PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
1. Mengetahui Riwayat Hidup Sultan Iskandar
2. Mengetahui Pemikiran Sultan Iskandar
3. Mengetahui Karya Sultan Iskandar
4. Mengetahui Penghargaan Sultan Iskandar
BAB II
PEMBAHASAN
1
2.1 Riwayat Hidup Sultan Iskandar
Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar
Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya
pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat
Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru. Sebagai
perbandingan, kita bisa membaca penelitian Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di samping menggunakan sumber-sumber
Melayu setempat (Bustan al-Salatin, Hikayat aceh, dan Adat Aceh), juga
menggunakan sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Di samping kedua sumber itu,
Lombard juga menggunakan kesaksian para musafir Eropa yang sempat tinggal di
Aceh pada saat itu, seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin
de Beaulieu. Penelitian Lombard bisa dikatakan mampu menyajikan fakta sejarah
sesuai aslinya, dan itu berarti ia justru membalikkan tesis Horgronje. Lombard
membuktikan bahwa masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda merupakan masa
kejayaan yang sangat gemilang.
Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan
Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari
pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal,
sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makota Alam. Ibunya
bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang
merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja
Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil
(yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-
3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama
pewaris kerajaan. Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari
Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan
ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri
Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat
2
berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu
dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang
puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil
(yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan 1).
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang
terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga
1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi
perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia
dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar awal April
1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling
gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam
membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan tidak saja
disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada
masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat
kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan
tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan,
Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga
sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah
kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang
letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan
dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian
kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda menerapakan sistem baitulmal.
Ia juga pernah melakukan reformasi perdagangan dengan kebijakan menaikkan cukai
eksport untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Pada masanya, sempat dibangun juga
saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai sebelas kilometer.
Pembangunan saluran tersebut dimaksudkan untuk pengairan sawah-sawah
3
penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam
kerajaan.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan
Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda,
Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar
Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang
pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth 1. Melalui utusannya, Sir James Lancester,
Ratu Elizabeth 1 memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda
dengan kalimat: Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam. Sultan kemudian
menjawabnya dengan kalimat berikut: I am the mighty ruler of the religions below
the wind, who holds way over the land of Aceh and over the land of Sumatera and
over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset
(Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di
atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang
tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari
terbenam).
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar. Di antaranya
adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar
Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi
proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: Adat bak Peutu
Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala (adat di bawah kekuasaan Sultan Iskandar
Muda, kehidupan beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan Iskandar
Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu
Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua ulama ini
juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar
dalam sejarah nusantara.
Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam
usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada
4
anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang
oleh menantunya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani
wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul
Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri
dari Sultan Iskandar Muda.
5
pembesar kerajaan. Ketiga, bidang resam yang merupakan urusan panglima. Resam
adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan
melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui
kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. Keempat,
bidang qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri
Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam
menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan rajam terhadap puteranya
sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri
seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang
pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nagroe Aceh Darussalam menerapkan syariat
Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan
Iskandar Muda juga sangat menyukai tasawuf.
Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan delapan perkara,
di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, ia berwasiat kepada para wazir,
hulubalang, pegawai, dan rakyat agar selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji
yang telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para raja menghina alim ulama dan ahli
bijaksana. Ketiga, jangan sampai para raja percaya terhadap apa yang datang dari
pihak musuh. Keempat, para raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian
senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari
kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja mempunyai
sifat pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib
rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan al-Quran
dan sunnah Rasul. Di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus
dipegang adalah qiyas dan ijma, baru kemudian berpegangan pada hukum kerajaan,
adat, resam, dan qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan
Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan
kepentingan agama, rakyat, dan kerajaan.
6
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang
saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian
kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil
menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis.
Karakter Sultan Iskandar tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya.
Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari
karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep
kenegaraan modern yang sudah demokratis.
7
Selain golongan pejabat juga terdapat golongan lain seperti nelayan yang lalu
lalang di teluk, diatas perahu bercadik dua untuk menangkap ikan. penangkapan
ikan ada yang dilakukan secara besar-besaran industry, ada juga yang mengail ikan
dengan naik perahu kecil. (Lombard, 2006: 79-80). Selain nelayan juga ada pengrajin
logam, pandai besi andal yang mengerjakan segala macam pekerjaan besi baik berat
maupun yang berupa pisau, keris, mata lembing dan senjata lain. Ada juga tukang-
tukang meriam yang menuangkan berbagai macam alat dari kuningan seperti kandil,
lampu bokor. Golongan yang tak kalah menonjol adalah golongan tukang kayu.
Pekerjaan tukang kayu membangun rumah kediaman, kapal nelayan dan kapal
perang. Selain itu, juga ada pedagang dalam jumlah besar. Mereka terdiri dari orang-
orang Aceh sendiri dan pedagang-pedagang asing. Disamping pedagang besar, ada
pula pedagang perantara dan penukaran uang. Pertukaran uang ditangani oleh
perempuan yang duduk dipasar maupun dipojok jalan dengan uang timah yang
dinamakan cash. Sebagian pula ada para pegawai dan abdi untuk istana dan
pemerintahan, para pengawal pribadi sultan dan budak. (Lombard, 2006: 80-82)
Dalam penduduk Aceh terdapat segolongan orang yang mempunyai hak-hak
istemewa bagi orang kaya.mereka mempunyai lumbung-lumbung cadangan beras dan
lada yang dijual dengan harga tinggi. Orang-orang kaya memiliki tanggung jawab
atas keluasan tanah yang penduduknya tunduk kepada mereka dan juga pada
peradilan mereka. Kekuasaan materi dan ekonomi dirangkap dengan wibawa yang
tidak boleh diremehkan. Wibawa orang kaya dimata rakyat biasa seperti kekayaan.
Pada rakyat Aceh antara yang kaya dan rakyat biasa dapat dibedakan yaitu orang kaya
membiarkan kuku ibu jari dan kelingking tumbuh panjang sebagai tanda bahwa
mereka tidak bekerja dengan tangan. Orang-orang kaya juga sangat berarati dimata
sultan. Sultan menghargai jasa mereka dalam pengangkatan tahta Ala ad-Din Riayat
Syah menjadi sultan. Karena itu,sultan banyak memberikan kepada orang kaya
berbagai jabatan baik militer maupun sipil. Kedudukan social penduduk lain yaitu
nelayan, pengrajin, pemilik toko, penukar uang dan budak[10]. Mereka ini, tidak ikut
langsung dalam keuntungan perniagaan bebas,mereka tinggal dirumah sendiri dan
8
mencari nafkah dengan bebas. Namun harus membayar upeti terhadap orang kaya
yang mereka anggap sebagai pelindung dengan uang ataupun hasil bumi. (Lombard,
2006: 88-92).
BAB III
PENUTUP
9
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh
merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur pelayaran
dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan yang sangat
luas, sehingga Kerajaan ini sangan maju terutama di bidang perekonomiannya.
Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan
berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito yang dapat
menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.
3.2 Saran
Makalah yang ditulis adalah makalah yang jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dari pembaca demi kemajuan dari makalah
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
10
Hasjmy, A. 1961. Ichtiar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan
Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak Diterbitkan.
Langen, van, K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan. Alih
Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan Informasi Aceh
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
11