Anda di halaman 1dari 5

1.

Sultan Muhammad Daud Syah Johan

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-
1903.

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya
berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia
di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada
tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke
Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku
Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh"
(maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh
ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan
(Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid
Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông
Pande.[9]

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan
cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan.
Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[10]
2. Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda lahir di Banda Aceh, pada tahun 1539. Ayahnya adalah keturunan dari Raja
Mahkota Alam, sedangkan Ibunya keturunan Raja Darul Kalam.

Sejak kecil, orangtuanya mendidik Sultan Iskandar Muda dengan pengetahuan agama dan
kepemimpinan karena kelak, ia akan mewarisi tahta ayahnya.

Masa Kepimpinan Sultan Iskandar Muda

Pada masa pemerintahan Sultan Ali Riayat, Iskandar Muda pernah dipenjara karena telah menentang
kebijakan Sultan Ali. Iskandar Muda melihat bahwa Sultan Ali tidak cakap dalam menangani
perampokan dan bahaya kemiskinan yang diderita oleh Rakyat Aceh.

Melihat kekacauan internal yang terjadi pada pemerintahan Sultan Ali, Portugis memanfaatkan
kondisi Aceh yang lemah dengan menyiapkan kapal armadanya untuk menyerang Aceh.

Melihat kondisi tersebut, Iskandar Muda yang sedang ditahan mengirimkan surat kepada Sultan Ali
untuk menawarkan bantuan memimpin serangan terhadap Portugis. Sultan Ali Riayat ternyata
menyetujui permintaan tersebut.

Keberhasilan Iskandar Muda mengusir Portugis dari Aceh, membuat pamornya menjadi sosok yang
popular sebagai calon Sultan Aceh berikutnya. Pada 4 April 1607, Sultan Ali wafat dan Iskandar Muda
dinobatkan menjadi Sultan Aceh yang baru.

Sejak bertakhta pada 1907, Kesultanan Aceh Darussalam kembali mengalami perkembangan pesat
dan mencapai masa keemasan karena melakukan ekspedisi penaklukan di daerah sekitarnya.

Pada tahun 1612 Deli di taklukan, disusul Johor setahun kemudian. Pada tahun 1614, Bintan juga
dapat di ditaklukan. Berikutnya, secara berturut-turut, dikalahkannya Pahang (1618), Kedah (1619),
dan Nias (1624-1625).

Hal itu membuat wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh masa Sultan Iskandar Muda pun semakin
bertambah luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pantai barat dan pantai timur
Sumatera.

Kutaraja yang sekarang menjadi Banda Aceh, merupakan tempat transit yang dapat menghubungkan
perdagangan ke dunia barat.
Saat itu, Kutaraja menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal asing dari mancanegara untuk membeli
lada.

Begitulah masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda sebagaimana dikutip dari buku Kumpulan
Pahlawan Indonesia Terlengkap Oleh Minawati; Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia dari Era
Klasik Sampai Kontemporer oleh Adi Sudirman; dan Ensiklopedi Pahlawan: Semangat Pahlawan
Perintis Kemerdekaan Indonesia oleh R. Toto Sugiarto.
3. Sultan Sri Alam atau Sultan Mughal

Sultan Sri Alam atau Sultan Mughal adalah Sultan Aceh ke-6 yang memerintah dari tahun 1575
hingga tahun 1576, menurut Denys Lombard, ia hanya berkuasa pada tahun 1579.[1] Sri Alam
merupakan putera dari Sultan Alauddin al-Qahhar, Sultan Aceh ke-3, selain itu ia juga menjabat
sebagai Raja Priaman atau Pariaman.[1]

Sultan Sri Alam sebelumnya bernama Sri Alam Firman Syah yang dinikahkan dengan Raja Dewi, putri
Sultan Munawar Syah dari Inderapura. Hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam
pembunuhan putra dari Sultan Husain Ali Riayat Syah yang bernama Sultan Muda, sehingga
melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Namun
kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum disingkirkan dengan dukungan para
ulama.[2]

Namun pengaruh Kerajaan Inderapura tak dapat disingkirkan begitu saja. Dari 1586 sampai 1588
saudara Raja Dewi yang bernama Sultan Buyong memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II,
sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[
4. Sultan Alauddin

Sultan Alauddin dilaporkan adalah keturunan para raja tua yang mengatur kesultanan Aceh pada
abad kelima belas. Ayahnya adalah Al-malik Firman Syah, putra Muzaffar Syah (meninggal
tahun 1497). Pertemuan silsilah ini sepertinya telah terhalang sepenuhnya oleh garis keturunan
dari Sultan Ali Mughayat Syah. Di masa mudah ya dia hanya seorang rakyat biasa yang berprofesi
sebagai seorang nelayan, tetapi ia mampu mencapai posisi elit di kesultanan berkat keberanian dan
keahliannya dibidang militer sehingga dia terpilih menjadi seorang komandan militer. Dia diduga
membunuh Sultan Alauddin Mansur Syah pada tahun 1585-1586. Menurut dugaan tersebut dia
membunuh sultan sebagai tindakan guna melindungi cucu muda sultan Raja Asyem. Kemudian dia
juga diduga bertanggung jawab atas pembunuhan Sultan Buyung tahun 1589. Setelah menduduki
takhta dia juga dianggap telah membunuh Raja Asyem yang dianggapnya kelak akan menjadi saingan
utama bagi kedudukannya sebagai sultan. Namun semua dugaan itu tidak pernah bisa dibuktikan
secara jelas.[2] Dengan alasan pembunuhan itulah dia memicu permusuhan dengan Kesultanan
Johor di Semenanjung Malaya, karena ayah Raja Asyem merupakan Sultan di sana.

Terlepas dari dugaan situasi kisruh ketika naiknya dia menjadi sultan. Dalam babad sejarah Hikayat
Aceh Sultan Alauddin dipuji sebagai sultan yang baik dan saleh, masa pemerintahannya menjadi
masa yang sejahtera bagi rakyat kesultanan.[3] Menurut seorang pedagang Prancis yang berkunjung
ke Aceh pada tahun 1601–1603 ia mencatat bahwa ibu kota kesultanan adalah bandar yang sangat
kosmopolit pada masanya, di mana orang-orang dari berbagai kebangsaan berdiam di sana selama
beberapa bulan guna berdagang.

Orang - orang dari Turki, Nagapatnam, Kalikut, Ceylon, Siam, Gujarat, Benggaladan berbagai tempat
lainnya berbaur dengan aman dan menjalankan perdagangan yang ramai. Mereka menjual kain,
kapas, berbagai jenis keramik, obat-obatan, rempah-rempah dan batu mulia.[4]

Anda mungkin juga menyukai