Anda di halaman 1dari 20

Tugas Hasil Kunjungan Ke Museum

Deli Serdang

Di Susun :
1. Nabila Tri Elfaniar
2. Yuwanda Ayu Fadila
3. Kayla Salsabila
4. Khairin Syafa
5. Tania Cahaya Kirana
6. Dimas Syahputra

MTS AISYIAH BINJAI


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan mengiringi selesainya penulisan hasil tugas


dari kunjungan ke museum. Ditulisnya hasil penelitian ini adalah sebagai salah satu
upaya menggali khazanah pengetahuan tentang sejarah penyebaran Islam di
Sumatera Utara dan salah satunya adalah yang dulakukan oleh Kesultanan Serdang.
Hasil kajian ini penting dilakukan, sedikitnya untuk memperoleh umpan balik bagi
perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut, serta merangsang para peneliti dan
sejarahwan lain untuk melakukan penelitian lebih jauh, lebih lengkap, dan dengan
data yang lebih kaya. Hanya dengan cara ini kekayaan khazanah kita dapat
diungkap, dan dengan cara ini pula generasi muda masa kini mengenali khazanah
budaya keagamaan pada masa lalunya yang kaya dan penuh makna. Wassalam.

Penulis
Riwayat Hidup Beberapa Pahlawan Yang Ada Di Museum

Sebagai pengganti dari Sultan Thaf Sinar


Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-
1880). Kepemimpinan Sultan Basyaruddin
Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari
Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah, berupa
pengakuan Mahor Cap Sembilan. Ketika pada
1854 Aceh mengirim ekspedisi perang
sebanyak 200 perahu perang untuk
menghukum Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan
pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-
orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan
Basyaruddin Syaiful Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang
datang dari dalam maupun luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan
perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang
datang ke Serdang pada 1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat
menyebabkan Serdang kemudian harus takluk dan mendapat pengakuan dari
Belanda seperti yang tercantum dalam Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus
1862 (Basarshah II, tanpa tahun:64). Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah
wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada bulan Desember 1880, sang putra
mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih sangat muda sehingga roda
pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara diserahkan kepada Tengku
Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah) sebagai wali sampai
Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan
resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru
diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era
kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan
Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk
meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan.
Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama
yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga
pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, pada Desember 1945
Kesultanan Serdang di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Republik Indonesia yang
berdaulat.

Ketika Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah


wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau
pada bulan Desember 1880, sang putra
mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih
sangat muda sehingga roda pemerintahan
Kesultanan Serdang untuk sementara
diserahkan kepada Tengku Raja Muda
Mustafa (paman Sulaiman Syariful
Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman
Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan. Pengakuan resmi dari
pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini baru diberikan
melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan
Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas
kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk
melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan. Masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika
kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik
Indonesia (1946). Tidak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya
tanggal 17 Agustus 1945, pada Desember 1945 Kesultanan Serdang di bawah
pimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah menyatakan dukungan terhadap
berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat. Selanjutnya, tahun 1946
wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam. Pada
3 Maret 1946, terjadi peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi
Sosial” di mana terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh
orang-orang komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan itu oleh kaum kiri dianggap
sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Menurut buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang (2003) yang ditulis
oleh Pemangku Adat Kesultanan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II,
penangkapan terhadap raja-raja di Sumatra Timur itu, seperti yang terjadi di
Simalungun di mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan
istana mereka dijarah. Di Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas,
termasuk sastrawan Tengku Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun
berhasil meloloskan diri dan berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian
menyerahkannya kepada pihak Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar.
Demikian juga di wilayah Batubara dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk
para bangsawan utama, dan harta benda mereka dirampok (Basarshah II, 2003:63).

Mengutip situs Insitut Harkat Negeri, Dr Soetomo


lahir dengan nama Soebroto. Pria kelahiran 30
Juli 1888 ini berasal dari desa Ngepah,
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Soetomo merupakan anak dari R Suwaji, seorang


bangsawan yang menjabat sebagai wedana atau
camat di Maospati, Madiun.
Mulanya ayah Soetomo bekerja sebagai wedana di Maospati, Madiun. Kemudian
pindah bekerja menjadi ajun jaksa di Madiun.

Dikarenakan lahir di kalangan keluarga berada dan terpandang, maka Soetomo


kecil dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah. Soetomo disekolahkan pada
Sekolah Rendah Bumiputera.

Namun ia kemudian dipindahkan ke Bangil (Jawa Timur), agar dapat masuk


Sekolah Rendah Belanda (ELS = Europeesche Lagere School).

Untuk itu, dirinya ikut dengan pamannya, Harjodipuro. Putera pamannya yang
bernama Sahit masuk ELS, namun berbeda halnya dengan Soetomo.

Meskipun Soetomo tidak diterima, pamannya tidak putus asa sehingga pada
keesokan harinya ia dibawa lagi ke sekolah itu. Namun tidak dengan nama
Subroto, mlainkan diganti nama menjadi Soetomo.

Dengan nama itu, ia diterima di ELS. Di sana, ia terkenal sebagai siswa yang
pandai sehingga disegani oleh teman-teman Indonesia maupun Belanda. Ia juga
merupakan siswa kesayangan guru-guru Belandanya.

Menginjak usia remaja atau setelah tamat dari ELS, ia melanjutkan studi ke
sekolah dokter di Batavia, 'School tot Opleiding van Inlandsche Artsen' (STOVIA).
Saat menjadi siswa STOVIA, dirinya bertemu dengan dr Wahidin Sudirohusodo,
seorang pensiunan dokter.

dr Wahidin Sudirohusodo saat itu datang ke Batavia dan menemui para pelajar
STOVIA untuk memberikan ceramah, untuk menggugah para pemuda dalam
memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari
penjajahan. Cara yang akan ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah
dengan mendirikan Studie Fond (Dana Bea Siswa) bagi anak-anak yang tidak
mampu.

Pertemuan dengan dr Wahidin Sudirohusodo ini berpengaruh besar terhadap


sikap dan pemikiran Soetomo muda dalam cita-citanya untuk membela rakyat
kecil. Selain mendapat pengaruh besar dari dr Wahidin, Soetomo juga mendapat
pengaruh besar dari dr Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang banyak
berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia. Berkat pengaruh dari dua tokoh
tersebut, Sutomo semakin matang dan mantap untuk mewujudkan cita-citanya.

Atas gagasan yang dipaparkan dr Wahidin Sudirohusodo, Soetomo tertarik untuk


merealisasikannya. Dirinya kemudian menyampaikan gagasan itu kepada teman-
temannya di STOVIA. Mereka sepakat bahwa cita-cita yang luhur tidak mungkin
dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan.

Melalui gagasan tersebut, Soetomo bersama para pelajar STOVIA kemudian


mendirikan suatu perkumpulan yang dinamakan Budi Utomo (budi yang utama)
pada hari Rabu, 20 Mei 1908. Nama ini berasal dari kata-kata dr Wahidin ketika
hendak berpisah dengan Soetomo, dirinya berkata 'punika satunggaling
pedamelan sae serta nelakaken budi utami' (itu suatu perbuatan yang baik dan
budi utama).

Setelah nama Budi Utomo disepakati oleh semua peserta rapat yang terdiri dari
Soetomo, Gumbreg, Soeradji, Gunawan Mangunkusumo, Mohammad Saleh, M
Sulaiman, Suwarno dan Angka, maka disusunlah pemilihan pengurus Budi Utomo
dengan Soetomo sebagai ketuanya.

Dalam perkembangannya, Budi Utomo mendapatkan banyak dukungan dan


anggota baru yang bergabung. Meskipun mendapat banyak respons negatif
utamanya dari guru-guru STOVIA, namun Soetomo dan teman-temannya
mendapat dukungan besar dari kepala sekolah dr H. F. Roll, bahkan ia
memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres pertama yang
diselenggarakan di Yogyakarta.
Tan Malaka adalah lulusan Kweekschool
(Sekolah Guru) Bukittinggi. Berkat
kecerdasannya, ia bersekolah di Belanda.
Tapi, untuk bersekolah di sana, ia sempat
meminjam dana dari orang-orang
sekampungnya dan mendapat bantuan dari
mantan gurunya. Pada awalnya, pria
kelahiran 2 Juni 1897 ini ingin mendapatkan
akte untuk jadi kepala sekolah, tetapi karena
sakit, ia hanya mendapatkan akte guru biasa.
Ketika selesai mengenyam pendidikan, ia pun
pulang ke Indonesia dan mengajar anak-anak kuli perkebunan teh di
Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Dia kemudian merantau ke Jawa
dan pergi ke Semarang. Di sana, dia ikut Sarekat Islam cabang Semarang
dan sempat membangun sekolah di Semarang. Sebelum diusir dari Hindia
Belanda, Tan Malaka juga sempat memimpin Partai Komunis Indonesia
(PKI). Semasa hidupnya, Tan Malaka hidup berpindah-pindah dari satu
negara ke negara yang lain, termasuk Rusia yang menguat menjadi Uni
Soviet. Di negara itu, Tan menjadi anggota Comintern (anggota Komunis
Internasional). Ia sempat berselisih dengan penguasa Uni Soviet, Joseph
Stalin dan dituduh sebagai Trotskys. Sebelum Perang Dunia II, Tan Malaka
hidup dalam penyamaran sekitar Asia Tenggara. Dalam masa-masa itu, ia
pun menggunakan banyak nama samaran seperti: Ilyas Husein ketika di
Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura,
Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong. Di akhir masa
pendudukan Jepang, dia menyamar sebagai mandor di Banten dan
menghabiskan waktu untuk menulis karya besarnya, Madilog. Di masa
revolusi, Tan Malaka dianggap otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Dia
menentang hasil perundingan Republik Indonesia dengan Belanda. Saat
itu, Tan Malaka menuntut Merdeka 100 persen. Tan Malaka terlibat dalam
Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman. Tan Malaka juga
pernah mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai ini
pernah ikut Pemilu 1955, namun dibekukan pada tahun 1965. Tan Malaka
terbunuh sekitar Februari 1949. Tan Malaka tewas ditembak oleh pasukan
militer Indonesia tanpa pengadilan di Selopanggung, Kecamatan Semen,
Kabupaten Kediri, pada 21 Februari 1949. Eksekustornya berasal dari
Brigade Sikatan atas perintah petinggi militer Jawa Timur. Tan Malaka
dibunuh karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah yang
bersikap moderat dan penuh kompromi terhadap Belanda. Belakangan,
Presiden Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 yang ditandatangani pada 28
Maret 1963. Pengikutnya yang paling terkenal adalah Adam Malik dan
Muhamad Yamin.

Bila membicarakan kesenian Melayu, khususnya seni


tari, maka nama Sauti dan “Serampang 12” tentu tidak
dapat dihindari untuk dijadikan rujukan. Di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara, mahakarya tari yang
terkenal itu tercipta dan berkembang. Di kota ini pula
seniman tari Melayu yang kerap dipanggil Guru Sauti
itu lahir.

Ketika Sauti masih hidup, tarian ini pernah melanglang


ke negara-negara Asean, bahkan hingga ke Jepang, Cina, dan ke beberapa negara
Eropa. Dalam setiap pergelarannya nama Sauti kian populer. Pada masa
keemasannya, keberadaan Tari “Serampang 12” mendapat sambutan yang luar
biasa di seluruh tanah air dan berbagai negara. Banyak seniman dari banyak kota
dan negara datang kepada Sauti untuk belajar menari.

“Serampang 12” adalah tarian tradisional Melayu yang berkembang di masa


Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan
diubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama
“Serampang 12”, tarian ini bernama “Tari Pulau Sari”, sesuai dengan judul lagu
yang mengiringinya, yaitu lagu “Pulau Sari”.

Tarian ini mengutamakan gerakan yang lincah. Gerak kaki yang banyak melompat-
lompat, gerak tangan yang cepat serta lirikan mata. Disebut tari “Serampang 12”,
karena terdiri dari 12 ragam, yaitu (I) tari permulaan pertemuan pertama dua orang
muda-mudi, (II) tarian berjalan, menceritakan ketika cinta meresap, (III) tari pusing
yang menggambarkan tentang pemuda yang sedang kasmaran, (IV) tari gila karena
perasaan mabuk kepayang,(V) tari berjalan bersipat, menceritakan isyarat tanda
cinta, (VI) tari goncet-goncet yang merupakan simbol pihak si gadis membalas
isyarat yang disampaikan si pemuda, (VII) tari sebelah kaki kiri/kanan yang
menunjukkan bahwa dalam hati sepasang pemuda mulai tumbuh kesepahaman atas
isyarat-isyarat yang mereka kirimkan, (VIII) tari langkah tiga melonjak maju
mundur yang merupakan simbol dari proses meyakinkan diri terhadap calon
pasangannya, (IX) tari melonjak sebagai simbol menunggu restu kedua orang tua,
(X) tari datang mendatangi atau pinang meminang, (XI) tari rupa-rupa jalan yang
menggambarkan proses mengantar pengantin ke pelaminan, dan (XII) tari sapu
tangan yang dilakukan dengan menyatukan sapu tangan sebagai simbol telah
menyatunya dua hati yang saling mencintai dalam ikatan perkawinan.

Menurut satu-satunya murid Sauti yang masih hidup, Sauti merupakan penari
tradisi sejak muda dan dia berinteraksi dengan seniman-seniman pada masa itu
sehingga mampu menari dengan sangat baik. Ketika sudah remaja, Sauti dan OK
Adram sama-sama gelisah melihat tarian yang ada waktu itu. Tari-tarian itu hanya
merupakan tarian lepas, hanya stimulasi untuk kegembiraan atau upacara. Selain
itu, Presiden Soekarno getol sekali ingin menggantikan tarian-tarian dansa yang
kebarat-baratan pada waktu itu. Dengan surat resmi pada tahun 1955, Soekarno
meminta daerah-daerah mengirimkan tarian-tarian untuk dipopulerkan.
“Sauti yang waktu itu bekerja di Jawatan Kebudayaan Sumatera Utara menawarkan
“Serampang 12”. Ketika itu terjadi konflik antara dia dan pasangannya, OK Adram,
yang meminta agar tarian itu tidak diajarkan sembarangan, dikhawatirkan akan
mengalami degradasi kualitas. Sauti justru berpendapat agar disebarkan terlebih
dahulu tarian itu, nanti setelah menyebar lalu dikembalikan kualitasnya seperti
awalnya,” kata Jose Rizal Firdaus.

Sauti bertekad menyebar tari “Serampang 12” ke seluruh Indonesia dengan


menurunkan kualitasnya, artinya sedikit memudahkan untuk orang-orang di luar
Sumatera Utara. “Misalnya orang Bandung boleh menarikannya dengan cara
Bandung, orang Makassar dengan cara Makassar. Ketika Festival “Serampang 12”
pertama dibuat di Surabaya, yang kedua di Jakarta, yang ketiga di Medan. Dalam
penyelenggaraan festival tersebut selalu terjadi konflik dengan daerah-daerah dari
luar. Mereka komplain, bahwa mereka belajar menari langsung dari Sauti, tetapi
kenapa bisa kalah,” jelas Jose Rizal.

Apalagi waktu itu, salah satu jurinya adalah Sultan Deli yang berprinsip bahwa
nuansa melayu tari “Serampang 12” harus kental. “Sehingga terjadilah konflik yang
mengakibatkan berhentinya Festival Tari Serampang 12 pada tahun 1963. Barulah
kami murid-muridnya belakangan ingin kembali menggalakkan tari “Serampang
12”, maka ketika Pesta Budaya Melayu kita undang seluruh provinsi dan negara-
negara tetangga untuk menarikan “Serampang 12” kembali,” tambah Jose Rizal.

Jose Rizal memiliki kenangan yang mendalam terhadap sosok gurunya, Sauti.
Kepribadiannya yang istimewa membuat Sauti memiliki kharisma tersendiri.
Banyak murid dan pengagumnya menjadikan Sauti sebagai idola. Dimanapun ia
mengajar, pasti banyak orang terkesan dengan Sauti. Umumnya orang yang belajar
tidak puas kalau tidak dituntun Sauti secara langsung.

“Sauti merupakan pembaharu tari Melayu yang dihormati orang bila berkunjung ke
berbagai tempat,” imbuhnya.

Oleh karena ia tokoh yang dipuja, ia jadi perhatian banyak orang. Sampai cara
berpakaiannya sering ditiru untuk memberi kesan bahwa mereka pengagum Sauti.
Hal yang kemudian dicontoh secara massal oleh murid-muridnya adalah pengunaan
peci yang dikenakan secara miring ketika menari. Padahal penggunaan peci seperti
itu tidak lazim sebelum dikenakan para penari “Serampang 12”.

tirto.id - Pada zaman revolusi, Wakil Presiden


Mohammad Hatta datang ke Sumatra Utara. Ia
mendapat pesan dari Gubernur Sumatra di
Bukittinggi, Teuku Muhammad Hasan, untuk
turun tangan menyelesaikan perseteruan sesama
pasukan Republik yang susah diatur. “Gubernur
Teuku Hasan di Bukittinggi yang meminta saya
datang untuk menyelesaikan perselisihan antara
Mayor Malau dan Mayor Bejo yang berseteru,”
ujar Hatta dalam Mohammad Hatta: Indonesian
Patriot (1981:284). Menurut Hatta, Panglima
Komandemen Sumatra, Jenderal Mayor
Soehardjo Hardjowardojo, tidak mampu menyelesaikan perseteruan dua pemimpin
brigade tersebut. Perseteruan antara Mayor Malau dan Mayor Bejo di Tapanuli
terjadi sejak September 1948. Keduanya bukan hanya adu mulut, tapi baku tembak
antar pasukan yang mereka pimpin. Pasukan Malau yang disebut pasukan Banteng
Negara berada di utara, sementara di selatan terdapat pasukan Bejo yang
merupakan Brigade B. Pada awal revolusi, kedua pasukan ini berada di sekitar
Medan, Sumatra Timur. Mereka sama-sama terlibat dalam Pertempuran Medan
Area melawan tentara Sekutu yang dumuai pada Oktober 1945.
Dalam perseteruan tersebut, menurut Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-bakal
Tentara Nasional di Sumatera (2005:178), kedua komandan lokal itu tampak tidak
ingin ditengahi oleh Letnan Kolonel Alex Kawilarang selaku Panglima
Subkomandemen Sumatra Utara. Wakil Presiden Hatta kala itu didampingi
Kolonel Hidajat (mantan letnan dua KNIL yang pernah dinas sebentar), yang
kemudian hendak ditunjuknya menjadi Panglima Komandemen Sumatra. Hidajat
pernah bertanya kepada Letnan Kolonel Alex Kawilarang, tentang bagaimana cara
menyelesaikan masalah Bejo dan Malau. “Menurut saya, tidak sulit. Bubarkan
brigade-brigade dan bentuklah sektor-sektor,” jawab Kawilarang seperti terdapat
dalam AE Kawilarang: Untuk Sang Merah-Putih (1988:137). Daerah yang
dikuasai Mayor Bejo dianggap sebagai Sektor I, dan daerah Mayor Malau sebagai
Sektor II. Namun, daerah yang direbut Bejo dari Malau itu harus dikembalikan
terlebih dahulu seperti semula. Artinya, pasukan Bejo harus mundur dari Sibolga
ke Angkola. Sementara pasukan Malau harus dikurangi, yaitu dari Brigade IX dan
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Usulan Kawilarang disetujui oleh
Hatta dan Hidajat. Ketika pertemuan dengan Wakil Presiden Hatta digelar, Mayor
Malau tidak datang. “Dalam pada itu, Pak Hatta kelihatan masih sedikit kurang
senang, karena Liberty Malau tidak datang. Tetapi Pak F.L. Tobing (Residen
Tapanuli) dan saya (Kawilarang) yakin Mayor Liberty Malau akan menaati
keputusan itu,” ujar Alex Kawilarang. Akhirnya, pasukan yang dipimpin oleh dua
mayor yang berseteru itu masing-masing hanya sebesar batalion. Menurut
Kawilarang, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution
pernah meminta pengerahan dua batalion dari Sumatra Utara, yakni batalion Bejo
dan Malau, untuk terlibat dalam penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) di Jawa Barat.

7. Djamin Gintings

Kehidupan awal
Jamin Ginting dilahirkan di Desa Suka,
Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.
Setelah menamatkan pendidikan sekolah
menengah, ia bergabung dengan satuan
militer yang diorganisir oleh opsir-
opsir Jepang. Pemerintah Jepang
membangun kesatuan tentara yang terdiri
dari anak-anak muda di Taneh Karo guna
menambah pasukan Jepang untuk
mempertahankan kekuasaan mereka di
Benua Asia. Jamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada pasukan
bentukan Jepang itu.

Karier militer
Memimpin pasukan setelah kekalahan Jepang
Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo memperkuat pasukan Jepang
kandas setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang
menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang.
Sebagai seorang komandan, Jamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi
pasukannya. Ia bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Ia
menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia
memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap
kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatera Utara. Situasi politik ketika itu
tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai
daerah Sumatra.

Pionir pejuang
Di kemudian hari, anggota pasukan Jamin Ginting ini muncul sebagai pionir-pionir
pejuang Sumatra bagian Utara. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting,
Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lainnya
adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Jamin
Ginting menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, ia berselisih paham dengan
Kolonel Maludin Simbolon, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kodam II/Bukit
Barisan. Jamin Ginting tidak sepaham dengan tindakan Kolonel Maludin Simbolon
untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata.
Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi
yang melanda Indonesia. Di satu pihak, Maludin Simbolon
merasa Sumatra dianaktirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Di lain
pihak, Jamin Ginting sebagai seorang tentara tetap setia untuk membela negara
Indonesia.

Operasi Bukit Barisan

Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Boyke Nainggolan di Medan,


maka Panglima TT I, Letkol Inf. Jamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan.
Operasi ini dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi
Bukit Barisan II ini, maka pasukan Boyke Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan
mundur ke daerah Tapanuli.[2]

Akhir karier
Di penghujung masa baktinya, Jamin Ginting diutus sebagai seorang Duta
Besar Indonesia untuk Kanada. Di Kanada pulalah, Jamin Ginting menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 23 Oktober 1974. Jenazahnya dibawa pulang ke
Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.

8. Tengku Luckman Sinar

TENGKU Luckman Sinar Basarsha II SH


dinobatkan sebagai Pemangku Adat Kesultan
Serdang pada 12 Juni 2002 oleh Sultan Deli Ke XII,
Tuanku Azmy Perkasa Alam. Ketua Forum
Komunikasi Antaradat Sumatera Utara ini
meninggal dunia pada Kamis (13/1/2011), sekitar
pukul 19.50 waktu Malaysia. Beliau dikenal
sebagai budayawan yang mengabdikan diri untuk
masyarakat. Selain itu beliau juga pernah menjabat
sebagai penasehat Partai Golkar Sumut dan dosen.

Beliau lahir di Istana Kraton Kota Galuh Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai,
Provinsi Sumatera Utara pada 27 Juli 1933 . Kehidupan masa kecil sampai masuk
ke dunia pendidikan formal, semuanya dihabiskan di Medan. Berturut-turut beliau
menempuh pendidikan formal di Hestel Lagere School di Medan (tamat 1950), RK
Middlebare Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan (tamat 1953), SMA di
Medan (tamat 1955), kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di
Medan (Sarjana Muda 1962), dan Pendidikan Kemiliteran LPKW (1963).
Setelah menempuh pendidikan di Medan, pengetahuan Tengku Luckman Sinar
semakin lengkap ketika hijrah ke Jakarta untuk menempuh kuliah di Fakultas
Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Jayabaya (Sarjana
Hukum 1969). Tidak berhenti sampai di situ saja, beliau juga menjalankan Kursus
Manajemen Perkebunan di Bandung (1964). Pada 1976, beliau melakukan
penelitian ke Belanda berkat kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Belanda (1976-1980) .

Tuanku Luckman Sinar Basarshah II bersama sang permaisuri, Tengku Hj Daratul


Qamar yang bergelar Tengku Suri Serdang. Suami dari Tengku Hj Daratul Qamar
yang bergelar Tengku Suri Serdang ini memang layak ditahbiskan sebagai
‘’Sejarawan yang Konsisten Mengkaji Sejarah Kebudayaan Melayu’’. Sebutan ini
diterima beliau ketika mendapat Anugerah MelayuOnline 2009 dalam kategori
Sejarawan yang Konsisten Mengkaji Sejarah Kebudayaan Melayu, pada 20 Januari
2009 di Gedung Concert Hall, Taman Budaya Jogjakarta (Tasyriq Hifzhillah,
‘’Milad (Hari Jadi) MelayuOnline.com Ke-II: Anugerah Melayu Online 2009 untuk
Para Pelestari Budaya Melayu,’’ tersedia di http://melayuonline.com/news/).

Banyak ide dan gagasan beliau yang menjadi contoh untuk kemajuan bagi Melayu.
Semasa hidupnya, Lukman Sinar dikenal sebagai sejarawan Sumatera Utara yang
banyak menulis tentang peninggalan-peninggalan Kerajaan Haru serta sejarah
kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur setelah Haru. Beliau juga banyak menulis
mengenai kebudayaan/kesenian Melayu, khususnya Melayu Serdang, di sela-sela
kegiatannya sebagai dosen Kesenian Melayu di Fakultas Sastra USU, Medan.

Lukman Sinar berjasa bagi Karo oleh pengungkapannya tentang Perang Sunggal
dalam sebuah tulisan bersambung (dua edisi) di majalah PRISMA tahun 1970-an.
Dalam tulisannya ini, Lukman Sinar mengungkapkan alasan utama terjadinya
perang terpanjang dalam sejarah perjuangan Indonesia ini (25 tahun), yaitu rasa
ketidakadilan terhadap sewa tanah di wilayah orang-orang Karo di Deli Hulu.
Perusahaan-perusahaan perkebunan asing hanya membayar sewa tanah kepada
Sultan Deli padahal, menurut Datuk Sunggal, bagian Deli Hulu adalah tanah ulayat
orang Karo.

Tulisan Lukman Sinar mematahkan argumen yang menyatakan perang yang


dipimpin oleh Datuk Sunggal bermarga Karo-karo Surbakti ini adalah perluasan
Perang Batak yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII. Penamaan Batak Oorlog
(Perang Batak) oleh Belanda adalah karena mereka menganggap semua suku yang
bukan Melayu di daerah ini adalah Batak.

Lukman Sinar semasa hidupnya tetap bersedia menjadi pembicara di seminar-


seminar yang diadakan organisasi-organisasi Karo khususnya bila dia diminta
berceramah mengenai Perang Sunggal. Bulan Juni 2010 lalu, SoraSirulo.net masih
sempat berbincang-bincang dengan beliau saat sama-sama berkunjung ke situs
Kerajaan Haru di Kota Cina, Hamparan Perak. Saat itu memang kesehatan beliau
terlihat sudah sangat menurun, tapi semangatnya untuk menggeluti sejarah
Sumatera Timur (Melayu, Karo dan Simalungun) tetap tinggi hingga akhir
hayatnya. Sejarawan Sumatera Utara ini sebelum meninggal sempat dirawat di
Sime Darby Medical Center, Subang Jaya (Malaysia). Jenazahnya dimakamkan di
mesjid kebesaran Kesultanan Serdang, Mesjid Raya Sulaimaniyah, Perbaungan.
Lukman Sinar telah berjasa mengangkat Karo ke permukaan.(fed).

9. Tengku Abu Nawar Sinar

30 November 1996 - Kerapatan Adat Negeri Serdang mengadakan sidang serta


memutuskan bahwa Pemangku Adat Serdang dipilih dan ditetapkan dari putra-putra
almarhum Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah yang masih hidup. Dari sidang-
sidang tersebut kemudian diputuskan Tuanku Abunawar
Sinar Syariful Alam Al-Haj, putra ketiga Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah dan pemegang mahkota Kesultanan
Negeri Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri
Serdang dan Ketua Kerapatan Adat Negeri Serdang.

5 Januari 1997 - Penabalannya Tuanku Abunawar Sinar


Syariful Alam Al-Haj dilakukan dalam upacara adat di Gedong Juang 45 di
Perbaungan. Namun, kebangkitan Kesultanan Serdang ini tidak bisa lepas dari
himpitan sistem politik negara. Institusi kesultanan semata-mata dilihat dari
perspektif politik. Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai
representasi perilaku budaya dan adat masyarakatnya. Oleh karena itu, aktivitas
kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat saja. Dalam penyelenggaraan
istiadat pun “diarahkan” tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar
budayanya, apalagi unsur budaya yang berhubungan dengan tradisi kesultanan,
khususnya tradisi kesultanan yang terdapat di Sumatra Timur (Basarshah II,
2003:71).

Tuanku Abu Nawar mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda HLS, and


MULO di Medan, HIS dan Sekolah Grafika Jakarta. Beliau aktif memimpin
berbagai perusahaan keluarga Kesultanan Serdang, antara lain: Direktur di CV.
PUTRI, Chair di PT. PPP Serdang Tengah (Dir. 1971-2002), PT. PPP Serdang
Hilir, PresDir PT. Blumei, dan lain-lain. Jabatan terakhir sebelum diangkat menjadi
Pemangku Adat, beliau menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Deli Serdang.
Sejarah Baju Adat Melayu Serdang

Sejarah Perkembangan Baju Adat Melayu Deli


Cara berpakaian orang Melayu Deli banyak dipengaruhi oleh berbagai budaya,
mulai dari China, India, hingga Timur Tengah. Mulanya, berdasarkan sebuah
catatan dari Tiongkok, masyarakat Melayu hanya berpakaian dengan penutup
tubuh bagian bawah saja.

Namun, setelah berdatangan barang-barang dari China hingga India akibat


perdagangan, cara berpakaian orang Melayu pun terpengaruh oleh budaya yang
datang. Yang mulanya hanya memakai penutup bagian bawah tubuh menjadi
menutupi seluruh bagian tubuh, terlebih setelah masuknya pengaruh agama Islam.

Disebutkan dalam Malay Annals atau Sulalatus Salatin, baju kurung diperkirakan
pertama kali muncul pada tahun 1400-an. Pada era tersebut, orang-orang Melayu
tampak mengenakan semacam tunik. Tunik sendiri merupakan bagian dari budaya
Timur Tengah.

Dijelaskan pula dalam buku "Pakaian Daerah Wanita Indonesia" oleh Judi Achjadi,
baju kurung mulanya diperkenalkan oleh para pedagang muslim dan India barat.
Namun, model baju kurung zaman ini berbeda seperti yang ada sekarang.

Dulu, baju adat Kesultanan Deli ini cenderung ketat dan pendek. Adapun model
baju kurung modern baru ada pada tahun 1800, semasa pemerintahan Sultan Abu
Bakar. Ini merupakan pendapat Dato' Haji Muhammad Said Haji Sulaiman dalam
buku "Pakaian Patut Melayu".

Sementara itu, Mattiebelle Gettinger berpendapat bahwa baju kurung sudah


dipakai oleh penari istana di Palembang. Pakaian tersebut bahkan menjadi busana
populer sejagad Sumatra pada abad ke-20.

Perbedaan Baju Kurung Pria dan Wanita


Seperti yang disinggung di bagian sebelumnya, baju kurung merupakan pakaian
adat suku Melayu Deli dan dapat dikenakan oleh pria maupun wanita. Kendati
demikian, terdapat sejumlah perbedaan model antara kedua gender.

Berdasarkan buku Pakaian Patut Melayu, perbedaan baju kurung pria dan wanita
adalah sebagai berikut:

Baju kurung pria terdiri atas celana (seluar) dan kain samping, sedangkan baju
kurung wanita terdiri dari kain sarung berikatan ombak mengalun.
Baju kurung pria jatuh hanya sampai bagian bokong, sedangkan baju kurung
wanita jatuh sampai bawah lutut.
Baju kurung pria memiliki alas leher melebar, sedangkan alas leher baju kurung
wanita sempit.
Baju kurung pria dilengkapi dua buah saku, sedangkan baju kurung wanita tidak
memiliki saku.
Selain itu, di Negara Jiran Malaysia, baju kurung yang dikenakan laki-laki memiliki
sebutan khusus, yakni "baju Melayu".

Anda mungkin juga menyukai