan perkawinan. Pasai merupakan kota dagang, komoditi andalannya yaitu lada, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Selain itu, ada juga komoditas lainnya seperti sutera dan kapur barus. Pada saat itu, Pasai telah menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis, yang terbuat dari emas dan dramas. 4) Agama dan Budaya Dalam bidang keagamaan Ibnu Batuta menjelaskan bahwa Kesultanan Samudra Pasai dikunjungi oleh para ulama dari Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta, menceritakan bahwa Sultan Samudra Pasai sangat taat terhadap agamaIslam yang bermazhab Syafi’i. Dari catatan Ma Huan dan Tome Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa social budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, tradisi pada upacara kelahira, perkawinan dan kematian. 5) Keruntuhan Kerajaan Samudra Pasai Faktor-faktor yang menyebabkan kemundurnan Kerajaan Samudra Pasai : a) Kerajaan Majapahit yang berambisi menyatukan Nusantara, yaitu pada tahun 1339 Patih Gajah Mada menyerang Samudra Pasai, tetapi belum berhasil. b) Berdirinya Bandar Malaka yang letaknya lebih strategis. c) Seteleh Sultan Malik at-Thahir wafat, tidak ada yang menggantikan tahta sehingga penyebaran agama Islam diambil dan diteruskan oleh Kerajaan Aceh. b. Kesultanan Aceh Darussalam Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatic dengan Negara lain. Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Pada tahun 1254, Pasai sudah menjadi bagian dari Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak jadi karena Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh. Dan digantikan oleh anaknya yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya adalah mengembangkan kakuatan angkatan perang, perdaganga, dan mengadakan hubungan Internasional dengan kerajaan Islam Timur Tengah, seperti Turki, Abessia (Ethiopia), dan Mesir. Pada tahun 1563 ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan dalam usaha melawan kekuasaan Portugis. Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-teknisi dan dnegan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat al-Qahhar menyerang dan menaklukan banyak kerajaan, seperti Batak, Aru dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh, Sultan Alauddin menempatkan suami saudara perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Pariaman dengan gelar resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerah-daerah pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh. Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-daerah sepanjang pesisir timur dan barat. Kedudukan Portugis di Malaka terus mengalami serangan, meskipun keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC. Perluasan kekuasaan politik VOC menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh. Kemunduran Kesultanan Aceh, antara lain : 1) Makin menguatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Deli, Barus, Tapanuli, Mandailing, serta Bengkulu ke tangan Belanda. 2) Adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan. c. Kerajaan-Kerajaan Islam di Riau Kerajaan Islam di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512- 1515) antara lain Siak, Kampar dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak menjadi kerajaan bercorak Islam sejal abad ke-15, mungkin akibat pengaruh perkembangan Kerajaan Islam Samudra Pasaidan Malaka. Ketiga kerajaan ini dikuasai Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477). Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan, seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau. Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh sultan Mansyur Syah. Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak. Pada 1596 yang menjadi raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalia Abdul Jalil, sementara saudaranya bernama Raja Husain ditempatkan di Kelantan. Di Kampar ditempatkan Raja Muhammmad. Pada 1641 smapai abad ke-18 ketiga kerajaan itu berada di bawah pengaruh politik dan ekonomi-perdagangan VOC. Perjanjian pada 14 Januari 1676 berisi bahwa hasil timah harus dijual hanya kepada VOC. Kerajaan Siak juga terikat oleh ikatan perjanjian monopoli perdagangan sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil melakukan perlawanan terhadap VOC. Pada 1750, Sultan Abdul Jalil memindahkan ibukota kerajaan ke Mempura ynag terletak di tepi Sungai Memra Besar, Sungai Jantan diubah namnay menjadi Sungai Siak, kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada 1760, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dan pasukannya menyerang VOC, hal ini dikarenakan VOC yang sering mengganggu lalu lintas kapal kerajaan Siak Sri Indrapura. Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-1811), ia berhasil memakmurkan kerajaan. Pada tahun 1811 Sultan Sa’id memundurkan diri sebagai Sultan Siak, dan digantikan oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah kepemimpinan Tengku Ibrahim, Kerajaan Siak mengalami kemunduran. Adanya perjanjian dengan VOC pada 1822 di Bukit Batu, isinya menekankan Kerajaan Siak tidak boleh melakukan ikatan atau perjanjian dengan Negara lain kecuali Belanda, menyebabkan wilayah Kerajaan Siak semakin sempit geraknya dan banyak dipengaruhi oleh VOC. Kerajaan Kampar berada di bawah Kerajaan Malak sejak abad ke-15. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abdullah tidak mau menghadap Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirim pasukan ke Kampar, sedangkan Sultan Abdullah meminta bantuan ke Portugis dan berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah dibawa ke Malaka oleh Portugis, pembesar kerajaan yaitu Mangkubumi Tun Perkasa memohon agar di Kampar ditempatkan raja.Lalu dikirimkan seorang pembesar ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja Dinda, berkedudukan di Pekantua. Pada tahun 1725, penggantinya yaitu Maharaja Dina II memindahkan ibukota kerajaan Kampar ke Pelalawan yang kemudian mengganti Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan. Pada 4 Februari 1879, kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 berada di bawah Kemaharajaan Melayu berhubungan erat dengan Portugis. Setelah Malak diduduki VOC, mulai berhubungan dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664. Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan ibukotanya ke Japura tapi pada 5 Januari 1815, dipindahkan lagi ke Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Pada 1784, Sultan Ibrahim ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang. Kekuasaan politik kerajaan ini hilang bedasarkan Tractat van Vrede en Vriend-schap 27 September 1838, berada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda.